Efikasi Larvasida Bacillus Thuringiensis Israelensis Terhadap Kematian Larva Culex Quinquefasciatus Dari Daerah Bekasi

(1)

EFIKASI LARVASIDA

Bacillus thuringiensis

israelensis

TERHADAP KEMATIAN LARVA

Culex quinquefasciatus

DARI DAERAH BEKASI

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH:

Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya

NIM: 1112103000042

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini yang berjudul Efikasi larvasida Bacillus thuringiensisisraelensis terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi.

Tak lupa, shalawat serta salam saya hanturkan pada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad saw yang membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman terang benderang yang penuh dengan teknologi ini beserta kepada para keluarga dan sahabatnya.

Dalam pembuatan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin dengan segala kemampuan yang penulis miliki. Tanpa mengurangi penghargaan dan penghormatan penulis kepada semua pihak yang telah berjasa terhadap penyelesaian skripsi ini yaitu: Drs. H. Mohammad Bisry dan Hj. Muizzah, S.Pd.I, kedua orangtua saya yang telah banyak mendukung dan mendoakan untuk keberhasilan dan kesuksesan saya, Silvia Fitrina Nasution, M.Biomed dan dr. Dyah Ayu Woro, M.Biomed selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah banyak membimbing dan mengarahkan dalam penelitian dan penyusunan laporan skripsi ini, dr. H. Meizi Fachrizal Achmad, M.Biomed dan dr. Intan Keumala Dewi, SpMK selaku penguji skripsi yang telah memberikan masukan dalam penyusunan laporan penelitian ini serta teman-teman sejawat PSPD 2012 yang selalu mendukung saya.

Sudah tentu, laporan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan koreksi. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan penulis.

Ciputat, September 2015


(6)

vi

ABSTRAK

Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya. Program Studi Pendidikan Dokter. Efikasi larvasida Bacillus thuringiensis israelensis terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi.

Latar belakang: Resistensi terhadap insektisida banyak dilaporkan telah terjadi pada nyamuk Culex quinquefasciatus. Penggunaan bahan kimiawi sebagai insektisida dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan resistensi nyamuk dan pencemaran lingkungan. Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) merupakan larvasida biologi yang bekerja sebagai toksin pencernaan pada larva yang dapat menyebabkan kematian, namun bersifat aman terhadap hewan bukan sasaran dan manusia, serta aman bagi lingkungan. Tujuan: untuk mengetahui pengaruh konsentrasi Bti terhadap kematian larva Cx. quinquefasciatus, serta konsentrasi efektif yang menyebabkan 50% dan 90% kematian larva. Metode penelitian:

Desain penelitian eksperimental, berpasangan dan lebih dari 2 kelompok perlakuan. Sampel yang diambil secara purposive sampling berupa larva instar III dan IV dari daerah Bekasi. Selanjutnya uji efikasi dilakukan dengan 5 konsentrasi Bti yaitu 0.0025, 0.005, 0.01, 0.02 dan 0.04 mg/L serta kontrol negatif. Hasil:

Analisa statistik didapatkan bahwa konsentrasi Bti berpengaruh kuat terhadap kematian larva dengan nilai p=0.00 dan r =0.9. Nilai LC50 didapatkan pada

konsentrasi 0.012 mg/L dan LC90 terdapat pada konsentrasi 0.024 mg/L.

Kesimpulan: Bti efektif menyebabkan kematian larva instar III dan IV nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan konsentrasi yang rendah.

Kata kunci: Efikasi, Bacillus thuringiensis israelensis, Culex quinquefasciatus, larvasida, LC50, LC90.


(7)

vii

ABSTRACT

Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya. Medical Education Program. Efficacy of larvicide Bacillus thuringiensis israelensis against larvae of Culex quinquefasciatus from Bekasi area.

Background: Resistance on insecticide has been several reported against Culex quinquefasciatus. Formulated chemicals in insecticide for certain period has caused resistance in mosquitoes and environment pollution. Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) as biological larvicide produces toxin in digestive system of larvae to cause mortality, but safe for non target animals, human, and environment. Purpose: To investigate Bti concentration effects against larvae of Cx. quinquefasciatus, and efficacy of the concentrations to cause 50% (LC50) and 90% (LC90) of larvae mortality. Method: Experimental study, paired, and more than 2 groups of treatments. Purposive sampling was collected and determined as instar III and IV from Bekasi area. Following test of efficacy was conducted for 5 concentrations of Bti, such 0.0025, 0.005, 0.01, 0.02, 0.04 mg/L and negative control. Result: Concentrations of Bti have strong effect to larvae mortality, with p value 0.00 and r=0.9. The LC50 of Bti against the larvae was indicated by concentration of 0.012 mg/L, and 0.024 mg/L for the LC90. Conclusion: Bti is effective to cause mortality against the instar III and IV of the Cx. quinquefasciatus larvae by low concentration.

Keywords: Efficacy, Bacillus thuringiensis israelensis, Culex quinquefasciatus, larvicide, LC50, LC90.


(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 2

1.4 Tujuan ... 2

1.4.1 Tujuan Umum ... 2

1.4.2 Tujuan Khusus ... 2

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Taksonomi, Morfologi, Karakteristik dan Cara Kerja Bacillus thurigiensis israeliensis (Bti) ... 4

2.1.1 Taksonomi Bti ... 4

2.1.2 Morfologi dan Karakteristik Bacillusthurigiensis ... 4

2.1.3 Cara Kerja Bacillusthurigiensis ... 6

2.2 Taksonomi, Morfologi, Habitat dan Perilaku, serta Siklus Hidup Cx. quinquefasciatus ... 7

2.2.1 Taksonomi Cx. quinquefasciatus ... 7

2.2.2 Identifikasi Cx. quinquefasciatus ... 7

2.2.3 Habitat dan Perilaku Cx. quinquefasciatus ... 11


(9)

ix

2.3 Pemanfaatan Bti dalam pemberantasan vektor nyamuk di Indonesia .. 13

2.4 Kerangka Teori ... 14

2.5 Kerangka Konsep ... 14

2.6 Definisi Operasional ... 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1 Desain Penelitian ... 16

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 16

3.3.1 Populasi Penelitian ... 16

3.3.2 Besar Sampel Penelitian ... 16

3.3.3 Kriteria Sampel ... 18

3.4 Variabel Penelitian ... 18

3.5 Alat dan Bahan ... 18

3.5.1 Alat ... 18

3.5.2 Bahan ... 19

3.6 Cara Kerja Penelitian ... 19

3.6.1 Persiapan dan Pengumpulan Larva Cx. quinquefasciatus ... 19

3.6.2 Uji Pendahuluan ... 19

3.7 Pengumpulan Data ... 20

3.8 Analisis Data ... 21

3.9 Alur Penelitian ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Hasil Penelitian ... 23

4.2 Analisis Data ... 26

4.3 Pembahasan ... 29

BAB V PENUTUP ... 32

5.1 Kesimpulan ... 32

5.2 Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus pada berbagai

konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan ... 23

Tabel 4.2 Hasil uji esterase pada larva instar IV Culex quinquefasciatus ... 24

Tabel 4.3 Jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji utama ... 24

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas ... 26

Tabel 4.5 Hasil Uji Variasi Data ... 26

Tabel 4.6 Hasil Uji One Way ANOVA ... 27


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Morfologi Bacillus thuringiensis ... 4

Gambar 2.2 Spora dan kristal Bacillus thuringiensis israelensis ... 5

Gambar 2.3 Cara kerja Bacillus thuringiensis ... 6

Gambar 2.4 Telur Culex quinquefasciatus di bawah mikroskop ... 8

Gambar 2.5 Telur Culexquinquefasciatus di atas air ... 8

Gambar 2.6 Larva Culex quinquefasciatus ... 8

Gambar 2.7 Perbedaan morfologi larva Culex quinquefasciatus instar I, II, III dan IV ... 9

Gambar 2.8 Pupa Culex quinquefasciatus ... 10

Gambar 2.9 Nyamuk dewasa Culex quinquefasciatus ... 10

Gambar 2.10 Perbandingan antenna nyamuk jantan dan betina ... 11


(12)

xii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Grafik hubungan antara konsenterasi larvasida Bacillus thuringiensis sub sp. israelensis dengan persentase jumlah

kematian larva Culex quinquefasciatus ... 25 Grafik 4.2 Grafik hasil regresi linier konsenterasi larvasida Bti terhadap


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Culex quinquefasciatus merupakan vektor penular penyakit filariasis. Kasus filariasis di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan dan telah menyebar di hampir seluruh wilayah. Tercatat sampai dengan tahun 2009, telah ditemukan 11.914 kasus filariasis dan sekitar 71,9% kabupaten/kota di Indonesia telah dinyatakan endemis filariasis.1 Melihat tingginya angka endemisitas di Indonesia, diperlukan

upaya pemberantasan filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor nyamuk pembawa parasit penyebab penyakit tersebut.

