Masalah Index of /enm/images/dokumen

Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 1 Tulus Tambunan Kadin-Indonesia – Jetro 2006

I. Latar Belakang

Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia sudah kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini pertumbuhannya rata-rata per tahun relatif masih lambat dibandingkan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand, atau masih jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata per tahun yang pernah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru ORBA, khususnya pada periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Salah satu penyebabnya adalah masih belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk penanaman modal asing PMA. Padahal era ORBA membuktikan bahwa investasi, khususnya PMA, merupakan faktor pendorong yang sangat krusial bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Terutama melihat kenyataan bahwa sumber perkembangan teknologi, perubahan struktural, diversifikasi produk, dan pertumbuhan ekspor di Indonesia selama ORBA sebagian besar karena kehadiran PMA di Indonesia. Banyak sekali faktor-faktor yang sebagian besar saling terkait satu sama lainnya dengan pola yang sangat kompleks yang menyebabkan lambatnya pemulihan investasi di Indonesia hingga saat ini. Faktor-faktor tersebut mulai dari yang sering disebut di media masa yakni masalah keamanan, tidak adanya kepastian hukum, dan kondisi infrastruktur yang buruk, hingga kondisi perburuhan yang semakin buruk. Jadi dari uraian di atas, pokok permasalahan yang menjadi pembahasan utama dari tulisan ini adalah iklim investasi yang sangat kompleks, yang implikasinya adalah bahwa kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri. Dalam kata lain, bagaimanapun bagusnya suatu kebijakan investasi, efektivitas dari kebijakan tersebut akan tergantung pada banyak faktor lain di luar wilayah kebijakan investasi, karena faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi atau membukan usaha baru di Indonesia. Lebih spesifik, tulisan ini akan membahas masalah, tantangan dan potensi investasi di Indonesia.

II. Masalah

Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA, paling tidak berdasarkan data persetujuan dari BKPM, sempat mengalami peningkatan. Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan berkurang terus. Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah bahwa sejak krisis, jumlah proyek baru PMA rata-rata per tahunnya lebih besar daripada jumlah proyek baru PMDN.penanaman modal dalam negeri. Ini menandakan bahwa bagi perkembangan investasi langsungjangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode pasca krisis, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN. Namun demikian, dilihat dari nilai netonya arus investasi masuk – arus keluar, gambarannya setelah krisis lebih memprihatinkan; walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif Tabel 1. Lebih banyaknya arus PMA keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia. Terutama perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, menguntungkan. Gambar 1: Pertumbuhan dalam jumlah proyek PMA dan PMDN yang disetujui, 1967-2005 500 1000 1500 2000 2500 1968 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 199 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 PMDN PMA Total Sumber: BKPM Tabel 1: Nilai Neto Arus PMA ke Indonesia, 1990-2004 juta dollar AS Tahun Nilai 1990 1.093 1991 1.482 1992 1.777 1993 2.004 1994 2.109 1995 4.346 1996 6.194 1997 4.667 1998 - 356 1999 -2.745 2000 -4.550 2001 -2.978 2002 145 2003 -597 2004 423 Catatan: arus masuk PMA termasuk privatisasi BUMN kepada pihak asing, dan restrukturisasi perbankan, terutama penjualan asset-aset bank ke investor asing. Sumber: Bank Indonesia: Indonesian Financial Statistics, beberapa terbitan berturut- Turut sampai Februari 2005 Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam modal mereka di Indonesia. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 2 Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 3 dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain Stern, 2002. Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 80-an dan 90-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto PDB meningkat hampir 200 persen. 1 Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan, berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja termasuk isu-isu perburuhan, regulasi dan perpajakan, birokrasi dalam waktu dan biaya yang diciptakan, masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Masalah Freeport dan lamanya pemerintah mengambil keputusan dalam kasus Exxon di Cepu baru-baru ini juga sangat mempengaruhi iklim berinvestasi jangka panjang di Indonesia. Di dalam suatu laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi World Bank, 2005a, diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting. Walaupun sedikit berbeda dalam peringkat kendala investasi antar negara, hasil survei Bank Dunia tersebut didukung oleh hasil survei tahunan mengenai daya saing negara yang dilakukan oleh The World Economic Forum WEF yang hasilnya ditunjukkan di dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness Report. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 2, berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah berturut-turut birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan. Hasil survei dari JETRO mengenai faktor-faktor penghambat pertumbuhan bisnis atau investasi di sejumlah negara di Asia menunjukkan gambaran yang sedikit berbeda. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2, untuk Indonesia ID, faktor paling besar adalah upah buruh yang makin mahal, disusul dengan sistem perpajakan yang sulit dan rumit. Di Malaysia M dan Singapura, upah yang mahal juga merupakan permasalahan paling besar yang dihadapi pengusaha. Di Thailand Th faktor terbesar adalah prosedur perdagangan yang rumit, sedangkan di Filipina F, Vietnam V, dan India In, faktor terbesar adalah kondisi infrastruktur yang buruk. Masalah perburuan, mulai dari tingkat upah yang terus meningkat akibat penerapan kebijakan upah minimum, kualitas sumber daya manusia yang rendah, termasuk rendahnya penguasaan atas teknologi, hingga hubungan industrial memang belakangan ini semakin memperburuk keunggulan komparatif Indonesia dalam tenaga kerja. Survei yang dilakukan lPEM di tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya untuk mengatasi masalah tenaga kerja mencapai 5 dari biaya produksi tahunan. Dari 1 Untuk kasus India, lihat misalnya Aghion dkk. 2003, Ahluwalia 2002, Rodrik dan Subramanian 2004, dan World Bank 2005a; untuk kasus China, lihat antara lain Chen dan Wang 2001, Qian 2003, Young 2000, dan World Bank 2005a. Hubungan industrial merupakan salah satu titik rawan dalam daya saing perekonomian Indonesia. Walaupun secara kuantitas jumlah pemogokan di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang drastis sejak reformasi dimulai tahun 1998 lalu tetapi risiko ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hubungan industrial yang adversial merupakan faktor penting yang membuat daya tarik Indonesia untuk investasi menjadi rendah dibandingkan Cina dan Vietnam. Sering terjadinya pemogokan akan membuat kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan, dan hal ini jelas akan menghilangkan niat calon investor untuk berinvestasi di Indonesia. Gambar 2: Faktor-faktor Penghambat Bisnis dalam The Global Competitiveness Report 2005-2006. 5 10 15 20 25 Birokrasi tidak efisien Infrastruktur buruk Regulasi perpajakan Korupsi Kualitas SDM buruk Kebijakan tidak stabil Regulasi tenaga kerja restriktif Tarif pajak Akses ke keuangan Regulasi valas Kriminalitas Pemerintah tidak stabil coups Etika kerja dari tenaga kerja buruk Inflasi Sumber: WEF 2005. Tabel 2: Problem Utama dalam Investasi Problem Th M S ID F V In Kondisi infrastruktur buruk Kebijakan tidak jelas tidak pasti Perpajakan sulit dan rumit Kesulitan rumitnya prosedur perdagangan Upah makin mahal Isu tenaga kerjaburuh seperti demonstrasi, dll. 15,6 9,5 46,3 62,8 41,6 7,1 23,6 16,5 11,0 33,9 52,1 6,6 3,1 6,3 12,5 21,4 54,0 1,1 54,7 67,7 72,0 67,6 86,4 37,0 75,5 47,9 20,9 37,1 36,5 25,7 63,8 61,3 40,0 56,8 29,5 11,5 72,2 14,8 55,6 58,5 55,7 26,6 Sumber: Jetro dikutip dari Kompas, 2006. Masalah serius lainnya adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk meningkatkan Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 4 Hasil survei LPEM di tahun 2005 menunjukkan penurunan biaya informal yang harus dibayarkan perusahaan-perusahaan yang telah beroperasi kepada aparat pemerintah daerah dari sekitar 10,8 di tahun 2001 menjadi 6,4 di tahun 2005. Walaupun demikian, untuk pemain yang baru masuk entry cost tetap tinggi yaitu sekitar 9 dari nilai modal awal. Biaya- biaya ini sebagian besar digunakan untuk mendapatkan ijin lokasi dan AMDAL ISEI, 2006. Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah hari dalam melakukan bisnis. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 3, untuk mengurus semua perizinan usaha, seorang pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya biaya dan modal minimum yang diperlukan berkisar sekitar, masing-masing 130,7 dan 125,6 dari pendapatan per kapita di Indonesia. Banyaknya izin dan jumlah hari yang diperlukan di Indonesia juga ditunjukkan oleh hasil penelitian dari LPEM-FEUI yang ditunjukkan di Gambar 3. Table 3: Indikator Kemudahan Melakukan Bisnis di Beberapa Negara Negara Jml prosedur Jml hari Biaya Modal mimimum Bangladesh Kamboja China Hongkong India Indonesia Korea Selatan Laos Malaysia Filipina Singapura Sri Lanka Taiwan Thailand Vietnam 8 11 12 5 11 12 12 9 9 11 7 8 8 8 11 35 94 41 11 89 151 22 198 30 50 8 50 48 33 56 91,0 480,1 14,5 3,4 49,5 130,7 17,7 18,5 25,1 19,5 1,2 10,7 6,3 6,7 28,6 0,0 394,0 1.104,2 0,0 0,0 125,6 332,0 28,5 0,0 2,2 0,0 0,0 224,7 0,0 0,0 Catatan: = sebagai dari pendapatan per kapita. Sumber: World Bank 2005, dikutip dari Purwanto 2006. Gambar 3: Jumlah hari mendapatkan Izin di Indonesia 43 35 34 27 25 16 10 20 30 40 50 Izin lingkungan hidup IMB Izin lokasi Izin prinsip Izin gangguan Izin keselamatan kerja Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 5 Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 6 Sejumlah masalah yang telah disebut di atas mencerminkan kualitas dari kelembagaan publik di Indonesia. Buruknya kelembagaan publik di Indonesia juga ditunjukkan di dalam laporan tahunan dari WEF Tabel 4. Dapat dilihat bahwa untuk hampir semua indikator tersebut, kondisi Indonesia semakin buruk. Misalnya, dalam hal kemandirian judicial dari pengaruh politik dari anggota-anggota pemerintah misalnya menteri dan presiden, politikus, masyarakat, dan perusahaan, peringkat Indonesia jatuh dari 58 ke 68; walaupun secara relatif kejatuhannya lebih kecil karena jumlah sampel negara bertambah. Dalam hal kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan-perselisihan bsinis dan menolak legalitas dari tindakan-tindakan atau peraturan-peraturan pemerintah, posisi Indonesia menurun dari 51 ke 73. Untuk dua indikator berikut yang merupakan salah satu penentu krusial bagi pertumbuhan investasi, Indonesia juga masih buruk kinerjanya, yakni hak-hak properti dan perlindungan kekayaan intelektual. Tabel 4: Posisi Indonesia untuk Beberapa Indikator mengenai Kelembagaan Publik dalam The Global Competitiveness Report 2004-2005 dan 2005-2006 Peringkat Indikator 2004-2005 104 negara 2005-2006 117 negara Kemandirian Judisial Efisiensi dari kerangka kerja legal Hak Properti Perlindungan kekayaan intelektual Pemborosan dalam pengeluaran pemerintah Beban dari regulasi pemerintah pusat Tingkat birokrasi Tingkat dan efek dari perpajakan Pembayaran tidak regularilegal dalam ekspor dan impor Pembayaran tidak reguker.ilegal dalam pemakaian utilitas publik Pembayaran tidak regularilegal dalam pembayaran pajak Pembayaran tidak regular.ilegal dalam kontrak publik Pembayaran tidak regularilegal dalam keputusan judisial 58 51 67 47 25 15 85 27 75 70 76 46 69 68 73 88 68 40 45 48 24 106 94 104 84 99 Sumber: WEF 2004, 2005. Perihal pemborosan atau efisiensi dalam pengeluaran pemerintah, yakni apakah pemerintah menyediakan barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar, posisi Indonesia juga memburuk. Dalam hal beban yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis dari regulasi-regulasi pemerintah pusat, yakni dalam memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi berkaitan dengan perizinan, pelaporan, dsb.nya, sebelumnya Indonesia berada pada posisi yang relatif baik dari 104 negara menjadi lebih buruk. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa distorsi pasar domestik semakin besar dalam satu tahun terakhir ini akibat regulasi-regulasi pemerintah pusat. Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat efisiensi dari birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini merupakan salah satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif in Indonesia. Faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 7 Dalam hal pembayaran ekstra tidak tercatat atau terdokumentasi atau penyuapan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekspor dan impor, dan pemakaian utilitas publik, peringkat Indonesia juga sangat rendah, dan hal ini bisa merupakan salah satu masalah yang harus dihilangkan untuk mencapai efektivitas dari kebijakan-kebijakan dari pemerintah selama ini yang bertujuan memulihkan kegiatan usaha dan meningkatkan investasi di Indonesia. Mungkin untuk negara-negara yang sudah lama melakukan investasi di Indonesia jadi sudah sangat kenal keadaan di Indonesia atau untuk preusan-perusahaan multinacional dengan kekayaan perusahaan yang sangat besar kondisi seperti ini tidak menjadi masalah serius sampai menghambat investasi mereka di dalam negeri. Tetapi untuk perusahaan-perusahaan skala menengah dan dari negara-negara baru, kondisi seperti ini bisa menakutkan atau membuat pemilik modal menjadi ragu akan kemungkinan bisa mendapatkan keuntungan jika berinvestasi di Indonesia. Hal yang lebih menarik adalah jika posisi Indonesia dalam kelembagaan publik dibandingkan dengan posisi dari negara- negara ASEAN lainnya, seperti yang ditunjukkan di Tabel 5. Dapat dilihat bahwa untuk sejumlah indikator di tabel tersebut, posisi Indonesia relatif buruk di dalam kelompok ASEAN, walaupun bukan yang terburuk. Hal ini menandakan bahwa kelembagaan publik di Indonesia secara relatif dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya tidak kondusif bagi kegiatan bisnisinvestasi. Untuk beberapa indikator Indonesia bersama-sama dengan Filipina dan Vietnam termasuk negara anggota yang kelembagaan publiknya buruk. Malaysia dan Singapura termasuk yang bagus, terutama Singapura yang untuk semua indikator tersebut nomor satu 1 di dalam kelompok ASEAN. Bahkan untuk beberapa indikator, peringkat negara pulau ini paling tinggi dari 104 negara yang disurvei. Melihat ini, tidak heran kenapa Singapura selama ini merupakan salah satu negara di dunia yang sangat menarik bagi PMA. Faktor lainnya yang juga sangat bertanggung jawab terhadap memburuknya kondisi investasi di Indonesia adalah kondisi infrastruktur, tidak hanya dalam kuantiítas yang terbatas dibandingkan volume mobilisasi manusia dan barang, tetapi juga dalam koalitas yang buruk dari infrastruktur yang sudah ada, khususnya jalan raya. Kombinasi dari kedua aspek ini tentu sangat menghambat kelancaran produksi dan perdagangan di dalam negeri maupun kegiatan ekspor, yang selanjutnya berarti beban biaya bagi perusahaan-perusahaan. Suatu laporan dari Bank Dunia World Bank, 2005b menunjukkan buruknya kinerja infrastruktur di Indonesia, bahkan sangat buruk di dalam kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 6, untuk jaringan telepon tetap, posisi Indonesia berada pada peringkat terbawah diantara 12 negara ASEAN. Juga untuk kelistrikan, kondisi Indonesia nomor 2 dari bawah. Secara umum, dapat dikatakan bahwa dari sisi infrastruktur, Indonesia merupakan negara ASEAN yang sangat tidak menarik bagi investasi. Laporan dari WEF 2004, 2005 juga menunjukkan hal yang sama. Seperti yang dapat dilihat Tabel 7, untuk kualitas infrastruktur secara keseluruhan periode 2004-2005, Indonesia berada pada peringkat ke 44 dari 104 negara yang masuk di dalam sampel, dan posisinya bertambah buruk untuk periode 2005-2006 yang menurun ke 66 dari 117 negara. Gambar 4 menunjukkan posisi Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya untuk kualitas keseluruhan. Untuk kualitas infrastruktur menurut jenisnya, kondisi Indonesia juga buruk; bahkan sangat buruk untuk misalnya kualitas teleponfax dan jumlah jaringan telepon per 1000 penduduk. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 8 Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 9 2005-2006 104 negara dan 2005-2006 117 negara Kemandirian judisial Efisiensi dari kerangka kerja legal Hak Properti Pemborosan dalam pengeluaran pemerintah Pemihakan dalam keputusan oleh pejabat pemerintah Tingkat birokrasi Efektivitas dari lembaga- lembaga pembuat hukum Kebenaran darikepercaya an terhadap pelayanan polisi Biaya bisnis akibat korupsi A B A B A B A B A B A B A B A B A B Malaysia 31 20 21 16 32 23 11 2 30 11 76 106 6 5 24 37 38 22 Indonesia 58 68 51 73 67 88 25 40 24 30 85 48 29 52 66 78 72 69 Thailand 44 40 35 36 41 43 16 17 50 39 99 92 36 24 48 46 48 43 Philippines 74 85 85 91 74 64 90 100 90 98 54 86 86 93 99 96 96 96 Singapura 24 19 14 8 12 6 1 1 7 3 16 15 1 1 2 1 10 5 Vietnam 59 63 61 64 66 61 68 52 55 70 91 64 43 40 40 42 73 79 Keterangan: A = 2004-2005; B = 2005-2006 Sumber: WEF 2004, 2005. Tabel 6. Kinerja Infrastruktur di ASEAN Indikator Indonesia 2000 Peringkat dalam ASEAN Tingkat elektrifikasi Jaringan telepon tetap Jumlah pemohon mobile phone Akses ke sanitasi yang baik Akses ke air bersih Jaringan jalan raya km per 1000 penduduk 53 4 6 55 78 1,7 11 dari 12 negara 12 dari 12 negara 9 dari 12 negara 7 dari 11 negara 7 dari 11 negara 8 dari 12 negara Sumber: World Bank 2005b. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 10 Peringkat Indikator 2004-2005 2005-2006 Kualitas keseluruhan Pembangunan jalan raya Kualitas pelabuhan Kualitas transpor udara Suplai listrik Efisiensi kantor pos Kualitas teleponfax Jaringan telepon per 1000 penduduk data, 2003 44 28 40 61 68 57 85 86 66 52 71 70 84 69 90 96 Sumber: WEF 2004, 2005. Gambar 4. Peringkat Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya untuk Kualitas Infrastruktur Secara Keseluruhan dalam The Global Competitiveness Report 2005-2006. 1 2 3 4 5 6 7 Indonesia Denmark Singapore USA Japan Malaysia Korea Thailand China India Sumber: WEF 2004, 2005.

III. Tantangan