Kualitas Fisik Daging dari Domba Lokal Jantan dengan Kecepatan Tumbuh Berbeda yang Dipelihara Secara Intensif

(1)

SKRIPSI

RAYOGI SURYANTORO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010


(2)

Jantan dengan Kecepatan Tumbuh Berbeda yang Dipelihara Secara Intensif.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama :Dr. Ir. Moh. Yamin, M. Agr, Sc Pembimbing Anggota : Ir. Sri Rahayu, M.Si

Salah satu cara untuk memperoleh domba lokal yang unggul adalah melalui seleksi. Penyeleksian dilakukan dalam suatu populasi domba lokal dengan pertambahan bobot badan domba lokal yang dipelihara secara intensif. Saat ini keragaman genetik pada pertumbuhan domba lokal masih tinggi. Seleksi ini diharapkan dapat menghasilkan domba yang unggul dalam pertumbuhan. Kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada domba dikhawatirkan disebabkan oleh perkembangan lemaknya, padahal daging yang lebih diminati oleh konsumen adalah daging dengan kandungan lemak yang rendah. Kandungan lemak pada daging merupakan salah satu kriteria kualitas fisik dari daging.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas fisik daging domba lokal yang memiliki kecepatan tumbuh yang berbeda dengan pemeliharaan secara intensif. Penelitian ini dilakukan di Tawakal Farm dan Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sebanyak 35 ekor domba (dengan PBBH lebih dari 150 gram/ekor/hari) dipilih sebagai kelompok domba lokal tumbuh cepat (TC) dan 35 ekor domba (dengan PBBH kurang dari 80 gram/ekor/hari) dipilih sebagai kelompok domba lokal tumbuh lambat (TL). Setelah diseleksi, ditentukan tiga ekor domba cepat tumbuh dan tiga ekor domba lambat tumbuh yang dipotong sebagai materi penelitian. Setelah dipotong, daging bagian Longisimus dorsi digunakan untuk pengamatan warna daging, warna lemak, marbling dan tebal lemak. Daging bagian Semitendinosus digunakan untuk mengamati nilai pH, daya mengikat air, keempukan dan susut masak. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t dengan membandingkan dua perlakuan yaitu kelompok domba cepat tumbuh dan kelompok domba lambat tumbuh. Hal tersebut untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dengan masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan.

Hasil yang didapatkan menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata pada semua peubah baik pada domba cepat tumbuh maupun domba lambat tumbuh. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan pertumbuhan pada domba tidak menurunkan kualitas daging salah satunya yaitu akumulasi lemak.


(3)

Different Growth Rate, Raised Intensively Suryantoro, R, M. Yamin, S. Rahayu

Local sheep have high potential to be raised in Indonesia, because they are prolific, well adapted, disease resistant and profitable. The genetic variability on their growth is still high. It is therefore, selection on the growth is important to conduct to find superior sheep in the population. Increase in growth however, can decrease meat quality, especially fat content dan tenderness. The aims of this research is to study meat quality in fast growing and slow growing sheep. The meat sample was taken from Longisimus Dorsi and Semitendinosus meat. Meat quality observed from the sample included water holding capacity, cooking loss, pH, tenderness, meat color, fat color, marbling and fat thickness. The results show that there were no significant defferences between fast growing sheep and slow growing sheep in the meat quality. It is concluded that fast growing sheep did not decrease meat quality, a desirable finding.


(4)

RAYOGI SURYANTORO D14062025

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010


(5)

NIM : D14062025

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Moh.Yamin, M.Agr.Sc.) (Ir. Sri Rahayu, M.Si.) NIP.19630928 198803 1 002 NIP. 19570611 198703 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas peternakan IPB

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004


(6)

bernama Djumantoro dan ibu bernama Iis Suryani. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan penulis dimulai dari TK Aulia, Bekasi dari tahun 1993 hingga tahun 1994. Selanjutnya penulis memulai pendidikan dasar pada SD Aulia dari kelas 1 hingga kelas 2 yaitu pada tahun 1994 hingga tahun 1996. Saat kelas 3 penulis pindah ke SDN Jaladhapura II Bekasi hingga kelas 6 yaitu pada tahun 1996 hingga tahun 2000. Penulis lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Tambun Selatan pada tahun 2003. Selanjutnya penulis lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bekasi pada tahun 2006.

Penulis melanjutkan pendidikannya pada jenjang perguruan tinggi pada tahun 2006 dengan terdaftar sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai anggota dalam organisasi Music Agriculture X-Pression!!! dari tahun 2006 hingga tahun 2008 dan menjabat sebagai kepala divisi musik pada tahun 2008 hingga tahun 2009. Selain itu pada tahun 2007 penulis aktif sebagai anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D) hingga tahun 2008 dan pada tahun 2008 penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) hingga tahun 2009.

                         


(7)

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis memperoleh kemudahan dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Kualitas Fisik Daging Domba Lokal Jantan dengan Kecepatan Tumbuh Berbeda yang Dipelihara Secara Intensif”. Kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada domba dikhawatirkan diakibatkan oleh perkembangan lemaknya. Padahal daging yang lebih diminati oleh konsumen adalah daging dengan kandungan lemak yang rendah.

Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini, informasi mengenai sifat fisik daging domba dengan kecepatan pertumbuhan yang berbeda dapat diperoleh dengan jelas. Penulis juga berharap dengan penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Oktober 2010


(8)

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Klasifikasi Ternak Domba ... 3

Domba Lokal ... 3

Pertumbuhan Domba ... 3

Penggemukan Domba ... 7

Seleksi ... 7

Daging Domba ... 8

Sifat Fisik Daging ... 9

Nilai pH Daging ... 9

Daya Mengikat Air ... 10

Keempukan ... 11

Susut Masak Daging ... 11

Warna Daging ... 12

Warna Lemak ... 12

Lemak Marbling ... 13

Tebal Lemak ... 13

Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan Kualitas Karkas ... 14

MATERI DAN METODE ... 17

Lokasi dan Waktu ... 17

Materi ... 17

Ternak ... 17

Kandang ... 17


(9)

Pemotongan dan Penguraian Karkas... 19

Peubah Yang Diamati ... 19

Nilai pH Daging ... 20

Daya Mengikat Air ... 20

Keempukan ... 21

Susut Masak ... 21

Warna Daging ... 22

Warna Lemak ... 22

Marbling ... 22

Tebal Lemak ... 23

Rancangan Percobaan ... 23

Perlakuan ... 23

Analisis ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Kondisi Umum Lingkungan Peternakan ... 24

Pertumbuhan Domba... 25

Sifat Fisik Daging Domba... 27

Nilai pH Daging ... 28

Daya Mengikat Air... 30

Keempukan ... 31

Susut Masak ... 34

Penampailan Umum Daging ... 36

Warna Daging ... 36

Warna Lemak ... 37

Lemak Marbling ... 37

Tebal Lemak ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 40

UCAPAN TERIMAKASIH ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

Nomor Halaman

1. Komposisi Zat-zat Makanan Ampas Tahu ... 17

2. Rataan Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba ... 25

3. Data Sifat Fisik Daging Domba ... 28


(11)

1. Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan

Kualitas Karkas ... 3

2. Kurva Pertumbuhan Sejak Lahir Sampai Ternak Mati ... 6

3. pH Meter ... 20

4.Alat Pengujian Daya Mengikat Air Daging, Kertas Saring, Planimeter … 21 5.Selongsong untuk Core, Daging yang telah di Core, Warner Blatzer... … 21

6. Meat Colour Card Score ... 22

7. Marbling Card Score ... 22

8. Fat Colour Card Score ... 23


(12)

1. Hasil Analisis Uji t Daya Mengikat Air ... 48

2. Hasil Analisis Uji t Nilai pH Daging ... 48

3. Hasil Analisis Uji t Keempukan ... 48

4. Hasil Analisis Uji t Susut Masak ... 49

5. Hasil Analisis Uji t Warna Daging ... 49

6. Hasil Analisis Uji t Warna Lemak ... 49

7. Hasil Analisis Uji t Marbling ... 50

8. Hasil Analisis Uji t Tebal Lemak ... 50  


(13)

Domba merupakan salah satu ternak yang sangat potensial di Indonesia. Sifat domba yang prolific (beranak lebih dari satu), mampu beradaptasi dengan iklim tropis, tahan terhadap penyakit, serta perputaran modal yang cepat dan menguntungkan menjadi alasan dari potensi domba tersebut. Perkembangan usaha peternakan domba didorong oleh tingginya permintaan daging disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Populasi domba di Indonesia saat ini mencapai 10.471.991 ekor dengan rata-rata peningkatan populasi per tahun sebesar 6,56% dan produksi daging sebesar 54.175 ton dan hanya mampu memenuhi kebutuhan daging 3,61% per tahun (Ditjennak, 2009).

Berdasarkan potensi tersebut, dibutuhkan pengembangan agar didapatkan domba-domba yang memiliki keunggulan. Salah satu cara untuk memperoleh domba lokal yang unggul adalah melalui seleksi. Penyeleksian dilakukan di dalam suatu populasi domba yang salah satunya dapat diseleksi dengan pertambahan bobot badan dari domba lokal yang dipelihara secara intensif. Saat ini keragaman genetik pada pertumbuhan domba lokal masih tinggi. Seleksi ini diharapkan dapat menghasilkan domba yang unggul dalam pertumbuhan.

Pertumbuhan pada dasarnya adalah perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein, dan abu pada karkas (Soeparno, 2005). Kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada domba dikhawatirkan akan menghasilkan lemak yang berlebih pada karkas. Daging yang lebih diminati oleh konsumen di Indonesia adalah daging dengan kandungan lemak yang rendah.

