Study Of Smoking Method In The Production Of Dendeng Batokok

(1)

KAJIAN METODE PENGASAPAN DALAM PENGOLAHAN

DENDENG BATOKOK PRODUK KHAS SUMATERA BARAT

IRA SUSILAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ABSTRACT

IRA SUSILAWATI. Study of Smoking Method in the Production of Dendeng Batokok. Under the supervision of Sugiyono and Joko Hermanianto.

Dendeng is a special dried meat product of Indonesia, which is processed by slicing the meat slightly followed by curing and drying processes. In West Sumatera, there is a well-known traditional meat product called dendeng batokok, which is processed specially using local raw materials and has unique flavor. Unfortunately, the shelf life of this meat product is only about two days. The spoiling of meat product can be caused by microorganism activity especially bacteria, enzyme activity, temperature, oxygen level and storing. Due to this limitation of dendeng batokok shelf life, it is needed to introduce a preserving method to maintain the quality of the product.

The main problems found in the process of dendeng batokok production by smoking process are: 1) traditionally smoking process (direct smoking method), using fireplace and cormorant in opened space that can cause smokes lost in the air and unabsorbed into the meat, this will influence the quality, appearance and color of the meat, 2) time and temperature of smoking is varying, with smoking time between 1 to 7 hours, and unstable temperature between 25 to 75 oC, effecting high level water content, which is between 50 - 65% and effecting shelf life, 3) the variation of meat brooding time (about 30 – 60 minutes), flavor and salt that can influence texture, aroma and color of the product. 4) sanitation and hygienic during the making process are not yet noticed well so that the product might be contaminated by microbe. Thus, to cover the problems found in traditional smoking method, this study was attempted to improve the process and the smoking technology (indirect smoking method) of dendeng batokok by introducing smoking equipment and appropriate smoking temperature so that it could improve the quality and shelf life of the product.

The result of this research showed that, by using direct smoke method, the best product was resulted at 6 hours of smoking time and 61-70oC of smoking temperature with high organoleptic scores of color, aroma and flavor (4,3; 4,7; 4,9), and has 26,98%d.b of water content; 0,60 of aw; 17,40%d.b of protein,

9,42%d.b of fat; 0,47kg/cm2 of hardness; 0,38 mg malonaldehid/kg; 9,04mg/kg of formaldehyde; 34,6 x 107 CFU/gr of TPC. By using indirect smoking method, the best product was resulted at 9 hours of smoking time and 61-70oC of smoking temperature with high organoleptic scores of color, aroma and flavor (5,3; 4,5; 4,8) and has 18,13%d.b of water content; 0,57 of aw; 18,77%d.b of protein,

8,52%d.b of fat; 0,48 kg/cm2 of hardness; 0,38 mg malonaldehid/kg; 9,26mg/kg of formaldehyde; 70,0 x 106 CFU/gr of TPC. It was also obtained from this research that by using indirect smoking method, coliform bacteria did not emerge after 15 days of storage while direct smoking method did. Finally, it can be concluded that indirect smoking method has a better result compared to direct smoking method.


(3)

KAJIAN METODE PENGASAPAN DALAM PENGOLAHAN

DENDENG BATOKOK PRODUK KHAS SUMATERA BARAT

IRA SUSILAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(4)

Judul Tesis : Kajian Metode Pengasapan dalam Pengolahan Dendeng Batokok Produk Khas Sumatera Barat.

Nama : Ira Susilawati NRP : F051030091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Sugiyono, M.App Sc Dr.Ir. Djoko Hermanianto

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pasca Panen

Dr.Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kajian Metode Pengasapan dalam Pengolahan Dendeng Batokok Produk Khas Sumatera Barat”

Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, Ayahanda Ir.H.Yurizal Nurdin, MS (Alm) dan Ibunda Ir.Hj.Allismawita, MS yang senantiasa mengiringiku dengan doa, semangat dan motivasi dalam perjuanganku.

Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku anggota pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan selama penulisan tesis ini. Seterusnya ucapan terima kasih ini ditujukan kepada:

1. Ketua Program Studi Teknologi Pasca Panen (TPP) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr yang sekaligus menjadi penguji luar.

2. Kepala Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan IPB. Kepala Laboratorium Kimia Pangan dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB serta Kepala Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Universitas Andalas Padang beserta teknisi yang telah memberi fasilitas dalam melaksanakan penelitian.

3. Bapak Ir. Azhar, M.Sc dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas yang telah membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.

4. Ketua Yayasan Pendididkan Wira Surya Mandiri sebagai sponsor yang telah banyak membantu dalam penyelesaian pendidikan di Institut Pertanian Bogor. 5. Terimakasih untuk suamiku Andes Jayarsa, ST, M.Sc, untuk kakakku Ari

Surya Agung, SE dan putraku Muhammad Nabil Alfarizi yang selalu memberi semangat, doa dan kasih sayangnya.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang industri hasil pertanian dan peternakan.

Bogor, Maret 2007 Penulis


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 7 September 1981 dari ayahanda Ir.H.Yurizal Nurdin, MS (Alm) dan Ibunda Ir.Hj.Allismawita, MS. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada program studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang Sebagai lulusan terbaik. Dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Magister pada program studi Teknologi Pasca Panen, Intitut Pertanian Bogor.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR. ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

PENDAHULUAN Latar Belakang. ... 1

Tujuan Penelitian. ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Dendeng Daging Sapi dan Pembuatan Dendeng Batokok. ... 5

Bahan Baku Pembuatan dendeng Batokok. ... 7

Model Pengasapan dan Bahan Asap Dendeng Batokok. ... 10

Pengaruh Pengasapan terhadap Dendeng Batokok. ... 14

Pengaruh Pemukulan terhadap dendeng Batokok... 16

Pengaruh penyimpanan terhadap dendeng Batokok. ... 16

Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Kehidupan Mikroorganisme. ... 17

Bakteri coliform pada produk pangan. ... 18

Pengaruh Pengasapan terhadap Nilai Organoleptik... 18

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian. ... 20

Bahan dan Alat Penelitian... 20

Metode Penelitian. ... 22

Penelitian Pengasapan... 22

Penelitian Penyimpanan. ... 22

Rancangan Penelitian. ... 22

Cara Kerja Pembuatan Dendeng Batokok. ... 23

Parameter yang diamati... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pengasapan... 30


(8)

Penelitian Penyimpanan. ... 35

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. ... 54

Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Populasi sapi di Sumatera Barat tahun 1998-2003. ... 1

2. Persyaratan Mutu Dendeng Standarisasi Nasional Indonesia... 3

3. Komposisi kimia kayu dan tempurung kelapa. ... 3

4. Hasil uji organoleptik warna dendeng batokok... 30

5. Hasil uji organoleptik aroma dendeng batokok. ... 32

6. Hasil uji organoleptik rasa dendeng batokok ... .34


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alat pengasapan langsung... 21 2. Alat pengasapan tidak langsung... 21 3. Bagan proses pembuatan dendeng batokok. ... 24 4. Kadar air dendeng batokok selama penyimpanan pada dua metode

pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda... 35 5. Aktivitas Air (Aw) dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 37 6. Nilai pH dendeng batokok selama penyimpanan pada dua metode

pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda... 39 7. Tingkat kekerasan dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda... 41 8. Kadar protein dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 43 9. Kadar lemak dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 45 10. Bilangan TBA dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 47 11. Kadar formaldehida dendeng batokok selama penyimpanan pada

dua metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 49 12. Total Koloni Mikroba dendeng batokok selama penyimpanan pada


(11)

KAJIAN METODE PENGASAPAN DALAM PENGOLAHAN

DENDENG BATOKOK PRODUK KHAS SUMATERA BARAT

IRA SUSILAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

ABSTRACT

IRA SUSILAWATI. Study of Smoking Method in the Production of Dendeng Batokok. Under the supervision of Sugiyono and Joko Hermanianto.

Dendeng is a special dried meat product of Indonesia, which is processed by slicing the meat slightly followed by curing and drying processes. In West Sumatera, there is a well-known traditional meat product called dendeng batokok, which is processed specially using local raw materials and has unique flavor. Unfortunately, the shelf life of this meat product is only about two days. The spoiling of meat product can be caused by microorganism activity especially bacteria, enzyme activity, temperature, oxygen level and storing. Due to this limitation of dendeng batokok shelf life, it is needed to introduce a preserving method to maintain the quality of the product.

The main problems found in the process of dendeng batokok production by smoking process are: 1) traditionally smoking process (direct smoking method), using fireplace and cormorant in opened space that can cause smokes lost in the air and unabsorbed into the meat, this will influence the quality, appearance and color of the meat, 2) time and temperature of smoking is varying, with smoking time between 1 to 7 hours, and unstable temperature between 25 to 75 oC, effecting high level water content, which is between 50 - 65% and effecting shelf life, 3) the variation of meat brooding time (about 30 – 60 minutes), flavor and salt that can influence texture, aroma and color of the product. 4) sanitation and hygienic during the making process are not yet noticed well so that the product might be contaminated by microbe. Thus, to cover the problems found in traditional smoking method, this study was attempted to improve the process and the smoking technology (indirect smoking method) of dendeng batokok by introducing smoking equipment and appropriate smoking temperature so that it could improve the quality and shelf life of the product.

The result of this research showed that, by using direct smoke method, the best product was resulted at 6 hours of smoking time and 61-70oC of smoking temperature with high organoleptic scores of color, aroma and flavor (4,3; 4,7; 4,9), and has 26,98%d.b of water content; 0,60 of aw; 17,40%d.b of protein,

9,42%d.b of fat; 0,47kg/cm2 of hardness; 0,38 mg malonaldehid/kg; 9,04mg/kg of formaldehyde; 34,6 x 107 CFU/gr of TPC. By using indirect smoking method, the best product was resulted at 9 hours of smoking time and 61-70oC of smoking temperature with high organoleptic scores of color, aroma and flavor (5,3; 4,5; 4,8) and has 18,13%d.b of water content; 0,57 of aw; 18,77%d.b of protein,

8,52%d.b of fat; 0,48 kg/cm2 of hardness; 0,38 mg malonaldehid/kg; 9,26mg/kg of formaldehyde; 70,0 x 106 CFU/gr of TPC. It was also obtained from this research that by using indirect smoking method, coliform bacteria did not emerge after 15 days of storage while direct smoking method did. Finally, it can be concluded that indirect smoking method has a better result compared to direct smoking method.


