filsafat ilmu dalam kajian hukum

BUNGA RAMPAI

POSBAKUM ANTARA TEORI

DAN PRAKTEK

EDITOR: FAIZAL AMIN

BUNGA RAMPAI POSBAKUM ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan Hak Cipta dilindungi undang-undang All Right Reserved (c) 2014, Indonesia: Pontianak

Editor:

Faizal Amin

Layout dan Cover

Setia Purwadi & Fahmi Diterbitkan oleh IAIN Pontianak Press

Jalan Letjend. Suprapto No. 19 Telp./Fax. 0561-734170 Pontianak, Kalimantan Barat

Cetakan Pertama, Desember 2014 BUNGA RAMPAI POSBAKUM

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK iv + 230 halaman: 160mm x 240 mm

Dilarang mengutif dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari penerbit

Sanksi pelanggaran pasal 72: Undang-undang nomor 19 Tahun 2002 Tentang Tentang Hak cipta: (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimak-

sud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana pen- jara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan atau denda paling sedikit Rp.1000.000,- (Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah)

(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana di- maksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama (5) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah).

PENDEKATAN BAHASA KRITIS SEBAGAI SETRATEGI PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA

Oleh: Sultan, M.A

Abstrak

Semakin hari, semakin marak dan semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Hal ini salah satunya disebabkan adanya tayangan-tayangan kekerasan yang disiarkan melalui media. Padahal anak-anak belum memiliki imunitas terhadap program-program nega f yang terselip dalam tayangan televisi. Sebagai upaya untuk meminimalisasi dampak nega f dari media terhadap perkembangan anak-anak, maka dibutuhkan pembelajaran media yang berbasis pendekatan bahasa kri s, salah satunya dapat dilakukan melalui interaksi dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia paradigma kri s. Tulisan ini bertujuan mendiskripsikan relasi bahasa media yang mempengaruhi ngkah laku anak/siswa. Dan menawarkan konsep atau strategi pengembangan pembelajaran literasi media melalui pendekatan bahasa kri s.

Pendahuluan

Pertumbuhan dan perkembangan media sosial menambah ruang bermain bagi anak-anak Indonesia untuk mengisi waktu sehari-harinya, dan dengan dibanjirinya keseharian anak-anak dengan dunia teknologi menghadirkan budaya baru dalam dunia anak-anak masa sekolah. Hal ini terlihat dalam kesehariannya, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan Televisi (TV) dibandingkan menghabiskan waktu untuk membaca buku. Fenomena ini sudah jamak terjadi di kalangan anak-anak

Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan, dan fenomena ini juga sudah dianggap biasa oleh para orang tua.

Tingginya intensitas anak Indonesia menonton televisi menyebabkan terjadinya adopsi budaya media dalam interaksi anak-anak dengan sesamanya dan model interaksi anak dengan orang tua. Tingginya intensitas anak-anak Indonesia dalam menonton televisi selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Sirulhak bahwa, anak-anak Idonesia menonton televisi selama 30-35 jam, atau 1560-1820 jam setahun. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jam belajar di sekolah dasar yang

dak lebih dari 1000 jam/tahun. Maka ke ka ia menginjak masa SMP, ia sudah menyaksikan televisi selama 15.000 jam/tahun. Adapun waktu yang dihabiskan untuk belajar dak lebih dari 11.000 jam saja. Kesimpulannya, lebih banyak waktu dihabiskan untuk menonton televisi daripada belajar atau membaca buku.

Hal ini menjadi buk bahwa, ada beberapa stasiun televisi yang berpotensi melahirkan pengaruh nega f kepada pemirsa/ penontonnya. Anak-anak Indonesia menghabiskan banyak waktu untuk menonton acara televisi. Masuknya pengaruh-pengaruh nega f acara televisi kepada pemirsa, terutama anak-anak, sebenarnya, bukan semata-mata karena citra tayangan acara televisi itu, tetapi juga disebabkan oleh ngkat literasi masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak terhadap media masih rendah.

Dalam keadaan ngkat literasi media bagi anak-anak rendah maka peluang terpengaruhnya anak-anak oleh program acara televisi menjadi nggi. Oleh sebab itu dibutuhkan imunitas atau kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh nega f televisi, sehingga anak-anak di samping dapat menikma program tv sebagai hiburan, mereka juga memiliki bekal dalam proteksi diri dalam menagkal pengaruh-pengaruh nega f media. Sistem imunitas ini perlu ditanamkan pada anak-anak dengan memulai melaksanakan pembelajaran literasi media dengan pendekatan bahasa kri s. Di samping itu juga, tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan relasi antara media dan kekerasan simbolik, dan menawarkan konsep pendekatan bahasa kri s dalam memahami literasi media.

KEKERASAN SIMBOLIK DALAM MEDIA

Di beberapa media menampilkan kekerasan-kekerasan simbolik, yang kemudian diadaptasi langsung oleh anak-anak dalam dunia keseharian mereka. Hal ini banya terungkap dari beberapa kejadian seper apa yang dilakukan oleh Reza, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya memperak kkan adegan smack down kepadanya.

Munculnya beberapa dampak yang dilahirkan oleh media, pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat, salah satunya, dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi.

Jika diurai lebih rinci, kekerasan dokumen juga merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa dengan mata telanjang sebagai dokumentasi atau rekaman fakta kekerasan. Termasuk dalam kekerasan ini, yaitu pembunuhan, pertengkaran, perkelahian, tembakan atau berupa situasi konfl ik, luka, tangisan dan sebagainya. Kekerasan fi sik menunjukkan kepemilikan kepada dunia yang mungkin ada, yang menjadi bagian dari dunia riil atau faktual. Sebagai contoh, kisah fi ksi berupa fi lm, komik, dan iklan. Adapun kekerasan simulasi yaitu kekerasan yang berasal dari duni virtual, misalnya permainan video dan permainan online.