Pengendalian vektor nyamuk dan lingkungan merupakan bagian dari program pemberantasan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk tersebut, baik berupa pengendalian secara biologi maupun kimiawi.2

Pengendalian secara kimiawi lebih sering digunakan, yaitu dengan

pengasapan atau fogging untuk memberantas nyamuk dewasa dan

penggunaan larvasida kimiawi untuk membunuh larva. Namun, penggunaan bahan-bahan kimiawi tersebut dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan resistensi vektor dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan upaya memberantas vektor nyamuk dengan cara yang aman dan tidak mencemari lingkungan. Salah satunya adalah dengan penggunaan Bacillus thuringiensisisraelensis (Bti)sebagai larvasida.2,3

Bti merupakan bakteri Gram positif fakultatif anaerob yang digunakan sebagai larvasida biologi. Btimemproduksi kristal protein yang bekerja sebagai toksin/racun pencernaan larva. Ketika larva memakan toksin tersebut, terjadi perforasi dinding usus larva yang dapat mengakibatkan kematian larva. Bti dapat mematikan berbagai larva nyamuk, baik Aedes, Culex maupun Anopheles, namun tidak mematikan organisme bukan sasaran.4


(14)

2

Menurut WHO, larvasida ini efektif membunuh jentik nyamuk tersebut pada LC 50 sebesar 0.008-0.024 mg/L dan LC 90 sebesar 0.018-0.059 mg/L.5

Melihat berbagai kelebihan dari Bti yang tidak membahayakan dan mencemari lingkungan, namun efektif membunuh berbagai jenis larva nyamuk, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi larvasida Bti terhadap kematian larva instar III/IV Culex quinquefasciatus yang diambil dari daerah Bekasi.

1.2 Rumusan Masalah

Penggunaan bahan-bahan kimiawi dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan resistensi vektor dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan upaya memberantas vektor nyamuk dengan cara yang aman dan tidak mencemari lingkungan. Salah satunya adalah dengan penggunaan Bti sebagai larvasida. Bagaimana efikasi larvasida Bti terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV dari daerah Bekasi?.

1.3 Hipotesis

Bti efektif membunuh larva Culex quinquefasciatus instar III/IV dengan konsentrasi kematian (LC50 dan LC90) yang sangat rendah.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efikasi larvasida Bti terhadap kematian larva instar III/IV Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui persentase kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV pada rentang konsentrasi 0 mg/L, 0,005 mg/L, 0,01 mg/L, 0,02 mg/L, 0,03 mg/L, 0,04 mg/L.


(15)

2. Mengetahui pengaruh konsentrasi larvasida Bti terhadap kematian larva.

3. Mengetahui Lethal Concentration (LC50 dan LC90) Bti yang efektif

terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV.

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan tambahan informasi tentang manfaat penggunaan larvasida Bti sebagai larvasida pengendali vektor nyamuk Culex quinquefasciatus yang efektif (belum resisten) dan aman bagi lingkungan, dalam memberantas populasi nyamuk di wilayah endemis filariasis.


(16)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi, Morfologi, Karakteristik dan Cara Kerja Bacillus thuringiensis israelensisis (Bti)

2.1.1 Taksonomi Bti

Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus thuringiensis

Subspesies : Bacillus thuringiensis israelensis.6

2.1.2 Morfologi dan Karakteristik Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis merupakan bakteri Gram positif, fakultatif anaerob, berbentuk batang dengan ukuran 3-5 µm. Bakteri ini memiliki flagel, oleh karena itu ia dapat bergerak/motil. Bt merupakan organisme saprofit yang hidup dan mendapatkan makanan dari bahan organik/ organisme yang telah mati.6

. Gambar 2.1 Morfologi Bacillus thuringiensis.7

Bt memiliki 67 subspesies yang berbeda, salah satunya Bacillus thuringiensis israelensis. Yang membedakan Bti dengan subspesies


(17)

lainnya terletak pada jenis antigen yang terkandung pada flagelnya yaitu H-14. Sedangkan pada bentuknya, Bti dengan subspesies lainnya sama. 6

Bakteri ini tumbuh dalam 2 fase yaitu fase vegetatif dan spora. Jika dalam kondisi yang menguntungkan seperti suplai nutrien yang diperlukan tersedia, maka bakteri akan tumbuh dalam fase vegetatif. Namun jika bakteri hidup pada kondisi dimana suplai nutrien tidak mencukupi maka bakteri akan membentuk spora (parasporal crystalline inclusions) dimana spora ini terdiri dari berbagai insecticidal crystal protein (ICP) yang bersifat toksik.8,9

ICP atau kristal protein ini memiliki bentuk yang bermacam-macam yaitu bipiramida, kuboid, datar, rhomboid maupun gabungan dari berbagai bentuk. Kristal protein atau kompleks spora-kristal protein ini jika dimakan oleh invertebrata tertentu, khususnya larva Diptera, Coleoptera dan Lepidoptera dapat meracuni usus larva. Umumnya Bt hidup ditanah, tumbuhan dan di dalam tubuh serangga yang sudah mati.5

Gambar 2.2 Spora dan kristal Bacillus thuringiensis israelensis.10

Bt diformulasikan dalam berbagai macam bentuk larvasida baik dalam bentuk cair, granul, spray, tablet, pelet dan bubuk, dengan persentase kandungan zat aktif berupa spora dan kristal protein hidup maupun yang telah diinaktivasi. Kandungannya berbeda-beda tergantung jenis produknya. Vectobac WG merupakan produk larvasida berbentuk granul yang mengandung zat aktif Bti sebesar 37,4%, dan mudah larut dalam air.5


(18)

6

2.1.3 Cara Kerja Bacillus thuringiensis

ICP yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis pada saat fase sporulasi merupakan protoksin yang masih belum aktif. Cara kerja ICP ini dimakan oleh larva dan larut dalam usus larva, ICP/protoksin diubah menjadi toksin aktif oleh enzim proteolitik dalam usus larva, kemudian toksin akan berikatan dengan reseptor spesifik pada membran usus larva. Ikatan ini menyebabkan lisis epitel usus larva dan juga mengganggu permeabilitas cairan sehingga sel menjadi bengkak kemudian pecah dan pada akhirnya mengakibatkan kematian larva.9,11

Gambar 2.3 Cara kerja Bacillus thuringiensis.4

Selain menyebabkan lisis epitel, toksin ini mengakibatkan penurunan nafsu makan larva, sehingga larva menjadi tidak nafsu makan dan berhenti makan. Di sisi lain, bakteri ini terus berproliferasi dalam tubuh larva sehingga larva menjadi septik. Mekanisme ini juga turut berperan dalam kematian larva. Kematian ini mengakibatkan tubuh larva berubah menjadi kehitaman atau kecoklatan.9

Bt aman digunakan bagi lingkungan karena Bt akan terurai oleh sinar ultraviolet, bersifat tidak toksik dan tidak patogen terhadap spesies bukan sasaran seperti burung, cacing, ikan dan spesies lain yang hidup di dalam air. Namun dilaporkan bahwa pada hewan percobaan kelinci, Bt menyebabkan iritasi mata.12 Pada hewan percobaan tikus, pemberian Bt lebih dari 5000 mg/kg baru menunjukan lethal dose 50%. Pada manusia,


(19)

Bt yang terkontak dengan kulit, mata, terhirup, termakan atau terminum tidak berbahaya bagi kesehatan.5

Telah diketahui bahwa racun Bt aktif di suasana basa pada sistem pencernaan. Oleh karena itu, racun Bt dapat aktif pada larva. Namun pada manusia yang termakan Bt tidak akan menyebabkan efek patologis, dikarenakan kondisi sistem pencernaan manusia yang bersifat asam. Dilaporkan bahwa manusia yang memakan Bt hingga 1000 mg/hari selama 3-5 hari tidak menunjukkan efek negatif. Selain itu, Bt tidak memicu kanker dan tidak menyebabkan kelainan kongenital.12

2.2. Taksonomi, Morfologi, Habitat dan Perilaku, serta Siklus Hidup Cx. quinquefasciatus

2.2.1. Taksonomi Cx. quinquefasciatus

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Genus : Culex

Spesies : Culex quinquefasciatus.13

2.2.2. Morfologi Cx. quinquefasciatus

Telur Cx.quinquefasciatus berbentuk lonjong seperti peluru dengan ujung tumpul yang tersusun berkelompok membentuk seperti rakit. Panjang telur sekitar 1/4 inch dan lebar 1/8 inch.14,15 Telur yang baru diletakkan diatas air masih berwarna putih, beberapa jam setelah berkontak dengan air berubah menjadi coklat kehitaman. Telur ini berisi calon larva yang nantinya akan menetas dalam waktu 2-3 hari.16


(20)

8

Gambar 2.4 Telur Cx. quinquefasciatus di bawah

mikroskop.

