Studi Pengaruh Korona Terhadap Surja Tegangan Lebih Pada Saluran Transmisi 275 Kv

(1)

80

Daftar Pustaka

[ 1 ] Tobing, B. L. 2012. Dasar-Dasar Teknik Pengujian Tegangan Tinggi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

[ 2 ] Arismunandar, artono. Teknik tegangan tinggi. 2001. PT Pradnya Paramita [ 3 ] Gonen, Turan, Electric Power Transmission System Engineering :

Analysis & Design, John Wiley and Sons, Inc Toronto, 1988

[ 4 ] Boonseng,C., Kinnares, V. Harmonic Analysis of Corona Discharge Ozone Generator Using Brush Electrode Configuration. 2000. King Monkut’s Institute of Technology Ladkrabang

[ 5 ] Peek, FW. (2007). Dielectric Phenomena in High Voltage Engineering. 1st Edn., Gallaher Press, ISBN: 1406783374

[ 6 ] CIGRE, 1991. Guide to procedures for estimating the lightning performance of transmission lines. CIGRE Brochure, pp: 63

[ 7 ] Skilling, H.H. and P.K. Dykes, 1954. Distortion of traveling waves by corona. AIEE Trans. Power Applied Syst, 73: 196-210

[ 8 ] Kiessling, F. Nefzger, P. Nolasco, J.F. Kaintzyk, U. (2003) Overhead Power Lines : Plannig Design Construction. Berlin: Springer

[ 9 ] Ab Kadir,M,Z,A. (2008). “The Importance of Corona Effect in Lightning Surge Propagation Studies” , Journal of Applied Sciences 8.

[ 10 ] Hutauruk, T.S, Gelombang Berjalan Dan Proteksi Surja, Erlangga,: Jakarta, 1991.

[ 11 ] Begamudre, R.D., Extra High Voltage A.C.Transmission Engineering, Wiley Eastern Limited, New Delhi, 1987.


(2)

43

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Umum

Metode penelitian ini merupakan suatu cara yang harus ditempuh dalam kegiatan penelitian agar pengetahuan yang akan dicapai dari suatu penelitian dapat memenuhi harga ilmiah. Dengan demikian penyusunan metode ini dimaksudkan agar peneliti dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian ini mencakup beberapa hal yang masing-masing menentukan keberhasilan pelaksanaan penelitian guna menjawab permasalahan guna disampaikan dalam penelitian, langkah-langkah yang telah ditetapkan adalah penetapan tempat dan waktu penelitian, prosedur dan pelaksanaan penelitian, sertavariabel yang dianalisis.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilaksanakan di jaringan Tranmisi 275 KV dari Gardu Induk Binjai yang terhubung dengan Gardu Induk Pangkalan Susu. Penelitian ini akan dilaksanakan setelah proposal diseminarkan dan disetujui. Penelitan dilaksanakan selama dua bulan dimulai pada bulan Juni hingga bulan Agustus 2015.

3.3 Data dan Peralatan

Adapun bahan-bahan yang akan digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah data penyaluran jaringan transmisi Gardu Induk Binjai yang terhubung dengan Gardu Induk Pangkalan Susu. Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah software ATPDraw sebagai simulator.


(3)

44 3.4 Variabel yang diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :

a. Profil Tegangan Puncak akibat gangguan impuls petir pada jaringan transmisi 275 kV.

b. Profil peredaman Tegangan Puncak gangguan impuls petir pada jaringan transmisi 275 kV setelah diberi pemodelan korona.


(4)

45 3.5 Prosedur Penelitian

Berdasarkan diagram alir flowchart, teknik penelitian, perhitungan dan pengolahan dapat dilihat pada Gambar 3.1dibawah ini :

Mulai

Membuat One Line Diagram Studi Literatur

Pengambilan Data

Yes

Yes Yes Yes

Yes Yes

NO

NO NO NO

Tanpa Efek Korona Dengan Adanya Efek Korona Tinggi Konduktor (h) Kekasaran Permukaan Konduktor (m) Karakteristik Waktu Petir (t)

Panjang Saluran (L) NO Parameter Analisis SELESAI Jalankan Simulasi ATPDraw Memasukan Data Menampilkan Profil Tegangan (V) dan Waktu Puncak Akibat

Redaman (T) Simulasi Lainnya YES NO Analisa Perhitungan NO


(5)

46 3.6 Pelaksanaan Penelitan

Secara garis besar yang akan dilakukan selama penelitian adalah pengambilan dan pengumpulan data yang diperlukan, melakukan simulasi perhitungan dengan menggunakan program komputer, dan melakukan simulasi lainnya dengan parameter-parameter yang divariasikan sesuai standar.

3.6.1 ProsesPengambilan Data

Data yang dibutuhkan diambil dari P.T. PLN (Persero). Berikut merupakan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian:

a. Rating Tegangan Nominal Transmisi b. Tipe dan Ukuran Konduktor

c. Diameter Konduktor d. Jumlah konduktor Berkas e. Panjang Saluran

f. Tinggi konduktor dari atas tanah

3.6.2 Proses Analisa Data

Setelah data diperoleh, selanjutnya dibuat one-line diagram pada software ATPDraw sesuai dengan jaringan transmisi 275 KV yang diteliti.

1. Memasukkan data

Data-data yang dibutuhkan untuk melakukan pengaturan tegangan dimasukkan sesuai dengan kondisi sistem tenaga listrik yang diteliti setelah one-line diagram selesai dibuat. Data-data yang dibutuhkan tersebut telah diuraikan pada poin ”pengambilan data” di atas.


(6)

47 2. Menjalankan simulasi

Simulasi pada softwareATPDraw dapat dijalankan dengan terlebih dahulu melakukan proses drawing pada lembar kerja. Komponen-komponen elektronika dan impuls generator seperti diode, kapasitor, resistor dan ground dapat diperoleh pada tools yang disedikan oleh ATPDraw.

3. Menampilkan hasil

Hasil yang diharapkan dari simulasi menggunakan software ATPDraw untuk penurunan nilai profil tegangan puncak akibat adanya

sambaran petir di tranmsisi 275 kV akan ditampilkan dalam bentuk grafik dan juga dalam bentuk tabel.


(7)

48

BAB IV

ANALISIS PEMODELAN KORONA PADA SALURAN

TRANSMISI YANG MENGALAMI SURJA

TEGANGAN LEBIH PETIR

4.1 Saluran Transmisi 275 kV Tanpa Pengaruh Korona

Gambar 4.1 Pemodelan saluran transmisi tanpa korona

Sebuah saluran transmisi kawat telanjang maupun saluran transmisi berisolasi kabel dapat direpresentasikan sebagai sebuah konstanta – konstanta terpisah seperti yang ditunjukan oleh Gambar 4.1. Parameter Transmisi seperti resistansi, induktansi, dan kapasitansi secara seragam dan merata di distribusikan di sepanjang saluran transmisi. Pada gambar diatas Ls merepresentasikan induktansi saluran, sedangkan Resistor (Rs) dan Kapasitor (Cs) masing-masing merepresentasikan energi yang hilang akibat korona dan besarnya kapasitansi saluran. Setiap titik percabangan dapat diberikan probe Voltage (V) seperti yang ditunjukan oleh Gambar 4.1. Probe V tersebut berfungsi untuk mengukur nilai tegangan terhadap perubahan waktu (µs) untuk masing-masing titik yang ingin diketahui. Proses drawing dan simulasi pemodelan korona diatas digunakan softwere ATPDraw dengan surja petir dianggap bernilai 800 kV.


(8)

49 4.2 Saluran Transmisi 275 kV Dengan Pengaruh Korona

Gambar 4.2 Pemodelan saluran transmisi dengan korona

Pada pemodelan saluran transmisi dengan korona, terdapat komponen tambahan lainnya seperti yang tertera pada Gambar 4.2. Komponen tambahan yang dimaksud adalah berupa dioda dan sumber tegangan DC. Dioda merepresentasikan komponen penahan sumber tegangan DC dalam keadaan transient. Sementara sumber tegangan DC merepresentasikan tegangan awal terjadinya korona. Menurut Carneiro and Marti (1991) pemodelan korona akan mendekati nilai nyatanya bila pembagian segment korona pada saluran berjarak 50-100 m. Setiap 100 m diinputkan rangkaian yang merupakan reperesentasi dari korona, setiap segmentnya dirangkai seri hingga panjang saluran sesuai dengan panjang GI Pangkalan Susu menuju GI Binjai.

4.3 Data Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 275 kV

Saluran Transmisi 275 kV Pangkalan Susu – Binjai merupakan bagian dari sistem interkoneksi sistem kelistrikan Sumatera. Transmisi ini menggunakan tipe saluran ganda (double circuit) dan 2 berkas subkonduktor ACSR Zebra. Berikut adalah data-data spesifikasi menara dan konduktor Saluran Udara Tegangan


(9)

50 Ekstra Tinggi (SUTET) 275 kV yang diperoleh dari TRAGI PLN Binjai dan kemudian akan digunakan dalam pemodelan.

4.3.1 Menara Transmisi

Salah satu unit pendukung utama saluran transmisi hantaran udara (OHL) adalah menara transmisi. Menara transmisi yang didesain harus mampu menopang berat konduktor transmisi pada ketinggian yang aman dari tanah. Menara transmisi yang digunakan pada OHL Pangkalan Susu-Binjai adalah menara Lattice Tower tipe AA, dengan jumlah menara yang menopang saluan transmisi

sepanjang 69.9 km adalah sejumlah 217 set menara. Menara lattice tower ini disusun oleh material baja dengan bentuk persegi yang banyak digunakan untuk tipe saluran transmisi double circuit. Konstruksi dari menara yang digunakan pada saluran transmisi 275 kV Pangkalan Susu-Binjai dapat dilihat pada Gambar 4.3 dibawah ini.


(10)

51


(11)

52 Sesuai dengan keadaan gemoteris lintasan saluran transmisi yang permukaaan tanahnya tidak selamanya rata dan cenderung bergelombang, maka tinggi rata rata kawat konduktor diatas tanah adalah sebagai berikut :

= − 2

3 (4.1)

dimana,

h = tinggi rata-rata kawat diatas tanah (m) ht = tinggi kawat pada menara (m)

dari persamaan diatas dapat ditentukan tinggi rata-rata konduktor masing-masing dari atas permukaan tanah.

a) Kawat fasa T

= −2

3 = 46.4− 2

37.5 = 41.4

b) Kawat fasa S

= −2

3 = 38.95− 2

37.5 = 33.95

c) Kawat fasa R

= −2

3 = 31.5− 2

37.5 = 26.5

4.3.2 Konduktor Transmisi

Berikut adalah data konduktor saluran transmisi yang digunakan sebagai penghantar arus listrik dari GI Pangkalan Susu menuju GI Binjai.


