Perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap karakteristik hidrologi Sub Das Tanralili provinsi Sulawesi Selatan Menggunakan Model Swat

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI SUB DAS TANRALILI
PROVINSI SULAWESI SELATAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT

SURYANSYAH SURAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Perubahan Penggunaan
LahandanDampaknyaterhadapKarakteristikHidrologi Sub DAS TanraliliProvinsi
Sulawesi Selatan menggunakan Model SWAT” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus2016

Suryansyah Surahman
A155120051

RINGKASAN

SURYANSYAH
SURAHMAN.
PerubahanPenggunaanLahandanDampaknyaterhadapKarakteristikHidrologi Sub DAS
TanraliliProvinsi Sulawesi Selatan menggunakan Model SWAT.Dibimbingoleh SURIA
DARMA TARIGAN dan KUKUH MURTILAKSONO.
PengelolaandaerahAliran Sungai (DAS) bertujuanmewujudkankondisi yang
optimal darisumberdayavegetasi, tanahdan air sehinggamampumemberimanfaat yang
maksimaldanberkesinambunganbagikesejahteraanmanusia.Penelitianinibertujuanuntuk
mengidentifikasidampakperubahanpenggunaanlahanterhadapkarakteristikhidrologi Sub
DAS Tanralilidanmenyusunrekomendasipengelolaanlahanterbaik di Sub DAS Tanralili.
Adapuntahapdalammenjalankan
model

SWAT
yang
terbagiatasbeberapatahapanyaitu: (1). deliniasi DAS; (2). membentuk HRU (3).
analisisHidrologyRespones Unit (HRU); (4). input data iklim; (5). membangun data
iklim; (6). run model; (7). kalibrasidanvalidasiserta
(8). simulasi parameter
hidrologiuntukmenentukanpengelolaanlahan yang terbaik.
Studiinimenunjukkanbahwa
model
memilikikinerja
yang
baikdalammemprediksialiran debit dengannilair2dan NSE pada proses kalibrasimasingmasing
0.87
dan
0.65.
Dalammemprediksialiran
debit
pada
proses
validasimenghasilkannilair2dannilai-nilai NSE masing-masing 0.58 dan 0.55.

Model
SWAT
mampumemprediksidampakperubahanpenggunaanlahanterhadapkarakteristikhidrologi
di Sub DAS Tanralili.Analisiskarakteristikhidrologi Sub DAS Tanralilipadatahun
2011dapatditunjukkanolehhasil
air,
limpasanpermukaan,
aliran
lateral
danalirandasardengannilaimasing-masing1 939.07 mm, 1 679.15 mm, 207.23 mm,
dan52.69 mm. Sedangkannilai KRS dan C adalah889.73 (buruk) dan 0.52 (buruk).
Penerapanagroteknologipadalahanpertaniansesuaidenganpetafungsikawasanhuta
nmerupakanpengelolaanlahanterbaik yang dapatdiimplementasikan di Sub DAS
Tanralilidanpenerapanagroteknologipadalahanpertanianpadakondisisaatinimerupakanalt
ernatifpengelolaanlahanterbaik.
Kata kunci: hidrologi, penggunaanlahan, model SWAT, Sub DAS Tanralili

SUMMARY

SURYANSYAH SURAHMAN. ImpactOf Land Use Changes On The Characteristics

Of Hydrology Tanralili Sub Watershed Of South Sulawesi Province Using Swat Model
by SURIA DARMA TARIGAN dan KUKUH MURTILAKSONO.
The management of a watershed aims to realize optimal conditions of resource
vegetation, soil and water this it was give maximum benefit to human welfare and
sustainable. The study was aimed to identify the impact of land use change on the
hydrological characteristics of the Tanralili Sub Watershed, and develop
recommendations on the best land management of Tanralili Sub Watershed.
There were some steps for running SWAT model, included: (1). delineating
watershed; (2). Creating HRU’s; (3). HRU define; (4). input climate data; (5). writing
SWAT input files; (6). running SWAT model; (7). calibrating and validating data; and
(8). simulating hydrological parameters to determine the best management practice.
The study showed that the model has a good performance in predicting flow
discharge with r2 and NSE values in calibration process by 0.87 and 0.65 respectively.
Validation process in predicting flow discharge produced r2 and NSE values by 0.58
and 0.55 respectively.
SWAT models was able to predict the effects of land use change on the
hydrological characteristics in Tanralili Sub Watershed. Hydrological characteristics
analysis of Tanralili Sub Wateshed in year of 2011 indicated by water yield, surface
runoff, lateral flow and base flow with the value 1 939.07 mm, 1 679.15 mm, 207.23
mm, dan 52.69 mm respectively. While the value of KRS and C was 889.73 (poor) and

0.52 (poor).
Application of agrotechnology on agriculture land in accordance with the map of
forests was the best management practice that can be implemented on Tanralili Sub
Watershed and agrotechnology on the existing land use as best management an
alternative.
Keywords: hydrology, land use, SWAT model, Tanralili sub watershed

©HakCiptaMilik IPB, Tahun 2016
HakCiptaDilindungiUndang-Undang
Dilarangmengutipsebagianatauseluruhkaryatulisinitanpamencantumkanataumenyebutk
ansumbernya.Pengutipanhanyauntukkepentinganpendidikan,
penelitian,

PERUBAHANpenyusunanlaporan,
PENGGUNAAN
LAHAN DAN
DAMPAKNYA
penulisankaryailmiah,
penulisankritik,
atautinjauansuatumasalah;

danpengutipantersebuttidakmerugikankepentingan
IPB
TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI
SUB DAS TANRALILI
PROVINSI SULAWESI SELATAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT
Dilarangmengumumkandanmemperbanyaksebagianatauseluruhkaryatulisinidalambent
ukapa pun tanpaizin IPB

SURYANSYAH SURAHMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


PengujiLuarKomisipadaUjianTesis:DrIrYuliSuharnoto, M.Eng

PRAKATA
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya
sehingga
karya
ilmiah
yang
berjudul
“PerubahanPenggunaanLahandanDampaknyaterhadapKarakteristikHidrologi Sub Das
TanraliliProvinsi Sulawesi Selatan Menggunakan Model Swat”dapat diselesaikan.
Seiringdenganselesainyapenulisantesisini,
penulismengucapkanterimakasihsebesarbesarnyakepada:
1.

Dr IrSuriaDarmaTarigan, M.Sc dan ProfDr IrKukuhMurtilaksono, MS selaku
komisi pembimbing yang telah dengan sabar dan tidak henti-hentinya memberikan
bimbingan, pengarahan, motivasi dan nasehat kepada penulis selama
masapenyelesaian tesis ini.

