Hak Tersangka Perkara Penyalahgunaan Narkotika untuk Mendapatkan Bantuan Hukum dalam Proses Penyidikan dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kerja Praktek Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Disusun Oleh : Andi Hidayat NIM : 31609013

Pembimbing :

Hetty Hassanah, S.H, M.H NIP. 4127.3300.005

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

(3)

(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Andi Hidayat

Tempat Tanggal Lahir : Palembang, 09 Mei 1989

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Tubagus Ismail Dalam Nomor 48 - Bandung

Telepon : +628562266619

Pendidikan Formal :

- SD Negeri 002 Batu Besar Batam - SLTP Negeri 12 Legenda Malaka Batam - SMK Kartini Baloi Center Batam

Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada rekayasa yang melebih-lebihkan.


(5)

iv

Kata Pengantar...i

Daftar Isi...iv

Daftar Lampiran...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Permasalahan Hukum...3

C. Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)...4

D. Waktu dan Tempat Kerja Praktek...6

BAB II : HAK TERSANGKA DAN BANTUAN HUKUM SEBAGAI PERLINDUNGAN HAM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA A. Bantuan Hukum Sebagai Perlindungan Hak Asasi Manusia...7

B. Sistem Peradilan Pidana dan Perlindungan Hukum...12

1. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Teoritis- Praktis...15

2. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Nasional...24

BAB III : KEGIATAN KERJA PRAKTEK A. Kegiatan Kerja Praktek...27

B. Struktur Organisasi...31

BAB IV : HAK TERSANGKA PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOBA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES


(6)

v

PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG- UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT

A. Bantuan Hukum Wajib Diberikan Kepada Tersangka Penyalahgunaan Narkoba Sebagai Perlindungan Hak Asasi Manusia...34 B. Fungsi Advokat Menurut Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003

Tentang Advokat Dihubungkan Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum...36

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan...40 B. Saran...41

Daftar Pustaka ... Daftar Riwayat Hidup... Lampiran...


(7)

i

memberikan segala rahmat dan karunia-nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W, bahwa penulis masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-nya, berkat taufik dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan laporan kerja praktek dengan

judul “HAK TERSANGKA PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG- UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT.”

Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan laporan Kerja Praktek (KP) jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu didalami dan diperbaiki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang insyaallah dengan jalan ini dapat diperbaiki kekurangan dikemudian hari.

Pada proses penyusunan laporan ini banyak bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Febilita Wulan Sari, S.H selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya untuk membimbing dalam penulisan Laporan Kerja Praktek ini, selain itu juga penulis ingin mengucapkan trima kasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;


(8)

ii

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., A.K., M.S selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tajuddin, M.A. selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Prof. Dr I Gde Pantja Astawan S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Ibu Febilita Wulan sari, S.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Ibu Farida Yulianty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Bapak Asep Iwan Iriawan, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;


(9)

iii

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

14. Yth. Bapak Muray, selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

15. Yth. Bapak Deni Yusdanial. SIP. MH. pembimbing kerja praktek di Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat;

16. Karyawan dan staff Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat; 17. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer

Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

Khususnya Kedua Orang Tua atas do’a dan dukungannya baik moril maupun materil sehingga Penulis dapat menyelesaikan pembuatan Laporan Kerja Praktek (KP), semoga mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta kita semua berada dalam lindungan-Nya.

Bandung, Januari 2013


(10)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Sunggono dan Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju. Bandung, 2001;

Nusantara, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, Prisma No 1 Januari 1981;

Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Sosio Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983; Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1996;

Loqman, Kekuasaan Kehakiman, Tinjauan Dari Segi Hukum Acara Pidana, CV. Data Com, Jakarta, 1990;

Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1984; Surowidjojo, Pembaharuan Hukum, ILUNI-FHUI, Jakarta, 2004; Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 1990;

Samosir, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Binacipta, Bandung, 1985; Amir, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976; Prodjikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989; Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, terdakwa dan


(11)

Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

LAIN-LAIN

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat, http://www.bnn.go.id/ di akses pada hari selasa, 7 Agustus pukul 16.00 WIB


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem pendidikan pada saat ini sangat berkembang dan banyak berorientasi pada penyediaan tenaga kerja yang siap pakai, oleh karena itu perguruan tinggi Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) sebagai satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang berbasis pada komputer menyelenggarakan suatu bentuk perkuliahan yaitu Kerja Praktek (KP). Mahasiswa atau mahasiswi mengikuti Kerja Praktek (KP) di berbagai instansi, perusahaan swasta maupun pemerintahan, kantor hukum, dan lain-lain, diharapkan para lulusannya lebih dikenal dan memiliki peluang untuk memasuki dunia kerja dan juga dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa atau mahasiswi untuk dapat mengetahui, mengerti dan melihat situasi dunia kerja yang sesungguhnya dan membandingkan dengan teori yang diterima di bangku kuliah dengan melaksanakan Kerja Praktek (KP) secara langsung.

