Analisis Kerentanan Pulau Pulau Kecil Berbasis Spa Sial Di Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara

,

-G_U

セ セ |@

Q セQ@
..

ANALISIS KERENTANAN PULAU-PULAU KECIL
BERBASIS SPA SIAL DI KA W ASAN SELAT TIWORO
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

ABDUL RAHMAN

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI
Dengan ini menyatakan bahwa tesis Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil
Berbasis Spasial Di Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
atau dikutip dari ォ。イケセ@
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Mei 2009

ABSTRACT
ABDUL RAHMAN. Spatial-based Vulnerability Assessment of Small Islands
in Tiworo Strait, Southeast Sulawesi Province. Under directions of LUKY
ADRIANTO and VINCENTIUS P. SIREGAR.
This research was conducted in Tiworo Strait, Southeast Sulawesi Province,
from May through June 2008. The research objectives were to analyze, to
determine and to map ecology, economy and hybrid level vulnerability of small
islands of Tiworo archipelago. The analysis indicators using vulnerability variable
including land characteristic index, human pressure index, sea level rise impact

index, exposureness economic index, and remoteness economic index. The primer
data was collected through remote sensing and field survey, while secondary data
was collected from related institution. Results of analysis showed that composite of
vulnerability index (CVI) stayed at value of 0.000 to 0.718 (ecologically), 0.000 to
0.571 (economically) and 0.039 to 0.520 (hybrid). All of nineteenth small islands
of Tiworo archipelago showed that ecologically vulnerability level stayed in low
vulnerable (26%), low vulnerable (37%), medium vulnerable (32%), highly
vulnerable (5%), and extremely vulnerable level (0%). Economically vulnerability
level stayed in non vulnerable (52%, low vulnerable (37%), medium vulnerable
(11), highly vulnerable (0%), and extremely vulnerable level (0%). Hybrid
vulnerability level stayed in non vulnerability (48%), low vulnerability (26%),
medium vulnerable (26%), highly and extremely vulnerable level (0%).
Vulnerability levels were affected by several variables such as island size, distance
to mainland and population density. Smallness, remoteness and overgrowth
population ecologically vulnerability level stayed at highness but economically
vulnerability level stayed at growth if island size, remoteness and population
density were low.
Keywords: composites vulnerability index, small islands, Tiworo Strait

RINGKASAN

ABDUL RAHMAN. Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Keeil Berbasis Spasial Di
Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh LUKY
ADRIANTO dan VINCENTIUS P. SIREGAR.
Pulau-pulau kecil (PPK) merupakan suatu wilayah daratan dengan luas
terbatas tanpa adanya perbatasan dengan bidang lahan lainnya. PPK gugus
kepulauan Tiworo merupakan salah satu gugus PPK yang ada di Selat Tiworo.
Selain memiliki potensi sumberdaya alam danjasa lingkungan yang eukup tinggi,
juga cukup berperan dalam proses-proses ekologis di kawasan perairan Selat
Tiworo. Untuk mengurangi atau menghilangkan rasa kekhwatiran terhadap
dampak pengelolaan dan pembangunan selama ini dikawasan tersebut, diperlukan
informasi yang dapat dijadikan aeuan dalam penyusunan strategi pembangunan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melindungi keberlanjutan
sumberdaya dan lingkungan setempat. Olehnya, penelitian analisis kerentanan
(potensi timbulnya kerusakan oleh faktor eksternal) bagi PPK di kawasan tersebut
menjadi penting memperkecil maupun menghindari resiko dalam pengelolaan dan
pembangunannya ke depan.
Metode survey lapangan dan melalui pengolahan data Citra Landsat untuk
mendapatkan data primer dilakukan dalam penelitian ini. Pengumpulan data
sekunder pendukung penelitian didapat dari berbagai instansi terkait yang ada di
Kab. Muna. Analisis data untuk penentuan tingkat kerentanan PPK gugus

kepulauan Tiworo dilakukan dengan melibatkan berbagai variable indek-indeks
kerentanan: Metode analisis data untuk penilaian kapasitas sistem PPK
mengabsorpsi dampak-dampak eksogenous dilakukan dengan menggunakan
indeks pantai (coastal index, CI) dan indeks keterisolasian (insularity index, II).
Analisis dampak tekanan penduduk dilakukan dengan menggunakan indeks
populasi, indeks degradasi lahan terbangun, indeks degradasi terumbu karang, dan
indeks degradasi tutupan mangrove. Analisis dampak alamiah (natural disaster)
dilakukan dengan menggunakan indeks dampak kenaikan muka laut (sea level rise
index, SLRI). Analisis keterbukaan ekonomi (economic exposureness, EE)
dilakukan dengan menggunakan indeks rasio aktivitas perdagangan eksternal
(external trading index, ETI) dan indeks rasio keuangan ekstemal (external finance
index, EFI). Analisis dampak jarak PPK dari mainland dilakukan dengan
menggunakan indeks keterpeneilan ekonomi (economic remoteness index, ERI).
Analisis penentuan tingkat kerentanan PPK dilakukan dengan menggunakan
composite vulnerable index (CVI) sedangkan pemetaan hasil tingkat kerentanan
masing-masing PPK dilakukan dengan menggunakan metode Cell Based Modeling.
Indeks pantai diperoieh bahwa P. Lumuna, P. Indo, dan P. Tasipi adalah
PPK yang secara berturut-turut memiliki nilai indeks pantai yang tergolong cukup
tinggi di antara PPK lainnya. Nilai indeks CI yang tinggi mencerminkan kapasitas
yang rendah di dalam mengabsorpsi dampak-dampak eksternal (relatif lebih

bersifat rentan). Nilai indeks ketrisolasian (II) memperlihatkan bahwa secara fisik,
perbedaan kedudukan PPK gugus kepulauan Tiworo tidak berbeda jauh (II = 8-10
km). lni berarti bahwa kedudukan PPK yang ada di dalam gugus kepulauan

terse but saling berdekatan, demikian pula kedudukannya terhadap mainland relatif
dekat. Dampak-dampak exogenous relatif lebih mudah diminimalisir dengan
pengelolaan yang tepat.
Nilai PopI memperlihatkan bahwa P. Tasipi merupakan pulau yang
mengalami tekanan penduduk berkali-kali lipat lebih tinggi per satuan luas
lahannya dibandingkan dengan PPK yang lainnya. Tekanan populasi yang juga
cukup tinggi yaitu P. Beromasidi, kemudian diikuti PopI pada P. Mandike, P. Balu,
dan P. Santigi. Nilai indeks lahan terbangun juga menunjukkan hasil yang mirip
dengan PopI dimana P. Tasipi merupakan PPK yang tertinggi nilai indeks lahan
terbangunnya (100%), P. Mandike (43 .21%), P. Beromasidi (42.87%), P. Balu
(21.81 %), P. Santigi (18.20%). Indeks degradasi terumbu karang di wilayah PPK
Tiworo menunjukkan persentase yang sudah cukup tinggi, dimana di sekitar P.
Tiga mencapai 70% sedangkan di P. Indo, P. Lumuna, P. Maloang, P. Sanggaleang,
P. Mandike, P. Tasipi, P. Santigi, dan P. Beromasidi mencapai 50% atau lebih.
Satu-satunya pulau yang mengalami degradasi terumbu karang yang masih rendah
(di bawah 20%) adalah P. Pasipi. Indeks degradasi tutupan mangrove diperoleh P.

Kayuangin (23%), P. Belan-belan Besar (15%), P. Balu (13%), P. Santigi (12%), P.
Simuang (6%), P. Pasipi (3%), dan P. Maloang (2%). Sebaliknya diperoleh pula
bahwa sekitar 50% PPK Tiworo tidak mengalami degradasi tutupan mangrove
namun mengalami pertambahan luas tutupan. Basil-hasil indeks di atas
meunjukkan tingkatan respon dampak-dampak ekstemal yang berasal dari tekanan
antropogenik terhadap ekosistem utama di masing-masing PPK Tiworo.
Persentase nilai dampak SLR yang merupakan nilai index natural disaster
diperoleh bahwa terdapat dua buah PPK yang memiliki proyeksi terkena dampak
kenaikan muka laut yang cukup tinggi terhadap potensi ekonominya, yaitu P.
Santigi (23 .19%), P. Mandike(14.95%) dan PPK lainnya 60%-93% dari nilai
GIP dasarnya dan sekitar 62%-99% dari GIP perkapitanya. Di antara PPK yang
berpenduduk, yang memiliki nilai ET tertinggi terhadap GIP dan GIP_P adalah P.
Maloang. Sedangkan pulau yang memiliki tingkat ketergantungan bantuan
keuangan Iuar (tunjangan-tunjangan) terhadap GIP dan GIP-P, yang terlihat dari
nilaif3 tertinggi adalah P. Indo (48.65 untuk GIP dan 0.0369 untuk GIP-P).
Indeks dampak keterpencilan ekonomi (ERI) terhadap GIP tr pada masingmasing PPK gugus kepulauan Tiworo bahwa persentase ER tertinggi adalah P.
Maloang, kemudian diikuti P. Bangkomalampe, P. Indo, dan P. Kayuangin. Faktor
jarak dan skala angkutan yang memerlukan jasa transportasi dari dan ke PPK
tersebut menjadi penyebab tingginya biaya satuan angkutan barang dan orang. PPK
dalam gugus kepulauan Tiworo, umumnya belum memiliki sistem transportasi laut

umum yang lancar, kecuali pada beberapa pulau saja, seperti P. Balu dan P.
Mandike.

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seZuruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan Zaporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masaZah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seZuruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS KERENTANAN PULAU-PULAU KECIL
BERBASIS SPASIAL DI KAWASAN SELAT TIWORO
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

ABDUL RAHMAN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Judul Tesis

: Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Spasial Di
Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa

: Abdul Rahman

N RP


: C251060081

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc.
Ketua

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA.
Anggota

Diketahui

セk・エオ。@
< .

Program Studi
Sumberdaya Pesisir dan Lautan


V:b.
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Lulus: 1 B MAY 2G09

Tanggal Ujian: 28 April 2009

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala karunia-Nya berupa kesehatan dan keluangan waktu sehingga laporan
penelitian tesis mengenai "Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Spasial
Di Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara" dapat diselesaikan dengan
baik. Laporan tesis ini berisikan hal-hal mengenai analisis kerentanan pulau-pulau
keeil (PPK) secara spasial yang meliputi analisis indeks-indeks variabel kerentanan
ekologi-ekonomi, penyusunan komposit indeks kerentanan, dan penentuan serta
pemetaan kerentanan ekologi-ekonomi PPK gugus kepulauan Tiworo, serta
beberapa altematif pengelolaan kerentanan yang dapat dilakukan guna
memperkecil resiko bahaya faktor ekstemal di masing-masing PPK gugus
kepulauan Tiworo.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidaklah akan sempuma tanpa bantuan

berbagai pihak, baik seeara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada
kesempatan ini, penulis sampaikan ueapan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir.
Vineentius P. Siregar, DEA selaku anggota komisi pembimbing, dimana diseia
kesibukannya masih bersedia meluangkan waktu untuk mengarahkan penulis
dalam penyusunan dan penyelesaian laporan ilmiah atau tesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku penguji luar komisi dan Bapak
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku penguji dan ketua Program Studi SPL
yang telah banyak pula memberikan masukan dan arahan untuk
penyempumaan tesis ini.
3. Bapak Rektor Universitas Haluoleo yang telah memberikan izin dan beasiswa
melalui Project Management Unit IDB LOAN Universitas Haluoleo, sehingga
penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan studi di Program Studi SPL-IPB.
4. Bapak Gubernur Provo Sultra, Bapak Prof. Dr. Ir. Laode Muh. AsIan, M.Se
(Dekan FPIK Unhalu), Bapak Dr. Onu La Ola, SE, MS, Bapak Ir. Farid Yasidi,
M.Sc yang telah memberikan dukungan materi dalam pelaksanaan penelitian
dan penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Bupati Muna dan instansi atau dinas-dinas Pemda Kab. Muna yang telah
mengizinkan dan memfasilitasi pelaksanaan penelitian penulis di lapangan.
6. PROGRAM MITRA BAHARI - COREMAP II Departemen Kelautan dan
Perikanan yang telah memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini.
7. Ternan-ternan Pasca Sarjana IPB, khususnya SPL angkatan 13 atas masukanmasukan dan dukungannya sehingga laporan tesis ini dapat penulis selesaikan.
8. Ungkapan terima kasih juga kepada istriku tercinta, anak-anakku tersayang,
ayahanda (aim.), ibunda, serta seluruh keluarga, atas segal a doa dan kasih
sayangnya.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berkontribusi
sehingga tesis ini dapat terwujud.
Bogor, Mei 2009
Abdul Rahman

RIWAYATHIDUP
Penulis dilahirkan di Pappa, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan
pada tang gal 01 November 1965 sebagai anak kedua dari pasangan H. Nurdin
Daeng Lurang (aim) dan Hj. Fatima Daeng Mimo. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Budidaya Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, lulus tahun 1990. Pada tahun 1991 menikah dengan Dra.
Sitti Halidjah Buang dan saat ini telah dikaruniahi tiga orang puteri (Farwi Furwani,
Fine Farhani Muliati, dan Faning Frydayani Murniati) ..
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan lImu
Kelautan Universitas Haluoleo, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara sejak tahun
1994 hingga sekarang. Tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan
S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan
menyelesaikannya pada Apri12009.
Selama mengikuti program S2 penulis selalu aktif mengikuti berbagai
seminar-seminar baik itu bersifat lokal, nasional maupun internasional yang
berkaitan dengan Perikanan dan Kelautan serta Pertanian. Selain itu, penulis juga
memberikan kontribusinya pada Forum Wacana Pesisir IPB di Bidang Kajian Isuisu Strategis dan Advokasi.

DAFTAR lSI
Halaman
DAFTAR T ABEL .......... ......... . ... ........................................... ...... .. .. ...... .....

XIV

DAFTAR GAMBAR .... ............................ .. .... ................ ................. ...... ......

xv

DAFTAR LAMPIRAN .. ...................................................... .................... ....

XVlll

I.

PENDAHULUAN ...... ... ........................ ... .... .......... ...............................
1.1 Latar Belakang ..... ............. ..................... ... ......... ........... ...... ............
1.2 Perumusan Masalah .. ... ............. ................................. ................... ..
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian................. ......... ...............................
1.4 Kerangka Berpikir Penelitian ..... ... ...... ........ ............ ........................

1
1
4
6
7

II. TINJAUAN PUSTAKA .. ...... .................................................. ............ ....
2.1 Pengertian Pulau-Pulau Kecil ..... .... .................... .............................
2.2 Kerangka Pengelolaan ICM dalam Konteks Pulau-Pulau Kecil........
2.3 Karakteristik Pulau-pulau Kecil............. ....... ....................................
2.4 Konsep dan Kerangka Kerentanan Pulau-pulau Keci!.. ...... ....... ........
2.5 Pemetaan Spasial Kerentanan PPK Berbasis Simtem Informasi
Geografis (SIG).................................... ... ........... ......... .....................
2.5.1 Sistem Penginderaan Jauh dan Citra Satelit.......... ............. .....
2.5.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)................... ......................
2.5.3 Struktur Data Raster dan Cell Based modeling ..... ..................

11
11
15
18
22

III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................ ..........................
3.2. Mertode Pengumpulan Data ............... .... .........................................
3.3. Analisis Data .. ................. ................................................................
3.3.1 Pengolahan Citra Satelit............ ............. ............. ... .... .. ... ... .....
3.3.2 Analisis Variabel Kerentanan Ekologi-Ekonomi .....................
3.3.2.1 Indeks Karakteristik Lahan (Caracteristic Land
Index, CLI) ..... ... ...... .............. ... .... ...... ........................
3.3.2.2 Tekanan Penduduk (Human Impact, HI) .....................
3.3.2.3 Dampak Kenaikan Muka Laut (Sea Level Rise, SLR)...
3.3.2.4 Keterbukaan Ekonomi (Economic Exposure, EE).. ......
3.3.2.5 Keterpencilan Ekonomi (Economic Remoteness, ER) ..
3.3.3. Standarisasi dan Komposit Indeks Kerentanan.............. ...... .. ..
3.3.4. Penentuan Tingkat Kerentanan dan Pemetaannya secara
Spasial... ............ ....... .......... ............. .............................. ...... ...
IV PROFIL PULAU-PULAU KECIL (PPK) GUGUS KEPULAUAN
TIWORO.. .... ... ........... ...... .............. ................................................. .. .....
4.1 Letak Geografis dan Administratif .................................. ...... .... .......
4.2 Kondisi Biofisik Pulau .................... .................... .............................
4.2.1 Ukuran Pulau............. . .......................... ....................... ... ...... ..
4.2.2 Terumbu Karang.. ....... .......... ......... ........................................ .

25
25
28
31
33
33
35
37
37
41
41
43
45
48
49
50
52
57
57
59
59
61

xii

4.2.3 Tutupan Mangrove .................... ...... ... ........... ... ... ... ... ...... ........... .......
4.2.4 Lahan Terbangun..................... ....................... ........................
4.2.5 Kondisi Hidro-oseanografi......................................................
4.3. Kondisi Sosial Ekonomi ...................................................................
4.3.1 Penduduk............................. .............. ...... ...............................
4.3.2 Sarana dan Prasarana Umum ..................................................
4.3.3 Aktivitas perekonomian..........................................................

64
66
68
70
70
72
74

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................... .............. ...... ......... ............
5.1 Variabel Indeks Kerentanan Ekologi ................................................
5.1.1 Indeks Karakteristik Lahan Pulau ...........................................
5.1.1.1 Indeks Pantai (Coastal Index, CI)....... .........................
5.1.1.2 Indeks Keterisolasian (insularity index, II) ..................
5.1.2 Indeks Tekanan Penduduk Pulau (Human Index = HI) ...........
5.1.2.1 Dampak Populasi (population index, PopI) .................
5.1.2.2 Degradasi Lahan Terbangun...... ... ...............................
5.1.2.3 Degradasi Terumbu Karang ........................................
5.1.2.4 Degradasi Tutupan Mangrove .....................................
5.2 Variabel Indeks Kerentanan Ekonomi ..............................................
5.2.1 Dampak Kenaikan Muka Laut (sea level rise, SLRI) ....... .......
5.2.2 Keterbukaan Ekonomi (economic exposure index, EE) ...........
5.2.3 Keterpencilan Ekonomi (economic remoteness, ER) ...............
5.3 Komposit Indeks dan Pemetaan Kerentanan.....................................
5.3.1 Komposit Indeks dan Peta Kerentanan Ekonomi.....................
5.3.2 Komposit Indeks dan Peta Kerentanan Ekonomi.....................
5.3.3 Komposit Indeks dan Peta Kerentanan Ekologi-Ekonomi .......
5.4 Pengelolaan PPK Gugus Kepulauan Tiworo Berbasis Kerentanan....