Sumber: Dokumentasi pribadi.

Gambar 2.5 Telur Cx quinquefasciatus di atas

air.17

Tubuh larva terdiri dari bagian kepala, thoraks dan abdomen. Pada bagian abdomennya, terdiri dari 8 segmen dengan sifon terletak pada bagian dorsal abdomen.18,19 Sedangkan saddle terletak di bagian ventral

abdomennya. Sifonnya 4 kali lebih panjang dibandingkan spesies larva lainnya dengan bulu lebih dari satu pasang.18

Gambar 2.6 Larva Cx. quinquefasciatus

Sumber: Dokumentasi pribadi

Sesuai dengan perkembangannya, larva nyamuk ini dibagi menjadi 4 tahap yaitu instar I, II, III dan IV.20 Pertumbuhan dan perkembangan larva berbeda-beda tergantung suplai nutrisi dan temperatur tempat larva hidup.14

Tampak bentuk satu persatu di bawah ikroskop

Sifon

Kepala

Thoraks Abdomen

Tampak dalam bentuk rakit mengapung di air


(21)

Gambar 2.7 Perbedaan morfologi larva Cx. quinquefasciatus instar I, II, III dan IV.13

1. Instar I yaitu pada hari ke 1-2 setelah telur menetas dengan ukuran 1-2 mm.

2. Instar II yaitu pada hari ke 2-3 setelah telur menetas dengan ukuran 2,5 - 3,5 mm.

3. Instar III yaitu pada hari ke 3-4 setelah telur menetas dengan ukuran 4-5 mm.

4. Instar IV yaitu pada hari ke 4-6 setelah telur menetas dengan ukuran 5-6 mm.14

Tabel 2.1 Perbandingan ukuran larva Cx. quinquefasciatus instar I, II, III dan IV.14

Pada pupa, bagian kepala dan dada bergabung menjadi cephalothoraks dengan perut melengkung dibawahnya sehingga terlihat


(22)

10

seperti bentuk koma.14,21 Pupa sering naik ke permukaan air untuk bernapas melalui sepasang terompet pernafasan di bagian thoraksnya.21

Gambar 2.8 Pupa Cx. quinquefasciatus.22

Pada fase ini, pupa tidak memerlukan makanan dan terjadi perkembangan organ tubuhnya seperti sayap untuk persiapannya menjadi nyamuk dewasa.14

Nyamuk dewasa terdiri atas bagian kepala, thorax dan abdomen dengan ukuran bervariasi 4-10 mm.Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antenna, sepasang palpus yang berfungsi sebagai pendeteksi tingkat kelembaban lingkungan, dan juga proboscis yang digunakan untuk menghisap makanan yang dibutuhkannya. Baik jantan maupun betina, menghisap cairan tumbuhan (nektar). Gula pada nektar menjadi sumber energi bagi nyamuk ketika terbang. Selain nektar, betina juga menghisap darah yang didalamnya mengandung protein. Protein ini diperlukan untuk perkembangan ovarium dan telur.14,19

Gambar 2.9Nyamuk dewasa Cx. quinquefasciatus.22

Antenna pada nyamuk jantan dan betina pun berbeda. Pada nyamuk jantan lebih lebat dibandingkan betina. Antenna ini digunakan untuk mencari nyamuk betina dengan cara mendeteksi bau nyamuk betina.


(23)

Selain itu, hal lain yang membedakan jantan dan betina adalah panjang palpus dan proboscis. Pada nyamuk jantan, palpus lebih panjang atau sama dengan proboscis. Namun sebaliknya pada nyamuk betina.17,23

Nyamuk dewasa memiliki abdomen dengan ujung tumpul, warna cokelat muda. Sayap berbentuk sempit panjang dengan ujung runcing dan kaki yang berwarna lebih gelap dibandingkan tubuhnya.16

Gambar 2.10 Perbandingan antenna nyamuk jantan dan betina.24

2.2.3. Habitat dan Perilaku Cx. quinquefasciatus

Nyamuk ini hidup dan berkembangbiak di air yang keruh atau kotor seperti di got, selokan, comberan, sungai yang dipenuhi sampah dan tempat-tempat lainnya yang tinggi pencemarannya.16,25 Begitu pula dengan larva, lebih menyukai tempat-tempat yang tertutupi rumput maupun tanaman air. Hal ini bertujuan agar larva terlindungi dari ikan dan predator air lainnya.14

Nyamuk tersebut merupakan nyamuk yang menghisap darah

sebagai sumber makanannya (hematofagik), baik menghisap darah manusia (antrofilik) maupun binatang (zoofilik) terutama mamalia dan burung. Nyamuk ini biasanya istirahat saat siang hari dan menghisap darah manusia pada malam hari setelah matahari terbenam. Oleh karena itu, Cx. quinquefasciatus dikenal sebagai nocturnal mosquito yang sering masuk ke dalam rumah-rumah terutama tengah malam dan nyamuk ini bersifat endofagik (hidup berada di dalam rumah) juga eksofagik.16,19,26


(24)

12

2.2.4. Siklus hidup Cx. quinquefasciatus

Nyamuk betina dapat bertelur hingga 400 butir telur diatas permukaan air kotor membentuk sekumpulan telur yang berdekatan seperti rakit. Biasanya ia meletakkan telur pada malam hari di air yang menggenang daripada air yang mengalir. Dalam siklusnya, nyamuk betina dapat bertelur setiap 3 hari sekali.14

Telur tersebut menetas menjadi larva setelah 2-3 hari di air dan berkembang dari larva instar I sampai larva instar IV yang berlangsung kurang lebih 6-8 hari.20

Setelah itu, larva instar IV molting atau berganti kulit menjadi pupa. Perubahan ini optimum terjadi ketika suhu lingkungan 27º- 30ºC. Perbedaan antara larva dan pupa adalah pada saat fase larva, dimana larva memerlukan makanan yang diambilnya dari tempat perindukannya (breeding place). Pupa tidak memerlukan makanan tetapi memerlukan oksigen yang didapatkan melalui tabung pernafasan (breathing trumpet). Setelah itu, pupa tumbuh menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-5 hari.21 Nyamuk betina dapat bertahan hidup hingga 2 bulan, namun nyamuk jantan hanya kurang dari 10 hari.14


(25)

2.3. Pemanfaatan Bti dalam pemberantasan vektor nyamuk di Indonesia

Bti sebagai insektisida biologi telah digunakan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1960-an. Namun, di Indonesia insektisida ini belum umum digunakan oleh masyarakat luas. Kini Bti telah diperdagangkan di Indonesia sebagai bioinsektisida dengan berbagai formulasi baik dalam bentuk wettable powder (WP), water dispersible granule (WG), aqueous suspension (AS), soluble liquid (SL) dan suspension concentrate (SC) dengan berbagai merk dagang.3,28,29

Selain menggunakan produk komersial dalam pemberantasan vektor nyamuk di Indonesia, digunakan pula Bti yang diperoleh dari isolasi bakteri dari habitatnya langsung yaitu tanah dan dikembangbiakkan dalam media air kelapa.30 Seperti halnya penelitian Balitbangkes (Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) yang dilakukan oleh Christina dan Widyastuti (2013), didapatkan hasil persentase kematian larva Anopheles sp. sebesar 80-100% dan Culex sp. sebesar 79,31-100%.31

Selain itu, dapat pula digunakan ekstrak dari kristal endotoksin Bti. Seperti halnya penelitian Anggraeni, Christina dan Wianto (2013) yang menggunakan ekstrak tersebut dan mendapatkan hasil LC 90 dari Ae. aegypti, An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus berturut-turut adalah 0.17, 9.19 dan 0.49 ppm.32


(26)

14

2.4. Kerangka Teori

2.5. Kerangka Konsep

Diberi larvasida Bti dengan berbagai konsentrasi Larva Cx. quinquefasciatus

instar III/IV

Larva hidup Tidak diberi larvasida Bti

Larva mati Efek larvasida (-) Efek larvasida (+)

Dimakan dan larut dalam usus larva Bersifat toksik

bagi larva Morfologi/ KarakteristikBti

Kristal protein Spora

Lisis sel epitel pencernaan larva

Gangguan permeabilitas sel


(27)

2.6. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional

Alat ukur Hasil ukur Skala ukur 1. Variabel bebas:

Konsentrasi larvasida Bti.