(12)

53 Tabel 4.1 Data Konduktor Transmisi SUTET 275 kV Pangkalan Susu-Binjai

Tipe Konduktor ACSR Zebra

Jumlah Al/St 54/7

KHA 943 A

Resistansi 0.06494 Ω/km

Tipe Saluran Double Circuit

Jarak Antar Berkas 26 cm

Diameter 2.86 cm

Luas Al 434.3 mm2

Luas St 56.3 mm2

Andongan 7.5m

4.4 Analisa Data dan Simulasi

4.4.1 Analisa Pengaruh adanya Korona Pada Saluran Transmisi

Korona memiliki peran penting dalam menentukan studi distorsi dan atenuasi pada tegangan lebih yang merambat sepanjang saluran transmisi. Analisa pemodelan simulasi saluran transmisi terhadap pengaruh efek korona dimulai dengan penentuan besar nilai tesistansi, induktasi, dan kapasitansi serta tegangan awalan korona (inception Voltage). Berikut perhitungan secara manual yang dilakukan untuk mendapatkan nilai parameter-parameter tersebut.

Konduktor Zebra , fasa T, A = 26 cm , H = 41.4 m

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.43 1 + 2 2−1 1.43

2 26


(13)

54 Menghitung nilai induktansi saluran :

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 41.4

0.0189= 1.537 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

−9

18 ln2

= 10

−9

18 ln2 (41.4)

0.02438

= 6 10−12 /

Menghitung nilai medan kritis korona :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 29.32 /

Menghitung tegangan awal korona:

= 60


(14)

55

= ln2

= 2.438 29.32 ln2 41.4

0.02438 = 581.179

Menghitung surge impedance :

= � = 1.537

6 10−12 = 506.12 Ω

Data-data tersebut dapat dikumpulkan dalam bentuk tabel guna memperjelas dan mempermudah proses penelitian yang dilakukan.

Tabel 4.2 Paramater Saluran Transmisi 275 kV Pangkalan Susu-Binjai Tipe Konduktor (mm) Zebra (435/55)

Radius (cm) 1.43

Tinggi Fasa Terganggu (m) 41.4

Resistansi (Ω/km) 0.06494

Induktansi (µH/m) 1.537

Kapasitansi (pF/m) 0.006

Medan Kritis (kV/cm) 29.32

Inception Voltage (kV) 581.179

Dari perolehan data-data diatas, maka dapat dilakukan proses penginputan nilai masing-masing parameter yang dibutuhkan kedalam softwere ATPDraw


(15)

56 untuk kemudian diolah dan dianalisa oleh softwere, sehingga memberikan output berupa grafik dua dimensi seperti gambar dibawah ini.

Gambar 4.4 Kurva respon saluran terhadap surja petir Tabel 4.3 Hasil simulasi respon saluran terhadap surja petir

Dari grafik dan tabel diatas terlihat bahwa tegangan puncak saluran mengalami peredaman akibat adanya efek korona sepanjang saluran transmisi. Gelombang surja normal dengan tegangan puncak 800 kV mengalami redaman sebesar 18.29% akibat pengaruh yang diberikan oleh pertiwa korona, sehingga tegangan surja setelah mengalami redaman adalah sebesar 653.61 kV. Hal ini terjadi dikarenakan tegangan serta energi dari surja tersebut sebagian besarnya

Parameter V Peak (kV) Redaman (kV)

Redaman (%)

Waktu muka (µs)

Surja Petir 800 - - 1.2

Ada korona 653.61 146.39 18.29 14.2


(16)

57 diubah menjadi energi cahaya, energi bunyi berisik, serta rugi-rugi sepanjang transmisi atau yang kita sebut dengan rugi-rugi korona.

Hubungan korona terhadap waktu muka juga dapat dilihat pada grafik hasil simulasi diatas. Adanya korona pada saluran transmisi ternyata akan mengubah waktu muka surja dari keadaan normalnya. Waktu muka surja normal 1.2 µs akan bergeser menjadi 14.2 µs dengan adanya korona dan menjadi 4.2 µs bila mengabaikan korona pada saluran transmisi 275 kV Pangkalan Susu – Binjai.

4.4.2 Analisa Pengaruh Korona dengan Perubahan Ketinggian Konduktor Pada pemodelan saluran transmisi yang terdapat korona, penulis juga akan mevariasikan ketinggian konduktor dari atas permukaan tanah. Adapun variasi yang dilakukan ialah memilih dan membandingkan salah satu fasa konduktor dengan ketinggian yang berbeda-beda ketika mengalamai sambaran petir secara langsung (direct stroke).

Berikut perhitungan parameter saluran transmisi yang dilakukan secara manual :

Fasa T, Konduktor Zebra , A = 26 cm , H = 41.4 m

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.43 1 + 2 2−1 1.43

2 26


(17)

58 Menghitung nilai induktansi saluran :

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 41.4

0.0189= 1.537 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

−9

18 ln2

= 10

−9

18 ln2 (41.4)

0.02438

= 6 10−12 /

Menghitung nilai medan kritis saluran :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 29.32 /

Menghitung tegangan awal korona:

= 60


(18)

59

= ln2

= 2.438 29.32 ln2 41.4

0.02438 = 581.179

Menghitung surge impedance :

= � = 1.537

6 10−12 = 506.12 Ω

Fasa S, Konduktor Zebra , A = 26 cm , H = 33.95 m

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.43 1 + 2 2−1 1.43

2 26

= 2.438

Menghitung nilai induktansi saluran:

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 33.95


(19)

60 Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

−9

18 ln2

= 10

−9

18 ln2 (33.95)

0.02438

= 7 10−12 /

Menghitung nilai medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 29.32 /

Menghitung tegangan awal korona:

= 60

= 60 ln2

= ln2

= 2.438 29.32 ln2 33.95

0.02438 = 566.98

Menghitung surge impedance :

= � = 1.49869

7 10−12 = 447.21 Ω


(20)

61 Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.43 1 + 2 2−1 1.43

2 26

= 2.438

Menghitung nilai induktansi saluran :

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.02438 0.7788 = 0.0189

�= 2. 10−7ln 26.5

0.0189= 1.449 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

−9

18 ln2

= 10

−9

18 ln2 (26.5)

0.02438

= 7.229 10−12 /

Menghitung nilai medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3


(21)

62 Menghitung tegangan awal korona:

= 60

= 60 ln2

= ln2

= 2.438 29.32 ln2 26.5

0.02438 = 549.28

Menghitung surge impedance :

= � = 1.449

7.229 10−12 = 447.708 Ω

Data-data tersebut dapat dikumpulkan dalam bentuk tabel guna memperjelas dan mempermudah proses penelitian yang dilakukan. Dalam Tabel 4.4 terlihat bahwa ketinggian konduktor akan berpengaruh terhadap nilai kapasitasi serta induktansi saluran tersebut. Berbeda hal nya dengan induktansi, kapasitansi saluran akan meningkat nilainya bila jarak saluran tersebut kepermukaan tanah di perkecil nilainya, sementara nilai induktansi akan semakin mengecil.


(22)

63 Tabel 4.4 Hasil simulasi pengaruh korona dengan variasi ketinggian konduktor

dari atas permukaan tanah

Fasa T S R

Tinggi (m) 41.4 33.95 26.5

Kapasitansi (pF/m) 6 7 7.229

Induktansi (µH/m) 1.537 1.49869 1.449

Inception Voltage (kV) 581.179 566.98 549.28

V peak (kV) 653.61 646.11 641.79

Redaman (kV) 146.39 153.89 158.21

Redaman (%) 18.29 19.23 19.77

Waktu Muka (µs) 14.2 14.8 15

Gambar 4.5 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Tinggi Konduktor

Pada Grafik hasil simulasi diatas menjelaskan bahwa fasa R memiliki fungsi peredaman yang lebih besar dari fasa-fasa lainnya. Fasa R mampu meredam 158.21 kV tegangan surja atau sebesar 19.77% dari 800 kV tegangan surja petir. Sementara fasa S dan fasa T hanya mampu meredam tegangan surja masing-masing sebesar 19.23 % dan 18.29 %.


(23)

64 Hubungan tinggi konduktor dari permukaan tanah terhadap waktu muka gelombang surja juga dapat diperhatikan dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.5. Fasa T, dengan ketinggian 41.4 m dari atas tanah, ketika mendapat sambaran surja normal, maka waktu muka tegangan surja bergeser menjadi 14.2 µs. Berikutnya respon konduktor pada fasa S dan R dengan ketinggian masing-masing 33.95 m dan 26.5 m juga akan mengubah waktu muka surja menjadi 14.8 µs dan 15 µs.

4.4.3 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Perbedaan Kekasaran Permukaan Konduktor

Faktor lain yang juga diperhitungkan dalam studi atenuasi gelombang surja akibat korona adalah kondisi kekasaran permukaan konduktor yang digunakan. Variasi konstanta kekasaran permukaan konduktor (m) yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah 0.2, 0.4, 0.6, dan 0.8. Dengan menggunakan konduktor ACSR Zebra dan tinggi konduktor fasa T sebesar 41.4 m dari atas permukaan tanah, maka nilai resitansi, induktansi dan kapasitansi saluran akan tetap bernilai sama dengan analisa sebelumnya. Variasi kekasaran permukaan konduktor hanya akan mengubah nilai medan kritis (Ec) saluran dan juga Inception Voltage. Perubahan nilai medan kritis dan inception voltage dapat dilihat dari perhitungan manual dibawah ini :

Kekasaran Permukaan Konduktor ( m = 0.2 )

Menghitung medan kritis :


(24)

65

= 30 0.2 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 7.1525 /

Menghitung tegangan awal korona:

= 60

= 60 ln2

= ln2

= 2.438 7.1525 ln2 41.4

0.02438 = 141.7765

Kekasaran Permukaan Konduktor ( m = 0.4 )

Menghitung medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.4 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 14.305 /

Menghitung tegangan awal korona:

= 60

= 60 ln2


(25)

66

= 2.438 14.305 ln2 41.4

0.02438 = 283.553

Kekasaran Permukaan Konduktor ( m = 0.6 )

Menghitung medan kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.6 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.438 = 21.457 /

Menghitung tegangan awal korona:

= 60

= 60 ln2

= ln2

= 2.438 21.457 ln2 41.4

0.02438 = 425.319

Menghitung surge impedance untuk semua jenis kekasaran permukaan konduktor:

= � = 1.537

6 10−12 = 506.12 Ω

Data perhitungan diatas kemudian disusun dan dikumpulkan dalam bentuk tabel seperti dibawah ini. Hal ini akan memudahkan penulis dalam proses menganalisa data dan membandingkan setiap nilainya.


(26)

67 Tabel 4.5 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi kekasaran permukaan

konduktor Konstanta Kekasaran Permukaan Konduktor Medan Kritis (kV/cm) Inception Voltage (kV) V peak (kV) Redaman (kV) Redaman (%) Waktu (µs)

0.2 7.1525 141.7765 579.34 220.66 27.58 20.2 0.4 14.035 283.553 597.1 202.9 25.36 18.7 0.6 21.457 425,319 619.35 180.65 22.58 16.9 0.8 28.61 567.106 649.93 150.07 18.75 14.5

Gambar 4.6 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Kekasaran Permukaan Konduktor

Grafik diatas merupakan hasil keluaran yang diperoleh dari pengoperasian softwere ATPDraw. Grafik tersebut memperlihatkan kondisi konduktor dengan

tingkat kekasaran permukaan yang tinggi akan menghasilkan tegangan puncak gelombang yang rendah sesuai data pada Tabel 4.5. Kondisi permukaan dengan m=0.2 akan mampu meredam tegangan puncak korona sebesar 27.58%, sedangkan ketika tingkat kekasaran permukaan diperkecil menjadi m=0.4, korona


(27)

68 akan mampu meredam surja petir sebesar 25.36%, dan m=0.6 redaman akan berada di nilai 22.58%, serta m=0.8 redaman yang dihasilkan hanya sebesar 150.07 kV atau 18.75% dari tegangan surja petir normal.