79
79
79
79
80
83
83
85
87
90
92
92
96
99
101
101
106
113
119

VI KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
6.1. Kesimpulan ..................... ............................. ... ....................... .........
6.2. Saran................................................ ...............................................

126
126
127

DAFTARPUSTAKA ............................................................................

128

LAMPIRAN ......................................... ... ...............................................

134

xiii

DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Perbandingan umum ciri-ciri pulau oseanik, pulau kontinental dan benua.

14

2.2 Potensi sumberdaya, pemanfaatan dan identifikasi permasalahan
di sub-wilayah pesisir PPK .. .............. ... ... ... .... .. ... ........ ... ... ... ... ...... ..........

16

2.3 Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan Ukuran Fisik (Smallness) ......

21

2.4 Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan tingkat insularitas............. .. ...

22

2.5 Karakteristik citra satelit Landsat 7 ETM+ .. ... ............. ....... ...... ....... ....... ...

27

2.6 Beberapa aplikasi integrasi penginderaanjauh dan SIG di wilayah
pesisir untuk identiftkasi daerah rawan bencana tsunami .......... ......... ........

30

3.1 Penentuan tingkat kerentanan PPK gugus kepulauan Tiworo..... ...... ..........

53

4.1 Nama dan posisi PPK gugus Kepulauan Tiworo......... ... ...... ...... .............. ..

58

4.2 Ukuran luas dan panjang garis pantai PPK gugus kepulauan Tiworo
pada Tahun 2002 dan Tahun 2007........ ......... ........... ...... ................ ....... ....

59

4.3 Luas terumbu karang PPK gugus kepulauan Tiworo Tahun 2002 dan
Tahun 2007... ............. .......... ............................. .... .. ....... ................... ........

62

4.4 Luas lahan terbangun dan persentasenya terhadap totalluas masingrna sing PPK gugus kepulauan Tiworo, Tahun 2002 dan Tahun 2007.......

65

4.5 Kondisi beberapa parameter perairan sekitar PPK gugus kepulauan
Tiworo ......... ................. .. ..................................................... .....................

68

4.6 Perkembanganjumlah penduduk PPK gugus kepulauan Tiworo,
Tahun 2002 - 2007 .......................... .... ...... ............................... .................

70

4.7 lumlah sarana dan prasarana urnum PPK Gugus Kepulauan Tiworo .........

72

4.8 Persentase rata-rata kontribusi rnasing-masing sektor dalam GIP PPK
gugus kepulauan Tiworo ........................... ............................................. .. .

75

5.1 Nilai keterbukaan ekonomi (external trading, ET dan elastisitas EF, /3)
terhadap GIP dan GIP-P PPK gugus kepulauan Tiworo.......................... ...

98

XIV

I PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kawasan pulau-pulau keeil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan
pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan
sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun
(seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau keeil

juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang
dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari (Dahuri 2003). Di
lain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau keeiI masih belum optimal akibat
perhatian dan kebijakan pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke wilayah
daratan besar. Pada hal menurut Bengen dan Retraubun (2006), penentuan
kebijakan pemanfaatan pulau-pulau keeil merupakan hal yang paling penting,
karena dengan keberadaan pulau-pulau keeil inilah maka keberadaan (eksistensi)
sumberdaya kelautan menjadi strategis.
Pulau-pulau keeil juga memiliki nilai penting dan tergolong unik bila
ditinjau dari sisi sumberdaya alam, geografi, so sial, ekonomi, budaya, politik dan
pertahanan keamanan Indonesia. Seeara ekologis pengembangan pulau-pulau kecil
akan semakin meningkatkan pengelolaan terhadap ekosistem terutarna aneaman
kerusakan akibat faktor alamiah dan atau antropogenik. Potensi sumberdaya hayati
dan nir-hayati yang begitu besar sehingga jika pulau-pulau keeiI berhasil
dikembangkan seeara optimal dan berkelanjutan maka seeara ekonomi akan
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi barn. Pengembangan kawasan pulau-pulau
keeil juga akan meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang tinggal di
kawasan pulau-pulau keeil serta dapat mengurangi kesenjangan pembangunan
antar wilayah. Seeara geopolitik, pengembangan pulau-pulau keeil terutama di
kawasan perbatasan akan memudahkan pengawasan kemanan dan ketahanan
wilayah negara oleh aneaman dari negara lain.
Sebagai entitas yang memiliki karakteristik khusus, menurut Adrianto (2005)
bahwa pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau keeil tidak dapat dilakukan

2

dengan pendekatan yang standar dan yang umum digunakan di wilayah daratan
induk lainnya tetapi memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional
lainnya. Dengan karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau keciI, pengelolaan
secara berkelanjutan bagi entitas ini memerlukan pendekatan yang lebih sistemik
dan lebih spesifIk lokasi (site spesijic) atau dengan perkataan lain dalam
mengembangkan kawasan pulau-pulau kecil, filosofi pendekatan yang digunakan
seharusnya bersifat spesiflk sesuai dengan karakteristik masing-masing pulau kecil
tersebut.
Pulau-pulau kecil sering diisukan sebagai suatu wilayah yang lemah atau
bersifat rentan oleh faktor Iingkungan, faktor ekonomi dan faktor sosial (Pratt et al.
2004). Faktor lingkungan: variabilitas iklim; perubahan iklim dan naiknya
permukaan laut; resiko-resiko gempa bumi; tsunami dan peristiwa vulkanik;
ekosistem-ekosistem rapuh dan keterpencilanlketerasingan. Faktor ekonomi:
ketergantungan ekstemal yang tinggi (bantuan, imp or) dan keterisolasian lemah
terhadap fluktuasi-fluktuasi ekonomi global; peluang yang terbatas untuk
penganeka-ragaman ekonomi; kemampuan pasar kecil; dasar sumber daya kecil
dan ketergantungan tinggi di sumber alam; kemampuan keuangan dan investasi
rendah dan dampak yang tinggi dari ketidakstabilan politis. Faktor sosial:
pertwnbuhan populasi tinggi; migrasi dan emigrasi tinggi berkenaan dengan kota;
kapasitas sumber daya manusia yang terbatas; meningkatkan timbulnya malnutrisi,
kegelisahan atau rasa tidak aman, penyakit-penyakit, dan makanan; dampak dari
modernisasi dan globalisasi ekonomi di masyarakat-masyarakat, kultur-kultur dan
pengetahuan tradisional.
Manajemen lingkungan dapat memainkan suatu peran yang penting di dalam
mengurangi kerentanan ekologi-ekonomi dan meningkatkan resiliensi (ketahanan)
di dalam masyarakat pulau-pulau kecil. Pertalian-pertalian antara kemiskinan dan
penurunan derajat lingkungan telah sering didokumentasikan, namun lebih sedikit
dipahami adalah peran dari manajemen lingkungan di dalam mendukung strategi
lokal.

