Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau Pulau Kecil; Kasus Di Provinsi Nusa Tenggara Timur

FORMULASI INDEKS KERENTANAN UNTUK PEMENUHAN
KEBUTUHAN AIR BERSIH PULAU-PULAU KECIL
KASUS DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

FX. HERMAWAN KUSUMARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Formulasi Indeks
Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil; Kasus di
Provinsi Nusa Tenggara Timur” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
FX. Hermawan Kusumartono
NRP. P 062120214

iii

RINGKASAN
FX. HERMAWAN KUSUMARTONO. Formulasi Indeks Kerentanan untuk
Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil; Kasus di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Dibimbing oleh ASEP SAPEI, ARYA HADI DHARMAWAN
dan ZUZY ANNA.
Masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil mengalami kesulitan
dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh
keterbatasan sumber daya air yang disebabkan oleh karakteristik hidrologi,
topografi, jenis tanah, dan iklim. Kondisi kualitas air yang kurang baik dan volume
air yang terbatas merupakan fenomena umum ditemukan di pulau-pulau kecil.
Untuk mengetahui tingkat kerentanan sumber daya air di pulau-pulau kecil, telah

dilakukan kajian pengembangan berbagai formulasi indeks. Akan tetapi, sebagian
besar indeks kerentanan tersebut cenderung bersifat parsial dan terfokus pada satu
aspek atau dimensi tertentu. Penelitian ini menyusun indeks kerentanan pemenuhan
kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil secara komprehensif. Tujuan dari penelitian
ini adalah : (1) mengetahui tingkat konsumsi, ketersediaan serta potensi kekurangan
air bersih di pulau-pulau kecil; (2) menganalisis status keberlanjutan pemenuhan
kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil secara berkelanjutan; (3) memformulasikan
indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil; (4)
menganalisis pola adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil dalam menghadapi krisis
air.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif
yang bersifat positivistik-deduktif. Namun, dalam ragamnya termasuk ke dalam
penelitian penjelasan (explanatory confirmatory research). Formulasi indeks
kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil dilakukan
dengan literatur review, analisis hubungan fungsional dimensi dan parameter
terpilih, serta menilai kerentanan. Sebelum merumuskan indeks kerentanan,
dilakukan analisis Rapid Appraisal Water (RAP-Water) untuk menilai
keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil. Data yang
dipergunakan untuk analisis indeks kerentanan dan analisis keberlanjutan meliputi
data primer dan sekunder. Untuk data primer, unit analisisnya adalah masyarakat di

daerah krisis air pulau kecil, sedangkan unit observasinya adalah kepala rumah
tangga. Dengan menggunakan teknik pengambilan sampel multi-stage random
sampling didapatkan responden sebanyak 257. Adapun data sekunder diperoleh
dari dinas dan instansi terkait, seperti data curah hujan, ketersediaan air, jumlah
bencana, kepadatan penduduk, data penduduk miskin, tutupan lahan dan
sebagainya. Lokasi penelitian berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai
sampel lokasi, 3 pulau terpilih, yaitu: Pulau Ende, Pulau Solor dan Pulau Semau.
Analisis status keberlanjutan menggunakan lima dimensi beserta atributnya
yakni ekologi (7 atribut), ekonomi (4 atribut), sosial (4 atribut), institusional (5
atribut), dan teknologi/infrastruktur (3 atribut) ternyata cukup baik digunakan
sebagai basis pengambilan kebijakan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kestabilan
dari model. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa sistem yang dibangun cukup
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan dapat digunakan untuk mengukur
keberlanjutan keberadaan air bersih di pulau-pulau kecil. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa pada dimensi ekologi, diantara tujuh atribut yang paling

iv

sensitif adalah catchment area/tutupan lahan, proximasi geografis terhadap sumber
air, dan curah hujan. Sementara itu, pada dimensi ekonomi diantara empat atribut,

yang paling sensitif adalah harga air bersih, tingkat kemiskinan, dan WTP
masyarakat terhadap air bersih. Demikian pula, pada dimensi sosial diantara empat
atribut, yang paling sensitif adalah konflik pemanfaatan sumber daya air dan peran
CSR dalam penyediaan air bersih. Selanjutnya, pada dimensi institusi diantara
empat atribut, yang paling sensitif adalah perencanaan pengelolaan air bersih dan
peraturan pengelolaan (tata kelola). Sedangkan pada dimensi infrastruktur/
teknologi, di antara tiga atribut yang paling sensitif adalah teknologi pengelolaan
air.
Dalam formulasi indeks kerentanan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih
ditemukan 14 parameter dengan dimensi masing-masing (1) tujuh parameter
kapasitas adaptif, (2) tiga parameter sensivitas, dan (3) empat parameter
ketersingkapan. Hasil penerapan pada tiga pulau kecil ditemukan bahwa indeks
kerentanan yang tertinggi adalah pulau Solor (0,60), kemudian pulau Ende (0,46),
dan terendah pulau Semau (0,39). Namun, tidak semua dimensi mengalami tingkat
kerentanan yang tinggi pada setiap pulau. Dimensi kapasitas adaptif merupakan
yang paling rentan di pulau Solor, dimensi sensivitas yang paling rentan di pulau
Semau, dan dimensi singkapan merupakan yang paling rentan di pulau Ende.
Pola adaptasi masyarakat dalam menghadapi krisis air adalah membuat bak
atau memanfaatkan bak penampungan air hujan (PAH), baik secara swadaya
maupun yang berasal dari bantuan pihak luar. Temuan yang menarik adalah

semakin bantuan tersebut bersifat komunal semakin mampu memupuk modal sosial
masyarakat dalam mengatasi krisis air, sebaliknya bantuan yang bersifat individual
justru melemahkan modal sosial masyarakat. Terdapat pola daya lenting
masyarakat pulau-pulau kecil dalam pemenuhan kebutuhan air bersih yaitu daya
lenting yang berbasis modal sosial dan berbasis modal ekonomi. Masing-masing
daya lenting tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Ditemukan juga daya
lenting yang berbasis modal sosial tinggi cenderung berasal dari mereka yang
tergolong pada modal ekonomi yang rendah.
Pendekatan community based water resilience dilakukan untuk merespon
kerentanan air pulau-pulau kecil sehingga program-program yang dilaksanakan
dapat terintegrasi secara berkelanjutan. Juga diperlukan kebijakan yang
komprehensif dan holistik dengan melibatkan berbagai stakeholder.
Kata kunci : indeks kerentanan, pulau kecil, air bersih, adaptasi, modal sosial,
keberlanjutan

v

SUMMARY
FX. HERMAWAN KUSUMARTONO. Formulation a vulnerability index of fresh
water fulfillment in small islands; Case Study in West Nusa Tenggara Province.

Supervised by ASEP SAPEI, ARYA HADI DHARMAWAN dan ZUZY ANNA.
The societies that live in small islands are experiencing difficultiy in
fulfilling water needs. Such problems are affected by the characteristics of
hydrology, topography, type of soil, and climate. Poor water condition and limited
water volume are common pehomenon in small islands. To get a better
understanding on water vulnerability level in small islands, development of various
vulnerability indexes has been carried out. However, most of said indexes tend to
only be partially done and focused on one specific aspect or dimension. This
research formulate a vulnerability index of fresh water fulfillment in small islands
comprehensively. The aim of the research are: (1) To determine the level of
consumption, availability and the potential lack of freshbwater in small islands; (2)
To analize sustainability status fulfilling fresh water needs in small islands; (3) To
formulate a vulnerability index to fulfill water needs in small islands; (4) To analize
the adaptive pattern of the community in small islands in healing with water crisis.
This research applied a deductive-positivist approach which makes it a
quantitative study. However, it is also a type of explanatory confirmatory research.
The formulation of vulnerability index for fresh water fulfillment in small islands
is carried out through literature review, functional relation of a selected dimension
and parameter, as well as measuring vulnerability. Before formulating vulnerability
index is conducted Rapid Appraisal Water (RAP-Water) analysis to determine the

sustainability of fresh water fulfillment in small islands. The data used for the
analysis of vulnerability index and their sustainability consisted of primary and
secondary data. For the primary data, the unit of analysis is community in water
scarce-small islands, and the unit of observation is head of household. Using multistage random sampling technique, as much as 257 samples were drawn. The
secondary data are obtained from related istitutions, such as data on rain fall, water
availability, disaster occurrence, population density, poverty, land coverage, and so
on. This research is located in the Province of Nusa Tenggara Timur. This province
is selected because of its natural dry climate with limited availability of water. This
province belongs to Pulau Nusa Tenggara archipelago whose records low water
availability compared to other islands in Indonesia. As sample of location, three
islands were selected, that are: Ende Island, Solor Island, and Semau Island.
Analysis of sustainability status for the fulfillment of fresh water needs in
small islands sustainably by using five dimensions along with their attributes that
are ecology (7 attributes), economy (4 attributes), social (4 attributes), institutional
(5 attributes), and technology/infrastructure (3 attributes), turns out effective to be
used as the basis for policy making. This shown by the stability of the model. This
condition also serve as proof that the system has significant level of confidence and
can be used to measure the sustainability of raw water supply in small islands.
Therefore, the alternative policies that meet the needs of fresh water provision in
small islands using five dimensions that are tested is very important, let alone all of

them showed indications of sustainability. The test results showed that the
ecological dimension, the seven attributes, that the most sensitive is the catchment

vi

area/land coverage, geographical poximation over water resources, and rainfall.
Meanwhile on the economic dimension, the four attributes, the most sensitive is the
price of raw water, poverty, and people's WTP fresh water. Similarly, the social
dimension, among the four attributes, the most sensitive is the conflict utilization
of water resources and the role of CSR in fresh water provision. Furthermore, the
dimensions of the institution, among the four attributes, the most sensitive is the
raw water management planning and regulatory management (governance).
Whereas on the dimensions of infrastructure/technology, among the three most
sensitive attribute is ai management technologies.
In the formulation of vulnerability index on fresh water fulfillment it was
discovered 14 parameters which belongs to three dimensions; (1) seven parameters
on adaptive capacity, (2) three parameters on sensitivity. (3) four parameters on
exposureness. On the application in the three small islands, it can be found that
island with the highest vulnerability is Solor island (0,60), followed by Ende (0,46),
and the lowest is Semau island (0,39). However, not all dimensions experiencing

high vulnerability in each island. Adaptive capacity is the most vulnerable
dimension in Solor island, while in Semau island it is sensitivity, and in Ende island
it is exposureness.
The adaptation pattern of the community in dealing with water crisis is
through building or utilizing rain water storage (RWS) tank, either by self financing
or from external source. The finding that is interesting is that the more communal
the facility is, the more it is able to strengthen community’s social capital in
overcoming water crisis, and in contrast individual assistance turns out to weaken
social capital. There are two types of community’s resilience pattern; resilience
based on social capital and based on economic capital. Each of the resilience is
having its own superiority as well as drawback. We also found out that social capital
based resilience tends to come from those having low economic capital.
Community based water resilience is chosen as a response to water
vulnerability in small islands. This approach is proven to create sustainable and
integrated programs. A comprehensive policy is also required to ensure stakeholder
participation during implementation.
Keywords : vulnerability index, small islands, fresh water, adaptation, social
capital, sustainability

vii


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

viii

FORMULASI INDEKS KERENTANAN UNTUK PEMENUHAN
KEBUTUHAN AIR BERSIH PULAU-PULAU KECIL
KASUS DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

FX. HERMAWAN KUSUMARTONO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ix

Penguji Luar Komisi pada Ujian
Tertutup

: 1. Dr.Ir. M.Yanuar J. Purwanto, MS
2. Dr.Ir. Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng

Sidang Promosi : 1. Dr.Ir. M.Yanuar J. Purwanto, MS
2. Dr.Ir. Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng

x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah indeks kerentanan, dengan judul Formulasi Indeks
Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil; Kasus di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Topik ini dipilih, mengingat pengukuran
kerentanan dengan membuat formulasi indeks kerentanan pulau kecil krisis air
menjadi penting untuk dilakukan agar mengetahui sejauh mana kondisi krisis air
suatu daerah sehingga dapat dipilih tindakan yang paling sesuai dengan merancang
model pemenuhan kebutuhan air pada masyarakat di pulau-pulau kecil yang
mengalami krisis air. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih
dan penghargaan yang tulus kepada:
1.

2.

3.

4.

5.
6.