(13)

KAJIAN METODE PENGASAPAN DALAM PENGOLAHAN

DENDENG BATOKOK PRODUK KHAS SUMATERA BARAT

IRA SUSILAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(14)

Judul Tesis : Kajian Metode Pengasapan dalam Pengolahan Dendeng Batokok Produk Khas Sumatera Barat.

Nama : Ira Susilawati NRP : F051030091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Sugiyono, M.App Sc Dr.Ir. Djoko Hermanianto

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pasca Panen

Dr.Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS


(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kajian Metode Pengasapan dalam Pengolahan Dendeng Batokok Produk Khas Sumatera Barat”

Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, Ayahanda Ir.H.Yurizal Nurdin, MS (Alm) dan Ibunda Ir.Hj.Allismawita, MS yang senantiasa mengiringiku dengan doa, semangat dan motivasi dalam perjuanganku.

Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku anggota pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan selama penulisan tesis ini. Seterusnya ucapan terima kasih ini ditujukan kepada:

1. Ketua Program Studi Teknologi Pasca Panen (TPP) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr yang sekaligus menjadi penguji luar.

2. Kepala Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan IPB. Kepala Laboratorium Kimia Pangan dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB serta Kepala Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Universitas Andalas Padang beserta teknisi yang telah memberi fasilitas dalam melaksanakan penelitian.

3. Bapak Ir. Azhar, M.Sc dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas yang telah membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini.

4. Ketua Yayasan Pendididkan Wira Surya Mandiri sebagai sponsor yang telah banyak membantu dalam penyelesaian pendidikan di Institut Pertanian Bogor. 5. Terimakasih untuk suamiku Andes Jayarsa, ST, M.Sc, untuk kakakku Ari

Surya Agung, SE dan putraku Muhammad Nabil Alfarizi yang selalu memberi semangat, doa dan kasih sayangnya.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang industri hasil pertanian dan peternakan.

Bogor, Maret 2007 Penulis


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 7 September 1981 dari ayahanda Ir.H.Yurizal Nurdin, MS (Alm) dan Ibunda Ir.Hj.Allismawita, MS. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada program studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang Sebagai lulusan terbaik. Dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Magister pada program studi Teknologi Pasca Panen, Intitut Pertanian Bogor.


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR. ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

PENDAHULUAN Latar Belakang. ... 1

Tujuan Penelitian. ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Dendeng Daging Sapi dan Pembuatan Dendeng Batokok. ... 5

Bahan Baku Pembuatan dendeng Batokok. ... 7

Model Pengasapan dan Bahan Asap Dendeng Batokok. ... 10

Pengaruh Pengasapan terhadap Dendeng Batokok. ... 14

Pengaruh Pemukulan terhadap dendeng Batokok... 16

Pengaruh penyimpanan terhadap dendeng Batokok. ... 16

Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Kehidupan Mikroorganisme. ... 17

Bakteri coliform pada produk pangan. ... 18

Pengaruh Pengasapan terhadap Nilai Organoleptik... 18

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian. ... 20

Bahan dan Alat Penelitian... 20

Metode Penelitian. ... 22

Penelitian Pengasapan... 22

Penelitian Penyimpanan. ... 22

Rancangan Penelitian. ... 22

Cara Kerja Pembuatan Dendeng Batokok. ... 23

Parameter yang diamati... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pengasapan... 30


(18)

Penelitian Penyimpanan. ... 35

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. ... 54

Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Populasi sapi di Sumatera Barat tahun 1998-2003. ... 1

2. Persyaratan Mutu Dendeng Standarisasi Nasional Indonesia... 3

3. Komposisi kimia kayu dan tempurung kelapa. ... 3

4. Hasil uji organoleptik warna dendeng batokok... 30

5. Hasil uji organoleptik aroma dendeng batokok. ... 32

6. Hasil uji organoleptik rasa dendeng batokok ... .34


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alat pengasapan langsung... 21 2. Alat pengasapan tidak langsung... 21 3. Bagan proses pembuatan dendeng batokok. ... 24 4. Kadar air dendeng batokok selama penyimpanan pada dua metode

pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda... 35 5. Aktivitas Air (Aw) dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 37 6. Nilai pH dendeng batokok selama penyimpanan pada dua metode

pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda... 39 7. Tingkat kekerasan dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda... 41 8. Kadar protein dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 43 9. Kadar lemak dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 45 10. Bilangan TBA dendeng batokok selama penyimpanan pada dua

metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 47 11. Kadar formaldehida dendeng batokok selama penyimpanan pada

dua metode pengasapan berbeda dan suhu pengasapan berbeda. ... 49 12. Total Koloni Mikroba dendeng batokok selama penyimpanan pada


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. a. Hasil penelitian organoleptik warna pada pengasapan langsung,... 61

b. Sidik ragam organoleptik warna pengasapan langsung. ... 61

2. a. Hasil penelitian organoleptik warna pada pengasapan tidak langsung. ... 62

b. Sidik ragam organoleptik warna pada pengasapan tidak langsung ... 62

3. a. Hasil penelitian organoleptik aroma pada pengasapan langsung,... 63

b. Sidik ragam organoleptik aroma pengasapan langsung. ... 63

4. a. Hasil penelitian organoleptik aroma pada pengasapan tidak langsung. ... 64

b. Sidik ragam organoleptik aroma pengasapan tidak langsung. ... 64

5. a. Hasil penelitian organoleptik rasa pada pengasapan langsung. ... 65

b. Sidik ragam organoleptik rasa pengasapan langsung... 65

6. a. Hasil penelitian organoleptik rasa pada pengasapan tidak langsung. ... 66

b. Sidik ragam organoleptik rasa pengasapan tidak langsung... 66

7. Kadar air ... 67

8. Aktifitas air (aw) ... 68

9. Nilai pH ... 69

10. Tingkat kekerasan ... 70

11. Kadar protein... 71

12. Kadar lemak ... 72

13. Ketengikan (TBA)... 73

14. Kadar formaldehid ... 74


(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi populasi sapi potong di Sumatera Barat dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang sangat pesat (Tabel 1). Pada tahun 1998 populasi sapi potong sebanyak 421,328 ekor dan pada tahun 2003 menjadi 596,549 ekor (BPS, 2003).

Tabel 1. Populasi sapi di Sumatera Barat tahun 1998-2003 Tahun Jumlah populasi (ekor) % Kenaikan

1998 421.328 -

1999 425.918 1.08

2000 429.336 0.80

2001 501.356 16.77

2002 546.375 8.98

2003 596.549 9.18

Sumber : Badan Pusat Statistik peternakan 2003

Tahun 2005 diperkirakan populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebanyak 656.250 ekor, dengan laju pertumbuhan 10.01 persen. Menurut data Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat, untuk kosumsi masyarakat Sumatera Barat memerlukan 57.247 ekor sapi setiap tahunnya, sementara untuk kebutuhan luar provinsi yang dipasok dari Sumatera Barat sebanyak 23.458 ekor/tahun.

Dengan meningkatnya populasi ternak tersebut maka pemotongan ternak juga mengalami peningkatan. Untuk itu diperlukan suatu penanganan pasca panen yang memadai sehingga produksi yang diperoleh tidak terbuang akibat kerusakan yang disebabkan oleh proses mikrobiologis, kimia dan fisik. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha penanganan pasca panen dengan cara mengolah dan mengawetkan daging tersebut menjadi produk-produk yang berkualitas dimana salah satunya adalah dendeng.


(23)

Dendeng merupakan suatu produk daging kering khas Indonesia yang proses pembuatannya melalui pengirisan daging menjadi lembaran tipis diikuti dengan proses curring (penggaraman) dan pengeringan. Di Sumatera Barat terdapat makanan khas yang dikenal dengan nama dendeng batokok. Dendeng batokok merupakan makanan tradisional yaitu makanan yang diolah secara khas dengan menggunakan bahan baku utama yang dihasilkan di tingkat lokal, serta sudah dikenal lama karena diturunkan dari generasi ke generasi masyarakat lokal, Dendeng batokok ini sangat disukai masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat Sumatera Barat karena rasanya yang khas. Namun sangat disayangkan produk ini belum populer dikonsumsi oleh masyarakat lain di Indonesia

Rata-rata dendeng batokok memiliki daya simpan hanya sampai dengan 2 hari. Kerusakan dendeng batokok atau bahan pangan asal daging lainnya dapat disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme terutama bakteri, aktivitas enzim, suhu, kadar oksigen, sinar dan penyimpanan Dengan keterbatasan waktu penyimpanan tersebut, maka perlu diperkenalkan suatu metode pengawetan yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas produk sehingga dapat memperpanjang masa simpan.

Proses pengolahan dendeng dengan menggunakan asap merupakan salah satu usaha pengolahan daging dengan teknik yang sederhana, biaya murah dan tidak dipengaruhi oleh keadaan cuaca, serta jenis daging. Pengasapan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpan serta meningkatkan cita rasa yang khas terhadap produk. Pengasapan biasanya dikombinasikan dengan proses pemanasan dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan juga mengeringkan bahan pangan sehingga menjadi awet (Wibowo,1992).

Permasalahan pokok yang ditemui pada pengolahan dendeng batokok dengan proses pengasapan adalah: 1) proses pengasapan masih tradisional, yaitu dengan menggunakan tungku dan dandang dengan ruang asap terbuka sehingga menyebabkan banyak asap yang hilang dan tidak meresap ke dalam daging dan pada akhirnya dapat mempengaruhi mutu, penampilan, dan warna, 2) lama pengasapan dan suhu pengasapan yang bervariasi, dengan waktu antara 1-7 jam serta suhu yang tidak stabil berkisar antara 25–75oC sehingga menyebabkan masih tingginya kadar air yaitu berkisar antara 50–65% (dimana hal ini dapat


(24)

mempengaruhi masa simpan), serta produk yang dihasilkan tidak menarik, 3) lama pemeraman daging berserta bumbu dan garam bervariasi antara 1-6 jam sehingga dapat mempengaruhi, tekstur, aroma dan warna, 4) sanitasi dan higienis selama proses pengolahan belum begitu diperhatikan sehingga produk dapat terkontaminasi oleh mikroba dan 5) belum adanya pengungkapan secara ilmiah dan cara pemecahan masalah mengenai pengolahan secara tradisional dendeng batokok dengan pengasapan.