Larvasida Bti dalam bentuk granul yang telah ditimbang, dilarutkan dengan air dan diencerkan menjadi berbagai konsentrasi. Neraca digital, micropipet, gelas ukur. Larutan larvasida dengan konsentrasi 0, 0.01, 0.02, 0.04, 0.06, dan 0.08 mg/L.

Numerik

2. Variabel terikat: Kematian larva instar III/IV.

Larva instar III/IV yang tidak bisa bergerak ketika diberi rangsangan dan tampak berwarna kehitaman dan membengkak.

Loupe. Jumlah larva instar III/IV yang mati.


(28)

16

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan lebih dari 2 kelompok perlakuan, dan dilakukan secara berpasangan. Pengambilan sampel nyamuk dilakukan secara purposive sampling yang memenuhi kriteria sampel terpilih. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui tentang efikasi Bti pada beberapa konsentrasi berbeda terhadap kematian larva instar III/IV nyamuk Cx. quinquefasciatus serta nilai LC50 dan LC90 dari

larvisida tersebut.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel yang berupa telur dan larva nyamuk Cx. quinquefasciatus dilakukan pada bulan April 2015 di wilayah Bekasi dari tempat perindukan nyamuk tersebut yaitu air got/selokan. Pemeliharaan nyamuk, identifikasi, serta pengujian sampel dilakukan bulan April-Juni 2015 di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini berupa koloni larva Cx.

quinquefasciatus instar I sampai IV yang dipelihara dalam wadah berisi media air got.

3.3.2. Besar Sampel Penelitian

Dalam menentukan banyaknya sampel dalam setiap konsentrasi, maka digunakan rumus Federer, yaitu: 33


(29)

Keterangan: n = besar sampel

t = jumlah kelompok perlakuan

Pada penelitian ini, digunakan 1 kelompok kontrol dan 5 kelompok yang diberi larvasida Bti dengan konsentrasi berbeda. Berdasarkan rumus tersebut, maka didapatkan banyaknya sampel yang digunakan adalah: (n-1) (t-1) ≥ 15

(n-1) (5-1) ≥ 15 (n-1) 4 ≥ 15 4n –4 ≥ 15 4n ≥ 19 n ≥ 4.75

Minimal sampel yang digunakan adalah 5 ekor larva, sedangkan jumlah sampel yang diuji pada penelitian ini untuk setiap konsentrasi adalah 25 ekor larva.34 Larva yang memenuhi kriteria inklusi yaitu telah

mencapai instar III/IV serta masih hidup yang ditandai dengan larva yang bergerak aktif ketika diberi rangsangan, selanjutnya di ambil secara acak dengan menggunakan pipet dari wadah perindukannya di laboratorium. Kemudian larva tersebut ditempatkan pada wadah yang telah berisi larutan Bti dengan berbagai konsentrasi sebagai perlakuan, dan wadah yang hanya berisi air keran (tap water) sebagai kontrol.

Perlakuan dilakukan selama 24 jam. Pencatatan jumlah larva yang mati dilakukan saat 24 jam setelah perlakuan. Jumlah pengulangan dalam setiap perlakuan adalah 4 kali.

3.3.3. Kriteria Sampel

1. Kriteria inklusi


(30)

18

 Larva yang masih hidup ditandai dengan larva yang bergerak aktif ketika diberi rangsangan.

 Berasal dari filial atau keturunan yang umurnya sama.

 Larva diberi perlakuan pakan dan media rearing yang sama.

2. Kriteria eksklusi

 Larva yang sudah berubah menjadi pupa.

 Larva yang tidak sehat dan cacat.

3.4. Variabel Penelitian

a. Variabel independen (bebas) : konsentrasi larutan larvasida Bti. Pada penelitian ini dibuat rentang konsentrasi sebesar 0, 0.01, 0.02, 0.04, 0.06, dan 0.08 mg/L.

b. Variabel dependen (terikat) : kematian larva instar III/IV setelah 24 jam.

Pada penelitian ini, dihitung berapa jumlah larva yang mati setelah mendapat perlakuan berupa pemberian larvasida Bti dengan berbagai konsentrasi pada media hidupnya di dalam wadah.

c. Variabel luar terkendali:

 Umur larva yaitu larva instar III/IV.

 Pakan larva.

 Ph dan salinitas air.

 Suhu ruangan tempat rearing nyamuk.

d. Variabel luar tidak terkendali:

 Kondisi biologis larva.

 Kontaminan lingkungan dalam media tumbuh larva.

 Kualitas larvasida dan pelarutnya.

3.5. Alat dan Bahan 3.5.1. Alat

Kandang nyamuk, pipet tetes, mikropipet, gelas plastik, neraca digital, pH meter, nampan plastik, pengaduk, beaker glass, gelas ukur,


(31)

penyaring, label, termometer, dan mikroplat ELISA Foto alat dan bahan dilampirkan pada lampiran 2.

3.5.2. Bahan

Larva Cx. quinquefasciatus instar III/IV, Vectobac WG (Bahan aktif: Bacillus thuringiensisisraelensis), air aquadest sebagai pelarut, pelet ikan sebagai pakan larva, air gula sebagai pakan nyamuk dewasa dan bahan uji esterase: larutan phosphat buffer saline (PBS) 0,02 M, coupling reagen, α-naftil asetat dan asam asetat 10%.

3.6. Cara Kerja Penelitian

3.6.1. Persiapan dan Pengumpulan Larva Cx. quinquefasciatus

Telur dan larva diambil dari got di daerah Bekasi untuk dipelihara (rearing) di lab Parasitologi FKIK UIN Jakarta. Telur dan larva diletakan dalam wadah yang berbeda. Larva dipisahkan dari kotoran air got menggunakan saringan dan diletakkan didalam wadah yang berisi air keran setinggi 2/3 dari tinggi wadah. Larva diberi makan berupa pelet ikan setiap 2-3 hari sekali, diberikan secukupnya untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang dapat membuat larva mati. Setelah itu, dalam waktu 3-5 hari, larva instar I tumbuh menjadi larva instar III/IV dengan panjang 4-6 cm. Larva instar III/IV inilah yang menjadi sampel penelitian ini, Sebelum dilakukannya uji pendahuluan, sampel larva instar III/IV diidentifikasi terlebih dahulu dibawah mikroskop. (Lihat lampiran 2).

3.6.2. Uji Pendahuluan

a. Uji resistensi enzim esterase dengan metode Lee.

 Jentik nyamuk instar IV awal digerus untuk dibuat homogenat.

 Dilarutkan dengan 0,5 ml larutan PBS 0,02 M.

 50 µL homogenat dipindahkan ke sumur mikroplat dengan menggunakan mikropipet.

 Setiap sumuran ditambahkan 50 µL bahan substrat α-naftil asetat dan biarkan selama 60 detik.


(32)

20

 Setiap mikroplat ditambahkan 50 µL bahan coupling reagen.

 Setelah reaksi berlangsung 10 menit, warna merah berubah menjadi biru.

 Ditambahkan 50 µL asam asetat 10% pada setiap sumuran.