Kekasaran permukaan konduktor dalam meredam korona juga mengakibatkan perubahan pada waktu muka surja yang merambat sepanjang saluran. Untuk masing-masing tingkat kekasaran permukaan konduktor (m) yakni 0.2, 0.4, 0.6 dan 0.8, waktu muka surja menjadi 20.2 µs, 18.74 µs, 16.9 µs, dan 14.5 µs.

4.4.4 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Panjang Saluran Konduktor

Panjang saluran transmisi akan mempengaruhi besar impedansi total dari saluran tersebut, sehingga secara bersamaan akan menambah rugi-rugi daya pada jaringan. Variasi panjang saluran yang akan digunakan adalah berjarak 500 m, maka setiap jarak 500 m akan dilihat tegangan puncak pada saluran sehingga dapat di ketahui tingkat peredaman yang mampu dilakukan korona untuk meredam surja petir.

Tabel 4.6 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi panjang saluran

Jarak Saluran (km)

Puncak Impuls dengan Korona (kV)

Redaman (kV) Redaman (%) Waktu muka (µs)

0.5 718.15 81.85 10.23 8.1

1 653.61 146.39 18.29 14.2

1.5 614.2 185.8 23.22 19.6


(28)

69 Gambar 4.7 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Panjang

Konduktor

Grafik hasil simulasi diatas menjelaskan bahwa korona pada saluran transmisi akan memberi respon redaman terhadap surja petir yang merambat sepanjang saluran. Pada jarak 500 m pertama, korona mampu meredam 81.85 kV (10.23%) dari tegangan surja petir. 500 m berikutnya, tegangan puncak petir yang sudah diredam sebesar 146.39 kV (18.29%), hal ini tetap berlanjut untuk 500 m berikutnya dengan tegangan yang diredam sebesar 185.8 kV (23.22%). 500 m terkahir, atau dengan jarak total 2 km dari titik sambaran petir, tegangan surja petir yang tersisa di jaringan bernilai 598.9 kV. Dengan perkataan lain, bahwa korona mampu meredam surja petir dengan total redaman mencapai 25.13% dari surja petir hanya dengan jarak 2 km.

Mengubah panjang saluran juga akan mengubah waktu muka surja sepanjang saluran, pada jarak 500 m dari sambaran petir, waktu muka surja menjadi 8.1 µs. Untuk jarak yang lebih jauh lagi, yakni 1 km, 1.5 km, dan 2 km dari titik sambaran petir, masing-masing waktu muka petir menjadi 14.2 µs, 19.6


(29)

70 µs dan 23.4 µs. Dengan perkataan lain, penambahan panjang saluran akan mengubah waktu muka surja menjadi lebih lama dari keadaan normalnya.

4.4.5 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Karakteristik Surja Petir Perbedaan karakteristik surja petir akan menjadi salah satu faktor penentu besar tingkat peredaman korona yang mampu dilakukan saluran transmisi. Dengan variasi waktu muka (front time) dan waktu ekor (tail time) surja petir, pemodelan korona pada saluran transmisi dapat dilakukan.

Tabel 4.7 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi surja petir

Standar Karakteristik Surja (µs)

Waktu Muka (µs)

Tegangan Puncak (kV)

Redaman (kV)

Redaman (%) Jepang 1-40 13.04 634.48 165.52 20.69 Amerika

Serikat 1.5-40 13.1 645.07 154.93 19.36 Jerman dan

Inggris 1-50 14 651.24 148.76 18.59 IEC 1.2-50 14.2 653.61 146.39 18.29

Gambar 4.8 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Karakteristik Petir


(30)

71 Tabel dan Grafik hasil simulasi diatas menunjukan untuk karakteristik petir menurut standar IEC, korona pada saluran mampu meredam 18.29% surja petir, sedangkan karakteristik petir menurut Jepang, Inggris dan Amerika Serikat masing-masing korona mampu meredam surja petir sebesar 20.69%, 18.59% dan 19.36%.

Korona juga akan mengubah waktu muka dari masing-masing standar surja petir yang digunakan pada pemodelan. Pada standar jepang, waktu muka normal 1 µs akan menjadi 13.04 µs. Begitu pula hal nya dengan standar lainnya, waktu muka surja menurut standar Amerika Serikat (1.5µs) akan bergeser menjadi 13.1 µs. Sedangkan standar surja menurut IEC (1.2µs) dan Inggris (1 µs) masing-masing akan bergeser ke nilai 14.2 µs dan 14 µs.

4.4.6 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Tipe Konduktor Saluran Transmisi

Pemodelan korona juga dilakukan dengan memvarasikan tipe konduktor yang digunakan untuk menghubungkan GI Pangkalan Susu menuju GI Binjai. Konduktor yang digunakan juga memiliki bahan penyusun material yang sama yakni alumunium yang diperkuat dengan baja (ACSR) namun dengan radius yang berbeda-beda. Adapun jenis konduktor ACSR yang digunakan ialah konduktor tipe Zebra, Camel dan Moose. Pemilihan konduktor untuk divariasikan mengacu pada kemampuan hantar arus (KHA) yang di miliki konduktor tersebut. Ketiga konduktor tersebut memiliki KHA yang hampir bernilai sama antara satu lainnya seperti pada Tabel 4.8, sehingga hal ini tidak akan mengubah jumlah berkas pada setiap sirkit saluran transmisi.


(31)

72 Berikut perhitungan yang dilakukan secara manual untuk menentukan besar parameter-parameter saluran transmisi dengan menggunakan variasi jenis konduktor.

Konduktor Camel , A = 26 cm , H = 41.4 m, r = 1.5075 cm

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.5075 1 + 2 2−1 1.5075

2 26

= 2.5506

Menghitung nilai induktansi:

�= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.025506 0.7788 = 0.01986

�= 2. 10−7ln 41.4

0.01986= 1.528 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

−9

18 ln2

= 10

−9

18 ln 2 (41.4)

0.025506

= 6.871 10−12 /


(32)

73

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.5506 = 29.22 /

Menghitung tegangan awal korona :

= 60

= 60 ln2

= ln2

= 2.5506 29.22 ln 2 41.4

0.025506 = 602.583

Menghitung surge impedance

= � = 1.528

6.871 10−12 = 471.57 Ω

Konduktor Moose , A = 26 cm , H = 41.4 m, r = 1.5885 cm

Menghitung radius ekivalen konduktor berkas menurut Skiling and Dykes :

=

1 + 2 −1

= 2 1.5885 1 + 2 2−1 1.5885

2 26

= 2.6656


(33)

74 �= 2. 10−7ln

= 0.7788

= 0.026656 0.7788 = 0.02076

�= 2. 10−7ln 41.4

0.02076= 1.5196 � /

Menghitung nilai kapasitansi saluran :

= 10

−9

18 ln2

= 10

−9

18 ln 2 (41.4)

0.026656

= 6.9088 10−12 /

Menghitung Medan Kritis :

= 30 0.67 1 + 0.3 /

= 30 0.82 (1)0.67 1 + 0.3

1 2.6656 = 29.12 /

Menghitung tegangan awal korona:

= 60

= 60 ln2


(34)

75

= 2.6656 29.12 ln 2 41.4

0.026656 = 624.173

Menghitung surge impedance

= � = 1.5196

6.9088 10−12 = 468.98 Ω

Data perhitungan tersebut dapat dikumpulkan dalam bentuk Tabel 4.8 seperti yang tertera dibawah ini, dengan tujuan untuk memudahkan proses menganalisis variabel-variabel yang terdapat pada tabel.

Tabel 4.8 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi jenis konduktor

Tipe Konduktor Zebra Camel Moose

Radius (cm) 1.43 1.5075 1.5885

Kapasitansi (pF/m) 6 6.871 6.9088

Induktansi (µH/m) 1.537 1.528 1.5196

Medan Kritis (kV/cm) 29.32 29.22 29.12

Inception Voltage (kV) 581.179 602.583 624.173

V peak (kV) 653.61 656.93 663.58

Redaman (kV) 146.39 143.07 136.42

Redaman (%) 18.29 17.88 17.05


(35)

76 Gambar 4.9 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Tipe Konduktor

Pada Tabel 4.8 dan Grafik 4.9 diatas memperlihatkan bahwa radius konduktor menjadi salah satu faktor penentu besarnya korona yang terjadi di sepanjang saluran transmisi. Penambahan besar radius konduktor akan memperbesar nilai tegangan tegangan awal terjadinya korona (inception voltage). Disisi lain, bertambah besarnya inception voltage akan mengakibatkan mengecilnya kemampuan meredam surja petir oleh korona yang terdapat pada saluran. Pada koduktor ACSR tipe Moose misalnya, konduktor Moose memiliki radius yang lebih besar dibandingkan dengan konduktor Zebra maupun Camel, yakni dengan radius 1.5885 cm, konduktor Moose hanya mampu meredam 17.05% atau sebesar 136.42 kV dari tegangan awal surja 800 kV. Konduktor Camel dengan radius yang lebih kecil dari konduktor Moose yakni 1.5075 cm hanya mampu meredam tegangan surja sebesar 143.07 kV (17.88%).


(36)

77 Selain mengalami penurunan puncak gelombang (redaman), korona juga menyebabkan bergesernya waktu muka surja yang merambat sepanjang saluran. Semakin besar kemampuan korona untuk meredam surja petir, maka semakin jauh pula bergesarnya waktu muka dari tegangan lebih tersebut. Pada konduktor Zebra dengan kemampuan sebesar 18.29% untuk meredam surja petir, akan menggeser waktu muka surja menjadi 14.2µs. Sementara dengan menggunakan konduktor Moose, waktu muka surja akan lebih cepat, yakni menjadi 13.4µs.


(37)

78

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini telah menjelaskan prosedur pemodelan dan pengaruh korona terhadap saluran transmisi dengan parameter saluran yang divariasikan. Sebuah studi matematika sederhana pada pemodelan korona di bawah pengaruh sambaran surja petir dapat disimulasikan dengan menggunakan softwere ATPDraw-EMTP. Hasil simulasi program menunjukan bahwa pentingnya korona untuk disertakan dalam proses perencanaan saluran transmisi, sehingga dapat diketahui besarnya magnitud dan waktu muka surja petir yang merambat sepanjang saluran. Kesimpulan lainnya dapat dijelaskan oleh poin-poin dibawah ini:

1. Dengan memperkirakan pengaruh korona pada saluran transmisi, diperoleh nilai tegangan puncak surja 800 kV mengalami peredaman sebesar 146.39 kV atau sebesar 18.29% dan waktu muka surja bergeser menjadi 14.2 µs.