Prof.Dr.Ir. Asep Sapei, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Arya
Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan Dr.Dra. Zuzy Anna, M.Si sebagai anggota
Komisi Pembimbing atas dedikasinya dalam membimbing dan mendukung
sejak awal hingga penyelesaian disertasi ini.
Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi PSL dan Dr.Ir.
Widiatmaka, DEA selaku Sekretaris Program Studi PSL, serta seluruh staf
sekretariat PSL atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya
disertasi ini.
Dr.Ir. M.Yanuar J. Purwanto, MS dan Dr.Ir. Ruchyat Deni Djakapermana,
M.Eng selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberi masukan substansial,
komentar, saran yang membangun sehingga meningkatkan kualitas disertasi
ini.
Rekan-rekan mahasiswa S-3 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan (PSL). Khususnya Angkatan IX yang telah menjadi teman
diskusi selama penelitian dan penulisan disertasi ini.
Istriku (Noni) dan anak-anakku (Ganes dan Farel) atas dukungan, motivasi,
inspirasi dan doanya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.
Rekan-rekan Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi (PKPT),
khususnya yang ada di Bidang Kajian dan Kerjasama (K3) atas dukungan
sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu
adanya kritik dan saran senantiasa diharapkan. Akhirnya, semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan khalayak luas.

FX. Hermawan Kusumartono

xii

DAFTAR ISI
RINGKASAN
LEMBAR PENGESAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

Hal
iv
xi
xii
xiii
xiv
xv
xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kerangka Penelitian
Kajian Terdahulu
Kebaharuan (Novelty)

1
1
3
5
5
7
10

2 KAJIAN PUSTAKA
Indeks Kerentanan
Pengertian Pulau-Pulau Kecil
Kerentanan Pulau-Pulau Kecil
Dinamika Kerentanan Sebagai Fungsi Ketersingkapan, Sensitivitas
dan Kapasitas Adaptif

11
11
12
13
15

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Pendekatan Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Parameter yang Diamati
Metode Analisis
Pemetaan Proses Penelitian (Research Mapping)

22
22
23
23
25
33
42

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Pulau-Pulau Kecil Krisis Air di Lokasi Penelitian
Analisis Situasi Pulau-Pulau Kecil Dilokasi Penelitian
Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Masyarakat Pulau Kecil
Status Keberlanjtan Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau
Kecil
Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air
Bersih di Pulau-Pulau Kecil
Pola Adaptasi Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Dalam Menghadapi
Krisis Air: Bak Penampung Air Hujan (PAH) Berbasis Modal Sosial
Pola Adaptasi Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Dalam Menghadapi
Krisis Air: Daya Leting Modal Sosial dan Modal Ekonomi
Gagasan Konseptual Untuk Kebijakan Penanganan Pemenuhan
Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil Krisis Air

43
43
48
54
59
75
87
91
98

xiii

Implikasi Kebijakan Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau
Kecil Krisis Air

103

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

105
105
106

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

107
113
123

xiv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38

Ketersediaan Air di Indonesia
Parameter Dimensi/ Komponen Ketersingkapan
Parameter Dimensi/ Komponen Sensitivitas
Pemahaman Kapasitas Adaptif (Adaptive Capacity) dan Daya Lenting
(Resilience)
Parameter Dimensi/ Komponen Kapasitas Adaptif
Metode Pengumpulan Data
Teknik Penarikan Sampel Kajian (Multistage Sampling)
Operasionalisasi Konsep Kerentanan
Metode Analisis Yang Digunakan
Dimensi dan Atribut Analisis Keberlanjutan Pemenuhan Kebutuhan Air
Masyarakat Pupau-Pulau Kecil
Matriks Indikator
Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Masyarakat Pulau Kecil
Debit Rata-Rata per Bulan Masing-Masing Pulau
Kebutuhan Air Bersih Perorang Masing-Masing Pulau
Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Pulau Ende
Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Pulau Solor
Ketersediaan dan Kebutuhan Air Bersih Pulau Semau
Dimensi, Atribut dan Skoring Rap-Water
Parameter Statistik (goodness of fit) Rap-Water
Skor Indeks Keberlanjutan per Dimensi Masing-Masing Pulau
Analisis Monte Carlo Dimensi Ekologi
Analisis Monte Carlo Dimensi Ekonomi
Analisis Monte Carlo Dimensi Sosial
Analisis Monte Carlo Dimensi Institusional
Analisis Monte Carlo Dimensi Infrastruktur dan Teknologi
Fungsi Variabel/Indikator Terhadap Kerentanan Sumber Daya Air
Rekap Nilai Setiap Parameter Untuk Perhitungan Indeks
Normalisasi Data Berdasarkan Hubungan Fungsional Variabel dan
Kerentanan
Standar Deviasi dan Bobot dari Masing-Masing Variabel
Skor Masing-Masing Indikator/Variabel setelah Pembobotan
Indeks Kerentanan Krisis Air Pulau-Pulau Kecil Perdimensi
Indeks Kerentanan Krisis Air Pulau-Pulau Kecil dan Peringkatnya
Uji Spearman’s Rank Correlation Coefficien
Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Presentase Modal Sosial di Pulau Solor dan Semau
Presentase Modal Sosial di Pulau Solor dan Semau Perdimensi
Persilangan Modal Ekonomi dan Sosial di Pulau Solor dan Semau
Persilangan Pengeluaran dengan Modal Sosial Per Dimensi

Hal
15
17
18
20
21
24
25
31
33
38
38
54
55
55
56
56
57
59
62
63
65
68
70
72
74
76
77
81
82
82
83
84
86
88
93
93
95
97

xv

DAFTAR GAMBAR
Hal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Kerangka Penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan
Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil
Dinamika Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (Preston dan Smith 2009)
Lokasi Penelitian
Elemen Proses Aplikasi RAP-Water (Modifikasi Alder et al.2000)
Pemetaan Proses Penelitian (Research Mapping)
Peta Sebaran dan Kepadatan Penduduk di Lokasi Penelitian
Mata Pencaharian Penduduk di Lokasi Penelitian
Komoditas Pertanian di Lokasi Penelitian
Sebaran Keluarga Miskin di Lokasi Penelitian
Waktu Tempuh ke Sumber Air Pulau Ende, Semau dan Solor
Diagram Indeks Keberlanjutan per Dimensi di Lokasi Penelitian
Ordinasi Rap Water Dimensi Ekologi
Leverage Dimensi Ekologi
Monte Carlo Analisis Dimensi Ekologi
Ordinasi Rap Water Dimensi Ekonomi
Leverage Dimensi Ekonomi
Monte Carlo Analisis Dimensi Ekonomi
Ordinasi Rap Water Dimensi Sosial
Leverage Atribut Keberlanjutan Untuk Dimensi Sosial
Monte Carlo Analisis Dimensi Sosial
Ordinasi Rap Water Dimensi Institusional
Leverage Atribut Keberlanjutan Untuk Dimensi Intitusional
Monte Carlo Analisis Dimensi Institusional
Ordinasi Rap Water Dimensi Infrastruktur/Teknologi
Leverage Atribut Keberlanjutan Untuk Dimensi Infrastruktur/
Teknologi
Monte Carlo Dimensi Infrastruktur/Teknologi
Potensi dan Distribusi Sumber Daya Air di Indonesia
Merubah Vicious Circle Menjadi Virtous Circle: Gagasan Konseptual
Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau-Pulau Kecil Krisis Air
Tipologi Resilience dan Strategi Merespon Kerentanan Air
Kerangka Implikasi Kebijakan (Policy Options)

7
15
22
36
42
49
50
51
52
53
63
64
65
66
67
67
68
69
70
70
71
72
72
73
73
74
99
100
102
104

DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1
2

Kuesioner – Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air
Bersih Pulau-Pulau Kecil
Hasil Perhitungan - Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan
Air Bersih Pulau-Pulau Kecil

114
119

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kurang lebih 17 ribu pulau.
Dari jumlah tersebut, 13 ribu di antaranya termasuk dalam kategori pulau-pulau
kecil (Hehanussa dan Bakti, 2005). Besarnya persentase pulau-pulau kecil
menyebabkan pentingnya menaruh perhatian terutama karena adanya berbagai
karakteristik yang berdampak pada munculnya permasalahan spesifik dibanding
dengan pulau-pulau besar.
Ada berbagai karakteristik dimiliki pulau-pulau kecil yang dapat dilihat, baik
dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya, maupun daya
dukung lingkungannya (Beller dan D’Ayala 1990). Secara bio-fisik, pulau-pulau
kecil memiliki kesamaan dalam hal ukuran fisik; secara geografi memiliki
keterbukaan yang ekstrim; secara sosial masyarakatnya memiliki kapasitas yang
rendah terhadap dinamika perubahan lingkungan yang terjadi seperti terjadinya
badai, tsunami, dan semacamnya; secara budaya adanya perilaku pemanfaatan air
yang seringkali kurang tepat; dan daya dukung lingkungan yang semakin rendah
akibat pertumbuhan penduduk. Selain itu, pulau-pulau kecil memiliki aspek
keterisolasian yang terjadi karena minimnya perkembangan pembangunan
infrastruktur dan berdampak pada buruknya kualitas kehidupan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya. Demikian pula pada aspek ekonomi yaitu terbatasnya
luasan lahan dan sumber daya yang menjadikan terbatasnya kegiatan ekonomi
untuk menopang kehidupan masyarakat di pulau-pulau kecil dan sangat bergantung
pada kondisi lingkungan.
Karakteristik pulau-pulau kecil tersebut merefleksikan adanya permasalahan
spesifik yang dialami oleh masyarakat. Salah satu permasalahan yang dialami oleh
pulau-pulau kecil adalah terdapat kerentanan sumber daya air, yakni adanya kondisi
kesulitan mendapatkan air bersih (Arsadi dan Ruslan 2007; Dellinom dan Lubis
2007; Hadi 2007; Hartanto dan Saifudin 2007; Soenarto et al. 2010).
Hubungan antara kerentanan sumber daya air dengan karakteristik pulaupulau kecil telah dijelaskan oleh berbagai pakar. Parry et al. (2007) menyebutkan
terdapat enam dampak kerentanan yang dimiliki pulau-pulau kecil yaitu: a) sumber
daya air yang terbatas karena sedikitnya curah hujan; b) sistem dan sumber daya
pesisir yang rentan terjadinya kerusakan baik oleh tindakan manusia atau pun secara
alami; c) keterbatasan sumber daya untuk ketahanan pangan dari bidang agrikultur
dan perikanan; d) keberagaman hayati baik di daratan dan di air; e) pemukiman
manusia dan kesejahteraan dari meningkatnya jumlah penduduk yang mengurangi
daya dukung lingkungan; dan f) minimnya infrastruktur dan transportasi melalui
penggunaan sumber daya yang tak terbarukan.
Selain itu, Dellinom dan Lubis (2007) menambahkan bahwa air tanah di
pulau-pulau kecil biasanya dalam kualitas yang tidak terlalu baik atau dalam jumlah
yang sangat kecil. Keterbatasan sumber air di pulau kecil menurut Hartanto (2007)
dan Soenarto et al. (2010) disebabkan sumber air bersih di pulau kecil utamanya
berasal dari air hujan. Keterbatasan lain terkait dengan minimnya air di pulau kecil
disebutkan oleh Hehanussa (2005) yakni disebabkan oleh keterbatasan topografi
dari pulau kecil yaitu karena panjang sungai di pulau kecil yang relatif pendek
sehingga waktu tersedia bagi air hujan untuk meresap ke dalam tanah dan

2

mengalirnya air ke laut juga relatif lebih cepat. Terlebih pulau kecil mempunyai
curah hujan yang relatif lebih rendah sekitar 20% dibandingkan daratan lain dan
memiliki angka penguapan yang lebih besar terutama untuk wilayah tropis seperti
Negara Indonesia (Dellinom dan Lubis 2007).
Hahenussa (2005) menyebutkan kondisi topografi pulau kecil yang
didominasi perbukitan agak curam atau kemiringan yang relatif besar hingga curam
lebih memperkecil peluang air hujan untuk masuk mengimbuh ke dalam tanah.
Kendala ini ditambah dengan batuan penyusun pulau, antara lain karena minimnya
batuan yang pourus maupun kondisi penutup lahan yang minim dengan didominasi
oleh batuan malihan dan sedikit batu gamping sehingga terjadinya aliran
permukaan (runoff) yang besar sedangkan infiltrasi sangat kecil. Faktor yang juga
mempengaruhi keterbatasan sumber air di pulau kecil adalah iklim dan penggunaan
lahan yang dilakukan oleh manusia baik dalam pembangunan konstruksi ataupun
pemanfaatan lahan. Oleh karena itu, karakteristik pulau-pulau kecil menyebabkan
tergolong lebih rentan terhadap dampak ekologis perubahan terhadap sumber daya
air.
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya keterbatasan sumber air pada pulau kecil yang bersumber dari alam yaitu
karateristik hidrologi, topografi, jenis tanah dan iklim. Perilaku manusia yang
bersumber dari pengetahuan yang menjadi nilai-nilai pada suatu masyarakat
merupakan refleksi dari kemampuan sumber daya manusia berpengaruh pada
terjadinya krisis air seperti pada pengetahuan cara pengambilan, penggunaan air,
dan hal lainnya terkait dengan; pengelolaan air oleh suatu masyarakat (Hadi 2007;
Soenarto et al. 2010). Faktor yang dapat memperburuk terjadinya krisis air pada
nilai dan perilaku manusia seperti penggunaan sumber air baik menampung atau
pun mengambil air yang disebutkan oleh Delinom dan Lubis (2007) terefleksi pada
cara pengambilan air yang kurang tepat akan berdampak pada penurunan muka air
sehingga menyebabkan terjadinya penyusupan air asin.
Buruknya sarana dan prasarana air secara umum di Indonesia disebabkan
lemahnya water governence, lemahnya kemampuan kelembagaan masyarakat dan
kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya air, disertai
dengan keterbatasan pendanaan mengelola sumber daya air. Aspek-aspek tersebut
merupakan cerminan adanya kerentanan di pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh
faktor-faktor yang bersumber dari manusia sehingga mempengaruhi keterbatasan
sumber air hingga terjadinya krisis air.
Krisis air di pulau-pulau kecil merupakan karakteristik kerentanan yang ada
di pulau-pulau kecil (Lewis 2009, Cahyadi et al. 2013). Lokasi yang sangat kecil
menyebabkan seluruh kegiatan di pulau kecil tersebut, baik karena pengaruh
dari luar maupun pengaruh internal dari sistem pulau-pulau kecil, akan
berinteraksi satu sama lainnya di pulau tersebut. Kondisi krisis air yang didasarkan
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar akan air untuk manusia yaitu pada kebutuhan
air untuk minum 5 liter/hari, kebutuhan untuk sanitasi 20 liter/hari, kebutuhan untuk
mandi 15 liter/hari dan kebutuhan air untuk penyediaan makanan minimal 10
liter/hari (Brown dan Matlock 2011).
Upaya untuk mengungkap permasalahan kerentanan pulau-pulau
kecil telah dilakukan oleh negara-negara kepulauan di kawasan Asia Pasifik,
namun kajian serupa masih minim di Indonesia. Dalam lingkup global maupun di
Indonesia masih cukup langka studi yang secara spesifik mengungkap tentang

3

ketahanan masyarakat di pulau kecil terhadap kondisi krisis air. Penelitian tentang
keterbatasan air tidak hanya dapat dilihat dari aspek perilaku hidrologi, tetapi juga
penting untuk melihat pada aspek sosial, ekonomi dan budaya seperti aturan
informal bahkan kebijakan (Soenarto et al. 2010; Hamilton 2010). Pentingnya
melihat aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dikarenakan setelah adanya program
yang berupaya untuk mengurangi krisis air masyarakat yang akan melakukan
pengoperasian dan pemeliharaan upaya tersebut (Soenarto et al. 2010). Aspek
sosial, ekonomi dan budaya tersebut diturunkan menjadi tradisi pada perilaku
pengambilan dan penampungan air setempat, teknologi pengambilan dan
penampungan air, pola pemanfaatan sumber daya air dan tradisi cocok tanam. Pada
aspek lingkungan dapat dilihat pada dimensi koservasi sumber daya air dan tanah
yang dilakukan oleh masyarakat.
Perumusan Masalah
Masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil sudah sekian lama menghadapi
kondisi krisis air. Dengan demikian, pada umumnya mereka sudah memiliki cara
adaptasi tersendiri. Tanpa kemampuan adaptasi yang baik, masyarakat di pulau
kecil akan lebih rentan dibandingkan masyarakat di wilayah mainland, mengingat
upaya pihak ketiga seperti program pemerintah, maupun NGO juga lebih sulit untuk
menjangkau pulau-pulau kecil. Hal tersebut dikarenakan faktor keterbatasan biaya,
akses yang sulit secara geografis seperti yang disebutkan dalam Soenarto et al.
(2010) dimana letak pulau kecil di Indonesia umumnya berada pada kondisi yang
terisolasi karena minimnya sarana transportasi umum sehingga harga pun tinggi
untuk membangun sarana dan prasarana sumber air. Selain itu, juga terdapat
keterbatasan sarana kapal yang tidak dapat setiap saat digunakan karena perlu
melihat kondisi musim. Minimnya akses untuk mobilitas masyarakat menjadikan
semakin rendahnya perkembangan teknologi yang dapat digunakan untuk
mengatasi keterbatasan sumber air. Paparan tersebut menunjukkan terdapatnya
permasalahan umum yaitu pada kondisi keterbatasan sumber daya air yang
merupakan aspek penting kehidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil sebagai
refleksi dari kerentanan sumber daya air yang dimiliki pulau-pulau kecil di
Indonesia. Kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim terkait dengan kondisi
krisis air adalah pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil (small islands) yang sebagian
besar wilayahnya merupakan daerah pesisir adalah salah satu daerah yang paling
rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura 1999). Fenomena ini telah terlihat
pada pulau-pulau kecil di beberapa negara SIDS (small island development state)
di kawasan Pasifik. Kondisi krisis air pada masyarakat di pesisir pulau-pulau kecil
semakin memprihatinkan dan menjadi perhatian banyak pihak.
Kondisi kesulitan mendapatkan air bersih merupakan hal yang umum di
pulau kecil, seperti yang terjadi di pulau-pulau pada Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kebanyakan masyarakat yang berada di pulau kecil utamanya menggunakan
sumber air mengalir dan sumur untuk memenuhi kebutuhan air. Jika sumber air
mengalir dan sumur tidak memungkinkan maka masyarakat membuat bak
penampungan air hujan atau teknologi lainnya. Cara lain bagi masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan akan air adalah membeli air atau meminta kepada kerabat
terdekatnya dan jika dibutuhkan kadang-kadang masyarakat harus mengambilnya
atau membelinya di pulau lain dengan jarak yang cukup jauh (Soenarto et al. 2010).

