Kajian Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Fungsi Hidrologi Das Batang Tabir Menggunakan Model Swat

KAJIAN DAMPAK EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
TERHADAP FUNGSI HIDROLOGI DAS BATANG TABIR
MENGGUNAKAN MODEL SWAT

SUSIWIDIYALIZA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Dampak Ekspansi
Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir Menggunakan
Model SWAT adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015
Susiwidiyaliza
NIM A155120011

RINGKASAN
SUSIWIDIYALIZA. Kajian Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap
Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir Menggunakan Model SWAT. Dibimbing oleh
SURIA DARMA TARIGAN dan LATIEF MAHIR RACHMAN.
DAS Batang Tabir adalah salah satu wilayah di Kabupaten Merangin Provinsi
Jambi yang dijadikan sasaran untuk rencana pengembangan perkebunan kelapa
sawit. Luas tanaman kelapa sawit di Kabupaten Merangin pada tahun 2004 adalah
42 819 ha, luasan ini meningkat menjadi 52 748 ha pada tahun 2012 dan 10 446 ha
tanaman sawit ini berada di DAS Batang Tabir. Pembangunan perkebunan kelapa
sawit di Provinsi Jambi, khususnya di DAS Batang Tabir memberikan kesempatan
untuk meningkatkan pendapatan. Hal ini karena kelapa sawit merupakan salah satu
komoditas yang berperan dalam perekonomian dan merupakan salah satu penghasil
devisa utama. Penggunaan lahan suatu kawasan mempengaruhi hidrologi kawasan
tersebut, mengubah penggunaan lahan berarti mengubah tipe dan proporsi tutupan

lahan serta mempengaruhi respon hidrologinya.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis perubahan penutupan lahan di
DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004, 2013 dan pengaruhnya terhadap fungsi
hidrologi DAS Batang Tabir; 2) Menganalisis dampak ekspansi perkebunan kelapa
sawit terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir dengan melakukan simulasi luas
perkebunan kelapa sawit menggunakan Model SWAT; 3) Menganalisis pengaruh
penerapan teknik konservasi tanah terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir.
Analisis fungsi hidrologis pada penutupan lahan tahun 1995, 2004, 2013
adalah menggunakan data aktual (data observasi) yang ditunjukkan dengan nilai
koefisien aliran tahunan dan flow duration curve. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa luas hutan di DAS Batang Tabir semakin menurun dari tahun ke tahun.
Tahun 1995 DAS Batang Tabir masih ditutupi hutan sebesar 72.3%, sedangkan
tahun 2004 berkurang menjadi 65.1% dan tahun 2013 hanya tinggal 53.1% dari luas
DAS Batang Tabir. Tutupan lahan perkebunan sawit tahun 1995 luasnya 1.2%,
tahun 2004 meningkat menjadi 4.6% dan tahun 2013 sebesar 6% dari luas DAS
Batang Tabir. Hasil overlay penutupan lahan 2013 dengan izin lokasi perkebunan
sawit menunjukkan peningkatan luas kebun sawit menjadi sebesar 23.3%. Nilai
koefisien aliran tahunan di DAS Batang Tabir mengalami peningkatan, pada
periode penutupan lahan tahun 1995 adalah 0.22, tahun 2004 sebesar 0.31 dan 2013
sebesar 0.47. Debit andalan 80% juga mengalami kenaikan, pada tahun 1995

sebesar 71.18 m3/det dan meningkat menjadi 107.19 m3/det pada tahun 2013.
Dampak perluasan perkebunan kelapa sawit dianalisis dengan menggunakan
data dari model SWAT (Soil and Water Assessment Tool). Data yang dihimpun
pada model SWAT untuk input penelitian ini adalah data iklim global, Digital
Elevation Model (DEM), tanah, tutupan lahan, suhu dan curah hujan. Selain itu
dihimpun juga data debit hasil observasi untuk proses kalibrasi dan validasi model.
Tahapan kegiatan yang dilakukan adalah: (1) mendeliniasi batas DAS Batang Tabir,
(2) pembentukan Hidrology Respon Unit (HRU) dengan cara tumpang susun peta
tanah, peta tutupan lahan serta peta kelas kelerengan, (3) penggabungan HRU
dengan data iklim global, data curah hujan rata-rata harian serta data suhu udara
maksimum minimum harian , (4) menjalankan SWAT, (5) kalibrasi dan validasi

data, dan (6) menganalisis fungsi hidrologi DAS Batang Tabir dengan skenario
simulasi perluasan perkebunan kelapa sawit dan penerapan teknik konservasi tanah.
Hasil analisis model SWAT menunjukkan bahwa tutupan lahan tahun 2013
memiliki aliran permukaan (surface runoff), aliran lateral, aliran dasar dan koefisien
aliran tahunan masing-masing 443,37 mm, 1.029,42 mm, 324,71 mm dan 0,47.
Model SWAT mampu memprediksi dampak dari perluasan perkebunan kelapa
sawit terhadap fungsi hidrologis DAS Batang Tabir (skenario 1). Hal ini
ditunjukkan oleh aliran permukaan (surface runoff), aliran lateral, aliran dasar dan

nilai koefisien aliran tahunan masing-masingnya adalah 533,92 mm, 984,74 mm,
318,57 mm dan 0,50. Penerapan konservasi tanah dan air pada ekspansi perkebunan
kelapa sawit (skenario 2) mampu menurunkan aliran permukaan (surface runoff)
menjadi 434.56 mm atau berkurang sebanyak 22.9% dari kondisi aliran permukaan
pada skenario 1 dengan nilai koefisien aliran tahunan sebesar 0.46.
Perkebunan kelapa sawit secara ekonomi mampu memberikan kontribusi
baik bagi petani maupun pemerintah. Jika memang izin lokasi perkebunan sawit
ini harus direalisasikan, maka skenario 2 harus diimplementasikan, dimana
ekspansi perkebunan kelapa sawit harus diiringi dengan penerapan teknik
konservasi tanah dan air yang tepat.

Kata kunci: ekspansi perkebunan sawit, aliran permukaan, SWAT, DAS, fungsi
hidrologi.

