Formulasi indeks kerentanan lingkungan pulau pulau kecil kasus pulau Kasu Kota Batam, Pulau Barrang Lompo Kota Makasar, dan Pulau Saonek Kabupaten Raja Ampat
dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat
AMIRUDDIN TAHIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(2)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi FORMULASI INDEKS
KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL: Kasus Pulau Kasu-Kota
Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja
Ampat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor,
Juni
2010
Amiruddin Tahir
C 262 070 091
(3)
AMIRUDDIN TAHIR. Formulation of Environmental Vulnerability Index for Small
Islands: Case of Kasu Island-Batam, Barrang Lompo Island-Makasar, and Saonek
Island-Raja Ampat. Under supervisor by MENNOFATRIA BOER, SETYO BUDI
SUSILO, and INDRA JAYA.
Indonesian archipelago consist of strings of island, large and small. Small
islands, in particularly, are vulnerable to the impact of global warming and sea level
rise. The vulnerability of assessment of small islands is important and critical
sustainable small island management. The present research aims to formulate the
environmental vulnerability index for small islands, to analize the parameters of
environmental vulnerability, to simulate and to predict the vulnerability dynamic of
continue existance of small islands, to predict small islands inundation, and to
develop the adaptation strategies for small islands. The assessment was carried out
on three different small island that are Kasu Island located in Batam, Barrang
Lompo Island located in Makasar, and Saonek Island located in Raja Ampat to
formulate its index of vulnerablity. To support the assessment, data were collected
through direct observation and measurement of various parameters such as
elevation, coral reef, mangrove and sea grass. In addition depth interview was
carried out to collect the social economic data. The principle of data analysis is by
mean of transformation of quantitative and qualitative data into scoring value to
produce the small island vulnerability index. The results showed that vulnerability
index for Kasu Island is 2.44 (low), Barrang Lompo Island is 7.67 (moderate), and
Saonek Island is 6.18 (moderate); coastal inundation until 2100 reach 84 % the land
area for Barrang Lompo Island, 39 % for Saonek Island and 10.50 % for Kasu
Island. The suggested adaptation strategies are conservation of 50 % of coastal
habitat, sea wall construction and resettlement.
Key words: Small island, vulnerability, exposure, sensitivity, adaptive capacity,
index.
(4)
Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan
Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER,
SETYO BUDI SUSILO, dan INDRA JAYA
Perubahan iklim global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil merupakan salah satu
daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Kerentanan merupakan
salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak dalam pembangunan
pulau-pulau kecil. Negara-negara yang tergolong dalam
Small Island Development State
memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau kecil.
Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana sebagian besar pulaunya
adalah pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum memiliki indeks kerentanan
lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah (1) memformulasikan model indeks
kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, (2) menganalisis parameter kerentanan
lingkungan pulau-pulau kecil terkait dengan kenaikan muka laut; (3) menghitung
indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan memproyeksikan perubahan
kerentanan lingkungan pada masa yang akan datang; (4) memperkirakan perendaman
daratan pulau akibat kenaikan muka laut; dan (5) merancang strategi adaptasi
berdasarkan karakteristik lingkungan pulau-pulau kecil.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan dan pengumpulan data
sekunder. Analisis data terdiri dari (1) analisis ekosistem dan sumberdaya
pulau-pulau kecil. Melalui analisis ini diperoleh gambaran umum tentang kondisi
ekosistem dan sumberdaya pesisir di pulau-pulau kecil; (2) analisis karakteristik fisik
dan sosial masyarakat. Hasil dari analisis ini adalah gambaran umum karakteristik
fisik pulau seperti ketinggian pulau di atas permukaan laut, kelerengan pulau, dan
karakteristik sosial masyarakat termasuk persepsi masyarakat, infrastruktur yang ada
di pulau-pulau kecil; (3) analisis kecenderungan kenaikan muka laut, termasuk erosi
pantai. Analisis ini menghasilkan informasi tentang kecenderungan kenaikan muka
laut; dan (4) analisis kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Hasil yang didapatkan
dari analisis ini adalah informasi terkait dengan dinamika kerentanan lingkungan
pulau-pulau kecil. Setelah dilakukan
overlay
terhadap hasil analisis didapatkan
keluaran dari penelitian berupa indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan
strategi adaptasi pulau-pulau kecil. Untuk menentukan parameter kerentanan
lingkungan digunakan pendekatan VSD (
vulnerability scoping diagram),
dimana
terdapat 17 parameter yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu kenaikan muka laut,
erosi pantai, tinggi gelombang, rata-rata tunggang pasang, kejadian tsunami,
pertumbuhan dan kepadatan penduduk, elevasi dan slope, tipologi pantai, penggunaan
lahan, tipologi pemukiman penduduk, habitat pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem
terumbu karang, padang lamun dan konservasi laut.
Parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil sudah memiliki nilai yang
cukup tinggi, yaitu tinggi gelombang, pertumbuhan dan kepadatan penduduk serta
kejadian tsunami (
exposure)
, parameter kerentanan lingkungan untuk dimensi
(5)
lamun
.
Nilai indeks kerentanan lingkungan saat ini memiliki perbedaan antara ketiga
pulau, dimana kerentanan lingkungan tertinggi adalah Pulau Barrang Lompo sebesar
7.67 (kerentanan sedang), Pulau Saonek sebesar 6.18 (kerentanan sedang) dan Pulau
Kasu sebesar 2.44 (kerentanan rendah)
Perilaku parameter kerentanan lingkungan yang akan berubah dalam 2 tahun
ke depan adalah kenaikan muka laut untuk ketiga pulau, penurunan kualitas terumbu
karang untuk Pulau Barrang Lompo dan dampak terhadap pemukiman untuk Pulau
Kasu. Simulasi kerentanan lingkungan dengan dua skenario (pengelolaan skenario 1
dan skenario 2) menunjukkan bahwa perubahan kerentanan lingkungan dapat
diperlambat untuk ketiga pulau. Skenario pengelolaan yang disarankan adalah
meningkatkan kapasitas adaptif dan menurunkan tingkat sensitivitas pulau. Hasil
simulasi kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil memperlihatkan bahwa sampai
tahun 2100 terjadi beberapa kemungkinan yaitu (1) pengelolaan skenario 1 untuk
Pulau Kasu hanya akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun 2060, (2) pengelolaan
skenario 1 untuk Pulau Barrang Lompo memperlambat perubahan kerentanan dari
tinggi (2027) ke kerentanan sangat tinggi pada tahun 2074, (3) pengelolaan skenario 1
untuk Pulau Saonek hanya akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun 2041, (4)
pengelolaan skenario 2 untuk Pulau Kasu memperlambat perubahan kerentanan dari
kerentanan rendah menjadi kerentanan sedang pada tahun 2032, (5) pengelolaan
skenario 2 untuk Pulau Barrang Lompo akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun
2039, (6) pengelolaan skenario 2 untuk Pulau Saonek hanya akan mencapai
kerentanan tinggi pada tahun 2064.
Dampak kenaikan muka laut khususnya kemungkinan terjadinya perendaman
daratan pulau, akan terjadi di ketiga pulau. Dampak terbesar akan dialami oleh Pulau
Barrang Lompo dan Saonek. Hal ini disebabkan karena kedua pulau ini memiliki
proporsi luas daratan pulau yang memiliki ketinggian kurang dari 100 cm cukup
besar. Berdasarkan hasil penilaian parameter kerentanan, perhitungan indeks
kerentanan, simulasi dinamika kerentanan, dan rancangan strategi adaptasi dapat
disimpulkan bahwa ketiga pulau memiliki perbedaan tingkat kerentanan lingkungan.
Strategi adaptasi yang dapat dikembangkan untuk ketiga pulau adalah strategi
yang bersifat reaktif. Strategi tersebut adalah (1) strategi adaptasi jangka pendek
dengan penetapan kawasan laut sebesar 30 % dari luas habitat pesisir untuk ketiga
pulau baik untuk ekosistem mangrove maupun terumbu karang; (2) strategi jangka
menengah dilakukan dengan meningkatkan proporsi kawasan konservasi laut menjadi
50 % dan pembangunan bangunan pelindung pantai; dan (3) strategi jangka panjang
dilakukan dengan menata pemukiman baik melalui pembangunan rumah panggung
maupun dengan merelokasi pemukiman penduduk ke tempat yang lebih aman (lebih
tinggi).
Kata kunci: pulau-pulau kecil, kerentanan,
exposure, sensitivity, adaptive capacity
,
indeks.
(6)
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat
AMIRUDDIN TAHIR
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(8)
Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota
Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat
Nama :
Amiruddin
Tahir
Nomor Pokok
:
C 262 070 091
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Ketua
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc
Prof. Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc
Anggota
Anggota
Diketahui,
Ketua
Program
Studi
Dekan
Sekolah
Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
(9)
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga Disertasi ini dapat disusun. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah kerentanan, dengan judul Formulasi Indeks Kerentanan
Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang
Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima
kasih terhadap pihak-pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan
kepada penulis hingga penyelesaian studi ini, sebagai berikut:
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Komisi, Prof. Dr. Ir.
Setyo Budi Susilo, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc selaku Anggota
Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai penulisan
Disertasi ini.
2.