Sampai di sini bisa dipahami, media memiliki peran yang sangat kuat dalam mengonstruksi kekerasan sekaligus menimbulkan banyak kasus kekerasan. Hal ini terus diperparah dengan kondisi pada masyarakat, terutama anak-anak, budaya baca belum terbentuk, sementara budaya menonton televisi sudah sedemikian kuat. Di sisi lain, kesempatan orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari telah semakin berkurang akibat pola hidup masyarakat moderen yang menuntut ak vitas di luar rumah.

PENDEKATAN BAHASA KRITIS DAN LITERASI MEDIA

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan peroses pembelajaran agar peserta didik secara Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan peroses pembelajaran agar peserta didik secara

Literasi media merupakan is lah yang merujuk pada konsep bagaimana agar masyarakat memiliki wawasan sekaligus sikap bijak dalam berinteraksi dengan media. Dengan wawasan dan sikap tersebut maka diharapkan efek-efek nega f media akan dapat dieliminasi. Di Indonesia, literasi media sering diar kan dengan melek media. Namun, dalam tulisan ini, is lah yang dipakai adalah literasi media. Pemilihan is lah ini, selain karena lebih bernuansa akademis, juga menunjukkan secara dak langsung bahwa konsep literasi media berbeda dengan pendidkan media. Dalam tulisan ini, konsep literasi lebih menunjukkan sikap kri s (ak f) sementara konsep pendidikan media lebih pada sikap menerima (pasif). Pendidikan media merupakan bagian dari literasi media, sementara media literasi bukan bagian dari pendidikan media (media educa on).

Masalah melek media muncul karena ke dakmampuan orang menafsirkan konstruksi realitas melalui bahasa. Sehubungan dengan itu, upaya untuk menerapkan literasi media memiliki keterkaitan yang erat dengan bagaimana memanfaatkan teori atau paradigma bahasa dak sebatas pada pengetahuan teknis untuk memahami struktur internal kebahasaan. tetapi lebih dari itu bagaimana menghubungkan ekspresi-ekspresi bahasa dalam hubungannya dengan konteks pemakaian bahasa itu dalam ruang-ruang sosial.

Sehubungan dengan itu, dalam hal ini, pendekatan bahasa yang paling tepat untuk menumbuhkan sikap kri s dak lain adalah pendekatan bahasa kri s. Pendekatan kri s merupakan satu pendekatan yang lazim dan cukup dikenal dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, yang lahir atas prakarsa beberapa ilmuan dari mazhab Frankfurt. Pendekatan ini mengandaikan bahwa dunia sosial daklah semata-mata seper apa yang tampak oleh mata.

Dengan demikian, adanya kemiskinan, marjinalisasi, dan bentuk- bentuk ke dakadilan lainnya, bukan semata karena mereka

dak mampu bekerja, tetapi karena dioengaruhi oleh sistem birokrasi. Dalam hubungannya dengan bahasa, ekspresi verbal dianggap dak bebeas nilai, sehingga apapun bentuk ekspresi verbal itu patut untuk dicurigai karena diyakini sebagai tempat bersembunyinya ideologi.

Sebagai upaya pemebelajaran literasi media, pembelajaran bahasa kri s atau aspek-aspek bahasa kri s akan mengantarkan siswa untuk dapat memahami bentuk-bentuk ekspresi verbal yang dak bebas nilai tersebut. Nilai dalam ar bahwa, nilai- nilai kekerasan (simbolik) yang tercermin dalam bentuk-bentuk ekspresi verbal bahasa tersebut. Pada k ini, bahasa memiliki peran pen ng dalam perubahan-perubahan sosial melalui rekayasa pembelajaran bahasa.

STRATEGI PEGEMBANGAN PEMBELAJARAN

Pemebelajaran literasi media yang terintegrasi dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat mungkin dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu strategi pembelajaran litersasi media dapat dilakukan dengan pendekatan mikro. Pendekatan mikro yang dimaksud dalam hal ini adalah dengan mengintegrasikan pembelajaran literasi media melalui mata pelajaran Bahasa dan Sasatra Indonesia. Sehubungan dengan itu, perencanaan pembelajaran hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga tetap mengacu pada prinsip- prinsip dasar pembelajaran Bahasa dan Sasatra Indoesia.

Sehubungan dengan itu juga, perlu diperhitungkan ngkat usia yang menjadi subjek pembelajaran, misalnya untuk siswa SD. Anak SD masih dalam taraf berpikir kongkret, dengan demikian, materi dan konsep yang diberikan harus diawali dengan hal-hal yang kongkret. Oleh sebab itu sumber-sumber belajar seyogyanya disesuaikan dengan ngkat perkemangan anak/siswa.

Yang lebih pen ng dalam melaksanakan pembelajaran literasi yang terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa dan Sasatra Indoesia ialah mencari sumber standar kompetensi dan kompetensi dasar yang relevan dalam kurikulum pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia. Adapun langkah-langkah pengembangan materi literasi media dapat dilakukan dengan cara:

1. Mengiden fi kasi bentuk-bentuk dan kategori kekerasan dalam media

2. Mengklasifi kasikan bentuk-bentuk kekerasan dalam media berdasarkan jenis dan sumber medianya

3. Menyusun materi pembelajaran BI yang berwawasan literasi media

4. Menata silabus materi pembelajaran BI berwawasan literasi media

5. Menata materi BI yang berwawasan literasi media, dan menyusun draf bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia berwawasan literasi media.