2. Penambahan nilai panjang saluran akan menambah kuantitas rugi-rugi korona, sehingga memperbesar kemampuan saluran untuk meredam tegangan surja.

3. Konduktor dengan diameter yang besar akan mempersulit proses terjadinya peristiwa korona, sehingga kemampuan redaman surja tegangan lebih pada saluran semakin mengecil.

4. Semakin rendah konduktor dari atas permukaan tanah, maka semakin besar pula nilai kapasitansi salurannya sehingga peristiwa korona


(38)

79 semakin mudah terjadi, sementara kemampuan redaman surja tegangan lebih menjadi meningkat.

5. Konduktor dengan kondisi permukan yang kasar akan memperbesar nilai rugi-rugi korona pada saluran dan memperbesar kemampuan redamannya.

6. Redaman berbanding lurus terhadap waktu muka surja, semakin besar kemampuan redaman surja, maka semakin lama pula waktu muka surja pada saluran.

5.2 Saran

Adapun saran dari penulis sebagai pengembangan dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menganalisis tegangan impuls surja petir terhadap pemodelan korona pada tegangan nominal transmisi yang lebih tinggi lagi misalnya 500 kV, dimana peristiwa korona sangat terlihat jelas dan perlu diperhitungkan.

2. Tugas akhir ini juga dapat dilanjutkan dengan menganalisis tegangan impuls hubung buka dan impuls petir terpotong sebagai sumber gangguan pada saluran transmisi.


(39)

6

BAB II

SALURAN TRANSMISI DAN KORONA

Saluran transmisi memegang peranan penting dalam proses penyaluran daya dari pusat-pusat pembangkit hingga kepusat-pusat beban. Agar dapat melayani kebutuhan tersebut maka diperlukan sistem transmisi tenaga listrik yang handal dengan tingkat keamanan yang memadai. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan peralatan utama maupun peralatan lainnya seperti instrumen gardu induk adalah sambaran surja petir baik secara langsung maupun tidak langsung pada peralatan di transmisi maupun peralatan di gardu induk. Dengan demikian, pada sebuah gardu induk dan sistem menara transmisi sangat diperlukan perlindungan terhadap gangguan akibat surja petir. Untuk melindungi kawat fasa serta menjadi medium tempat mengalirnya arus gangguan akibat sambaran surja petir maka diperlukan peralatan tenaga listrik yang disebut dengan kawat tanah dan lightning arrester [1].

2.1 Tegangan Tinggi Impuls

Tegangan tinggi impuls (impulse voltage) adalah tegangan yang naik dalam waktu singkat sekali kemudian disusul dengan penurunan yang relatif lambat menuju nol. Ada tiga bentuk tegangan impuls yang mungkin menerpa sistem tenaga listrik yaitu tegangan impuls petir yang disebabkan oleh sambaran petir (lightning), tegangan impuls hubung buka yang disebabkan oleh adanya operasi hubung buka (switching operation) dan tegangan impuls petir terpotong [1].


(40)

7 Gambar 2.1 Jenis-jenis tegangan impuls

Tegangan impuls di definisikan sebagai suatu gelombang yang berbentuk eksponensial ganda yang dapat dinyatakan dengan persamaan:

( ) = 0 − − − (2.1)

dimana

Vo = Magnitud Tegangan (kV)

a,b = konstanta-konstanta yang dipengaruhi nilai RLC

Dari persamaan (2.1) dapat dilihat bahwa bentuk gelombang impuls ditentukan oleh konstanta a dan b, sedangkan nilai konstanta a dan b ini ditentukan oleh komponen rangkaian [2].

Definisi bentuk gelombang impuls [2]

1. Bentuk dan waktu gelombang impuls dapat diatur dengan mengubah nilai komponen rangkaian saluran (konstanta a dan b)

2. Nilai puncak (peak value) merupakan nilai maksimum gelombang impuls. 3. Muka gelombang (wave front) didefinisikan sebagai bagian gelombang

yang dimulai dari titik nol sampai titik puncak. Waktu muka (Tf) adalah waktu yang dimulai dari titik nol sampai titik puncak gelombang.

4. Ekor gelombang (wave tail) didefinisikan sebagai bagian gelombang yang dimulai dari titik puncak sampai akhir gelombang. Waktu ekor (Tt) adalah


(41)

8 waktu yang dimulai dari titik nol sampai setengah puncak pada ekor gelombang

Suatu tegangan impuls dinyatakan dengan tiga besaran yaitu tegangan puncaknya (Vmaks), waktu muka (Tf), dan waktu ekor (Tt). Menurut IEC waktu muka dan waktu ekor untuk tegangan impuls petir adalah :

× = 1,2 × 50 �

Gambar 2.2 Tegangan impuls petir berdasarkan standar IEC Standar bentuk gelombang impuls petir yang dipakai oleh beberapa Negara ditunjukan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Standar bentuk tegangan impuls petir [2]

Standar Tf x Tt

Jepang 1 x 40 µs

Jerman dan Inggris 1 x 50 µs Amerika 1.,5 x 40 µs


(42)

9 Nilai toleransi waktu muka dan waktu ekor gelombang untuk standar Jepang adalah 0,5 –2 μs dan 35 –50 μs, standar Inggris 0,5 –1,5 μs dan 40 – 60 μs, sedangkan untuk standar Amerika adalah 1,0 – 2,0 μs dan 30 – 50 μs seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3. Dari Gambar 2.3 dapat dilihat bahwa standar IEC merupakan kompromi antara standar-standar tegangan impuls berbagai Negara [2].

Gambar 2.3 Standar bentuk gelombang tegangan impuls petir

2.2 Mekanisme Sambaran Petir

Petir adalah mekanisme pelepasan muatan listrik di udara yang dapat terjadi di dalam awan, antar awan, awan dengan udara, dan antara awan dengan tanah. Antara awan dan permukaan bumi dapat dianalogikan seperti kapasitor raksasa, dimana lempeng pertama adalah awan dan lempeng kedua adalah bumi. Proses terjadinya muatan pada awan adalah akibat adanya pergerakan awan secara teratur dan terus menerus. Dan selama pergerakannya, awan akan terpolarisasi sehingga muatan negatif akan berkumpul pada salah satu sisi, sedangkan muatan


(43)

10 positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Biasanya muatan negatif berada di bagian bawah awan dan muatan positif berada di bagian atas.

Muatan listrik pada awan ini mengakibatkan adanya beda potensial antara awan dengan bumi, sehingga timbul medan listrik antara awan dengan bumi. Jika medan listrik lebih besar daripada kekuatan dielektrik udara yang mengantarai bumi dengan awan, maka akan terjadi pelepasan muatan.

Pelepasan pertama terjadi di udara yang berada di sekitar awan bermuatan. Pelepasan ini disebut pilot leader. Di ujung pilot leader terjadi proses ionisasi sehingga terjadi pelepasan kedua yang disebut dengan downward leader. Di ujung downward leader terjadi lagi pelepasan muatan menuju ke bumi. Demikian

seterusnya proses pelepasan berlangsung terus sehingga downward leader semakin mendekati bumi. Ujung dari downward leader semakin mendekati bumi disebut sebagai leader. Gambar mekanisme proses terjadinya petir dapat dilihat pada Gambar 2.13 berikut ini:


(44)

11 Gambar 2.4 Tahapan Sambaran Petir ke Tanah [3]

Ketika leader mendekati bumi terjadi medan listrik yang sangat tinggi antara ujung leader dengan bumi, sehingga terjadi penumpukan muatan di ujung suatu objek yang berada di permukaan bumi. Dengan demikian muatan yang berasal dari bumi bergerak menuju ujung leader.

Titik bertemunya kedua aliran yang berbeda muatan ini disebut striking point dapat dilihat pada Gambar 2.13(c), sesaat setelah itu terjadi perpindahan

muatan dari tanah ke awan melalui sambaran balik. Perpindahan muatan dari awan ke tanah akan kembali memunculkan beda potensial yang tinggi antara pusat muatan di awan seperti pada Gambar 2.13(d). Akibatnya, terjadi pelepasan muatan susulan atau yang disebut pelepasan muatan berulang (multiple stroke).

2.3 Gangguan Petir Pada Saluran Transmisi

Gangguan petir pada saluran transmisi adalah gangguan akibat sambaran petir pada saluran transmisi yang dapat menyebabkan terganggunya saluran transmisi dalam menghantarkan daya listrik. Gangguan petir ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :


(45)

12 1. Gangguan akibat sambaran langsung, yang terdiri dari :

a. Gangguan petir pada kawat tanah,

b. Gangguan petir pada kawat fasa atau kegagalan perisaian. 2. Gangguan petir akibat sambaran tidak langsung atau sambaran induksi.

Gangguan akibat sambaran langsung petir adalah adanya sambaran petir yang langsung mengenai suatu objek tertentu Sambaran petir langsung dapat menimbulkan bermacam-macam gangguan yang tidak hanya membahayakan peralatan listrik namun juga bisa mengancam keselamatan jiwa manusia. Besarnya tegangan yang diakibatkan sambaran petir ini dapat mencapai 3000 kV.

Gangguan pada jaringan listrik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu sambaran petir mengenai kawat tanah dan sambaran petir mengenai kawat fasa. Sambaran petir yang langsung mengenai kawat tanah dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:

a) Terputusnya kawat tanah. Arus yang besar menyebabkan panas yang tinggi pada kawat tanah yang dapat melampaui kekuatan kawat untuk menahannya.

b) Naiknya potensial kawat tanah yang diikuti oleh backflashover ke kawat fasa. Pada saat terjadi sambaran pada kawat tanah, dengan cepat potensialnya naik mencapai nilai yang cukup tinggi sehingga dapat mengakibatkan lompatan muatan listrik ke kawat fasa di dekatnya.

Sambaran langsung mengenai kawat fasa mengakibatkan kenaikan tegangan tinggi pada kawat fasa. Kenaikan tegangan yang cukup tinggi ini dapat menyebabkan pecahnya isolator, kerusakan trafo tenaga dan pecahnya arrester.


(46)

13 2.4 Fenomena Korona

Bila dua elektroda yang penampangnya kecil (dibandingkan dengan jarak antara kedua elektroda tersebut) diberi tegangan bolak-balik, maka akan mungkin terjadi fenomena korona. Pada tegangan yang cukup rendah, tidak akan terjadi apa-apa. Pertama-tama, pada elektroda akan kelihatan bercahaya, mengeluarkan suara-suara mendesis (hissing), dan berbau ozon. Warna cahaya yang terlihat adalah ungu muda (Violet). Apabila tegangan dinaikan secara terus menerus, maka karakteristik yang terjadi diatas akan semakin jelas terlihat, terutama pada bagian yang kasar, runcing dan kotor. Cahaya akan bertambah besar dan terang. Apabila tegangan masih terus dinaikan, maka akan muncul busur api. Pada keadaan udara lembab, korona menghasilkan asam nitrogen (nitrous acid), yang menyebabkan elektroda berkarat bila kehilangan daya cukup besar.