Bapak Dr. Ir. Luky Adrainto MSc, Dr. Ir. Fredinan Yulianda MSc. dan Dr. Ir.
Ario Damar MS yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian kualifikasi dan
ujian tertutup.
3.
Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen,
DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.
4.
Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, secara khusus
kepada staf pengajar dan staf akademik Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
- Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
5.
Kepala Kampung Pulau Saonek, Lurah Pulau Barrang Lompo dan Lurah Pulau
Kasu yang telah memfasilitasi penulis selama pelaksanaan penelitian di
lapangan.
6.
Rekan-rekan mahasiswa SPL angkatan 2007 atas kerjasama dan dukungannya.
7.
Bapak Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, dan Prof.
Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS yang telah banyak membimbing penulis
selama berkerja di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)
-Institut Pertanian Bogor.
8.
Rekan-rekan di PT. Afisco, PKSPL-IPB, dan PT. Coastmar Lestari dan P4L.
9.
Seluruh anggota Keluarga Besar Muhammad Dasuki (alm.) dan Keluarga Besar
Tahir (alm), atas dukungan dan bantuan serta doa yang ikhlas sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat khusus kepada penulis.
Bogor, Juni 2010
(10)
Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 15 Mei 1968 dari Ayah Tahir dan
Ibunda Fatimang. Penulis merupakan putra kelima dari 10 bersaudara.
Tahun 1989, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, dan setahun
berikutnya penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan pada
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Tahun 1993, penulis menyelesaikan
pendidikan sarjana pada Fakultas Perikanan IPB. Tahun 1999 penulis melanjutkan
pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahun 2007 Penulis menjadi
mahasiwa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pengalaman kerja penulis adalah staf peneliti pada Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Anggota Team Pembelajaran Pada
Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (
Coastal Resources Management
Project-USAID).
Staf pada Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L)
dan PT. Coastmar Lestari. Saat ini, penulis bekerja sebagai tenaga ahli pada PT.
Aquatic Fisheries Consultant (AFISCO). Beberapa pelatihan yang pernah penulis
ikuti antara lain
Sustainable Use Coastal and Marine Resources
(SUCOMAR) yang
diselenggarakan oleh InWent, Germany di Bremen (2004), Blended training of
sustainable of coastal and marine resources management
di Vietnam (2007).
Penulis menikah dengan Sri Kholiyasih pada tahun 1998. Saat ini penulis
memiliki tiga anak, yaitu Muhammad Ikram Amiruddin (11 tahun), Nur Aini Lutfiah
Amiruddin (8 tahun), dan Muhammad Risky Aqila (3 tahun).
(11)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
1.
Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc
2.
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
1.
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
2.
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
(12)
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
1.5. Kerangka Pemikiran ... 9
1.6. Hipotesis ... 11
1.7. Kebaharuan (Novelty) ... 12
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1. Pengertian Pulau dan Pulau-Pulau Kecil ... 15
2.2. Tipe Pulau-Pulau Kecil ... 16
2.2.1. Pulau Datar ... 16
2.2.2. Pulau Berbukit ... 17
2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu ... 20
2.4. Kerentanan Pulau-Pulau Kecil ... 23
2.4.1. Konsep Kerentanan ... 24
2.4.2. Kerentanan Lingkungan ... 29
2.4.3. Dinamika Kerentanan ... 31
2.4.4. Kuantifikasi Kerentanan ... 31
2.4.5. Indeks Kerentanan ... 36
2.5. Kenaikan Muka Laut ... 37
2.5.1. Proses Kenaikan Muka Laut ... 37
2.5.2. Dampak Kenaikan Muka Laut ... 38
2.6. Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK ... 40
3. METODOLOGI ... 44
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 44
3.2. Tahapan Penelitian ... 46
3.3. Diagram Pelingkupan Kerentanan ... 47
3.3.1. Exposure (Ketersingkapan) ... 48
3.3.2. Sensitivity (Sensitivitas) ... 51
3.3.3. Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) ... 53
3.3.4. Penentuan Skala dan Bobot Parameter Kerentanan ... 55
3.4. Pengumpulan Data ... 57
3.5. Analisis Data ... 59
3.5.1. Analisis Ekosistem Pesisir ... 59
3.5.2. Analisis Karakteristik Geofisik Pulau-Pulau Kecil ... 61
(13)
3.7. Penentuan Bobot ... 63
4. HASIL PENELITIAN ... 66
4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil ... 66
4.1.1. Indeks Kerentanan Saat ini ... 66
4.1.2. Proyeksi Kerentanan Pulau-Pulau Kecil ... 69
4.1.3. Penentuan Bobot Parameter Kerentanan ... 70
4.2 Karakteristik Geofisik ... 72
4.2.1. Pulau Kasu ... 72
4.2.2. Pulau Barrang Lompo ... 76
4.2.3. Pulau Saonek ... 79
4.3 Karakteristik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir ... 83
4.3.1. Pulau Kasu ... 83
4.3.2. Pulau Barrang Lompo ... 86
4.3.3. Pulau Saonek ... 88
4.4 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya ... 91
4.4.1. Pulau Kasu ... 91
4.4.2. Pulau Barrang Lompo ... 92
4.4.3. Pulau Saonek ... 93
4.5 Penilaian Parameter Kerentanan ... 95
4.5.1. Exposure (Keterbukaan/Ketersingkapan) ... 96
4.5.2. Sensitivity (Sensitivitas) ... 97
4.5.3. Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) ... 98
4.6 Perhitungan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil 100
4.6.1. Kerentanan Saat Ini ... 100
4.6.2. Dinamika Kerentanan ... 102
4.7 Proyeksi Perubahan Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil 104 4.7.1. Pulau Kasu ... 104
4.7.2. Pulau Barrang Lompo ... 106
4.7.3. Pulau Saonek ... 107
4.8. Perkiraan Laju Perendaman Daratan Pulau ... 108
4.8.1. Pulau Kasu ... 108
4.8.2. Pulau Barrang Lompo ... 111
4.8.3. Pulau Saonek ... 114
5. PEMBAHASAN ... 117
5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan ... 117
5.2 Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan ... 118
5.2.1. Analisis Parameter Ketersingkapan/Keterbukaan (Exposure) ... 118
5.2.2. Analisis Parameter Sensitivitas (Sensitivity) ... 119
5.2.3. Analisis Parameter Kapasitas Adaptif (adaptive capacity) ... 122
5.3 Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan ... 126
5.3.1. Pulau Kasu ... 128
5.3.2. Pulau Barrang Lompo ... 130
(14)
5.5 Rancangan Strategi Adaptasi ... 134
6. SIMPULAN DAN SARAN ... 140
6.1. Simpulan ... 140
6.2. Saran ... 141
DAFTAR PUSTAKA ... 142
(15)
Tabel 1. Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan ... 12
Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam ... 19
Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir ... 20
Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan ... 25
Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan ... 26
Tabel 6. Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim ... 27
Tabel 7. Peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa dalam pengelolaan pulau-pulau kecil ... 30
Tabel 8. Dampak utama kenaikan muka laut ... 40
Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, Barrang Lompo dan Saonek ... 45
Tabel 10. Beberapa contoh penentuan skala ... 55
Tabel 11. Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan lingkungan pulua-pulau kecil untuk dimensi esxposure dan sensitivity ... 56
Tabel 12. Sistem penskalaan dan scoring tingkat adaptive capacity pulau-pulau kecil ... 57
Tabel 13. Teknik pengumpulan data ... 58
Tabel 14. Kriteria persentasi penutupan karang hidup ... 59
Tabel 15. Kriteria baku kerusakan mangrove ... 60
Tabel 16. Kategori penutupan lamun ... 60
Tabel 17. Random Consistency (RC) ... 65
Tabel 18. Bobot parameter kerentanan pulau-pulau kecil ... 71
Tabel 19. Nilai skor masing-masing parameter kerentanan pulau-pulau kecil . 96 Tabel 20. Karakteristik spesifik masing-masing pulau ... 102
Tabel 21. Perbandingan 2 model indeks kerentanan pulau-pulau kecil ... 118
Tabel 22. Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu ... 129
Tabel 23. Skenario perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo ... 130
Tabel 24. Skenario perubahan kerentanan Pulau Saonek ... 132
(16)
Gambar 1. Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003) ... 9
Gambar 2. Kerangka pikir kajian kerentanan pulau-pulau kecil (Modifikasi dari Schroter et al. 2005; Villa dan Mcleod 2002) ... 11
Gambar 3. Ilustrasi perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil ... 14
Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura, 1999) ... 22
Gambar 5. Dinamika kerentanan pulau-pulau kecil (Preston dan Stafford-Smith 2009) ... 31
Gambar 6. Prototip indikator kerentanan-resiliensi ... 32
Gambar 7. Lokasi penelitian (Pulau Kasu-Kota Batam) ... 44
Gambar 8. Lokasi penelitian (Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar) ... 45
Gambar 9. Lokasi penelitian (Pulau Saonek-Raja Ampat) ... 45
Gambar 10. Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pulau-pulau kecil .... 46
Gambar 11. Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pulau-pulau kecil ... 47
Gambar 12. Diagram pelingkupan kerentanan (vulnerability scoping diagram) pulau-pulau kecil (Adopsi dari Polsky 2007) ... 48
Gambar 13. Alogoritma penyusunan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil ... 62
Gambar 14. Peta ketinggian daratan Pulau Kasu ... 74
Gambar 15. Peta kemiringan Pulau Kasu ... 75
Gambar 16. Peta ketinggian Pulau Barrang Lompo ... 77
Gambar 17. Peta kemiringan Pulau Barrang Lompo ... 78
Gambar 18. Peta ketinggian Pulau Saonek ... 81
Gambar 19. Peta kemiringan Pulau Saonek ... 82
Gambar 20. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Kasu ... 85
Gambar 21. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Barrang Lompo ... 87
Gambar 22. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Saonek ... 90