 Kemudian dibaca dengan ELISA reader dengan panjang

gelombang 450 nm.

b. Uji efikasi Bti

Vectobac WG (Bti) ditimbang dengan neraca digital sebanyak 200 mg dan dicampur aquadest sebanyak 20 ml sehingga menghasilkan larutan induk sebesar 1% atau 10.000 ppm. Larutan induk diencerkan hingga menghasilkan 10 ppm. Ambil larutan tersebut dengan menggunakan mikropipet 100 µ L, 200 µ L, 400 µ L, 600 µ L, dan 800 µ L. Masing-masing ditambahkan ke dalam gelas plastik berisi aquadest sebanyak 100 ml sehingga diperoleh larutan sebesar 0.01, 0.02, 0.04, 0.06, dan 0.08 mg/L. (Lihat lampiran 2).

Pada masing-masing gelas plastik diberikan 25 ekor larva instar III/IV tanpa diberikan makan/pelet ikan. Kemudian setelah 24 jam perlakuan, dihitung jumlah larva yang mati. Larva yang sudah mati kemudian disaring dan digerus sebelum dibuang.

Sisa larva hidup yang tidak digunakan untuk pengujian, kemudian dibiarkan menjadi nyamuk dewasa untuk digunakan dalam uji bioassay rekan peneliti lainnya.

3.7. Pengumpulan dan Manajemen Data

Larva instar III/IV yang telah diberikan perlakuan, kemudian dihitung larva yang hidup dan yang mati setelah 24 jam perlakuan. Larva yang hidup ditandai dengan ciri-ciri yaitu larva bergerak ketika diberi rangsangan dengan menggunakan lidi serta aktif berenang didalam air, sedangkan larva yang telah mati adalah larva yang tidak bergerak ketika diberi rangsangan dan tenggelam di dasar gelas plastik.


(33)

Jumlah larva yang mati dihitung dan dicatat untuk setiap perlakuan. Pengulangan dilakukan sebanyak 4 kali untuk setiap perlakuan serta kontrol. Data yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam program excel dan diolah serta dianalisis dalam program SPSS 21.0 (Lihat lampiran 2)

3.8. Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis menggunakan analisis Probit untuk menentukan efikasi larvasida terhadap kematian larva nyamuk yang dinyatakan dengan nilai konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% dan 90% (LC50 dan LC90).

Selain itu juga dilakukan uji parametrik One Way ANOVA untuk melihat pengaruh perlakuan antar kelompok terhadap kematian larva, dan regresi linier untuk mengukur derajat hubungan antara konsentrasi larvasida (X) dan kematian larva (Y), yang dinyatakan dengan nilai persentase dari r2 (sebagai koefisien korelasi).35

3.9. Alur Penelitian

Penelitian menggunakan 5 kelompok perlakuan yang diberikan larvasida Bti dan 1 kelompok kontrol tanpa diberikan larvasida tersebut. Pengulangan dilakukan sebanyak 4 kali. Berikut ini adalah alur penelitiannya:


(34)

22

Alur Penelitian Telur dan larva yang.

diambil dari got

Larva Culex quinquefasciatus instar

III/IV (panjang 5-6 mm) dipindahkan dalam gelas plastik

Masing-masing kelompok berisi 25 larva Culex

quinquefasciatus

Kelompok 1: Larvasida Bti 0% Kelompok 2: Larvasida Bti 0.01 mg/L Kelompok 3: Larvasida Bti 0.02 mg/L Kelompok 4: Larvasida Bti 0.04 mg/L Kelompok 5: Larvasida Bti 0.06 mg/L Kelompok 6: Larvasida Bti 0.08 mg/L

Rearing larva di laboratorium

Pengulangan percobaan sebanyak 4 kali di setiap

konsentrasinya

Analisis Probit Analisis Data Dihitung jumlah larva yang

mati setiap 24 jamnya Perlakuan selama 24 jam dalam air yang telah diberi

larvasida dalam berbagai konsentrasi

Regresi Linier Uji One Way

ANOVA

Menentukan lethal concentration (LC 50%

dan LC 90%)

Laporan Penelitian


(35)

23

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Uji Pendahuluan

Pada uji pendahuluan digunakan 6 konsentrasi yaitu 0, 0.01, 0.02, 0.04, 0.06,dan 0.08 mg/L dengan 4 kali pengulangan. Hasil kematian larva setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Jumlah kematian larva Cx.quinquefasciatus pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan.

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada konsentrasi 0.01 mg/L telah dapat mematikan larva hampir 50% dari jumlah larva. Sehingga angka ini menjadi dasar untuk uji utama. Sedangkan pada konsentrasi 0.04, 0.06, dan 0.08 mg/L sudah dapat mematikan seluruh jumlah larva. Oleh karena itu, pada uji utama ditentukan 2 konsentrasi yang berada dibawah 0.01 mg/L yaitu 0.0025, dan 0.005 mg/L, dan 2 konsentrasi yang berada diatasnya yaitu 0.02 dan 0.04 mg/L.

4.1.2 Uji Resistensi dengan metode Lee

Untuk menentukan apakah sampel uji sudah mengalami resistensi, maka dilakukan uji resistensi dengan metode Lee terhadap mekanisme aktivitas enzim kolinesterase dalam tubuh larva nyamuk, didapatkan hasil sebagai berikut. (Lihat lampiran 2).

Konsentrasi

Jumlah kematian larva setelah 24 jam

pada ulangan ke Rata-rata jumlah kematian

Persentase kematian

larva I II III IV

0 mg/L

(kontrol) 0 0 0 0 0

0% 0.01 mg/L 11 13 12 13 12.25 49% 0.02 mg/L 18 20 20 18 19 76% 0.04 mg/L 25 25 25 25 25 100% 0.06 mg/L 25 25 25 25 25 100% 0.08 mg/L 25 25 25 25 25 100%

Kematian larva 100%


(36)

24

Tabel 4.2 Hasil uji esterase pada larva instar IV Culex quinquefasciatus.

Nilai AV pada sumur ke-

1 2 3 4 5

F 1.257 1.483 1.508 1.333 1.240

G 1.311 1.479 1.369 1.347 1.310

Rata – rata nilai AV data diatas dengan ELISA adalah 1364 dan 1.363. Menurut Lee, 1990, nilai tersebut dikategorikan bersifat sangat resisten.36

 0 – 0,7 = sangat peka.

 0,7 – 0,9 = resisten sedang.

 > 0,9 = sangat resisten.

4.1.3 Uji bioassay larvasida Bti

Hasil kematian larva setelah 24 jam perlakuan pada uji utama dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji utama.

Prinsip dasar uji bioassay adalah pemaparan larva nyamuk dalam batas perlakuan yang menggunakan konsentrasi dan waktu standar dengan menggunakan insektisida yang dapat melumpuhkan larva nyamuk, kemudian mencatat kelumpuhan dan kematian larva nyamuk di akhir pemaparan dan pada akhir periode pemulihan (recovering time) selama 24 jam.34

Konsentrasi

Jumlah kematian larva setelah 24 jam

pada ulangan ke Rata-rata jumlah kematian

Persentase kematian larva I II III IV

0 mg/L

(kontrol) 0 0 0 0 0

0%

0.0025 mg/L 4 7 5 4 5 20%

0.005 mg/L 8 9 9 10 9 36%

0.01 mg/L 12 14 12 13 12.75 51% 0.02 mg/L 17 21 20 19 19.25 77% 0.04 mg/L 25 25 24 25 24.75 99%


(37)

Pengamatan jumlah larva nyamuk yang mati dihitung setelah 24 jam dan bila persentase kematian pada kelompok kontrol berkisar 5-20%, maka untuk faktor koreksi digunakan rumus Abbott:34

% kematian nyamuk uji - % kematian kontrol x 100% 100 - % kematian kontrol

Apabila kematian pada kontrol diatas 20% maka uji tersebut dinyatakan gagal dan harus mengulang kembali percobaan.34

Pada tabel 4.3 diatas didapatkan bahwa pada konsentrasi 0 mg/L (kontrol) tidak ditemukan kematian larva. Hal ini menyatakan bahwa kondisi larva dalam keadaan baik dan dapat menyingkirkan adanya kemungkinan faktor lain atau faktor perancu yang menyebabkan kematian larva pada kelompok perlakuan.

