1
Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kawasan permukiman padat adalah ruang di kawasan perkotaan yang paling rentan terhadap ancaman bahaya kebakaran Kidokoro, 2008; Sufianto dan Green, 2011. Kota
Bandung sendiri merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan dan kepadatan yang tinggi, dengan luas wilayah sebesar 168,23 Km2 dan
dengan jumlah penduduk yang mencapai 2.394.873 jiwaKm2 Badan Pusat Statistik [BPS], 2015, menjadikan kota Bandung sebagai kota terpadat yang ada di wilayah provinsi Jawa
Barat dan menjadikannya rentan terhadap terjadinya kebakaran. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung,
pada tahun 2014 telah terjadi 162 kasus kebakaran, kemudian meningkat pada tahun 2015 menjadi 177 kasus kebakaran, dan sepanjang tahun 2016 sampai dengan bulan Maret telah
terjadi sebanyak 22 kasus kejadian kebakaran dimana sebagian besar kasus kejadian kebakaran disebabkan oleh korsleting arus litrik, sementara sisanya disebabkan oleh rokok,
kebocoran gas, dan berbagai faktor lainnya. Instansi yang selama ini mempunyai tugas untuk menangani setiap kejadian
kebakaran yang terjadi di Kota Bandung adalah Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung, melalui petugas pemadam kebakaran yang telah dibekali
keterampilan khusus, setiap petugas diberikan tanggungjawab utama untuk mampu meminimalisir dampak terjadinya kebakaran dan risiko jatuhnya korban jiwa. Menurut
Utgoff Chao 2006 pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran adalah pekerjaan yang berbahaya dan mengandung risiko kecelakaan kerja yang tinggi bahkan dapat menyebabkan
kematian, oleh karena itu selain dibekali dengan keterampilan khusus untuk menangani
Universitas Kristen Maranatha
kejadian kebakaran setiap petugas pemadam kebakaran juga akan dilengkapi dengan peralatan keselamatan pada saat menjalankan tugas pemadaman.
Saat ini terdapat 109 petugas pemadam kebakaran yang bertugas di Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung, namun menurut sekretaris Dinas
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung, Drs.Rochmat Hidayat, M.Si, dalam kesempatan wawacara kepada media di gedung balai Kota Bandung,
menjelaskan bahwa jumlah petugas pemadam kebakaran yang ada dinilai masih kurang, karena dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan keadaan geografis Kota Bandung saat ini,
idealnya Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung memiliki sekitar 300 petugas pemadam kebakaran. Miftah, 2015.
Dengan jumlah yang ada saat ini, Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung telah membagi petugasnya menjadi tiga kelompok besar atau biasa
disebut dengan pleton. Satu pleton terdiri dari sekitar 35 orang, setiap pleton tersebut akan dibagi ke dalam kelompok yang lebih kecil atau biasa disebut dengan istilah regu. Dalam
setiap regu akan terdiri dari sekitar tiga sampai dengan enam orang petugas pemadam kebakaran, jumlah petugas pemadam kebakaran dalam satu regu disesuaikan dengan daya
tampung kendaraan operasional yang akan digunakan. Dalam menjalankan tugas kesehariannya, setiap pleton akan melakukan tugas piket selama 1x24 jam dan akan
digantikan oleh pleton berikutnya secara bergiliran, setiap pleton yang telah menyelesaikan tugas piket akan diberikan waktu libur selama dua hari sampai tiba gilirannya untuk
melaksanakan tugas piket yang berikutnya. Petugas pemadam kebakaran tidak memiliki hari libur lain kecuali karena sedang tidak bertugas piket, ketika sewaktu-waktu terjadi kejadian
kebakaran, Komandan pleton akan menentukan jumlah petugas yang akan diberangkatkan dari markas komando, setiap petugas yang ditunjuk akan bergegas mempersiapkan diri
Universitas Kristen Maranatha
dengan mengenakan perlengkapan keselamatan dan segera menuju lokasi kejadian kebakaran.
Dalam kesempatan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Komandan Pleton Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung, dijelaskan bahwa
kesigapan petugas turut menjadi faktor pendukung keberhasilan proses penanggulangan kebakaran, oleh karena itu petugas pemadam kebakaran memiliki patokan waktu dalam
upaya menangani kejadian kebakaran yang disebut dengan “response time”, “response time”
merupakan rekomendasi waktu yang dibutuhkan petugas pemadam kebakaran mulai dari menerima laporan kebakaran dan mampu untuk tiba di lokasi kejadian kebakaran dalam
waktu tidak lebih dari 15 menit. Dalam pelaksanaannya petugas pemadam kebakaran sering terkendala dalam mencapai
“response time” yang diharapkan, beberapa penyebabnya antara lain karena lokasi kejadian kebakaran yang jaraknya cukup jauh, kepadatan lalu-lintas, akses
jalan yang sulit dilalui, ataupun karena lokasi kejadian kebakaran yang telah dipadati oleh kerumunan massa. Ketidaktepatan waktu dalam mencapai
“response time” dapat menyebabkan lokasi terdampak kebakaran menjadi semakin meluas, akibatnya masyarakat
yang panik menjadi marah dan seringkali meluapkan kekesalannya kepada petugas. Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 10 petugas
pemadam kebakaran Dinas Pencegahan dan Penanggulangan DPPK Kota Bandung, diketahui bahwa kesepuluh petugas pemadam kebakaran tersebut 100 seringkali
berhadapan dengan situasi yang menekan pada saat bertugas, 80 petugas pemadam kebakaran pernah mendapatkan cemoohan berupa kata-kata kasar, sementara 20 lainnya
mendapatkan tindakan kasar berupa dorongan dan pukulan karena dianggap terlambat tiba di lokasi kejadian kebakaran. Perlakuan yang diterima oleh petugas pemadam kebakaran dapat
terjadi karena kegagalan petugas untuk mampu meredam reaksi masyarakat sehingga membuat suasana menjadi ricuh, kondisi yang dihadapi petugas pemadam kebakaran
Universitas Kristen Maranatha
menimbulkan perasaan cemas dan semakin memberikan tekanan ketika proses pemadaman berlangsung, keadaan tersebut jika tidak segera diredakan dapat membuat petugas pemadam
kebakaran menjadi tidak fokus dalam menjalankan tugasnya. Pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran juga rentan terhadap terjadinya risiko
kecelakan kerja, hal ini dapat terjadi karena ketidakhati-hatian petugas pemadam kebakaran ataupun disebabkan oleh lingkungan kerja petugas pemadam kebakaran yang sangat
berbahaya. Sebanyak 4 dari 10 40 petugas pemadam kebakaran yang diwawancarai mempunyai pengalaman tertimpa material akibat bahan bangunan yang roboh hingga
mengakibatkan cidera terkilir serta menyebabkan memar, kemudian sebanyak 20 petugas pemadam kebakaran pernah mengalami luka bakar karena terkena ledakan akibat bahan yang
mudah meledak, sementara 40 petugas lainnya mengalami sesak nafas hingga kehilangan kesadaran akibat terlalu banyak menghirup asap kebakaran. Berbagai peristiwa kecelakaan
kerja yang berdampak pada kondisi fisik petugas pemadam kebakaran menimbulkan perasaan kecewa pada petugas pemadam kebakaran karena akibat dari kecelakaan kerja tersebut
petugas menjadi tidak mampu untuk kembali melanjutkan tugasnya melakukan proses pemadaman, dalam kondisi kecelakaan kerja yang membutuhkan penanganan lebih lanjut
dapat menyebabkan petugas pemadam kebakaran tidak bertugas selama beberapa waktu. Selain pengalaman kecelakaan kerja yang menimpa diri sendiri, sebanyak 7 dari 10 70
petugas pemadam kebakaran menyatakan pernah melihat langsung kecelakaan kerja yang menimpa rekan sejawatnya, namun demikian disaat yang bersamaan petugas pemadam
kebakaran dihadapkan pada kondisi untuk tetap mampu menyelesaikan pekerjaannya agar kejadian kebakaran tidak semakin meluas dan segera teratasi. Pengalaman melihat
kecelakaan kerja yang dialami oleh rekan sejawat dalam bertugas menimbulkan perasaan bersalah pada petugas pemadam kebakaran karena merasa tidak mampu berbuat banyak
untuk menolong rekan kerjanya yang sedang tertimpa musibah, peristiwa kecelakaan kerja
Universitas Kristen Maranatha
tersebut juga menimbulkan perasaan khawatir jika kecelakaan kerja yang serupa menimpa dirinya pada saat bertugas.
