Jenis dan Lapisan Ilmu Hukum

449 Tutik, Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum Tabel 1. Perbedaan Sifat Keilmuan Bidang Ilmu Hukum Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 189. Gambar 4. Lapisan Ilmu Hukum menurut Teori Ilmu Hukum Sumber: Bernard Arief Sidharta, 2000: 162.

d. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum

Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu dogmatik hukum, teori hukum dalam arti sempit, dan ilsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktik hukum, yang masing-masing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas. Persoalan tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teori hukum dalam arti sempit. Dengan pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas dapatlah ditetapkan metode mana yang paling tepat dalam peng-kajian ilmu hukum. Pandangan Positivistik: Ilmu Hukum Empirik Pandangan Normatif: Ilmu Hukum Normatif Relasi inti Subyek-subyek Subyek-subyek Jenis pengetahuan Obyektif Inter-subyektif Sikap ilmuwan Pengamatpenonton Peserta Perspektif Eksternal Internal Teori kebenaran Teori korespondensi Teori pragmatik Proposisi Hanya informatif empiris Normatif dan evaluatif Metode Hanya metode pengalaman inderawi Juga metode lain Moral Non-kognitif Kognitif Hubungan hukum-moral Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan Ilmu Hanya sosiologi hukum empiris da teori hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas

3. Jenis dan Lapisan Ilmu Hukum

Ilmu hukum dari segi obyek dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit, yang dikenal dengan ilmu hukum dogmatic ilmu hukum normatif dan ilmu hukum dalam arti luas. Ilmu hukum dalam arti luas dapat ditelaah dari sudut pandangan sifat pandang ilmu maupun dari sudut pandangan tentang lapisan ilmu hukum seperti yang dilakukan oleh J. Gijssels dan Mark van Hoecke. Dari sudut pandang ilmu dibedakan pandangan positivisme dan pandangan normatif. Dari sudut pandangan ini dibedakan ilmu hukum normatif dogmatik dan ilmu hukum empiris. Sifat keilmuan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: proses, produk dan produsen ilmuwan. Perbedaan sifat keilmuan dua bidang ilmu hukum tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut. Teori hukum dalam arti luas Filsafat hukum Teori hukum dalam arti sempit Dogmatik hukum Sejarah hukum Sosiologi hukum Psikologi hukum Perbandingan hukum MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569 450 Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M. Meuwissen digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain: 25 a secara tegas membedakan fakta dan norma; b gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial; c metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris; dan d bebas nilai. Implikasi dari perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah: Pertama, dari hubungan dasar sikap ilmuwan. Dalam ilmu hukum empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra, sedangkan dalam ilmu hukum normatif, yuris secara aktif menganalisis norma sehingga peranan subyek sangat menonjol. Kedua, dari segi kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu hukum empirik adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatic yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. J. Gijssels dan Mark van Hoecke, membeda- kan ilmu hukum berdasarkan pelapisan ilmu hukum, yang meliputi ilsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum 26 , ke tiga lapisan ilmu hukum tersebut selanjutnya diarahkan kepada praktik hukum a Filsafat Hukum Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh ilsafat hukum dan disusul dogmatik hukum ilmu hukum positif. Kenyata- an in sejalan dengan pendapat Lili Rasjidi, 27 bahwa ilsafat hukum adalah releksi teoritis intelektual tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua releksi teoritis tentang hukum. Filsafat hukum adalah ilsafat atau bagian dari ilsafat yang mengarahkan releksinya terhadap hukum atau gejala, sebagaimana dikemukakan J. Gejssels, 28 ilsafat hukum adalah ilsafat umum yang diterapkan pada hukum dan gejala hukum. Hal yang sama juga dalam dalil D.H.M. Meuwissen, bahwa rechtilosoie is ilosoie. Filsafat hukum adalah ilsafat karena itu ia merenungkan semua persoalan fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan dengan ajaran ilsafat dalam hukum, maka ruang lingkup ilsafat hukum tidak lepas dari ajaran ilsafat itu sendiri, yang meliputi: Pertama, ontologi hukum, yakni mempe- lajari hakikat hukum, misalnya hakikat demokrasi, hubungan hukum dan moral dan