4

Program-program dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan pihak luar sudah banyak sekali dilakukan, namun belum juga mampu
mengatasi masalah tersebut. Disebutkan bahwa persentase warga NTT dalam
kemudahan mendapatkan air bersih di Indonesia berada di angka 40-an persen dari
target Indonesia di sektor penyedian air bersih sekitar 68%. Kondisi ini
menunjukkan ada gap yang besar antara kebutuhan air bersih masyarakat dan
intervensi program yang dilakukan. Dalam konteks yang lebih luas, akses terhadap
air bersih merupakan salah satu fokus yang harus dientaskan dalam program
Millenium Development Goals (MDG’s). Adanya gap tersebut merefleksikan
terdapat ketidaksesuaian antara target pemerintah Indonesia dengan yang terjadi di
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Namun pada kenyataannya mereka mampu bertahan dalam segala kondisi
tersebut hingga saat ini dengan strategi adaptasi mereka sendiri. Cara adaptasi
mereka juga sangat mungkin terus berkembang seiring dinamika perubahan
tekanan lingkungan fisik pada kehidupan sosial mereka. Secara sosial masyarakat
memiliki struktur dan kultur dalam kehidupan mereka yang mengatur fungsi yang
mereka butuhkan (Ritzer dan Goodman 2011), struktur dan kultur ini dalam
perspektif fungsional akan terus berevolusi sesuai dengan perubahan fungsi yang
dibutuhkan. Kapasitas adapatif masyarakat yang semakin baik sangat menentukan
ketahanan mereka dalam menghadapi kondisi krisis air yang rentan mereka alami.
Seperti yang terjadi pada kondisi krisis air di Pulau Palue yang disiasati dengan
dilakukannya penyulingan air laut, di Pulau Solor masyarakat menyiasati krisis air
dengan mencari sumber air hingga harus menempuh beberapa jam untuk sampai ke
sumber air dengan berjalan kaki, pada Pulau Ende kondisi tersebut disiasati dengan
adanya penampungan air individual. Untuk itu, penting melihat bagaimana
gambaran kapasitas adaptif masyarakat dari kondisi krisis daya air yang juga
melihat aspek kearifan lokal di suatu masyarakat yang dilihat dari dimensi sosial,
ekonomi, dan lingkungan.
Beberapa kajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia memang telah
dilakukan di beberapa tempat, namun metode dan hasil kajian kerentanan ini
belum dijadikan rujukan untuk pengkajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia
dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dari beberapa kajian kerentanan yang
telah dilakukan, terdapat banyak metode dan atribut kerentanan yang digunakan.
Sebagian besar indeks kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan saat ini
cenderung parsial terfokus pada satu aspek (dimensi) saja. Hingga saat ini belum
ada penelitian yang menghasilkan indeks kerentanan dengan menggabungkan
sejumlah aspek (dimensi) seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan secara
terintegrasi, sebagai dasar untuk suatu pembangunan berkelanjutan seperti yang
disebutkan oleh Soenarto et al. (2010).
Ketersediaan air yang merupakan refleksi dari kerentanan, sangat
dipengaruhi oleh berbagai dimensi baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Dimensi tersebut digunakan untuk mengukur kerentanan krisis air di pulau-pulau
kecil. Kerentanan mengacu pada kecenderungan dari sesuatu yang dapat rusak atau
mengalami kerusakan. Dari kondisi terjadinya kerusakan tersebut penting untuk
melihat kapasitas adaptif yang merupakan kemampuan untuk menolak dan atau
pulih dari kerusakan. Dalam menentukan apakah suatu daerah mempunyai potensi
kerentanan terhadap krisis air di pulau kecil, diperlukan suatu acuan berupa indeks
sebagai kumpulan parameter yang menjadi alat ukur potensi kerentanan tersebut.

5

Kerentanan dapat diukur pada tingkat yang berbeda untuk masalah yang
berbeda. Artinya, dapat digunakan untuk melihat satu masalah saja, maupun untuk
menilai sebuah entitas kompleks seperti sebuah negara. Ide kerentanan dan
kapasitas adaptif berlaku sama baik untuk entitas fisik (orang, ekosistem, garis
pantai) dan konsep-konsep abstrak (sistem sosial, sistem ekonomi, dan negara).
Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan yang dikenal sebagai bahaya, masingmasing akan terkait dengan beberapa tingkat risiko, atau kemungkinan terjadi.
Pengukuran kerentanan dengan membuat formulasi indeks kerentanan pulau kecil
krisis air menjadi penting untuk dilakukan agar mengetahui sejauh mana kondisi
krisis air suatu daerah sehingga dapat dipilih tindakan yang paling sesuai dengan
merancang model pemenuhan kebutuhan air pada masyarakat di pulau-pulau kecil
yang mengalami krisis air.
Dari penjabaran permasalahan yang muncul terkait masalah krisis air pada
pulau-pulau kecil maka dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Seberapa besar tingkat konsumsi, ketersediaan serta potensi
kekurangan air bersih di pulau-pulau kecil ?
Bagaimana status keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih di
pulau-pulau kecil ?
Bagaimana formulasi indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan
air bersih di pulau-pulau kecil ?
Bagaimana pola adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil dalam
menghadapi krisis air ?
Tujuan Penelitian

Atas dasar pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini secara umum
bertujuan: menyusun indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih
pulau-pulau kecil. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
1.
2.
3.
4.

Mengetahui tingkat konsumsi, ketersediaan serta potensi kekurangan
air bersih di pulau-pulau kecil.
Menganalisis status keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih di
pulau-pulau kecil.
Memformulasikan indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air
bersih di pulau-pulau kecil.
Menganalisis pola adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil dalam
menghadapi krisis air.
Kerangka Penelitian

Kerentanan merupakan hal yang mencirikan pulau-pulau kecil seperti
kemiskinan, keterisolasian, rawan bencana, keterbatasan infrastruktur, tidak
terkecuali rawan air, khususnya air bersih. Salah satu kendala pengembangan pulau
kecil adalah ketersediaan sumberdaya air yang terbatas. (Arsadi 2007; Dellinom
dan Lubis 2007; Hadi 2007; Hartanto dan Saifudin 2007; Soenarto et al. 2010; Tahir
2010). Keterbatasan sumber air, karena kondisi topografi, morfologi dan jenis tanah
pulau-pulau kecil. Kondisi ini menjadikan terjadinya kondisi krisis air pada pulau-