Perlu diketahui bahwa ngkat literasi media dan ngkat literasi kri s siswa merupakan dua hal yang berbeda. Tingkat literasi kri s terkait dengan kemampuan memahami atau berbahasa kri s, atau memahami aspek-aspek bahasa kri s. Tingkat literasi media terkait dengan kemampuan memahami dan menilai pesan-pesan media serta kemampuan berinteraksi dengan media secara bijak.

Sehubungan dengan itu, hasil pembelajaran literasi media mengandung ga konsep, yaitu tercapainya kompetensi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kemudian tercapainya kompetensi kri s terkait dengan aspek-aspek pemahaman bahasa kri s, dan kompetensi literasi media. Dalam hubungannya dengan indikator literasi kri s, dan literasi media maka diharapkan, misalnya siswa dapat memahami dan mendeteksi adanya 1) penggunaan distorsi informasi, 2) penggunaan drama sasi fakta palsu, 3) menggunakan bahasa yang membunuh karakter, 4) pesan yang mengandung kekerasan, dan 5) pesan yang meracuni pikiran anak.

PENUTUP

Mengingat interaksi anak dengan media cukup nggi, bahkan lebih nggi dibandingkan dengan jumlah jam belajar mereka di se kolah maka pengaruh nega f media, terutama Mengingat interaksi anak dengan media cukup nggi, bahkan lebih nggi dibandingkan dengan jumlah jam belajar mereka di se kolah maka pengaruh nega f media, terutama

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Poli k Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi (Terjemahan). Yogyakarta: Indonesia.

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.

Panggaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hariyatmoko. 2007. E ka Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi . Yogyakarta:Kanisius.

Hamad, Abnu. 2004. Konstruksi Realitas Poli k dalam Media Massa. Jakarta: Gramit.

Sobur, Alex. Semio ka Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.

LAUNDRY Q: KORELASI ANTARA ANCAMAN KLAUSULA BAKU DAN KRITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Rahmat, SH, MH.

Abstrak

Klausula baku merupakan akumulasi dari faktor bisnis dan non-bisnis, dan mengiku pola seragam. Asas-asas kontrak perlindungan konsumen, baik yang diperkenalkan oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 maupun oleh para ahli, belum menjiwai kontrak baku dan klausula baku. Akibatnya, kenda Laundry Q mengombinasi 3 ( ga) asas kontrak, namun komposisi klausula bakunya terdiri dari klausula eksonerasi dan terlarang. Selain mengandung kelemahan-kelemahan internal, pengawasan UU ini lemah, apalagi penegakkan hukumnya. Klausula baku yang dilarangnya hanya menyentuh bagian kecil klausula rumusan pelaku usaha.Lembaga ekseku f dan legisla f harus ber ndak. Ser fi kasi klausula baku, revisi Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999, dan pengujian materil pasal tersebut ke Mahkamah Kons tusi perlu dilakukan.

Kata kunci: Asas kontrak, klausula baku, klausula terlarang, klausula eksonerasi, Laundry Q, Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

PENDAHULUAN

Dalam disertasinya yang sudah dibukukan, Hernoko mengatakan suatu kontrak berawal dari perbedaan atau Dalam disertasinya yang sudah dibukukan, Hernoko mengatakan suatu kontrak berawal dari perbedaan atau

berkontrak dapat menimbulkan sanksi perdata dan pidana. 2 Namun di dalam prak k kontrak modern, banyak ditemukan model kontrak baku yang cenderung berat sebelah, dak seimbang, dan dak adil, 3 karena isinya telah diformulasikan oleh satu pihak dalam bentuk formulir-formulir. 4 Hanya segelin r hal saja yang biasanya belum dibakukan. 5 Aturan atau ketentuan atau syarat sebuah kontrak merupakan klausula yang menentukan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, hak dan kewajiban. Kalau klausula kontrak telah dipersiapkan dan ditetapkan lebih dahulu oleh pelaku usaha, sementara konsumen hanya diminta menyetujui dan memenuhinya saja, maka klausula itu disebut klausula baku. Pasal 1 ayat 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan:

“Klausula baku adalah se ap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Pembakuan klausula cenderung menimbulkan masalah. Pertama, karena klausula baku seringkali merugikan pihak yang berada pada posisi lemah dan, kedua, karena kesulitannya untuk mewujudkan asas kebebasan, keseimbangan, dan keadilan bagi para pihak. Jika menyimpangi asas kebebasan berkontrak, maka klausula baku bertentangan dengan Pasal 1338 ayat

1 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (LaksBang Mediatama Yogyakarta bekerjasama dengan Kantor Advokat “Hufron & Hans Simaela Surabaya, 2008), 1.

2 Yusuf Shofi e, Perlindungan Konsumen, (B andung: PT Citra Aditya Bak , 2009), 33-36.

3 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 2. 4 Man S Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, (Bandung: Alumni,

2005), 175. 5 Misalnya jenis, harga, jumlah, tempat, waktu dan spesifi kasi lain dari

objek perjanjian. Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Ins tut Bankir Indonesia, 1993), 66.

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Jika menyimpangi asas keseimbangan dan keadilan, maka klausula baku bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor

8 Tahun 1999. Tidak menutup kemungkinan klausula baku yang disodorkan di sekeliling masyarakat, dan disetujui untuk memenuhi hajat keseharian, misalnya menyuci pakaian (laundry), adalah klausula baku yang dak melindungi kepen ngan konsumen. Klausula baku Laundry Q yang bertempat di Kota Pon anak, misalnya, dirumuskan tanpa melibatkan konsumen. Terhadap isi dan format klausula itu, konsumen dak diberi kesempatan untuk mengusulkan perubahan. Kosumen cukup memberikan persetujuan dengan cara menandatangani kontrak baku dan klausula baku yang sudah tersedia.