2. DrIrYuliSuharnoto, M.Eng, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
koreksi dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
3. Dr IrSuriaDarmaTarigan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan
Daerah aliran Sungai Sekolah Pascasarjana IPB, serta Bapak/Ibu dosen pengajar
dan staf akademik di Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Sekolah Pascasarjana IPB.
4. Prof Dr Ir Hazairin Zubair, M.Sc, dan ProfDr IrSumbangan Baja, M.Sc yang telah
memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB Bogor.
5. Dr
Abdul
GaffarLatjokkeselakurektor
UNISAN
Gorontalo
yang
telahmemberikanizinmelanjutkanstudi.
6. Orang tuaku tercintaDrsSurahmanBadulu dan Jawariahatas segala curahan kasih
sayangnya serta doa yang senantiasa dipanjatkansertasaudara(i)saya yang
telahbanyakmembantudanmemberikandoanya.
7. MertuakuM Idrus dan HjAtikaatas doa dan dukungannya.
8. Istriku tercinta FatmiIdrus dan anakku tersayang SitiSyaikhahShalihahSuryansyah

atas doa, kesabaran dan dukungannya selama ini.
9. Rekan-rekan DAS angkatan 2012 (bususi, buneng, mas setyo, dan mas cholis),
ATT
2012,
Tanah
2012,
BTL
2012
sertaforDAS
IPB
atasbantuandankerjasamaselamapenulismenempuhpendidikan di IPB.
10. KakAntydanKak
Ida
di
LaboratoriumFisika
Tanah
Unhas
yang
telahbanyakmembantu.
11. IqrimaStaddal, S.TP,M.Si, AndiArman, SP M.Si, Afandi Ahmad, S.HutM.Si,

danDrMuyassiratasbantuandandoanyaselamapenulisberada di Bogor.
12. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak mungkin disebutkan satu
persatu. Semoga rahmat Allah SWT senantiasa tercurah padanya. Amin.
Bogor, Agustus 2016

Suryansyah Surahman

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

i

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii


PENDAHULUAN
LatarBelakang
PerumusanMasalah
TujuanPenelitian
ManfaatPenelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
PenggunaanLahandanPerubahannya
Debit Air
Aplikasi Model SWAT
BAHAN DAN METODE
MetodePenelitian
LokasidanWaktuPenelitian
AlatdanBahan
TenikAnalisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
GambaranUmum Wilayah Penelitian
KondisiIklim
Ordo Tanah
PenggunaanLahan
AnalisisKarakteristikHidrologiMenggunakan Model SWAT
PengaruhPenggunaanLahanTerhadapAspekHidrologi
SkenarioPerubahanPenggunaanLahan
RekomendasiPengelolaanLahan Yang Terbaik
SIMPULAN DAN SARAN

1
1
2
2
2
3
3
3
4
5
6
6
6
6
9
14
14
14
15
15
16
22
26
30
32

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

35

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

Variabeloutput SWAT padasubbasin
Variabeloutput SWAT pada outlet sungai
Klasifikasinilai NS
Kelaslereng Sub DAS Tanralili
Jenistanah Sub DAS Tanralili
Penggunaan lahan sub DAS Tanralili tahun 2005,2008 dan 2011
Luas sub DAS hasildelineasi model SWAT
Nilai parameter padatahapkalibrasi model SWAT Sub DAS Tanralili
Luasperubahanpenggunaanlahan Sub DAS Tanralili
tahun 2005, 2008, dan 2011
Pengaruhperubahanpenggunaanlahanterhadapkarakterhidrologi Sub DAS
Tanralilitahun 2005, 2008, dan 2011
Pengaruhperubahanpenggunaanlahanterhadapfluktuasi debit Sub DAS
Tanralilitahun 2001-2010
Penggunaanlahan Sub DAS Tanralilitahun 2011 berdasarkan
petafungsikawasanhutan
Perubahanpenggunaanlahan Sub DAS Tanralilitahun 2011 berdasarkan
PetaFungsiKawasanHutan
Karakterhidrologi Sub DAS Tanralilitahun 2011 pada scenario 1
Nilai KRS Sub DAS Tanralilitahun 2011 padaskenario 1
Karakterhidrologi Sub DAS Tanralilitahun 2011 padaskenario 2
Nilai KRS Sub DAS Tanralilitahun 2011 padaskenario 2
Karakterhidrologi Sub DAS Tanralilitahun 2011 padaskenario 3
Nilai KRS Sub DAS Tanralilitahun 2011 padaskenario 3
Nilaikoefisienregimsungai (KRS) Sub DAS Tanralilitahun 2011
Padamasing-masingskenario
Karakterhidrologi Sub DAS Tanralilitahun 2005 padamasing-masing
skenario

10
10
12
14
15
15
16
21
23
24
24
27
27
28
28
29
29
29
30
31
31

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Petasituasiwilayahpenelitian
Diagram alirtahapanpenelitian
Hubunganantaracurahhujandanaliranpermukaandalammetode
bilangankurva SCS (Neitsch 2005)
Perbandingan debit pengukurandan debit modelhasilkalibrasi
(Juli – November 2005)
Analisisregresi debit pengukurandan debit modelhasilkalibrasi
(Juli – November 2005)
Perbandingan debit pengukurandan debit modelhasilvalidasi
(Juli – November 2008)
Analisisregresi debit pengukurandan debit model hasilvalidasi
(Juli – November 2008)
Jenisdanluaspenggunaanlahandanluas Sub DAS Tanralili

7
8
11
18
19
21
22
23

9.

tahun 2005-2011
Flow Duration Curve Sub DAS Tanralilitahun2005, 2008dan2011

26

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Petasebarankelaslereng Sub DAS Tanralilitahun 2005
Petajenistanah Sub DAS Tanralilitahun 2005
Petabasin Sub DAS Tanralilitahun 2005
PetalokasiPengambilancontoh Tanah di Sub DAS Tanralilitahun 2005
Input database sifatfisiktanahdalam model SWAT di Sub DAS Tanralili
HRU yang terbentukdalam model SWAT
denganmetodethreshold by percentagedi Sub DAS Tanralili

36
37
38
39
40
45

7.
8.
9.
10.
11.