kerja praktek (KP) merupakan kegiatan mahasiswa atau mahasiswi untuk mencari pengalaman kerja sebelum memasuki dunia kerja yang sesungguhnya, yang tercermin dalam pendidikan nasional yang berdasarkan pancasila yang bertujuan meningkatkan kecerdasan, kreativitas dan mengasah keterampilan agar dapat menumbuhkan manusia yang dapat membangun dirinya sendiri, bertanggung jawab di dalam dunia


(13)

kerja serta dapat memecahkan permasalahan-permasalahan hukum. Adapun tujuan mengikuti kegiatan kerja praktek (KP) di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) diharapkan mahasiswa dapat mencapai tujuan untuk :

1. Mengetahui lebih jauh tentang Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) dan sistem kerja di dalam Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) ;

2. Mempelajari persoalan-persoalan yang terjadi di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP);

3. Mempelajari aplikasi dan relevansi dengan bahan kuliah dalam praktek;

Pelaksanaan kerja praktek (KP) di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) diharapkan para mahasiswa dan mahasiswi memperoleh pengetahuan dan memperdalam wawasan secara luas serta mendapatkan pengalaman kerja praktek (KP) di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) antara lain dengan cara mempelajari Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN).

Untuk itu, penulis membuat laporan kerja praktek (KP) ini dengan

judul “HAK TERSANGKA PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG- UNDANG NO 18


(14)

3

B. Permasalahan Hukum

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Apakah bantuan hukum wajib diberikan kepada tersangka penyalahgunaan narkotika dalam proses penyidikan sebagai perlindungan ham?

2. Bagaimana fungsi advokat menurut undang-undang no 18 tahun 2003 dihubungkan dengan kewajiban memberikan bantuan hukum kepada tersangka penyalahgunaan narkotika?


(15)

C. Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

Tanggal 12 Oktober 2009, Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan dan memberlakukan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 menggantikan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini yaitu tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika di Jawa Barat semakin mengalami peningkatan yang sangat mengkhawatirkan baik itu ditinjau dari kualitas ataupun kuantitasnya, hal ini merupakan ancaman paling serius terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, ironisnya Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika telah memasuki kehidupan masyarakat secara luas hingga ke pelosok pedesaan bahkan dilingkungan pendidikan sekalipun, sehingga begitu gencarnya diberantas oleh aparat hukum, hal ini memang sangat diperlukan guna menyelamatkan generasi bangsa dari keterpurukan yang berkepanjangan.

Kebijakan Pemerintah khususnya Badan narkotika Nasional dalam meningkatkan peran dan pencapaian penyidikan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia dengan membentuk Vertikalisasi ke Provinsi dan Kabupaten/Kota dan BNNP Jawa Barat terbentuk sejak bulan Mei 2011 dengan Peraturan kepala Badan narkotika Nasional Nomor PER/04/V/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.


(16)

5

Tugas pokok Badan Narkotika Nasional Provinsi sebagai satuan kerja (satker) vertikal Badan Narkotika Nasional melakukan kegiatan pencegahan, pemberdayaan masyarakat, dan pemberantasan dengan didukung oleh kegiatan ketatausahaan. Pada bulan januari 2012 BNNP Jawa Barat telah melakukan kegiatan konsolidasi dengan beberapa pihak dalam pelaksanaan substansi dan pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia serta mengikuti kegiatan-kegiatan pembekalan dari Badan Narkotika Nasional Pusat1

Visi dan Misi dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Barat adalah Bersama mewujudkan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba Tahun 2015” dan Melakukan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta peredaran gelap narkoba secara komprehensif dan sinergis.

1

Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat, http://www.bnn.go.id/ di akses pada hari selasa, 7 Agustus pukul 16.00 WIB


(17)

D. Waktu dan Tempat Kerja Praktek

Penulis melakukan Kerja Praktek selama 120 jam, terhitung dari pukul 08.00 – 16.00 WIB, sejak tanggal 23 juli 2012 sampai dengan 10 Agustus 2012, bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) yang berlokasi di Jl. Terusan Jakarta No. 50 Antapani Bandung.