Korona terjadi disebabkan karena adanya ionisasi dalam udara, yaitu terjadinya kehilangan elektron dari molekul udara. Karena terjadinya ionisasi molekul dalam udara, maka molekul netral (A) di udara bebas mendapatkan energi foton yang cukup dan besarnya melebihi energi yang diperlukan untuk membebaskan elektron dari molekul gas atau udara. Kelebihan energi foton akan dilimpahkan pada elektron yang kemudian dibebaskan dalam bentuk energi kinetik. Hal ini dapat ditunjukan dalam persamaan berikut ini :

+

1

2 �

2

+++

Karena adanya medan listrik yang berada disekitar elektroda penghantar yang mempercepat gerak elektron hasil inonisasi tersebut, maka elektron-elektron tersebut akan menumbuk molekul-molekul gas atau udara disekitarnya.


(47)

14 Karena hal ini terjadi secara terus-menerus maka jumlah ion dan elektron bebas menjadi berlipat ganda. Apabila terjadinya eksitasi elektron atom gas, yaitu berubahnya kedudukan elektron gradien tegangan menjadi cukup besar maka akan timbul fenomena korona. Selain menyebabkan terjadinya ionisasi molekul, tumbukan elektron juga menyebabkan perpindahan dari orbital awalnya ke tingkat orbital yang lebih tinggi. Pada saat elektron berpindah kembali ke tingkat orbital yang lebih rendah, maka akan terjadi pelepasan energi berupa cahaya radiasi dan gelombang elektromagnetik berupa suara bising.

2.4.1 Cahaya Ungu

Salah satu gejala terbentuknya korona yaitu terlihatnya samar-samar cahaya berwarna ungu disekeliling permukaan konduktor. Cahaya berwarna ungu ini berasal dari pengaruh tekanan elektrostatik yang berlebihan akibat dari gradient potensial yang tinggi. Besarnya gradien potensial ini dipengaruhi oleh tegangan yang diberikan. Pada saat awal korona terjadi, cahaya ini belum terlihat. Cahaya ini berasal dari proses rekombinasi antara ion nitrogen dengan elektron bebas. Agar cahaya ini terlihat jelas diperlukan ionisasi lebih banyak lagi sehingga gradient permukaannya meningkat.


(48)

15 Gambar 2.5 Cahaya Ungu pada Saluran Transmisi Hantaran Udara

2.4.2 Suara Bising

Medan listrik yang yang tinggi pada fenomena korona mengakibatkan terjadinya tumbukan elektron, jika kuat medan listrik ini terus meningkat maka tumbukan elektron akan semakin keras karena energi kinetik yang diperoleh elektron tersebut. Akibatnya terjadi eksitasi elektron dari udara, yaitu berubahnya kedudukan elektron dari orbitalnya semula ke tingkat orbital yang lebih tinggi. Ketika elektron ini berpindah kembali ke orbital yang lebih dalam terjadi pelepasan energi berupa suara mendesis. Suara mendesis ini terjadi disekitar konduktor. Suara tersebut dapat didengar oleh telinga manusia tergantung dari frekuensi yang dibangkitkannya dan juga jarak sumber suara dengan si pendengar. Suara mendesis yang dibangkitkan ini biasa disebut gangguan bising. Pada sistem transmisi, suara bising yang dibangkitkan oleh korona ini dideteksi dengan peralatan pendengaran ultrasonik. Kuat suara bising ini dipengaruhi oleh konduktor yang digunakan dan keadaan cuaca.


(49)

16 Gambar 2.6 Ultrapobe alat pendeteksi suara korona

2.4.3 OZON (O3)

Pada korona dengan kelembaban tinggi dihasilkan gas ozon dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Gas ozon ini akan meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya aktifitas korona. Ozon yang dihasilkan dapat meningkat secara pesat saat terjadinya pelepasan korona. Pembentukan ozon dihasilkan dari beberapa molekul oksigen [4].

3O2→ 2O3

Pembentukan ozon oleh pelepasan korona pada oksigen murni, memiliki beberapa tahap pembentukan.

e- + O2 → 2O + e- O + O2+ M → O3 +M Dimana M = O2 atau N2

Pada persamaan diatas ozon dihasilkan dari reaksi antara oksida dengan oksigen. Oksida tersebut dihasilkan akibat penguraian dari molekul oksigen akibat


(50)

17 tumbukan dengan elektron bebas. Elektron bebas ini kemudian jumlahnya bertambah dengan meningkatnya medan listrik, medan listrik yang semakin tinggi akan meningkatkan aktifitas dari korona. Oksida bebas tersebut akan bereaksi dengan oksigen yang kemudian akan membentuk ozon. Konsentrasi ozon ini meningkat sampai terjadinya pelepasan korona, kemudian setelah kondisi ini ozon akan terurai akibat panas yang dihasilkan saat pelepasan korona.

O3 → O2 + O O + O3→ 2O2

Ozon merupakan molekul triatomik, dimana molekul triatomik ini termasuk golongan yang astabil atau tidak stabil. Ini menyebabkan ozon sangat mudah terurai dibandingkan oksigen (diatomik).

2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Korona

Penerapan tegangan tinggi yang mendekati tegangan kerusakan dalam sistem tenaga listrik dapat menimbulkan gejala korona. Terjadinya gejala korona dalam sistem bertegangan tinggi tersebut dapat ditentukan oleh beberapa faktor yang menentukan besar aktifitas korona. Faktor tersebut dapat berupa keadaan lingkungan, bentuk dan ukuran dari konduktor yang digunakan serta besar tegangan yang diterapkan pada sistem tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya atmosfer, kerapatan udara, ukuran dan bentuk permukaan konduktor, jarak antar konduktor dan tegangan saluran.


(51)

18 2.5.1 Atmosfer

Keadaan atmosfer mempengaruhi nilai kekuatan isolasi udara dan gradien potensial awal terjadinya korona, diantaranya yaitu angin, kelembapan udara, cuaca, dan suhu udara. Misal ketika kondisi lingkungan sedang berangin kencang, maka jumlah ion dan elektron akan lebih banyak dari pada saat kondisi normal. Hal ini menyebabkan korona terjadi pada gradien potensial lebih rendah dibandingkan cuaca normal.

Suhu dan tekanan sangat mempengaruhi nilai dari tegangan awal korona, semakin tinggi suhu maka tegangan awal korona menjadi lebih kecil, sehingga korona menjadi lebih besar. Pada tekanan tinggi maka tegangan awal korona menjadi semakin tinggi dan korona lebih kecil. Pada daerah yang memiliki suhu yang tinggi dan tekanan rendah, maka korona akan menjadi lebih besar. Daerah pengunungan memiliki suhu rendah dan tekanan relatif tinggi, sehingga kemungkinan korona menjadi lebih kecil.

Kelembapan udara yang semakin tinggi juga akan mempercepat terjadinya korona. Pada saat udara semakin lembab maka semakin banyak air yang terkandung dalam udara tersebut sehingga elektron bebas yang dihasilkan akan semakin banyak. Dengan demikian banyaknya elektron bebas ini, maka longsoran elektron akan semakin cepat terbentuk dan terjadi ionisasi yang mengawali terjadinya korona.

Pada saat hujan, salju, jarum es, dan kabut yang dihasilkan akan mengakibatkan korona menjadi lebih besar. Salju akan memberikan sedikit penurunan pada tegangan kegagalan kritis udara. Hal ini dijelaskan dengan persamaan Peek [5] :


(52)

19

= 30 0 1 + 0.3 (2.2)

dimana

Vi = Tegangan kegagalan kritis udara (kV)

į = Faktor kerapatan udara = 1 (tekanan 76 cmHg dan suhu 250C) = = 0.386

273+

r = Jari-jari konduktor (m)

D = Jarak antar pusat konduktor terhadap tanah (m)

m0 = Faktor tak tentu/faktor kekasaran permukaan konduktor (lihat Tabel 2.2)

Dari persamaan Peek tersebut ditunjukkan bahwa pada keadaan basah, tegangan minimum terjadinya korona lebih rendah dibandingkan dengan keadaan normal. Jadi, dapat disimpulkan korona lebih cepat terjadi pada keadaan basah.

2.5.2 Kerapatan Udara

Pada saat terjadi proses ionisasi ion-ion bergerak dalam udara dengan kecepatan yang berbeda-beda, tergantung dari kuat medan listrik yang mempengaruhinya serta kerapatan udara yang dilaluinya. Kelincahan dari ion akan berkurang bila kerapatan udara atau gas bertambah. Udara dengan kerapatan antar molekul yang lebih tinggi, molekul-molekul gas tersebut akan lebih padat dibandingkan gas dengan kerapatan rendah, sehingga kelincahan geraknya berkurang.


(53)

20 2.5.3 Ukuran dan Bentuk Permukaan Konduktor

Ukuran diameter dari konduktor juga mempengaruhi fenomena terjadinya korona, konduktor dengan diameter lebih besar akan memiliki medan listrik lebih kecil dibandingkan pada konduktor dengan diameter yang lebih kecil. Perhatikan persamaan dibawah ini:

=

4 0

.

12

/

(2.3)

dimana

E = Kuat medan listrik (kV/m) Q = Muatan (Coulomb)

r = Jari-jari konduktor (m)

İ = Permitivitas medium (medium udara, İ=İ0=8,85.10-12 F/m)

Konduktor dengan diameter lebih besar memiliki tegangan awal korona lebih besar dibandingkan dengan diameter yang lebih kecil. Pada konduktor dengan diameter lebih kecil atau ujungnya runcing akan memiliki medan listrik yang lebih tinggi dikarenakan elektron terkumpul disatu titik tidak menyebar, sehingga peristiwa korona semakin mudah terjadi. Itu sebabnya mengapa pada penangkap petir konduktor ujungnya dibuat meruncing.

Bentuk Permukaan dan kondisi dari konduktor juga mempengaruhi pembentukan korona. Pada permukaan yang tidak rata dan kotor akan mengurangi nilai dari tegangan kegagalan awal korona sehingga korona dapat terjadi pada tegangan yang lebih rendah. Ini dikarenakan medan listrik pada permukaan yang kasar akan lebih besar dibandingkan dengan konduktor yang memiliki permukaan


(54)

21 yang halus. Sehingga pada permukaan kasar korona yang terjadi lebih besar dibandingkan kawat halus.

Untuk kawat transmisi terdapat suatu faktor yang dinamakan faktor ketidakteraturan (m0). Maksudnya merupakan ketidakteraturan dari bentuk permukaan kawat. Dalam kondisi normal faktor permukaan kawat ini ditetapkan oleh Peek pada Tabel 2.2.