6

pulau kecil, sehingga pengembangan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan
memperhatikan aspek permasalahan dan daya dukung sumberdaya air yang ada
pada setiap pulau. Kerentananan masyarakat di pulau-pulau kecil terlihat dalam
aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan. Kondisi pulau-pulau kecil yang rentan
air, menyebabkan kebutuhan akan solusinya menjadi suatu hal yang penting.
Dengan terlebih dahulu melakukan penelitian mengenai kerentanan (vulnerability
assessment) ini diharapkan akan memberikan kontribusi terhadap upaya
pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan nantinya. Dengan adanya
pendugaan kerentanan yang ada dalam suatu indeks, maka akan didapatkan
pendekatan yang berbeda dalam menyusun alternatif kebijakan pemenuhan
kebutuhan air masyarakat pulau-pulau kecil. Kebutuhan akan pemahaman
mengenai keberlanjutan dari ketersediaan air di pulau-pulau kecil juga menjadi
suatu perhatian tersendiri, sebagai dasar solusi perbaikan ke depan. Analisis
keberlanjutan ini menggunakan pendekatan rapid appraisal, yang kelak dapat
digunakan secara general di lokasi lainnya di Indonesia.
Konsep kerentanan yang dikembangkan oleh Turner mengindikasikan
bahwa untuk mengurangi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas adaptif (adaptive capacity)
dari suatu pulau kecil melalui berbagai sumber modal yang dimiliki pada suatu
masyarakat (Turner et al. 2003). Kapasitas adaptif pulau-pulau kecil dapat
ditingkatkan dengan melakukan intervensi atau upaya (kebijakan), baik melalui
peningkatan kapasitas adaptif alami dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri
maupun melalui pembangunan infrastruktur yang terencana berdasarkan potensi
daya dukung yang dimilikinya. Dengan demikian akan terwujud penurunan
tingkat kerentanan masyarakat di pulau kecil krisis air melalui pola adaptasi
secara alami maupun terencana yang disertai dengan partisipasi masyarakat.
Kondisi ini akan berdampak pada terjadinya peningkatan kesejahteraan dan
bersifat keberlanjutan. Secara diagramatis kerangka penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.

7

Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

Rawan
bencana

Keterisolasian

Analisis
Neraca Air

Krisis air

Analisis
Keberlanjutan

Analisis
Kerentanan

Kapasitas

Ketersingkapan

Keterbatasan
infrastruktur

Kemiskinan

Sensitivitas

Indeks
Kerentanan

Alternatif
Kebijakan
Keberlanjutan Pemenuhan Kebutuhan air
Bersih Pulau-Pulau Kecil

Gambar 1

Kerangka Penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Untuk
Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil
Kajian Terdahulu

Beberapa penelitian sebelumnya menghasilkan kumpulan indikator
(parameter) yang cukup holistik dan komprehensif untuk mengukur kerentanan dari
krisis air di pulau kecil. Parameter tersebut secara umum meliputi berbagai
parameter kerentanan fisik (biologis) maupun kerentanan sosial yang dikemas
dalam tiga dimensi yakni: 1) ketersingkapan; 2) kapasitas adaptif; dan 3)
sensitivitas. Parameter yang dihasilkan dalam studi-studi ini merupakan parameter
umum untuk mengukur kerentanan (Hahn et al. 2009; Polsky at al. 2007; Preston
dan Smith 2009). Ada kemungkinan tidak semua parameter tersebut relevan untuk
mengukur kerentanan di wilayah pulau-pulau kecil. Namun parameter yang sudah
berhasil diidentifikasi ini dapat menjadi modal awal bagi studi ini untuk
menginventarisasi dan memilah berbagai parameter yang relevan dengan
karakteristik pulau kecil.
Pada penelusuran pustaka, juga ditemukan sejumlah studi yang secara umum
menjelaskan tentang kerentanan-kerentanan di pulau-pulau kecil dan daerah pesisir.
Salah satu studi tersebut yang menjelaskan solusi dari kerentanan pada terjadinya
krisis air di pulau-pulau kecil dengan dilakukannya kerjasama antara badan

8

internasional dan masyarakat yang mengindahkan nilai-nilai sosial komunitas
sehingga merubah perilaku manusia pada perubahan alam (White et al. 2008). Studi
lainnya yang mengkaji tentang kerentanan di pulau kecil mempunyai hasil bahwa
pulau kecil memiliki kerentanan terhadap terjadinya banjir, erosi, interupsi air laut
sehingga terjadinya kerusakan infrastruktur. Namun Mimura (1999) juga
menjelaskan bahwa terdapat pengaruh manusia pada terjadinya perubahan alam
yang seperti kegiatan manusia terhadap hutan mangrove yang secara tidak langsung
menjelaskan aspek ekonomi memiliki pengaruh pada kerentanan air di pulau kecil.
Lewis (2009) juga menjelaskan bahwa pulau kecil memiliki kerentanan pada
terjadinya penyakit, gempa bumi, kebakaran, banjir, badai, erosi meningkatnya air
laut yang merupakan gangguan eksternal terhadap kehidupan manusia. Lalu Lewis
(2009) menjelaskan bahwa nilai budaya dan perilaku manusia menjadi aspek
penting dalam pemberdayaan guna mengurangi terjadinya perubahan alam.
Terdapat pembahasan-pembahasan mengenai kerentanan yang dilakukan
dengan menggunakan suatu indeks, sehingga penting untuk mengulas indeksindeks yang mengkaji tentang kerentanan agar dapat menjadi pijakan hingga
munculnya indeks kerentanan sumber daya air di pulau kecil. Beberapa studi yang
digunakan penulis sebagai pijakan yang dimulai dari indeks kerentanan secara
umum hingga indeks kerentanan sumber daya air. Salah satu studi terdahulu yang
mengkaji tentang indeks kerentanan secara umum dilakukan oleh Hahn et al. (2009)
yang menggunakan Livelihood Vulnerability Index (LVI). Penggunaan indeks LVI
tersebut memiliki tujuan untuk melihat secara komprehensif karakteristik
kerentanan di dalam suatu komunitas. Terdapat 7 aspek yang digunakan oleh Hahn
et al. (2009) dari LVI yaitu a) profil sosio-demografik; b) Mata pencaharian; c)
kesehatan; d) jaringan sosial; e) makanan; f) air dan g) bencana alam.
Pengkajian kerentanan secara umum yang menggunakan indeks kerentanan
juga dilakukan pada aspek yang lebih spesifik seperti pada aspek sosial yang
dilakukan oleh Cutter et al. (2009) dengan Social Vulnerability Index (SVI). Tujuan
dari adanya SVI untuk mengetahui kerentanan secara komprehensif dari berbagai
bidang khususnya aspek sosial. SVI memiliki beberapa dimensi yaitu: a) status
sosio-ekonomik; b) gender; c) etnis; d) umur; e) kepemilikan rumah; f) pekerjaan;
g) struktur keluarga; h) tingkat pendidikan; i) pertumbuhan penduduk; j) akses ke
layanan kesehatan; dan k) tingkat kebergantungan sosial. Terdapat juga studi yang
secara spesifik mengkaji tentang kerentanan khusus pada aspek lingkungan yang
dilakukan oleh Kaly et al. (1999) menggunakan Environmental Vulnerability Index
(EVI). Adanya pengkajian menggunakan EVI bertujuan untuk menggambarkan
secara utuh dan penilaian dari kerentanan lingkungan sehingga dapat membedakan
dan mengidentifkasi sumber dari kerentanan itu sendiri. EVI sendiri menggunakan
2 variabel yaitu resiko (kemungkinan dan intensitas) dan pihak yang terkena
dampak untuk melihat daya lenting dari suatu komunitas.
Lebih lanjut terdapat beberapa studi yang mengkaji tentang konteks tertentu
yaitu pada kerentanan di wilayah pesisir yang dilakukan oleh Kasim dan Siregar
(2012), Sulma (2012), Tahir et al. (2009) dan Huang et al. (2012) dengan namanama indeks, seperti Coastal Vulnerability Index (CVI), Vulnerability Scoping
Diagram (VSD) dan Vulnerability Index (VI). Studi-studi yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang disebutkan di atas memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui
kerentanan pada wilayah pesisir. Namun terdapat perbedaan dalam istilah indeks