Dalam memproduksi dendeng perlu diperhatikan spesifikasi persyaratan mutu dendeng sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima di pasaran dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Persyaratan mutu ini dikeluarkan oleh Standar Nasional Indonesia (1995). Persyaratan mutu dendeng kering, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan mutu dendeng Standarisasi Nasional Indonesia Persyaratan

NO Jenis Uji

Mutu I Mutu II

1. Warna dan bau Khas dendeng Khas dendeng

2. Kadar air (bobot/bobot) Maks 12 % Maks 12 % 3. Kadar protein (bobot/bobot) Min 30 % Min 25 % 4. Abu tidak larut asam (bobot/bobot kering) Maks 1 % Maks 1 % 5. Benda asing (bobot/bobot kering) Maks 1 % Maks 1 % 6. Kapang dan serangga Tidak tampak Tidak tampak Sumber: Standarisasi Nasional Indonesia 1995

Dari permasalahan pokok sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian guna memperbaiki teknologi pengolahan dan pengasapan dendeng batokok, sehingga dapat menghasilkan suatu paket teknologi tepat guna yang dapat bermanfaat dalam usaha meningkatkan mutu dan memperpanjang masa simpan dendeng batokok tersebut. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi, pengetahuan dan pengembangan serta perbaikan proses pengolahan dan pengasapan dendeng batokok terhadap nilai gizi, keamanan pangan serta masa simpan.


(25)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pembuatan dendeng batokok produk khas Sumatera Barat dengan menggunakan dua metode pengasapan yang berbeda, yaitu pengasapan langsung dan pengasapan tidak langsung.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui lama pengasapan dan suhu pengasapan terbaik dengan cara menggunakan dua metode pengasapan yang berbeda yaitu pengasapan langsung dan pengasapan tidak langsung dalam pembuatan dendeng batokok dengan melihat pengaruh lama pengasapan dan suhu pengasapan tersebut terhadap mutu fisiko-kimia produk serta nilai organoleptik dendeng batokok selama penyimpanan.

Hipotesis

1. Metode pengasapan, lama pengasapan dan suhu pengasapan yang berbeda berpengaruh terhadap nilai kesukaan konsumen.

2. Perlakuan pengasapan dan perlakuan penyimpanan berpengaruh terhadap mutu fisik, mutu kimia dan mutu keamanan pangan.

3. Interaksi perlakuan pengasapan dengan perlakuan penyimpanan berpengaruh terhadap mutu simpan dendeng batokok


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Kualitas Dendeng Daging Sapi dan Pembuatan Dendeng Batokok

Menurut Hadiwiyoto (1983), dendeng merupakan hasil olahan daging secara tradisional dan merupakan hasil suatu proses kombinasi antara perendaman dan pengeringan. Purnomo (1996) menyatakan bahwa dendeng merupakan suatu produk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional yang telah banyak dilakukan masyarakat Indonesia.

Pada umumnya dendeng yang banyak terdapat di pasaran adalah dendeng daging sapi yaitu dendeng yang dibuat dari bahan baku daging sapi. Meskipun demikian dendeng dapat juga dibuat dari jenis daging lainnya seperti daging ayam, daging itik, daging kambing, daging babi dan sebagainya. Selanjutnya Yusfrida (2000) menambahkan dendeng umumnya mempunyai rasa enak, karena ditambahkan bumbu-bumbu berupa garam, gula, ketumbar, asam dan bawang putih, serta mempunyai warna coklat kehitaman yang disebabkan oleh pigmen melanoidin yang dihasilkan oleh reaksi pencokelatan non enzimatis, kemungkinan warna dapat pula disebabkan oleh adanya proses karamelisasi selama proses pembuatan dendeng tersebut.

Menurut Buckle et al (1987) dendeng dapat digolongkan ke dalam makanan setengah lembab asal daging (Intermediate Moisture Meat) karena kadar air dendeng berada dalam kisaran kadar air makanan setengah lembab yaitu 25 persen. Suparno (1992) menyatakan bahwa dendeng mempunyai masa simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air 15-20% dan pH 4,5–5,1. Selanjutnya Purnomo (1996) melaporkan bahwa dendeng yang ada di pasaran kebanyakan mengandung kadar air antara 9,9-35,5 persen, kadar garam antara 0,4-15,5 persen. Dendeng yang diperoleh di pasar mempunyai standar mutu mikrobiologis yang kurang baik. Keadaan ini disebabkan karena sanitasi dan higienis yang kurang baik sehingga terjadinya kontaminasi silang selama proses pembuatan, penanganan pasca produksi dan selama penyimpanan

Dendeng biasanya berbentuk seperti sayatan atau lembaran daging yang tipis setebal 1,5–2 cm. Dalam pembuatan dendeng, sayatan daging tipis ini


(27)

direndam dalam bumbu selama 1-6 jam. Kemudian dilakukan pengeringan sehingga produk dendeng berbentuk sayatan daging yang kering (Buckle et al, 1987).

Dendeng batokok adalah salah satu produk olahan daging secara tradisional khas Sumatera Barat yang diiris tipis, diperam dengan bumbu, diasap dan dipukul-pukul (ditokok). Dendeng ini mempunyai rasa yang spesifik dibandingkan dendeng biasa, hal ini disebabkan karena terjadinya penambahan flavor dari bahan bakar yang berupa asap (Marzaleni, 2005)

Menurut Yusfrida (2000) dan Yustin (2005), perbedaan dendeng kering dengan dendeng batokok antara lain terletak pada cara pembuatannya. Dendeng batokok untuk pengeringannya menggunakan bahan bakar asap dan selama pengasapan daging dendeng ini dipukul-pukul dengan batu atau alat pemukul lainnya, dendeng yang dihasilkan mempunyai cita rasa yang khas. Pada pembuatan dendeng kering proses pengeringannya menggunakan panas yang berasal dari sinar matahari atau oven dan produknya masih berasa daging. Ditambahkan Purnomo (1996), bahwa pengeringan dendeng sapi ada tiga cara yaitu; pengeringan dengan sinar matahari, pengeringan dengan oven (dehidrasi) dan pengeringan dengan pengasapan. Perbedaannya dari ketiga cara ini terdapat pada lama waktu yang digunakan untuk mengeringkan produk dendeng tersebut.

Dendeng batokok diolah secara tradisional. Menurut Noor (1994), makanan yang diolah secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana dimana pengolahannya dilakukan dengan berbagai ragam proses pada industri rumah tangga yang lingkungannya kurang menunjang, pada umumnya tidak memenuhi standar mutu. Secara umum sifat dari produk pengolahan tradisional adalah; (1) perubahan-perubahan pada produk tidak terkontrol. Setelah proses pengolahan selesai, proses enzimatis, kimiawi dan biologi agak terhambat, tetapi beberapa saat kemudian berlangsung kembali, (2) produk yang dihasilkan tidak dilindungi dari keadaan lingkungan seperti suhu, kelembaban dan kemungkinan tercemarnya dari udara, (3) bentuk dan mutu dari produk yang dihasilkan sangat bervariasi, terutama nilai organoleptik terhadap warna, tekstur dan cita rasa.

Menurut Yusfrida (2000), proses pembuatan dendeng batokok dimulai dengan menyayat daging tipis memanjang dengan ukuran 8 x 8 x 0,5 cm,


(28)

selanjutnya daging tersebut diremas-remas dengan bumbu dan garam dapur. Setelah diremas daging tersebut diperam selama 1-3 jam agar bumbu dan garam dapat meresap ke dalam daging dan kemudian dilakukan pengasapan selama 1–5 jam dengan menggunakan tungku yang ditutupi dandang berisi air dan bahan bakar asap berupa kayu akasia, tempurung kelapa dan serabut kelapa. Selama beberapa selang waktu pengasapan berlangsung, sambil dibolak balik daging tersebut dipukul-pukul (ditokok, Sumatera Barat) sehingga serat daging akan menjadi putus dan daging menjadi lunak dan mudah untuk digigit.

Bahan Baku Pembuatan Dendeng Batokok

Daging Sapi Segar

Adnan (1977) mengemukakan bahwa daging segar mempunyai komposis terdiri dari protein 17 %, lemak 20% dan air 60 %. Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging adalah semua jaringan hewan dan semua hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumen. Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong (Purnomo, 1996).

Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging (Bahar, 2003).

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan bahan yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin (Soeparno, 1994). Selanjutnya Bahar (2003) menyatakan komposisi kimia terbesar daging adalah air (65-80%), komposisi lainya adalah protein (16-22%), lemak (1,3-13%), karbohidrat (0,5-1,3%) dan mineral vitamin (1%) .

Daging segar adalah daging yang berasal dari seekor ternak dan telah mengalami perubahan fisik dan kimia setelah proses pemotongan, tetapi belum


(29)

mengalami proses lebih lanjut seperti pembekuan, penggaraman, pengasapan dan sebagainya. Daging ini mudah busuk untuk itu harus segera diolah. Sedangkan daging olahan adalah daging yang diolah terlebih dahulu melalui suatu proses seperti penggaraman, pembekuan, pengasapan dan pengeringan (Bahar, 2003).

Soeparno (1994) mengemukakan bahwa daging mengandung protein, lemak, air, vitamin, mineral dan sebagainya dalam komposisi yang berbeda tergantung pada bangsa, makanan dan umur hewan. Kandungan gizi daging dari berbagai ternak berbeda-beda, akan tetapi setiap 100 gram daging rata-rata dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap hari sekitar 10 % kalori, 50 % serta, 35% zat besi atau 100 % zat besi bila daging itu berupa hati dan juga 25-60% Vitamin B komplek (Bahar, 2003).