Table 2.2 Hubungan Kondisi Permukaan Kawat dengan Nilai mo [2]

Kondisi permukaan kawat m0

Halus 1.0

Kawat padat yang kasar 0.93 – 0.98 kawat tembaga rongga 0.90 – 0.94

Kawat lilit 7 0.82 – 0.87

Kawat lilit 19-61 0.80 – 0.85

2.5.4 Jarak Antar Konduktor

Jarak antar konduktor akan mempengaruhi proses pembentukan korona. Jika jarak antara konduktor ini dibuat sangat besar dibandingkan diameter konduktor, maka hampir tidak mungkin terjadi korona. Hal ini dikarenakan jika jarak antar konduktor dibuat sangat besar maka tekanan elektrostatik antar dua konduktor tersebut juga akan berkurang, sehingga proses ionisasi menjadi sulit terjadi. Semakin besar jarak konduktor maka tegangan awal korona (Vd) bernilai semakin besar, ini sesuai dengan persamaan (2.2).


(55)

22 2.5.5 Tegangan Saluran

Pada suatu sistem transmisi memiliki tegangan saluran yang sangat besar antar fasanya, besar dari tegangan saluran ini menentukan besar dari medan listrik yang dihasilkan sekitar kawat transmisi tersebut. Semakin besar tegangan, maka akan semakin besar medan listriknya. Dengan demikian, semakin meningkatnya medan listrik maka korona akan memiliki percepatan dalam tumbukannya, sehingga elektron akan semakin mudah bertumbukan dan semakin cepat pula terbentuk longsoran elektron (avalanche). Waktu terjadinya korona pun akan menjadi lebih cepat. Selain itu, pada tegangan saluran yang besar akan terdapat tekanan elektrostatik pada permukaan konduktor, membuat udara disekeliling konduktor terionisasi. Pada saat ionisasi akan dihasilkan longsoran elektron (avalanche), longsoran elektron ini akan semakin cepat terbentuk jika tegangan

saluran terus ditingkatkan. Semakin besar tegangan yang diberikan, maka akan semakin besar percepatan yang dimiliki elektron untuk bertumbukan sehingga avalanche akan lebih cepat terjadi selanjutnya akan terjadi peristiwa korona.

2.6 Akibat Yang Ditimbulkan Korona

Korona cukup menyebabkan banyak masalah yang harus mendapat perhatian, diantaranya interferensi radio, degradasi atau kerusakan pada peralatan listrik yang dikenai korona, dan meningkatnya rugi-rugi daya saluran.

2.6.1 Interferensi Radio

Korona meradiasikan noise berfrekuensi tinggi dalam jumlah besar. Ini dapat mengganggu operasi radio dengan frekuensi berbeda. Selain itu, radiasi


(56)

23 akibat korona ini juga dapat menyebabkan interferensi televisi dan rangkaian komunikasi yang berada didekatnya.

Adanya tumbukan elektron-elektron pada udara sekitar, akan menimbulkan arus yang nilainya relatif kecil dan memiliki bentuk gelombang yang non-sinusoidal. Akibatnya akan terdapat non-sinusoidal voltage drop. Kemudian akan terbentuk medan elektromagnetik dan medan elektrostatik. Selanjutnya medan elektromagnetik dan medan elektrostatik ini menginduksikan rangkaian komunikasi atau radio disekitarnya, sehingga akan menyebabkan terjadinya interferensi.

2.6.2 Degradasi atau Kerusakan Material dan Peralatan Listrik

Korona menimbulkan panas disekitar daerah terjadinya korona dan panas ini semakin meningkat dengan kenaikan tegangan yang diberikan sampai terjadi pelepasan korona. Panas ini dapat menyebabkan perubahan susunan atom dari material. Akibatnya material tersebut memiliki susunan atom yang baru, sehingga sifat dari material tersebut mengalami perubahan. Pada akhirnya material tersebut akan lebih cepat rusak dan mengalami penurunan kualitas atau degradasi. Pada saat pembentukan korona juga dihasilkan senyawa ozon (O3), dimana jika kondisi lembab dan gas ini bereaksi secara kimia dengan konduktor dapat menyebabkan korosi pada konduktor tersebut.

Pelepasan korona (sparkover) akan menimbulkan harmonik sesaat, sehingga akan menghasilkan arus transien. Arus transien ini akan berbahaya pada peralatan listrik yang dialirinya atau bahkan jika arus transien ini sangat tinggi


(57)

24 dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan listrik karena dilalui arus yang melebihi rating-nya.

2.6.3 Rugi Daya Korona

Ion dan elektron yang bergerak pada udara memiliki percepatan karena energi kinetik yang diberikan. Energi kinetik tersebut didapat dari sistem dan dikatakan energi yang hilang. Energi yang hilang ini terdisipasi dalam bentuk panas, suara, dan cahaya inilah yang dimaksud dengan rugi daya korona. Rugi daya pada keadaan cuaca normal ditentukan berdasarkan percobaan oleh Peek, dengan persamaan [5]:

= 241 + 25 − 0 2 10−5 / (2.4)

dimana

P = Rugi daya akibat korona (kW/km/fasa) f = Frekuensi daya (Hz)

V = Tegangan fasa ke netral (kV)

V0 = Tegangan distruptif Korona (kV/fasa)

į = Faktor kerapatan udara =1 (tekanan 76 cmHg dan suhu 20oC) b = Tekanan (mmHg)

t = Suhu (oC)

r = Jari-jari Konduktor (cm)

2.7 Manfaat Korona Pada Saluran Transmisi Hantaran Udara

Sepintas lalu tampaknya korona memiliki hanya hal-hal yang merugikan. Akan tetapi, korona juga memiliki segi-segi yang menguntungkan, yaitu: (i)


(58)

25 bilamana korona membentuk, lapisan sekitar konduktor menjadi konduktif dan hal ini secara praktis merupakan semacam penambahan luas penampang konduktor, dan menyebabkan gradien potensial atau tegangan elektrostatik maksimum menurun. Dengan demikian kemungkinan terjadinya tegangan tembus (flash over) sistem meningkat, (ii) Efek-efek transien (peralihan) karena sambaran petir dan sebab-sebab lain berkurang, karena muatan-muatan yang diinduksikan pada saluran akibat sambaran petir dan sebab-sebab lain sebagiannya akan didisipasikan sebagai rugi-rugi korona. Dengan cara ini ia bekerja sebagai suatu katup pengaman dan kadang-kadang suatu saluran dengan sengaja direkayasa untuk memiliki tegangan operasi berdekatan dengan tegangan kritikal supaya tidak perlu mempergunakan arrester petir yang mahal. Ada kesulitan, karena tegangan kritikal tidak konstan untuk suatu saluran, dan akan berubah dengan sesuai dengan keadaan cuaca sekitarnya.

Dari sisi lain korona juga dapat dipahami sebagai berikut;

i. Terdapatnya rugi-rugi daya dan energi, walaupun hal ini agak kecil, kecuali pada cuaca yang sangat buruk.

ii. Terdapatnya suatu penurunan tegangan yang non-sinusoidal disebabkan arus korona yang non-sinusoidal. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya sedikit interferensi dengan saluran-saluran telekomunikasi berdekatan disebabkan oleh induksi elektromagnetik dan elektrostatik.

iii. Karena adanya distorsi dari bentuk gelombang, terutama gelombang harmonik ketiga akan berpengaruh pada saluran transmisi.

iv. Karena pembentukan korona, sehingga diproduksi gas ozon yang bereaksi secara kimia dengan konduktor yang mengakibatkan terjadinya korosi.


(59)

26 2.8 Tegangan Kritis Disruptif

Tegangan kritis disruptif merupakan tegangan minimal yang dibutuhkan untuk terjadinya ionisasi pertama kali dipermukaan konduktor. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Peek’s, kekuatan dielektrik udara maksimum pada kondisi standar dengan tekanan udara 1 atm (760 mmHg), suhu 20 oC adalah 30 kV/cm. Kekuatan dielektrik udara berbanding lurus dengan kepadatan udara sekitar. Besarnya kepadatan udara dapat di rumuskan [1]:

=

0.386

273+ (2.5)

dimana

į = Kepadatan Udara p = Tekanan udara (mmHg) t = suhu udara (oC)

Tegangan kritis disruptif atau juga kita sebut dengan tegangan awal terjadinya korona (corona inception voltage) dengan mempertimbangkan pengaruh konduktor, keseragaman, permukaan konduktor dan lingkungan untuk konduktor tunggal sebagaimana diteliti oleh Peek’s [5]:

=

60 (2.6)

dimana

Z = impedansi surja (Ohm) r = Jari-jari konduktor (cm)


(60)

27 Ec = medan listrik kritis di permukaan konduktor (kV/cm)

Dari persamaan diatas, menunjukan bahwa semakin kecil nilai jari-jari konduktor maka tegangan awalan terjadinya korona (Vi) akan semakin mengecil pula. Ada beberapa rumus empiris yang digunakan untuk menentukan medan listrik kritis (Ec) permukaan konduktor, diantaranya ialah:

= 23 1 + 1.220.37 −1 1991 [6] (2.7)

= 23 0.67 1 +0.3 −1 1954 [7] (2.8)

= 30 0.67 1 + 0.3 −1 (2007) [5] (2.9)

dimana

į = Faktor kepadatan udara relatif ( bernilai 1 untuk medium udara) m0 = Kondisi permukaan konduktor

= 1 untuk permukaan licin

= 0.93-0.98 untuk permukaan kasar, dan = 0.82-0.87 untuk kawat stranded

d = diameter konduktor (cm) r = jari-jari konduktor (cm)

2.9 Saluran Transmisi

Secara umum saluran transmisi disebut dengan suatu sistem tenaga listrik yang membawa arus yang mencapai ratusan kiloampere. Energi listrik dibawa


(61)

28 oleh konduktor melalui saluran transmisi dari pusat-pusat pembangkit tenaga listrik kepada pemakai tenaga listrik (consumer). Tegangan pada saluran transmisi ini disalurkan melalui kawat penghantar yang ditopang oleh menara atau tiang penyangga yang tinggi yang terbuat dari campuran baja yang disesuaikan dengan posisi atau daerah dengan jarak tertentu.

Saluran transmisi di zaman modern sekarang ini bukan hanya digunakan untuk menyalurkan tenaga listrik tetapi juga dapat digunakan untuk saluran transmisi komunikasi seperti PLC (Power Line Carrier) dan data isyarat. Tetapi kemampuan transmisi dari suatu saluran dengan tegangan tertentu tidak dapat ditetapkan dengan pasti karena kemampuan ini masih tergantung lagi pada batasan-batasan thermal dari penghantar dan jatuh tegangan yang diperbolehkan. Pada umumnya saluran transmisi dalam penggunaannya dapat dibagi dua:

1. Saluran hantaran udara (Overhead Lines)

2. Saluran hantaran bawah tanah (Underground Cable)

Pemilihan penggunaan saluran transmsi tergantung kepada suatu daerah yang akan dipasang. Biasanya untuk daerah yang penduduknya agak jarang dengan jarak yang cukup panjang digunakan saluran hantaran udara tegangan tinggi, sedangkan untuk pertumbuhan penduduknya yang padat maka pada daerah tersebut lebih cocok digunakan saluran hantaran bawah tanah. Selain itu saluran transmisi juga memiliki jenis yang berbeda-beda berdasarkan sirkitnya, yakni saluran tranmsisi sirkit tunggal dan saluran transmisi sirkit ganda, seperti yang ditunjukan oleh gambar dibawah ini.


