Pemberdayaan Pengguna Pelayanan Publik
C. Pemberdayaan Pengguna Pelayanan Publik
Di negara-negara maju, konsep pemberdayaan (empowering) terhadap para pengguna pelayanan publik telah cukup lama menjadi tema sentral dari gerakan-gerakan penyadaran hak-hak
atau gerakan yang memperjuangkan pelayanan publik yang berkualitas (Abdul Wahab, 1997; 1998). Bentuk-bentuk penyadaran hak-hak konsumen itu, menurut Pollitt (1988) bervariasi, mulai dari yang sekedar bersifat "kosmetik” seperti yang dilakukan oleh banyak instansi pemerintah (di Pusat dan daerah) dengan cara menyediakan informasi kepada para konsumen atau menyediakan kotak saran, hingga partisipasi langsung konsumen dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut konteks dan konten pelayanan itu sendiri. Pada contoh yang disebut terakhir itu, sesungguhnya tersirat makna “berbagi kekuasaan" (sharing of power). Menarik kiranya untuk mencermati komitmen politik dan komitmen profesional yang kini tengah berkembang dalam studi kebijakan publik yang keduanya mencoba meredefinisi konsep penerima pelayanan publik (recipient of public service) sebagai pelanggan atau konsumen itu.
konsumen
(consumerism)
Penggunaan nomenklatur pelanggan atau konsumen dalam konteks pelayanan publik mengandung makna bahwa hakikat dan pendekatan dalam pemberian pelayanan publik yang semua berkiblat pada kepentingan birokrasi (bureacratic-oriented) atau berorientasi pada produsen (producer-oriented) berubah menjadi Penggunaan nomenklatur pelanggan atau konsumen dalam konteks pelayanan publik mengandung makna bahwa hakikat dan pendekatan dalam pemberian pelayanan publik yang semua berkiblat pada kepentingan birokrasi (bureacratic-oriented) atau berorientasi pada produsen (producer-oriented) berubah menjadi
Kewajiban ganda yang diemban oleh pejabat publik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut Sebagai warganegara yang aktif, menurut Clarke dan Steward (1987), para pengguna jasa pelayanan publik sesungguhnya memiliki sejumlah hak-hak untuk memperoleh pelayanan yang baik, hak untuk mengetahui bagaimana keputusan-keputusan kebijakan mengenai jenis pelayanan tertentu dibuat dan, yang tak kalah penting, hak untuk didengar dan diperhatikan pendapat-pendapatnya. Namun, amat disayangkan sejumlah hak penting ini, sering hanya ada di atas kertas. Di kebanyakan negara sedang berkembang (tak terkecuali Indonesia) hak-hak itu justru kerap ditelikung oleh birokrasi, bahkan dikebiri. Karena posisinya yang monopolistik dan meluasnya Kewajiban ganda yang diemban oleh pejabat publik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut Sebagai warganegara yang aktif, menurut Clarke dan Steward (1987), para pengguna jasa pelayanan publik sesungguhnya memiliki sejumlah hak-hak untuk memperoleh pelayanan yang baik, hak untuk mengetahui bagaimana keputusan-keputusan kebijakan mengenai jenis pelayanan tertentu dibuat dan, yang tak kalah penting, hak untuk didengar dan diperhatikan pendapat-pendapatnya. Namun, amat disayangkan sejumlah hak penting ini, sering hanya ada di atas kertas. Di kebanyakan negara sedang berkembang (tak terkecuali Indonesia) hak-hak itu justru kerap ditelikung oleh birokrasi, bahkan dikebiri. Karena posisinya yang monopolistik dan meluasnya
“ .... regulations, together with increased bureaucratic discretion, have provided and incentive for corruption, since regulations goveming acces to good and services can be exploited by civil servants to extract service charges from the need fuli (Dwivedi, 1999 : 170).
Dalam spektrum yang lebih luas, salah satu, sumber penyebab timbulnya fenomena the high cost economy (ekonomi biaya tinggi) di Indonesia adalah masih bercokolnya kartel, monopoli, favoritisme, praktik standard ganda dan masih merajalelanya berbagai bentuk pungutan mulai dari yang setengah resmi hingga tak resmi yang menyertai pemberian pelayanan publik oleh dinas-dinas pemerintah.