Gambar 23. Perbandingan nilai parameter exposure ketiga lokasi penelitian . 97 Gambar 24. Perbandingan nilai parameter sensitivity ketiga lokasi penelitian 98 Gambar 25. Perbandingan nilai parameter adaptive capacity ketiga lokasi penelitian ... 99
Gambar 26. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Kasu, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek ... 104
(17)
Gambar 28. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo ... 107 Gambar 29. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Saonek ... 108 Gambar 30. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2020 ... 109 Gambar 31. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2040, 2060,
2080, dan 2100 ... 110
Gambar 32. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2020 . 112
Gambar 33. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2040,
2060, 2080, dan 2100 ... 113 Gambar 34. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun 2020 ... 115 Gambar 35. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun 2040, 2060,
2080, dan 2100 ... 116 Gambar 36. Biplot parameter kerentanan dengan lokasi penelitian
(pulau-pulau kecil) ... 125 Gambar 37. Algoritma kajian kerentanan pulau-pulau kecil ... 127 Gambar 38. Peran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang
meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil ... 137 Gambar 39. Manfaat keanekaragaman hayati terhadap proses dan fungsi
(18)
Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan
pulau-pulau kecil ... 152
Lampiran 2. Penurunan rumus dinamika indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil ... 154
Lampiran 3a. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi ketersingkapan (exposure) ... 156
Lampiran 3b. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi sensitivitas (sensitivity) ... 157
Lampiran 3b. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi adaptif (adaptive capacity) ... 158
Lampiran 4. Rekapitulasi data penelitian ... 159
Lampiran 5. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Kasu ... 161
Lampiran 6. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Barrang Lompo ... 164
(19)
Perubahan iklim dan pemanasan global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (IPCC 2001). Salah satu hal yang akan berubah adalah akselerasi terhadap kenaikan muka laut yang akan menimbulkan dampak lanjutan seperti
perendaman/penggenangan pesisir/pulau-pulau kecil (coastal inundation),
peningkatan banjir, erosi pantai, intrusi air laut dan perubahan proses-proses ekologi di wilayah pesisir. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-fisik ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi, nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan terganggunya sistem lingkungan dan ekonomi pesisir (Klein dan Nicholls 1999). Selain itu, perkembangan daerah pemukiman dan pertumbuhan penduduk yang cepat pada pusat-pusat perkotaan di wilayah pesisir juga merupakan salah satu hal yang akan mengalami perubahan secara fundamental karena perubahan iklim (Nicholls 1995).
Pemanasan global juga berdampak terhadap ketahanan pangan termasuk bagi masyakat pesisir. Pemanasan global dan perubahan iklim akan mempengaruhi ketahanan pangan, terutama dikaitkan dengan suplai dan ketersediaan pangan, stabilitas suplai pangan, akses, dan pemanfaatan pangan. Pemanasan global berdampak terhadap sistem mata pencaharian masyarakat pesisir khususnya nelayan. Kenaikan suhu permukaan laut berdampak terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu karang. Fenomena pemutihan karang karena kenaikan suhu permukaan laut diprakirakan akan berdampak terhadap sumberdaya perikanan yang memiliki habitat ekosistem terumbu karang. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan perikanan. Dengan terganggunya ekosistem pesisir dan perikanan akan berdampak terhadap sumber mata pencaharian masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil (small islands) merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura, 1999). Fenomena ini telah
(20)
ditunjukkan oleh pulau-pulau kecil di beberapa negara SIDS (small island development state) di kawasan Pasifik. Umumnya, pulau-pulau kecil yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut adalah pulau yang memiliki daratan rendah (low-lying). Untuk merespon fenomena ini, kajian kerentanan terhadap kenaikan muka laut dan pengembangan strategi adaptasi menjadi sangat penting. Hal ini telah dilakukan oleh negara-negara kepulauan di kawasan Asia Pasifik sejak tahun 1992. Dalam konteks kerentanan pulau-pulau kecil, Lewis (2009) menyatakan bahwa kerentanan sudah merupakan karakteristik dari pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil sebagai tempat/lokasi yang sangat kecil, menyebabkan seluruh kegiatan di pulau tersebut, baik karena pengaruh dari luar maupun pengaruh internal dari sistem pulau-pulau kecil akan berinteraksi satu sama lainnya di pulau tersebut.
Sekitar 7 persen area daratan muka bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil. Dari jumlah tersebut, Indonesia memiliki kontribusi terbesar terhadap jumlah pulau-pulau kecil di dunia, dimana Indonesia memiliki tidak kurang dari 10 000 pulau kecil. Pulau-pulau kecil ini tergolong unik ditinjau dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya dan daya dukung lingkungannya (Beller 1990). Kawasan pulau-pulau kecil dikenal sebagai kawasan yang memiliki kekayaan sumberdaya cukup besar, seperti kekayaan ekosistem, kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan. Pulau-pulau kecil memiliki ekosistem produktif, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Kawasan pulau-pulau kecil juga menyediakan sumberdaya ikan dan berbagai kekayaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan seperti energi kelautan. Selain itu, pulau-pulau kecil juga menyediakan layanan jasa lingkungan, seperti penyedia nilai-nilai estetika, nilai-nilai sosial, pelindung keanekaragaman hayati dan pelindung atau penghalang bagi daratan dari bencana alam seperti tsunami, gelombang dan badai.
Di satu sisi, pulau-pulau kecil memiliki sejumlah potensi yang dapat dikembangkan seperti disebutkan di atas, namun pada sisi lain juga terdapat sejumlah kendala yang dihadapi dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Ukuran pulau-pulau yang kecil bahkan sangat kecil, merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari ukuran yang
(21)
kecil adalah keterbatasan lahan produktif untuk mendukung (daya dukung lingkungan) kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu, pilihan optimasi pemanfaatan sumberdaya alam pulau-pulau kecil difokuskan pada sumberdaya pesisir dan laut. Letak atau lokasi pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan bahkan terpencil (remote) juga menjadi kendala dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari karakter ini adalah biaya transportasi dan komunikasi menjadi sangat mahal dan menyebabkan pembangunan pulau-pulau kecil sulit mencapai skala ekonomi (economical scale) yang optimal.
Karakteristik pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas, menyebabkan pulau-pulau kecil menjadi salah satu kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Kerentanan (vulnerability) merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak dalam pembangunan
pulau-pulau kecil. Negara-negara yang tergolong dalam SIDS (Small Island
Development State) memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau kecil (SOPAC 2005). Mengingat pentingnya kajian kerentanan ini, maka kajian kerentanan di negara-negara anggota SIDS ini didorong dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan pada tahun 1994 yang menyebutkan bahwa negara-negara kepulauan kecil dalam rangka kerjasama di tingkat nasional, regional dan kerjasama dengan lembaga internasional dan pusat-pusat penelitian, secara kontinyu bekerja untuk mengembangkan indeks kerentanan lingkungan dan indeks lainnya yang menggambarkan status dari negara-negara kepulauan.
Berbeda dengan negara-negara yang tergabung dalam SIDS, Indonesia sebagai negara kepulauan yang sebagian besar pulaunya adalah pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum memiliki indeks kerentanan (Simamora 2009). Beberapa kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia telah dilakukan di beberapa tempat, namun metode dan hasil kajian kerentanan ini belum dijadikan rujukan untuk pengkajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia. Dari berbagai kajian kerentanan yang telah dilakukan, terdapat banyak metode dan atribut kerentanan yang digunakan. Sebagian besar indeks kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan saat ini fokus pada sistem ekonomi dan sosial, dan hanya sebagian kecil kajian kerentanan yang fokus pada kerentanan lingkungan (Atkins
(22)
pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Mimura, 1999). Hal ini berarti bahwa hasil kajian kerentanan hendaknya memberikan kontribusi bagi perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Kajian kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan dalam mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil dan pesisir mengacu pada indikator yang dikembangkan oleh SOPAC (1999) tentang kerentanan lingkungan (environmental vulnerability idex) dan Gornitz (1992) tentang kerentanan pesisir (coastal vulnerability index). Penelitian kerentanan lingkungan yang mengacu pada Konsep SOPAC (1999) telah dilakukan Kaly dan Pratt (2002), Gowrie (2003), dan Turvey (2007). Selain itu juga terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan kerentanan pesisir (coastal vulnerability index) seperti yang dilakukan oleh Pendleton et al. (2004); Boruff et al. (2005); Doukakis (2005), Demirkesen et al. (2008), Rao et al.
(2008), Al-Jeneid et al. (2008) dan DKP (2008).