(62)

29 (a) (b)

Gambar 2.7 (a) Saluran Transmisi Tunggal, (b) Saluran Tranmsisi Ganda Komponen Utama Saluran Hantaran Udara :

A. Menara atau tiang transmisi

Pada suatu Sistem Tenaga Listrik, energi listrik yang dibangkitkan dari pusat pembangkit listrik ditransmisikan ke pusat-pusat pengatur beban melalui suatu saluran transmisi, saluran transmisi tersebut dapat berupa saluran udara atau saluran bawah tanah, namun pada umumnya berupa saluran hantaran udara. Energi listrik yang disalurkan lewat saluran transmisi udara pada umumnya menggunakan kawat telanjang sehingga mengandalkan udara sebagai media isolasi antara kawat penghantar tersebut dengan benda sekelilingnya, dan untuk menyanggah/merentangkan kawat penghantar dengan ketinggian dan jarak yang aman bagi manusia dan lingkungan sekitarnya, kawat-kawat penghantar tersebut dipasang pada suatu konstruksi bangunan yang kokoh, yang biasa disebut menara (tower).


(63)

30 Konstruksi menara besi baja merupakan jenis konstruksi saluran transmisi tegangan tinggi (SUTT) ataupun saluran transmisi tegangan ekstra tinggi (SUTET) yang paling banyak digunakan di jaringan PLN (Gambar 2.7), karena mudah dirakit terutama untuk pemasangan di daerah pegunungan dan jauh dari jalan raya, harganya yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan saluran bawah tanah serta pemeliharaannya yang mudah.

Jenis-jenis Menara Transmisi, menurut Konstruksinya, antara lain:

(a) Latice Tower (b) Tubular Steel Pole

(c) Concrete Pole (d) Wooden Pole


(64)

31 B. Isolator-isolator

Jenis isolator yang digunakan pada saluran transmisi adalah jenis porselin atau gelas. Menurut penggunaan dan konstruksinya dikenal 3 jenis isolator yaitu : a) Isolator jenis pasak (22-33 KV)

b) Isolator jenis pos saluran (22-33KV) c) Isolator gantung

Gambar 2.9 Jenis-jenis Isolator Pada Saluran Transmisi

Isolator jenis pasak dan isolator jenis pos-saluran digunakan pada saluran transmisi dengan tegangan kerja relatif lebih rendah (kurang dari 22-33 kV), sedangkan isolator jenis gantung dapat digandeng menjadi rentengan atau rangkaian isolator yang jumlahnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pada saluran transmisi 275 kV Pangkalan Susu-Binjai dan tegangan maksimum yang diperbolehkan (Vm) 300 kV digunakan 16 (15+1 spare) isolator piring [2].


(65)

32 C. Kawat penghantar

Jenis-jenis kawat penghantar yang biasa yang digunakan pada saluran transmisi adalah:

a) Tembaga dengan konduktivitas 100 % (Cu 100 %) b) Tembaga dengan koduktivitas 97,5 % (Cu 97,5 %) c) Almunium dengan konduktivitas 61 % (Al 61 %) Kawat penghantar Almunium terdiri dari beberapa jenis, yaitu :

i. AAC : “All Aluminium Conductor”yaitu kawat penghantar yang seluruhnya terbuat dari almunium.

ii. AAAC : “All-Aluminium Alloy Conductor“ yaitu kawat penghantar yang seluruhnya terbuat dari campuran almunium.

iii. ACSR : “Aluminium Conductor Steel Reinforced” yaitu kawat penghantar almunium dengan inti kawat baja.

iv. ACAR : “Aluminium Conductor Alloy Reinforced” yaitu kawat penghantar almunium yang diperkuat dengan logam campuran.


(66)

33 Pada umumnya saluran transmisi yang ada di Indonesia menggunakan jenis kawat penghantar jenis ACSR. Karena kawat tembaga mempunyai tahanan yang lebih kecil, namun berat dan harga yang lebih mahal dari almunium. Untuk memperbesar kuat tarik dari almunium maka digunakan campuran almunium (almunium alloy).

D. Kawat tanah

Kawat tanah atau ground wires juga disebut dengan kawat pelindung (shield wires) gunanya untuk melindungi kawat-kawat penghantar atau kawat fasa

terhadap sambaran petir, untuk itu kawat tanah ini harus dipasang diatas kawat fasa. Sebagian kawat tanah umumnya dipakai kawat baja (steel wires) yang lebih murah tetapi tidaklah jarang pula digunakan ACSR. Awalnya kawat tanah dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap sambaran tidak langsung (sambaran induksi) di sekitar kawat fasa transmisi. Akan tetapi dikemudian hari dari hasil-hasil pengalaman dan teori, penyebab utama yang menimbulkan gangguan transmisi tegangan tinggi 70 kV dan lebih adalah sambaran petir langsung.

2.9.1 Klasifikasi Saluran Transmisi

Sesuai dengan fungsi, kebutuhan dan tegangan kerjanya maka saluran transmisi dapat dikelompokkan dalam beberapa macam diantaranya :

A. Klasifikasi Saluran Transmisi Berdasarkan Panjang Saluran

Untuk keperluan analisa maka diagram pengganti biasanya dibagi dalam 3 kelas yaitu [3] :


(67)

34 a) Transmisi Pendek (< 50 mi atau < 80 km)

b) Transmisi Menengah (< 150 mi atau < 250 km) c) Transmisi Panjang (> 150 mi atau >250 km)

Klasifikasi saluran transmisi harus didasarkan atas besar kecilnya kapasitansi ke tanah. Maksudnya jika kapasitansi kecil maka arus bocor ke tanah kecil terhadap arus beban, sehingga kapasitansi ke tanah dapat diabaikan, hal ini dapat disebut dengan transmisi kawat pendek. Tetapi jika kapasitansi mulai besar sehingga tidak dapat diabaikan, namun belum begitu besar sehingga dapat dianggap sebagai kapasitansi terpusat (lumped capacitance) dan hal ini sering disebut dengan transmisi kawat menengah. Dan jika kapasitansi tersebut bernilai sangat besar dan tidak dapat dianggap sebagai kapasitansi terpusat dan harus dianggap terbagi merata sepanjang saluran maka hal ini dapat disebut dengan transmisi kawat panjang.

B. Klasifikasi Saluran Transmisi Menurut Tegangan Nominal

Di Indonesia standar tegangan transmisi adalah 66, 150, 380, dan 500 KV, dan klasifikasi menurut tegangan ini masih belum nyata. Tetapi di Negara-negara maju terutama dibidang transmisi listrik, seperti : USA, Rusia, Canada dimana tegangan pada saluran transmisi bisa mencapai 1000 KV. Berdasarkan EN 60071 klasifikasi tegangan dapat dikategorikan menjadi [8]:

a) Tegangan Rendah (dibawah 1 kV) b) Tegangan Medium ( 1kV - 45 kV) c) Tegangan Tinggi ( 45kV – 200 kV)

d) Tegangan Ekstra Tinggi ( 200 kV– 750 kV) e) Tegangan Ultra Tinggi ( diatas 800 kV)


(68)

35 2.9.2 Parameter-Parameter Saluran Transmisi

Suatu saluran transmisi tenaga listik memiliki 4 (empat) parameter yang mempengaruhi sistem kerja suatu saluran tranmsisi itu sendiri. Adapun 4 (empat) parameter tersebut adalah resistansi, induktansi, kapasitansi, dan konduktansi.

2.9.2.1 Induktansi

Jika arus pada rangkaian berubah-ubah maka medan magnet yang ditimbulkan juga akan berubah-ubah dan apabila medan magnet yang ditimbulkan memiliki permeabilitas yang konstan maka banyaknya fluks gandeng berbanding lurus dengan arus sehingga tegangan imbasnya sebanding dengan kecepatan perubahan arus. Hal ini dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

=

(2.10)

dimana

L = Induktansi Rangkaian (H) e = Tegangan Imbas (V)

∂i

∂t = kecepatan perubahan arus (A/s)

Persamaan umum yang digunakan untuk menentukan besarnya induktansi saluran adalah [2]:

= 2. 10

−7

ln

(2.11)

dimana


(69)

36 Dm = Ekivalen atau geometric mean distance (GMD) antara

kondukor dengan tanah (in)

Ds = Geometric Mean Radius (GMR) pada konduktor (in)

2.9.2.2 Kapasitansi

Kapasitansi saluran transmisi didefinisikan sebagai akibat adanya beda potensial antar penghantar (konduktor) maupun penghantar dengan permukaan tanah, kapasitansi menyebabkan penghantar bermuatan seperti yang terjadi pada plat kapasitor bila terjadi beda potensial diantaranya. Kapasitansi antara penghantar adalah muatan perunit beda potensial. Kapasitansi antara penghantar sejajar adalah suatu konstanta yang tergantung pada ukuran dan jarak pemisah dan penghantar. Untuk saluran daya yang panjangnya kurang dari 80 km (50 mil), pengaruh kapasitansinya kecil dan biasanya dapat diabaikan. Untuk saluran-saluran yang lebih panjang dengan tegangan yang lebih tinggi, kapasistansinya menjadi bertambah tinggi. Persamaan umum untuk mencari nilai kapasitansi antara konduktor dengan ground dapat dijelaskan dibawah ini [2]:

=

0.02413 log2

(2.12)

dimana

H = Jarak antara konduktor dengan tanah (m) r = Radius Konduktor (cm)


(70)

37 2.9.2.3 Resistansi

Resistansi penghantar saluran transmisi adalah penyebab terpenting dari rugi daya (power loss) pada saluran transmisi. Resistansi pada suatu konduktor (arus searah) dinyatakan dalam persamaan dibawah ini [2]:

0

=

(2.13)

dimana

ρ = Resistivitas Penghantar (Ohm.m) l = Panjang (m)

A = Luas Penampang (m2)

Persamaan diatas digunakan untuk menghitung besarnya tahanan dari konduktor saluran transmisi. Akan tetapi, resistansi dari saluran transmisi tidaklah sama dengan persamaan di atas. Saat arus bolak-balik mengalir pada suatu konduktor, kepadatan arus tidak seragam pada seluruh permukaan kondoktor, melainkan lebih dekat ke permukaan atau yang disebut dengan peristiwa skin effect. Efek kulit ini sangat kecil untuk frekuensi yang rendah. Untuk

penghantar-penghantar yang biasa digunakan, menentukan resitansi dapat dilakukan dengan menggunakan Catalog Conductor yang disediakan oleh pabrik yang terkait.

2.9.2.4 Konduktansi

Konduktansi antar penghantar atau antara penghantar dan tanah akan menyebabkan terjadinya arus bocor pada isolator-isolator dari udara melalui isolasi dan kabel. Karena kebocoran pada isolator saluran udara sangat kecil sehingga nilai konduktansi antar penghantar pada saluran dapat diabaikan. Alasan


(71)

38 untuk mengabaikan konduktansi adalah karena konduktansi ini selalu berubah-ubah yakni kebocoran pada isolator yang merupakan sumber utama. konduktansi berubah dengan cukup besar menurut atmosfer dan kotoran yang berkumpul pada isolator sepanjang saluran transmisi yang nantinya menjadi polutan.