Input database iklimdalam model SWAT di Sub DAS Tanralili
Petapenggunaanlahan Sub DAS Tanralilitahun 2005
Petapenggunaanlahan Sub DAS Tanralilitahun 2008
Petapenggunaanlahan Sub DAS Tanralilitahun 2011
Petafungsikawasanhutan Sub DAS TanraliliTahun 2005

50
55
56
57
58

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batasbatas topografi secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam
DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam
DAS tersebut. Apabila ada kegiatan di suatu DAS maka kegiatan tersebut dapat
mempengaruhi aliran air di bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Penebangan hutan secara sembarangan di bagian hulu suatu DAS dapat mengganggu
distribusi aliran sungai di bagian hilir. Pada musim hujan air sungai akan terlalu banyak
bahkan sering menimbulkan banjir tetapi pada musim kemarau jumlah air sungai akan
sangat sedikit atau bahkan kering. Disamping itu kualitas air sungai juga menurun,
karena sedimen yang terangkut akibat meningkatnya erosi cukup banyak. Perubahan
penggunaan lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok juga dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir.
Pengelolaan daerah Aliran Sungai (DAS) bertujuan mewujudkan kondisi yang
optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat
yang maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Dalam kenyataan
sistem pengelolaannya memiliki permasalahan yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Permasalahan kerusakan DAS yang semakin meningkat, merupakan rangkuman
kejadian-kejadian sebelumnya yang hingga saat ini belum menyentuh ke akar masalah.
Permasalahan kerusakan DAS sesungguhnya sudah ada sejak lama, namun intensitas
dan frekuensinya semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk, industri, penggunaan lahan yang meningkat untuk pertanian,
pemukiman, pengembangan kawasan budaya dan sebagainya. Dampaknya adalah
muncul masalah-masalah lingkungan seperti banjir, kekeringan, sedimentasi, erosi,
eutrifikasi, penurunan kualitas air dan lain sebagainya.
Bappenas menyatakan di Sulawesi Selatan masih terdapat kawasan daerah aliran
sungai yang keadaannya sangat kritis yaitu daerah aliran sungai (DAS) Sadang, DAS
Bila-Walanae dan DAS Jeneberang. Keadaan lahan di ketiga DAS tersebut memerlukan
rehabilitasi melalui kegiatan penghijauan dan reboisasi. DAS Saddang dan BilaWalanae adalah dua DAS besar di Sulawesi Selatan yang termasuk dalam DAS-DAS
perioritas satu. Kedua DAS tersebut mencakup beberapa kabupaten yang cukup
kompleks permasalahannya. Akibatnya koordinasi menjadi penting dalam
mengoptimalkan keberhasilan pengelolaan DAS dan mengkolaborasi pelaksanaan
kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. DAS Bila-Walanae meliputi
Kabupaten Wajo, Maros, Soppeng dan Bone.
Menurut satuan pengelolaan DAS, Sub DAS Tanralili termasuk dalam wilayah
DAS Maros dan secara geografis terletak antara 5o0’ s/d 5o 12’ LS dan 199o 34’ s/d 119o
56’ BT dengan luas 26 343.4 ha. Sub DAS Tanralili-DAS Maros Provinsi Sulawesi
Selatan yang merupakan salah satu sumber pasokan air bersih untuk air minum bagi
masyarakat Kota Makassar bagian Timur dan Utara, juga termasuk sumber air bagi
pengembangan sektor pertanian dan perikanan masyarakat di daerah pengelolaan hulu,
tengah dan hilir. Masalah erosi, sedimentasi, banjir dan kekeringan merupakan masalah
yang telah berlangsung sejak lama dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Hal ini diindikasikan dengan adanya perbedaan debit maksimum dan debit
minimum yang ekstrim, erosi yang menyebabkan terjadinya pendangkalan dan terhadap

2
fasilitas publik/infrastruktur (Bendungan PDAM Lekopancing) secara luas baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Menurut BTPDAS Makassar (1997) luas hutan telah mengalami penurunan dari
tahun 1990/1991 adalah 9 582 ha dan pada tahun 1994/1995 adalah 5 330, sedangkan
luas lahan yang didominasi oleh jenis belukar mengalami peningkatan pada tahun yang
sama dari 10 732 ha menjadi 14 673 ha dan pada tahun 2003 mengalami peningkatan
hingga 20 187.35 ha (Dishut Prov.Sul-Sel). Dari pengaruh perubahan tersebut telah
terjadi kesulitan air bersih disebabkan debit air Lekopancing turun hingga 80% atau dari
1 000 liter per detik (kondisi normal) menjadi 200 liter per detik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Laode Asir (2007) menujukkan bahwa
penurunan kualitas DAS Tanralili akibat perubahan pola penggunaan selama sepuluh
tahun menimbulkan berbagai kerusakan di daerah hulu sehingga menyebabkan
tingginya tingkat erosi yang terjadi setiap tahunnya yaitu sebesar 74.72 ton/ha/tahun.
Luas areal hutan selama sepuluh tahun (1996-2005) telah terdegradasi seluas 5 795 ha
atau mengalami kerusakan dengan laju 1.58 ha/hari.
Perubahan tersebut seiring dengan perubahan besarnya debit maksimum dan
debit minimum memiliki fluktuasi yang cukup tinggi 110.31 m3/detik dan 110.41
m3/detik pada tahun 2000 atau mengalami perubahan 0.10 m3/detik, sedangkan debit
minimum hanya 0.04 m3/detik pada tahun 1997 dan 2.68 m3/detik pada tahun 2000 atau
mengalami perubahan peningkatan 2.64 m3/detik. Dari hasil analisis menunjukkan
bahwa luas kawasan lindung yang diperlukan di DAS Tanralili adalah 18 754.41 ha atau
71.19%, kawasan penyangga seluas 3 112.18 ha atau 11.81%, dan pembangunan
kawasan budidaya tanaman tahunan maupun tanaman semusim seluas 4 476.91 ha
atau 16.98% dari luas wilayah DAS Tanralli.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut terungkap permasalahan antara lain:
1. Dengan perubahan tutupan lahan mengakibatkan karakteristik hidrologi pada Sub
DAS Tanralili ikut berubah.
2. Adanya alih fungsi kawasan hutan menjadi penggunaan lahan tertentu
mengakibatkan masalah banjir dan kekeringan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji dampak perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi Sub
DAS Tanralili
2. Menyusun rekomendasi pengelolaan lahan terbaik di Sub DAS Tanralili
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu lembaga
berkepentingan untuk mengatasi permasalahan fluktuasi debit
sedimentasi dengan merekomendasikan perencanaan penggunaan
kajian biofisik di Sub DAS Tanralili pada khususnya dan di
umumnya.

atau instansi yang
harian, erosi dan
lahan berdasarkan
DAS Maros pada

3
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit alam berupa kawasan yang
dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung-punggung bukit yang menampung,
menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama
(Sunarti 2008) dan kemudian menyalurkannya ke laut (Asdak 1995). Wilayah daratan
tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA atau catchment area) yang merupakan
suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan
vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak 1995)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyebutkan
bahwa DAS adalah suatu bentang lahan yang dibatasi oleh punggung bukit pemisah
aliran (topographic divide) yang menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan
melalui jaringan sungai dan bermuara di satu patusan (single outlet) di sungai utama
menuju danau dan laut. DAS merupakan ekosistem alam berupa hamparan lahan yang
bervariasi menurut kondisi geomorfologi (geologi, topografi, dan tanah), penggunaan
lahan, dan iklim yang memungkinkan terwujudnya ekosistem hidrologi yang unik.
Berdasarkan fungsinya, DAS dibagi menjadi tiga bagian yaitu DAS bagian hulu,
DAS bagian tengah, dan DAS bagian hilir. DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi
konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak
terdegradasi, yang dapat diindikasikan oleh kondisi tutupan vegetasi lahan DAS,
kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian tengah
didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang dapat diindikasikan dari kuantitas
air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta
terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. DAS
bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan manfaat sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan
kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk
kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Effendi 2008)
Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang
optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah, dan air, sehingga mampu memberi manfaat
secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu
pengelolaan DAS dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan
atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di
DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya
kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini termasuk identifikasi
keterkaitan antara tata guna lahan, tanah dan air, serta daerah hulu dan hilir suatu DAS
(Asdak 1995).
Penggunaan Lahan dan Perubahannya
Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan
kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis
dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad
1989). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata dari suatu
proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan
dinamis antara aktifitas-aktifitas penduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan di
dalam lingkungan tempat hidup mereka.

4
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari
satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe
penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya
fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Martin 1993 dalam Wahyunto et al.
2001).
Maryono (2005) menjelaskan banjir yang terus berlangsung di Indonesia
disebabkan oleh empat hal yaitu faktor hujan yang lebat, penurunan resistensi DAS
terhadap banjir, kesalahan pembangunan alur sungai dan pendangkalan sungai. Faktor
hujan merupakan faktor alami yang dapat menyebabkan banjir namun faktor ini tidak
selamanya menyebabkan banjir karena tergantung besar intensitasnya. Faktor
karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan yaitu (Dewajati
2003):
1. Luas dan bentuk DAS, laju dan volume aliran permukaan makin bertambah besar
dengan bertambahnya luas DAS. Hal ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan
oleh air untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke titik kontrol dan juga penyebaran
atau intensitas hujan. Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan
laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang berbentuk
melebar atau melingkar.
2. Topografi, yaitu seperti kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan drainase dan /atau
saluran, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan
volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai drainase yang
rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang dan adanya
cekungan.
3. Tata Guna Lahan, yaitu pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan
dalam koefisien aliran permukaan.
Debit Air
Debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit
dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt). Dalam laporan-laporan teknis,
debit aliran biasanya ditunjukkan dalam bentuk hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah
suatu perilaku debit sebagai respon adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang
berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan atau
adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim lokal (Asdak 1995).
Laju aliran permukaan adalah jumlah atau volume air yang mengalir pada suatu
titik per detik atau per jam, dinyatakan dalam m3 per detik atau m3 per jam. Laju aliran
permukaan dikenal juga dengan istilah debit. Besarnya debit ditentukan oleh luas
penampang air dan kecepatan alirannya, yang dapat dinyatakan dengan persamaan :
Q = A V ……………..
dimana :
Q = debit air (m3/detik atau m3/jam)
A = luas penampang air (m2)
V = kecapatan air melalui penampang tersebut (m/detik)
(Arsyad 2006).

(1)

5
Aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam alur sungai berupa aliran
permukaan, aliran air di bawah permukaan, aliran air bawah tanah dan butir-butir hujan
yang langsung jatuh kedalam alur sungai. Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi
hujan yang cukup, kemudian akan turun kembali setelah hujan selesai. Gambar tentang
naik turunnya debit sungai menurut waktu disebut hidrograf. Bentuk hidrograf suatu
sungai tegantung dari sifat hujan dan sifat-sifat daerah aliran sungai yang bersangkutan
(Arsyad 2006).
Chapin (1995) mengemukakan bahwa pola penggunaan lahan dalam berbagai
bentuk dan cara akan berdampak terhadap lingkungan. Indikasi terjadinya penurunan
daya dukung lingkungan disuatu wilayah dapat dilihat dari berbagai bencana yang
terjadi misalnya banjir, kekeringan, sedimentasi, abrasi yang menyebabkan kerusakan
tambak. Terjadinya banjir pada dasarnya dipicu oleh dua hal pokok yaitu (1). makin
sedikitnya lahan yang berfungsi sebagai resapan air. (2). terjadinya amblesan tanah
(land subsidence) karena eksploitasi air tanah dan pembangunan fisik yang melebihi
daya dukung. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan dari lahan non terbangun
menjadi lahan terbangun akan menstimulasi besarnya air larian (Hadi 2001)
Aplikasi Model SWAT
SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian kontinyu
untuk skala DAS yang beroperasi secara harian, bulanan maupun tahunan dan dirancang
untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan kimia pertanian
pada DAS yang tidak memiliki alat pengukuran. Model SWAT berbasis fisik, efisien
secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu yang panjang.
Komponen utama model adalah iklim, tanah, tutupan lahan termasuk pola tanam dan
pengelolaan tanaman, kelerengan, suhu dan curah hujan. Dalam SWAT, DAS dibagi
menjadi beberapa subbasin, yang kemudian dibagi lagi ke dalam unit respon hidrologi
(Hydrologic Response Units = HRU) yang memiliki karakteristik tutupan lahan,
kelerengan, dan tanah yang homogen. HRU menunjukkan persentase subbasin yang
teridentifikasi dan tidak teridentifikasi secara spasial dalam simulasi SWAT atau dengan
kata lain DAS dapat dibagi ke dalam subbasin yang memiliki karakteristik tutupan
lahan, jenis tanah dan kelerengan yang dominan (Neitsch 2005).
Untuk prediksi secara akurat terhadap debit dan sedimen, siklus hidrologi yang
disimulasikan oleh model harus dikonfirmasikan dengan proses yang terjadi di dalam
DAS. Simulasi hidrologi DAS dapat dipisahkan menjadi dua bagian utama. Bagian
pertama adalah siklus hidrologi dari fase lahan, yang mana fase lahan pada siklus
hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang bergerak
menuju saluran utama pada masing-masing Sub DAS. Bagian kedua adalah fase air atau
penelusuran dari siklus hidrologi yang dapat didefinisikan sebagai pergerakan air,
sedimen dan lainnya melalui jaringan sungai dalam DAS menuju ke outlet (Neitsch
2005).
Dalam beberapa tahun terakhir, SWAT telah digunakan untuk berbagai aplikasi
pengelolaan DAS Di Indonesia. Raimadoya (2009) menggunakan SWAT dalam
penelitian sistem agroforestry sayur-sayuran di DAS Cisadane Kecamatan Nanggung
Kabupaten Bogor. Aplikasi SWAT menurut Raimadoya (2009) dapat diterima dengan
baik dan digunakan secara luas di DAS Citarum dan Cimanuk Jawa Barat untuk
investigasi keamanan pangan. SWAT juga telah digunakan untuk menganalisis respon
hidrologi dari perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Cirasea yang merupakan Hulu
DAS Citarum di Provinsi Jawa Barat oleh Yusuf (2010) dan mendapatkan kesimpulan