Memang kita sudah sering mendengar propaganda yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru maupun pemerintah transisional Habibie yang kurang lebih berkaitan dengan reformasi birokrasi pelayanan publik Beberapa contoh, misalnya, kampanye tentang pendayagunaan aparatur negara yang bersih dan berwibawa, perang melawan ekonomi biaya tinggi, gerakan efisiensi nasional, gerakan penegakan disiplin nasional, pelayanan prima
(Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 6 tahun 1995) dan yang mutakhir penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (TAP MPR RJ No.XI /MPP/1998). Namun, sejauh ini, kesemua itu masih berupa retorika politik, belum berdampak nyata pada publik karena belum ada tindakan yang serius untuk mengimplementasikannya.
Lemahnya institusi masyarakat madani semisal adanya lembaga konsumen bebas, dibarengi dengan lemahnya law enforcement yang bisa berperan efektif dalam melindungi kepentingan konsumen dan kepentingan publik pada umumnya, makin memperburuk situasi di sektor pelayanan publik, di Tanah Air kita. Kita sering mendengar, membaca surat-surat pembaca di berbagai surat kabar dan bahkan menyaksikan sendiri betapa masih rendahnya respon birokrasi terhadap kerugian-kerugian yang diketahui publik dan konsumen. Padahal, dalam penentuan kualitas suatu pelayanan publik apakah ia bagus ataukah buruk hanyalah publik yang dilayani itulah yang sesungguhnya dapat menilai. Konsumen pula yang dapat menilai dengan tepat bagaimana kinerja pelayanan publik yang telah diberikan kepada mereka.
Dalam arti yang seluas-luasnya, peran penting yang dimainkan oleh para pengguna jasa pelayanan publik dalam rangka menyempumakan kualitas pelayanan publik dapat kita kategorikan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (empowering society). Sebagaimana halnya barang, jasa/pelayanan itu adalah merupakan sesuatu yang dihasilkan artinya, ia adalah Dalam arti yang seluas-luasnya, peran penting yang dimainkan oleh para pengguna jasa pelayanan publik dalam rangka menyempumakan kualitas pelayanan publik dapat kita kategorikan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (empowering society). Sebagaimana halnya barang, jasa/pelayanan itu adalah merupakan sesuatu yang dihasilkan artinya, ia adalah
Makna kualitas kata Jackson dan Palmer (1992), ialah persepsi konsumen terhadap ciri-ciri dan tampilan tertentu yang dianggap ada pada sebuah pelayanan, dan nilai-nilai yang mereka (konsumen) berikan pada ciri-ciri dan tampilan tersebut. Jadi, sebagai sebuah konsep, kualitas pada hakikatnya merupakan sesuatu nilai yang dilihat dari sudut pandang mereka yang dilayani, bukan hasil rekayasa dari mereka yang memberikan pelayanan (Jackson and Palmer, 1992:50). Salah satu tolok ukur bagi pelayanan publik yang baik (good service) dengan demikian adalah the ability to meet the needs of each individual served (Morgan and Bacon, 1996:361-362).
Pelajaran apakah yang dapat kita petik dari semua itu? Pada hemat saya gerakan pengedepanan kepentingan konsumen, orientasi kearah pelayanan yang lebih adil pada berbagai sektor publik, dan kegandrungan yang semakin tinggi akan kualitas pelayanan publik yang kini sedang melanda berbagai belahan dunia Pelajaran apakah yang dapat kita petik dari semua itu? Pada hemat saya gerakan pengedepanan kepentingan konsumen, orientasi kearah pelayanan yang lebih adil pada berbagai sektor publik, dan kegandrungan yang semakin tinggi akan kualitas pelayanan publik yang kini sedang melanda berbagai belahan dunia
Pada titik inilah manajemen publik konvensional dituntut menyesuaikan diri, mengubah wajah, perilaku dan orientasinya sehingga mirip dengan manajemen kewirausahaan yang biasa berlaku pada sektor swasta (private-sector-like entrepreneurial management). Hanya melalui perubahan radikal seperti itulah maka ditengah hantaman badai krisis moneter, kesulitan anggaran dan desakan politik untuk memaksimalisasi sumber-sumber yang ada secara efektif dan produktif manajemen di sektor publik akan bisa diharapkan mampu mencari peluang-peluang baru, serta terhindar dari kebangkrutannya. Argumen yang mendasari perlunya pengadaptasian model ini bukan hanya karena sektor bisnis selalu lebih efisien ketimbang sektor pemerintah melainkan juga karena, pada kebanyakan kasus, di sektor pemerintah itu karakter Pada titik inilah manajemen publik konvensional dituntut menyesuaikan diri, mengubah wajah, perilaku dan orientasinya sehingga mirip dengan manajemen kewirausahaan yang biasa berlaku pada sektor swasta (private-sector-like entrepreneurial management). Hanya melalui perubahan radikal seperti itulah maka ditengah hantaman badai krisis moneter, kesulitan anggaran dan desakan politik untuk memaksimalisasi sumber-sumber yang ada secara efektif dan produktif manajemen di sektor publik akan bisa diharapkan mampu mencari peluang-peluang baru, serta terhindar dari kebangkrutannya. Argumen yang mendasari perlunya pengadaptasian model ini bukan hanya karena sektor bisnis selalu lebih efisien ketimbang sektor pemerintah melainkan juga karena, pada kebanyakan kasus, di sektor pemerintah itu karakter
Painther (1994), misalnya, menjelaskan perlunya perubahan orientasinya dan perilaku itu sebagai berikut : Only by devising radically different ways on doing business
could contemporary governments respond to the deep trouble in which they found themselves. In particular, resources would have to
be deployed more creatively to increase productivity and effectiveness, and something that required opportunity seeking rather than risk avoiding behaviour.
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang mengadaptasi model pelayanan di sektor bisnis itu, maka para pengguna, bahkan calon pengguna jasa pelayanan publik, yang selama ini dianggap sekedar sebagai obyek atau penerima yang pasif (pasive recipient), harus menjadi pusat orientasi. Karena itu, mereka menempati posisi sentral. Implikasinya ialah perlunya dilakukan transparansi dalam proses pembuatan keputusan (transparency in decision making), reorientasi, restrukturisasi dan reengineering terhadap model manajemen pelayanan publik konvensional yang ada selama ini dianggap terlalu berorientasi pada kepentingan-kepentingan internal birokrasi.
Berikut rekomendasi kebijakan, berupa langkah-langkah strategis yang dimaksudkan untuk mereformasi birokrasi pelayanan publik di Indonesia, dengan fokus pada pemerintah daerah tingkat II.
Pertama, pada aras makro, sejalan dengan semangat pengedepanan otonomi daerah sebagaimana telah diatur oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka demi kelancaran proses implementasinya pemerintah pusat harus konsisten melakukan kebijakan off loading atas berbagai macam urusan (utamanya yang berdampak finasial) seraya memformat ulang misi dan visi institusi-institusi publiknya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mentransfer (mendesentralisasikan) kewenangan pengambilan keputusan, baik yuridis maupun politis berbagai urusan pelayanan publik penting (berikut sumber pembiayaannya) ke daerah. Dengan demikian, untuk tegaknya otonomi daerah desentralisasi itu harus komplit (tidak kepalang tanggung), mencakup kewenangan pengambilan keputusan di bidang perpajakan, alokasi sumber-sumber dan fleksibilitas dalam investasi.
Selama lebih dari tiga dasawarsa, ganjalan struktural implementasi kebijakan otonomi daerah di Indonesia adalah karcna masih cukup banyak urusan penting yang sengaja dibiarkan menggantung di Pusat (dan daerah). Kalau hal itu bisa dijalankan, maka akan ada 2 (dua) manfaat yang bisa dipetik dari sini. Di satu sisi, langkah tersebut di atas sebenamya merupakan bentuk pendidikan politik (political education) bagi elite politik daerah
(Smith, 1985) dan dimaksudkan agar pemerintah daerah lebih responsif terhadap perkembangan, serta tuntutan publik daerah. Dengan
terjadinya gerakan "pembangkangan" daerah-daerah yang menjurus pada disintegrasi nasional.
itu akan
dapat
dicegah
Di sisi lain, agar urusan pelayanan publik itu dapat ditangani secara lebih efisien dan efektif mengikuti tuntutan persaingan global. Perjalanan panjang selama 32 tahun di bawah rejim Orde Baru menunjukkan bahwa tidak cukup efisiennya birokrasi di Indonesia dalam mengikuti kecepatan gerak di sektor perekonomian dan bisnis di daerah terbukti telah melahirkan "ongkos-ongkos ekstra administrasi" yang merugikan kepentingan publik.