2.9.3 Rangkaian Ekivalen Saluran Transmisi

Saluran Transmisi udara maupun saluran kabel bawah tanah dapat direpresentasikan sebagai rangkaian konstan yang terdistribusi merata seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.11. Resitansi, induktansi, kapasitansi dan kobocoran akibat konduktansi didistribusikan secara seragam pada sepanjang saluran.

R (Resistansi)

C (Kapasitansi) L (Induktansi)

G (Konduktansi) R (Resistansi)

C (Kapasitansi) L (Induktansi)

G (Konduktansi) R (Resistansi) L (Induktansi)

Gambar 2.11 Rangkaian Ekivalen Transmisi Terdistribusi Merata [3]

2.10 Pemodelan Korona

Pada analisis ini pemodelan korona dapat dilakukan dengan menggunakan softwere ATPDraw dengan bentuk dasar terdiri dari komponen dioda, resistor dan

kapasitor. Untuk memperkirakan penyebaran korona pada konduktor, pemodelan korona disambungkan pada titik pertemuan oleh beberapa bagian dari potongan saluran transmisi. Ab Kadir [9] mengusulkan pemodelan korona yang membagi


(72)

39 panjang saluran menjadi 50 m – 100 m untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal, seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.

Gambar 2.12 Pemodelan Korona

Pemodelan disimulasikan menggunakan surja petir dengan karakteristik yang berubah-ubah. Saluran transmisi dimodelkan dengan beberapa parameter transmisi yang terdistribusi merata dan dihubungkan dengan pemodelan korona yang dihubungkan pada setiap titik sambungan menggunakan dioda, resistor, kapasitor dan sumber DC yang terdapat pada software ATPDraw. Bentuk pemodelan korona dapat dilihat seperti pada Gambar 2.11.

Resistor dan kapasitor merepresentasikan proses hilangnya energi akibat korona dan perubahan nilai kapasitansi pada saluran. Sementara itu sumber DC pada rangkaian merepresentasikan tegangan awalan korona. Nilai charging dari Cg (kapasitansi Geometrik) akan ditahan oleh komponen dioda (D).


(73)

40 2.10.1 Pemodelan Korona Pada Saluran Transmisi

Lightning Surge Voltage (kV)

Z

Ground

Legenda

Line (50-100 meter)

Corona Model

Surge Impedance

Gambar 2.13 Pemodelan korona pada saluran transmisi [9]

Gambar 2.13 diatas menunjukan representasi suatu saluran transmisi yang mengalami efek korona serta mendapat gangguan eksternal berupa sambaran petir langsung (direct stroke). Tiap parameter transmisi dihubungkan secara seri satu dengan yang lainnya, sedangkan pemodelan korona dipasang paralel terhadap saluran setiap jarak 50-100 m. Impedansi surja pada ujung saluran merupakan nilai impedansi yang dilalui oleh surja, ketika konduktor dianggap bernilai sangat konduktif dengan mengabaikan nilai resistansi saluran. Impedansi surja juga dipengaruhi oleh konstanta L dan C yang merambat pada kawat penghantar, dimana kedua konstanta itu juga dipengaruhi oleh karakteristik dari kawat tersebut.


(74)

41 Impedansi surja untuk saluran hantaran udara adalah sebagai berikut [10]:

= � = 60 ln2 (Ω) (2.14) Dimana, r merupakan jari-jari kawat dan h adalah tinggi kawat dari atas permukaan tanah.

2.11 Konduktor Berkas (Bundle)

Konduktor berkas adalah konduktor yang terdiri dari dua konduktor atau lebih yang dipakai sebagai konduktor satu fasa dan dipisahkan oleh suatu alat yang disebut dengan spacer dengan jarak sebesar A cm. Konduktor berkas mulai efektif digunakan pada tegangan diatas 400 kV [3] [11]. Penggunaan konduktor berkas bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya korona dan meningkatkan kapasitas daya hantar saluran transmisi.

A

A A

A

(a) (b) (c)

Gambar 2.14 Susunan Konduktor bundle (a) 2 subkonduktor, (b)3 subkonduktor, dan (c) 4 subkonduktor

Untuk konduktor bundle (berkas), Skilling and Dykes (1954) telah membuktikan rumus persamaan untuk jari-jari ekivalen (req), yang dapat disubtitusikan untuk persamaan gradient tegangan permukaan konduktor. Untuk menghitung jari-jari ekivalen menurut Skilling and Dykes [7] ialah:


(75)

42

=

1+2 −1 sin

(2.15)

1 + 2( −1)

dimana

A = jarak antar subkonduktor berkas (cm) n = jumlah berkas yang terpasang

Keuntungan menggunakan konduktor berkas antara lain:

1. Mengurangi reaktansi induktif saluran sehingga jatuh tegangan dapat diturunkan.

2. Mengurangi gradient tegangan permukaan konduktor sehingga dapat meningkatkan tegangan kritis korona dan mengurangi rugi-rugi daya korona, Audible Noise (AN) dan Radio Interference (RI).

Kerugian menggunakan konduktor berkas antara lain:

1. Meningkatkan berat total saluran sehingga berpengaruh pada konstruksi menara.

2. Meningkatkan Kapasitansi saluran. 3. Konstruksi isolator lebih rumit. 4. Meningkatkan investasi awal.


(1)

v

2.4.3 Ozon (O3)... 16

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Korona ... 17

2.5.1 Atmosfer ... 18

2.5.2 Kerapatan Udara ... 19

2.5.3 Ukuran dan Bentuk Permukaan Konduktor ... 20

2.5.4 Jarak Antar Konduktor ... 21

2.5.5 Tegangan Saluran ... 22

2.6 Akibat Yang Ditimbulkan Korona ... 22

2.6.1 Interferensi Radio ... 22

2.6.2 Degradasi atau Kerusakan Material dan Peralatan Listrik ... 23

2.6.3 Rugi Daya Korona ... 24

2.7 Manfaat Korona Pada Saluran Transmisi Hantaran Udara ... 24

2.8 Tegangan Kritis Disruptif ... 26

2.9 Saluran Transmisi ... 27

2.9.1 Klasifikasi Saluran Transmisi ... 33

2.9.2 Parameter-Paramter Saluran Transmisi ... 35

2.9.2.1 Induktansi ... 35

2.9.2.2 Kapasitansi ... 36

2.9.2.3 Resistansi ... 37

2.9.2.4 Konduktansi ... 37

2.9.3 Rangkaian Ekivalen Saluran Transmisi... 38

2.10 Pemodelan Korona ... 38

2.10.1 Pemodelan Korona Pada Saluran Transmisi ... 40


(2)

vi

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Umum ... 43

3.2 Tempat dan Waktu ... 43

3.3 Data dan Peralatan ... 43

3.4 Variabel yang diamati ... 44

3.5 Prosedur Penelitian ... 45

3.6 Pelaksanaan Penelitian ... 46

3.6.1 Proses Pengambilan Data ... 47

3.6.2 Proses Analisa Data ... 47

BAB IV ANALISIS PEMODELAN KORONA PADA SALURAN TRANSMISI YANG MENGALAMI SURJA TEGANGAN LEBIH PETIR 4.1 Saluran Transmisi 275 kV Tanpa Pengaruh Korona ... 48

4.2 Saluran Transmisi 275 kV Dengan Pengaruh Korona ... 49

4.3 Data Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 275 kV ... 49

4.3.1 Menara Transmisi ... 50

4.3.2 Konduktor Transmisi ... 52

4.4 Analisis Data dan Simulasi ... 53

4.4.1 Analisa Pengaruh Korona Pada Saluran Transmisi ... 53

4.4.2 Analisa Pengaruh Korona dengan Perubahan Ketinggian Konduktor ... 57

4.4.3 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Kekasaran Permukaan Konduktor ... 64


(3)

vii 4.4.4 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Panjang Saluran

Konduktor ... 68 4.4.5 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Karakteristik

Surja Petir ... 70 4.4.6 Analisa Pengaruh Korona dengan Variasi Tipe Konduktor Saluran

Transmisi ... 71

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 78 5.2 Saran ... 79


(4)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jenis-jenis tegangan impuls ... 7

Gambar 2.2 Tegangan impuls petir berdasarkan standar IEC ... 8

Gambar 2.3 Standar bentuk gelombang tegangan impuls petir ... 9

Gambar 2.4 Tahapan Sambaran Petir ke Tanah... 11

Gambar 2.5 Cahaya Ungu pada Saluran Transmisi Hantaran Udara... 15

Gambar 2.6 Ultrapobe alat pendeteksi suara korona ... 16

Gambar 2.7 (a) Saluran Transmisi Tunggal, (b) Saluran Tranmsisi Ganda ... 29

Gambar 2.8 Jenis-jenis Menara Transmisi... 31

Gambar 2.9 Jenis-jenis Isolator Pada Saluran Transmisi... 32

Gambar 2.10 Jenis-jenis Kawat Transmisi Listrik ... 32

Gambar 2.11 Rangkaian Ekivalen Transmisi Terdistribusi Merata... 38

Gambar 2.12 Pemodelan Korona ... 39

Gambar 2.13 Pemodelan korona pada saluran transmisi ... 40

Gambar 2.14 Susunan Konduktor Bundle (a) 2 subkonduktor, (b) 3 subkonduktor, (c) 4 subkonduktor ... 41

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian ... 45

Gambar 4.1 Pemodelan saluran transmisi tanpa korona ... 48

Gambar 4.2 Pemodelan saluran transmisi dengan korona ... 49

Gambar 4.3 Menara Transmisi 275 kV Pangkalan Susu - Binjai ... 51

Gambar 4.4 Kurva respon saluran terhadap surja petir... 56

Gambar 4.5 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Tinggi Konduktor ... 63


(5)

ix

Gambar 4.6 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Kekasaran

Permukaan Konduktor ... 67

Gambar 4.7 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Panjang

Konduktor ... 69

Gambar 4.8 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi

Karakteristik Petir ... 70

Gambar 4.9 Kurva Respon Redaman Terhadap Variasi Tipe


(6)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Standar bentuk tegangan impuls petir ... 8 Tabel 2.2 Hubungan Kondisi Permukaan Kawat dengan Nilai mo ... 21

Tabel 4.1 Data Konduktor Transmisi SUTET 275 kV Pangkalan Susu-Binjai 53 Tabel 4.2 Paramater Saluran Transmisi 275 kV Pangkalan Susu-Binjai ... 55 Tabel 4.3 Hasil simulasi respon saluran terhadap surja petir ... 56 Tabel 4.4 Hasil simulasi pengaruh korona dengan variasi ketinggian

konduktor dari atas permukaan tanah ... 63

Tabel 4.5 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi kekasaran

permukaan konduktor ... 67

Tabel 4.6 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi panjang saluran ... 68 Tabel 4.7 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi surja petir ... 70 Tabel 4.8 Hasil simulasi pengaruh korona terhadap variasi jenis konduktor ... 75