Bumbu - Bumbu

Rempah-rempah yang sering digunakan sebagai bumbu dalam pembuatan dendeng adalah jahe, ketumbar, bawang merah, bawang putih. Rempah-rempah ini yang dapat memberikan rasa enak, rasa pedas, aroma dan sebagai bahan pengawet, bumbu berperan menentukan mutu pada dendeng batokok (Marzaleni, 2005). Pada umumnya bumbu-bumbu bersifat aromatik tinggi dan banyak mengandung minyak atsiri esensial. Oleh karena bumbu-bumbu ini produk alami, maka konsentrasi komponen serta kemampuan memberi flavor sangat tergantung pada musim atau tempat asal tanaman bumbu-bumbu tersebut (Syarif dan Irawati, 1988).

a) Bawang putih

Bawang putih (allium sativum L) digunakan sebagai rempah-rempah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, terutama bakteri dan khamir. Sifat menghambat pertumbuhan mikroba tersebut disebabkan adanya sifat allisin yang sangat efektif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Bawang putih mempunyai bau yang khas untuk menambah aroma bahan pangan

b) Jahe

Jahe merupakan bagian akar dari tanaman. Jahe (zingiber officinale roscoe) dan laos (alpinia malaccensis roscoe) mempunyai aroma dan rasa yang pedas dimana dalam proses pengolahan pangan digunakan sebagai bumbu


(30)

tambahan untuk meningkatkan aroma dan rasa. Laos mengandung 0,5-1,0 persen minyak atsiri esensial dengan odor seperti jahe. Minyak atsiri esensial ini mengandung ∝-pinene, sineol dan metilsinamat.

c) Ketumbar

Ketumbar (oriandrum sativum L) menimbulkan bau sedap dan rasa gurih, sehingga dapat menghilangkan bau yang tidak sedap. Ketumbar dilaporkan mempunyai aktifitas lipolitik yang kuat serta fraksi yang larut dalam petroleum ether mempunyai aktifitas antioksidan. Ketumbar merupakan salah satu rempah-rempah yang banyak digunakan di dalam pembuatan dendeng baik dalam bentuk biji maupun dalam bentuk setelah digiling halus.

d) Asam Jawa.

Menurut Purnomo (1996), asam dikenal sebagai daging buah dari tanaman tamaricus indica linn. Asam dapat menurunkan pH makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Disamping itu juga untuk mengurangi rasa manis, menambah rasa, memperbaiki sifat koloidal dari makanan yang mengandung pekltin juga memperbaiki tekstur.

e). Garam Dapur (NaCl)

Pada umumnya batas penggunaan garam (NaCl) tergantung pada jenis produk pangan yang akan dihasilkan dan disesuaikan dengan permintaan konsumen. Tidak ada peraturan khusus yang membatasi penggunaan garam (NaCl) yang ditambahkan pada daging maupun produk unggas lainnya. Hal ini disebabkan karena efek dari penambahan garam (NaCl) umumnya terbatas pada rasa dari produk yang ingin dihasilkan serta mencegah pertumbuhan mikroorganisme perusak (Trout dan Schmidt, 1987).

Lawrie (1985) menyatakan bahwa makanan dengan kadar garam 1-10 % masih digolongkan sebagai makanan dengan kadar garam rendah serta paling mudah mengalami kebusukan dan terkontaminasi oleh bakteri patogen. Ditambahkan oleh Abubakar (1992), bahwa garam berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri karena garam (NaCl) memiliki daya osmotik untuk menarik


(31)

air dari dalam sel bakteri sehingga dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi pada bakteri dengan cara memecah membran sel bakteri.

Model Pengasapan dan Bahan Asap Dendeng Batokok

Model Pengasapan

Pengasapan merupakan salah satu bagian dari proses pengolahan dan pengawetan yang dilakukan secara tradisional yang telah diketahui oleh masyarakat umunya. Pengasapan daging dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada bahan-bahan yang dihasilkan dari asap pembakaran kayu tertentu untuk masuk ke dalam bahan makanan dengan tujuan untuk mengawetkan, bahan-bahan tersebut mengandung antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk tersebut (Girard, 1992). Ditambahkan oleh Soeparno (1994), tujuan pengasapan daging adalah untuk meningkatkan flavor, mencegah ketengikan dan menghasilkan penampakan produk yang menarik.

Menurut Moeljanto (1992), ada beberapa model pengasapan yang sudah berkembang pada saat ini yaitu pengasapan langsung (direct smoke), pengasapan tidak langsung (indirect smoke) dan pengasapan sintetis (artificial smoke). Penggunaan model pengasapan ini mempunyai teknik dan cara pemakaian yang berbeda.

a. Pengasapan Langsung

Pada pengasapan langsung, suhu yang digunakan berkisar antara 65-80oC. Pengasapan ini berupa pemanggangan atau disebut dengan pengasapan panas, karena produk yang diasap langsung berhubungan dengan bahan bakar. Bahan bakar tepat berada di bawah produk yang diasapkan (Moeljanto, 1992)

Menurut Wibowo (2002), tujuan utama dalam pengasapan panas adalah untuk mengawetkan, memberi warna serta rasa yang khas pada produk yang diasap. Dalam pengasapan panas jarak antara produk dengan sumber bahan bakar asap dilakukan sedekat mungkin, dan panas yang berasal dari api cukup besar. Pengasapan ini dilakukan di dalam ruang asap (smoke house), dengan menggantungkan daging pada rak atau kayu di ruangan asap dan daging tidak boleh bersentuhan satu dengan yang lain.


(32)

Pengasapan dengan suhu tinggi akan menghasilkan produk matang dalam waktu yang lebih singkat, sehingga penetrasi dari asap lebih sedikit (Kramlich, 1982). Bratzeler et al. (1969) menambahkan bahwa pengasapan dengan suhu tinggi akan menyebabkan kematian sebagian atau seluruh mikroba yang terdapat pada daging. Kematian mikroba pada daging tergantung dari tingginya suhu pemanasan dan lamanya pemanasan. Selain itu jumlah mikroba awal dan jumlah mikroba akhir setelah pengasapan juga turut menentukan.

Menurut Saanin et al. (1975), kekurangan pengasapan suhu tinggi terletak pada proses pengasapan yang lebih cepat, sehingga tidak menjamin ketahanan untuk dapat disimpan lama (kandungan airnya masih tinggi). Selanjutnya, produk yang diperoleh dari pengasapan panas memiliki daya simpan lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pengasapan dingin karena pada pengasapan dingin waktu pengasapannya lebih lama dan suhunya rendah sehingga penetrasi asap ke dalam jaringan tubuh produk lebih mendalam. Akan tetapi flavor yang diperoleh dari pengasapan panas lebih segar dan kuat.

b. Pengasapan Tidak Langsung

Pengasapan tidak langsung memiliki model dimana alat pengasapan atau tungku terletak terpisah dari ruang asap. Asap dari tungku dialirkan masuk ke dalam ruang pengasapan melalui pipa. Masuknya panas dari tungku ke dalam ruang pengasapan lebih mudah diatur sehingga pengaturan suhunya pun lebih mudah dilakukan (Wibowo, 2002).

Asap dibuat di luar ruangan dengan menggunakan sistem penghisapan. Jenis kayu yang digunakan adalah kayu keras (Judge et al, 1989). Dalam pengasapan tidak langsung biasanya suhu dalam ruangan pengasapan berkisar 35– 85oC. Cara ini merupakan suatu proses pemanggangan secara perlahan-lahan. Suhu tinggi yang ada dalam alat pengasapan sepenuhnya diserap oleh produk sehingga produk yang diasapkan menjadi kering dan matang. Penggunaan ruang asap untuk pengasapan tidak langsung dapat mengguntungkan karena panas yang masuk keruang asap dapat dibatasi, selain itu kontaminasi kotoran dan lain-lain dari tempat pengasapan mudah diatasi (Moeljanto,1992).


(33)

c. Pengasapan Sintetis (Airtificial Smoke)

Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan larutan asap, baik asap cair alami ataupun sintetik. Asap cair diperoleh dengan cara destilasi kering bahan baku asap misalnya tempurung kelapa atau kayu pada suhu 400oC selama 90 menit. Destilat yang diperoleh dimasukan ke dalam corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak diinginkan misalnya senyawa teer, yang merupakan senyawa yang tidak larut dengan asam pirolignat (Moeljanto, 1992).

Menurut Pearson dan Tauber (1973), asap cair sudah banyak dipakai dalam proses pengolahan makanan yang diasap dan sudah ada yang dijual di pasaran. Ada beberapa hal yang menguntungkan pada asap cair dibandingkan dengan pengasapan tradisional (panas), antara lain: 1) tidak memerlukan peralatan generator asap yang cukup mahal, 2) komposisi asap cair lebih konsisten untuk pemakaian yang berulang-ulang, 3) senyawa-senyawa penyebab kanker (senyawa karsiogenik) dapat dikurangi, dan 4) lebih cepat dan hasilnya relatif banyak untuk setiap unit usaha.

Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengasap

Winarno et al (1980) mengemukakan bahwa pengasapan adalah suatu metode pengawetan untuk menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan, proses ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan asap sehingga daya tahan daging akan lebih lama. Jenis kayu keras, serabut kelapa dan tempurung kelapa menghasilkan asap yang banyak. Asap dari kayu keras pada bagian sellulosanya akan terurai menjadi senyawa-senyawa sederhana. Sellulosa merupakan komponen yang terdapat pada tempurung kelapa dimana sellulosa ini akan terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana antara lain alkohol alifatik, aldehida, keton dan asam organik termasuk furfural, formaldehid, asam-asam dan fenol yang merupakan bahan pengawet. Bagian lignin dipecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol dan senyawa-senyawa antioksidan dan pirogalol yang merupakan bagian dari 20 jenis senyawa antioksidan dan antiseptik (Moeljanto, 1992).

Tempurung kelapa secara tradisional umumnya hanya digunakan sebagai bahan bakar. Setyamidjaya (1991) menyatakan tempurung kelapa merupakan bagian endocarp dari buah kelapa yang sangat keras, tebalnya 3 – 6 mm. Endocarp


(34)

merupakan lapisan yang keras karena banyak mengandung silikat (SiO2). Nilai

kalori tempurung kelapa adalah 5500 kkal/kg (Woodroof, 1979). Tempurung kelapa mempunyai komposisi kimia yang hampir serupa dengan jenis kayu keras. Komposisi kimia kayu dan tempurung kelapa disajikan pada Tabel 3.

Menurut Woodroof (1979), keunggulan tempurung kelapa dari kelapa yang sudah tua dibandingkan kayu adalah tempurung kelapa memiliki tingkat kadar air kesetimbangan yang lebih rendah yaitu sekitar 6-9%, dibandingkan dengan kayu yang berkisar 10-25%.

Tabel 3. Komposisi kimia kayu dan tempurung kelapa

Komposisi Kimia Kayu Keras (%)* Tempurung kelapa (%) **

Sellulosa 54,0 - 58,0 26,60

Lignin 26,0 – 29,0 29,49

Hemisellulosa : Pentosan Heksosan Resin Protein Abu

10,0 – 11,0 12,0 – 14,0 2,0 – 3,5 0,7 – 0,8 0,4 – 0,8

27,70

0,6 Sumber: (*) Zeitsev et al., 1969

(**) Suhardiyono, 1989

Menurut Hart (1983), senyawa kimia asap formaldehid hadir di lingkungan sebagai hasil dari proses alami dan tindakan manusia. Senyawa ini terbentuk dalam jumlah besar diakibatkan dari proses oksidasi hidrokarbon. Bahan pangan secara alami mengandung formaldehid dengan level 1 mg/kg sampai 90 mg/kg. Formaldehid sering dibuat dalam bentuk larutan yang dikenal sebagai formalin. Larutan ini berfungsi sebagai desinfektan dan pengawet.