6
bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Cirasea mengakibatkan
terjadinya perubahan respon hidrologi khususnya aliran permukaan dan aliran dasar
(base flow). Konversi lahan dari penggunaan lahan yang dapat meresapkan air dengan
baik ke dalam tanah menjadi penggunaan lahan yang menyebabkan hilangnya
kemampuan tanah dalam meresapkan air mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah
curah hujan yang menjadi aliran permukaan.
Ridwansyah (2010) menyatakan bahwa Model SWAT dapat digunakan untuk
menemukan dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi. Simulasi
dari setiap seri data penggunaan lahan menunjukkan adanya dampak perubahan
penggunaan lahan pada karakteristik hidrologi. Hasil penelitian Ridwansyah (2010)
menunjukan bahwa kegiatan reboisasi selama 2002-2005 di DAS Cimanuk Propinsi
Jawa Barat dapat menurunkan limpasan permukaan dan dapat meningkatkan aliran
dasar (base flow).
Terlepas dari hasil kesimpulan beberapa penelitian di atas, Gassman (2007)
mengumpulkan beberapa penelitian berbasis SWAT di seluruh dunia dan mengkritisi
beberapa kelemahan SWAT dalam pemodelan hidrologi diantaranya: 1) sebagaimana
model hidrologi lainnya, SWAT mengasumsikan kondisi tanah adalah statis, yang pada
kenyataannya di banyak lokasi tertentu kondisi tanah adalah dinamis seperti perubahan
prosentase kandungan bahan organik tanah sehingga perlu pembaharuan database tanah
untuk penelitian dengan jangka waktu lebih dari 5 tahun; 2) input database tanaman
dalam rangka rekayasa vegetatif kurang luas, sehingga perlu manipulasi model yang
diperluas untuk beberapa jenis tanaman kaitannya dengan umur tanaman, sistem tanam,
pola percampuran tanaman, dan lain-lain; dan 3) penggunaan SWAT pada lahan basah
seperti daerah rawa gambut juga perlu modifikasi model secara khusus karena model
SWAT tidak dapat mendefinisikan sifat-sifat fisik tanah non mineral.
BAHAN DAN METODE
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan Sub DAS Tanralili (DAS Maros) (Gambar 1) dan secara
geografis terletak antara 5o0’ s/d 5o12’ LS dan 119o34’ s/d 119o56’ BT dengan luas 25
627.59 ha. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan September 2014 hingga Maret
2015.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1). Global Positioning
System (GPS), 2). Alat tulis dan alat dokumentasi, dan 3). Seperangkat komputer (PC),
printer dan Software Mc.Office/Mc.Excel, Arc. GIS 9.3 dan Arc SWAT 9.0
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) peta tutupan lahan
skala 1 : 100 000 dari BPDAS Jeneberang dan Walanae; 2). Peta jenis tanah skala
1:250.000 dari Puslitanak, 3) data iklim global didapatkan dari Stasiun Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Maros dan BPDAS Pompengan
Makassar yang merupakan hasil pengolahan data cuaca harian (curah hujan, suhu udara,
dan kelembaban udara) selama 10 tahun yaitu tahun 2002 sampai 2011; 4) data debit air
rata-rata harian selama 10 tahun (2002-2011) dari BPDAS Pompengan dan Dinas

7
Pekerjaan Umum Prov. Sul-Sel, yang akan digunakan untuk kalibrasi dan validasi
model dan (5) data sifat fisik dari hasil pengamatan lapang dan laboratorium.

DAS Tanralili

Gambar 1 Peta situasi wilayah penelitian

8
Mulai
Tahap I
Pengumpulan Data

Peta Tanah

Pengumpulan

Peta
Penggunaan
Lahan

Data

Peta DAS

Data-data Hujan
dan Iklim

Survey Lapangan
Tahap II
Deliniasi DAS

Membentuk :
-Jaringan sungai
-Outlet
-Sub
DAS

Tahap III
Pembentukan HRU dan
menjalankan SWAT

Overlay peta :
-tanah
-lereng
-Tutupan Lahan

Pembentukan
HRU

Mengisi input
tabel

Run SWAT
Tahap IV
Kalibrasi
dan Validasi

Output Model
tidak

Debit
Kalibrasi
ya

tidak
Validasi

ya

Tahap V
Analsis Respon Hidrologi

Simulasi Penggunaan Lahan

Selesai

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian

Data
Debit

9
Teknik Analisis Data
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan diketahui dengan cara overlay peta penggunaan
lahan Sub DAS Tanralili tahun 2005 dengan peta penggunaan lahan tahun 2008. Selain
itu juga dilakukan overlay Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Tanralili tahun 2008
dengan tahun 2011 sehingga diperoleh informasi perubahan penggunaan lahan baik
secara spasial dan temporal. Proses analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan
menggunakan program ArcGIS 9.3.
Penyiapan Data Input
Data input yang telah disiapkan pada tahap pengumpulan data dimasukkan ke
dalam file-file data input (SWAT Input File). Terdapat 17 file data input yang terkait
dengan analisis hidrologi. File PCP, TMP, SLR, HMD, dan SOL disiapkan dengan
memasukkan data iklim dan tanah kedalam parameter setiap file. Sedangkan file FIG,
CIO, COD, BSN, SUB, HRU, MGT, GW, dan RTE terbentuk setelah prosedur analisis
dijalankan. Data tutupan lahan dan pemukiman menggunakan data yang telah
disediakan oleh SWAT dalam file CROP dan URBAN. Data iklim berupa data harian
yang meliputi curah hujan (mm), temperature maksimum dan minimum (°C), radiasi
matahari (kwh/m2/hari), kecepatan angin, dan kelembaban udara (%) disiapkan dalam
file PCP, TMP, SLR, HMD dan WGN. Penyiapan data iklim terkait dengan metode
perhitungan evapotranspirasi yang digunakan. Adapun data tanah yang disiapkan dalam
file SOL yaitu kedalaman maksimum perakaran (mm), ketebalan horizon (mm), tekstur
tanah, bobot isi (g/cm3), kadar air tersedia (mm H 2 O/mm tanah), konduktivitas hidrolik
jenuh (mm/jam), C-organik (%), kandungan liat (%), debu (%), pasir (%), bahan kasar
(%), albedo tanah dan K-USLE.
Begitu banyaknya data yang dibutuhkan oleh model, sehingga perlu untuk
memperhatikan beberapa faktor saat melakukan input data. Beberapa faktor penting
diantaranya yaitu penentuan bilangan kurva, kandungan air tanah sebelumnya dan
kelompok hidrologi yang tepat. Selain itu, perlu juga memperhatikan keakuratan peta
penggunaan lahan yang digunakan dalam simulasi serta resolusi DEM yang digunakan
untuk deliniasi batas DAS.
Deliniasi DAS
Proses deliniasi batas luar Sub DAS Tanralili berdasarkan peta DEM, dilakukan
secara otomatis oleh model SWAT setelah titik outlet yang merupakan titik observasi
pengukuran debit yang mana dalam penelitian ini titik outletnya adalah titik Stasiun
Pengamatan Arus Sungai (SPAS) milik BPDAS Pompengan. Hasil deleniasi ini adalah
terbentuknya batas luar Sub DAS Tanralili yang dalam model SWAT didefinisikan
sebagai basin.
Untuk pembentukan subbasin dalam basin Tanralili (Sub DAS Tanralili), SWAT
memberikan pilihan berdasarkan batasan luas DEM-based. Besar kecilnya luas DEMBased yang digunakan akan menentukan jumlah subbasin (Sub-Sub DAS dalam Sub
DAS Tanralili) berdasarkan jaringan sungai yang akan terbentuk. Semakin detil jaringan
sungai yang terbentuk, semakin banyak subbasin yang terbentuk. Dalam skala
penelitian atau perencanaan tingkat meso ini, DEM-base yang digunakan adalah 100 ha
atau setara dengan skala peta 1 : 25 000.

10
Pembentukan HRU dan Menjalankan SWAT
HRU merupakan unit analisis hidrologi yang dibentuk berdasarkan karakteristik
tanah, kelas lereng dan liputan lahan yang spesifik. HRU diperoleh melalui overlay
peta-peta pada skala meso yaitu: 1) peta tanah dengan kelengkapan database-nya; 2)
peta tutupan lahan dengan kelengkapan database-nya; dan 3) peta lereng yang dibentuk
secara otomatis dari DEM oleh model SWAT. HRU ini tersebar dalam subbasin,
sehingga dapat menggambarkan keadaan biofisik untuk masing-masing subbasin
tersebut. Dalam pembentukan HRU digunakan threshold by percentage sebesar 10%
dengan pengecualian tutupan lahan pemukiman dan padang rumput, artinya HRU
terbentuk dari jenis tanah, liputan lahan (kecuali pemukiman dan padang rumput) dan
lereng yang luasnya lebih dari10% dari luas basin. Adapun HRU yang luasnya kurang
dari 10% akan didistribusi ulang secara proporsional terhadap HRU yang lebih besar.
Setelah HRU terbentuk maka dilakukan pemanggilan data-data iklim meliputi data
iklim global, data curah hujan harian rata-rata serta data suhu maksimum dan minimum
harian rata-rata untuk digabungkan dengan HRU yang telah terbentuk tersebut.
SWAT dapat dijalankan setelah proses penggabungan HRU dengan data iklim
selesai. Model SWAT yang telah dijalankan akan menghasilkan output file yang
terpisah untuk subbasin, HRU dan outlet sungai. Beberapa variable output di lahan atau
subbasin (file output.sub) dapat dilihat pada Tabel 1 dan variable output di outlet sungai
(file output.rch) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Variable output SWAT pada subbasin
Definisi
Variable
PRECIP Jumlah curah hujan (mm).
PET
Evapotranspirasi potensial (mm).
ET
Evapotranspirasi aktual (mm).
SW
Kadar air tanah pada akhir periode waktu (mm).
PERC
Air yang merembes melewati zona akar (mm).
SURQ
Kontribusi aliran permukaan terhadap debit sungai (mm).
GW_Q Air bawah tanah (mm).
WYLD Hasil air (mm).
SYLD
Hasil sedimen (ton ha-1).
Tabel 2 Variable output SWAT pada outlet sungai
Variable
FLOW_IN
FLOW_OUT
EVAP
TLOSS
SED_IN
SED_OUT

Definisi
Debit sungai harian rata-rata yang masuk ke outlet (m3 s-1).
Debit sungai harian rata-rata yang keluar dari outlet (m3 s-1).
Jumlah kehilangan air harian rata-rata karena penguapan (m3 s-1).
Jumlah kehilangan air harian rata-rata karena kebocoran (m3 s-1).
Sedimen yang terangkut air dan masuk ke outlet (ton).
Sedimen yang terangkut air dan keluar dari outlet (ton).

Dari sekian banyak output yang dikeluarkan model SWAT, penelitian ini hanya
difokuskan pada debit harian rata-rata yang dihasilkan pada outlet sungai
(FLOW_OUT).

11

Perhitungan Prediksi Debit Aliran pada Model SWAT
Aliran permukaan pada pemodelan SWAT dihitung menggunakan metode SCS
Curve Number (Bilangan Kurva SCS) dengan persamaan:
����� =

(����−��)2

(����−��+�)

………

(2)

dimana Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Rday adalah jumlah
curah hujan pada hari tersebut (mm), Ia adalah kehilangan awal akibat simpanan
permukaan, intersepsi dan infiltrasi (mm) dan S adalah parameter retensi (mm).
Parameter retensi dihitung berdasarkan persamaan berikut:
� = 25.4 �

1000
��

− 10� … … …

(3)

dimana CN adalah bilangan kurva dan nilai Ia adalah 0.2S (berdasarkan hasil
penelitian), sehingga persamaan perhitungan aliran permukaan menjadi:
����� =

(����−0.25�)2
(����+0.8�)

………

(4)

Aliran permukaan hanya terjadi apabila Rday > Ia. Solusi grafis (Gambar 3)
menunjukan perbedaan nilai bilangan kurva dari persamaan 4.