Seiring dengan perkembangan isu perubahan iklim dan pemanasan global, konsep kerentanan kemudian banyak mendapatkan perhatian dari banyak peneliti. Konsep kerentanan tersebut mengintegrasikan aspek atau dimensi ketersingkan/keterbukaan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity) (Turner et al. 2003; Fussel and Klein 2005; Metzger et
al. (2006); UNU-EHS 2006). Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil,
konsep ini lebih aplikatif dalam rangka membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan ini mengacu kepada konsep yang diuraikan di atas, dalam rangka mengembangkan model indeks kerentanan baru yang dapat diaplikasikan untuk menilai kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil Indonesia memiliki hamparan yang cukup luas, dari barat hingga ke timur ataupun juga dari utara sampai ke selatan. Mengingat penyebaran yang sangat luas, maka dipilih tiga pulau sangat kecil yang berada di wilayah bagian barat, tengah dan timur wilayah Indonesia. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan informasi ilmiah tentang kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Indonesia. Diharapkan kajian ini dapat memperkaya metode dan pendekatan dalam mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang
(23)
selanjutnya dapat digunakan dalam perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Banyak pulau-pulau kecil memiliki kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Posisi pulau-pulau kecil yang remote
merupakan faktor penyebab kerentanan pulau-pulau kecil. Belum lagi berbagai keterbatasan pulau-pulau kecil dalam hal ketersediaan lahan, kemampuan ekonomi turut menjadi faktor yang berperan terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Keberadaan dan kelangsungan sebuah ekosistem pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil (Mimura 1999), dimana kerentanan sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi sistem pulau-pulau kecil akan menentukan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem
pulau-pulau kecil. Kajian kerentanan (vulnerability assessment) akan memberikan
kontribusi terhadap upaya pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan.
Faktor luar yang mempengaruhi kerentanan adalah kenaikan muka laut, kondisi oseanografi khususnya gelombang dan pasang surut, peristiwa alam khususnya kejadian tsunami. Parameter inilah yang dinilai untuk mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil. Kenaikan muka laut adalah fenomena global yang sudah banyak dikaji oleh para ilmuwan. Berbagai kajian dilakukan untuk mengantisipasi kerugian (ekonomi, sosial dan lingkungan) akibat kenaikan muka laut. Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak luput dari ancaman kenaikan muka laut ini. Lebih spesifik lagi, banyak pulau-pulau kecil yang memiliki ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut. Tentunya, pulau-pulau kecil seperti ini merupakan pulau yang memiliki ancaman terbesar terhadap kemungkinan penggenangan daratan pulau. Dilihat dari posisinya terhadap keterbukaan (perairan), ada pulau kecil yang terletak pada perairan sempit (selat ataupun teluk), ada pulau yang terletak pada perairan terbuka (laut). Posisi atau letak pulau-pulau kecil yang demikian tentunya memiliki ancaman yang berbeda karena kenaikan muka laut. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji seberapa besar ancaman kenaikan muka laut terhadap pulau-pulau kecil dilihat
(24)
dari letak pulau-pulau kecil terhadap keterbukaan (perairan) yang dikaitkan dengan kerentanan pulau-pulau kecil.
Karakteristik perairan Indonesia memiliki perbedaan antara perairan di wilayah bagian barat, bagian tengah dan timur. Perbedaan ini berimplikasi terhadap kemungkinan kisaran kenaikan muka laut, hal ini terlihat dari hasil kajian yang dilakukan oleh Hamzah et al. (in press) di Pulau Lombok dan Susandi (2008) di pesisir Sumatera Selatan. Perbedaan karakteristik pulau kecil juga akan menentukan perbedaan kerentanan antara satu pulau kecil dengan pulau kecil lainnya. Pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau datar berbeda dengan pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau berbukit. Hal ini sebagaimana diutarakan Campbell (2006) dalam mengkaji implikasi tipe pulau dengan gangguan alam di kawasan Pasifik. Banyak pulau-pulau kecil Indonesia yang memiliki tipologi pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas. Karakteristik pulau lainnya yang diperkirakan akan menentukan kerentanan pulau kecil adalah seperti yang dikaji Asriningrum (2009), dimana pulau-pulau kecil memiliki korelasi yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan lamun.
Perbedaan pulau-pulau kecil sebagaimana disebutkan di atas, memerlukan upaya atau pendekatan yang berbeda pula dalam menyusun strategi adaptasi dan mitigasi bencana karena gangguan alam seperti kenaikan muka laut. Konsep yang
dikembangkan Turner et al. (2003), mengindikasikan bahwa untuk mengurangi
tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan kapasitas adaptif (adaptive capacity) dari suatu pulau kecil.
Ekosistem pesisir sebagai ekosistem alami pulau-pulau kecil, memiliki kapasitas adaptif yang tinggi terhadap gangguan dari luar terhadap pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, mengintegrasikan ekosistem pesisir dalam menilai kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, merupakan pendekatan baru yang perlu dilakukan. Kapasitas adaptif pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan dengan melakukan intervensi (kebijakan), baik melalui peningkatan kapasitas adaptif alami dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri maupun melalui pembangunan infrastruktur. Intervensi manajemen ini dapat dilakukan dengan mengembangkan pendekatan ‘adaptive management’ yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan
(25)
menyesuaikan kondisi dan permasalahan spesifik dari suatu pulau kecil terkait dengan dampak dari kenaikan muka laut. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah:
• Bagaimana model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang
mampu memperlihatkan peran ekosistem pesisir dalam mengurangi laju kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil
• Bagaimana kerentanan pulau-pulau kecil terkait dengan perubahan iklim
dan kenaikan muka laut.
• Seberapa besar kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia terhadap kenaikan
muka laut dan faktor-faktor yang berinteraksi dengan kenaikan muka laut.
• Seberapa besar dampak kenaikan muka laut terhadap daratan pulau-pulau
kecil.
• Upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas adaptif guna
menurunkan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dan adaptasi terhadap kenaikan muka laut.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil terhadap kenaikan muka laut dan gangguan alam seperti tsunami. Sedangkan tujuan spesifik penelitian adalah:
1. Memformulasikan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. 2. Menganalisis parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil
3. Menduga indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan
memproyeksikan perubahan kerentanan pada masa yang akan datang melalui verifikasi model indeks kerentanan lingkungan pada tiga pulau kecil.
4. Menduga perendaman daratan pulau-pulau kecil akibat kenaikan muka laut. 5. Merancang strategi adaptasi berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Sebagaimana halnya dengan batasan dan pengertian kerentanan pulau-pulau kecil yang memiliki pengertian cukup luas, lingkup kajian kerentanan pulau-pulau kecil juga sangat luas dan beragam. Dilihat dari aspek kajian
(26)
kerentanan, kerentanan pulau kecil dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu kerentanan ekonomi, kerentanan sosial dan kerentanan lingkungan. Masing-masing jenis kerentanan ini memiliki atribut dan tujuan yang berbeda-beda dalam melihat kerentanan suatu pulau-pulau kecil. Penelitian kerentanan pulau-pulau kecil ini merujuk kepada kerentanan lingkungan, yaitu kerentanan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan baik aspek geofisik, biologi/ekologi maupun manusia. Aspek geofisik yang dikaji seperti kenaikan muka laut, kejadian tsunami, dan karakteristik fisik dari daratan pulau. Aspek biologi/ekologi mencakup kuantitas dan kualitas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil. Adapun aspek manusia mencakup demografi, aktivitas pemanfataan lahan pulau-pulau kecil dan pemukiman penduduk.
Kajian spesifik kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, juga memiliki perbedaan baik dari sisi parameter yang dikaji maupun pendekatan yang digunakan. Salah satu konsep yang digunakan dalam kajian kerentanan terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut adalah seperti yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et al. (2003).
Konsep kajian kerentanan yang dikemukakan Turner et al. (2003), menyajikan
pendekatan kajian yang fleksibel, dimana cakupan kajian kerentanan dapat mencakup wilayah yang sangat luas ataupun lingkup yang sempit (lingkup global, regional dan lokal). Perbedaan kedua konsep tersebut di atas adalah terletak pada lingkup kajian, dimana konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) lebih
fokus kepada kerentanan karena perubahan iklim (climate change) sedangkan
konsep yang dikemukakan Turner et al. (2003) mencakup aspek yang lebih luas, tidak terbatas pada perubahan iklim. Namun demikian, kedua konsep kerentanan ini memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kerentanan, yaitu kerentanan
merupakan fungsi dari ketersingkapan/keterbukaan (exposure), sensitivitas
(sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity).