Kandungan lemak sendiri di dalam karkas akan mempengaruhi kualitas fisik dari daging. Sifat fisik memegang peranan penting dalam proses pengolahan karena sifat fisik menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor penting sebelum pemotongan adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak. Ternak yang tidak diistirahatkan akan


(14)

menghasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor penting setelah pemotongan yang berpengaruh pada kualitas daging adalah pelayuan. Kualitas fisik daging merupakan faktor yang sangat penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap daging sehingga hal ini perlu untuk diteliti.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas fisik daging domba lokal yaitu daya mengikat air, pH, keempukan, susut masak, warna daging, warna lemak, tebal lemak dan marbling dari domba yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan domba yang memiliki pertumbuhan yang lambat dengan pemeliharaan secara intensif.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pentingnya seleksi dalam produksi domba agar didapatkan domba yang memiliki keunggulan didalam pertumbuhannya serta memberikan infomasi tentang pengaruh kecepatan pertumbuhan terhadap sifat fisik dari daging domba.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Ternak Domba

Menurut Blakely dan Bade (1998), domba termasuk ke dalam kingdom Animalia/hewan, filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (hewan menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap), famili Bovidae (hewan yang memamah biak), genus Ovis dan species Ovis aries (domba domestik). Gatenby (1986) melaporkan bahwa ada tiga bangsa domba di Indonesia yaitu domba ekor tipis (The Java Fat Tailed), Priangan dan domba ekor gemuk (East Java Fat Tailed). Inouno dan Dwiyanto (1996) mengemukakan bahwa terdapat dua tipe domba yang paling menonjol di Indonesia yaitu domba ekor tipis (DET) dan domba ekor gemuk (DEG) dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe.

Domba Lokal

Domba ekor tipis ini memiliki tubuh yang kecil, untuk domba jantan dewasa 15-20 kg, biasanya berwarna putih disertai belang hitam di sekitar mata dan hidung. Domba jantan memiliki tanduk sedangkan domba betina tidak memiliki tanduk. Sebagian besar domba ekor tipis (DET) ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan sedikit di Jawa Timur (Mason, 1980). Domba ekor tipis memiliki tubuh ramping, bercak hitam pada sekitar mata atau hidung, pola warna tubuh sangat beragam, kualitas wol yang rendah (kasar), serta ekor tipis, pendek dan tidak tampak timbunan lemak (Mulliadi, 1996).

Pertumbuhan Domba

Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 2005). Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yang pertama diukur sebagai peningkatan berat per satuan waktu, yang kedua meliputi perubahan dalam bentuk dan komposisi akibat pertumbuhan diferensiasi bagian komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1976).

Pertumbuhan dibagi kedalam dua fase, yaitu pertumbuhan prenatal (sebelum melahirkan) dan postnatal. Tahap pertumbuhan prenatal tersebut meliputi fase


(16)

blastosit, fase embrio dan fase fetus (Soeparno, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan prenatal juga akan mempengaruhi laju pertumbuhan, otot, tulang, deposisi lemak dan adaptasi lingkungan selama pertumbuhan postnatal (Cole dan Ronning, 1974)

Kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, setelah terjadi deselerasi atau penurunan kecepatan pertumbuhan (seperti yang ditunjukan pada kurva sigmoidal) kenaikan berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi pada kira-kira sepertiga dari berat akhir. Fase dimana akselerasi pertumbuhan berhenti dan deselerasi pertumbuhan dimulai disebut titik infleksi. Pada ternak, fase ini berhubungan dengan waktu pubertas (Cole, 1962).

Pola pertumbuhan tubuh secara normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Pada kondisi lingkungan yang ideal, bentuk kurva pertumbuhan postnatal (sesudah lahir) untuk semua spesies ternak adalah serupa, yaitu mengikuti pola sigmoidal. Kurva pertumbuhan sigmoidal terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat tubuh, tetapi memberi kesempatan pada ternak untuk tumbuh, mencapai dewasa dan berinteraksi dengan lingkungan (Soeparno, 2005). Menurut Brody (1945). Saat lahir sampai pubertas terjadi peningkatan pertambahan bobot badan yang semakin meningkat. Setelah dicapai pubertas, pertambahan harian menurun sampai dicapai titik nol setelah dicapainya kedewasaan. Setelah kedewasaan laju pertumbuhannya menjadi negatif.


(17)

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Sejak Lahir Sampai Ternak Mati Keterangan :

Y = Bobot hidup, Pertambahan bobot badan harian atau persen laju ertumbuhan X = Umur C = Pembuahan B = Kelahiran P = Pubertas

M = Dewasa tubuh D = Mati

Sewaktu kelahiran, tubuh ternak mengandung komponen lemak yang rendah. Deposisi lemak tubuh ternak terjadi dengan meningkatnya pertumbuhan (Lawrence dan Fowler, 1997). Deposisi lemak terjadi pada saat pertumbuhan prenatal dan pada awal pertumbuhan postnatal pada lokasi yang spesifik dan kemudian menyebar dengan meningkatnya pertumbuhan. Dari kelahiran sampai terjadinya bobot dewasa, lemak intramuskular memiliki peningkatan yang relatif lebih besar dibandingkan lemak subkutan, walaupun lemak subkutan mempunyai proporsi yang lebih besar dari besar total lemak tubuh (Cole dan Ronning, 1974).

Setiap individu di dalam suatu bangsa atau diantara bangsa ternak terdapat perbedaan respons terhadap pengaruh lingkungan seperti nutrisional, fisik dan mikrobiologis. Perbedaan respons ini menyebabkan adanya perbedaan kadar laju pertumbuhan. Faktor jenis kelamin, hormon, dan kastrasi serta genotip juga mempengaruhi pertumbuhan. Jenis, komposisi kimia dan konsumsi pakan


(18)

mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan. Pengaruh nutrisi akan lebih besar bila perlakuannya dimulai sejak awal periode pertumbuhan. Jenis kelamin dapat juga menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan (Soeparno, 2005). Domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada betina muda, pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990).

Pertumbuhan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang, dan kadar lemak rendah. Menjelang bobot badan dewasa, proporsi urat daging dalam pertambahan bobot badan menurun sedikit, komponen tulang dari pertambahan bobot badan hampir tidak bertambah, dan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan daging dan tulang tidak banyak (hampir seperti garis lurus), karena urat daging tumbuh lebih cepat daripada tulang, maka jika hewan bertambah besar, perbandingan antara urat daging dan tulang menjadi lebih besar. Berlainan dengan urat daging dan tulang, pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Fase ini disebut fase finish (Parakkasi, 1999).

Tingkat kenaikan bobot badan harian domba dan kambing di pedesaan sekitar 20-40 gram/ekor/hari (Mathius, 1998). Rataan pertambahan bobot badan harian domba yang sedang dalam masa pertumbuhan berkisar antara 49,64-71,43 gram/ekor/hari (Tarmidi, 2004). Devandra (1982) dalam penelitiannya menyebutkan penggemukan domba menggunakan rasio pakan 25% hijauan dan 75% konsentrat menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 209 gram/ekor/hari. Pemberian konsentrat dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan domba.

Domba jantan tumbuh lebih cepat dan mempunyai bobot dewasa yang lebih besar, namun mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah (Johnston, 1983). Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan kemudian, yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai dengan kebutuhannya. Tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% dicapai pada tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan kedua dan 25% berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir (Herman, 2003).


(19)

Penggemukan Domba

Penggemukan merupakan cara pemberian pakan yang umum dilakukan pada domba dengan tujuan untuk meningkatan flavor, keempukan dan kualitas daging, sesuai permintaan konsumen. Penggemukan umumnya dilakukan lewat pemberian pakan kaya energi, yaitu karrbohidrat dan lemak, seperti dengan biji-bijian, dan umumnya dikombinasikan dengan rumput (Ensminger, 2002). Tujuan penggemukan adalah untuk memperbaiki kualitas karkas atau daging. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas tersebut, salah satunya adalah deposit lemak dalam karkas (Parakkasi, 1999).

Yamin (2001) menjelaskan, domba digemari para petani sebagai usaha ternak komersial karena dinilai lebih ekonomis, relatif cepat, modal kecil serta lebih praktis. Ternak domba yang digemukan biasanya bakalan domba lepas sapih yang berumur 8-12 bulan (masa tumbuh). Bakalan yang dipilih adalah domba kurus dan sehat. Kondisi masa pertumbuhan dan kondisi yang relatif kurus dari pasar cukup ideal untuk penggemukan domba yang berlangsung sekitar 2-3 bulan.

Penentuan waktu untuk mengakhiri program penggemukan karena sudah mencapai titik optimum merupakan sesuatu yang tidak mudah, apabila titik tersebut dapat ditentukan secara baik, maka pengusaha dapat mengurangi bahan-bahan makanan yang terbuang, mendapatkan karkas yang tidak banyak berlemak (leaner), dan mempercepat turn-over usaha, yang menentukan lama penggemukan tersebut di lapangan adalah faktor ekonomi, diantaranya situasi persediaan pangan dan permintaan kualitas dari konsumen (Parakkasi, 1999).

Seleksi

Menurut Noor (2008), dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan berproduksi. Terdapat dua kekuatan yang menentukan apakah ternak-ternak pada generasi selanjutnya. Kedua kekuatan itu adalah seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi alam meliputi kekuatan-kekuatan alam yang menentukan ternak-ternak akan bereproduksi dan menghasilkan keturunan untuk melanjutkan proses reproduksi. Pada seleksi buatan, manusia menentukan ternak mana yang boleh bereproduksi. Ternak-ternak ini tidak dipilih berdasarkan daya adaptasinya terhadap lingkungan, tetapi berdasarkan keunggulannya. Hal itu


(20)

disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi gen-gen yang tidak diinginkan.

Perbedaan yang dapat diamati pada ternak-ternak untuk berbagai sifat disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Kedua faktor ini berperan sangat penting dalam menentukan keunggulan suatu ternak. Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah, meski masih didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukan produksi yang tinggi. Jadi, pada dasarnya ternak yang memiliki mutu genetik yang tinggi harus dipelihara pada lingkungan yang baik pula agar ternak tersebut bisa menampilkan produksi secara maksimal (Noor, 2008)

Daging Domba

Menurut Lawrie (2003) daging adalah jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan memasukan organ-organ seperti hati, ginjal, otot, dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan, karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005).

Muzarnis (1982) menyatakan bahwa kondisi daging dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain oleh umur ternak, pekerjaan ternak yang akan dipotong semasa hidupnya, makanan ternak dan bagian tubuh ternak tersebut. Menurut Soeparno (2005), perbedaan kandungan gizi daging dipengaruhi jenis kelamin, pakan, umur, jenis ternak, serta letak dan fungsi bagian dari daging tersebut di dalam tubuh. Daging domba yang bermutu baik memiliki warna merah khas daging segar, bau khas daging segar, penampakan yang kering, kenyal dan dengan pH 5,3-5,8 (Badan Standardisasi Nasional, 1995).

Daging domba dapat dibedakan berdasarkan berat, umur domba, jenis kelamin, dan tingkat perlemakan. Daging domba memiliki bobot jaringan muskuler atau urat daging yang berkisar 46% - 65% dari bobot karkas (Lawrie, 2003). Daging domba yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri antara lain berwarna merah segar


(21)

dengan serat yang halus, lemak berwarna kuning dan dagingnya keras (elastis). Tingkat keempukan daging domba dapat dipengaruhi oleh waktu pelayuan daging, pembekuan dan metode pemasakan. Daging domba memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan daging sapi (Sahidi, 1998).

Sifat Fisik Daging

Daging segar merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebutkan produk yang telah mengalami perubahan kimia dan fisika setelah hewan tersebut disembelih dan hanya mengalami pengolahan minimal saja misalnya pembekuan (Soeparno, 2005). Sifat fisik daging sangat berguna bagi penjual, hal ini untuk ditampilkan kepada pembeli atau konsumen, ataupun untuk kesesuaian pengolahan lebih lanjut. Hal yang paling penting ialah daya mengikat air, warna, tekstur, dan kealotan (Aberle et al., 2001).

Nilai pH Daging

Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan (Lukman et al., 2007). Konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging. Glikogen adalah substrat metabolik dalam glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat, yang akan menurunkan pH otot. Proses glikolisis dan penurunan pH berlangsung hingga cadangan glikogen habis atau terhentinya proses metabolik terkait terhentinya proses enzimatik akibat pH yang rendah.

Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. Perubahan pH ini tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan. Bila jumlah glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas, bahkan mendapatkan daging yang berkualitas jelek (Pearson, 1989). Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP (Henckle et al., 2000).


(22)

Dihansih (2006) nilai pH daging ditentukan oleh kadar glikogen dan asam laktat daging hewan setelah dipotong. Selama konversi otot menjadi daging akan berlangsung proses glikolisis dalam keadaan anaerob. Pada proses ini akan terjadi perombakan glikogen menjadi asam laktat untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan dengan cepat. Proses ini berlangsung terus menerus sampai cadangan glikogen habis atau sampai pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik.

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kelezatan dan daya terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyaknya air yang hilang atau drip merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga, karena mempengaruhi bobot daging. Tingkat daya mengikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan, dan waktu (Honikel, 1998).

Air yang terikat dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein yang berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun bila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno, 2005).

Lawrie (2003) menambahkan bahwa besarnya penurunan pH pascamati mempengaruhi nilai DMA, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan DMA. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi yaitu sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1. Daya mengikat air dipengaruhi oleh pH, juga dipengaruhi oleh spesies, umur, fungsi dari otot, pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum


(23)

dipotong dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005). Semakin tua umur ternak dipotong, maka persentase lemak intramuskular akan semakin tinggi. Daging dengan lemak intramuskular tinggi akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi (Zein, 1991).

Keempukan Daging

Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor atau warna (Lawrie, 2003). Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, daya ikat air oleh protein serta juiciness daging (Soeparno, 2005).

Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek, pertama mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging. Kedua, mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003). Natasasmita (1994) menyatakan bahwa jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat halus. Aberle et al. (2001), menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan, dan ternak-ternak yang digemukan dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan.

Keempukan daging pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sebelum ternak dipotong (antemortem) dan ternak setelah dipotong (postmortem). Adapun yang termasuk ke dalam pengaruh antemortem adalah faktor genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur jenis kelamin dan stres. Faktor-faktor postmortem yang mempengaruhi kualitas daging diantaranya metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan termasuk lama dan temperatur penyimpanan, cara pemasakan dan pemakaian zat pengempuk (Soeparno, 2005).

Susut Masak Daging

Susut masak daging yaitu perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam presentase. Susut masak merupakan fungsi


(24)

dari temperatur dan lama pemasakan. Menurut Soeparno (2005), susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging.

Menurut Soeparno (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada bermacam-macam, seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Bobot potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak.

Warna Daging

Warna daging adalah kesan total yang terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ketika memandang. Menurut Arbele., et al (2001), warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang dideteksi oleh mata. Faktor yang spesifik yaitu hue (warna dasar; pigmen hijau, merah dan biru), chroma (intensitas warna) dan value (terang tidaknya). Hue di dalam daging adalah mioglobin. Mioglobin adalah pigmen yang menentukan warna daging segar. Mioglobin bersifat larut dalam air dan larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkoplasma. Mioglobin adalah pigmen berwarna merah keunguan yang dapat mengalami perubahan akibat reaksi kimia (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi warna daging menurut Soeparno (2005) adalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi konsentrasi dan status kimia mioglobin, kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003)

Warna lemak

Daging domba terdiri dari serat-serat halus yang sangat rapat jaringannya dengan konsistensi yang cukup padat, diantara otot-otot dan di bawah kulit terdapat banyak lemak dan lemak dari daging domba berwarna putih. Daging domba jantan lebih amis dan memiliki lemak yang berwarna putih, padat mudah mencair, dan


(25)

membeku kembali. Warna daging domba sedikit lebih gelap daripada daging sapi (Muzarnis, 1982).

Marbling

Deposisi lemak marbling berbeda diantara spesies, diantara ternak, diantara umur ternak dan diantara otot. Umumnya, penurunan aktivitas otot akan meningkatkan deposisi lemak ke dalam jaringan otot (jika faktor lain misalnya nutrisi mempunyai pengaruh yang konstan), sedangkan lemak intramuskular banyak dipengaruhi oleh faktor heritabilitas (Briskey dan Kauffman, 1971). Lemak marbling merupakan jaringan lemak yang tumbuh paling akhir setelah deposisi lemak viscera, lemak penyelubung ginjal dan lemak subkutan sudah terbentuk (Berg dan Butterfield, 1976).

Marbling mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap jus daging dan flavor daripada keempukan daging, karena marbling meleleh pada saat pemasakan dan pembebasannya selama pengunyahan bersama-sama dengan sebagian air bebas dari daging akan meningkatkan jus daging (Briskey dan Kauffman, 1971). Daging yang tidak mengandung marbling bisa tampak lebih kering dan memiliki flavor yang kurang baik daripada daging yang memiliki cukup marbling (Soeparno, 2005).

Kondisi perlemakan karkas juga disesuaikan dengan keinginan konsumen. Berbeda dengan konsumen pasar khusus, konsumen pasar tradisional lebih banyak memilih daging dengan perlemakan rendah, sedangkan konsumen pasar khusus lebih memilih daging dengan perlemakan yang tinggi, khususya lemak marbling. Menurut Halomon (2000), hal ini terjadi karena konsumen-konsumen pasar khusus lebih memperhatikan kualitas untuk menghasilkan suatu hasil akhir yang baik setelah daging dimasak.

Tebal Lemak

Ketebalan lemak subkutan merupakan faktor yang diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas. Jumlah daging yang dihasilkan sebanding dengan berat karkas dan berbanding terbalik dengan jumlah lemak karkas. Selanjutnya disebutkan bahwa nutrisi kemungkinan besar merupakan faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi komposisi karkas, terutama pada proporsi kadar lemak (Soeparno, 2005).


(26)

Pengukuran ketebalan lemak subkutan untuk kualitas hasil berdasarkan United States Departement of Agriculture (USDA), yaitu diukur secara subyektif antara rusuk 12 dan 13 pada permukaan area otot longisimus dorsi (LD), pada posisi pemisahan seperempat depan dan seperempat belakang dari karkas. Pengukurannya dilakukan tegak lurus permukaan lemak, di posisi tiga perempat bagian sumbu panjang otot LD (Swatland, 1984). Indikator ketebalan lemak punggung berperan penting sebagai indikator produktivitas karkas, karena memberikan hasil pendugaan yang akurat. Ketebalan lemak punggung, selain digunakan untuk mengestimasi berat lean dan berat lemak, juga dapat digunakan untuk presentase lean dan presentase lemak (Priyanto et al., 1995).

Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan Kualitas Karkas

Bagian ini memuat ringkasan mekanisme pola pertumbuhan domba dengan produksi dan kualitas karkas, yang menunjukan kerangkan pemikiran penelitian yang dilakukan berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dibahas. Secara umum pertumbuhan dibagi menjadi dua yaitu periode sebelum lahir dan periode setelah lahir. Periode sebelum lahir meliputi pertumbuhan ovum, embrio dan fetus. Fase pertumbuhan setelah melahirkan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu nutrisi, jenis kelamin, hormon, kastrasi, iklim, sistem pemeliharaan dan bobot lahir (Gambar 2). Domba jantan akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan domba betina. Domba jantan yang dikastrasi juga akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik karena pertumbuhannya tidak akan terbagi lagi untuk pertumbuhan alat kelamin. Iklim yang sesuai juga akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Iklim yang sesuai akan mengurangi stres panas yang akan menyebabkan ternak berproduksi dengan lebih baik. Sistem pemeliharaan secara intensif akan memberikan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi karena aktivitas gerak dari ternak domba lebih sedikit. Bobot potong yang tinggi juga akan berpengaruh pada pertumbuhannya.