Menurut Harris dan Karnas (1989), berdasarkan pengaruhnya pada nilai gizi produk yang diasap, komponen asap dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu 1) adanya zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasapkan dengan melawan perubahan kimiawi dan biologi yang merugikan antara lain adanya antioksidan, bakterisida. 2) dari segi nilai gizi komponen asap tidak menunjukkan kerja 3) senyawa yang beraksi dengan komponen bahan pangan dapat menurunkan nilai gizi produk yang diasap 4) komponen mengandung senyawa beracun. Ditambahkan oleh Sugitha (1995), komposisi asap dipengaruhi oleh


(35)

tersedianya oksigen pada saat pembakaran. Bila oksigen terbatas maka asap yang dihasilkan warnanya akan gelap dan banyak mengandung asam karboksilat sebaiknya tipe asap ini tidak dimanfaatkan.

Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana namun ia merupakan elektrofil yang paling kuat dan paling reaktif diantara aldehid lain. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfir. Cara kerja formaldehid sebagai pengawet dan desinfektan yaitu membunuh sel dengan cara mendehidrasikan sel jaringan dan sel bakteri dan menggantikan cairan yang normal dengan komponen kaku seperti gel (WHO, 1989). Senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah fenol dengan titik didih sedang seperti siringol, isoguenol, dan metal guenol. Guaiakol memberikan rasa asap sementara siringol memberi aroma asap (Daun, 1979)

Pengaruh Pengasapan Terhadap Dendeng Batokok

Pengasapan merupakan proses utama pada pengeringan dendeng batokok. Panas yang diperoleh dari sumber asap menyebabkan kadar air bahan yang diasap jadi menurun. Menurut Moeljanto (1992), pengeringan merupakan suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu bahan makanan dengan cara penguapan menggunakan panas. Biasanya kandungan air bahan diturunkan hingga batas tertentu agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi.

Asap merupakan campuran zat-zat padat dalam bentuk butiran yang sangat halus dengan berbagai gas, asap naik keatas dengan membawa butiran zat padat tersebut. Butiran zat padat, air dan gas tersebut bergabung menjadi lebih besar sehingga menjadi asap tebal (Daun, 1979). Asap berguna sebagai pengawet apabila komponen-komponen asap mengendap atau meresap ke dalam bahan pangan. Semua senyawa yang terkandung di dalam asap ikut menentukan karakteristik flavor daging yang diasapkan. Aldehid, keton, fenol dan asam-asam organik dari asap memiliki daya bakteriostatik dan bakterisidal pada daging yang diasapkan (Soeparno, 1994). Badewi (2002) menyatakan bahwa kombinasi panas dan asap akan menyebabkan dehidrasi pada permukaan produk, koagulasi protein dan deposisi resin, hasil kondensasi formaldehid dan fenol merupakan penghalang kimiawi dan fisik yang efektif terhadap pertumbuhan dan penetrasi mikroorganisme ke dalam daging yang diasapkan.


(36)

Dengan pengasapan, daging dapat diawetkan dengan cara pengeringan dengan menguapkan lebih kurang 3 % dari seluruh berat pada produk yang diasap panas, sehingga dapat menyebabkan ketahanan simpan yang lebih lama dan bebas dari proses ketengikan. Disamping itu pengasapan dapat memberikan rasa khas pada produk-produk tradisional yang dihasilkan seperti dendeng batokok (Marzaleni, 2005).

Menurut Pearson dan Tauber (1973), warna dan citra rasa merupakan ciri khas makanan yang diasap. Warna tersebut dibentuk oleh interaksi antara senyawa-senyawa karbonil dengan kelompok amino pada permukaan bahan pangan. Selain itu senyawa-senyawa fenol dan alkohol juga berpengaruh terhadap warna. Produk daging yang diasap akan mempunyai daya simpan yang lebih baik apabila cukup kering atau cukup kandungan garamnya. Dalam hal ini penambahan garam sendawa dapat menurunkan aktivitas air (aw), disamping itu

juga dapat mempertahankan warna daging (Chan et al, 1975).

Pengaruh Pemukulan Terhadap Dendeng Batokok

Menurut Yusfrida (2000), proses pembuatan dendeng batokok adalah daging disayat tipis memanjang dengan ukuran 8 x 8 x 0,5 cm selanjutnya daging tersebut diremas-remas dengan bumbu dan garam dapur. Setelah diremas daging tersebut diperam selama 1-3 jam agar bumbu dan garam dapat meresap ke dalam daging dan kemudian dilakukan pengasapan selama 1-5 jam kemudian dipukul-pukul (batokok = Sumatera Barat). Dimana pemukulan ini dapat menggunakan batu atau palu daging dengan bagian ujung terdapat sisi berbentuk tonjolan-tonjolan kecil tidak terlalu tajam (Bahar, 2003)

Menurut Bahar (2003), penggunaan alat pemukul daging bertujuan untuk memutuskan beberapa jaringan pengikat daging sehingga serabut daging akan mudah terputus saat dikunyah. Ditambahkan oleh Soeparno (1994), keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging.


(37)

Pengaruh Penyimpanan Terhadap Dendeng Batokok

Menurut Abubakar (1992), dendeng merupakan produk awetan, tetapi mempunyai daya simpan yang cukup terbatas. Waktu penyimpanannya sangat dipengaruhi oleh kapang dan bakteri, dimana selama penyimpanan kadar air dendeng cendrung meningkat yang dapat memperngaruhi lamanya penyimpanan. Soeparno (1994) menambahkan bahwa cara-cara pengolahan pangan yang digunakan sering kali merubah daya simpannya. Penurunan atau penyimpangan produk pangan ditandai dengan penurunan nilai gizi, adanya reaksi browning dan kerusakkan mikroorganisme.

Penyebab kerusakan bahan pangan biasanya disebabkan oleh kontaminasi oleh mikroba. Mikroba perusak bahan pangan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu bakteri, kapang dan khamir. Jenis kerusakan mikrobiologi pada makanan ditandai dengan timbulnya kapang, bau busuk, berlendir serta terjadinya perubahan warna (Winarno et al, 1980). Selama proses penyimpanan produk akan terjadi perubahan kadar air hal ini akibat dari pengaruh gas dan cahaya. Perubahan kadar air akan dapat menimbulkan jamur dan bakteri, sehingga dapat menyebabkan terjadinya proses oksidasi antara produk dengan oksigen dan akan menimbulkan bau tengik pada produk yang berlemak (Syarif et al, 1989).

Menurut Kramlich (1982), daging yang diolah akan mengalami 2 bentuk kerusakan yaitu kerusakan flavor dan kerusakan penampilan (appearance). Kerusakan flavor (aroma) ditandai dengan timbulnya bau tengik, bau asam dan pembusukan. Kerusakan penampilan disebabkan karena terjadinya perubahan warna oleh aktifvitas mikroba dan pertumbuhan mikroba serta perubahan warna oleh agensi bukan mikroba.

Menurut Winarno et al. (1980), kemasan yang baik untuk daging olahan adalah kemasan plastik PDVC (polyvinylidene chlorida). Syarif et al. (1989) menambahkan bahwa plastik polyetilene biasa digunakan dalam pengemasan produk, karena plastik ini harganya murah, kuat, transparan dan dapat direkatkan dengan panas. Fungsi kemasan menurut Syarif et al. (1989) adalah 1) sebagai wadah tempat menempatkan produk dan memberikan bentuk, penyimpanan,


(38)

pengangkutan dan distribusi, 2) untuk melindungi mutu produk dari kerusakan dan kontaminasi dari luar dan 3) untuk menambah daya tarik produk.

Secara nyata pengemasan akan berperan sangat penting dalam mempertahankan bahan tersebut tetap dalam keadaan bersih dan higienis. Pengemasan yang baik dapat mencegah penularan bahan pangan oleh organisme-organisme yang berbahaya bagi kesehatan. (Buckle et al, 1987 ).

Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Kehidupan Mikroorganisme

Kemampuan mikroorganisme untuk bertumbuh dan tetap hidup merupakan suatu ekosistem pangan. Menurut Buckle et al. (1987), beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah: 1) Suplai zat gizi dimana makhluk hidup dan mikroorganisme membutuhkan suplai makanan yang merupakan sumber energi dan sumber unsus-unsur kimia dasar untuk pertumbuhan dan pembentukkan sel. Unsur-unsur kimia dasar tersebut adalah C, N, H, O, S, P, Mg, zat besai dan sejumlah kecil logam lainnya, 2) Waktu: Pembelahan masing-masing sel yang berbeda-beda dipengaruhi oleh waktu dan spesies serta lingkungannya, tetapi kebanyakan bakteri memiliki waktu pembelahan berkisar antara 10 sampai 60 menit, 3) Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan organisme. Suhu dapat mempengaruhi mikroorganisme dalam dua cara yang berlawanan yaitu: apabila suhu naik, keceptan metabolisme naik pertumbuhan di percepat. Sebaliknya suhu turun, kecepatan metabolisme juga turun dan pertumbuhan diperlambat. Apabila suhu naik atau turun, tingkat pertumbuhan terhenti, komponen sel menjadi tidak aktif dan sel-sel dapat mati, 4) pH: Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH optimun. Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6.0 – 8.0, 5) Aktivitas Air; Semua organisme membutuhkan air untuk kehidupan, air berperan dalam reaksi metabiolik dalam sel dan merupakan alat pengkut zat-zat gizi atau bahan limbah ke dalam dan luar sel. Semua kegiatan ini membutuhkan air dalam bentuk cair dan apabila air tersebut mengalami kristalisasi dan membentuk es, maka air tersebut tidak dapat dipergunakan oleh mikroorganisme, 6) Ketersediaan Oksigen; Tidak seperti bentuk kehidupan yang lainnya, mikroorganisme berbeda dalam kebutuhan oksigen untuk metabolismenya.