SUMMARY
SUSIWIDIYALIZA. Study the impact of oil palm expansion on the hydrological
functions of Batang Tabir watershed using SWAT model. Supervised by SURIA
DARMA TARIGAN and LATIEF MAHIR RACHMAN.
Batang Tabir watershed is one of the areas in Merangin District of Jambi
Province targeted for oil palm development. Area of oil palm plantations in

Merangin District in 2004 was 42 819 ha, this area increased to 52 748 ha in 2012
and 10 446 ha of oil palm plantations are located in Batang Tabir watershed. The
development of oil palm plantations in Jambi Province, especially in the Batang
Tabir watershed provide opportunities to increase revenue. This is because oil palm
is one commodity that plays a role in the economy and is one of the leading foreign
exchange earner. Land use of an area affect the hydrology of the region, changing
the land use means changing the type and proportion of land cover and hydrological
response.
This research aims to: 1) analyze changes of land cover in Batang Tabir
watershed of 1995, 2004, 2013, and its influence on the hydrological functions of
Batang Tabir watershed; 2) Analyze the impact of oil palm expansion on the
hydrological functions of Batang Tabir watershed by simulating the oil palm
plantation area using SWAT model; 3) To analyze the impact of the application of
soil conservation practices on hydrological functions of Batang Tabir watershed.
Analyzes of hydrological function on land use in 1995, 2004, 2013 were
using actual data (observation data), indicated by the value of the coefficient runoff
and flow duration curve. The results of this research showed that area of forest
coverage in Batang Tabir watershed was decreasing, in 1995 this areal still 72.3%
of watershed area, but in 2004 area of forest only 65.1% and 2013 forest area 53.1%
of watershed area. The oil palm plantations in 1995 only 1.2%, in 2004 increased

to 4.06% and 2013 increased to 6% of watershed area. the results overlay of land
cover in 2013 with the permission of palm plantations showed increased oil palm
plantations area to 23.3%. The flow coefficient values in DAS Batang Tabir has
increased, in the period of land cover in 1995 was 0.22, 2004 of 0.31 and 0.47 in
2013. Dependable flow of 80% also increased, in 1995 amounted to 71.18 m3/sec
and increases to 107.19 m3/sec in 2013.
Impact of oil palm expansion was analyzed using data from the model SWAT
(Soil and Water Assessment Tool). The collected data in SWAT model include
global climate data, Digital Elevation Model (DEM), soil, land cover, temperature
and rainfall. Apart from these, were colected observed flow-out data for calibration
and validation of the model. The stages of activities carried out are: (1) delineation
of the borders of Batang Tabir watershed, (2) formation of Hydrology Response
Unit (HRU) by overlay of soil map, land cover map and slope classes map, (3)
combining HRU with global climate data, average daily rainfall data and maximum
minimum daily air temperature data, (4) running SWAT, (5) calibration and
validation of data, and (6) analysis of the hydrological functions of Batang Tabir
watershed with simulated scenario of oil palm expansion and the adoption of soil
conservation techniques.
The SWAT model analysis result showed that land cover in 2013 had a
surface runoff, lateral flow, base flow and flow coefficient of 443.37 mm, 1029.42


mm, 324.71 mm and 0.47 respectively. SWAT model was able to predict the impact
of oil palm expansion on the hydrological function of Batang Tabir watershed
(scenario 1). It was indicated by surface runoff, lateral flow and base flow and flow
coefficient values is 533.92 mm, 984.74 mm, 318.57 mm and 0.50 respectively.
Application of soil conservation in the oil palm plantations (scenario 2) was able to
reduce surface runoff into 434.56 mm or reduced to 20% of the surface runoff in
scenario 1 with flow coefficien values is 0.46.
Oil palm plantations is capable to contribute for both, farmer and government.
if the the permission of oil palm plantations should be realized, then the scenario 2
should be implemented, where the expansion of oil palm plantations should be
accompanied by the application of soil and water conservation techniques are
appropriate.
Keywords: Oil palm expansion, Runoff, SWAT, watershed, hydrologycal function

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN DAMPAK EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
TERHADAP FUNGSI HIDROLOGI DAS BATANG TABIR
MENGGUNAKAN MODEL SWAT

SUSIWIDIYALIZA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS

n2nIu(4g=hu u -C;-Vu -R`-Fu Gg`-Vgu &u-j-W7u(-.=bu
"-S-u

u 'ng=r=2=s-J?t-u



u  uu

3V77nV-H-Xu!_24Iu&,)u

=g4jnDn=u _I4:u
_S=g=u $4S/@S.=V7u

cuKau&nY-u-Z[-u

&0u


eLdu

4kp-u

V77_k-u

=F4j-9n=u _M4:u

4ln-u$c_7c-Tu &mn2=u
#5V76N_O--Vu-4a-9uu=c-Vu&nV7-Bu

duPcu &nd=-u-Z]-u(-c=7-^u 

(-V77-Iu+E=-Vu 
u4h4U.4fu  u

*-V77-Qu nInhu

 


 

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah fungsi hidrologi, dengan judul Kajian Dampak Ekspansi
Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir
Menggunakan Model SWAT. Penelitian ini difokuskan pada bagaimana model
SWAT dapat menganalisis fungsi hidrologi yang ditimbulkan dari ekspansi
perkebunan kelapa sawit dan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat
di DAS Batang Tabir.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan MSc dan Dr Ir Latief Mahir Rachman MSc
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan
masukan selama penelitian ini.
2. Bapak Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS selaku penguji luar komisi pada ujian
tesis yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan memberikan kontribusi
dalam perbaikan penulisan tesis.
3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yang memberikan bantuan
beasiswa melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Bogor sebagai
fasilitator mahasiswa dengan IPB.
4. Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Batanghari, Bapak Ir Taruna
Jaya, M.Si. beserta staf sebagai tempat penulis bekerja.
5. Balai Wilayah Sungai VI Sumatera, Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) Jambi dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Merangin Provinsi Jambi yang memberikan data sebagai pendukung dalam
pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
6. Suami tercinta Yudha Rusmansyah, SE,.Ak,.MM, ananda tersayang Zakky
Maulana Yudha dan Farel Athaya Yudha yang selalu memberi semangat dan
mendukung dengan cinta, do’a, kesabaran dan keikhlasan.
7. Ayahanda (Alimar, Alm) dan ibunda (Munizar) beserta keluarga besar di Jambi
yang selama ini telah memberikan perhatian dengan penuh kasih sayang.
8. Teman-teman Program Studi DAS 2012 (Neng Wati Ana Sulastri, Chollis
Munajad, Setyo P Nugroho) yang selalu memberi semangat, rekan-rekan di
FORDAS IPB yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama
menyelesaikan studi di IPB.
9. Asia Mico SE, Dian Annisa, Romza Saman dan kak Mirajiani atas
kebersamaannya selama di Kos DARA.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015
Susiwidiyaliza