Hasil uji pada kelompok perlakuan larvasida didapatkan kematian terendah terdapat pada konsentrasi 0.0025 mg/L dengan persentase kematian larva sebesar 20%, sedangkan kematian tertinggi terdapat pada konsentrasi 0.04 mg/L dengan persentase kematian larva sebesar 99%. Hasil ini sama dengan hasil uji pendahuluan pada tabel 4.1 di atas. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi semakin banyak larva yang mati. Hal ini tergambar dalam grafik di bawah ini. Grafik 4.1 Hubungan antara konsenterasi larvasida Btidengan persentase jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus

0 % 20 % 36 % 51 % 77 % 99 % 0 20 40 60 80 100 120

0 0,0025 0,005 0,01 0,02 0,04

P e rsent a se ju m la h ke m a ti a n la rb a ( % )


(38)

26

4.2. Analisis Data

4.2.1 Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi data penelitian. Data yang baik untuk digunakan dalam penelitian adalah data yang berdistribusi normal. Hal ini juga merupakan salah satu syarat untuk dapat dilakukannya uji One Way ANOVA. Dari hasil uji normalitas Shapiro-Wilk didapatkan nilai p>0.05. Hal ini menunjukan bahwa distribusi data normal.

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas

Statistic df Sig. kematian .926 24 .078

4.2.2. Uji One Way ANOVA

Syarat lain untuk dilakukannya uji One Way ANOVA adalah varians data homogen. Pada uji variasi data, didapatkan nilai p sebesar 0.082. Hal ini menunjukan bahwa nilai p>0.05 yang artinya varians data penelitian ini homogen. Hasil dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini.

Tabel 4.5 Hasil Uji Variasi Data

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2358 5 18 .082

Berdasarkan hasil sebelumnya bahwa data yang diperoleh berdistribusi normal dan varians data homogen, maka kedua syarat One Way ANOVA terpenuhi. Uji One Way ANOVA dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan dan antar kelompok perlakuan terhadap kematian larva.


(39)

Tabel 4.6 Hasil Uji One Way ANOVA

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

Between groups 1669.708 5 333.942 296.837 .000 Within groups 20.250 18 1.125

Total 1689.958 23

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa nilai p<0.05 yaitu 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara konsenterasi larvasida Bti terhadap jumlah kematian larva instar III/IV. Interpretasi dari analisa tersebut menunjukkan adanya pengaruh larvasida

terhadap kematian larva, dan perbedaan konsentrasi larvasida

menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap jumlah kematian larva.

4.2.3 Uji Least Significance Difference (LSD)

Pada uji One Way ANOVA diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui kelompok mana yang terdapat perbedaan yang signifikan, maka dilakukan post hoc test yaitu uji Least Significance Difference (LSD). Didapatkan hasil bahwa pada semua kelompok terdapat perbedaan yang signifikan. Lihat lampiran 1.

4.2.4. Analisa Regresi Linier

Uji ini dilakukan untuk mengukur derajat hubungan antara konsentrasi larvasida (X) dan kematian larva (Y), yang dinyatakan dengan nilai persentase dari r2 (sebagai koefisien korelasi).

Tabel 4.7 Hasil Uji Regresi Linier Regression Statistics

Multiple R 0.940721 R Square 0.884957 Adjusted R Square 0.856196 Standard Error 0.005701


(40)

28

Berdasarkan nilai R2 sebesar 0.885 maka nilai r didapatkan 0.9407, dimana nilai tersebut diantara nilai 0.8-1, yang dikategorikan bahwa hubungan antara variabel independen (konsentrasi Bti) dan variabel dependen (kematian larva instar III/IV) sangat kuat. Hal ini menyatakan bahwa konsentrasi larvasida sangat kuat berpengaruh terhadap kematian larva nyamuk tersebut.

Grafik 4.2 Hasil regresi linier konsenterasi larvasida Bti terhadap jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus

4.2.5 Analisa Probit

Analisa Probit ditujukan untuk menentukan efikasi larvasida terhadap kematian larva nyamuk yang dinyatakan dengan nilai konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% dan 90% yang dinyatakan dengan nilai LC 50% dan LC90%.

Dari hasil uji probit (lihat lampiran 1), didapatkan bahwa konsentrasi yang dapat mematikan 50% larva adalah 0.012 mg/L dengan interval antara 0.010 mg/L dan 0.013 mg/L. Sedangkan konsentrasi yang dapat mematikan 90% larva adalah 0.024 mg/L dengan interval antara. 0.022 mg/L dan 0.028 mg/L.

y = 571,71x + 4,4071 R² = 0,885

0 5 10 15 20 25 30

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05

K e m a ti a n l a rv a Cu le x q u in q u e fa sc ia tu s


(41)

4.3 Pembahasan

Hasil bioassay dan analisa deskriptif menunjukkan persentase kematian 50% larva instar III/IV pada konsentrasi 0,012 mg/L dan kematian larva 90% terdapat pada konsentrasi 0.024 mg/L. Menurut WHO, larvasida dikatakan efektif jika dapat membunuh larva sebesar 10-95% dari total larva uji. Pada penelitian ini didapatkan bahwa Bti efektif membunuh jentik nyamuk tersebut pada nilai interval LC50 sebesar

0.010-0.013 mg/L dan interval LC 90 sebesar 0.022-0.028 mg/L.5,34

Pada penelitian Russell et al. (2003) dengan menggunakan Bti formulasi granul yang diujikan pada larva instar III dari 6 spesies larva yang berbeda yaitu Aedes aegypti, Ochlerotatus vigilax, Ochlerotatus notoscriptus, Culex sitiens, Culex annulirostris dan Culex quinquefasciatus didapatkan bahwa Culex annulirostris dan Culex quinquefasciatus merupakan spesies larva yang paling sensitif terhadap Bti formulasi granul dibandingkan spesies lainnya dengan LC 95 sebesar 0.019 mg/L.37 Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian ini yang juga menggunakan formulasi granul. Ketika granul mengendap dibawah permukaan air dan perilaku larva Culex memakan makanannya di bawah permukaan air maka semakin banyak toksin Bti yang dapat memasuki tubuh larva tersebut.38

Kristal protein dan spora yang diproduksi oleh Bti merupakan toksin yang akan larut dan aktif dalam suasana basa usus larva. Ikatan antara toksin dengan reseptor cadherin menyebabkan rusaknya mikrovili usus, sel kolumnar, sel goblet serta lisisnya sel epitel lainnya, yang berujung pada kematian larva.8,39 Pada menit awal setelah pemaparan, larva bergerak lemah ketika berenang dan pada akhirnya mengambang di permukaan air tidak memberikan respon, kemudian mati.

Selain menyebabkan lisis epitel, toksin ini mengakibatkan penurunan nafsu makan larva, sehingga larva menjadi tidak nafsu makan dan berhenti makan. Toksinnya juga mengakibatkan terbentuknya


(42)

pori-30

pori kecil berukuran 0,5-1 nm sehingga terjadi gangguan permeabilitas cairan. Di sisi lain, bakteri ini terus berproliferasi dalam tubuh larva sehingga larva menjadi septik. Seluruh mekanisme ini turut berperan dalam kematian larva. Tubuh larva yang mati tampak berwarna kehitaman yang dimulai dari bagian anterior hingga posterior dan membengkak akibat terganggunya tekanan osmotik cairan.8,9,39,40

Kematian larva pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor dari kondisi larva maupun faktor lingkungan. Ditinjau dari faktor kondisi larva, larva yang digunakan pada penelitian ini adalah larva instar III/IV dimana pada stadium ini, sistem pencernaan larva sudah terbentuk dengan sempurna sehingga kristal protein dan spora pada Bti dapat bekerja optimum sebagai racun perut. Oleh karena itu, Bti kurang cocok digunakan untuk larva instar I/II. Begitupun larva yang telah berubah menjadi pupa, karena pada fase tersebut, pupa tidak memerlukan makanan lagi,14 tetapi memerlukan oksigen yang didapatkan melalui

tabung pernafasan (breathing trumpet).21

Faktor lain yang meningkatkan keefektifan larvasida ini dalam membunuh larva adalah pengujian Bti dilakukan di dalam laboratorium sehingga Bti tidak terpajan langsung oleh sinar ultraviolet yang dapat merusak Bti. Bti dapat bekerja efektif pada suhu 28-32ºC dan pH 6,8-7,2. Hal ini sesuai dengan kondisi suhu dan pH yang sama di laboratorium tempat penelitian. pH lebih dari 9 dapat menyebabkan rusaknya kristal protein Bti.41,42

Nyamuk Cx. quinquefasciatus telah resisten terhadap insektisida golongan piretroid, organofosfat dan karbamat. Namun tidak resisten terhadap larvasida Bti. Bahkan suatu populasi larva yang telah diberikan Bti selama 20 generasi tidak menujukkan adanya resistensi.28 Potensi toksisitasnya pun 300 kali lebih besar daripada piretroid sintetik.9 Oleh

karena itu, kemampuannya dipakai dalam mengatasi resistensi nyamuk tersebut terhadap insektisida kimiawi.