Selain itu sebanyak 60 petugas pemadam kebakaran yang diwawancarai menyatakan pernah mengalami kegagalan dalam menentukan strategi penanggulangan
kebakaran, seperti kesalahan dalam menentukan sumber api dan kesalahan dalam memperkirakan arah angin. Kegagalan dalam menentukan strategi penanggulangan
kebakaran dapat menimbulkan risiko semakin meluasnya lokasi terdampak kebakaran, akibatnya proses pemadaman membutuhkan waktu yang lebih lama serta memerlukan
ketersediaan air tambahan untuk memadamkan api. Dalam situasi tersebut petugas pemadam kebakaran akan berupaya mencari sumber
air yang terdekat dengan lokasi kejadian kebakaran, sebanyak 40 petugas pemadam kebakaran menyatakan pernah mengalami kesulitan dalam proses pengisian air ke dalam unit
kendaraan pemadam, hal ini terjadi mengingat banyaknya hydrant yang tidak berfungsi dan terbatasnya jumlah hydrant dengan debit air yang besar diwilayah Kota Bandung. Kesulitan
tersebut menimbulkan perasaan bersalah pada petugas pemadam kebakaran karena merasa tidak mampu untuk kembali ke tempat kejadian kebakaran dalam waktu yang singkat, proses
pemadaman yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama menyebabkan petugas pemadam kebakaran mengalami keletihan dan seringkali menjadikan petugas pemadam
kebakaran tidak optimal dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya meminimalisir dampak kebakaran dan risiko jatuhnya korban jiwa.
Berbagai kejadian kegagalan ataupun kesalahan yang dialami selama melaksanakan proses pemadaman dapat memberikan tekanan pada petugas pemadam kebakaran, mulai dari
kegagalan untuk tiba dilokasi kejadian kebakaran tepat waktu, ketidakmampuan petugas meredam reaksi masyarakat, kesalahan dalam menentukan strategi penanggulangan
kebakaran, kegagalan dalam meminimalisir dampak terjadinya kebakaran sampai dengan
Universitas Kristen Maranatha
kegagalan dalam mengantisipasi risiko kecelakaan kerja yang dapat mengancam keselamatan petugas pemadam kebakaran. Pekerjaan dengan tanggungjawab yang besar dalam upaya
menanggulangi kebakaran, membuat petugas pemadam kebakaran harus tetap mampu untuk fokus dalam menjalankan tugasnya sekalipun dalam kondisi yang menekan. Kemampuan
individu untuk memahami kegagalan ataupun kesalahan yang dirasakan, melihat kegagalan ataupun kesalahan secara jernih, serta menyadari bahwa ada petugas pemadam kebakaran lain
yang juga merasakan hal yang sama, menurut Neff 2011 disebut dengan self-compassion. Self-compassion merupakan sebuah bentuk perasaan yang mengandung kebaikan dan
pengertian pada diri sendiri ketika mengalami kegagalan ataupun membuat kesalahan, dengan tidak menghakimi diri dengan keras dan mengkritik diri secara berlebihan atas
ketidaksempurnaan, kelemahan dan kegagalan yang dialami diri sendiri Neff,2011. Dengan self compassion yang tinggi diharapkan petugas pemadam kebakaran dapat meringankan
penderitaan yang mereka alami dalam situasi tugas yang biasa mereka hadapi dilapangan. Neff 2011 menyatakan bahwa self-compassion dapat terbentuk dari tiga komponen
yaitu, self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-kindness adalah usaha untuk membuat diri nyaman pada saat menghadapi kegagalan atau kesalahan. Common Humanity
adalah kemampuan untuk menyadari suatu kejadian sebagai pengalaman yang juga dialami oleh orang lain, sementara mindfulness mengacu pada kemampuan untuk melihat suatu
keadaan dengan jernih dan mampu menerima tanpa menghakimi apa yang sedang terjadi saat ini.
Berdasarkan fenomena dan uraian yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk meneliti self-compassion pada petugas pemadam kebakaran Dinas Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran DPPK Kota Bandung.
Universitas Kristen Maranatha
1.2 Identifikasi Masalah