lainnya; Kedua, aksiology hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti; kebenaran, keadilan, kebebasan, kewajaran, penyalah- gunaan wewenang dan lainnya; Ketiga, ideologi hukum, yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan dating, system hukum atau bagian dari system hukum; Keempat, epistemologi hukum, yakni merupakan suatu studi meta ilsafat. Mempelajari apa yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakikat hukum atau masalah ilsafat hukum yang fundamental lainnya yang umum- nya memungkinkan; Kelima, teleologi hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum; Keenam, keilmuan hukum, yakni merupakan meta teori bagi hukum; dan Ketujuh, logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem hukum dan struktur sistem hukum. 29 25 Philipus M. Hadjon, Op.cit., hlm. 2. 26 Ibid., hlm. 3. 27 Bernard Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 119. 28 Philipus M. Hadjon, Op.cit., hlm. 4. 29 Ibid., hlm. 4-5. 451 Tutik, Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum Tabel 2. Sifat Keilmuan Filsafat Hukum Filsafat Hukum Obyek Landasan dan batas-batas kaidah hukum Tujuan Teoritikal Perspektif Internal Teori kebenaran Teori pragmatik Proporsisi Informatif, tetapi terutama normatif dan evaluatif Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 181. Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang ilsafat sebagai eksplanasi relektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara: Pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; Kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya. 31 Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri melakukan hal tersebut. Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi: Pertama, analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, system hukum, konsep hukum teknis, lembaga hukum-igur hukum, fungsi dan sumber hukum; Kedua, ajaran metode hukum, meliputi metode dog- matik hukum, metode pembentukan hukum dan metode penerapan hukum; Ketiga, me- tode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin eksperimental atau disiplin hermeneutic; dan Keempat, kritik ideologi hukum. Berbeda den- gan ketiga bidang kajian di atas, kritik ideologi merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat. 32 30 Bernard Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 122. 31 Philipus M. Hadjon, Op.cit., hlm. 3. 32 Ibid., hlm. 4. b Teori Hukum dalam arti sempit Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence atau legal theory. Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad ke-19 ketika minat pada ilsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak dan spekulatif dan dogmatik dipandang terlalu konkret serta terikat pada tempat dan waktu. Istilah allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum positif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada semua sistem hukum, yang meliputi: sifat, hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat. Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eks- ternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masya- rakat. 30 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569 452 Tabel 3. Sifat Keilmuan Teori Hukum Teori Hukum Empiris Kontemplatif Obyek Gejala umum dalam hukum positif 1. algemene rechtsleer Kegiatan hukum: 2. dogmatik hukum - pembentukan hukum - penemuan hukum - Sasaran Teoritis Perspektif Ekstern Intern Teori kebenaran Korespondensi Pragmatis Proposisi Informatif atau empiris Normatif dan evaluatif Sumber: J.J.H. Bruggink, 1999: 176. teoritikal, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara praktikal. Dengan kata lain, ia, berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menwarkan alternatif penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa dogmatikus hukum bekerja dari sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut berbicara peserta aktif secara langsung dalam diskusi yuridik terhadap hukum positif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori ke- benaran yang paling sesuai bagi dogmatikus hukum adalah teori pragmatis, dimana proporsi yang ditemukan dalam dogmatik hukum bukan hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang normatif dan evaluatif. 33 J.J.H. Bruggink Terj. Bernard Arief Sidharta, 1999, Releksi tentang Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 169. 34 Ibid. c Dogmatik Hukum Dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen 1979, 33 memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau hukum positif. Berbeda dengan M. van Hoecke 1982 34 , mendeinisikan dogmatik hukum se- bagai cabang ilmu hukum dalam arti luas yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Berdasarkan deinisi tersebut terlihat, tujuan dogmatikus hukum bekerja tidak hanya secara Tabel 4. Hubungan Dogmatik Hukum dengan Teori Hukum Dogmatik Hukum Teori Hukum mempelajari aturan hukum dari segi teknis; 1. berbicara tentang hukum; 2. bicara hukum dari segi hukum 3. bicara problem yang konkrit 4. merupakan releksi pada teknik hukum; 1. tentang cara yuris bicara tentang hukum 2. bicara hukum dari perspektif yuridis ke dalam 3. bahasa non yuridis bicara tentang pemberian alasan terhadap hal 4. tersebut. Sumber: Philipus M. Hadjon, 1994: 3. 453 Tutik, Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa teori hukum tidaklah senantiasa normatif seperti dogmatik hukum. Teori hukum merupakan meta- teori bagi dogmatik hukum. Gambar 5. Hubungan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum 4. Praktik Hukum: Penerapan dan Pem- bentukan Hukum Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik maupun sudut pandangan normatif. Dogmatik hukum, teori hukum, dan ilsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut 2 dua aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum. Gambar 6. Alur Pengembangan Hukum a Penerapan Hukum Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke dalam suatu kasus yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebut De rechter is bounche de la loi, yang mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan betapa beratnya tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang. Oleh sebab itu peran penemuan hukum yang dilakukan dengan interpretasi besar, artinya dalam menentukan isi atau maksud hukum tertulis. Roscue Pound menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi 3 tiga bagian, yaitu: Pertama, menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim; Kedua, menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah itu dibentuk; dan Ketiga, menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan diputuskan oleh hakim. 35 b Pembentukan Hukum Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai: interpretasi hukum, kekosongan hukum leemten in het trecht, antinomi dan norma yang kabur vage normen. Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-undang 36 , selain itu dalam kaitannya dengan usaha menemukan hukum rechtsvinding. Artinya hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemu- kan hukum tertulis, hukum harus dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim rechtsvorming. Arti penting interpretasi merujuk pada sarana untuk mengatur daya kelenturan peraturan perundang-undangan dapat pula terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat perundang- undangan. Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa metode interpretasi hukum meliputi: interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, wets-en rectshistorische interpretatie, interpretasi per- Filsafat Hukum Teori Hukum Dogmatik Hukum Hukum Positif 35 Soewoto, “Metode Interpretasi Hukum Terhadap Konstitusi”, Yuridika Jurnal Hukum Universiotas Airlangga Surabaya, No. 1 Tahun V, Januari – Februari 1990, hlm. 32. 36 Ibid., hlm. 31. FILSAFAT HUKUM TEORI HUKUM DOGMATIK HUKUM PRAKTIK HUKUM MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569 454 bandingan hukum interpretasi perbandingan hukum, interpretasi antisipasi, dan interpretasi teleologis. 37 Van Bemmelen dalam bukunya Praktische rechtsvragen 1891 membedakan metode interpretasi meliputi: 1 de textuale interpretatie, 2 intentionele interpretatie, 3 principiele interpretatie, 4 rationele interpre- tatie, 5 morele interpretatie, 6 comparatieve interpretatie, 7 analogische interpretatie, 8 legislative interpretatie, 9 historische interpretatie, dan 10 evolutieve interpretatie. De textuale interpretatie merupakan nama baru saja dari interpretasi gramatikal. Intentionele interpretatie dijelaskan sebagai gericht op de bedoeling van de wet. Dengan begitu kedua jenis interpretasi ini sebenarnya tidak lain dari teleologische interpretatie. Adapun penafsiran prinsipil principiele interpretatie dan penafsir- an atas normal hukum morele interpretatir merupakan jenis penafsiran baru oleh van Bemmelen. Penafsiran prinsipil adalah penafsiran yang gericht op strekking, doel, motieven of beginselen van de wet. Sedangkan interpretasi komparatif merupakan nama lain dari interpretasi sistematis. 1 Interpretasi Gramatikal Interpretasi gramatikal mengartikan bahwa suatu term hukum suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Dalam istilah Belanda se- bagai “De rechter die zoekt naar de algemene of jurisch-technische betekenis van de woorden van de wet, hanteert de “gramaticale interpretatie” methode.” Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, bahwa interpretasi gramatikal itu harus logis. Sebagai contoh penafsiran mengenai istilah “menggelapkan” yang secara implisit tercantum dalam Pasal 41 KUHPidana ada kaitannya ditafsirkan sebagai menghilangkan. 38 Apabila dengan interpretasi gramatikal tersebut hakim tidak berhasil atau kurang puas, maka ia akan menggunakan interpretasi sistematis systematische interpretatie. 2 Interpretasi Sistematis Melalui metode ini hakim akan mendapatkan arti suatu pasal dalam kaitan- nya dengan pasal-pasal yang lain. Undang- undan atau pasal-pasal tertentu akan diberi makna dalam hubungannya dengan makna dari pasal-pasal terkait dalam suatu tatanan norma hukum yang berlaku. Dengan kata lain bahwa interpretasi sistematis bertitik tolak dari sistem aturan mengartikan sesuatu ketentuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan. Misalnya, jika hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata saja, tetapi harus dihubungkan dengan Pasal 278 KUHPerdata. 39 3 Wets-en rectshistorische Interpretatie Merujuk pada M. van Hoecke, 40 menyebutkan ada dua macam penafsir histories, yaitu wetshistorische interpretatie, dan rechtshistorische interpretatie. Usaha menelusuri maksud pembentukan undang- undang adalah suatu wetshistorische inter- pretatie”, misalnya dengan mempelajari “memori penjelasan”, menelusuri nasehat yang diberikan oleh “Raad van Stool State” baca DPA. Dalam usaha menemukan jawaban atas suatu isu hukum dengan menelusuri perkembangan hukum aturan disebut “historische interpretatie”. Misalnya jika hendak menjelaskan ketentuan dalam KUH Perdata – tidak terbatas pada sampai 37 Philipus M. Hadjon, Op.cit., hlm. 6. Bandingkan dengan metode interpretasi yang dikemukakan Olberseh van Bemmelen dalam Soewoto, Ibid., hlm. 35. 38 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Aditya Citra Bhakti, Bandung, hlm. 15. 39 Ibid., hlm. 17. 40 Soewoto, Ibid., hlm. 33. 455 Tutik, Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum pada terbentuknya KUHPerdata saja, tetapi masih mundur ke belakang sampai pada hukum Romawi. Sedangkan, mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita Indonesia. 4 Interpretasi Perbandingan Hukum Interpretasi ini mengusahakan penye- lesaian suatu isu hukum dengan memban- dingkan berbagai stelsel hukum. Dengan memperbandingkannya hendak dicari ke- jelasan mengenai suatu ketentuan undang- undang, terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional. Menurut Lemaire interpretasi perbandingan hukum ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisasi kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif kaidah hukum untuk beberapa negara 41 . Sedangkan di luar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas. 5 Interpretasi Antisipasi Interpretasi antisipasi atau Interpretasi futuristik diperlukan untuk menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku. Dengan lain kata, bahwa interpretasi antisipasi merupakan penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. 6 Interpretasi Teleologis Teleologische Interpretie Setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis. Metode ini digunakan jika hakim ingin memahami hukum dalam kaitannya dengan maksud dan tujuan pembuat undang- undang. Ajaran “de rechter is bounche de la loi” mutlak mewajibkan hakim harus memahami maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Tujuan hukum dan tujuan pembuat undang-undang berbeda. Tujuan hukum sifatnya umum yang isinya ditentu- kan oleh doktrin hukum. Tujuan pembuat undang-undang sifatnya khusus, dalam arti setiap undang-undang mempunyai tujuan dan politik perundangan sendiri. 42 Contoh, apakah penyadapan atau penggunaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang di- lakukan orang lain termasuk pencurian menurut Pasal 362 KUHPidana seandainya pada waktu undang-undang ini dibuat diasumsikan belum dibayangkan adanya kemungkinan pencurian aliran listrik. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tenaga listrik itu merupakan barang yang dapat diambil menurut rumusan Pasal 362 KUHPidana. Kemudian ditafsir, bahwa tenaga listrik itu bersifat mandiri dan mem- punyai nilai tertentu, karena untuk memper- olehnya diperlukan biaya dan aliran listrik dapat diberikan orang lain dengan pengganti- an biaya, dan bahwa Pasal 362 KUHPidana bertujuan untuk melindungi harta kekayaan orang lain.

5. Metode Kajian Ilmu Hukum