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Aliran Permukaan
Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Kondisi Hidrologi
Model Hidrologi SWAT

5
5
6
7
8

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Analisis Data
Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit Aliran di DAS
Batang Tabir
Analisis Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit dan Penerapan Teknik
Konservasi Tanah terhadap Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir
Menggunakan Model SWAT

11
11
12
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit Aliran
Debit Aliran Sungai Batang Tabir
Flow Duration Curve DAS Batang Tabir
Analisis Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Fungsi
Hidrologi DAS Batang Tabir Menggunakan Model SWAT
Deliniasi Sub DAS (Watershed Delineator)
Pembentukan HRU (Hidrologic Response Unit)
Kalibrasi Model
Validasi Model
Analisis Fungsi Hidrologi DAS Batang Tabir
Simulasi Penutupan Lahan Tahun 2013 (skenario 0)
Simulasi Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit pada Tutupan Lahan 2013
(skenario 1)

20
20
24
26
28

12

14

29
29
31
31
35
36
36
37

Simulasi Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit pada Tutupan Lahan 2013
dengan Penerapan Teknik Konservasi (Skenario 2)
Penggunaan Lahan Terbaik

41
41

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

43
43
44

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

54

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Klasifikasi Nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT)
Konduktivitas hidrolik efektif tanah pada saluran terbuka berdasarkan
Lane (1983)
Karakteristik saluran terbuka untuk menentukan nilai kekasaran
Manning berdasarkan Chow (1959)
File-file Input dan Fungsinya dalam Analisis Hidrologi
Sebaran dan luas setiap jenis tanah di DAS Batangtabir
Luas masing-masing kelas kelerengan DAS Batangtabir
Luas penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013
Nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT) berdasarkan penutupan lahan
tahun 1995, 2004 dan 2013
Luas Sub DAS hasil delineasi Model SWAT
Nilai parameter pada tahap kalibrasi model SWAT
Penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 2013 berdasarkan peta izin
lokasi perkebunan sawit
Hasil Simulasi Model SWAT terhadap Fungsi Hidrologi
Direct Runoff dan koefisien aliran tahunan (KAT) berdasarkan
perubahan penutupan lahan pada masing-masing sub DAS
Nilai Koefisien Aliran Tahunan (KAT) pada masing-masing sub DAS
Batang Tabir berdasarkan skenario 1 dan 2

14
16
16
17
22
23
24
28
30
33
38
39
40
43

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kerangka Pemikiran Penelitian
Skema representasi siklus hidrologi (Neitsch 2005)
Proses yang terjadi dalam sungai (Neitsch 2005)
Lokasi Penelitian
Diagram Alir Penelitian
Curah hujan wilayah tahunan periode 2008-2013 di DAS Batang Tabi
Klasifikasi tanah DAS Batang Tabir
Titik pengambilan sample tanah di DAS Batang Tabir
Sebaran kelas lereng DAS Batang Tabir
Penutupan lahan DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013
Debit rata-rata bulanan tahun 1995, 2004 dan 2013
Debit rata-rata tahunan, curah hujan tahunan dan koefisien aliran
tahunan tahun 1995, 2004 dan 2013
Flow Duration Curve DAS Batang Tabir tahun 1995, 2004 dan 2013
Sebaran Sub DAS pada DAS Batang Tabir
Perbandingan debit model sebelum kalibrasi dengan debit observasi

4
9
10
11
15
21
21
22
23
25
27
27
29
30
32

16
17
18
19
20
21
22
23

Hubungan koefisien deterministik antara debit model sebelum
kalibrasi dengan debit observasi
Hubungan koefisien deterministik antara debit model sesudah kalibrasi
dengan debit observasi
Perbandingan debit model sesudah kalibrasi dengan debit observasi
Hubungan koefisien deterministik antara debit model hasil validasi
dengan debit observasi
Perbandingan debit model hasil validasi dengan debit observasi
Direct runoff pada masing-masing sub DAS Batang Tabir tahun 2013
output dari model SWAT
Penutupan lahan 2013 (a) Penutupan lahan 2013 yang sudah di overlay
dengan izin lokasi perkebunan sawit (b)
Penutupan lahan dan koefisien aliran tahunan pada masing-masing sub
DAS berdasarkan skenario 1 dan 2. Penutupan lahan yang ditampilkan
hanya yang dominan.

32
34
35
35
36
36
38

42

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Parameter data tanah DAS Batang Tabir
Input database tutupan lahan
Database pembangkit iklim