Penelitian ini mengacu kepada kedua konsep di atas, dimana kerentanan pulau-pulau kecil dilihat dari faktor perubahan iklim dan non iklim. Parameter atau indikator kerentanan pulau-pulau kecil dijabarkan ke dalam dimensi
exposure, sensitivity, dan adaptive capacity, yang masing-masing parameter
(27)
pelingkupan kerentanan (Polsky et al. 2007). Tekanan perubahan alam dan aktivitas manusia akan mempengaruhi keberadaan dan sistem yang terdapat di suatu pulau kecil. Seberapa besar pengaruh ini sangat ditentukan oleh tingkat keterbukaan/ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif dari pulau tersebut. Dengan mengacu pada konsep kerentanan tersebut di atas, secara diagramatik ruang lingkup penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003)
1.5. Kerangka Pemikiran
Tekanan lingkungan (alam dan manusia), termasuk perubahan iklim telah meningkatkan akselerasi terhadap kenaikan muka laut, baik pada skala global, regional maupun lokal. Akselerasi kenaikan muka laut mengancam keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dampak utama dari kenaikan muka laut terhadap sistem pulau-pulau kecil adalah meningkatnya resiko penggenangan dan banjir, mempercepat laju erosi pantai, intrusi air laut dan gangguan terhadap ketersediaan air bersih (IPCC 1990). Dalam konteks yang lebih luas, kenaikan muka laut telah menyebabkan meningkatnya kerentanan pulau-pulau kecil yang diiringi oleh
(28)
penurunan kemampuan sistem pulau-pulau dalam menopang kelangsung hidup sistem pulau dan masyarakat yang ada di pulau tersebut. Selain kenaikan muka laut, kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga diperparah oleh berbagai fenomena alam lain seperti tsunami, badai, dan sebagainya.
Untuk mengantisipasi dampak yang lebih parah dari kenaikan muka laut terhadap keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil, banyak negara telah mengembangkan atau menggalakkan kajian kerentanan, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan. Penelitian ini memformulasikan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, yang kemudian melakukan verifikasi terhadap model kerentanan yang dibangun pada tiga pulau kecil yang memiliki karakteristik yang berbeda baik dari aspek geografis, ekosistem maupun kondisi sosial masyarakatnya. Sebagaimana telah diuraikan bahwa lingkup penelitian ini
mengacu pada konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et
al. (2003), yang mendefinisikan kerentanan sebagai fungsi dari exposure,
sensitivity dan adaptive capacity.
Untuk membangun kedua konsep di atas supaya menjadi operasional dalam mengkaji kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, digunakan konsep
metodologi yang dikemukakan Villa dan McLeod (2002) dan Schroter et al.
(2005). Villa dan McLeod (2002) mengembangkan kerangka teori yang mampu menghasilkan indikator kerentanan. Menurutnya dalam melakukan kajian kerentanan diperlukan 3 model, yaitu model sistem, model kerentanan dan model matematik. Dalam konteks penelitian ini, sistem model yang digunakan adalah sistem pulau-pulau kecil yang menjadi objek penelitian. Model sistem ini dibatasi pada luasan yang meliputi daratan pulau-pulau kecil beserta hamparan habitat pesisir (ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu). Model kerentanan yang diacu adalah kerentanan yang didefinisikan sebagai fungsi dari dimensi exposure, sensitivity
dan adaptive capacity, yang mana masing-masing dimensi ini memiliki parameter-parameter lingkungan yang terukur. Adapun model matematik adalah persamaan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (IK-PPK), baik
persamaan matematik yang statis maupun dinamis. Sementara schroter et al.
(29)
kerentanan. Kedelapan tahapan tersebut, merupakan langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan dalam mengkaji kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Dengan melakukan modifikasi dan menggabungkan kedua konsep metodologi tersebut, maka secara diagramatik kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini seperti tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka pikir kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (Modifikasi dari Schroter et al. 2005; Villa dan McLeod 2002)
1.6. Hipotesis
Berdasarkan perbedaan karakteristik ketiga pulau yang dipilih sebagai lokasi untuk memverifikasi model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi dalam penelitian ini, diduga ada perbedaan kerentanan lingkungan di
(30)
antara ketiga pulau-pulau kecil tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini membandingkan tingkat kerentanan lingkungan ketiga pulau kecil tersebut. Perbedaan kerentanan lingkungan ketiga pulau ini berimplikasi pada konsep pengelolaan yang perlu dikembangkan untuk tetap mempertahankan eksistensi dan proses pembangunan secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil.
1.7 Kebaharuan (Novelty)
Kajian kerentanan sudah dimulai sejak tahun 1970. Kajian kerentanan yang banyak dilakukan saat ini mencakup aspek yang lebih luas dibandingkan kajian kerentanan sebelumnya (Lewis 2009). Namun demikian, kajian kerentanan ini lebih banyak fokus pada aspek sosial ekonomi, yang secara geografi memiliki karakteristik yang spesifik (Atkins, 1998). Indeks kerentanan ekonomi diantaranya dikembangkan Briguglio (1995, 1997), The Commonwealth Secretariat (Wells 1996, 1997); Pantin (1997), Atkins et al. (1998), the Caribbean Development Bank (Crowards 1999), dan Adrianto dan Matsuda (2004).
Indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dikembangkan oleh
negara-negara kepulauan dalam kelompok SIDS (Small Island Development
States). Indeks kerentanan lingkungan ini telah diaplikasikan oleh Kaly dan Pratt (2000), Gowrie (2003), dan Turvey (2007) untuk menilai kerentanan beberapa negara kepulauan. Pendekatan yang digunakan dalam penentuan indeks kerentanan lingkungan ini adalah dengan memasukkan berbagai parameter yang berkaitan dengan tekanan dari faktor iklim, non iklim dan manusia. Kajian kerentanan (indeks kerentanan) khususnya terhadap pesisir (coastal vulnerability indeks) juga banyak dilakukan dengan mengacu kepada konsep yang
dikemukakan Gornitz (1992) seperti yang dilakukan Pendleton et al. (2004);
Boruff et al. (2005); Doukakis (2005), Demirkesen et al. (2008), Rao et al.
(2008), Al-Jeneid et al. (2008) dan DKP (2008). Secara ringkas tinjauan (review) kajian-kajian kerentanan ini disajikan pada Tabel 1.
(31)
Tabel 1. Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan
Konsep Kajian
Kerentanan Peneliti Tinjauan SOPAC (1999)
Kaly UL dan Pratt C (2002) Penelitian ini baru mampu menghitung indeks kerentanan sesaat
Gowrie MN (2003)
Gornitz (1992) Pendleton EA et al. (2004) • Penelitian ini hanya menyajikan kerentanan sesaat.
• Penelitian ini tidak
mengintegrasikan ekosistem pesisir (habitat pesisir) sebagai suatu ekosistem yang mampu mengurangi kerentanan pesisir/PPK. DKP (2008) memasukkan terumbu karang dan mangrove sebagai parameter penghitungan kerentanan Boruff BJ et al. (2005)
Doukakis (2005) Rao et al. (2008)
Departemen Kelautan dan Perikanan (2008)
Berdasarkan konsep kerentanan yang diacu dalam penelitian ini, bahwa kerentanan merupakan fungsi dari exposure, sensitivity, dan adaptive capacity, penelitian ini memiliki kelebihan dibandingkan kajian-kajian kerentanan lingkungan yang disajikan pada Tabel 1. Kelebihan tersebut terkait dengan diintegrasikannya ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Pesisir dan pulau-pulau kecil umumnya memiliki ekosistem yang mampu menekan atau memperkecil kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil yang disebut dengan kapasitas adaptif. Dengan menggunakan konsep kerentanan ini, dapat diketahui seberapa besar peran ekosistem pesisir tersebut mampu menekan kerentanan lingkungan yang akan terjadi. Salah satu karakteristik kerentanan adalah bersifat dinamik. Menurut Preston dan Stafford-Smith (2009) kerentanan akan selalu mengalami perubahan, karena adanya perubahan faktor-faktor yang berhubungan dengan kerentanan itu sendiri. Untuk mengetahui perbedaan antara kajian kerentanan yang telah dilakukan sebelumnya, baik penelitian yang mengacu kepada konsep kerentanan SOPAC (1999) maupun Gornitz (1992) dengan penelitian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang dilakukan ini, sajikan ilustrasi perubahan kerentanan pada Gambar 3.
(32)
Gambar 3. Ilustrasi perubahan kerentanan pulau-pulau kecil
Kerentanan sebagaimana dikemukakan Preston dan Stafford-Smith (2009)
akan mengalami perubahan seperti pada V1, sedangkan kajian kerentanan yang
telah dilakukan hanya mampu menghasilkan satu nilai kerentanan (kerentanan sesaat semisal V0 jika kerentanan diukur pada t=0). Berbeda dengan penelitian
ini, kajian yang dilakukan akan menghasilkan nilai kerentanan secara dinamik
(V1) dan juga mampu memproyeksikan perubahan kerentanan dengan melakukan
penataan kapasitas adaptif (AC) suatu pulau kecil (V1-V2). Peran ekosistem
pesisir pulau-pulau kecil dalam meningkatkan kapasitas adaptif pulau telah dikemukakan oleh Othman (1994), Barnet dan Adger (2003), Mazda et al. (2007) dan McClanahan et al. (2008). Dengan mengkonstruksi model indeks kerentanan lingkungan yang baru dengan mengintegrasikan parameter ekosistem pesisir, maka kebaharuan dari penelitian ini adalah terformulasikannya model baru dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang juga mengkuantifikasi peran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menurunkan kerentanan lingkungan baik kerentanan sesaat maupun dinamika kerentanan.