Pertumbuhan pada domba dalam kondisi lingkungan, sistem pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama terbagi menjadi domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat. Pertumbuhan yang lebih cepat pada domba dapat dilihat dari pertambahan bobot badan hariannya yang tinggi. PBBH yang tinggi akan


(27)

menyebabakan tercapainya bobot potong yang lebih cepat yang tentunya akan dapat lebih mengefisiensikan biaya produksi sehingga keuntungan yang didapatkan peternak akan lebih tinggi. Komponen dari karkas terbagi menjadi tiga yaitu daging, tulang dan lemak (Gambar 2). Perubahan komposisi karkas sebanding dengan bertambahnya bobot karkas itu sendiri, bobot karkas yang semakin tinggi diikuti dengan pertambahan persentase lemak dan menurunnya persentase daging dan tulang. Tulang sebagai kerangka tubuh merupakan komponen yang tumbuh dan berkembang paling dini kemudian disusul oleh daging atau otot dan yang paling akhir jaringan lemak (Soeparno, 1991).

Kualitas dari daging dapat dilihat dari sifat fisik yang terdiri dari nilai pH, daya mengikat air, keempukan, dan susut masak serta dari penampilan umum daging yang terdiri dari warna daging, warna lemak, marbling dan tebal lemak (Gambar 2). Faktor yang mempengaruhi nilai pH dari daging terdiri menjadi dua yaitu faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yaitu pemuasaan dan dan stres pada saat pemotongan. Faktor setelah pemotongan yaitu kadar glikogen dan asam laktat didalam daging (Gambar 2).

Daya mengikat air pada daging dipengaruhi oleh pemotongan, genetik, spesies, laju glikolisis, nilai pH akhir, fungsi otot dan jenis kelamin (Gambar 2). Nilai daya mengikat air berbanding terbalik dengan nilai susut masak. Semakin kecil daya mengikat air dari daging maka susut masak akan semakin besar. Susut masak sendiri dipengaruhi oleh nilai pH, panjang sarkomer otot, panjang serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel (Gambar 2). Keempukan dari daging dipengaruhi oleh faktor antemortem yaitu bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur jenis kelamin dan stress serta faktor postmortem yaitu metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan termasuk lama dan temperatur penyimpanan, cara pemasakan dan pemakaian zat pengempuk (Gambar 2).

Penampilan umum dari daging dapat dilihat dari warna daging, warna lemak, marbling dan tebal lemak. Warna daging dipengaruhi oleh genetik, pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, aktivitas otot dan nilai pH (Gambar 2). Warna lemak dipengaruhi oleh umur dan pakan (Gambar 2). Domba dengan umur yang lebih muda akan mempunyai lemak yang lebih putih. Pemberian hijauan akan menyebabkan lemak menjadi lebih kuning yang disebabkan karoten yang terdapat didalam hijauan.


(28)

Kandungan marbling didalam daging dipengaruhi oleh spesies, ternak, umur, pakan dan tujuan pemeliharaan (Gambar 2). Tebal lemak dipengaruhi oleh pakan, umur dan bobot potong (Gambar 2).

Keterangan : (a) Soeparno, (2005); (b) Parakkasi, (1999); (c) Kusumastuti, (2006); (d) Pearson, (1989); (e) Dihansih, (2006); (f) Honikel, (1998); (g) Veiseth, (2004); (h) Natasasmita, (1994); (i) Whytes and Ramsay, (1994); (j) Briskey dan Kauffman, (1971); (k) Halomon, (2000).

Gambar 2. Mekanisme Hubungan Pola Pertumbuhan Domba dengan Produksi dan Kualitas Karkas


(29)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Tawakal Farm, Desa Cimande Hilir RT 05 RW 05 Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Analisis sifat fisik dan kualitas daging dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2009.

Materi

Ternak

Ternak yang digunakan adalah domba lokal dengan umur kurang dari satu tahun (I0) sebanyak enam ekor yang terdiri atas tiga ekor domba yang dikategorikan

tumbuh cepat (TC) dengan pertambahan bobot badan harian (PBBH) lebih dari 150 gram/hari dan tiga ekor domba yang dikategorikan tumbuh lambat (TL) dengan PBBH kurang dari 80 gram/hari.

Kandang

Kandang yang digunakan untuk penelitian ini adalah kandang individu dengan ukuran 40x80 cm.

Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah timbangan dengan kapasitas 120 kg, pita ukur, pisau, pinset, freezer, kertas label, plastik, carper press, planimeter, pH-meter, Warner Blatzer, termometer bimetal, panci, kompor, kertas saring, timbangan digital, gergaji karkas, gunting, penggantung karkas domba, kamera, jangka sorong, meat colour card score, fat colour card score dan marbling card score.

Pakan

Pakan yang diberikan merupakan pakan yang sama dengan pakan penggemukan yang diberikan pada Tawakal Farm yaitu rumput lapang 2 kg/hari/ekor dan ampas tahu sekitar 2 kg/hari/ekor.


(30)

Tabel 1. Komposisi Zat-zat Makanan Ampas Tahu Bahan BK (%) PK (%) SK (%)* LK (%)** NDF (%) ADF (%) Abu (%) Ca (%) P (%) Eb Kkal/kg Ampas

Tahu 13,3 21,0 23,58 10,49 51,93 25,63 2,96 0,53 0,24 4730

Sumber: Pulungan., et al (1985) *) Sutardi., et al (1976) **) Arianto (1983)

Prosedur

Penentuan Sampel Penelitian

Identifikasi merupakan tahap awal dalam penentuan sampel penelitian. Identifikasi dilakukan untuk mencari domba lokal tumbuh cepat (TC) dan tumbuh Lambat (TL). Identifikasi dilakukan dengan penentuan umur, jenis dan pengukuran tubuh domba. Identifikasi awal dilakukan dengan menggunakan seleksi cepat dalam populasi kurang lebih 900 ekor. Seleksi awal dalam populasi dilakukan berdasarkan jenis kelamin yaitu domba jantan dengan jumlah kurang lebih 700 ekor. Selanjutnya dilakukan seleksi berdasarkan jenis karena di dalam populasi ini terdapat jenis domba Garut dan domba lokal (ekor tipis). Penelitian ini menggunakan domba lokal yang berjumlah sekitar 600 ekor. Selanjutnya dilakukan seleksi berdasarkan umur. Domba yang digunakan adalah domba dengan umur dibawah satu tahun yang berjumlah sekitar 500 ekor. Setelah itu dilakukan seleksi berdasarkan ukuran tubuh, bobot badan dan pertambahan bobot badan harian (PBBH). Identifikasi dilakukan 1 bulan sekali kemudian domba diseleksi untuk menentukan kelompok domba lokal tumbuh cepat dan tumbuh lambat. Kriteria yang digunakan dalam menyeleksi domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat yaitu : 

1. Bobot awal (gram) : diukur dengan menimbang ternak pada awal penelitian

2. Bobot akhir (gram) : diukur dengan menimbang ternak pada akhir penelitian.

3. Pertambahan bobot badan (PBB) : dihitung dengan mengurangi bobot akhir dengan bobot awal

4. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) : dihitung dengan mengurangi bobot akhir dengan bobot awal dibagi dengan waktu pengamatan (hari)


(31)

a. Lingkar dada (cm) : diukur melingkar sekeliling rongga sendi bahu (os scapula)

b. Panjang badan (cm) : diukur dari tonjolan sendi bahu (os scapula) sampai tulang duduk

c. Tinggi badan (cm) : diukur secara vertikal dari titik tertinggi scapula sampai ujung kaki.

Sebanyak 35 ekor domba dengan PBBH lebih dari 150 gram/ekor/hari (di atas nilai rataan PBBH populasi) dipilih sebagai kelompok domba lokal tumbuh Cepat (TC) dan 35 ekor domba dengan PBBH kurang dari 80 gram/ekor/hari (di bawah nilai rataan PBBH populasi) dipilih sebagai kelompok domba lokal tumbuh Lambat (TL). Nilai rataan PBBH populasi adalah 110 g/ekor/hari. Setelah diseleksi, ditentukan tiga ekor domba tumbuh cepat dan tiga ekor domba tumbuh lambat yang akan dipotong sebagai materi penelitian.

Pemotongan dan Penguraian Karkas

Masing-masing domba penelitian dipotong untuk mendapatkan karkas dan potongan komersialnya. Ternak dipuasakan terlebih dahulu sebelum dipotong selama 16 jam untuk mengurangi jumlah digesta dalam saluran pencernaan. Domba ditimbang sebelum dipotong, untuk menentukan bobot potongnya. Domba dipotong pada persendian tulang atlas, memotong vena jugularis, oseophagus dan trachea. Darah yang keluar ditampung kemudian domba digantung pada tendon achile-nya. Setelah itu dilakukan pemotongan kepala dan keempat kaki, pengulitan dan eviserasi, maka diperoleh karkas.

Bagian kepala dipotong pada persendian occipito atlatis, bagian kaki depan dipotong pada persendian carpal-metacarpal dan bagian kaki belakang dipotong pada persendian tarsus-meta-tarsus. Jeroan yaitu isi seluruh rongga perut yang dikeluarkan, kemudian karkasnya ditimbang untuk memperoleh bobot karkas segar. Selanjutnya karkas disimpan terlebih dahulu dengan metode pembekuan cepat selama 4 jam dengan suhu -12⁰ C. Setelah itu daging domba bagian Longisimus dorsi dan Semitendinosus diuji sifat fisiknya. Penggunaan bagian ini dikarenakan daging bagian Longisimus dorsi yang paling tidak megalami kerja otot dan daging bagian Semitendinosus adalah bagian yang paling mengalami kerja otot.


(32)

Peubah yang Diamati

Kualitas fisik daging terbagi menjadi sifat fisik dan penampilan umum daging. Sifat fisik daging terdiri dari nilai pH, daya mengikat air, keempukan dan susut masak. Sedangkan penampilan umum daging terdiri dari warna daging, warna lemak, marbling dan tebal lemak.

Nilai pH Daging

Nilai pH daging diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara langsung menusukannya ke dalam daging bagian Semitendinosus lalu ditunggu hingga nilai pH pada pH meter tidak berubah lagi. Daging diukur dengan pH meter setelah sebelumnya pH meter dikalibrasi dengan pH standar yaitu larutan pH 4 dan 7.

Gambar 3. pH Meter Daya Mengikat Air (DMA)

Pengukuran daya mengikat air dianalisis dengan metode tekan, menurut Hamm (1972) yaitu dengan membebani atau mengepres 0,3 gram sampel daging dengan beban 35 kg pada kertas saring Whatman-41 dengan alat pressure gauge selama 5 menit. Area yang tertutup sampel daging telah menjadi pipih, dan luas area basah disekelilingnya pada kertas saring beserta sampel ditandai dan setelah pengepresan selesai, dapat diukur dengan menggunakan planimeter. Area basah diperoleh dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari area total yang meliputi pula area basah pada kertas saring. Makin tinggi nilai mgH2O maka nilai

Daya mengikat air semakin rendah. Jumlah air daging yang keluar dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

mgH2O = area basah (cm²) – 8,0


(33)

% mgH2O = X (MgH2O) x 100%

300 mg

          

     (a)    (b) (c)

Gambar 4. (a). Alat Pengujian Daya Mengikat Air Daging(Carper Press), (b). Kertas Saring, (c). Planimeter

Keempukan (kg/cm2)

Sampel daging bagian Semitendinosus dipotong sekitar 100 gram, kemudian termometer bimetal ditancapkan hingga menembus bagian dalam sampel daging, kemudian direbus dalam air hingga mencapai suhu internal 80° C. Pengukuran suhu internal dengan menusukan termometer ke dalam sampel daging. Sampel daging diangkat dan didinginkan, kemudian sampel dicetak dengan alat pencetak daging (correr) yang berbentuk silindris dengan diameter 1,27 cm mengikuti arah serat daging. Potongan daging silindris berdiameter 1,27 cm dan dipotong-potong sepanjang 4-5 cm. Potongan-potongan daging tersebut diukur dengan alat Warner-Bratzler Shear untuk menentukan nilai daya putusnya dalam kg/cm².

(a) (b) (c)

Gambar 5. (a) Selongsong untuk Core, (b) Daging yang telah di Core (c) Warner Blatzer.

Susut Masak (g)

Susut masak adalah perbedaan antara berat daging sebelum dan sesudah dimasak, dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram yang telah ditancapkan termometer bimetal direbus dalam air mendidih hingga mencapai


(34)

suhu internal 80° C. Sampel daging diangkat dan didinginkan (Priyanto et al., 1995). Susut masak dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Susut masak = berat sampel awal – akhir x 100% berat sampel awal

Warna Daging

Warna daging didapatkan dengan melihat daging bagian Longisimus dorsi et lubarum antara rusuk ke 5 dan 6 yang dibandingkan dengan Meat colour card score dari AUS-MEAT dengan skala angka 1-7, yang dimulai dari warna merah pucat, semakin besar nilai skor maka warna daging akan semakin gelap.

Gambar 6. Meat colour card score Warna Lemak

Warna lemak didapatkan dengan melihat lemak intramuskular yang berada diatas Longisimus dorsi et lubarum yang kemudian dibandingkan dengan Fat colour card score dari AUS-MEAT dengan skala angka 1-7, yang dimulai dengan warna putih. Nilai skor semakin besar maka warna lemak akan semakin kuning.

Gambar 7. Fat colout card score

Marbling

Marbling diukur dengan Marbling Score System dari AUS-MEAT. Skor marbling tersebut memiliki skala angka dari 1-12, yang semakin besar skornya maka semakin besar derajat marblingnya. Pengukuran dilakukan pada bagian Longisimus dorsi et lubarum antara rusuk ke-5 dan 6.


(35)

Gambar 8. Marbling card score Tebal Lemak

Tebal lemak pada daging didapatkan dengan mengukur tebal lemak yang ada di atas potongan daging bagian Longisimus dorsi dengan menggunakan jangka sorong dalam satuan mm.

Rancangan Percobaan

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah domba lokal dengan tingkat kecepatan tumbuh yang cepat dan domba lokal dengan kecepatan tumbuh yang lambat.

Analisis

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t dengan membandingkan dua perlakuan yaitu kelompok domba tumbuh cepat dan kelompok domba tumbuh lambat untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dengan masing-masing perlakuan terdiri atas tiga ulangan.

Rumus matematis yang digunakan adalah sebagai berikut:

μi - μj – d0 t = s√1 + s √ 1 n n Keterangan:

µi = Rata-rata Perlakuan ke-i µj = Rata-rata Perlakuan ke- j s = Simpangan Baku n = Jumlah individu sampel


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lingkungan Peternakan

Penelitian ini dilakukan di Tawakal Farm yang terletak di Desa Cimande hilir RT 05 RW 05 Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Cuaca di daerah tersebut cukup baik karena letaknya di kaki Gunung Salak sehingga memiliki hawa yang sejuk. Hal ini merupakan faktor yang cukup baik untuk pertumbuhan domba dikarenakan stres panas tidak terlalu tinggi. Desa Cimande hilir terletak pada ketinggian 400-700 m diatas permukaan laut, temperatur udara berkisar antara 17-30⁰ C dengan kelembaban udara 70-80% dan curah hujan 3000-3400 mm/tahun (Hadiningrum, 2006). Kelembaban udara yang ideal bagi peternakan penggemukan adalah 60-80%. Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat menyebabkan domba mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh parasit dan jamur. Begitu pula kelembaban udara yang terlalu rendah dapat menyebabkan domba mudah terserang penyakit karena udara terlalu kering (Sodiq dan Abidin, 2003). Cuaca dan curah hujan yang baik juga memungkinkan untuk hijauan tumbuh dengan baik sehingga asupan pakan dapat terpenuhi.

Gambar 8. Kandang Domba Penelitian

Kandang di dalam Tawakal Farm ini berjumlah empat bangunan kandang besar dengan model kandang yang berbeda. Bangunan kandang yang ada berbentuk panggung dengan jarak dari tanah ke alas kandang 1,5 meter, dengan demikian memungkinkan kandang untuk selalu bersih karena kotoran dapat langsung jatuh ke tanah. Bangunan kandang ini sendiri terdiri dari satu kandang untuk domba betina dan tiga kandang untuk domba jantan serta terdapat bangunan rumah untuk tempat


(37)

tinggal para karyawan. Bangunan kandang untuk domba jantan ini dibedakan berdasarkan kelasnya. Populasi total di dalam Tawakal Farm ini kurang lebih 900 ekor.

Kebersihan kandang di Tawakal Farm ini dijaga dengan sangat baik. Kandang dibersihkan setiap hari dan domba yang dimandikan setiap satu minggu sekali. Hal tersebut membuat kondisi domba yang ada di Tawakal Farm ini sangat baik, bugar dan jarang sekali ada yang sakit.

Pertumbuhan Domba

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen-komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 2005).

Tabel 2. Rataan Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Kelompok

Domba

Bobot Badan Domba

PBBH Awal Akhir

Rataan Range Rataan Range Rataan Range Tumbuh

Cepat n=3

18,67±1,53 17-20 30,33±1,53 29 - 32 164,59±3,61 160,42-166,67

Tumbuh Lambat

n=3

19,33±1,15 18-20 22,67±0,58 22 - 23 43,41±9,67 32,30-50,00

Domba yang digunakan untuk sampel yang dipotong adalah domba yang memiliki pertambahan bobot badan harian (PBBH) di atas rata-rata PBBH dari populasi yaitu di atas 150 gram/hari dan domba yang memiliki PBBH yang sangat rendah yaitu di bawah 80 gram/hari. Domba dengan pertumbuhan yang cepat memiliki pertambahan bobot badan di atas rataan PBBH yang dinyatakan oleh Tarmidi (2004) yaitu domba dalam masa pertumbuhan memiliki PBBH berkisar antara 49,63–71,43 gram/ekor/hari. Bobot yang hampir sama pada awal pengamatan mengalami perbedaan bobot badan yang sangat mencolok pada akhir pengamatan.

Hal ini berarti terdapat suatu potensi yang sangat baik untuk dikembangkan pada domba yang memiliki pertumbuhan yang cepat padahal diberikan pakan dan manajemen pemeliharaan dengan domba lain yang dipelihara, pada umur yang sama, jenis kelamin yang sama dan lingkungan yang sama. Pertumbuhan yang cepat pada


(38)

domba ini juga akan sangat menguntungkan bagi para peternak karena dengan pakan yang sama, domba dengan pertumbuhan cepat memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi sehingga dapat lebih mengefisienkan biaya produksi.

Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yang pertama diukur sebagai peningkatan berat per satuan waktu, yang kedua meliputi perubahan dalam bentuk dan komposisi akibat pertumbuhan diferensiasi bagian komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1975). Kedua aspek tersebut sangat penting dalam proses produksi peternakan. Domba yang memiliki kecepatan pertumbuhan yang ekstrim memiliki potensi untuk lebih mengefisienkan produksi dikarenakan domba dengan pertumbuhan cepat ini dapat mengkonversikan pakan yang dikonsumsinya dengan lebih baik. Domba yang memiliki pertumbuhan yang cepat ini juga memiliki perbedaan yang dapat diamati melalui ukuran-ukuran tubuhnya seperti panjang badan, tinggi badan, lingkar dada, dalam dada, panjang muka dan lingkar moncong. Domba yang memiliki pertumbuhan cepat, memiliki lingkar moncong yang lebih besar. Hal ini akan memungkinkan domba untuk mengkonsumsi pakan lebih efektif dan efisien.

Domba yang digunakan untuk sampel ini adalah domba yang dipilih dengan menggunakan seleksi cepat melalui beberapa kategori yaitu bangsa, jenis kelamin, umur dan pertambahan bobot badan. Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan bereproduksi (Noor, 2008). Performa yang baik dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan. Domba dalam penelitian ini tidak dibedakan dari segi lingkungannya yang berarti keunggulan dari segi pertumbuhan ini disebabkan oleh faktor genetik. Seleksi penting dilakukan agar potensi genetik ini dapat lebih dikembangkan lagi. Seleksi merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Seleksi yang dilakukan bisa dengan cara memilih ternak yang dipakai sebagai tetua atau memilih ternak yang akan dikawinkan.

Domba yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan domba jantan sebagai sampel penelitian. Hal ini dikarenakan domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada betina muda, pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk


(39)

pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990). Domba jantan tumbuh lebih cepat dan mempunyai bobot dewasa yang lebih besar, namun mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah (Johnston, 1983).

Domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba yang masih berusia di bawah satu tahun atau Io. Domba yang masih berumur di bawah satu tahun berarti sedang berada di dalam fase dipercepat. Cole (1962), menyatakan bahwa kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, sehingga perubahan yang terjadi akibat pertumbuhan baik pertambahan bobot badan maupun perubahan ukuran tubuh dari ternak. Fase dipercepat ini akan memudahkan untuk pegamatan pertumbuhan domba yang dilihat dari pertambahan bobot badan hariannya. Apabila domba telah mencapai dewasa tubuh maka pertambahan bobot badan lebih didominasi oleh deposisi lemak. Pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Menurut Parakkasi (1999), fase ini disebut fase finish.

Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai dengan kebutuhannya. Pada tahun pertama, pertumbuhan sangat cepat terutama beberapa bulan setelah lahir, 50% dicapai pada tiga bulan pertama, 25% lagi pada tiga bulan kedua dan 25% berikutnya dicapai dalam enam bulan terakhir (Herman, 2003). Hal itu berarti akan lebih memudahkan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dari domba dari segi pertambahan bobot badannya karena 75% dari bobot domba dicapai pada umur satu tahun.

Sifat Fisik Daging Domba

Daging domba memiliki serat yang lebih halus dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat rapat, berwarna merah muda, konsistensinya cukup tinggi, lemaknya terdapat di bawah kulit, yaitu antara otot dan kulit, daging sedikit berbau amoniak (prengus) (Muzarnis, 1982). Sifat daging segar sendiri sangat berguna bagi penjual untuk ditampilkan ke pembeli atau konsumen, dan kesesuaiannya untuk pengolahan lebih lanjut. Hal yang penting adalah daya


(40)

mengikat air (water-holding capacity), warna, struktur, kealotan (firmness) dan tekstur (Aberle et al., 2001).

Tabel 3. Data Sisat Fisik Daging Domba

No Parameter TC TL Rataan 1 pH 6,39 ± 0,24 6,24 ± 0,21 6,41 ± 0,20 2 DMA (% mg H2O) 34,98 ± 8,83

35,81 ± 3,31

35,40± 5,98 3 Keempukan(Kg/cm2) 6,37 ± 0,74 6,04 ± 1,18 6,23 ± 2,10 4 Susut masak (g) 41,88 ± 0,31 37,29 ± 6,57 39,59± 4,86

\

Kualitas fisik daging yang diuji meliputi pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging, warna lemak, marbling, dan tebal lemak. Nilai rataan pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging domba, warna lemak, marbling, dan tebal lemak dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Nilai pH Daging

Hasil yang didapatkan untuk nilai pH menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat (dapat dilihat di Tabel 3). Rataan nilai pH yang didapatkan yaitu 6,39 untuk domba tumbuh cepat (TC) dan 6,24 untuk domba tumbuh lambat (TL) karena kemungkinan nilai pH daging lebih banyak disebabkan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot (Buckle et al, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataan Thatcher dan Gaunt (1992) bahwa perlakuan nutrisi dan pola pertumbuhan domba tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH daging. Pada lingkungan yang ideal, bentuk kurva pertumbuhan postnatal untuk semua spesies ternak adalah serupa, yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Soeparno, 2005).

Nilai pH yang masih tetap tinggi ini dapat disebabkan salah satunya oleh proses rigormortis yang belum tuntas setelah pemotongan dilakukan proses pembekuan cepat. Nilai pH awal setelah 1 jam postmortem pada domba menurut Soeparno (2005) adalah 6,95. Karkas domba pada penelitian ini langsung disimpan setelah proses pemotongan pada suhu -12o C selama 4 jam. Hal ini yang menyebabkan nilai pH turun sangat sedikit sekali, karena pada suhu yang sangat


(41)

(2003), pada sejumlah ternak dapat dijumpai bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan, dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi, yaitu antara 6,5-6,8. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Pada dasarnya, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 2005).

Menurut Lukman et al. (2007), nilai pH dapat menunjukan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan. Domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat telah diistirahatkan dan dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam sebelum pemotongan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi stres yang akan timbul pada saat pemotongan yang seharusnya menyebabkan nilai pH dapat turun secara perlahan menuju pH ultimat daging. Kusumastuti (2006) menyatakan bahwa nilai pH dipengaruhi oleh stres sebelum pemotongan. Domba yang tenang saat dipotong mempunyai cadangan glikogen yang cukup untuk proses rigormortis, sedangkan domba yang stres kemungkinan menghasilkan pH daging ultimat yang lebih tinggi dikarenakan cadangan glikogen menjadi cepat habis. Proses rigormortis yang belum tuntas akibat dari pembekuan cepat berarti masih menyisakan cadangan glikogen di dalam daging sehingga asam laktat yang terbentuk tidak terlalu banyak yang akan menyebabkan penurunan pH hanya sedikit sekali.

Nilai pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5,4-5,5 (Lawrie, 1979). Nilai pH yang didapatkan pada penelitian ini berada di atas nilai pH ultimat dari daging. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot pascamerta tergantung pada jumlah cadangan glikogen pada saat pemotongan (Soeparno, 2005). Proses pembekuan cepat setelah pemotongan yang menyebabkan proses rigormortis yang belum tuntas akan menyebabkan masih terdapatnya cadangan glikogen di dalam daging yang menyebabakan nilai pH dari daging dalam penelitian ini masih tinggi di atas pH ultimat daging. Menurut Lawrie (2003) pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik.


(42)

Nilai pH daging merupakan faktor kualitas yang akan berpengaruh terhadap daya mengikat air, juiciness daging, keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat mekanis daging. Suatu kenaikan pH daging akan meningkatkan juiciness daging, daya mengikat air dan susut masak daging domba secara linear (Soeparno, 2005).

Daya Mengikat Air

Hasil dari analisis daya mengikat air menunjukan hasil yang juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai yang didapatkan menunjukan rataan untuk domba tumbuh cepat (TC) dan tumbuh lambat (TL) masing-masing 34,98% dan 35,81% (Tabel 3). Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Damayanti (2003), rataan nilai daya mengikat air pada domba dengan pertumbuhan cepat dan lambat masing-masing adalah 34,10% dan 29,27%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya perbedaan spesies, umur, perlakuan pakan dan otot yang digunakan untuk pengujian. Penyebab lainnya juga karena nilai pH dari domba dengan tumbuh cepat dan tumbuh lambat menunjukan hasil yang tidak berbeda. Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Daya mengikat air akan berbeda jika terdapat perbedaan spesies, umur, fungsi otot, pH dan kandungan lemak intramuskular (Lawrie, 2003). Pemeliharaan domba yang dilakukan secara intensif dan digemukan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan dengan penelitian yang dilakukan Kusumastuti (2006) yaitu pada domba yeng digemukkan selama tiga bulan memiliki nilai daya mengikat air sebesar 34,03%,.

Lawrie (2003) menambahkan bahwa besarnya penurunan pH pascamati mempengaruhi nilai DMA, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan DMA. Menurut Arnim (1996), daging dengan daya mengikat air lebih tinggi mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan dengan daya mengikat air yang rendah. Tingginya daya mengikat air protein daging menyebabkan (a) keempukan dan Juiciness daging meningkat dan (b) menurunkan susut masak daging sehingga kehilangan nutrisi lebih rendah. Rataan nilai daya mengikat air daging di dalam penelitian ini yang menggunakan domba dengan umur di bawah satu tahun adalah


(43)

35,40%. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai daya mengikat air daging domba dalam penelitian Sarjito (2009) yang menggunakan domba yang berumur dua tahun (I2) yaitu sebesar 37,52%. Semakin besar nilai % mgH2O berarti

semakin banyak air yang keluar kemampuan daya mengikat airnya semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005) bahwa domba muda cenderung memiliki daya mengikat air yang lebih besar daripada domba yang lebih tua.

Daya mengikat air berkaitan dengan susut masak Aberle et al. (2001) menyebutkan bahwa daya mengikat air dari jaringan otot mempunyai efek langsung terhadap penyusutan selama pemasakan. Ketika daya mengikat air rendah, daging akan kehilangan cairan, dan sebagai akibatnya kehilangan berat selama penyusutan adalah besar.

Keempukan

Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor atau warna (Lawrie, 2003). Hasil yang didapatkan untuk keempukan menunjukan hasil tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan rataan untuk domba tumbuh cepat dan tumbuh lambat masing-masing 6,37 kg/cm2 dan 6,04 kg/cm2 (pada Tabel 3). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Damayanti (2003) yaitu untuk domba dengan pertumbuhan cepat dan lambat masing-masing 5,29 kg/cm2 dan 4,96 kg/cm2. Hal ini sejalan dengan penelitian Arifin et al. (2004) yang menyebutkan bahwa pembesaran domba lokal secara intensif, peningkatan bobot potong tidak mempengaruhi keempukan. Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis yang terlatih menunjukan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner Blatzer) <4,15 kg/cm2, daging empuk 4,15 - < 5,86 kg/cm2, daging agak empuk 5,86 - < 7,86 kg/cm2, daging agak alot 7,56 - < 9,27 kg/cm2, daging alot 9,27 - < 10,97 kg/cm2, daging sangat alot = 10,97 kg/cm2. Berdasarkan kriteria tersebut, domba di dalam penelitian ini termasuk ke dalam daging agak empuk. Domba yang digunakan dalam penelitian ini berumur di bawah satu tahun yang seharusnya masuk ke dalam kategori daging sangat empuk. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya nilai pH daging akibat dari proses rigormortis yang belum tuntas. Penyebab lainnya bisa juga karena perbedaan bagian sampel daging yang diamati dan pemberian pembekuan cepat pada kedua jenis sampel.


(44)

Proses pembekuan cepat yang diberikan pada sampel yang baru dipotong dalam penelitian ini dapat juga menyebabkan keempukan dari daging menurun. Hal ini disebabkan daging yang masih mengalami rigormortis sudah langsung dibekukan akan mengalami “thaw rigor” yaitu rigormortis kembali setelah di thawing yang akan menyebabkan struktur daging menjadi rapat dan alot. Sama seperti pernyataan Natasasmita et al. (1987) yaitu, pemendekan daging terjadi waktu otot dicairkan kembali (thawing). Fenomena itu disebut “thaw rigor”, yang semua ini berakibat menjadi alotnya daging dan hilangnya sari minyak (juiciness) daging.

Proses pembekuan cepat dilakukan dengan tujuan menghambat perkembangan mikroorganisme. Namun seharusnya daging dilayukan terlebih dahulu agar proses rigormortis tuntas dan didapatkan daging dengan keempukan yang maksimal. Pembekuan cepat segera setelah pemotongan pada kedua jenis karkas yaitu domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat disebabkan waktu pada saat penelitian ini sangat terbatas. Penelitian ini tidak membahas pengaruh dari pelayuan jadi apabila dilakukan proses pelayuan pada karkas belum tentu akan menyebabkan perbedaan hasil dari keempukan daging dari domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat. Metode pembekuan cepat ini dilakukan pada kedua jenis sampel daging dari domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat sehingga hasilnya tetap dapat dibandingkan.

Faktor yang mempengaruhi keempukan daging dibagi menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dan stres, dan faktor postmortem yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan, dan metode pengolahan, termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk (Soeparno, 2005).

Tidak berbedanya keempukan antara domba tumbuh cepat dan domba tumbuh lambat dikarenakan tidak adanya pembedaan dalam manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan, baik dari manajemen pemeliharaan maupun pemberian pakan. Domba yang digunakan juga tidak berbeda yaitu domba dengan umur I0 (dibawah 1 tahun). Veiseth et al. (2004) yang meneliti keempukan domba

yang berumur 2, 4, 6, 8, dan 10 bulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa daging domba memiliki keempukan terendah pada umur domba dua bulan dan keempukan


(45)

terus meningkat dengan bertambahnya umur. Puncak dari keempukan adalah pada domba umur 8 bulan dan selanjutnya jika dibandingkan dengan daging domba berumur 10 bulan sudah tidak ada perbedaan. Natasasmita (1994) menyatakan bahwa jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat halus.

Domba yang digunakan dalam penelitian ini dipelihara secara intensif sehingga membuat daging domba menjadi lebih empuk karena pemeliharaan secara intensif tidak memungkinkan domba untuk bergerak banyak dan tidak terjadi agonistik dengan domba lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aberle et al. (1981), domba yang dipelihara dalam kandang individu relatif sedikit. Aktivitas gerak pada domba mampu melakukan aktivitas gerak dibandingkan dengan domba yang dipelihara pada kandang koloni, begitu juga dengan domba yang digembalakan setiap hari. Aktivitas gerak pada domba mampu meningkatkan kontraksi otot, terutama pada otot-otot rangka tulang gerak, sehingga keempukan daging dapat berkurang. Sampel daging yang digunakan adalah sampel daging bagian paha atau (Semitendinosus).

Otot bagian paha adalah bagian yang paling banyak mengalami aktifitas kerja yang tentu saja akan mempengaruhi dari nilai keempukan daging. Menurut Natasasmita (1994), jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat halus.

Setelah pemotongan, daging domba langsung diberikan perlakuan pembekuan cepat tanpa pelayuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005), karkas sapi memerlukan pelayuan. Karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan, karena dagingnya relatif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda, dan proses kekakuan berlangsung dalam proses yang cepat. Keempukan pada daging juga dipengaruhi oleh faktor setelah pemotongan. Menurut Lawrie (2003) pada umumnya, faktor-faktor sebelum hewan dipotong yang mempengaruhi keempukan akan menentukan jumlah dan distribusi (tekstur) dan tipe tenunan pengikat. Seperti yang sudah telihat, ada suatu korelasi tidak langsung (umum, tetapi


(46)

tidak berubah-ubah) antara tenunan pengikat dan keempukan. Tetapi dalam suatu urat daging tertentu, dimana jumlah tipe tenunan konstan, maka perbedaan keempukan yang banyak dapat saja terjadi, yang disebabkan oleh kondisi-kondisi sesudah hewan dipotong.

Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek, pertama mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging. Kedua, mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003). Menurut Soeparno (2005), laju pertumbuhan ternak tidak berhubungan dengan perubahan profil enzim-enzim proteolitik dalam daging dan perbedaan laju pertumbuhan juga tidak berpengaruh terhadap perubahan enzim-enzim kateptik dalam daging, dimana kedua enzim tersebut akan berpengaruh terhadap keempukan daging.

Susut Masak

Susut masak atau berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan juiciness daging. Hasil analisa untuk susut masak menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan nilai untuk domba cepat dan tumbuh lambat masing-masing 41,8% dan 37,29% (Tabel 3). Hal ini sejalan dengan Soeparno (2005) yang menyebutkan susut masak umumnya bervariasi antara 1,5% sampai 54% dengan kisaran 15%-40%. Berdasarkan pernyataan Soeparno (2005), daging domba dalam penelitian ini mempunyai kualitas yang baik dan layak untuk dikonsumsi karena rataan susut masaknya berada pada kisaran 39-46% yaitu 41,8% dan 37,29%. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan. Susut masak juga bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging, dan penampang lintang daging. Soeparno (2005), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada bermacam-macam, susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek.

Tidak berbedanya nilai susut masak ini disebabkan nilai yang daya mengikat air yang tidak berbeda. Susut masak dan daya mengikat air mempunyai korelasi yang negatif. Daging dengan daya mengikat air yang rendah akan lebih banyak


(47)

mengeluarkan air sehingga penurunan bobot menjadi lebih besar selama perebusan. Nilai dari susut masak yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan nilai susut masak yang didapatkan Kusumastuti (2006) dalam penelitiannya pada domba yang digemukan yaitu 37,17%. Lama penggemukan dapat berkaitan dengan kandungan lemak intramuskular dalam tubuh yang semakin meningkat. Daging yang memiliki kandungan lemak intramuskular yang tinggi akan lebih banyak kehilangan bobot selama pemasakan. Daging domba dalam penelitian ini juga memiliki nilai tebal lemak yang tidak berbeda pada daging domba tumbuh cepat dan daging domba tumbuh lambat sehingga nilai susut masaknya menjadi tidak berbeda. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit (Arnim, 1996).

Menurut Soeparno (2005), susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Pada umur yang sama, jenis kelamin mengalami pengaruh yang kecil terhadap susut masak. Berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak.

Susut masak yang tinggi menunjukan daya mengikat air oleh protein daging rendah sehingga berat yang hilang pada saat pemasakan akan lebih banyak dan akan menyebabkan penurunan keempukan (Varnam dan Sutherland, 1995), juiciness, dan penampakan daging sehingga menurunkan penerimaan konsumen (Lawrie, 2003). Menurut Aberle et al. (2001), terjadinya peningkatan susut masak daging mungkin disebabkan adanya kerusakan struktur miofibril daging. Air bebas dan air terikat dalam daging dilepaskan karena terjadi penurunan ion hydrogen dan juiciness selama pemasakan.


(48)

Penampilan Umum Daging Tabel 4. Data Nilai Penampilan Umum Daging

No Parameter CT LT Rataan 1 Warna Daging 2,00 ± 0,00 2,67 ± 0,58 2,33 ± 0,52 2 Warna Lemak 1,33 ± 0,58 1,33 ± 0,58 2,33 ± 0,52 3 Marbling 2,33 ± 0,58 2,33 ± 0,58 1,33 ± 0,52 4 Tebal Lemak (mm) 1,33 ± 0,06 1,27 ± 0,29 1,30 ± 0,19 Warna Daging

Hasil yang didapat pada parameter warna daging menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan dari warna daging pada domba tumbuh cepat dengan domba tumbuh lambat yang menunjukan rataan skor masing-masing 2 dan 2,67 (Tabel 4) yang artinya berwarna merah muda. Kecepatan pertumbuhan tidak memberikan pengaruh terhadap warna daging. Warna daging merupakan faktor penting dalam penilaian kualitas daging. Lawrie (2003) menyatakan bahwa dalam daging sebelum dimasak, bentuk kimia yang paling penting adalah oksimioglobin. Walau itu terjadi di permukaan saja, pigmen ini sangat penting karena menggambarkan warna merah yang dikehendaki pembeli.

Warna daging dipengaruhi oleh genetik, pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas otot, pH dan oksigen (Soeparno, 2005). Domba dalam penelitian ini tidak dibedakan dari segi umur, jenis kelamin, dan pakan. Nilai pH yang didapatkan juga tidak berbeda sehingga mengakibatkan nilai warna daging yang tidak berbeda pula. Warna daging lebih dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan ternak dan perlakuan sebelum pemotongan. Bertambahnya tingkat kedewasaan sapi akan menyebabkan perubahan warna daging dari merah muda menjadi merah gelap (Price dan Schweigert, 1987). Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya konsentrasi mioglobin. Domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba yang usianya dibawah satu tahun yang memungkinkan belum banyak terjadi aktivitas otot sehingga daging dari domba berwarna merah muda. Sebelum proses pemotongan, domba juga dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam sehingga dapat mengurangi stres yang terjadi pada saat pemotongan yang tentunya akan


(49)

berpengaruh terhadap warna daging domba. Bagian daging yang digunakan untuk dianalisis adalah Longisimus dorsi yang paling jarang terkena kerja otot sehingga warnanya menjadi merah muda.