(43)

Menurut WHO, keutamaan lain dari Bti adalah aman digunakan bagi lingkungan karena akan terurai oleh sinar ultraviolet, bersifat tidak toksik dan tidak patogen terhadap spesies bukan sasaran seperti burung, cacing, ikan dan spesies lain yang hidup di dalam air.4,12 Pada manusia, Bti yang terkontak dengan kulit, mata, terhirup, termakan atau terminum tidak berbahaya bagi kesehatan.5 Dengan demikian larvasida Bti ini sangat direkomendasikan untuk digunakan dalam program pemberantasan vektor nyamuk Cx. quinquefasciatus khususnya di daerah endemis filariasis.


(44)

32

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase kematian larva instar III/IV terendah yaitu 20% pada konsentrasi 0.0025 mg/L kematian 100% pada konsentrasi 0.04 mg/L. 2. Perbedaan konsentrasi larvasida Bti sangat berpengaruh kuat terhadap

kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV.

3. Larvasida Bti efektif membunuh larva Cx. quinquefasciatus instar III/IV dengan LC 50 sebesar 0,012 mg/L dan LC 90 sebesar 0.024 mg/L.

5.2 Saran

1. Penelitian ini dapat diteruskan dengan menggunakan Bti terhadap spesies nyamuk lain seperti Anopheles dan Aedes.

2. Penelitian lain dapat dibandingkan dengan menggunakan larvasida biologi lainnya seperti penggunaan ekstrak tanaman atau cara pengendalian biologis lain seperti penggunaan hewan air sebagai predator larva nyamuk.

3. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar melakukan pengamatan dalam beberapa rentang waktu sebelum 24 jam.

4. Penelitian ini dapat dikembangkan dari skala percobaan di


(45)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi J et al. 2010. Buletin jendela epidemiologi filariasis di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. vol 1: p.1-8.

2. Chandra B. 2009. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: EGC; p.34-35.

3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam pengendalian vector. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; p.13-66.

4. World Health Organization. 1999. Microbal pest control agent Bacillus thuringiensis. Geneva; p.1-5.

5. World Health Organization. 2004. Review of Vectobac WG, Permanet, Gokilaht-S 5EC. Geneva; p.27.

6. Cetinkaya FT. 2002. Isolation of Bacillus thuringiensis and investigation of its crystal protein genes. Turki; p.4-5.

7. Organic Soil Technology. Bacillus thuringiensis var israelensis larvae toxin. Available from: http://organicsoiltechnology.com/bacillus-thuringiensis-israelensis-bti.html [Cited 27 Agustus 2015].

8. Ibrahim MA, Griko N, Junker M, Bulla LA. 2010. Bacillus thuringiensis a genomics and proteomics perspective. Bioengineered Bugs; p.31-33.

9. Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai boinsektisida. Buletin Agrobio; 5(1): p.21-28.

10.Regis L, Oliveira CMF, Silva MH, Silva SB, Maciel A, Furtado AF. 2001. Bacteriological larvicides of dipteral disease vectors. Trends Parasitol; 17: p.377.

11.Knowles BH. 1994. Mechanism of action of Bacillus thuringiensis insecticidal delta-endotoxin. London: Academic Press; vol 24: p.276-283.

12.Glare TR, O’Callaghan M. 2000. Bacillus thuringiensis: biology, ecology and safety.


(46)

34

13.University of Michigan Museum of Zoology. Culex quinquefasciatus. Availablefrom:http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Culex_quinqu efasciatus/classification/. [Cited 9 Desember 2014].

14.Manimegalai K, Sukanya S. 2014. Biology of the filarial vector, Culex quinquefasciatus (Diptera:Culicidae). Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci. 3(4): 718-24.

15.Jupp Peter. 2013. Mosquitoes: morphology and systematic. University of Pretoria: p.1-13.

16.Prianto J. 2000. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: PT. Gramedia.

17.Gough Harrold. 2013. A culex mosquito egg raft & irritating flies. Available from: http://photomacrography.net [Cited 9 Desember 2014].

18.Hill S, Conrelly R. 2013. Southern house mosquito Culex quinquefasciatus Say. USA : Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. 19.Littig KS, Stojanovich CJ. Mosquitoes: characterictics of Anophelines and

Culicines: p.134-166.

20.Natadisastra D, Agoes R. 2005. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta: EGC.

21.Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2009. .Parasitologi kedokteran 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

22.Bryant PJ. 2008. Southern house mosquito Culex quinquefasciatus. Available from: http://nahistoc.bio.uci.edu/dipteral/culex%20quinquefasciatus.htm [Cited 21 Juli 2015].

23.New Zealand Biosecure Entomology Laboratory. 2008. Culex

quinquefasciatus. New Zealand.

24.Inadays. Available from: www.inadays.com.tr/en/mosquito-museum [Cited 21 Juli 2015].

25.Molaei G et al. 2007. Host feeding pattern of Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae) and its role in transmission of west nile virus in Harris County, Texas. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene; 77(1): p.73-81.

26.Farajollahi A, Fonseca DM, Kramer LD, Kilpatrick AM. 2011. “Bird biting”


(47)

mosquitoes in epidemiology. National Institutes of Health. Infect Genet Evol: 11(7): p.1577-1585.

27.American Mosquito Control Association. 2014. Life cycle. Available from: www.mosquito.org/life-cycle [Cited 21 Juli 2015].

28.Salaki CL, Sembiring L. 2009. Eksplorasi bakteri Bacillus thuringiensis dari berbagai habitat alami yang berpotensi sebagai agensia pengendali hayati nyamuk Aedes aegypti Linnaeus. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM; p.156-161.

29.Hudayya A, Jayanti H, Moekasan TK. Daftar dan pengelompokan pestisida yang beredar di Indonesia berdasarkan cara kerjanya. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

30.Trapsilowati W, Christina B. 2010. Partisipasi masyarakat dalam pengendalian vektor malaria menggunakan Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal di Banjarnegara, Jawa Tengah. Media Litbang Kesehatan. Vol XX No.1; p. 26-32.

31.Christina B, Widyastuti U. 2013. Efekstivitas Bacillus thuringiensis H-14 strain local dalam buah kelapa terhadap larva Anopheles sp. dan Culex sp. di Kampung Laut kabupaten Cilacap. Media Litbangkes. Vol 23 No. 2; p.58-64. 32.Anggraeni YM, Christina B, Wianto R. 2013. Uji daya bunuh ekstrak kristal

endotoksin Bacillus thuringiensis israelensis (H-14) terhadap jentik Aedes aegypti, Anopheles aconitus dan Culex quinquefasciatus. Jurnal Sain Veteriner; 31(1): p.35-42.

33.Sudigdo I. 2002. Dasar-dasar metodologi dalam penelitian klinis. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 34.WHO. 2005. Guidelines for laboratory and field testing for mosquito

larvicides.

35.Dahlan Sopiyudin. 2009. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan 4th ed. Jakarta: Salemba Medika.

36.Lee HL. 1990. A Rapid and simple biochemical method for the detection of insecticide due to elevate esterase activity in Culex quinquefasciatus. Trop Biomed.


(48)

36

37.Russell TL, Brown MD, Purdie DM, Ryan PA, Kay BH. 2003. Efficacy of Vectobac (Bacillus thuringiensis variety israelensis) formulations for mosquito control in Australia. J Econ Entomol; 96(6): p.1786-91.

38.Raoska WA, Hopkins TL. 1981. Effects of mosquitoes larval feeding behavior on Bacillus sphaericus. J invert Pathol; 37: p.269.

39.Gama ZP, Yanuwiadi B, Kurniati TH. 2010. Strategi pemberantasan nyamuk aman lingkungan: potensi Bacillus thuringiensis isolat Madura sebagai musuh alami nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. Vol 1 No. 1; p.1-10.