Klausula baku Laundry Q tentunya dibuat dan dirumuskan dengan alasan-alasan tertentu yang disesuaikan dengan faktor kepen ngan dan rasionalitas bisnis. Namun klausula yang disodorkan kepada konsumen itu dak dapat mengelak dari penilaian norma f UU Nomor 8 Tahun 1999. Sebabnya ialah karena pelaku usaha wajib mematuhi ketentuan-ketentuan tentang klausula baku seper disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1999. Ketakterelakkan norma f belum sepenuhnya membuk kan UU tersebut serba lengkap, serba sempurna, dalam rangka melindungi kepen ngan konsumen. Kelemahan suatu peraturan hukum, atau peraturan perundang-undangan, sedari awal sudah disadari oleh para ahli hukum, bahkan oleh para perumus (legislator) sendiri. Tak mengherankan jikalau suatu peraturan bisa diubah, direvisi, dibatalkan, dicabut, dihapus, dan berbagai bentuk kemungkinan legalitas lainnya. Konon pula objek yang diaturnya bersifat dinamis dan berubah mengiku perkembangan seper halnya perlindungan konsumen.

Dilemanya adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 merupakan satu-satunya peraturan perundang-undangan yang tersedia, masih berlaku hingga sekarang, dan oleh karenanya paling tepat, untuk mengeksaminasi klausula baku, sementara pada saat yang sama suatu peraturan perundang-undangan memendam kelemahan. Keadaan dipersulit oleh lemahnya peranan ins tusi kepemerintahan, yang berwenang dan berhubungan langsung Dilemanya adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 merupakan satu-satunya peraturan perundang-undangan yang tersedia, masih berlaku hingga sekarang, dan oleh karenanya paling tepat, untuk mengeksaminasi klausula baku, sementara pada saat yang sama suatu peraturan perundang-undangan memendam kelemahan. Keadaan dipersulit oleh lemahnya peranan ins tusi kepemerintahan, yang berwenang dan berhubungan langsung

KLAUSULA BAKU: TEORI, ASAS, NORMA DAN BUKTI ILMIAH

Mewaspadai klausula baku, secara teori s, adalah kewaspadaan untuk melindungi konsumen. Pepatah lama, bahwa pembeli (konsumen) bagaikan sang raja, hendak diwujudkan lagi setelah pelaku usaha merajai tahta kontrak dan klausula bisnis modern. Kewaspadaan teori s untuk melindungi konsumen muncul dari pengalaman pahit bisnis dan industri, kemudian menyita perha an studi-studi hukum. Ada ga teori terkenal, jikalau bukan paling berpengaruh dalam perlindungan konsumen: let the buyer beware, the due care theory, dan the

privity of contract. 6 Teori let the buyer beware atau caveat emptor, yang secara harfi ah berar “biarkan si pembeli berha -ha ”, dianggap embrio kelahiran sengketa transaksi konsumen. Teori ini mengandaikan pelaku usaha dan konsumen berkedudukan seimbang karena dibentuk oleh mekanisme pasar. Proteksi eksternal tak diperlukan. Jika konsumen mengalami kerugian, maka penyebabnya ialah kekeliruan konsumen, karena menurut prinsip keperdataannya pihak yang wajib berha -ha adalah konsumen. Bukankah klausula baku sudah tersedia! Teori ini mengandung beberapa kelemahan atau kri k. Pertama, peluang pelaku usaha untuk menutup-nutupi informasi produk berkali-kali lebih besar ke mbang ke dakmampuan konsumen mengakses informasi. Kedua, dalih pelaku usaha untuk menjus fi kasi dirinya lebih besar ke mbang konsumen.

Teori the due care theory menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berha -ha dalam memasyarakatkan produk (barang/ jasa). Pelaku usaha dapat disalahkan kalau dia terbuk melanggar prinsip keha an-ha an.

6 Ke ga teori ini diku p dan diparafrasekan kembali dari Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), 50-52.

Kunci perlindungan konsumen terletak pada kemampuan konsumen untuk membuk kan kesalahan pelaku usaha atau pelanggarannya terhadap prinsip tersebut. Masalahnya ialah konsumen mengalami kesulitan untuk membuk kan kelalaian pelaku usaha yang memiliki kekuatan ekonomis, poli s dan sebagainya. Kelemahan lain teori the due care theory ialah ke daksesuaiannya dengan hukum pembuk an di Indonesia. “Barangsiapa mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peris wa, maka dia diwajibkan membuk kan adanya hak atau peris wa tersebut” (Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini jelas menyulitkan konsumen.

Kewajiban pelaku usaha untuk melindungi konsumen sangat ditekankan oleh teori the privity of contract, asalkan saja di antara dua pihak telah terjalin hubungan kontraktual. Kewajiban melindungi konsumen diakibatkan oleh kontrak. Kontrak akan mendasari dan membatasi kewajiban pelaku usaha. Hal di luar rumusan kontrak dak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Kenda sangat memperha kan kosumen, namun teori the privity of contract memiliki kelemahan. Pertama, sebuah kontrak seringkali dibuat berdasarkan kemauan pelaku usaha. Kontrak baku dan klausula baku adalah buk ke dakberdayaan konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha. Kedua, pelaku usaha berpeluang menghilangkan kewajiban yang seharusnya dibebankan kepadanya. Ke ga, pelaku usaha bisa saja hanya merumuskan kesalahan prinsipil dalam kontrak, sedangkan kesalahan lain, yaitu kesalahan fatal menurut konsumen, dianggap kesalahan kecil. Klausula baku seringkali memuat subjek fi kasi kesalahan, yaitu kesalahan perspek f pelaku usaha sendiri.

Mewaspadai klausula baku bukan dengan semata-mata mengembalikan konsumen sebagai raja, melainkan dengan memeriksa asas-asas hukum kontrak yang mendasarinya. Tidak ada hukum tanpa asas-asas hukum, baik karena asas-asas tersebut

memberikan makna e s peraturan hukum maupun tata hukum. 7

7 Yusuf Shofi e, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), 25.

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, menurut Shofi e, mengibaratkan asas hukum seper “jantung” peraturan hukum. Dalam pembahasan asas hukum kontrak, menurut Hernoko, Niewenhius berpendapat asas hukum berfungsi sebagai pembangunan sistem, menciptakan sistem check and balance, mempengaruhi

hukum posi f, dan mengarah pada proses keseimbangan. 8 Hukum memang mengenal beberapa asas yang mendasari perjanjian secara umum, dan kontrak khususnya. Pertama, asas kebebasan berkontrak. Se ap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya, sejauh dak

melanggar undang-undang, keter ban umum, dan kesusilaan. 9 Makna kata “se ap orang” bukan merujuk pada pribadi atau individu tertentu, melainkan antar pribadi atau antar individu. Prinsip kebebasan berkontrak memberikan kebebasan bagi para pihak untuk (1) membuat atau dak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, dan (4) menentuk

bentuk perjanjian (lisan dan tulisan). 10 Jadi di dalam kontrak para pihak mempunyai kedudukan seimbang dan berkeadilan, aturan yang mengikat, dan wajib ditaa oleh para pihak yang membuatnya.

Kedua, asas konsensualisme. Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ke ka tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat sahnya kontrak sudah terpenuhi. 11 Karakter universal dari asas konsensualisme terletak pada unsur kesepakatan, yang dibentuk oleh penawaran dan penerimaan, 12 sekalipun kedua pihak mengabaikan unsur-unsur formalitas kontrak. Ke ga, asas daya mengikat kontrak (pacta sunt servanda). Suatu kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Menurut Hernoko, penger an “berlaku sebagai

8 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 22. 9 Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka

Jus sia, 2009), 43. 10 Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia

(Jakarta: Sinar Grafi ka, 2003), 9. 11 Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),

(Bandung: Citra Aditya Bak , 1999), 30. 12 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 107.

undang-undang bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan

posisi para pihak sejajar dengan pembuat undang-undang. 13 Keempat, asas i kad baik. Perjanjian harus dilaksanakan dengan

i kad baik (Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Salim membagi i kad baik menjadi dua. Pertama adalah i kad baik yang nisbi. Ar nya, i kad baik dapat dilihat dari sikap dan ngkah laku seseorang. Kedua adalah i kad baik yang mutlak. Ar nya, penilaian terhadap i kad baik diletakkan pada akal sehat dan keadilan, dan dibuat ukuran seobjek f

mungkin untuk menilai keadaan tersebut. 14 Rusli berpendapat,

i kad baik adalah kejujuran dalam fakta, dalam ndakan, atau

dalam transasksi yang bersangkutan. 15 Kelima, asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas berar asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pra melakukan kontrak, pembentukan kontrak, hingga pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas dak menyoal keseimbangan hasil, tetapi lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban antar

pihak. 16 Menurut Hernoko, asas proporsionalitas pada dasarnya merupakan perwujudan doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam

beberapa hal justeru menimbulkan ke dakadilan. 17 Dalam kontrak komersial, asas proporsionalitas memiliki 3 ( ga) fungsi, yaitu (1) menjamin terwujudnya negoisasi kontrak yang fair, yang dilakukan pada tahap pra kontrak, (2) menjamin kesetaraan hak serta kebebasan menentukan isi kontrak, yang dilakukan pada tahap pembentukan kontrak, dan (3) menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban sesuai proporsinya, yang dilakukan dalam pelaksanaan kontrak. Hernoko selanjutnya berpendapat, jika terjadi kegagalan pelaksanaan kontrak, maka

13 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 110. 14 Salim. H.S, Perkembangan Hukum, 11. 15 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1993), 120. 16 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 29, 293. 17 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 73.

kadar kesalahan harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas, sehingga kesalahan kecil (minor important) dak serta merta berakibat pada pemutusan kontrak, atau pembebanan gan

rugi terhadap pihak lain. 18 Fungsi-fungsi asas proporsionalitas kiranya dapat pua diberlakukan dalam kontrak jasa, karena “... batasan yang jelas mengenai kontrak komersial itu sendiri dak

pernah dijumpai.” 19 Keenam, asas keseimbangan. Tujuan asas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajiban. Hasil akhir merupakan pembeda utama asas keseimbangan dari asas proporsionalitas. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan posisi para pihak, intervensi dari otoritas negara (pemerintah)

sangat kuat. 20 Selain mengatur ketentuan klausula baku dan menyebutkan lima asas perlindungan konsumen, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepas an hukum (Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun

1999), 21 UU Nomor 8 Tahun 1999 juga mengatur hak (konsumen 22

18 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 293-294. 19 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 29. 20 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 61, 66-67.

21 Rumusan ini dirinci oleh Penjelasan Atas UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat dan sebesar- besarnya bagi kepen ngan konsumen dan pelaku usaha. Asas keadilan dimaksudkan agar par sipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepen ngan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam ar materiil dan spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepas an hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaa hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepas an hukum.

22 Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkannya sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang 22 Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkannya sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan, dilayani secara benar serta dak diskrimina f; h. Hak untuk mendapatkan konpensasi gan rugi dan/atau penggan an, apabila barang dan/atau jasa yang diterima dak sesuai dengan perjanjian atau dak sebagaimana mes nya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan- undangan lainnya.

23 Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan hak pelaku usaha adalah: a. Menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Mendapat perlindungan hukum dari ndakan konsumen yang dak beri kat baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik, apabila secara hukum kerugian konsumen tak terbuk ; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

24 Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan kewajiban konsumen adalah: a. Membaca dan mengiku petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa; b. Beri kat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepaka ; d. Mengiku upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

25 Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan kewajiban pelaku usaha adalah: a. Beri kat baik dalam melakukan usaha; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta menjelaskan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan dak diskrimina f; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesepatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi konpensasi gan rugi dan/atau penggan an, atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi konpensasi gan rugi dan/atau penggan an apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan dak sesuai dengan perjanjian.

perlakuan keadilan antara hak konsumen dan pelaku usaha. 26 Menurut UU Nomor 8 Tahun 1999, dak semua klausul baku diperbolehkan. Ada klausul baku yang dilarang atau disingkat klausul terlarang. Norma dasar UU yang mengatur klausula terlarang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3):

“Se ap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.”

Ketentuan-ketentuan mengenai klausula terlarang dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1) 27 dan (2). 28 Apabila suatu klausul baku sudah dinyatakan batal demi hukum, maka kontrak yang disepaka oleh pelaku usaha dan konsumen juga dinyatakan batal. Pembatalan merupakan wewenang lembaga peradilan atau lembaga peradilan khusus yang ditunjuk untuk melaksanakannya.

Jika klausula baku hendak dihindarkan dari klausula

26 Ar djo Alkostar, Negara Tanpa Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 327. 27 “(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada se ap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun dak langsung untuk melakukan ndakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; f. Mengatur perihal pembuk an atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; g. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; h. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; i. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.”

28 (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau dak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimenger .” 28 (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau dak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimenger .”

(penjual). 30 Rijken, seper diku p Miru dan Yudo, mendefi nisikan klausula eksonerasi sebagai: “Klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar gan

rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena inkar janji atau perbuatan melanggar hukum.” 31

Indikator klausula eksonerasi adalah klausul yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jikalau dibandingkan dengan pelaku usaha. Unsur fundamental

klausula eksonerasi semacam ini 32 belum atau dak terakomodir dalam UU Nomor 8 Tahun 1999. Perha kan Tabel 1 di bawah.

29 Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1999. 30 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,20. 31 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudi, Hukum Perlindungan Konsumen

(Jakarta: Rajawali Press, 2007), 114. 32 “Klausula yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula

tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.” Ahmadi Miru dan Sutarman Yudi, Hukum Perlindungan Konsumen, 114.

Tabel 1

Ciri Utama Klausula Terlarang dan Klausula Eksonerasi

Klausula No

Contoh Terlarang

Klausula Eksonerasi

Kekurangan harga jual Pengalihan

barang jaminan yang 1 Tanggung

dilakukan oleh pelaku Jawab

usaha menjadi tanggung jawab konsumen

Mengatur Jika terjadi perbedaan, 2 Beban

maka perhitungan kami Pembuk an

dianggap benar Kelebihan dari harga jual

barang jaminan yang Pengaburan

dilakukan oleh pelaku bentuk/isi usaha akan disampaikan

kepada konsumen Pembatasan Tanggung Film yang hilang/ rusak

Jawab

digan sebesar 1 rol fi lm Hilang/Kerusakan

Penghilangan

5 - barang di luar tanggung

Tanggung Jawab

jawab kami Setelah barang yang

dibiayai konsumen terpasang, barang

Merugikan Konsumen

tersebut menjadi hak dan di bawah wewenang kami

Konsumen berjanji menerima segala

Melemahkan Posisi

7 - kondisi pelayanan sesuai

Konsumen

kemampuan pelaku usaha

Keterangan:

1. Dalam pengalihan tanggung jawab semes nya pelaku usaha yang bertanggungjawab terhadap kekurangan nlai barang, sebab pelaku usaha yang melakukan, misalnya, penaksiran dan pelelangan barang, bukan konsumen.

2. Pengaburan bentuk antara lain ditulis dengan huruf kecil, 2. Pengaburan bentuk antara lain ditulis dengan huruf kecil,

3. Pengaburan isi antara lain ditulis tanpa menentukan waktu dan cara.

Adalah menarik, klausula terlarang dan klausula eksonerasi juga merupakan masalah dalam usaha-usaha yang dijalankan oleh pemerintah. Peneli an Rahmat, “Analisa Yuridis Terhadap Klausula Baku Dalam Implementasi Kontrak Bisnis (Suatu Kajian Perspek f Hukum Perlindungan Konsumen),”

dapat dijadikan contoh. 33 Rahmat menganalisis klausula baku yang dibuat oleh beberapa ins tusi kepemerintahan yang bergerak di sektor ekonomi, yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), Perseroan Terbatas Telekomunikasi (PT Telkom), dan Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Dengan menggunakan perspek f hukum perlindungan konsumen, Rahmat mengembangkan pertanyaannya tentang implikasi hukum dari klausula baku yang dibuat oleh beberapa perusahaan lembaga pemerintah tersebut. Tesis ini menggunakan pendekatan norma f, berpijak pada aspek norma (aturan tertulis), dan berfokus pada kajian sis ma ka hukum. Jenis peneli annya adalah peneli an kepustakaan. Hasilnya ialah bahwa beberapa klausul baku dalam kontrak yang dibuat oleh ins tusi-ins tusi pemerintah tersebut berindikasi klausula terlarang, dan termasuk juga klausula eksenorasi (klausula berat sebelah).

Rahmawa meneli klausula baku dalam kontrak pemasangan saluran air PDAM Kota Pon anak. 34 Sebagaimana Rahmat, Rahmawa menggunakan perspek f UU Perlindungan Konsumen, dan menambahkan spesifi kasi perspektual. Rumusan pertanyaan peneli an Rahmawa , oleh karenanya, lebih khusus. “Bagaimanakah kontrak baku yang dibuat oleh PDAM

33 Rahmat, “Analisa Yuridis Terhadap Klausula Baku dalam Implementasi Kontrak Bisnis (Suatu Kajian Perspek f Hukum Perlindungan Konsumen)”, Tesis Pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura, Pon anak 2006.

34 Rahmawa , “Klausula Baku Dalam Kontrak Pemasangan Saluran Air PDAM Kota Pon anak (Tinjauan dari UU Perlindungan Konsumen ),” DIPA-PNBP Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pon anak 2013.

Kota Pon anak di njau dari asas keseimbangan dan Hukum Perlindungan Konsumen?” Peneli an yang menggunakan metode pendekatan norma f dengan berpijak pada aspek norma hukum ini menyimpulkan, bahwa antara PDAM Kota Pon anak dan pelanggan terjalin kontrak yang dak seimbang. Menarik diingat, peneli an Rahmawa dilakukan setelah pemberlakuan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mencapai usia 14 (empatbelas) tahun.

Klausula terlarang dan klausula eksonerasi ternyata muncul dalam kontrak-kontrak baku rumusan perusahan pemerintah. Pemerintah semes nya telah mengetahui dan menjadi pelopor rumusan klausula baku yang bebas dari klausula terlarang dan tentunya bebas dari klausula eskonerasi. Kepeloporan menjadi krusial bagi usaha-usaha masyarakat, baik usaha kecil atau mikro, menengah, maupun atas. Sayangnya, klausula terlarang dan klausula eksonerasi sudah menjalar ke dalam usaha kecil milik masyarakat seper dibuk kan oleh seorang mahasiswa yang meneli kontrak baku yang dibuat dan digunakan oleh Luxor Laundry & Dry Clean, yang beralamat di Kompleks Meran

Indah Pon anak. 35 Hasil peneli an Mursalin menyatakan Luxor Laundry telah melanggar aspek-aspek perlindungan konsumen, karena ditemukan ke dakseimbangan (hak dan kewajiban) kontrak, dan diberlakukannya klausula terlarang dan klausula eksonerasi. Dia bahkan menyatakan kontrak baku Luxor Laundry melanggar hukum Islam.

Jadi beberapa upaya pembuk an ilmiah tentang klausula baku yang berhasil dilacak bertemu pada kesimpulan norma f- posi vis s yang seragam, bahwa klausula baku sektor jasa telah melanggar asas keseimbangan, menggunakan klausula terlarang dan klausula eksonerasi. Konsumen belum terlindungi. Buk - buk ilmiah itu akan dilanjutkan dengan upaya menemukan faktor atau penyebab dilema “akut” klausula baku sektor jasa, baik faktor internal, yang bisa diselesaikan oleh pelaku usaha, maupun faktor eksternal, yang berada di luar kendali pelaku

35 Mursalin, “Asas Perlindungan Konsumen Pada Kontrak Baku Dalam

Tinjauan Hukum Islam (Realitas Kontrak Baku Dari Luxor Laundry Pon anak)”, Skripsi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pon anak, 2012.

usaha. Klausula baku Laundry Q akan dijadikan contoh. 36 Dengan menggunakan metode norma f-kri s, 37 dilema akut klausula baku diharapkan menemukan jalan keluar.

KLAUSULA BAKU LAUNDRY Q

Laundry Q terletak di Jalan Putri Candramidi Gg. Sukarame No. 26 A Pon anak Sejak didirikan pada tahun 2011, Laundry Q menawarkan jasa kepada masyarakat Kota Pon anak khususnya dan luar Kota Pon anak umumnya. Laundry Q bukan saja melengkapi usahanya dengan fasilitas dan instrumen bisnis ke-laundry-an, melainkan pula dengan syarat legal-formal. Demikianlah Laundry memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Kecil, Izin Gangguan, dan Tanda Da ar Perusahaan (Perusahaan Perorangan/PO). Semua dokumen legal-formal ini dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Pon anak. Kelengkapan dokumen lega-formal merupakan daya tarik khas Laundry Q yang dimiliki oleh Faiz Amien Jaya, seorang konsultan usaha laundry di Kota Pon anak. Dari kelengkapan legal-formal dan ketokohan pemiliknya ini bisa muncul dugaan, bahwa Laundry Q berpotensi dijadikan sampel pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1999.

Laundry Q telah menyediakan terlebih dahulu format, isi dan rumusan kontrak penyucian barang yang galibnya berupa pakaian, entah pakaian luar (misalnya, kemeja), pakaian dalam

36 Diperlukan waktu 6 (enam) bulan, Juni-Desember 2014, untuk meneli klausula baku Laundry Q. 37 Metode norma f-kri s berar suatu prosedur peneli an ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan prinsip-prinsip logis ilmu hukum secara kri s. Prinsip-prinsip logis yang dimaksud pertama-tama merujuk pada paradigma posi vis s dalam ilmu hukum. Ar nya, mencerma apa yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan terlebih dahulu, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999. Karakteris k paradigma posi vis s dalam studi hukum memang mengutamakan telaah tekstual. Prinsip berikutnya ialah melakukan analisis kri s terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Prinsip kri s di sini dipahami secara terbatas, yaitu menemukan keterbatasan dan/atau “kelemahan” suatu peraturan perundang- undangan jikalau dihadapkan pada objek tertentu, klausula baku Laundry Q, yang mes nya telah diatur oleh peraturan itu sendiri. Jadi prinsip kri s ini dak dapat dikacaukan dengan apa yang disebut cri cal legal studies (CLS), atau studi kri s hukum, yang bermaksud membongkar berbagai macam kepen ngan (interest) dalam peraturan perundang-undangan.

(misalnya, kaos dalam), dan pakaian ibadah (misalnya, mukenah). Dalam “Nota/Bon Laundry Q” disebutkan berbagai jenis barang lain yang dapat dimintakan jasa penyuciannya kepada Laundry Q. Nota tersebut juga menyediakan kolom jumlah lembar dan ukuran berat barang. Ada ga kategori biaya pelayanan yang ditetapkan Laundry Q, yaitu biaya standar, biaya ekspres dan biaya kilat.

Calon konsumen yang berminat menggunakan jasa Laundry Q dapat membawa barang, misalnya beberapa lembar pakaian pribadi miliknya, yang hendak dimintakan jasanya kepada Laundry Q, dan membubuhkan tanda tangannya pada format kontrak yang telah disediakan. Tanda tangan konsumen merupakan buk persetujuannya terhadap semua hal yang telah dirumuskan oleh Laundry Q. Kontrak baku yang ditandatangani oleh konsumen menjadi acuan kedua pihak, sekalipun konsumen

dak terlibat dalam merumuskannya. Dalam Nota/Bon Laundry Q tercantum klausula kontraktual sebagai berikut: “PERHATIAN : 1. Pengambilan harus membawa nota/bon.

2. Barang hilang/rusak digan 5x harga laundry. 3. Barang hilang/rusak karena dak diambil lebih dari 30 hari, dak ditanggung atau akan disumbangkan. 4. Kerusakan/ luntur/mengkerut karena sifat bahan itu sendiri diluar tanggungjawab kami. 5. Hak claim berlaku 24 jam setelah barng diambil. 6. Aturan jaminan diatas dak dapat diubah dan konsumen dianggap setuju dengan syarat- syarat diatas.”

FAKTOR KLAUSULA BAKU LAUNDRY Q

Ada 4 (empat) faktor yang mendeterminasi Laundry Q merumuskan klausula baku usaha jasanya. Pertama adalah faktor kepen ngan bisnis. Bagi Laundry Q, klausula baku merupakan modernisasi bisnis jasa. Dilihat dari perkembangan bisnis jasa, klausula baku adalah bentuk kontraktual yang lebih maju dan relevan dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Jasa penyucian pakaian kini berubah ke arah profesional, kontraktual, dan berkarakteris k bisnis. Laundry Q bukan menawarkan jasa buruh atau pembantu penyuci pakaian, melainkan Jasa Layanan Binatu Profesional seper tercantum dalam Nota/Bon Laundry Q.

Oleh karena itu, tujuan utama Laundry Q adalah bisnis. Memang benar, dak ada larangan hukum untuk memburu keuntungan bisnis. Namun mengambil keuntungan dak boleh dimanipulasi oleh mo f pelaku usaha saja; keuntungan maksimal dengan

biaya seminimal mungkin. 38 Relasi antara kepen ngan bisnis dan hukum merupakan problem klasik. Di satu sisi, diandaikan kepen ngan bisnis lebih dinamis, dan lebih cepat berubah, ke mbang kepas an atau ketaatan terhadap hukum. Di sisi lain, kepen ngan bisnis dan kepas an hukum dak bisa dipisahkan. “Se ap langkah bisnis adalah langkah hukum,” demikian J. Van

Kan dan J.H. Beekhuis seper diku p Hernoko. 39 Langkah hukum juga berar langkah dalam pra, pembentukan, dan pelaksanaan kontrak.

Klausula baku yang dirumuskan terlebih dahulu oleh Laundry Q adalah perwujudan kontraktual yang padanya melekat dimensi bisnis dan hukum. Pada dimensi bisnis, klausula baku menunjang kepen ngan bisnis Laundry Q sebagai pengusaha, misalnya kepas an nominal jaminan. Bagi Laundry Q, kalkulasi bisnis seharusnya dipertahakan sedemikian rupa, bahkan dipertahankan dalam rumusan kontrak baku. Maka “...6. Aturan jaminan diatas dak dapat diubah dan konsumen dianggap setuju dengan syarat-syarat diatas” (lihat Nota/Bon Laundry Q nomor 6). Klausula baku memang berupaya menjelaskan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Menurut pengalaman Laundry Q, selama ini mayoritas konsumen bisa memahami atau memaklumi kontrak dan klausula baku penyucian itu. Memang pernah ada komplain konsumen yang merasa hak-haknya diabaikan, namun bukan komplain fundamental terhadap kepen ngan diri (self-interest) Laundry Q yang diwujudkan dalam kontrak baku yang diyakini sudah memberikan klausul-klausul “terbaik” bagi konsumen.

Sekalipun begitu, karena dirumuskan secara sepihak, klausula kontrak baku Laundry Q sangat sulit menghindari subjek visme yang melampaui kepen ngan konsumen. Subjek visme kontrak baku seringkali paralel dengan kerugian

38 Demikian sebagaimana tertulis dalam cover buku Yusuf Shofi e, Pelaku Usaha, Konsumen, tanpa halaman.

39 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 61.

pihak lain. Dalam Nota/Bon Laundry Q disebutkan, bahwa “...2. Barang hilang/rusak digan 5x harga laundry”, bukan berdasarkan harga ril atau harga yang adil menurut konsumen dan Laundry Q. Penetapan jumlah itu dimaksudkan untuk melindungi kepen ngan konsumen dan Laundry Q sendiri. Jika

dak dipatok, maka sengketa susah ditolak. Klausul nomor 2 itu tampak sejalan dengan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 8 Tahun 1999: “Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepaka dan/atau yang diperjanjikan.” Kenda demikian, jikalau harga ril barang lebih besar ke mbang harga penggan an barang hilang atau rusak, maka konsumen tetap dirugikan. Sebaliknya, jikalau harga ril barang hilang atau rusak ternyata lebih rendah ke mbang “...digan 5x harga laundry”, maka Laundry Q akan menderita kerugian. Subjek visme harga dalam kontrak baku rupanya berpotensi merugikan dua pihak sekaligus.