Secara umum, semakin bertambahnya umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak konstan. Perubahan konsentrasi mioglobin otot selama pertambahan umur, bisa disebabkan oleh peningkatan deposisi mioglobin pada serabut merah yang ada, atau peningkatan dari jumlah serabut merah (Soeparno, 2005). Konsentrasi pigmen mioglobin tergantung pada jenis dan fungsi otot, umur, jenis kelamin, spesies dan bangsa ternak (Varnam, 1993). Nilai kemerahan warna daging dapat menurun jika terjadi oksidasi sehingga membentuk metmyoglobin yang berwarna coklat (Hutchings, 1999).

Warna Lemak

Warna lemak pada daging juga menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan nilai rataan untuk kedua jenis domba yaitu 1,33 (Tabel 4)yang artinya berwarna putih sangat sedikit kekuningan. Menurut Whytes dan Ramsay (1994), warna lemak cenderung banyak dipengaruhi oleh pakan dan umur. Domba yang digunakan adalah domba yang berumur di bawah satu tahun sehingga memungkinkan warna lemaknya menjadi lebih putih.

Domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba yang dipelihara secara internsif dengan sistem penggemukan. Pakan yang diberikan adalah hijauan dan pakan tambahan yaitu ampas tahu. Domba yang diberi pakan hanya hijauan saja memungkinkan warna lemaknya menjadi lebih kuning. Hal ini dikarenakan warna lemak tersebut dipengaruhi oleh karoten yang terkandung di dalam hijauan. Warna lemak yang lebih putih cenderung lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan warna lemak yang kuning. Daging domba jantan lebih amis dan memiliki lemak yang berwarna putih, padat mudah mencair, dan membeku kembali (Muzarnis, 1982).

Marbling

Hasil dari pengukuran marbling dengan menggunakan Marbling Card Score menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan rataan skor pada kedua jenis domba yaiu 2,33 (Tabel 4) yang berarti hanya terdapat beberapa titik perlemakan pada daging. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh umur domba yang


(1)

Muchtadi, T.R. & Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mulliadi, D. 1996. Sifat fenotipik domba Priangan di kabupaten Pandeglang dan Garut. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Muzarnis, E. 1982. Pengolahan Daging. CV Yasa Guna, Jakarta.

Natasasmita, S., R. Priyanto & D. M. Muchtadi. 1987. Evaluasi Daging. Diktat kuliah Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Natasasmita, S. 1994. Hilangnya cairan dalam bentuk drip (drip loss). Media Peternakan. Vol. 18. No. 1 : 74-80.

Noor, R. R. 2008. Genetika Ternak. Cetakan IV. Penebar Swadaya, Jakarta.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Pearson, A. M. 1989. Objective and Subjective Measurement and Meat Tenderness.

In : Proceeding Meat Tenderness Symposium. Camden, New Jersey.

Price, J. F. & B. S. Schweigert. 1987. The Science of Meat and Meat Products. 3rd Edition. W. H. Freeman Company, San Francisco.

Priyanto, R., J. Fisher & P. R. Kale. 1995. Some aspect of meat research. Materi Workshop. Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Pulungan, H., J.E. Van Eys, & M. Rangkuti. 1985. Penggunaan ampas tahu sebagai makanan tambahan pada domba lepas sapih yang Penggunaan Ampas Tahu dan Pengaruhnya pada Ternak Ruminansia 13 memperoleh rumput lapangan. Balai Perielitian Ternak, Bogor. 1(7): 331-335.

Sarjito. 2009. Sifat fisik daging sapi, kerbau dan domba pada lama postmortem yang berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sahidi, F. 1998. Flavour of Meat Product and Seafood. Blackie Academic and Professional. New York.

Sodiq, A dan Z. Abidin. 2002. Penggemukan Domba. Agromedia Pustaka, Jakarta. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. 4th Ed. Gadjah Mada Universitas Press,

Yogyakarta.

Suryati, T dan I. I. Arief. 2005. Pengujian daya putus Warner-Blatzer, susut masak dan organoleptik sebagai penduga tingkat keempukan daging sapi yang disukai konsumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sutardi, T., M. A. Sigit & T. Toharmat. 1976. Standarisasi mutu protein bahan makanan ruminansia berdasarkan parameter metabolismenya oleh mikroba rumen. Fapet IPB bekerjasama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, Jakarta.

Swatland, H. J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.


(2)

 

Tarmidi, A. R. 2004. Pengaruh pemberian ransum yang mengandung ampas tebu hasil biokonversi oleh jamur tiram putih (Pleurotus estreatus) terhadap performans domba priangan. JITV 9 (3): 157-163.

Thatcher, L. P. & G. M. Gaunt. 1992. Effect of growth path and post slaughter chilling regime on carcass composition and meat quality of ewe lambs. Australian Journal of Agriculture Research. 43: 819-830.

Varnam, F. G. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Veiseth, E., S. D. Shackelford, T. L. Wheeler, & M. Koohmaraie. 2004. Factors regulating lamb longissimus tenderness are affected by age at slaughter. J. Meat Sci. 68: 635-640.

Whytes, J. R. & W. R. Ramsay. 1994. Beef Carcass Compotition and Meat Quality. Department of Primary Industries, Queensland.

Yamin, M. 2001. Budidaya peternakan ternak domba. Makalah Seminar. Yayasan Khusnul Khotimah, Jakarta.

Zein, Z. 1991. Pengaruh umur ternak, suhu dan lama penyimpanan terhadap pH, daya mengikat air serta keempukan daging sapi PO jantan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(3)

(4)

 

Lampiran 1. Hasil Analisis Uji t Daya Mengikat Air Row DMA(%mgH2O) DOMBA

1 38.16 CT 2 41.78 CT 3 25.00 CT 4 38.16 LT 5 32.03 LT 6 37.25 LT

Two-sample T for DMA(%mgH2O) DOMBA N Mean StDev SE Mean CT 3 34.98 8.83 5.1 LT 3 35.81 3.31 1.9 Difference = mu (CT) - mu (LT) Estimate for difference: -0.833333

99% CI for difference: (-54.866375, 53.199708)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.15 P-Value = 0.892 DF = 2

Lampiran 2. Hasil Analisis Uji t pH Daging

Row pH DOMBA1 1 6.61 CT 2 6.13 CT 3 6.45 CT 4 6.56 LT 5 6.18 LT 6 6.52 LT

Two-sample T for pH

DOMBA1 N Mean StDev SE Mean CT 3 6.397 0.244 0.14 LT 3 6.420 0.209 0.12 Difference = mu (CT) - mu (LT) Estimate for difference: -0.023333

99% CI for difference: (-1.107360, 1.060694)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.13 P-Value = 0.908 DF = 3

Lampiran 3. Hasil Analisis Uji t Keempukan Daging Row KEEMPUKAN DOMBA2

1 5.57 CT 2 7.03 CT 3 6.50 CT 4 6.87 LT 5 5.20 LT

Two-sample T for KEEMPUKAN Two-sample T for CT vs LT N Mean StDev SE Mean CT 3 6.367 0.739 0.43 LT 2 6.04 1.18 0.83


(5)

Difference = mu (CT) - mu (LT) Estimate for difference: 0.332

95% CI for difference: (-2.313, 2.977)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.40 P-Value = 0.717 DF = 3

Lampiran 4. Hasil Analisis Uji t Susut Masak Daging SUSUT

Row MASAK DOMBA3 1 41.82 CT 2 42.22 CT 3 41.60 CT 4 29.84 LT 5 39.78 LT 6 42.26 LT

Two-sample T for SUSUT MASAK DOMBA2 N Mean StDev SE Mean CT 3 41.880 0.314 0.18 LT 3 37.29 6.57 3.8 Difference = mu (CT) - mu (LT) Estimate for difference: 4.58667

99% CI for difference: (-33.11926, 42.29260)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.21 P-Value = 0.351 DF = 2 Lampiran 5. Hasil Analisis Uji t Warna Daging

WARNA

Row DAGING DOMBA5 1 2 CT 2 2 CT 3 2 CT 4 2 LT 5 3 LT 6 3 LT

Two-Sample T-Test and CI: WARNA DAGING, DOMBA5

* ERROR * All values in column are identical.

* NOTE * Command canceled.

Lampiran 6. Hasil Analisis Warna Lemak Daging FAT

Row COLOUR DOMBA6 1 1 CT 2 2 CT 3 1 CT 4 1 LT 5 2 LT 6 1 LT

Two-sample T for FAT COLOUR

DOMBA6 N Mean StDev SE Mean CT 3 1.333 0.577 0.33 LT 3 1.333 0.577 0.33


(6)

 

Difference = mu (CT) - mu (LT) Estimate for difference: 0.000000

99% CI for difference: (-2.170391, 2.170391)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.00 P-Value = 1.000 DF = 4

Lampiran 7. Hasil Analisis Uji t Marbling Domba Row MARBLING DOMBA7

1 2 CT 2 2 CT 3 3 CT 4 2 LT 5 3 LT 6 2 LT

Two-sample T for MARBLING

DOMBA7 N Mean StDev SE Mean CT 3 2.333 0.577 0.33 LT 3 2.333 0.577 0.33 Difference = mu (CT) - mu (LT) Estimate for difference: 0.000000

99% CI for difference: (-2.170391, 2.170391)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.00 P-Value = 1.000 DF = 4

Lampiran 8. Hasil Analisis Uji t Tebal Lemak Daging TEBAL

Row LEMAK DOMBA8 1 1.4 CT 2 1.3 CT 3 1.3 CT 4 1.1 LT 5 1.6 LT 6 1.1 LT

Two-sample T for TEBAL LEMAK DOMBA8 N Mean StDev SE Mean CT 3 1.3333 0.0577 0.033 LT 3 1.267 0.289 0.17 Difference = mu (CT) - mu (LT) Estimate for difference: 0.066667

99% CI for difference: (-1.620232, 1.753566)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.39 P-Value = 0.733 DF = 2