48
51
53

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Besarnya prospek komoditas minyak kelapa sawit dalam perdagangan
minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia mengembangkan
usaha investasi perkebunan kelapa sawit secara lebih luas. Perkebunan kelapa sawit
merupakan salah satu sektor andalan pemerintah diluar sektor migas, bahkan
menjadi sektor penyumbang devisa negara terbesar non migas. Sebagaimana pidato
Menteri Perindustrian yang dibacakan Dirjen Industri Agro Kementerian
Perindustrian, Panggah Susanto, pada acara Palm Oil Industry Development
Conference (POIDec), menyampaikan bahwa
industri kelapa sawit nasional
memiliki kontribusi yang sangat tinggi bagi pertumbuhan ekonomi negara dimana
sampai tahun 2012, terdapat seluas 9,1 Juta hektar milik petani rakyat, BUMN, dan
swasta; yang menghasilkan sekitar 29,5 Juta Ton Minyak kelapa sawit CPO (Crude
Palm Oil) dan CPKO (Crude Palm Kernel Oil), sehingga dengan jumlah produksi
tersebut, Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar dan menguasai 48%
pangsa pasar dunia (Susanto 2013).
Fakta dari aspek ekonomi sebagaimana digambarkan di atas, memberi suatu
konsekuensi pada aspek ekologi atau lingkungannya. Tantangan terbesar dalam
pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan dan mempertahankan
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keberlanjutan
pemanfaatan dan keberadaan sumberdaya alam (Asdak 2010). Lahan sebagai salah
satu sumberdaya alam yang terbatas dapat mengalami kerusakan dan penurunan
produktifitas apabila tidak dikelola secara bijaksana. Penggunaan lahan suatu
kawasan mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut, mengubah penggunaan lahan
berarti mengubah tipe dan proporsi tutupan lahan yang selanjutnya mempengaruhi
respon hidrologinya. Ketidaksesuaian penggunaan lahan dapat berdampak kepada
penurunan kualitas lahan, sehingga sering mengakibatkan terjadinya banjir,
kekeringan, erosi yang akan menurunkan produktivitas lahan dan kesejahteraan
masyarakat.
Pemanfaatan sumber daya alam secara intensif mengakibatkan terjadinya
konversi lahan di bagian hulu yang membawa dampak negatif terhadap
keseimbangan dan kualitas sumberdaya air. Konversi lahan pada umumnya terjadi
pada penggunaan lahan hutan menjadi daerah perkebunan dan pertanian, daerah
perkebunan menjadi lahan pertanian dan permukiman, daerah pertanian menjadi
permukiman dan industri. Tidak jarang terdapat daerah hutan dan perkebunan yang
berubah menjadi tanah kosong, terlantar dan gundul yang kemudian menjadi lahan
kritis. Secara fisik penyebab kerusakan DAS yang disoroti adalah perubahan
penggunaan lahan, terutama berkurangnya tutupan hutan dalam suatu DAS.
Konversi hutan untuk berbagai penggunaan terjadi hampir di seluruh DAS, sejalan
dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan. Berdasarkan UndangUndang No. 41/1999 tentang Kehutanan pada pasal 18 ayat 2 telah ditetapkan
bahwa proporsi minimal luasan hutan dalam suatu DAS adalah 30% dan tersebar
secara proporsional. Provinsi atau kabupaten yang mempunyai luas hutan lebih dari
30% juga tidak boleh secara bebas mengurangi luas tutupan hutannya dari luas yang

2
ditetapkan, sehingga luas minimal tidak boleh dijadikan alasan untuk terus
mengeksploitasi hutan yang ada.
Berdasarkan studi JICA tahun 2002 terhadap perbandingan luas tutupan
lahan hutan dalam beberapa tahun, diketahui bahwa luas tutupan hutan di DAS
Batanghari semakin berkurang. Hal ini tentu saja disebabkan karena peningkatan
luas tutupan lahan pertanian/perkebunan, tanah terbuka, semak belukar dan
pemukiman (non hutan). Luas hutan di DAS Batanghari pada tahun 1982 adalah
3.572.689 ha berkurang hingga menjadi 1.921.962 ha di tahun 1996 (BPDAS
Batanghari 2009). Perubahan setiap tutupan lahan di DAS Batanghari diperkirakan
telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, terutama perubahan
tutupan hutan karena tutupan hutan mempunyai multifungsi (ekologi, sosial, dan
ekonomi). Konversi hutan yang terjadi di DAS Batanghari sangat sulit dikendalikan
karena berbagai kepentingan. Umumnya masyarakat petani melakukan kegiatan
usahatani dengan sistem ladang berpindah, areal perladangan tersebut dipersiapkan
dengan menebang hutan kemudian membakar dan menanami padi dengan sistem
tugal. Sejak tahun 1990 sektor pertambangan dan pengalihan komoditas
perkebunan sawit juga menambah lajunya pengurangan areal hutan.
Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu primadona tanaman
perkebunan di Provinsi Jambi yang memiliki pelabuhan ekspor dan menjadi salah
satu provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia. Tanaman kelapa sawit di Provinsi
Jambi yang semula hanya seluas 92 688 ha pada tahun 1993 meningkat menjadi
609 950 ha di tahun 2012, hal demikian berarti mengalami peningkatan hampir 7
kali lipat dalam kurun waktu 20 tahun (Disbun 2013).
Perluasan perkebunan kelapa sawit yang cukup cepat ini dapat menyebabkan
kehilangan fungsi-fungsi lingkungan seperti cadangan karbon, biodiversitas dan
sumber daya air sehingga perlu adanya pengelolaan lahan kelapa sawit yang dapat
mengurangi pengaruh negatif terhadap sumber daya air lokal, namun disisi lain,
perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi
perbaikan ekonomi dan berperan dalam menyerap tenaga kerja (Tarigan et al. 2012).
Fluktuasi debit aliran merupakan salah satu indikator untuk menilai aspek
biofisik terhadap suatu DAS atau kerusakan lingkungan. Dari aspek fisik, perlu
adanya pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan sehingga dapat
mengontrol perubahan aliran air dan meminimalkan kerusakan tanah (Pawitan
2006). Pengelolaan DAS yang baik adalah pengelolaan yang memperhatikan
berbagai aspek yang terkait di dalamnya, baik aspek sosial, ekonomi maupun fisik.
DAS memiliki komponen hidrologi yang kompleks dan mungkin sulit untuk
dipahami secara keseluruhan.
Penggunaan model hidrologi sebagai suatu penyederhanaan dari realitas
yang sebenarnya, diperlukan untuk membantu dalam memprediksi proses yang
terjadi di dalam DAS. Model Hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool)
merupakan salah satu model yang dapat memperkirakan kondisi hidrologi berbasis
proses fisik (physical based model), sehingga memungkinkan sejumlah proses fisik
yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Model hidrologi SWAT dapat
digunakan untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik
hidrologi. SWAT merupakan model hidrologi yang dikembangkan untuk
memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air, sedimen, muatan
pestisida dan kimia hasil pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu
DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang

3
bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch et al. 2005). Penelitian ini
mencoba mengaplikasikan model SWAT untuk mengetahui dampak ekspansi
perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologi DAS Batang Tabir dengan
melakukan simulasi luas perkebunan kelapa sawit.

Perumusan Masalah
DAS Batang Tabir adalah salah satu wilayah di Kabupaten Merangin Provinsi
Jambi yang dijadikan sasaran untuk rencana pengembangan perkebunan kelapa
sawit. Luas tanaman kelapa sawit di Kabupaten Merangin pada tahun 2004 adalah
42 819 ha, luasan ini meningkat menjadi 52 748 ha pada tahun 2012 dan 10 446 ha
tanaman sawit ini berada di DAS Batang Tabir (Disbun 2013).
Berdasarkan data dari KKI Warsi Jambi, Kecamatan Tabir Ulu yang
merupakan salah satu kecamatan yang berada di DAS Batang Tabir sudah dikepung
dengan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan perusahaan hutan tanaman
industri (HTI). Perusahaan yang sudah memperoleh izin di bidang perkebunan
kelapa sawit di kecamatan ini meliputi PT Raihan seluas 61 000 ha dan PT Sawit
Harum Makmur seluas 16 500 ha (Raharja 2013). Kondisi kerusakan ekosistem
yang terjadi sudah cukup parah, walaupun baru sebagian dari lahan tersebut yang
sudah dikelola. Rusaknya ekosistem itu tidak hanya melahirkan konflik satwa
dengan manusia, beberapa titik kawasan di Kabupaten Merangin juga tengah
dilanda banjir akibat kondisi hutan yang rusak tersebut.
Hasil monitoring dan evaluasi tata air yang dilakukan oleh BPDAS
Batanghari pada tahun 2007, DAS Batang Tabir memiliki frekuensi banjir yang
tergolong rendah yakni terjadi 1 kali selama 5 tahun dengan curah hujan 413, 91
mm/tahun (BPDAS Batanghari 2010), namun sejak tahun 2010 frekuensi banjir di
wilayah sungai Batang Tabir meningkat disertai dengan bertambahnya luas
genangan banjir (BWS VI Sumatera 2012).
Terjadinya perubahan tutupan lahan di DAS Batang Tabir menjadi
perkebunan kelapa sawit ini menarik diteliti untuk mengetahui bagaimanakah
sebenarnya dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi hidrologis
DAS Batang Tabir. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang akan dikaji lebih
lanjut yaitu:
1. Bagaimanakah trend perubahan penutupan lahan dan pengaruhnya terhadap
fungsi hidrologi DAS Batang Tabir selama kurun waktu 20 tahun terakhir
2. Bagaimanakah dampak dari ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi
hidrologi DAS Batang Tabir.
3. Bagaimanakah pengaruh penerapan teknik konservasi tanah terhadap fungsi
hidrologi DAS Batang Tabir.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah diuraikan,
maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perubahan penutupan lahan di DAS Batang Tabir periode tahun
1995, 2004, 2013 dan pengaruhnya terhadap fungsi hidrologi DAS Batangtabir.

4
2. Menganalisis dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap fungsi
hidrologi DAS Batang Tabir dengan melakukan simulasi luas perkebunan
kelapa sawit menggunakan Model SWAT.
3. Menganalisis pengaruh penerapan teknik konservasi tanah terhadap fungsi
hidrologi DAS Batang Tabir.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau bahan
pertimbangan bagi pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan di sektor
perkebunan kelapa sawit khususnya terkait pengelolaaan lahan yang tepat dan
penyediaan lahan budidaya kelapa sawit.

Ruang Lingkup Penelitian
Agar dalam pembahasan lebih terarah, berikut ruang lingkup dalam penelitian
ini:
1. Survei dalam penelitian ini adalah pada tingkat meso atau tinjau mendalam.
2. Fungsi hidrologi DAS merupakan komponen hidrologi DAS yang dapat diukur
dan dikuantifikasikan dalam bentuk nilai koefisien aliran permukaan.
3. Simulasi dilakukan dengan skenario sebagai berikut:
a. Kondisi existing (2013).
b. Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada penutupan lahan 2013
c. Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada penutupan lahan 2013 dengan
penerapan teknik konservasi tanah.
d. Penutupan lahan tahun 2013 dengan penerapan teknik konservasi.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS), Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur
utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang
lereng. Karakteristik biofisik DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh
didalam wilayah suatu DAS sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya
evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaan, kandungan air
tanah dan aliran sungai. Faktor tataguna lahan, kemiringan dan panjang lereng dapat
direkayasa oleh manusia, sementara faktor lainnya bersifat alamiah. Perubahan
tataguna lahan, pengaturan kemiringan dan panjang lereng menjadi salah satu fokus
aktivitas perencanaan pengelolaan DAS. Peranan vegetasi dalam sistem hidrologi
sangat penting karena kemungkinan intervensi manusia terhadap unsur tersebut
amat besar. Vegetasi dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam
hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah sehingga
mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan (Asdak 2010).
Daerah Aliran Sungai (DAS) terdiri atas tiga bagian yaitu bagian hulu, tengah
dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik maupun hidrologis. DAS bagian
hulu dicirikan sebagai kawasan konservasi dengan kerapatan drainase lebih tinggi,
kemiringan lereng lebih besar dari 15%, bukan daerah banjir dan vegetasi
didominasi tegakan hutan. Bagian tengah merupakan kawasan penyangga yang
merupakan daerah perubahan/transisi dari kondisi biogeofisik bagian hulu dan hilir.
Bagian hilir merupakan kawasan pemanfaatan dengan kerapatan drainase lebih
kecil, kemiringan lereng kurang dari 8% dan beberapa tempat merupakan daerah
banjir/genangan (Asdak 2010). Fungsi hidrologis DAS dipengaruhi oleh curah
hujan yang diterima, geoogi lahan dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis DAS
mencakup : (a) mengalirkan air, (b) menyangga kejadian puncak hujan, (c) melepas
air secara bertahap, (d) memelihara kualitas air, dan (d) Mengurangi perpindahan
massa tanah (Van Noordwijk et al. 2004).
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu akan berpengaruh
sampai pada hilir, karena DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS terutama dalam
fungsi tata air, jadi apabila terjadi pengelolan yang tidak benar terhadap bagian hulu
maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada bagian hilir.
Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengatur hubungan
timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala
aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Pengelolaan DAS bertujuan untuk mewujudkan kesadaran, kemampuan dan