(39)

Bakteri Coliform Pada Produk Pangan

Coliform masuk dalam jenis bakteri anaerob fakulatif, jenis ini dapat tumbuh pada suhu osikotropik juga merupakan bakteri gram negatif yang dapat tumbuh pada penyimpanan. Kebanyakan dari anggota Enterobactericeae mempunyai flagel monotorikat, kecuali shigella yang tidak mempunyai flagel. Jenis Escherichai, Enterobacter dan klebsiella disebut bakteri kelompok coliform dan sering digunakan dalam uji sanitasi air dan susu.

Jenis Escherichia hanya mempunyai satu spesies yaitu E.coli dan disebut coliform fekal karena ditemukan didalam saluran usus hewan dan manusia, sehingga sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran. Bakteri coliform merupakan bakteri yang penting karena memberikan indikasi derajat sanitasi dari suatu bentuk olahan makanan. Selama proses pengolahan bakteri ini digunakan sebagai indikator dari suatu kondisi higienis dan kualitas dari daging dan hasil olahan (Johnston dan Tompkin, 1992).

Organisme indikator adalah organisme yang keberadaannya pada produk makanan menunjukan adanya kontaminasi fekal dan mungkin merupakan tanda akan adanya organisme petogen. Menurut Potter (1993) ciri-ciri penting yang dibuat oleh bakteri coliform dalam proses pembusukan makanan yaitu 1) bakteri dapat tumbuh baik dalam bermacam-macam substrat serta menggunakan sejumlah karbohidrat makanan dan beberapa senyawa organik lainnya untuk energi dan hampir sejumlah senyawa nitrogen sederhana sebagai nitogen; 2) bakteri coliform dapat mensintesa vitamin; 3) bakteri coliform dapat tumbuh dengan selang suhu 10-46oC; 4) bakteri coliform mampu memproduksi asam dan gas; 5) bakteri coliform dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan bau.

Pengaruh Pengasapan Terhadap Nilai Organoleptik

Nilai organoleptik adalah penilaian untuk mengenal keadaan sekitar (lingkungan) dengan menggunakan indra dan kemampuan sensorik. Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas menilai


(40)

sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif, orang menjadi anggota paneli disebut panelis (Soekarto, 1985)

Menurut Soekarto, S (1985) untuk mendapatkan panelis yang diinginkan, khususnya jenis panelis terlatih perlu dilakukan tahap-tahap seleksi. Syarat umum untuk menjadi panelis adalah mempunyai perhatian dan minat terhadap pekerjaan ini, selain itu panelis harus dapat menyediakan waktu khusus untuk penilaian serta mempunyai kepekaan yang dibutuhkan. Tahap-tahap seleksi adalah wawancara, tahap penyaringan, tahap pemilihan, tahap latihan dan uji kemampuan

Pengaruh pengasapan terhadap sifat organoleptik menurut Wibowo (2002) adalah, senyawa organik dari asap akan memberikan warna pada makanan yang diasap. Warna pada makanan yang diasap terbentuk oleh interaksi antara senyawa karbonil dan grup amino pada permukaan bahan. Selain itu senyawa fenol dan alkohol juga berpengaruh terhadap warna (Pearson dan Tauber, 1973).

Menurut Rhee dan Bratzeler (1968), pembentukan warna coklat pada permukaan daging yang diasapkan disebabkan oleh reaksi maillard. Reaksi ini terjadi antara gugus aldosa dan komponen karbonil dari asap dengan gugus amino dari protein permukaan daging. Flavor produk daging asap tergantung pada reaksi antara komponen asap dan protein daging, Daun (1979) menambahkan bahwa aroma dan rasa asap pada daging asap ditimbulkan oleh fenol.

Kramlich et al. (1982) menyatakan pentingnya senyawa minor, termasuk karbonil dan lakton yang memiliki titik didih tinggi. Yang termasuk ke dalam grup ini adalah 1,2-cyclopentadion dan 2-butenolid yang menghasikan aroma karamel, sedangkan furfural, 5-methil furfural, 2-asetophenon menghasilkan aroma gula. Banyak turunan dari 2-cyclophentenon terdapat dalam asap tetapi hanya dalam jumlah yang sedikit, sehingga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma.


(41)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan IPB Bogor, Laboratorium Kimia Pangan, dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB Bogor, serta Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang. Waktu Penelitian dilaksanakan dari tanggal 21 Maret 2006 sampai 21 September 2006.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan baku yang digunakan adalah daging sapi lokal segar berumur sekitar 2,5–3 tahun yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Bogor dan telah mengalami rigormortis. Daging diambil pada bagian paha belakang (silver side) sebanyak 15 kg sesuai dengan jumlah perlakuan dan ulangan. Bumbu yang digunakan untuk 1 kg daging adalah bawang putih 25 gram, garam dapur (NaCl) 15 gram, ketumbar 12 gram, jahe 15 gram, dan asam jawa 1 gram (Olivia, 2000). Peralatan yang digunakan adalah 1) alat pengasapan langsung (direct smoke) yang terdapat di Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan IPB (Gambar 1). 2) alat pengasapan tidak langsung (indirect smoke) milik laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang (Gambar 2). Alat-alat yang digunakan untuk analisa antara lain digital pH meter model Beckman I 40, aw meter Shibaura WA 360, dan alat untuk mengukur

keempukan daging (Instron Universal Testing Machine) 1140a dan oven. Sedangkan alat untuk analisa kimia berupa timbangan analitik, cawan, gelas piala, botol timbang, labu elenmeyer dan gelas ukur. Untuk peralatan pengolahan daging digunakan pisau, timbangan, wadah dan termometer.


(42)

Gambar 1. Alat pengasapan langsung


(43)

Metode Penelitian

Penelitian Pendahuluan (Penelitian Pengasapan)

Penelitian pengasapan dilakukan untuk mengetahui suhu dan lama pengasapan yang terbaik pada 2 metode pengasapan yang berbeda yaitu pengasapan langsung dan pengasapan tidak langsung. Suhu pengasapan yang digunakan 51–600C, 61–700C dan 71–800C. Lama pengasapan dilakukan selama 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Produk yang dihasilkan kemudian diuji organoleptik (hedonik) oleh para panelis dengan tujuan untuk mendapati produk yang mempunyai nilai kesukan yang tertinggi dari tiap-tiap suhu dan dua metode pengasapan yang berbeda. Uji organoleptik pada dendeng batokok ini meliputi warna, aroma dan rasa. Skala hedonik yang digunakan 1-5 yaitu 1 = tidak suka, 2 = agak tidak suka, 3 = agak suka, 4 = suka dan 5 = sangat suka.

Setelah dihasilkan produk dendeng batokok yang mempunyai nilai kesukaan yang tinggi, maka dilanjutkan dengan penelitian penyimpanan yang bertujuan untuk mengetahui lama penyimpanan dari dendeng batokok tersebut.

Penelitian Utama (Penelitian Penyimpanan)

Produk yang terpilih dari tiap suhu pada penelitian pengasapan kemudian disimpan selama 0 hari, 5 hari, 10 hari dan 15 hari. Selama penyimpanan dilakukan analisa kadar air, aktifitas air (aw), nilai pH, tingkat kekerasan, kadar protein, kadar lemak, ketengikan/ bilangan thiobarbuturic acid (TBA), kadar formaldehida, total koloni mikroba (TPC) dan bakteri coliform. yang bertujuan untuk mengetahui lama penyimpanan dendeng batokok tersebut.

Rancangan Penelitian

Model rancangan yang digunakan pada penelitian dendeng batokok ini adalah pola faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor yang terdiri dari:

1. Faktor pertama: produk yang terpilih berdasarkan suhu C1 = Suhu 51-60oC

C2 = Suhu 61-70oC

C3 = Suhu 71-80oC


(44)

P1 = 0 hari

P2 = 5 hari

P3 = 10 hari

P4 = 15 hari

Cara Kerja Pembuatan Dendeng Batokok

Pada dasarnya pengolahan dendeng batokok merupakan seni memasak yang terdiri dari pengirisan atau penyayatan daging searah dengan serat daging dengan ukuran 8 x 8 x 0,5 cm, bumbu-bumbu yang telah dihaluskan dicampur dengan daging kemudian diperam selama 2 jam dan dilanjutkan dengan pengasapan sesuai dengan perlakuan. Dua jam pertama daging dipukul (ditokok = Sumatera Barat) dengan menggunakan hammer (palu pemukul daging) dan dilakukan setiap 1 jam pengasapan, sambil dibalik seterusnya diasapkan kembali sesuai dengan perlakuan. Kemudian didinginkan selama 10 menit, setelah dingin dendeng batokok tersebut dikemas dengan plastik polietilen. Bagan proses pembuatan dendeng dapat dilihat pada Gambar 3.


(45)

Gambar 3. Bagan proses pembuatan dendeng batokok Daging sapi

Disayat tipis ( 8 x 8x 0,5cm)

Dicuci dan ditiriskan

Dimasukkan ke dalam bumbu-bumbu dan diperam selama 2 jam

Dilakukan pengasapan dengan menyusun daging di atas rak

Pengasapan langsung (direct smoke) Lama pengasapan: 3, 6, 9 jam Suhu Pengasapan: 51-60oC, 61-70 oC dan 71-80oC

Pengasapan tidak langsung (indirect smoke)

Lama pengasapan: 3, 6, 9 jam Suhu Pengasapan: 51-60oC, 61-70oC dan 71-80oC

Didinginkan dan dikemas dengan plastik polyetilen. Disimpan sesuai perlakuan pada suhu ruang (27-300C)

Dendeng Batokok

2 jam pertama daging dipukul dan setiap 1 jam pengasapan daging dibolak balik


(46)

Analisis Stastitik

Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati dilakukan analisis ragam dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis System). Untuk analisa total koloni mikroba (TPC) data yang dianalisis adalah hasil nilai transformasi ke log X, selanjutnya analisis uji lanjut dengan menggunakan uji wilayah Duncan dengan melihat perbedaan perlakuan dan interaksi pada taraf α = 0,01 atau 0,05 (Steel dan Torrie, 1991).

Parameter yang diamati Penelitian Pengasapan

Penilaian Organoleptik warna, aroma dan rasa ( Rahayu, 1998)

Uji Organoleptik yang dilakukan dengan menggunakan uji hedonik atau kesukaan. Pada uji hedonik, panelis diminta untuk menilai tingkat kesukaan terhadap sampel dendeng batokok yang disajikan dari segi warna, aroma dan rasa. Jumlah panelis terdiri dari 30 orang panelis yaitu 15 orang panelis tidak terlatih dan 15 orang panelis agak terlatih. Skala hedonik yang digunakan berkisar antara 1 sampai 5 yaitu: (1) tidak suka, (2) agak tidak suka, (3) agak suka, (4) suka dan (5) sangat suka.