9

kerentanan dan variabel-variabel yang digunakan. Khusus untuk penelitian yang
dilakukan Tahir mengkaji kerentanan di wilayah pulau-pulau kecil.
Penelitian tentang kerentanan di pulau-pulau kecil secara khusus dilakukan
oleh Turvey et al. (2007) meskipun tetap menggunakan CVI namun terdapat
variabel yang berbeda yaitu: a) coastal index; b) peripherality index; c)
urbanization index; dan d) vulnerability to natural disasters. Lalu didapatkan juga
studi yang menggunakan indeks kerentanan lingkungan (EVI) yang diterapkan
pada pulau-pulau kecil oleh Pukkalanun et al. (2013) dengan variabel yaitu intrinsic
resilience (IRI), environmental degradation sub-index (EDI) dan risk exposure subindex (REI).
Terakhir didapatkan studi-studi yang mengkaji tentang kerentanan
menggunakan indeks yang khusus pada konteks ketersediaan air baik secara umum
pada suatu wilayah yang luas maupun secara khusus pada suatu wilayah yang
memiliki karakteristik tertentu. Studi-studi kerentanan terhadap ketersediaan air ini
memiliki tujuan untuk menggambarkan kerentanan air pada aspek ketersediaan air
yang dibutuhkan oleh manusia. Studi-studi tentang indeks kerentanan air secara
umum dilakukan oleh Sullivan et al. (2007), Brown et al. (2011) dan Gober &
Kirkwood (2010) namun memiliki istilah dan variabel yang berbeda-beda di dalam
pengukurannya. Sullivan menggunakan istilah Water Poverty Index (WPI), Brown
dengan istilah Water Resource Vulnerability Index (WRVI) dan Water
Sustainability Index (WSI), serta Gober dengan istilah Water Integrated Simulation
Model (WaterSim). Lalu penilaian kerentanan yang menggunakan indeks
kerentanan sumber daya air pada wilayah yang memiliki karakteristik khusus
dilakukan oleh Kliskey et al. (2008) pada daerah artik dengan sebutan Artic Water
Resource Vulnerability Index (AWRVI). AWRVI tersebut diturunkan menjadi
beberapa variabel yaitu indeks fisik dan indeks sosial.
Kemudian terdapat penelitian serupa yang mengkaji tentang sumber
kerentanan sumber daya air meskipun bukan dalam bentuk indeks yang dilakukan
oleh Babel et al. (2011) dengan indikator a) intensitas hujan, b) ketersediaan air per
kapita, c) total penggunaan air secara efektif, d) jumlah air buangan, e) persentase
lahan hijau sekitar sungai, f) jumlah air yang digunakan untuk minum, g) jumlah
air untuk irigasi, h) persentase melek huruf, i) jumlah angkatan kerja, j) indeks
GDP, dan k) pekerja di bidang non-agrikultur. Kerentanan air juga dikaji oleh Gain
et al. (2012) meskipun dilakukan bukan pada pulau kecil dengan menggunakan
empat variabel yaitu a) ketersingkapan, b) sensitifitas, c) daya lenting dan d)
kapasitas adaptif. Kliskey et al. (2008) juga mengkaji tentang pengelolaan air di
wilayah pegunungan yang dilakukan oleh Hill (2013) namun lebih ditekankan pada
kapasitas adaptif dengan indikator yaitu a) pengetahuan, b) jaringan, c) tingkat
pembuat keputusan, d) integrasi, e) fleksibelitas dan prediksionalitas, f) sumber
daya, g) pengalaman dan h) kepemimpinan.
Dari kajian-kajian terdahulu yang sudah disebutkan di atas dapat dilihat,
bahwa kerentanan terkait dengan krisis air baik yang dilakukan di suatu wilayah
tertentu (suatu kawasan dengan karakteristik tertentu atau suatu kawasan di suatu
benua atau pulau besar), dan di pulau-pulau kecil hanya terfokus pada pembahasan
penyelesaian dalam satu aspek antara ekologis (lingkungan) atau sosial-ekonomi.
Padahal terdapat interaksi antara sistem manusia dan lingkungan hingga terjadinya
perubahan alam yang merefleksikan bahwa sistem sosial memiliki pengaruh
terhadap derajat kerentanan di pulau kecil (Mimura 1999 dan Rachmasari 2000).

10

Seperti contoh studi yang dilakukan oleh Pukkalanun (2013) yang mengkaji
kerentanan pulau kecil dengan menggunakan indeks kerentanan lingkungan (EVI).
Kajian tersebut tidak membahas mengenai indeks kerentanan masyarakat pada
dimensi secara komprehensif pada dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan
kondisi krisis air yang merupakan hal yang umum terjadi di pulau-pulau kecil di
Indonesia (Mawardi 2006; Mulya dan Samson 2006; Fatimah dan Sobriyah 2006),
sebagaimana yang ingin dikembangkan pada studi ini. Hasil penelusuran pustaka
pada studi-studi kerentanan sumber daya air pulau-pulau kecil di Indo