40.Lopes J, Arantes O, Cenci MA. 2010. Evaluation of new formulation of Bacillus thuringiensis israelensis. Braz J Biol; p.1109-1110.

41.Achille GN, Christophe HS, Yilian L. 2010. Effect of Bacillus thuringiensis var. israelesnsis (H-14) on Culex, Aedes and Anopheles larvae. Stem Cell; 1(1): p.60-68.

42.Lepe MR, Suero MR. 2012. Biological control of mosquito larvae by Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Insecticides-Pest Engineering; 11: p.239-264.


(49)

Lampiran 1 Hasil Analisa Data

Percent Percentile

95.0% Fiducial CI

Lower Upper

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 70 80 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 99.9 -0.0117912 -0.0090591 -0.0073256 -0.0060216 -0.0049609 -0.0040580 -0.0032664 -0.0025576 -0.0019130 -0.0013196 0.0030897 0.0062690 0.0089857 0.0115249 0.0140641 0.0167808 0.0199602 0.0243695 0.0249628 0.0256075 0.0263162 0.0271079 0.0280107 0.0290714 0.0303754 0.0321089 0.0348411 0.0424972 -0.0159783 -0.0127439 -0.0106968 -0.0091602 -0.0079129 -0.0068536 -0.0059267 -0.0050987 -0.0043473 -0.0036573 0.0013975 0.0049046 0.0077478 0.0102595 0.0126564 0.0151378 0.0179789 0.0218599 0.0223790 0.0229423 0.0235609 0.0242511 0.0250374 0.0259602 0.0270932 0.0285975 0.0309647 0.0375826 -0.0087189 -0.0063388 -0.0048237 -0.0036806 -0.0027481 -0.0019522 -0.0012523 -0.0006238 -0.0000505 0.0004789 0.0044850 0.0075114 0.0102508 0.0129571 0.0157782 0.0188794 0.0225718 0.0277517 0.0284520 0.0292134 0.0300513 0.0309878 0.0320568 0.0333138 0.0348605 0.0369184 0.0401657 0.0492809


(50)

38

Multiple Comparisons

Dependent Variable: kematian LSD

(I) konsentrasi (J) konsentrasi Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

.0000

.0025 -5.000-* .750 .000 -6.58- -3.42-

.0050 -9.000-* .750 .000 -10.58- -7.42-

.0100 -12.750-* .750 .000 -14.33- -11.17-

.0200 -19.250-* .750 .000 -20.83- -17.67-

.0400 -24.750-* .750 .000 -26.33- -23.17-

.0025

.0000 5.000* .750 .000 3.42 6.58

.0050 -4.000-* .750 .000 -5.58- -2.42-

.0100 -7.750-* .750 .000 -9.33- -6.17-

.0200 -14.250-* .750 .000 -15.83- -12.67-

.0400 -19.750-* .750 .000 -21.33- -18.17-

.0050

.0000 9.000* .750 .000 7.42 10.58

.0025 4.000* .750 .000 2.42 5.58

.0100 -3.750-* .750 .000 -5.33- -2.17-

.0200 -10.250-* .750 .000 -11.83- -8.67-

.0400 -15.750-* .750 .000 -17.33- -14.17-

.0100

.0000 12.750* .750 .000 11.17 14.33

.0025 7.750* .750 .000 6.17 9.33

.0050 3.750* .750 .000 2.17 5.33

.0200 -6.500-* .750 .000 -8.08- -4.92-

.0400 -12.000-* .750 .000 -13.58- -10.42-

.0200

.0000 19.250* .750 .000 17.67 20.83

.0025 14.250* .750 .000 12.67 15.83

.0050 10.250* .750 .000 8.67 11.83

.0100 6.500* .750 .000 4.92 8.08

.0400 -5.500-* .750 .000 -7.08- -3.92-

.0400

.0000 24.750* .750 .000 23.17 26.33

.0025 19.750* .750 .000 18.17 21.33

.0050 15.750* .750 .000 14.17 17.33

.0100 12.000* .750 .000 10.42 13.58

.0200 5.500* .750 .000 3.92 7.08


(51)

Lampiran 2 Foto-foto hasil kegiatan penelitian

Wadah tempat larva hidup

Rearing nyamuk di dalam kandang nyamuk Pemberian makan nyamuk dengan air

gula dan vitamin

Alat-alat yang digunakan dalam uji larvasida Bti terhadap larva

Vectobac WG (zat aktif: Bacillus thuringiensis israelesis)

Formulasi granul Bacillus thuringiensis israelesis


(52)

40

Mikropipet 100 µl dan 1000 µl Granul Bti ditimbang dengan

neraca digital

Pemberian makan larva berupa pelet ikan

Pengenceran larvasida menjadi 10.000 ppm dan 10 ppm

Uji Pendahuluan dengan berbagai konsentrasi larvasida Pembuatan konsentrasi larvasida


(53)

Bahan untuk uji resistensi enzim esterase larva nyamuk Cx. quinquefasciatus Pengukuran pH air wadah tempat

larva hidup

Uji Utama dengan berbagai konsentrasi larvasida

Temperatur ruangan 28ºC

Air conditioner untuk mengatur suhu ruangan tempat nyamuk hidup


(54)

42

Sumur dalam uji resistensi enzim esterase larva nyamuk Cx. quinquefasciatus

Hasil ELISA Reader

Pengambilan sampel larva dengan menggunakan saringan di got Got tempat pengambilan sampel


(55)

Pengukuran panjang larva instar III Sampel larva instar III/IV

Pupa Cx. quinquefasciatus Laboratorium nyamuk

Telur Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah mikroskop

Larva instar I Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah


(56)

44

Nyamuk jantan Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop Nyamuk betina Cx. quinquefasciatus

yang diidentifikasi dibawah mikroskop

Larva instar II Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Larva instar III Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Larva instar IV Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Pupa Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah mikroskop


(57)

Lampiran 3 Riwayat Penulis

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PERSONAL DATA

Nama : Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir: Tangerang, 24 Juli 1994

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Dewi Sartika Gg. Masjid Ar Riyadh No 22 Rt 01

Rw 004 Ciputat 15411

No Telepon/HP : 085692026161/ 08123262233

Email : miaelqowiyya94@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1998 - 2000 : TK Cendrawasih Ciputat

2000 - 2006 : MI Pembangunan UIN Jakarta

2006 - 2009 : MTs Pembangunan UIN Jakarta

2009 - 2012 : SMA Negeri 34 Jakarta

2012 - Sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas


(1)

Mikropipet 100 µl dan 1000 µl Granul Bti ditimbang dengan

neraca digital

Pemberian makan larva berupa pelet ikan

Pengenceran larvasida menjadi 10.000 ppm dan 10 ppm

Uji Pendahuluan dengan berbagai konsentrasi larvasida Pembuatan konsentrasi larvasida


(2)

Bahan untuk uji resistensi enzim esterase larva nyamuk Cx. quinquefasciatus Pengukuran pH air wadah tempat

larva hidup

Uji Utama dengan berbagai konsentrasi larvasida

Temperatur ruangan 28ºC

Air conditioner untuk mengatur suhu ruangan tempat nyamuk hidup


(3)

Sumur dalam uji resistensi enzim esterase larva nyamuk Cx. quinquefasciatus

Hasil ELISA Reader

Pengambilan sampel larva dengan menggunakan saringan di got Got tempat pengambilan sampel


(4)

Pengukuran panjang larva instar III Sampel larva instar III/IV Pupa Cx. quinquefasciatus Laboratorium nyamuk

Telur Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah mikroskop

Larva instar I Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah


(5)

Nyamuk jantan Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop Nyamuk betina Cx. quinquefasciatus

yang diidentifikasi dibawah mikroskop

Larva instar II Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Larva instar III Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Larva instar IV Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Pupa Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah mikroskop


(6)

Nama : Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir: Tangerang, 24 Juli 1994

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Dewi Sartika Gg. Masjid Ar Riyadh No 22 Rt 01 Rw 004 Ciputat 15411

No Telepon/HP : 085692026161/ 08123262233

Email : miaelqowiyya94@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1998 - 2000 : TK Cendrawasih Ciputat 2000 - 2006 : MI Pembangunan UIN Jakarta 2006 - 2009 : MTs Pembangunan UIN Jakarta 2009 - 2012 : SMA Negeri 34 Jakarta

2012 - Sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta