22
tuturan atau dengan kata lain mitra tutur harus memberikan jawaban atas tuturan yang dituturkan penutur.
Dunkley 1994:122 berpendapat bahwa sebuah tuturan dikatakan sebagai tindak tutur direktif apabila tuturan tersebut mengandung titik ilokusi yang dapat
menjadi penyebab mitra tutur melakukan apa yang dikehendaki penutur. Terdapat empat kondisi yang harus dipenuhi oleh sebuah tuturan agar dapat dikategorikan
sebagai tindak tutur direktif. Kondisi tersebut dinamakan felicity condition kondisi felisitas Searle 1979:44. Kondisi felisitas untuk tindak tutur direktif, yaitu 1
preparatory condition kondisi persiapan, mitra tutur mampu melakukan aktivitas; 2 sincerity sinseriti, penutur menginginkan mitra tutur melakukan aktivitas; 3
propositional content isi proposisi, penutur mengatakan kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu; 4 essential condition kondisi esensial, tuturan dihitung
sebagai usaha penutur agar mitra tutur melakukan sesuatu; 5 mode of achievement mode pencapaian, berdasar pada titik ilokusi sebuah tuturan direktif, mitra tutur
dapat melakukan atau tidak melakukan kehendak penutur.
2.2.3 Tindak Mengancam Muka
Ketika manusia terlibat dalam aktivitas berkomunikasi, secara sadar maupun tidak sadar akan mempertimbangkan “muka” dirinya sendiri sebagai penutur maupun
muka mitra tuturnya. Muka dalam hal ini merupakan citra diri yang dimiliki semua orang yang harus dijaga agar hubungan antarindividu dapat berjalan dengan baik.
Setiap individu memiliki dua sisi muka, yaitu muka positif dan muka negatif Brown
23
dan Levinson 1996:61. Sisi muka positif adalah sisi muka yang mencerminkan keinginan individu
untuk dihargai dan diakui oleh individu lain. Sisi muka yang kedua yaitu muka negatif yang merupakan sisi muka yang mencerminkan kebebasan individu dari
tekanan dan paksaan dari individu lain. Muka positif dan muka negatif selalu dijaga oleh peserta tutur dengan tujuan menjaga harmonisasi dalam proses komunikasi.
Akan tetapi, pada saat berkomunikasi resiko pengancaman muka positif dan negatif penutur maupun mitra tuturnya, tidak dapat dihindari oleh peserta tutur. Dengan kata
lain, individu yang melakukan tindak tutur akan menimbulkan sebuah konsekuensi yang dapat mengancam muka peserta tutur.
Apabila dilihat dari sisi muka yang terancam, tindakan mengancam muka mitra tutur dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tindakan yang mengancam muka
positif dan tindakan yang mengancam muka negatif. Tindak tutur yang dapat mengancam muka negatif mitra tutur menurut Brown dan Levinson 1996:66
meliputi 1 ujaran yang berisi perintah, permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, tantangan; 2 ujaran yang berisi tawaran, janji; 3 ujaran yang berisi
pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian dan kemarahan terhadap mitra tutur. Tindakan yang mengancam muka positif mitra tutur, meliputi 1
ungkapan mengenai
ketidaksetujuan, kritik,
tindakan merendahkan
atau mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan; 2 ungkapan mengenai
pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan; 3 ungkapan yang tidak sopan, penyebutan hal-hal yang bersifat tabu ataupun yang tidak selayaknya dalam suatu
24
situasi, yaitu penutur menunjukkan bahwa penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur dan juga tidak mau mengindahkan hal-hal yang ditakuti lawan tutur.
Pada sisi lain, keterancaman muka tidak hanya dialami oleh mitra tutur, tetapi juga akan dialami oleh penutur. Tindak tutur yang dapat mengancam sisi muka
positif penutur, Brown dan Levinson:1996:68 meliputi 1 tuturan yang berisi permintaan maaf; 2 tuturan yang berisi penerimaan sebuah pujian; 3 penolakan
terhadap keinginan penutur; 4 pengakuan sebuah tindakan yang melanggar hukum, norma, dan agama. Tindak tutur yang dapat mengancam sisi muka negatif penutur
Brown dan Levinson: 1996:67 meliputi 1 tuturan yang berisi ungkapan terima kasih; 2 tuturan yang berisi pemberian maaf kepada mitra tutur; 3 tuturan tentang
pemakluman; 4 tuturan yang berisi penerimaan sebuah penawaran dari mitra tutur. Berdasar postulat tersebut, keterancaman muka akan dilihat dari sisi penutur
dan mitra tuturnya. Hal tersebut berkaitan dengan upaya mitigasi keterancaman muka yang dilakukan oleh penutur untuk menyelamatkan muka penutur dan muka mitra
tutur.
2.2.4 Derajat Keterancaman Muka