6
partisipasi aktif Instansi terkait dan masyarakat dalam pengelolaan DAS yang lebih
baik, mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan
daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan kuantitas,
kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air yang optimal menurut ruang dan waktu
serta mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Asdak 2010).
Pengelolaan suatu DAS dikatakan berhasil apabila terpenuhi beberapa hal
berikut yaitu: (1) Tercapainya kondisi hidrologis yang optimal, (2) Meningkatnya
produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat, (3)
Terbentuknya kelembagaan masyarakat yang muncul dari bawah sesuai dengan
sosial budaya masyarakat setempat dan (4) Terwujudnya pembangunan yang
berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan (Departemen Kehutanan
2001).
Aliran Permukaan
Aliran permukaan (surface runoff) adalah air yang mengalir di atas pemukaan
tanah dan menjadi bagian yang penting sebagai penyebab erosi karena mengangkut
bagian-bagian tanah. Aliran permukaan mempunyai sifat yang dinyatakan dalam
jumlah, kecepatan, laju dan gejolak aliran permukaan. Sifat-sifat ini mempengaruhi
kemampuan aliran dalam menimbulkan erosi. Kecepatan dan laju aliran permukaan
dipegaruhi oleh berbagai faktor dan komponen siklus air seperti: (1) curah hujan:
jumlah, intensitas dan distribusi, (2) temperatur udara, (3) tanah: tipe, jenis
substratum, dan topografi, (4) luas DAS, (5) tanaman/tumbuhan penutup tanah,
dan (6) sistem pengelolaan tanah. Pengaruh faktor-faktor tersebut sedemikian
kompleksnya, sehingga meskipun semuanya dapat diketahui, keadaan aliran
permukaan yang terjadi hanya mungkin dapat dihitung sampai mendekati keadaan
sebenarnya (Arsyad 2006).
Asdak (2010) menyatakan bahwa aliran air yang memberi sumbangan paling
cepat terhadap pembentukan debit adalah air hujan yang jatuh langsung di atas
permukaan saluran air atau dikenal sebagai intersepsi saluran (channel interception).
Intersepsi saluran inilah yang pertama kali menyebabkan naiknya hidrograf aliran
dan berhenti setelah hujan berakhir. Air larian atau aliran permukaan (surface
runoff) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir menuju sungai, danau dan
laut. Aliran permukaan terjadi karena jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi
air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungancekungan pada permukaan tanah, dan selanjutnya mengalir di atas permukaan tanah.
Aliran bawah permukaan (subsurface flow) adalah bagian dari curah hujan yang
terinfiltrasi ke dalam tanah, kemudian mengalir dan bergabung dengan aliran debit.
Gabungan dari intersepsi saluran, aliran permukaan dan aliran bawah permukaan
dikenal sebagai debit aliran (stormflow). Stormflow ini menjadi komponen
hidrograf yang paling diperhatikan dalam analisis banjir, terutama dalam kaitannya
dengan karakteristik DAS. Pada kebanyakan studi hidrograf, tidak lazim
memisahkan masing-masing komponen pembentuk stormflow tersebut, melainkan
dengan memisahkan aliran air cepat (quickflow) dan aliran air lambat (baseflow).
Baseflow merupakan debit aliran yang mengalir sepanjang musim kemarau ketika
tidak ada curah hujan.

7
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS) bahwa salah satu indikator untuk menentukan apakah
suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik) adalah melalui nilai Koefisien Aliran
Tahunan (KAT) atau biasa dikenal dengan koefisien aliran permukaan (C).
Koefisien Aliran Tahunan (KAT) adalah perbandingan antara direct runoff (tebal
aliran tahunan yang sudah dikurangi base flow) dengan curah hujan tahunan (mm)
pada suatu DAS untuk mengetahui persentase curah hujan yang menjadi aliran
(runoff).
Nilai koefisien aliran tahunan (KAT) yang besar menunjukkan bahwa lebih
banyak air hujan yang menjadi air larian atau aliran permukaan sehingga air tanah
menjadi berkurang dan ancaman terjadinya erosi dan banjir semakin besar, jika
semakin kecil nilai koefisien aliran tahunan menunjukkan kondisi DAS dalam
keadaan baik.

Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Kondisi Hidrologi
Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978 dengan
laju pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan
swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat). Untuk
mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh
pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk
mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil
tebangan kayu. Kondisi ini menyebabkan hampir seluruh perkebunan kelapa sawit
yang ada merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi
yang dapat dikonversi (Widodo 2011).
Beberapa penelitian pernah dilakukan terkait dengan pengaruh tanaman
kelapa sawit terhadap kondisi hidrologi dengan kesimpulan yang berbeda
diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan Widodo (2011) pada perkebunan sawit
dengan umur rata-rata lebih dari 7 tahun, adalah bahwa run off pada tutupan lahan
perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan run off pada tutupan
lahan hutan. Besarnya run off untuk tutupan lahan hutan adalah sebesar 16 mm,
sedangkan besarnya run off untuk tutupan lahan perkebunan kelapa sawit adalah
sebesar 200 mm. Artinya tutupan lahan hutan mampu menahan air limpasan pada
saat terjadinya hujan dan menyimpan air lebih banyak sehingga mampu
dimanfaatkan untuk sektor kebutuhan air lainnya. Hasil penelitian Sunarti, et al.
(2008), di DAS Batang Pelepat Jambi juga memperlihatkan bahwa koefisien aliran
permukaan pada tutupan hutan sekunder adalah sebesar 0,05%, sementara koefien
aliran permukaan pada lahan hutan bekas tebangan yang telah dikonversi menjadi
tanaman kelapa sawit yang berumur 7 – 8 tahun adalah sebesar 5,80%.
Hasil penelitian dengan kesimpulan berbeda dilakukan oleh Ferijal (2012),
yaitu penelitian tentang pengaruh tanaman sawit terhadap limpasan permukaan
dengan menggunakan model SWAT, yang mensimulasikan perubahan tata guna
lahan dari lahan terbuka menjadi areal perkebunan sawit justru dapat menurunkan
aliran permukaan sebesar 0,2%. Harahap (2007) menyatakan bahwa kelapa sawit
merupakan tanaman yang memenuhi syarat menjadi tanaman konservasi, karena
memiliki kemampuan merehabilitasi tanah dan memperbaiki tata air. Hal ini terlihat
dari susunan lapisan (horizon) tanah pada kedalaman lebih dari 20 cm, dimana pada