Gambar 3. Hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan dalam
metode bilangan kurva SCS (Neitsch 2005)

12
Kalibrasi dan Validasi
Setiap analisis yang menggunakan pemodelan harus disertai dengan pengujian
untuk menilai keakuratan output yang dikeluarkan model terhadap data hasil observasi
atau pengukuran lapangan. Dalam penelitian ini, Output model atau peubah proses
hidrologi yang diuji adalah debit aliran (FLOW_OUT). Periode kalibrasi dipilih utnuk
menentukan tahun mana yang akan dipakai dalam proses kalibrasi dan validasi. Dalam
penelitian ini digunakan tahun 2005 sebagai tahun kalibrasi dan tahun 2008 sebagai
tahun validasi. Periode ini dipilih karena ketersediaan data yang baik sehingga
menghasilkan nilai NSE dan r2 yang paling baik diantara tahun lainnya. Metode statistik
yang digunakan untuk menguji model adalah persamaan efisiensi model Nash-Sutcliffe
(NS):
∑� (�−ŷ)2

�� = 1 − ∑��=1(�−��)2 … … ….

(5)

�=1

dimana y adalah debit aktual yang terukur (mm), ŷ adalah debit hasil simulasi (mm), dan
�� adalah rata-rata debit terukur. Efisiensi model NS dikelompokkan menjadi 3 kelas
(Tabel 3) yaitu baik, memuaskan dan kurang memuaskan.
Tabel 3 Klasifikasi nilai NS
Nilai NS
Katagori
NS ≥ 0.75
Baik (sangat memuaskan)
0.75 > NS > 0.36
Memuaskan
NS < 0.36
Kurang memuaskan
Sumber: Nash-Sutcliffe (1970)
Dalam melihat keakuratan pola hasil keluaran model dengan hasil observasi
lapangan digunakan koefisien deterministik atau persamaan linier:
2

� =

(�−��)2 − (�−�)2
… … ….
(�−��)2

(6)

dimana O adalah besarnya debit pengamatan, � adalah debit rata-rata pengamatan, P
adalah debit perhitungan model dan P adalah debit rata-rata perhitungan model. Hasil
perhitungan r2 menunjukan evaluasi kelayakan model tersebut, apabila r2 mendekati 1
maka terdapat hubungan yang erat antara hasil prediksi model dengan hasil observasi
lapangan.
Selain itu, untuk melihat keakuratan model digunakan neraca air. Neraca air
adalah gambaran potensi dan pemanfaatan sumberdaya air dalam periode tertentu. Dari
neraca air ini dapat diketahui potensi sumberdaya air yang masih belum dimanfaatkan
dengan optimal. Secara kuantitatif, neraca air menggambarkan prinsip bahwa selama
periode waktu tertentu masukan air total sama dengan keluaran air total ditambah
dengan perubahan air cadangan (change in storage). Nilai perubahan air cadangan ini
dapat bertanda positif atau negatif (Soewarno 2000). Konsep neraca air pada dasarnya

13
menunjukkan keseimbangan antara jumlah air yang masuk ke, yang tersedia di, dan
yang keluar dari sistem (sub sistem) tertentu. Secara umum persamaan neraca air
dirumuskan dengan (Harto 2000).
Q

= P - ET ± ΔS

Dimana:
Q
: Debit Aliran (mm)
P
: Curah Hujan (mm)
ET
: Evapotranspirasi actual (mm)
ΔS
: Perubahan cadangan lengas tanah (mm)
Analisis dan Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Karakter
Hidrologi
Analisis hidrograf perubahan penggunaan lahan terhadap karakter hidrologi
dihitung bedasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P61/Menhut-II/2014 tentang
sistem informasi pengelolaan DAS, dimana nilai air limpasan tahunan riil (direct runoff,
DRO), yaitu nilai total runoff (Q) setelah dikurangi dengan nilai aliran dasar (base flow,
BF), atau dalam bentuk persamaannya: DRO = Q – BF. Perhitungan aliran dasar (BF)
untuk nilai BF harian rata-rata bulanan = nilai Q rata-rata harian terendah saat tidak ada
hujan (P = 0).
Analisis Flow Duration Curve (FCD) dilakukan dengan membandingkan debit
aliran harian dari masing-masing periode penutupan lahan yakni tahun 2005, 2008 dan
2011. Data rata-rata debit sungai harian dianalisis dalam bentuk flow duration curve
(FDC) yang menghubungkan aliran dengan persentase dari waktu yang dilampauidalam
pengukuran. Flow Duration Curve (FDC) dapat menentukan karakteristik suatu sungai
dengan memperhatikan susunan garis massa debit yang waktunya dinyatakan dengan
persentase. Untuk keperluan itu data debit dari hidrograf disusun mulai dari yang
terendah sampai dengan yang tertinggi dan tiap debit diberikan probabilitas yang
dihitung dengan persamaan:
P = 100 x �



�+1



dimana P adalah probabilitas dari debit, M adalah posisi ranking dari data debit
dan n adalah total jumlah data debit (Cole 2003).
Sedangkan untuk simulasi perubahan penggunaan lahan menggunakan model
SWAT dilakukan dengan membuat beberapa skenario sebagai berikut :
1. Penggunaan lahan sesuai dengan peta fungsi kawasan hutan
2. Penerapan agroteknologi pada lahan pertanian di luar kawasan hutan
3. Pengggunaan lahan sesuai dengan peta fungsi kawasan hutan dan penerapan
agroteknologi pada lahan pertanian

14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kondisi Iklim
Menurut sistem klasifikasi Schmidth-Fergusson (BB = CH >100 mm/bulan dan
BK= CH 40% (sangat curam) (Lampiran 1). Sebagian besar wilayah Sub DAS
Tanralili tergolong curam dengan kemiringan lereng (25-40)%, dengan luas wilayah
7 249.82 ha atau 28.30% dari total areal Sub DAS. Daerah dengan topografi sangat
curam (>40)% terdapat pada daerah hulu DAS dengan luas 4 062.05 ha atau 15.86%,
untuk lebih jelasnya sebaran topografi dapat dilihat pada Tabel 4. Penetapan kelas
kelerengan ini mengacu pada penelitian model SWAT sebelumnya oleh Yusuf (2010)
dan Latifah (2013) serta mengacu pada penetapan kelas kelerengan oleh Dirjen RLPS
Kemenhut (2009).
Tabel 4. Kelas Lereng Sub DAS Tanralili
Luas
Ha
0-8
2 946.12
8-15
4 744.14
15-25
6 625.46
25-40
7 249.82
>40
4 062.05
Jumlah
25 627.59
Sumber: BPDAS Jeneberang Walanae tahun 2014
Kelas Lereng (%)