Berkembang biaknya praktik "mark up" dan biaya-biaya siluman diberbagai departemen dan instansi pemerintah (termasuk perbankan) merupakan contoh klasik mengenai hal itu. Itu semua telah mengakibatkan kondisi ekonomi nasional menjadi overheated dan memunculkan fenomena the high cost economy (abdul Wahab, 1999). Agar langkah ini membawa hasil, maka dirasa perlu merevitalisasikan kapasitas politik (political capacity) pemerintah-pemrintah daerah di Indonesia dalam mendesain perencanaan kebijakan publik daerah, termasuk kemampuan mereka merumuskan visi, tujuan dan strategi alternatif yang efektif berdasar pada skala prioritas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, pada aras mikro, terutama di lingkungan internal instansi-instasni daerah Tingkat II perlu disosialisasikan orientasi Kedua, pada aras mikro, terutama di lingkungan internal instansi-instasni daerah Tingkat II perlu disosialisasikan orientasi
Ketiga, dilihat dari perspektif Governance, kelemahan yang paling menonjol dalam birokrasi pemerintah daerah adalah karakternya yang rule driven atau rule following. Karakter birokrasi pemerintah daerah seperti ini jelas tidak cocok dengan iklim kompetisi dan semangat pengedepanan kepentingan publik dalam program pelayanan publik. Ini tak lain karena sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, belum pemah ada pemerintah daerah yang betul-betul otonom (autonomous and local self government). Pemerintah daerah sesungguhnya hanya merupakan alat artikulasi kepentingan (interest articulation) dan perpanjangan tangan pemerintah atasannya (propinsi dan pusat). Akibatnya, implementasi kebijakan pelayanan publik yang dijalankan di daerah selama ini, selain berkecenderungan terlau birokratis, monoton (seragam) dan tidak profesional, adalah tidak konsisten dan kurang responsif Ketiga, dilihat dari perspektif Governance, kelemahan yang paling menonjol dalam birokrasi pemerintah daerah adalah karakternya yang rule driven atau rule following. Karakter birokrasi pemerintah daerah seperti ini jelas tidak cocok dengan iklim kompetisi dan semangat pengedepanan kepentingan publik dalam program pelayanan publik. Ini tak lain karena sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, belum pemah ada pemerintah daerah yang betul-betul otonom (autonomous and local self government). Pemerintah daerah sesungguhnya hanya merupakan alat artikulasi kepentingan (interest articulation) dan perpanjangan tangan pemerintah atasannya (propinsi dan pusat). Akibatnya, implementasi kebijakan pelayanan publik yang dijalankan di daerah selama ini, selain berkecenderungan terlau birokratis, monoton (seragam) dan tidak profesional, adalah tidak konsisten dan kurang responsif
Keempat, secara politis, otonomi daerah yang lebih luas sebagai dijanjikan oleh UU No. 22 tahun 1999 itu, menurt hemat saya, mengandung makna memobilisasi peran pemerintah daerah (mobilizing role of local government) dalam mendayagunakan segala sumber (aktual maupun potensial), mekanisme dan instrumen yang tersedia di daerah. Dalam konteks pelayanan publik, ini berarti bahwa inisiatif untuk menentukan pilihan atas jenis dan model pelayanan publik yang tepat akan tergantung pada hasil kompromi politik antara elit kepemimpinan daerah (eksekutif dan legislatif) dan eksponen-eksponen masyarakat daerah itu sendiri.
Namun model atau konstruksi pelayanan publik apapun yang dipilih dan ingin dicoba kembangkan di daerah hendaklah dalam implementasinya dilakukan secara arif, bersifat situasional (contingency), beracu pada semangat kompetisi (mengindahkan mekanisme pasar) dan berwawasan pemberdayaan. Agar dalam proses implementasinya efisien, pemerintah daerah tidak perlu melakukannya sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara : lewat sistem koproduksi, membangun pola kemitraan antara pihak pemerintah daearah dan swasta (public private partnership) atau privatisasi, yakni dengan mengontrakkan (contracting out), secara selektif, fungsi-fungsi pelayanan tertentu pada pihak swasta (Hirsch, 1995), mendelegasikan kegiatan-kegiatan pelayanan tertentu pada lembaga swadaya masyarakat setempat berdasarkan kontrak kerjasama jangka pendek; mengenalkan dan membudayakan pola dan suasana kerja yang kompetitif baik diantara satuan-satuan kerja dilingkungan instansi pemerintah daerah sendiri maupun antara satuan-satuan kerja dilingkungan instansi pemerintah daerah dengan pihak swasta atau lembaga swadaya masyarakat setempat (Kingsley, 1996:442).