(33)
Pulau dapat didefinisikan dan dikategorikan dalam berbagai cara, dan masing-masing memiliki tujuan yang sangat bermanfaat, namun tidak tersedia satu definisi tunggal atau kategori tunggal yang mengakomodir seluruh kebutuhan pendefinisian pulau. Definisi yang paling banyak tersedia tentang pulau cenderung kepada masalah ukuran pulau (Granger 1993). Ada beberapa kriteria tambahan yang menjadi pembatas dalam penentuan definisi pulau seperti
remoteness, morfologi, ukuran populasi/jumlah penduduk dan pendapatan domestik bruto. Pulau-pulau juga dapat dikategorikan berdasarkan aspek fisik seperti posisinya terhadap katulistiwa (lintang) (seperti pulau tropis, temperate
atau artik), berdasarkan proses geologi atau struktur pulau (pulau kontinental dan oseanik), berdasarkan hidrologi (daerah run-off), berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (pulau dataran rendah atau pulau berbukit).
Pengertian pulau berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention of the
Law of the Sea) 1982 adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul/berada di atas permukaan laut pada saat pasang tertinggi, memiliki kemampuan menghidupi penduduknya atau kehidupan ekonominya dan memiliki dimensi ekonomi yang lebih kecil dari ekonomi kontinental. Pengertian pulau sebagaimana yang diutarakan dalam UNCLOSS 1982 di atas memiliki beberapa kata kunci, yaitu (1) lahan daratan, (2) terbentuk secara alamiah, (3) dikelilingi oleh air/lautan, (4) selalu di atas permukaan pada saat pasang, dan (5) memiliki kemampuan ekonomi untuk menghidupi penduduknya. Ukuran pulau tersebut bervariasi mulai dari pulau yang hanya beberapa meter persegi sampai jutaan kilometer persegi. Berdasarkan ukurannya, pulau dapat dibedakan menjadi pulau besar, pulau kecil dan pulau sangat kecil (Bengen dan Retaubun 2006).
Adapun batasan tentang pulau-pulau kecil terus mengalami perkembangan dan berubah-rubah. Kombinasi antara luas dan jumlah penduduk dari suatu pulau merupakan salah satu parameter yang banyak diusulkan dalam menentukan kategori pulau, misalnya luas pulau antara 13 000 – 20 000 km2 dengan penduduk
(34)
antara 1.0 - 1.20 juta orang. Pulau kecil pada awalnya dibatasi sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10 000 km2 dengan jumlah penduduk 500 000 orang, batasan yang sama juga digunakan Hess (1990) dengan jumlah penduduk sama atau kurang dari 200 000 orang. Alternatif batasan pulau kecil juga dikemukakan pada
pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum 5 000 km2
(Bengen dan Retraubun 2006). Lillis (1993) menggunakan kriteria tambahan seperti area permukaan pulau, GNP (gross nasional product) dan ukuran populasi untuk menentukan sistem pulau di kawasan Pasifik menjadi pulau kecil, pulau sangat kecil dan pulau mikro.
Batasan pulau-pulau kecil yang dianut Indonesia selama ini belum ada yang baku. Batasan pulau kecil yang baku baru ditetapkan dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Batasan pulau kecil yang dianut adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Implikasi dari penentuan batasan pulau kecil ini bagi pengelolaan pulau-pulau berkelanjutan adalah dibatasinya peruntukan lahan dan perairan pulau-pulau kecil pada beberapa kegiatan pemanfaatan saja. Pemanfaatan pulau-pulau kecil Indonesia diprioritaskan untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik, dan/atau peternakan.
2.2 Tipe Pulau-pulau Kecil
Pulau-pulau kecil yang ada di dunia dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya berdasarkan tipe dan asal pembentukan pulau atau berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut (Bengen dan Retraubun 2006). Berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut, pulau kecil dibagi menjadi pulau datar dan pulau berbukit, sebagai berikut:
2.2.1 Pulau Datar
Pulau datar adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau ini berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini merupakan pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan dan tsunami. Oleh karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka
(35)
massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau. Jenis-jenis pulau datar adalah sebagai berikut:
1. Pulau Atol: Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin. Umumnya pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh
adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik dan adanya
pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol yang cukup terkenal di Indonesia adalah pulau-pulau yang terdapat di gugus pulau di Takabone Rate.
2. Pulau Karang:Pulau karang adalah pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Banyak pulau-pulau di Indonesia yang memiliki ekosistem terumbu karang. Pulau koral/karang atau pulau teras terangkat umumnya sangat subur dan hijau, karena mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, sehingga memiliki sumber air tawar yang banyak bagi kehidupan habitat dan manusia. Contoh-contoh pulau karang terdapat di wilayah Maluku.
3. Pulau Aluvium: Pulau aluvium terbentuk karena proses pengendapan yang biasanya terjadi di sekitar muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut. Pulau-pulau di pantai timur Sumatera dan pulau-pulau di delta-delta di Kalimantan merupakan tipe pulau endapan atau pulau aluvium.
2.2.2. Pulau Berbukit
Pulau berbukit adalah pulau dataran tinggi yang memiliki ketinggian di atas muka laut yang relatif tinggi. Umumnya pulau ini memiliki ketinggian lebih dari 10 m di atas pemukaan laut. Pulau-pulau yang tergolong pulau berbukit adalah pulau tektonik, pulau vulkanik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran.
1. Pulau Tektonik: Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias, Pulau Siberut dan Pulau Enggano. Sumberdaya air di pulau tektonik lebih banyak dijumpai sebagai aliran sungai, dan sangat sedikit air tanah.
(36)
2. Pulau Vulkanik: Pulau vulkanik adalah pulau yang sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah
basalt, silica (kadar rendah). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunung api dan terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate).
3. Pulau Karang Timbul:Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik. Setelah berada di atas permukaan air laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan terumbu dan terbentuk pulau karang timbul. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda.
4. Pulau Petabah: Pulau petabah adalah pulau yang terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik. Pulau seperti ini antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau petabah sering terdiri atas batuan ubahan, intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, seperti Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Belitung.
5. Pulau Genesis campuran: Pulau genesis campuran adalah pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih genesis pulau-pulau tersebut di atas. Potensi air di pulau genesis campuran tergantung pada genesis pulau yang bergabung, dan dapat berupa sumber air yang mengalir sepanjang tahun maupun aliran air permukaan dengan jumlah yang biasanya terbatas. Pulau-pulau seperti Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Kisar dan Pulau Rote adalah contoh pulau genesis campuran.
(37)
Salah satu kawasan di dunia yang memiliki banyak hamparan pulau-pulau kecil adalah kawasan Pasifik. Campbell (2006) mengelompokkan pulau-pulau kecil di kawasan pasifik menjadi 4 tipe pulau, yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau atol dan pulau karang terangkat. Keempat tipe pulau tersebut memiliki implikasi yang berbeda terhadap gangguan alam, seperti gangguan dari bencana alam, ketersingkapan dan sebagainya. Hubungan antara tipe pulau dengan implikasi terhadap bahaya gangguan alam di kawasan Pasifik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam
No. Tipe Pulau Implikasi Terhadap Bahaya Gangguan Alam
1. Pulau Kontinental
• Sangat luas
• Memiliki elevasi tinggi
• Keanekaragaman tinggi
• Ketersediaan tanah yang cukup untuk kegiatan pertanian • Sistem aliran sungai dataran
• Berada pada daerah subduksi dan
mudah mendapatkan pengaruh dari gempa bumi dan aktivitas vulkanik
• Masalah banjir merupakan
masalah yang utama di pulau ini
2. Pulau Vulkanik
• Memiliki slope yang curam
• Ada penghalang karang
• Daratan lebih kecil dibandingkan pulau kontinental
• Memiliki sistem aliran sungai dataran yang lebih kecil dibandingkan kontinental
• Sungai-sungai kecil dapat menyebabkan banjir
• Karena ukurannya besar pulau ini tidak terekspose terhadap badai trofis
3. Pulau Atol
• Lahan daratan sangat terbatas • Elevasi sangat rendah
• Tidak tersedia air permukaan
• Terekspose terhadap badai, pasang dan gelombang
• Sangat terbatas sumberdaya alam
• Air permukaan merupakan
masalah utama
4. Pulau Karang Terangkat
• Slope outer curam • Pesisir dataran sempit • Tidak ada air permukaan • Tidak ada atau sangat minim
tanah pertanian
• Sangat tergantung pada ketinggian, ekspose terhadap badai
• Air permukaan terbatas
Sumber: Campbell (2006).