Manajemen perikanan yang lemah, bagaimanapun sudah mengarahkan

kepada peningkatan tekanan terhadap sumberdaya baik oleh penduduk setempat
maupun oleh pendatang dari Iuar, terlebih lagi bila orang-orang hanya berputar di

3

sumberdaya perikanan. Sebagai hasilnya, kelangsungan hidup meneari ikan bagi
masyarakat lokal menghadapi persoalan yang membahayakan oleh kapasitas
manajemen lingkungan. Lembaga atau institusi yang lemah sering dikutip sebagai
yang lain penyebab sifat kerentanan. Lembaga atau institusi manajemen
Iingkungan bahwa termasuk komponen-komponen pemantauan bisa berperanan
dalam menyiagakan para anggota masyarakat lokal dan pembuat keputusan untuk
mengubah resiko-resiko.
Selat Tiworo merupakan suatu kawasan perairan yang terletak di antara
dataran jazirah Sulawesi Tenggara di sisi utara dan Pulau Muna di sisi selatan
(Gambar 3.1). Selat ini juga berhubungan dengan Selat Buton pada sisi ujung
bagian timur dan perairan Teluk Bone di sisi ujung bag ian baratnya. Di dalam
kawasan selat ini terdapat dua puluhan lebih buah pulau berukuran keeil yang
sebagiannnya sudah dihuni oleh penduduk lokal. Dengan tingkat kedalaman
perairannya yang tertinggi hanya sekitar 40 m (Peta LLN-25 Bakosurtanal),
perairan ini kaya akan sumberdaya ikan dan non ikan. Di sekeliling pulau-pulau
yang ada di dalam kawasan selat, terdapat banyak ekosistem terumbu karang.
Vegetasi mangrove yang lebat di sisi utara (pesisir pantai dataran Sulawesi
Tenggara) dan di sepanjang sisi selatan (pantai Pulau Muna) serta juga yang
terdapat di sekeliling pantai pada beberapa pulau, sangat mendukung proses-proses
ekologis di dalam kawasan ini.
Kawasan Selat Tiworo juga merupakan kawasan andalan bagi produksi
perikanan di Sulawesi Tenggara. Kebutuhan perusahaan-perusahaan perikanan dan
kebutuhan konsumsi ikan di kota Kendari sebagian besar berasal dari kawasan
perairan ini. Bahkan berbagai komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi
juga telah banyak dieksploitasi dan diperdagangkan hingga ke luar Sulawesi
Tenggara. Banyak pengusaha-pengusaha dari luar Sulawesi Tenggara seperti dari
Makassar dan Surabaya yang masuk ke wilayah ini menjalin kerjasama dengan
nelayan-nelayan pulau guna mengumpulkan komoditas-komoditas perikanan yang
bernilai ekonomis tinggi tersebut.
Kegiatan pengelolaan pulau-pulau keeil menghadapi berbagai aneaman baik
dari aspek ekologi maupun ekonomi. Indikator-indikator ekologi adalah terjadinya

4

penurunan kualitas lingkungan, seperti pence maran, perusakan ekosistem dan
penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), sedangkan indikator ekonomi
yaitu rendahnya aksesibilitas dan pendapatan masyarakat lokal. Bentuk ancaman
lainnya yang seeara alami adalah dampak kenaikan muka laut atau sea level rise
(SLR), bencana alam (angin kencang, taupan, gempa bumi, gelombang pantai dan
tsunami). Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan
ancaman-ancaman tersebut, pengelolaan pulau-pulau keeil harus dilakukan secara
kornprehensif dan terpadu.
Berkaitan dengan uraian di atas maka untuk kepentingan pengelolaan
lingkungan dan sumberdaya pesisir di kawasan Selat Tiworo, perlu dikaji secara
baik sehingga tindakan-tindakan dalam pengelolaannya dapat bermanfaat secara
baik dan berkelanjutan. Telah banyak kejadian-kejadian pengelolaan suatu
kawasan menjadi mubasir dan atau tidak berkelanjutan serta akhirnya justeru
menimbulkan kerugian dan kerusakan lingkungan dan sumberdaya karena tidak
kuatnya landasan acuan dalam pengelolaannya. Untuk itu dalam hubungan dengan
pengembangan kawasan pesisir Selat Tiworo, penelitian mengenai analisis
kerentanan ekologi-ekonomi pulau-pulau keeil yang ada di dalamnya menjadi
demikian penting.
1.2 Perumusan Masalah

Kawasan Selat Tiworo yang didalamnya terdapat lebih dari dua puluh buah
pulau-pulau kecil dengan potensi sumberdaya bahari yang cukup tinggi,
merupakan suatu kawasan yang punya peranan ekologis dan ekonomis yang eukup
penting bagi keberlanjutan pembangunan di Sulawesi Tenggara. Secara khusus,
kawasan selat ini sangat berarti kontribusinya bagi pembangunan pada tiga
kabupaten yang membagi wilayah atau kawasan Selat Tiworo yaitu Kabupaten
Muna (wilayah selatan), Kabupaten Bombana (wilayah barat), dan Kabupaten
Konawe Selatan (wilayah utara).
Berkaitan dengan gambaran potensi sumberdaya perairan Selat Tiworo
yang eukup tinggi dan upaya-upaya dalam pengeksploitasiannya yang cukup
intensif oleh masyarakat sebagaimana diuraikan sebelumnya maka kawasan ini
menjadi demikian penting untuk diperhatikan keberlanjutannya. Bilamana proporsi