Di atas itu semua, yang dirasa tak kalah penting adalah membangun sebuah pola hubungan politik yang transformatif antara publik daerah dengan para politisi daerah yang menduduki badan perwakilan rakyat daerah (Frederickson, 1994) di dukung oleh civic infrastructure yang demokratis. Hal ini dimaksudkan agar politisi daerah, baik diminta atau tidak, tetap sensitif dan responsif pada Di atas itu semua, yang dirasa tak kalah penting adalah membangun sebuah pola hubungan politik yang transformatif antara publik daerah dengan para politisi daerah yang menduduki badan perwakilan rakyat daerah (Frederickson, 1994) di dukung oleh civic infrastructure yang demokratis. Hal ini dimaksudkan agar politisi daerah, baik diminta atau tidak, tetap sensitif dan responsif pada
I. Bahan Bacaan
1. Abdul Wahab, Solichin, 1998. Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan Yang Responsif Dan Berkualitas,
Pascasarjana Universitas Brawijaya
Program
2. Abdul Wahab, Solichin, 1999. Ekonomi Politik Pembangunan; Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan Di tengah Krisis Moneter, PT Danar Wijaya Brawijaya University Press
3. Caiden, Gerald E., 1999. What Lies Ahead for the Administration State?, Dalam Bureaucracy and the
Altematives in World Perspective, Keith M. Henderson and O.P. Dwivedi (eds), Macmillan Press Ltd., London
4. Dahrendorf, Ralf, 1995. Preserving Prosperity. New Statesman & Society, December
5. De Vries, Peter, 1995. A Review of Some Critical Perspectives on Development Bureaucracy and Policy. Dalam In Search ofThe Midlle Ground : Essays on the Sociology of planned development, George E. Frecks and Jan H. B den Ouden (eds), Wageningen Agricultural University, the Netherlands.
6. Drucker, P, 1985. Innovation and Entrepreneurship. New York. Harper and Row
7. Dwivedi, O.P, 1999. Gevernance and Administration in South Asia. Dalam Bureucracy and The Alternatives in World Perspective, Keith Henderson, O.P. Dwivedi (eds), Macmillan Press Ltd., London
8. Frederickson,
1980. New Public Administration University of Alabama Press
H. George,
9. Frederickson, H. George, 1994. Total Quality Politics : TQO. Spectrum
10. Featherstone, M., 1990. Global Culture : an introduction. Dalam Global Culture, Mike Featherstone (ed), Sage Publication
11. Goldberg, Lenny, 1996 Come The Devolution. The American Prospect
12. Ishikawa, Kaom, 1985 What is Total Quality Control? : The Japanese Way. Englewood Cliffs. NJ, Prentice-Hall
13. Jackson, P.M. and B. Palmer, 1992. Developing performance monitoring in public sector organizations; a management guide. The Management Centre, University of Leicester.
14. Jablonski, Joseph R., 1992. Implementmg TQM :
15. Competing in the Nineties through Total Quality Management, ed. San Diego, Pfeifer
16. Kingsley, G. Thomas, 1996. Perspectives on Devolution. APA Journal. Autumn
17. Kazancigil, Ali, 1988. Governance and Science : market like modes of managing society and producing knowledge. UNESCO
18. Kjellberg, Franscesco, 1995. The Changing Values of Local Goverment. ANNALS, AAPSS (540), July
19. Marini, Frank (ed), 1971. Toward a New Public Administration: The Minowbrook Perspective. Scranton, P.A. Chandler
20. Mawhood, Philip, 1983. Local Government in the Third World. John Wiley & Son. New York
21. Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government. How the Entrepreneural Spirit Is Transforming the Public Sector from Schoolhouse to Statehouse, City hall to Pentagon. Reading, MA: Addison Wesley
22. Osborne, Davis and peter Palstrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Stategy For Reinventing Government, Addison Wesley Publishing Company, Inc., New York
23. Savas, E.S., 1987. Privatizatiom : The Key to Better Government. Chatham House Publisher, Inc., New Jersey
24. Stver. J.A., 1998. The End of Public Administration. Dobbs Ferry, NY Transnational Publisher, Inc
25. Stretton, Hugh and Lionel Orchard, 1994. Public Goods, Public Enterprice, Public Choice : Theoretical
Foundations of Contemporary Attact on Government. st Martiifs Press. London
26. Stoker, Gerry, 1988. Governance as theory : five propositions. UNESCO
27. Smith, B.C., 1985. Decentralization : The Teritorial Dimension of the State. George Allen & Unwin. London
28. World Development Report 1997. The State in a Changing World, Published For The World Bank, Oxford University Press
II. Pertanyaan Kunci