Penelitian Penyimpanan

1) Kadar air

Penetapan air dilakukan dengan metode oven-vakum, dimana proses ini dimulai dengan mengeringkan cawan dan tutupnya dalam oven dengan suhu 1050C selama 30 menit, kemudian cawan dan tutup tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang . Penimbangan dilakukan dengan cepat, lebih kurang 5 gram contoh yang telah dihomogenkan dalam cawan. Dengan menggunakan oven vakum, cawan beserta isinya dan tutup cawan dipanaskan pada suhu 700C dengan vakum dipertahankan sekitar 25 mm Hg selama 6 jam. Selama pengeringan berjalan, udara dibiarkan mengalir melalui botol pengeringan gas yang berisi H2SO4 dengan kecepatan rendah (sekitar 2 gelembung per detik). Selanjutnya

aliran vakum ke pompa ditutup, untuk mencegah agar oli tidak di hisap ke dalam gelas, sebelum pompa ditutup, tekanan vakum dalam gelas pengaman harus hilang terlebih dahulu. Aliran udara kering yang melewati H2SO4 kemudian dinaikkan


(47)

yang bertujuan untuk menghilangkan tekanan vakum dalam oven. Kemudian tutup cawan, didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Pemanasan dilakukan kembali sampai diperoleh berat yang tetap.

% 100 x B B A ) bk % ( air Kadar % 100 x A B A ) bb % ( air Kadar − = − =

A = Berat awal sampel (gr)

B = Berat sampel setelah dikeringkan (gr) 2) Aktifitas air (aw)

Pengukuran aw dilakukan dengan menggunakan alat aw meter Shibaura

WA-360 yang terlebih dahulu dikalibrasikan dengan menggunakan larutan garam NaCl jenuh (suhu 30oC dan nilai aw 0,7509). Sampel kemudian dipotong tipis dengan

ketebalan 0,2 cm dan diletakkan dalam cawan pengukur aw. Alat aw meter

dihidupkan setelah cawan ditutup dan dikunci.

3) Nilai pH ( AOAC, 1984)

Sebanyak 5 gram sample digerus halus, lalu ditambahkan air dan diaduk hingga merata. Nilai pH diukur menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan buffer pH 4,0 dan pH 0,7.

4) Tingkat Kekerasan

Pengukuran terhadap tingkat kekerasan dilakukan dengan menggunakan alat instron UTM-1140, tipe warner Bratzler Meat Shear dengan penekanan adaptor 2380 – 007. Sampel diberi tekanan dengan beban sebesar 50 kg. Kira-kira 5–10 cm sampel yang akan diukur diletakkan diantara lempengan meja penahan dan logam pemotongan segitiga. Besarnya kekerasan yang terdapat pada sampel ditunjukkan oleh respon tipikal dan grafik. Tinggi puncak pertama grafik yang terbentuk menunjukkan tingkat kekerasan ditentukan dengan satuan kg /cm2.

5) Kadar protein

Analisa kadar protein dilakukan dengan metode mikro kjedahl dengan alat kjeltec. Sampel ditimbang tepat sebanyak 200 mg dan dimasukan ke dalam digestion tube. Setelah itu ditambahkan 1 kjeltabs special tablet. Sebanyak 5 ml


(48)

H2SO4 kurang lebih 10 tetes ditambahkan kemudian larutan dipanaskan selama

kurang lebih 1 jam sampai larutan menjadi bening. Kemudian larutan diangkan dan didinginkan kurang lebih 5 menit kemudian ditambahkan 5 ml aquades

Sampel siap dianalisa dengan kjeltec auto analyzer yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Hasil analisa (% protein) dapat dibaca langsung pada display dengan mencantumkan kadar faktor protein. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus: protein bb % x air kadar % 100 100 ) bk (% protein Kadar % 100 x sampel mg 25 , 6 x 007 , 14 x Normalitas x ) blanko ml HCL ml ( ) bb (% protein Kadar − = − =

6) Kadar Lemak

Analisa kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet. Proses ini dimulai dengan memanaskan solvent container dalam oven (105oC selama 24 jam) sampai berat konstan kemudian didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang. Selanjutnya sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan kemudian dimasukan ke dalam thimble extrctor dan bagian atas ditutup dengan kertas saring yang dijepit dengan ring penguat.

Circulator pump (pemanas dengan menggunakan silikon cair) kemudian dihidupkan dengan suhu 100oC dan disambungkan dengan air kran pipa kondesat pada alat distilling unit. Pada masing-masing solvent container ditambahkan 50 ml petroleum eter dan ekstraksi selama 30 menit. Lemak yang terpisah didalam solvent container dipanaskan pada oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Setelah itu lemak dihitung dengan menggunakan rumus:

lemak bb % x air kadar % 100 100 ) bk (% lemak Kadar % 100 x C A B ) bb (% lemak Kadar − = − =

A = berat labu kosong (gr) B = berat labu ekstrak sampel (gr) C = berat sampel awal (gr)


(49)

Penetapan Bilangan Thiobarbuturic Acid (TBA) (Apriyantono et al. 1989) Bilangan TBA ditentukan dengan metode Tarladgis, senyawa 2-thiobarbituric acid bereaksi dengan malonaldehid membentuk warna merah, intensitas warna ini dapat diukur dengan spectrofotometer.

Sebanyak 3 g sample dimasukan ke waring blender, ditambahkan 50 ml aquades lalu dihancurkan selama 2 menit, kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu distilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml aquades, dan ditambah 2,5 ml HCL 4 M sampai pH menjadi 1,5. selanjutnya ditambahkan batu didih dan pencegahan buih (anti foaming agent) secukupnya dan kemudian labu distilasi dipasang pada alat destilasi. Destilasi dilakukan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Kemudian destilat disaring dan dipindahkan 5 ml dalam erlenmeyer 50 ml reagen TBA (reagen TBA = larutan 0,02 M asam thiobarbiturat dalam 90 persen asam asetat glasial). Lalu dicampur merata dan dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Setelah dingin bacalah absorbansinya (A) dengan spectrophotometer pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Bilangan TBA = 7,8 D. Bilangan TBA dapat diketahui dengan rumus :

TBA bb x air kadar % 100 100 ) bk ( sampel kg / id malonaldeh mg 8 , 7 x absorban x sampel berat 3 ) bb ( sampel kg / id malonaldeh mg − = =

Formaldehida (AOAC 1995)

Proses pengukuran kadar formaldehide awalnya diambil sebanyak 1-2 gr sampel kemudian ditambahkan ke dalam 100 ml air dan dihancurkan. Hancuran lalu dimasukan ke alat destilasi dan dibiarkan mendidih selama 15 menit. Destilasi kemudian ditampung.

Nash’s reagent dibuat dengan cara melarutkan 15 gr NH4CH3COO, 0,3 ml

CH3COOH, dan 0,2 ml asetil aseton ke dalam aquades sampai volumenya 100 ml.

Larutan formaldehid standard dibuat dengan konsentrasi 10.0 dan 15.0 mg/l. masing-masing konsentrasi formaldehid standard dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi yang berisi 1 ml H2O dan 2 ml Nash’s reagent. Blanko dibuat


(50)

tabung dipanaskan dalam penangas air 380C untuk memunculkan warna. Larutan diukur absorbansinya pada 415 nm.

(

)

d formaldehi kadar bb x air kadar % 100 100 ) bk ( ) kg / mg ( d formaldehi Kadar ) kg ( sampel berat destilasi Volume x lt / mg d formaldehi i Konsentras ) bb ( ) kg / mg ( d formaldehi Kadar − = =

7) Total koloni mikroba (TPC)

Total koloni mikroba diuji dengan metode hitungan cawan (total plate count), dengan menggunakan Plate Count Agar (PCA). Dimana proses ini dimulai dengan menimbang dendeng batokok sebanyak 25 gr. Kemudian dihomogenisasi dengan stromacher (3 menit) dengan menambahkan larutan Buffered Pepton Water 0,1% yang steril sebanyak 225 ml, maka diperoleh larutan 10-1. pengenceran selanjutnya dilakukan secara desimal dengan cara memipet 1 ml larutan 10-1 lalu dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan Buffered Peptone Water 0,1% sehingga diperoleh larutan 10-2, pengenceran dilakukan sampai diperoleh larutan 10-8. Media PCA yang telah didingginkan pada suhu 45-47oC dituangkan ke dalam masing-masing cawan petri dan dibiarkan beku, kemudian cawan petri dimasukan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 48 jam.

8) Analisis kualitatif coliform (SNI 19-2897-1992).

Setelah dilakukan homogenisasi terhadap 25 gram dendeng batokok dengan 225 ml Alkaline Pepton Water (APW) 0,1% dan dilakukan pengenceran hingga didapat pengenceran 10-1 sampai pengenceran 10-8, kemudian dilakukan pemupukan dengan mengambil sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dan selanjutnya menuangkan 10-15 ml Violet Red Bile (VRB) ke dalam cawan petri lalu dihomogenkan, kemudian hasil pemupukan dibiarkan memadat pada suhu ruang lebih kurang 30 menit. Inkubasi cawan dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam. Pertumbuhan koloni coliform di media VRB berwarna merah muda dengan titik kemerahan berdiameter 1-2mm.


(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pengasapan

1. Uji Organoleptik Warna

Uji organoleptik yang dilakukan pada dendeng batokok bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap produk tersebut. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji hedonik (uji kesukaan) terhadap warna dendeng batokok, dimana warna dendeng batokok yang dihasilkan adalah coklat sampai coklat kehitaman. Hasil uji hedonik terhadap warna dendeng batokok dapat dilihat pada Tabel 4 dan Lampiran 1a dan 2a.

Tabel 4 Hasil uji organoleptik warna dendeng batokok. Suhu

Pengasapan

Lama Pengasapan

Pengasapan Langsung (A1)

Pengasapan Tidak Langsung (A2)

X1 (3 jam) 3.2 3.2

X2 (6 jam) 3.1 3.1

C1 (51-60oC)

X3 (9jam) 3.9 4.5

X1 (3 jam) 3.5 3.5

X2 (6 jam) 4.3 4.5

C2 (61-70oC)

X3 (9jam) 3.4 5.0

X1 (3 jam) 3.9 4.6

X2 (6 jam) 3.1 3.1

C3 (71-80oC)

X3 (9jam) 3.3 3.3

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengasapan memberikan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap warna dendeng batokok yang dihasilkan. Hal ini berarti bahwa perlakuan pengasapan mempengaruhi warna.