Kajian karakteristik pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan Asriningrum (2009). Kajian yang dilakukan adalah melihat keterkaitan atau hubungan antara
(38)
karakteristik pulau kecil dengan pertumbuhan atau perkembangan ekosistem pesisir. Kajian dilakukan pada tiga tipe pulau, yaitu pulau tektonik, pulau vulkanik dan pulau karang dengan kemungkinan keberadaan atau pertumbuhan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun pada ketiga pulau tersebut. Hasil kajiannya pada beberapa pulau kecil di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara pulau tektonik, vulkanik dan pulau karang sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir
Ekosistem Laut
Tipe pulau kecil
Tektonik Vulkanik Karang
Mangrove tumbuh lebih baik
pada pantai landai dan datar yang lebih terlindung
tumbuh pada sisi pulau yang datar dan terlindung
sulit tumbuh
Terumbu karang tumbuh lebih baik pada pantai terjal berbatu yang menghadap laut lepas aktivitas vulkanik semakin rendah terumbu karang semakin baik
tumbuh lebih baik pada posisi perairan laut yang lebih terbuka
Lamun tumbuh lebih baik
pada daerah yang lebih terlindung
tumbuh pada sisi pulau yang terlindung
sulit tumbuh
Sumber : Asriningrum (2009)
2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu
Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan pesisir secara terpadu. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan, perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan karakteristik dari wilayah pesisir. Aspek keterpaduan dari pengelolaan pesisir terpadu adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah (lokal-nasional), keterpaduan wilayah/spasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen, dan keterpaduan internasional. Sementara itu, Dahuri et al. (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
(39)
sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan lebih dari satu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Jika merujuk kepada definisi wilayah pesisir yang dianut oleh Indonesia dimana wilayah pesisir dibatasi dengan wilayah kecamatan pesisir ke arah darat dan sejauh 12 mil ke arah laut, maka hampir seluruh wilayah pulau-pulau kecil merupakan wilayah pesisir (UU No. 27/2007). Namun jika pengertian wilayah pesisir dirujuk kepada batasan yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan yang ke arah daratnya dibatasi oleh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses di laut (intrusi air laut) dan ke arah laut sejauh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses di darat (sedimentasi), maka batas wilayah pesisir di pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh geomorfologi pulau kecil. Pendekatan ICM pada pulau-pulau kecil lebih jauh dibahas Calado et al. (2007). Karakteristik pulau (termasuk pulau kecil) yang dikelilingi perairan/lautan, luasannya (wilayah daratannya) yang kecil, jarak dari daratan besar yang sangat jauh menyebabkan pulau kecil sebagai sebuah sistem tertutup (Calado et al. 2007), hal ini memiliki implikasi yang sangat besar terkait dengan proses perencanaan dan pengelolaan spasial pulau-pulau kecil. Karena sifatnya yang remotness, terisolasi, sangat kecil dan merupakan sistem tertutup, membuat perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil memiliki tantangan yang lebih besar baik ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan maupun kebutuhan teknologi.
Calado et al. (2007) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan strategi
pengelolaan pesisir terpadu untuk pulau-pulau kecil, penyusunan strategi pengelolaan pesisir terpadu merupakan sebuah pemikiran positif untuk memulai proses inisiasi dialog, peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, peningkatan kesadaran terhadap permasalahan pesisir. Towle (1985) menekankan bahwa karena karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, maka dalam mengimplementasikan pengelolaan terpadu harus menghindari bias kontinental pada saat merancang program pengelolaan pulau-pulau kecil.
Pengelolaan pulau-pulau kecil pada prinsipnya bagaimana menata aktivitas
manusia dalam memanfaatkan ekosistem daratan (terrestrial ecosystem) dan
(40)
keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil merupakan persinggungan antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan (terrestrial ecosystem) dan lingkungan perairan (marine environment).
Hubungan lebih lanjut antara kerentanan dan keberlanjutan dari suatu sistem pulau-pulau kecil digambarkan Mimura (1999). Adanya faktor eksternal akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam sistem internal pulau-pulau kecil yang digambarkan sebagai interaksi sistem pulau-pulau kecil. Interaksi yang terjadi dalam sistem pulau-pulau kecil selanjutnya akan mempengaruhi kerentanan dan resiliensi dari pulau-pulau kecil tersebut. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi kedua komponen tersebut akan menentukan tingkat resiliensi dan kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulau-pulau kecil (Gambar 4).
Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura 1999)
Manusia
Ekonomi Tekanan Internal (Internall Stresses)
Sumberdaya alam
Kelembagaan Sosial budaya
Infrastruktur
Tekanan Luar (External Stresses)
Komponen Sistem Resiliensi
Komponen Sistem Kerentanan
Kemampuan Keberlanjutan Sistem pulau‐pulau
(41)
Bagi negara-negara kepulauan, pendekatan sistem pengelolaan pulau sebagai suatu pendekatan multidisiplin, mekanisme keterpaduan dan menawarkan suatu strategi pengelolaan adaptif untuk mengatasi isu-isu konflik pemanfaatan sumberdaya dan menyediakan sebuah kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan, yang berorientasi untuk mengontrol dampak akibat intervensi manusia terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Efektifitas pendekatan ini sangat tergantung pada kerangka kelembagaan dan kerangka hukum yang mengkoordinasikan seluruh sektor baik publik maupun swasta dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
2.4. Kerentanan Pulau-Pulau Kecil
Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan pulau. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan. Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekwensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut.
Lewis (2003) mengemukakan beberapa alasan, mengapa pulau-pulau kecil menjadi rentan. Alasan yang dikemukakan adalah pulau-pulau kecil memiliki ukuran yang kecil, rendahnya sumberdaya berbasis daratan, relatif memiliki aksesibilitas yang rendah. Pelling dan Uitto (2001) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-pulau kecil rentan, yaitu (1) ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan, (2) insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama, (3) masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan, (4) kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas, (5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan (6) faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.
(42)
Tompkins et al. (2005) juga menyatakan hal yang sama bahwa pulau-pulau kecil secara ekonomi, sosial dan fisik rentan secara alamiah. Katidakmampuan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domestik, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dari luar. Keterbatasan lahan daratan sebagai karakteristik utama pulau-pulau kecil membuat terbatasnya tempat untuk manusia, lahan untuk pembangunan infrastruktur, lahan untuk pembuangan limbah dan lahan untuk pertanian. Banyak pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, badai tropis dan gelombang laut.
Dalam kaitannya dengan pembangunan pulau-pulau kecil, ada dua faktor yang menjadi penghambat, yaitu terkait dengan skala dan lokasi pulau-pulau kecil. Ukuran pulau yang kecil dan pragmentasi dari gugus pulau merupakan contoh keterbatasan dalam hal skala pulau. Pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya (darat) dan keterbatasan ruang. Hal ini menjadi hambatan fisik untuk pembangunan infrastruktur di pulau-pulau kecil. Namun demikian, baik skala maupun lokasi sangat tergantung pada posisi pulau-pulau kecil tersebut terhadap alur transportasi laut dan udara. Negara-negara maju tidak mengalami hambatan terkait dengan faktor skala dan lokasi seperti Hawai dan Singapore (Brookfield 1990).
Banyak kajian yang sudah dilakukan untuk mengkaji kerentanan ekologi dan ekonomi dari suatu sistem pulau pada berbagai skala ruang/lokasi yang berbeda. Hasil kajian tersebut kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang berbeda. Banyak peneliliti yang menyatakan bahwa isu utama pulau-pulau kecil
bukan karena keterisolasian dan smallness semata, tetapi juga masalah
pembangunan yang dilakukan di pulau-pulau kecil. Menurut Farrel (1991)
permasalahan esensi yang dihadapi oleh suatu negara kepulauan kecil (small
island development stated) adalah keterbatasan atau hanya sedikit hal yang dapat diperbuat karena karakteristiknya yang smallness dari pulau kecil tersebut.
2.4.1. Konsep Kerentanan
Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Menurut Ford (2002), pengertian kerentanan mengandung dua aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan
(43)
cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara. Pada Tabel 4 disajikan beberapa pengertian kerentanan.
Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan
Nama Tahun Pengertian
Timmerman 1981 Derajat atau tingkatan pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik.
Susman et al. 1983 Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda dalam hal resiko baik suatu kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial
Kates et al. 1985 Kapasitas yang dapat diadaptasi dari suatu gangguan atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik
UN Department of Humanitarian Affairs
1992 Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam
Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya Watts dan
Bohle
1993 Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari keterbukaan, kapasitas dan potensial, dimana respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, dan atau menguatkan potensi pemulihan
Blaikie et al. 1994 Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi mengatasi, resisten dan memulihkan diri dari dampak bencana alam
Bohle et al. 1994 Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan
Dow dan Downing
1995 Perbedaan kepekaan dari keadaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi
Smith 1996 Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian
Vogel 1998 Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim
Adger dan Kelly
1999 Kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuannya mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka.
(44)
Nama Tahun Pengertian
Karsperson et al.