5

pengendalian yang tidak berimbang dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, tidak
menutup kemungkinan suatu 8aat keberlanjutan pengelolaannya akan bermasalah.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pengelolaan suatu sumberdaya akan
membawa dampak pada penurunan kualitas lingkungannya. Bilamana dampak
yang ditimbulkan tersebut diluar batas daya dukung lingkungannya maka pada
akhirnya akan menganeam keberlanjutan pengelolaan itu sendiri.
Pulau-pulau keeil yang ada di dalam Selat Tiworo menjadi titik sentral bagi
pengelolaan di kawasan ini sebab aktivitas pengelolaan sumberdaya kawasan
sangat dipengaruhi oleh kondisi di masing-masing pulau yang ada di dalamnya.
Tekanan-tekanan yang seeara antropogenik pada lingkungan yang di Iuar batas
kewajaran tentunya akan merupakan aneaman yang berbahaya, yang mungkin saat
ini belum terasa namun suatu waktu dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar,
baik pada sistem ekologis maupun ekonomis.
Bentuk aneaman lainnya terhadap pembangunan pulau-pulau keeil adalah
potensi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor-faktor alamiah. Perubahan ikIim
seeara global memieu terjadinya ketidak stabilan alamo Semakin meningkatnya
suhu permukaan bumi seeara linier misalnya, akan semakin menaikkan ketinggian
muka laut yang biasa disebut sea level rise (SLR), angin bad ai, gelombang badai,
elnino/kekeringan, erosi dan banjir. Faktor alamiah lainnya yang juga rawan terjadi
di Indonesia adalah aktivitas geologi seperti, gempa bumi, tsunami, dan gunung
berapi. Bagi pulau-pulau keeil seperti yang ada di kawasan Selat Tiworo yang ratarata berukuran keeil dan kerendahan, mungkin saja ada di antara faktor-faktor
alamiah tersebut menjadi indikator aneaman serius yang membahayakan bagi
kestabilan proses ekologis dan keberlanjutan pembangunan ekonomi seeara
keseluruhan di dalam kawasan tersebut.
Keterbatasan pengetahuan di dalam memperhitungkan seeara baik atas
faktor-faktor resiko yang akan timbul di kemudian hari di suatu tempat hingga saat
ini masih sangat terbatas. Potensi aneaman yang berbahaya dan bersifat laten, baik
yang oleh faktor alamiah maupun oleh dampak perkembangan dan pertumbuhan
populasi di tempat mana pun pasti ada. Cepat atau lambatnya muneul ke
permukaan yang seeara nyata menimbulkan kerusakan, tergantung dari besar

6

kecilnya potensi terkena ancaman (vulnerability) tersebut dan ketahanan
(resilience) lingkungannya.

Tersedianya informasi yang berkenaan dengan potensi yang dapat
menganeam kehidupan mahluk hidup dan lingkungannya serta kebijakan
pengelolaannya, akan lebih mudah untuk melakukan tindakan peneegahan maupun
tindakan dalam mempersiapkan penyelamatan atau mitigasi bilamana dalam hal
terjadi beneana. Pereneanaan untuk penanggulangan terhadap kerusakan ekologi
dan kerugian ekonomi dan juga mempertinggi resiliensi demi keberlanjutan
pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara
baik. Begitu pula di dalam hal persiapan menghadapi bencana yang terjadi dapat
dilakukan seperti melakukan mitigasi bene ana alam terhadap bahaya tsunami,
gempa bumi, badai, global warming dan sea level rise, serta lainnya.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :
a. Menganalisis variabel-variabel kerentanan pulau-pulau kecil (PPK) di
Selat Tiworo khususnya PPK yang ada dalam gugus kepulauan Tiworo
baik berdasarkan kondisi sifat fisik pulau maupun pressure/shock yang
membahayakannya.
b. Menganalisis dan menyusun indeks-indeks kerentanan PPK gugus
kepulauan Tiworo berdasarkan indeks kerentanan ekologi, indeks
kerentanan ekonomi, dan indeks kerentanan gabungan ekologi-ekonomi
pada masing-masing PPK tersebut.
c. Menentukan tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus kepulauan
Tiworo, baik secara ekologi, ekonomi, maupun gabungan keduanya
(ekologi-ekonomi).
d. Memetakan tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus kepulauan
Tiworo seeara spasial dengan metode Cell Based Modelling.
Manfaat penelitian :
a. Dihasilkannya peta informasi tingkatan bahaya-bahaya yang dialami dan
dihadapi PPK gugus kepulauan Tiworo sehingga dapat menjadi salah satu

7

bahan evaluasi kegiatan pembangunan masa lalu maupun saat ini di
gugus kepulauan tersebut.
b. Menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi
pembangunan PPK di gugus kepulauan Tiworo ke depan yang lebih baik
dan berkelanjutan seeara ekologi dan sosial-ekonomi, oleh pihak-pihak
terkait (stakeholders).
e. Merupakan pula sumber bahan informasi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan masalah kerentanan PPK dan
wilayahlkawasan lainnya.
1.4 Kerangka Berpikir Penelitian
Setelah

Konferensi

Tingkat

Tinggi

Bumi

(Earth

Summit)

yang

diselenggarakan di Rio de Jeneiro, Brazil pada tahun 1982 dan Johannesburg
(Afrika Selatan) Tahun 2002 lalu,

paradigma pembangunan telah beralih dari

paradigma konvensional yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi
semata, yang pada akhirnya membuat eksploitasi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan semakin tidak terkendali, menjadi paradigma baru pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Paradigma ini pada intinya mengajak
seluruh pengelola negara untuk membangun negaranya tanpa melupakan
kepentingan yang sama, yaitu pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan bagi generasi selanjutnya.
Kawasan perairan Selat Tiworo, khususnya pada kawasan gugus Kepulauan
Tiworo tergolong ke dalam salah satu wilayah pesisir di Sulawesi Tenggara yang
eukup potensial sehingga sangat perIu dikelola seeara berkelanjutan. Dengan
demikian salah satu unsur penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana
menempatkan komponen lingkungan sebagai faktor penyeimbang dari berbagai
kegiatan pengembangan yang telah dan akan dilakukan. Pengembangan pulaupulau keeil yang didasarkan pada kondisi faktor lingkungan, baik yang bersifat
menghambat maupun yang bersifat menunjang merupakan awal kesuksesan dalam
upaya meneapai pembangunan yang berkelanjutan.
Pulau-pulau kecil dengan lahan yang terbatas di dalam wilayah perairan
yang

luas,

tentunya

berbagai

permasalahan

yang

dihadapi

dalam

8

mengembangkannya. Keterbatasan ukuran fisik lahan dan relatif jauhnya dari
mainland merupakan atribut kerentanan yang bersifat endogenous (Fors et at.