Dari hasil pengujian organoleptik warna sebagaimana yang tercantum pada Tabel 4 di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk pengasapan langsung (A1), nilai tertinggi pada masing-masing suhu pengasapan adalah sebagai berikut: 3,9 (produk A1C1X3) pada suhu pengasapan 51-60oC dengan lama pengasapan 9 jam; 4,3 (produk A1C2X2) pada suhu pengasapan 61-70oC dengan lama pengasapan 6 jam; dan 3,9 (produk A1C3X1) pada suhu pengasapan 71-80oC dengan lama pengasapan 3 jam. Sedangkan pada pengasapan tidak langsung (A2), produk yang memiliki nilai tertinggi pada masing-masing suhu pengasapan adalah


(52)

4,5 (produk A2C1X3) pada suhu pengasapan 51-60oC dengan lama pengasapan 9 jam, kemudian 5,0 (produk A2C2X3) pada suhu pengasapan 61-70oC dengan lama pengasapan 9 jam, selanjutnya 4,6 (produk A1C3X1) pada suhu pengasapan 71-80oC dengan lama pengasapan 3 jam.

Dari pengujian organoleptik warna tersebut, pengasapan tidak langsung memiliki nilai warna yang paling tinggi yaitu di atas 4,5, dimana dendeng batokok yang dihasillkan mempunyai warna coklat kemerahan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh alat yang digunakan dimana asap terlebih dahulu dialirkan dan kemudian dikeluarkan bersamaan sehingga komponen asap serta panas akan mengalir, menempel dan berputar secara merata pada permukaan produk. Selain itu pengasapan tidak langsung menghasilkan asap yang cukup tebal dibandingkan dengan pengasapan langsung dimana asap dihasilkan sangat tipis.

Dendeng batokok memiliki warna yang menarik yaitu kecoklatan. Hal ini disebabkan oleh adanya komponen asap yang menempel pada daging. Asap mengandung senyawa fenol dan formaldehida, masing-masing bersifat bakterisida (membunuh bakteri). Kombinasi kedua senyawa tersebut juga bersifat fungisida (membunuh kapang). Kedua senyawa membentuk lapisan mengkilap pada permukaan daging. Selain itu kecepatan reaksi browning non enzimatik yaitu reaksi asam organik dengan gula pereduksi dapat menimbulkan warna coklat. Sesuai dengan pendapat Winarno et al (1980) bahwa pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi coklat yang disebabkan olah reaksi pencoklatan (browning).

Menurut hasil penelitian Badewi (2003), bahan bakar menggunakan tempurung kelapa menghasilkan produk berwarna coklat kehitaman karena tempurung kelapa mengandung lignin paling tinggi. Maga (1987) menyatakan bahan kayu yang mengandung lignin lebih banyak akan mudah terbakar dibandingkan yang mengandung lignin sedikit, sehingga banyak lignin yang terdekomposisi menjadi metilen radikal.

2. Uji Organoleptik Aroma

Komponen asap yang melekat pada dendeng batokok akibat proses pengasapan menimbulkan aroma dan bau yang khas. Hasil uji hedonik terhadap


(1)

Lam piran 12. Kadar lem ak

Kadar lem ak ( % bk) dendeng bat okok selam a penyim panan

Lam a penyim panan

Produk

( suhu pengasapan)

0 har i

5 har i

10 hari

15 har i

A1C1X3 10.60

10.36

9.83

9.62

A2C1X3

10.92 10.66 10.15 10.15

A1C2X2

9.42 9.12 8.42 7.68

A2C2X3

8.52 7.46 7.35 7.31

A1C3X1

8.75 8.58 8.34 7.08

A2C3X1 10.25

10.09

9.65

8.81

Out put kadar lem ak dendeng bat okok pengasapan langsung The SAS Syst em

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 23.88817222 11.94408611 185.50 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 11.23976667 3.74658889 58.19 < .0001

I nt eraksi ( f1* f2) 6 1.18145000 0.19690833 3.06 0.0229

Out put kadar lem ak dendeng bat okok pengasapan t idak langsung

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 50.62785000 25.31392500 323.35 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 6.51829722 2.17276574 27.75 < .0001

I nt eraksi ( f1* f2) 6 1. 55906111 0.25984352 3.32 0.0160


(2)

Lam piran 13. TBA

TBA ( m alonaldehide/ kg) dendeng bat okok selam a penyim panan

Lam a penyim panan

Produk

( suhu pengasapan)

0 har i

5 har i

10 hari

15 har i

A1C1X3

0.41 0.48 0.71 0.76

A2C1X3

0.53 0.82 0.91 0.95

A1C2X2

0.38 0.44 0.53 0.57

A2C2X3

0.38 0.43 0.48 0.55

A1C3X1

0.31 0.34 0.38 0.43

A2C3X1

0.51 0.56 0.66 0.71

Out put TBA dendeng bat ok ok pengasapan langsung The SAS Syst em

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 0.30153889 0.15076944 463.91 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 0.27509722 0.09169907 282.15 < .0001

I nt erak si ( f1* f2) 6 0.07032778 0.01172130 36.07 < .0001

Out put TBA dendeng bat ok ok pengasapan t idak langsung

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 0.70361667 0. 35180833 801.59 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 0.35514167 0. 11838056 269.73 < .0001

I nt erak si ( f1* f2) 6 0.08978333 0. 01496389 34.09 < .0001


(3)

Lam piran 14. Kadar for m aldehide

Kadar form aldehide ( m g/ kg) dendeng bat okok selam a penyim panan

Lam a penyim panan

Produk

( suhu pengasapan)

0 har i

5 har i

10 hari

15 har i

A1C1X3

8.74 8.46 6.94 5.88

A2C1X3

8.52 8.35 8.20 6.75

A1C2X2

9.04 8.67 7.81 4.92

A2C2X3

9.26 9.04 9.80 7.80

A1C3X1 11.12

10.71

6.86

6.35

A2C3X1 10.05

10.10

5.98

5.35

Out put kadar form aldehide dendeng bat okok pengasapan langsung The SAS Syst em

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 11.60642222 5.80321111 10713.6 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 91.28348889 30.42782963 56174.5 < .0001

I nt erak si ( f1* f2) 6 12.61071111 2.10178519 3880.22 < .0001

Out put kadar form aldehide dendeng bat okok pengasapan t idak langsung

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 9.06837222 4.53418611 9658.62 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 41.12368889 13.70789630 29200.3 < .0001

I nt erak si ( f1* f2) 6 30.31909444 5.05318241 10764.2 < .0001


(4)

Lam piran 15. Tot al Koloni Mikroba/ TPC

Tot al Koloni Mikroba ( log CFU/ gr) dendeng bat okok selam a penyim panan

Lam a penyim panan

Produk

( suhu pengasapan)

0 har i

5 har i

10 hari

15 har i

A1C1X3

2.91 2.2 4.94 8.42

A2C1X3

2.65 2.45 4.95 8.75

A1C2X2

2.92 2.81 4.91 8.54

A2C2X3

2.86 2.42 4.98 7.84

A1C3X1

2.77 2.51 4.83 6.31

A2C3X1

2.97 2.28 4.89 6.43

Out put kadar form aldehide dendeng bat okok pengasapan langsung The SAS Syst em

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 5.6156273E16 2.8078137E16 35.52 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 2.2279292E17 7.4264306E16 93.95 < .0001

I nt eraksi ( f1* f2) 6 1.2670485E17 2.534097E16 32.06 < .0001

Out put kadar form aldehide dendeng bat okok pengasapan t idak langsung

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F

Suhu pengasapan ( f1) 2 3.9015463E17 1.9507732E17 13637.7 < .0001

Lam a peny im panan ( f2) 3 2.1926118E17 7.3087059E16 5109. 45 < .0001

I nt erak si ( f1* f2)

6 3.284732E17 6.5694641E16 4592.65 < .0001


(5)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian penyimpanan terhadap dendeng batokok dapat

disimpulkan:

1.

Hasil penelitian pengasapan dengan menggunakan uji hedonik terhadap

warna, aroma dan rasa serta hasil penelitian penyimpanan terhadap mutu

fisiko kimia dendeng batokok menunjukkan bahwa produk A1C2X2 (suhu

pengasapan 61-70

o

C dengan lama pengasapan 6 jam) pada pengasapan

langsung dan produk A2C2X3 (suhu pengasapan 61-70

o

C dengan lama

pengasapan 9 jam) pada pengasapan tidak langsung memiliki tingkat kesukaan

tertinggi dan mutu yang baik.

2.

Hasil penelitian pengasapan dengan menggunakan uji hedonik terhadap

warna, rasa dan aroma menunjukan bahwa lama pengasapan dan suhu

pengasapan berbeda mempengaruhi nilai kesukaan panelis. Dimana metode

pengasapan tidak langsung memiliki nilai uji organoleptik warna, rasa dan

aroma yang lebih tinggi dari pada metode pengasapan langsung.

3.

Hasil analisis fisika kimia pada penelitian penyimpanan menunjukan bahwa

interaksi antar suhu pengasapan dan lama penyimpanan memberikan pengaruh

yang nyata terhadap kadar air, a

w

, pH, tingkat kekerasan, kadar protein, kadar

lemak, TBA, kadar formaldehide dan total koloni mikroba dendeng batokok.

4.

Hasil uji kualitatif bakteri coliform selama penyimpanan menunjukkan bahwa

pada penyimpanan 15 hari, coliform hanya terdikteksi pada produk A1C1X3,

A2C1X3 dan A1C2X2.

5.

Hasil penelitian penyimpanan terhadap produk yang mempunyai nilai

kesukaan tertinggi menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan dengan

metoda pengasapan tidak langsung (A2C2X3) memiliki mutu simpan yang

lebih baik dibandingkan dengan produk yang dihasilkan dengan metoda

pengasapan langsung (A1C2X2).


(6)

Saran

Untuk mempermudah proses pembakaran dan pengasapan perlu diciptakan

suatu bahan bakar yang telah dipadatkan sehingga praktis dalam proses

pengasapan. Disamping itu disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

untuk pengolahan dendeng batokok dengan menggunakan asap cair.