%
11.48
18.48
25.88
28.30
15.86
100.00

15
Ordo tanah
Jenis tanah Sub DAS Tanralili terdiri atas Dystropepts seluas 24 034.11 ha
(93.80%), Rendolls seluas 1 122.53 ha (4.37%) dan Tropaquepts seluas 470.95 ha
(1,83%) (Lampiran 2). Survei dilakukan untuk mendapatkan informasi sifat fisik tanah
kaitannya dengan data masukan model SWAT. Untuk mendapatkan data keterwakilan
unit lahan, dilakukan pengambilan terhadap 14 titik pengambilan contoh tanah
(Lampiran 2). Adapun penyebaran jenis tanah pada Sub DAS Tanralili dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis Tanah Sub DAS Tanralili
Luas

Jenis Tanah

Ha

%

Tropaquepts

470.95

1.83

Dystropepts

24 034.11

93.80

1 122.53

4.37

Rendolls

Jumlah
25 627.59
Sumber: BPDAS Jeneberang Walanae tahun 2014

100.00

Penggunaan Lahan
Berdasarkan peta tutupan lahan Sub DAS Tanralili tahun 2011 (skala
1:100.000), penggunaan lahan pada sub DAS Tanralili didominasi oleh pertanian lahan
kering campuran seluas 16 816.92 ha (65.62%), disusul hutan seluas 6 768.89 ha
(26.41%), sawah 1 161.38 ha (4.53%), semak/belukar seluas 739.43 ha (2.89%), padang
rumput 120.09 ha (0.47%) dan badan air 21.39 ha (0.08%). Pertanian lahan kering
campuran merupakan kombinasi tanaman pertanian lahan kering dengan tanaman kayukayuan pada areal berlereng sampai dengan landai. Pengelolaan lahan dengan
pembuatan teras telah dilakukan di areal pertanian berlereng meskipun belum
diterapkan di seluruh lahan pertanian. Sebaran luas penggunaan lahan dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Penggunaan Lahan sub DAS Tanralili tahun 2005, 2008 dan 2011
Penggunaan Lahan
Badan Air
Hutan
Pertanian Lahan Kering
Campuran
Padang Rumput
Semak Belukar
Sawah
Luas Total

2005
Luas
Ha
21.39
6 139.17

2008
Luas
%
0.08
23.96

17 114.67 66.78
224.54
0.88
801.12
3.13
1 326.70
5.18
25 627.59 100.00

Ha
1.65
7 365.53

2011
Luas
%
0.01
28.74

Ha
21.39
6 768.39

%
0.08
26.41

8 964.47 34.98
120.09
0.47
7 161.55 27.94
2 014.31
7.86
25 627.59 100.00

16 816.92
120.09
739.43
1 161.38
25 627.59

65.62
0.47
2.89
4.53
100.00

Sumber: BPDAS Jeneberang Walanae tahun 2014

16
Analisis Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT
Deliniasi Sub DAS (Watershed Delineator)
Deliniasi Sub DAS pada model SWAT dilakukan secara otomatis melalui proses
delineasi DEM. Proses delineasi tersebut menghasilkan batas DAS, batas sub DAS, dan
jaringan sungai. Delineasi DAS dilakukan dengan ambang batas (threshold) sebesar 100
ha dengan tujuan agar mencakup seluruh jaringan sungai di Sub DAS Tanralili.
Berdasarkan proses delineasi Sub DAS Tanralili terbentuk jaringan sungai
utama, batas DAS dengan total luas 25 627.59 ha, dan sub DAS sebanyak 21 (Lampiran
3). Titik outlet pengamatan debit terletak pada Sub DAS nomor 7 yaitu di desa Puca.
Data debit pengukuran dari outlet Lekopancing digunakan sebagai data primer
dibandingkan dengan data debit simulasi dalam model SWAT. Luas masing-masing sub
DAS hasil delineasi disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Luas sub DAS hasil delineasi model SWAT
Sub Basin
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Jumlah

Luas
Ha
1 067.61
828.26
3 716.90
190.82
806.05
139.83
611.94
3 127.16
2 963.48
43.59
1 273.24
213.03
542.03
1 126.01
183.42
2 606.52
866.10
649.78
2 224.87
837.31
1 609.64
25 627.59

%
4.17
3.23
14.50
0.74
3.15
0.55
2.39
12.20
11.56
0.17
4.97
0.83
2.12
4.39
0.72
10.17
3.38
2.54
8.68
3.27
6.28
100.00

17
Analisis HRU (Hydrologi Respont Unit)
HRU merupakan unit analisis terkecil yang digunakan dalam perhitungan pada
model SWAT. Hydrologi Respont Unit (HRU) terbentuk dari proses tumpang tindih
antara peta/data penggunaan lahan, karakteristik tanah, dan kelas lereng.
Data masukan pada proses analisis HRU terdiri atas data spasial dan data
numerik. Data spasial terdiri atas peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, dan peta
kelas lereng. Data numerik merupakan data karakteristik tanah meliputi data sifat fisik
tanah dari pengambilan contoh tanah (Lampiran 4). Peta penggunaan lahan yang
digunakan yaitu peta penggunaan lahan Sub DAS Tanralili tahun 2005. Hasil
reklasifikasi peta penggunaan lahan diperoleh jenis dan luas penggunaan lahan
sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Peta tanah berisi sebaran jenis tanah Sub DAS
Tanralili. Data numerik tanah dimasukan kedalam database tanah pada mode Edit
SWAT Input (Lampiran 5). Peta kelas lereng terbentuk secara otomatis berbasis peta
DEM. Metode Multiple Slope dipilih untuk memperoleh 5 kelas lereng serta luasnya
sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Data HRU diperoleh dari tumpang tindih ketiga
data masukan tersebut.
HRU definition dilakukan dengan metode threshold by percentage sebesar 10%.
Penentuan threshold bertujuan agar luas polygon kurang dari 10% akan digabungkan
dengan polygon terdekat. Pengecualian dapat dilakukan dengan penggunaan lahan yang
memiliki luas kurang dari 10%. Analisis HRU menghasilkan 127 HRU yang tersebar di
21 sub DAS (Lampiran 6).
Basis Data Iklim (Weather Generator Data)
Basis data iklim model SWAT berdasarkan perhitungan data iklim tahun 2002
hingga 2011 yang terdiri atas data curah hujan (rainfall data), temperatur (temperatur
data), kelembaban (Relative Humidity Data), radiasi matahari (Solar Radiation Data),
dan kecepatan angin (Wind Speed Data) disajikan pada (Lampiran 7).
Analisis Karakteritik Hidrologi
Data karakteristik hidrol