8
areal tanah yang ditanam kelapa sawit struktur tanahnya lebih baik akibat aktifitas
perakaran yang membuat pori-pori makro dan mikro cukup untuk meningkatkan
infiltrasi dibandingkan pada areal yang ditanam kebun campuran.
Pengaruh langsung akibat konversi lahan dari hutan menjadi tanaman
monokultur adalah terjadinya penurunan debit serta meningkatnya air larian
permukaan (surface runoff). Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) yang
menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan
ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala
banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim. Ukuran DAS dan kapasitas storage
DAS baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai) maupun
bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), merupakan faktor dominan yang
menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap
perubahan iklim. Pawitan (2002) juga mengemukakan bahwa perubahan
penggunaan lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan
berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan
meningkatkan aliran permukaan (run off). Penurunan muka air tanah secara
langsung mempengaruhi penurunan debit dan peningkatan run off.
Penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1999), mengemukakan bahwa kelapa
sawit memerlukan air berkisar 1 500 - 1 700 mm setara curah hujan per tahun untuk
mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksinya, dibanding tanaman keras
atau perkebunan lainnya kelapa sawit memang termasuk tanaman yang
memerlukan ketersediaan air relatif banyak. Kebutuhan air kelapa sawit hampir
sama dengan kebutuhan air untuk tebu yaitu 1 000 – 1 500 mm per tahun dan pisang
700 – 1 700 mm per tahun, tetapi tidak setinggi kebutuhan air untuk tanaman
pangan berkisar 1 200 – 2 850 mm per tahun atau per 3 musim tanam, seperti padi,
jagung, dan kedelai. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa nilai crop coefisien
untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara 0,82 (untuk LAI < 2 tahun), 0,93 (untuk
LAI> 5 tahun) dan 4,9-5,1 (untuk LAI >7).

Model Hidrologi SWAT
Harto (1993) menyatakan bahwa model hidrologi adalah sebuah sajian
sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks.
Adapun tujuan penggunaan suatu model dalam pengkajian hidrologi adalah untuk
1) Peramalan (forecasting) termasuk sistem peringatan dan manajemen, peramalan
disini menunjukkan besaran maupun waktu kejadian yang dianalisis berdasarkan
probabilistic; 2) Perkiraan (prediction) termasuk besaran kejadian dan waktu
hipotetik; 3) Alat deteksi dalam masalah pengendalian, dengan sistem yang telah
pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur; 4) Alat
pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan, misalnya untuk melihat
pengaruh urbanisasi, pengelolaan tanah dengan membandingkan masukan dan
keluaran dalam sistem tertentu; 5) Ekstrapolasi data/informasi; 6) Perkiraan
lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah/ meningkat; dan 7)
Penelitian dasar dalam proses hidrologi.
Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) adalah model skala daerah
aliran sungai (DAS) yang dikembangkan untuk memprediksi dampak dari
pengelolaan lahan terhadap air, sedimen dan bahan kimia pertanian pada daerah

9
aliran sungai yang kompleks dengan berbagai macam tanah, penggunaan lahan dan
pengelolaannya sepanjang waktu yang lama. Model SWAT berbasis fisik yang
menggabungkan persamaan regresi untuk menggambarkan hubungan antara
variabel input dan output. SWAT membutuhkan informasi secara rinci tentang
iklim, sifat tanah, topografi, vegetasi, dan pengelolaan lahan yang terjadi dalam
DAS (Neitsch et al. 2005).
Model SWAT membagi DAS menjadi beberapa subbasin atau sub DAS,
yang kemudian dibagi lagi ke dalam unit respon hidrologi (Hydrologic Response
Units = HRU) yang memiliki karakteristik tutupan lahan, kelerengan, dan tanah
yang homogen. HRU menunjukkan persentase subbasin yang teridentifikasi dan
tidak teridentifikasi secara spasial dalam simulasi SWAT atau dengan kata lain
DAS dapat dibagi ke dalam subbasin yang memiliki karakteristik tutupan lahan,
jenis tanah dan kelerengan yang dominan (Neitsch et al. 2005).
Neraca air merupakan konsep yang mendasari model SWAT dalam
menjalankan proses yang terjadi dalam DAS. Perhitungan neraca air yang
digunakan dalam simulasi siklus hidrologi model SWAT berdasarkan pada
persamaan:

dimana SWi adalah kadar air tanah akhir (mm), SWo adalah kadar air tanah awal
pada hari ke-i (mm), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah hujan pada hari kei (mm), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari ke-i (mm), Ea adalah
jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm), Wseep adalah jumlah air yang masuk
ke zona vadose dari profil tanah (seepage) pada hari ke-i (mm), Qgw adalah jumlah
aliran air bawah tanah (baseflow/ground water flow) pada hari ke-i (mm).

Gambar 2 Skema representasi siklus hidrologi (Neitsch 2005)

10
Simulasi hidrologi DAS dipisahkan menjadi dua bagian utama. Bagian
pertama adalah siklus hidrologi dari fase lahan (Gambar 2), yang mana fase lahan
pada siklus hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang
bergerak menuju saluran utama pada masing-masing Sub DAS. Bagian kedua
adalah fase air atau penelusuran dari siklus hidrologi yang dapat didefinisikan
sebagai pergerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan sungai dalam DAS
menuju ke outlet sebagaimana disajikan pada Gambar 3 (Neitsch et al. 2005).