2007). Selain karakteristik tersebut, juga berbagai pressure/shock lainnya yang
bersifat exogenous, baik oleh faktor alamiah maupun faktor antropogenik yang
merupakan pula masalah utama dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Berbagai
sumber tekanan (pressure) eksternal yang dapat mengancam keberlanjutan sistem
ekologi-ekonomi PPK adalah gejala alamiah, tekanan penduduk, keterbukaan
ekonomi, dan keterpencilan ekonomi (Briguglio 1995; Adrianto and Matsuda
2002;2004).
Tekanan oleh fenomena alamiah seperti danlpak kenaikan muka laut,
badai, angin kencang, golombang tinggi, tsunami, dan lainnya merupakan salah
satu ancaman serius terhadap keberlanjutan sistem ekologi-ekonomi di PPK secara
umum. Fenomena alamiah tersebut dapat terjadi secara spontan maupun perlahan
yang mengakibatkan dampak kerusakan atau penurunan kualitas sumberdaya dan
lingkungan di PPK.
Tekanan lain yang bersumber dari kependudukanjuga merupakan ancaman
terhadap lingkungan dan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil. Kecenderungan
(trend) pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan proporsi aktivitas

yang berbasis bidang yang tinggi, merupakan ancaman yang semakin menekan dan
akhirnya semakin menurunkan daya dukung lingkungan. Di dalam kehidupan
manusia, kegiatan ekonomi dan so sial, selalu akan menggunakan lingkungan,
mengkonversi sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk mendukungnya.
Permasalahannya adalah bahwa dinamika tersebut dapat merusak' eksploitasi yang
berlebihan, dan bahkan menghalangi tercapainya kebutuhan akan jasa lingkungan.
Pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat akan sangat
bergantung pada kondisi lingkungan, sistem so sial, dan ekonomi yang sehat,
produktif, dan aman (protective).
Pengembangan ekonomi bagi pulau-pulau kecil juga merupakan hal yang
tergo]ong cukup sulit. Tingkat keterbukaan ekonomi dalam hal perdagangan
(exposureness) dan kedudukan ekonomi pulau yang terpencil (remoteness) adalah

hal penghambat dalam pengembangan ekonomi di suatu pulau. Dengan demikian

9

pengelolaan pulau-pulau keeil seeara terpadu dan berkelanjutan, bukan sematamata ditujukan untuk kepentingan kelestarian sumberdaya alam semata, tapi lebih
dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas (masyarakat) pulau-pulau keeil,
karena keduanya merupakan bagian dari sistem ekologi dan sistem sosial-ekonomi
pulau-pulau keeil yang penting.
Untuk mengembangkan pulau-pulau keeil seeara terpadu dan berkelanjutan
serta berbasis mitigasi, diperlukan suatu informasi yang representative sesuai
kondisi lokasi masing-masing pulau. Informasi potensi ancaman terhadap
pengembangan dan keberlanjutannya, dapat dihasilkan melalui pendekatan indeks
kerentanan yang bersumber dari masing-masing indikator kerentanan. Untuk lebih
jelasnya kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.

10

SMALL ISLAND
VULNERABILITY

Gambar 1.1 Kerangka pikir studi indeks kerentanan pulau-pulau kecil berbasis spasiaL

II. TINJAUAN PUS TAKA
2.1 Pengertian Pulau-pulau Kecil
Defmisi mengenai pulau-pulau keeil hingga saat ini belum ada kesepakatan
seeara pasti sebagai akibat masih adanya pertentangan pendapat dan beragamnya
pandangan, argumen, dan eontoh yang dikemukakan oleh masing-masing pihak.
Nunn (1994) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibiearakan selarna berabadabad, narnun definisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan. Defmisi
paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut
atau saat kita berada di tengah laut yang luas bila terlihat segundukan massa
daratan muneul ke permukaan, maka serta merta orang mengatakannya sebagai
pulau. Dengan demikian seluruh daratan (termasuk kontinen) di dunia ini adalah
pulau karena struktur alarn bumi memang hanya terdiri dari daratan dan air.
Dalarn konteks pulau keeil, ada beberapa defmisi pulau kecil yang
digunakan dalam berbagai studi tentang pulau-pulau keeH di dunia. Fors (2007)
mengartikan pulau keeil merupakan suatu wilayah daratan dengan luas terbatas
tanpa adanya perbatasan dengan bidang lahan lainnya. Batasan lebih spesifIk
mengenai pulau keeil dikemukakan Towle (1979) yang diacu Debanee (1999)
menggunakan defmisi pulau kecil yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10
000 km2 dan penduduk kurang dari 500000 jiwa. Batasan ini juga digunakan oleh
Hess (1990) dan UNESCO dalam sekuel Man and the Biosphere-nya yang ke-5
yaitu Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands
(Beller et al. 1990). Definisi-defmisi lainnya yang berdasarkan kriteria luasan
pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya seperti Brookfiel (1986),
2

menyebutnya pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas kurang dari 800 km

dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 100 000 jiwa. Berdasarkan
Kepmen DKP No. 4112000, Pulau yang mempunyai luas kurang dari atau sarna
dengan 10 000 km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sarna dengan 200 000
Jlwa.
Batasan pulau kedl juga dikemukakan pada pertemuan

esc,

1984 yang
2

menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5 000 km



12

Setelah itu batasan pulau keeil mengalami diskusi yang hangat, terutama sejak
International Hydrological Programme IHP-III UNESCO. Dengan berlandaskan

pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), para ilmuan menetapkan
batasan pulau keeil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau
lebarnya kurang dari 10 km (Diaz and Huertas, 1986). Namun demikian, ternyata
banyak pulau yang berukuran antara 1 000 - 2 000 km 2 memiliki karakteristik dan
permasalahan yang sama dengan pulau yang berukuran huang dari 1 000 km2,
sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau keeil adalah
pulau yang luasnya kurang atau salna dengan 2 000 km2 • Batasan luasan ini dengan
jumlah penduduk kurang atau sama dengan 20 000 orang, juga yang digunakankan
oleh Bengen dan Retraubun (2006).
Perbedaan lebih jauh juga dilakukan antara pulau kecil dan pulau sangat
kecil, dimana perbedaan ini didasarkan pada keterbatasan sumberdaya air tawar
baik air tanah maupun air permukaan, sehingga UNESCO (1991) menetapkan
bahwa pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak
lebih besar dari 3 km dikategorikan sebagai pulau sangat kecil. Sementara itu,
Nunn (1994) juga menyatakan bahwa ukuran pulau keeil menjadi sangat penting
ketika membiearakan mengenai pulau-pulau oseanik. Ukuran yang terlalu keeil
dan juga yang terlalu besar memiliki relevansi yang kurang signifikan bagi
pembiearaan tentang pengelolaan pulau-pulau keeil (Adrianto 2005). Dengan
menggunakan beberapa eontoh pengelolaan pulau keeil di dunia, Nunn (1994)
kemudian mendefmisikan pulau keeil berdasarkan konstektual setiap pulau bahwa
pulau-pulau dengan ukuran maksimal 1 000 km2 merupakan pulau yang relatif
memiliki kaitan yang signifIkan terhadap pentingnya pengelolaan pulau-pulau
kecil.
Berdasarkan karakteristik pulau-pulau keeil juga diartikan sebagai wilayah
daratan yang terbentuk seeara alamiah yang dikelilingi oleh air laut dan selalu
berada diatas permukaan air pada waktu air pasang (UNCLOS 1982). Sedangkan
menurut Kelman (2001), satu konsep intuit if dari suatu luas wilayah seeara
komparatif keeil, seeara umum tanpa satu jaringan transportasi lahan yang eukup
yang menghubungkan dengan suatu benua yang lebih besar. Seeara fisik terpisah

13

dari pulau besar, dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri, lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut, rentan terhadap perubahan alam
atau karena ulah manusia, substrat pulau kecil bergantung pada jenis biota yang
ada disekitar pulau. Briguglio (1995), karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara
ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang
jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai
sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi;
tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air
(catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan

sedinlen masuk ke laut serta dari segi so sial, ekonomi dan budaya masyarakat
pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Secara
sosial-budaya dan ekonomi, pulau berpenghuni dan tidak berpenghuni, memiliki
budaya

dan

kondisi

sosial

ekonomi

yang

khas,

kepadatan

penduduk

terbatas/rendah, ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar
pulau, keterbatasan kualitas SDM, aksesibitas rendah (Bass 1993; Adrianto and
Matsuda 2002; 2004; Adrianto 2004;2005).
Berdasarkan tipe dan asal pembentukannya, pulau-pulau keeil dibedakan
menjadi pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang. Hehanussa (1988),
menggolongkan pulau-pulau keeil dalam lima tipe berdasarkan proses geologinya
yaitu pulau benua (continental island), pulau vulkanik (vulcanic island), pulau
karang timbul (raised coral island), pulau dataran rendah (low island), dan pulau
atol (atolls). Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan
biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan
penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh pula
terhadap pola permukinlan yang berkembang di pulau-pulau keeil berdasarkan
aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik tersebut, misalnya
tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan budidaya perikanan,
maka kemungkinan besar pola permukiman yang berkembang adalah masyarakat
nelayan (Bengen dan Retraubun 2006).
Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau-pulau keeil
dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) kelompok, yaitu: kelompok pulau dataran dan

14

kelompok pulau berbukit (Hehanussa 1988; Hehanussa dan Haryani 1998;
Hehanussa dan Bakti 2005). Secara topografi pulau dataran yang terdiri dari 3
(tiga) kelompok: pulau aluvium, pulau karang atau koral dan pulau atol, tidak
memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Sedangkan kelompok pulau
berbukit, terdiri dari 5 (lima) kelompok yaitu pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau
teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran, umumnya
memperlihatkan morfologi dengan lereng yang lebih besar dad 10° dan elevasi
lebih besar dari 100 m di atas permukaan laut.
Tabel2.1 Perbandingan umum ciri-ciri pulau oseanik, pulau kontinental dan benua
Pulau Oseanik

Pulau Kontinental

Benua

Karakteristik Geografis
• Jauh dari benua
• Dikelilingi oleh Iaut dalam,
dan luas
• Luas daratan kecil
• Suhu udara stabil
• Iklim sering berbeda dari
pulau besar terdekat

• Dekat dari benua
• Dikelilingi oleh laut dangkal,
dan relatif sempit
• Luas daratan besar
• Suhu udara berfluktuasi
• Iklim mirip pulau besar
(benua) terdekat

• Area daratan sangat
besar
• Suhu
udara
bervariasi
• Iklim musiman

Karakteristik Geologi
• Geologi umumnya karang
atau vulkanik
• Sedikit mineral penting
• Tanah porous

• Geologi umumnya sedimen
(endapan) atau metamorf
• Ada
beberapa
mineral
penting
• Tanah beragam

• Sedimen
atau
metamorf
• Beberapa
mineral
penting
• Tanah beragam

Karakteristik Biologi
• Keanekaragaman
hayati • Keanekaragaman
hayati
rendah
sedang
• Pergantian spesies sedang
• Pergantian spesies tinggi
pemijahan
• Kejadian
pemijahan • Kejadian
vertebrata Iaut sering
vertebrata laut tinggi

• Keanekaragaman
hayati tinggi
• Pergantian spesies
rendah
• Kejadian pemijahan
vertebrata
laut
sedikit Garang)

Karakteristik Ekonomi
• Sedikit sumberdaya daratan
• SDA laut > SDA darat
• Jauh dari market

• SDA darat cukup luas
• SDA Iaut > penting SDA
darat
• Lebih dekat dengan market

• SDA darat luas
• SDA Iaut < penting
SDAdarat
• Pasar tersedia mudah

Sumber : (Salm et a/. 2000, diacu dalam Bengen dan Retraubull 2006)

Berdasarkan posisinya terhadap benua (Tabel 2.1), Salm et al. (2000) diacu
dalam Bengen dan Retraubun (2006), membedakan pulau kecil atas 2 (dua)

15

kelompok, yaitu: pulau oseanik (Pulau yang posisinya jauh dari benua, dikelilingi
oleh laut yang dalam atau bahkan samudera) dan pulau kontinental (pulau yang
posisinya dekat dengan henua, dikelilingi oleh Iaut yang relatif dangkal). Sebagian
hesar pulau kecil adalah pulau oseanik, yang memiliki ciri-ciri yang he