2001 Tingkatan pada suatu sistem yang dipengaruhi oleh keterbukaan atau gangguan/tekanan dan kemampuan untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan
Liechenko and O’Brien
2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi nasional dan internasional yang mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi Sumber : Disadur dari Ford (2002)
Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari faktor eksternal. Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami kerusakan (SOPAC 2005). Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya) yang dapat dirusak. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat didefinisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang beragam (Campbell 2009), sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan
Synonym Antonym
Inggris Indonesia Inggris Indonesia
weak lemah strong kuat
powerless sangat lemah powerfull sangat kuat insecure tidak terjamin secure terjamin
passive pasif active aktif
expose terbuka covered tertutup
unprotected tidak terlindung protected terlindung unstable tidak stabil stable stabil
risk beresiko safety aman
constrained/limited terbatas free/unlimited tidak terbatas
fragile rapuh robust tegap
small sempit large luas
peripheral tidak memusat central terpusat marginal terpinggirkan impotant penting dependent tidak bebas independent bebas
(1)
Lampiran 6. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Barrang Lompo
Tahun Nilai Indeks Kerentanan Berdasarkan Skenario Pengelolaan Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2
2010 7.67 7.67 7.67
2011 8.506015922 8.333975163 8.065873256
2012 9.370807565 9.03070181 8.459453001
2013 10.22451875 9.720254576 8.850752522
2014 11.06729144 10.40270733 9.23978503
2015 11.89926579 11.07813317 9.626563659
2016 12.72058016 11.74660445 10.01110147
2017 13.53137114 12.40819279 10.39341143
2018 14.33177356 13.06296905 10.77350647
2019 15.12192053 13.71100337 11.15139941
2020 15.90194345 14.35236518 11.527103
2021 16.67197204 14.98712317 11.90062994
2022 17.43213434 15.61534534 12.27199283
2023 18.18255679 16.23709899 12.64120421
2024 18.92336418 16.85245072 13.00827655
2025 19.65467969 17.46146646 13.37322224
2026 20.37662496 18.06421143 13.73605359
2027 21.08932003 18.6607502 14.09678286
2028 21.79288343 19.25114669 14.45542223
2029 22.48743217 19.83546413 14.81198381
2030 23.17308174 20.41376511 15.16647963
2031 23.84994618 20.98611159 15.51892166
2032 24.51813804 21.55256488 15.86932179
2033 25.17776844 22.11318565 16.21769187
2034 25.82894709 22.66803395 16.56404365
2035 26.47178227 23.21716924 16.90838882
2036 27.10638088 23.76065033 17.25073901
2037 27.73284847 24.29853543 17.59110578
2038 28.35128921 24.83088218 17.92950062
2039 28.96180594 25.35774759 18.26593494
2040 29.56450021 25.8791881 18.60042012
2041 30.15947223 26.39525958 18.93296745
2042 30.74682095 26.90601729 19.26358814
2043 31.32664405 27.41151597 19.59229337
2044 31.89903796 27.91180975 19.91909422
2045 32.46409785 28.40695224 20.24400174
2046 33.0219177 28.89699646 20.56702689
2047 33.57259028 29.38199492 20.88818058
2048 34.11620717 29.86199957 21.20747365
2049 34.65285876 30.33706182 21.52491688
(2)
Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2
2051 35.70562191 31.27256219 22.15429662
2052 36.22190854 31.73310051 22.46625439
2053 36.73158005 32.18889688 22.77640481
2054 37.23472121 32.64000012 23.08475835
2055 37.73141569 33.08645855 23.39132544
2056 38.22174608 33.52832 23.69611642
2057 38.70579394 33.96563181 23.99914157
2058 39.18363975 34.3984408 24.30041113
2059 39.65536299 34.82679336 24.59993527
2060 40.1210421 35.25073537 24.89772411
2061 40.58075452 35.67031223 25.19378769
2062 41.03457671 36.0855689 25.48813601
2063 41.48258413 36.49654986 25.780779
2064 41.9248513 36.90329913 26.07172656
2065 42.36145175 37.30586029 26.3609885
2066 42.79245809 37.70427646 26.64857458
2067 43.21794201 38.09859031 26.93449452
2068 43.63797426 38.48884409 27.21875797
2069 44.05262469 38.87507961 27.50137452
2070 44.46196225 39.25733823 27.78235372
2071 44.86605503 39.6356609 28.06170506
2072 45.26497022 40.01008816 28.33943796
2073 45.65877416 40.38066011 28.6155618
2074 46.04753234 40.74741644 28.8900859
2075 46.43130942 41.11039645 29.16301953
2076 46.8101692 41.46963902 29.43437191
2077 47.18417471 41.82518263 29.70415219
2078 47.55338814 42.17706536 29.97236949
2079 47.91787087 42.52532492 30.23903286
2080 48.27768354 42.8699986 30.5041513
2081 48.63288598 43.21112334 30.76773376
2082 48.98353726 43.54873567 31.02978915
2083 49.32969568 43.88287175 31.2903263
2084 49.67141882 44.21356739 31.54935402
2085 50.00876351 44.540858 31.80688105
2086 50.34178584 44.86477864 32.06291609
2087 50.67054121 45.18536403 32.31746777
2088 50.99508427 45.50264848 32.5705447
2089 51.315469 45.81666601 32.82215541
(3)
Tahun Nilai Indeks Kerentanan Berdasarkan Skenario Pengelolaan Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2
2093 52.55648008 47.04073433 33.81410527
2094 52.85685885 47.33891487 34.05851135
2095 53.15338891 47.63402519 34.30150145
2096 53.44611957 47.92609688 34.54308378
2097 53.7350995 48.21516124 34.78326649
2098 54.02037678 48.50124924 35.02205769
2099 54.30199883 48.78439152 35.25946543
(4)
Tahun Nilai Indeks Kerentanan Berdasarkan Skenario Pengelolaan
Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2
2010 6.18 6.18 6.18
2011 6.964306144 6.611292079 6.425378533
2012 7.739801974 7.03991998 6.669894697
2013 8.506586459 7.465900161 6.913551522
2014 9.264757455 7.889248978 7.156352029
2015 10.01441172 8.309982684 7.398299227
2016 10.75564492 8.728117434 7.639396114
2017 11.48855166 9.143669283 7.87964568
2018 12.21322547 9.556654185 8.119050903
2019 12.92975883 9.967087996 8.357614749
2020 13.63824319 10.37498648 8.595340175
2021 14.33876895 10.78036529 8.832230128
2022 15.03142553 11.18323999 9.068287545
2023 15.71630132 11.58362606 9.303515351
2024 16.39348372 11.98153886 9.537916462
2025 17.06305916 12.37699367 9.771493783
2026 17.72511308 12.77000568 10.00425021
2027 18.37972998 13.16058998 10.23618863
2028 19.0269934 13.54876156 10.46731191
2029 19.66698594 13.93453533 10.69762292
2030 20.29978927 14.3179261 10.92712452
2031 20.92548417 14.69894858 11.15581954
2032 21.54415047 15.07761741 11.38371083
2033 22.15586713 15.45394713 11.61080121
2034 22.76071222 15.82795219 11.8370935
2035 23.35876293 16.19964694 12.06259049
2036 23.95009558 16.56904566 12.28729498
2037 24.53478564 16.93616253 12.51120976
2038 25.11290772 17.30101164 12.73433761
2039 25.68453561 17.66360701 12.95668128
2040 26.24974225 18.02396256 13.17824354
2041 26.80859978 18.38209212 13.39902714
2042 27.36117952 18.73800944 13.6190348
2043 27.90755199 19.09172818 13.83826925
2044 28.44778692 19.44326194 14.05673322
2045 28.98195324 19.7926242 14.27442941
2046 29.51011914 20.13982838 14.49136052
2047 30.03235201 20.48488781 14.70752924
(5)
Tahun Nilai Indeks Kerentanan Berdasarkan Skenario Pengelolaan
Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2
2051 32.06327503 21.84394179 15.56463362
2052 32.55682764 22.17847457 15.77703038
2053 33.04483605 22.51094088 15.98868068
2054 33.52736253 22.84135348 16.19958715
2055 34.00446867 23.16972505 16.40975239
2056 34.47621535 23.49606821 16.61917903
2057 34.94266278 23.82039547 16.82786964
2058 35.40387048 24.14271931 17.03582682
2059 35.85989732 24.46305208 17.24305315
2060 36.31080149 24.7814061 17.4495512
2061 36.75664053 25.09779358 17.65532352
2062 37.19747135 25.41222667 17.86037266
2063 37.63335021 25.72471744 18.06470117
2064 38.06433272 26.0352779 18.26831157
2065 38.4904739 26.34391996 18.4712064
2066 38.91182812 26.65065548 18.67338817
2067 39.32844916 26.95549624 18.87485938
2068 39.74039019 27.25845393 19.07562253
2069 40.14770378 27.55954019 19.27568011
2070 40.55044191 27.85876658 19.4750346
2071 40.94865598 28.15614459 19.67368847
2072 41.3423968 28.45168564 19.87164418
2073 41.73171464 28.74540107 20.06890419
2074 42.11665916 29.03730216 20.26547093
2075 42.49727951 29.32740012 20.46134686
2076 42.87362424 29.61570608 20.65653438
2077 43.2457414 29.90223113 20.85103594
2078 43.61367847 30.18698625 21.04485393
2079 43.97748241 30.46998238 21.23799075
2080 44.33719965 30.75123039 21.43044881
2081 44.69287608 31.03074107 21.62223048
2082 45.04455711 31.30852516 21.81333815
2083 45.39228762 31.58459332 22.00377418
2084 45.73611198 31.85895616 22.19354093
2085 46.07607408 32.1316242 22.38264076
2086 46.41221729 32.40260791 22.57107601
2087 46.74458451 32.67191771 22.75884901
2088 47.07321817 32.93956392 22.94596209
2089 47.39816021 33.20555683 23.13241758
2090 47.71945208 33.46990665 23.31821777
2091 48.0371348 33.73262353 23.50336499
(6)
Tanpa Pengelolaan Pengelolaan Skenario 1 Pengelolaan Skenario 2
2093 48.66183449 34.25319874 23.87170963
2094 48.96893118 34.51107707 24.05491163
2095 49.27257818 34.76736243 24.23746977
2096 49.57281423 35.02206466 24.41938633
2097 49.86967766 35.27519355 24.60066354
2098 50.16320633 35.52675881 24.78130367
2099 50.45343773 35.7767701 24.96130895