Gambar 3 Proses yang terjadi dalam sungai (Neitsch 2005)
Model hidrologi SWAT telah diaplikasikan untuk berbagai penelitian yang
terkait dengan pengelolaan DAS di Indonesia. Edy Junaidi menggunakan model
SWAT dalam kajiannya tentang perencanaan pengelolaan DAS Cisadane.
Penggunaan model SWAT menurut Junaidi (2009) dapat mengevaluasi tindakan
perencanaan yang dilakukan, sehingga bisa menentukan perencanaan pengelolaan
DAS yang menguntungkan secara ekologi dan ekonomi. Model SWAT juga telah
digunakan untuk menganalisis respon hidrologi dari perubahan penggunaan lahan
di Sub DAS Cirasea yang merupakan Hulu DAS Citarum di Propinsi Jawa Barat
oleh Yusuf (2010) dan mendapatkan kesimpulan bahwa perubahan penggunaan
lahan yang terjadi di DAS Cirasea mengakibatkan terjadinya perubahan respon
hidrologi khususnya aliran permukaan dan aliran dasar (base flow). Konversi lahan
dari penggunaan lahan yang dapat meresapkan air dengan baik ke dalam tanah
menjadi penggunaan lahan yang menyebabkan hilangnya kemampuan tanah dalam
meresapkan air mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah curah hujan yang
menjadi aliran permukaan.
Model SWAT mempunyai beberapa keunggulan yaitu dibangun berdasarkan
proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim, sifat tanah,
topografi, tanaman dan pengelolaan lahan yang terdapat dalam DAS, mempunyai
data input yang sudah tersedia, dapat dikerjakan secara efisien menggunakan
komputer sehingga hemat waktu dan biaya dan memungkinkan pengguna untuk
mengevaluasi dampak jangka panjang dalam suatu DAS. Selain itu Model SWAT

11
menggunakan hubungan deskripsi matematika dan empiris dalam menghitung
respon hidrologi. Dalam penggunaannya, model SWAT membutuhkan data input
yang cukup banyak dan kompleks (Neitsch et al. 2005).
Berdasarkan pada keunggulan yang dimiliki model SWAT menggugah
Gassman, et al (2007) untuk mengumpulkan beberapa penelitian yang berbasis
SWAT di seluruh dunia dan mengkritisi beberapa kelemahan SWAT dalam
pemodelan hidrologi diantaranya: (1) sebagaimana model hidrologi lainnya, SWAT
mengasumsikan kondisi tanah adalah statis, yang pada kenyataannya di banyak
lokasi tertentu kondisi tanah adalah dinamis seperti perubahan prosentase
kandungan bahan organik tanah sehingga perlu pembaharuan database tanah untuk
penelitian dengan jangka waktu lebih dari 5 tahun; (2) input database tanaman
dalam rangka rekayasa vegetatif kurang luas, sehingga perlu manipulasi model
yang diperluas untuk beberapa jenis tanaman kaitannya dengan umur tanaman,
sistem tanam, pola percampuran tanaman, dan lain-lain; dan (3) penggunaan SWAT
pada lahan basah seperti daerah rawa gambut juga perlu modifikasi model secara
khusus karena model SWAT tidak dapat mendefinisikan sifat-sifat fisik tanah non
mineral.

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di DAS Batang Tabir mulai bulan Agustus 2014
sampai dengan Juni 2015. DAS Batang Tabir secara adminitratif meliputi
Kabupaten Merangin dan Kerinci Provinsi Jambi dan terletak pada koordinat
101°31’54.5” - 102°17’36.3” BT dan 01°49’5.2” - 02°3’37.8” LS (Gambar 4).

Gambar 4 Lokasi Penelitian

12
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) komputer dengan
software ArcGIS 10.1, ArcSWAT versi 2012.1_8, Microsoft Office 2013, SWAT
Plot untuk perhitungan nilai R2 dan NS; (2) Global Positioning System (GPS); (3)
alat pengambilan contoh tanah: ring soil sampler, palu, bor tanah, meteran, cangkul,
papan, kantong plastik dan pisau tipis, (4) kamera digital, alat tulis dan hard disk
external untuk penyimpanan data.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Data Spasial
a. Peta penggunaan lahan skala 1:250.000 hasil interpretasi citra landsat
rekaman tahun 1995, 2004 dan 2013.
b. Peta klasifikasi tanah skala 1:250 000 dari Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (Puslitanak) Bogor
c. Peta Digital Elevasion Model (DEM) dengan resolusi 30 m
d. Peta izin lokasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Merangin dari Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Merangin
2. Data Numerik
a. Data curah hujan rata-rata harian (mm) tahun 1995, 2004, 2009 – 2013 dari
Balai Wilayah Sungai Wilayah VI Sumatera.
b. Data debit rata-rata harian hasil pengukuran tinggi muka air pada Pos Duga
Air (PDA) Rantau Panjang tahun 1995, 2004, 2009 - 2013 dari Balai Wilayah
Sungai Wilayah VI Sumatera.
c. Data Iklim meliputi temperatur maksimum dan minimum (oC), radiasi
matahari (MJ/m2/hari) dan kecepatan angin (m/det) tahun 2008 – 2013 dari
Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi.
d. Data lokasi stasiun hujan, debit dan iklim berupa koordinat dan elevasi.
e. Data karakteristik tanah yaitu kedalaman efektif (mm) dan infiltrasi tanah
(mm/jam), pada masing-masing horizon meliputi ketebalan horizon (mm),
tekstur tanah, bulk density (g/cm3), kapasitas menahan air (mm H2O/mm
tanah), Saturated hydraulic conductivity (mm/jam), kandungan fraksi batuan
(%), nilai erodibilitas tanah dan kandungan bahan organik tanah (%).
f. Data karakteristik sungai yaitu karakteristik saluran sungai yang ada di
wilayah penelitian.

Prosedur Analisis Data
Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit Aliran di DAS Batang
Tabir
Analisis perubahan penutupan lahan adalah untuk mengetahui kecenderungan
perubahan jenis dan tutupan lahan di DAS Batang Tabir berdasarkan hasil
interpretasi citra Landsat TM (Thematic Mapper) pada tahun 1995, 2004 dan 2013
sehingga diperoleh informasi perubahan penggunaan lahan secara spasial dan
temporal. Proses analisis perubahan penutupan lahan dilakukan menggunakan
software ArcGIS 10.1 yang hasilnya disajikan dalam bentuk peta, tabel dan
deskripsi.

13
Beberapa data pendukung diperlukan dalam melakukan digitasi penutupan
lahan karena rendahnya resolusi citra yang digunakan. Data pendukung dimaksud
adalah peta penggunaan lahan dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun
1990, 2003, 2012, peta administrasi dan data numerik statistik perkebunan kelapa
sawit terkait dengan lokasi dan luas perkebunan kelapa sawit. Data pendukung
tersebut digunakan sebagai koreksi pada unit penutupan lahan tertentu yang tidak
dapat teridentifikasi secara visual, namun pada interpretasi penutupan lahan tahun
2013 dilakukan cek lapangan di beberapa titik untuk meyakinkan