(18)

7

BAB II

HAK TERSANGKA DAN BANTUAN HUKUM SEBAGAI

PERLINDUNGAN HAM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Bantuan Hukum Sebagai Perlindungan Hak Asasi Manusia

Bantuan hukum sebenarnya sudah dikenal sejak jaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia dan khususnya untuk menolong orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorium.2

Pertumbuhan di Indonesia berkaitan dengan bantuan hukum baru nampak pada dasawarsa 70-an bersamaan dengan terpancangnya landasan yuridis mengenai Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo Pasal 37-40 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan penegasan bahwa bantuan hukum adalah hak seseorang yang tersangkut dalam satu perkara terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan berhak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum.

Dalam Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat Nasional Tahun 1978 menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik

2Ad a Buyu g Nasutio . Ke uliaa Advokat di Te gah KKN ,

Jurnal Teropong. Edisi November 2001 Fakultas Hukum UI, Jakarta, hlm. 6-7. Lihat juga Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju. Bandung, 2001, hlm. 11.


(19)

perorangan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu secara kolektif.3 Bahwa bantuan hukum adalah merupakan pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasihat hukum sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan.4

Tahun 1981 lahir Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Di dalam Bab VII nya mengatur tentang hak untuk mendapatkan bantuan hukum kepada tersangka dan terdakwa sebagaimana dimuat dalam Pasal 54 dan Pasal 114 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP:

“Guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak untuk mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”

Pasal 114 KUHAP :

“Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulai pemeriksaan oleh penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasehat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56”.

Hak untuk mendapatkan bantuan hukum merupakan hak yang penting dan dilindungi sejak dari tahap pemeriksaan penyidikan dimulai dan dalam setiap waktu yang diperlukan karena bantuan hukum ini sebenarnya merupakan salah satu perwujudan daripada jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, khususnya pencari keadilan untuk mendapat perlakuan secara layak dari para penegak hukum sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yaitu

3

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, Prisma No 1 Januari 1981 hlm 40.

4

. Soejono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Sosio Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. hlm. 22.


(20)

9

dalam bentuk pembelaan terhadap perkara tersangka dan terdakwa oleh penasehat hukumnya.

Pasal 55 KUHAP juga dapat menafsirkan diskriminasi terhadap tersangka dan memungkinkan bagi orang mampu untuk lebih mudah mendapatkan bantuan hukum, sebagaimana dinyatakan:

“……Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.” Ketentuan di atas kelihatannya sangat memperhatikan kepentingan tersangka, akan tetapi sebenarnya hal ini dapat menimbulkan permasalahan tersendiri bagi para tersangka. Jika si tersangka mempunyai kemampuan ekonomi yang baik (the haves), maka dia mampu membayar berapa saja untuk mendapatkan penasihat hukum yang terbaik, tapi bagaimana dengan mereka yang miskin (the have not)? Hal ini dapat diartikan bahwa pasal ini memberi keuntungan bagi orang kaya.

Kebebasan dan hak untuk memilih penasihat hukum yang dikehendaki oleh tersangka atau terdakwa yang ditentukan oleh Pasal 55 KUHAP, lebih mirip memberi keuntungan kepada orang kaya, tetapi kepada orang yang tak punya, ketentuan itu hanya slogan yang terlampau jauh untuk dijangkaunya.

KUHAP juga memberikan batasan yang tegas dengan memakai istilah wajib yang merupakan perintah langsung dari undang-undang untuk mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa yang diatur dalam Pasal 56 yang berbunyi:

(1)”Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat


(21)

pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka:

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya secara cuma-cuma”. Hakikat suatu hak, sebagaimana adagium ubi jus ibi remedium yang maknanya dimana ada hak, di sana ada kemungkinan menuntut, memperoleh atau memperbaiki apabila dilanggar. Menurut Mardjono Reksodiputro kelanjutan adagium ini adalah:

“…Bahwa hanya ada kemungkinan (melalui proses hukum) untuk menuntutnya dapatlah dikatakan adanya suatu hak itu. Suatu hak yang tidak mempunyai kemungkinan untuk dipertahankan, dalam arti memintanya dilindungi (diperbaiki) apabila dilanggar, bukanlah suatu hak yang efektif”.5

Asas hukum acara yang mendasar adalah bahwa setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa, seluruh warga adalah bersamaan kedudukannya dalam hukum. Ketentuan ini disebutkan :

“Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Prinsip dasar keterikatan bantuan hukum dengan aspek HAM adalah bahwa, sekalipun seorang itu bersalah melakukan perbuatan tindak pidana, terhadapnya tetap tidak diperlakukan sewenang-wenang, tanpa alasan yang sah dan berdasarkan hukum yang berlaku. Perampasan kemerdekaan seseorang

5

Mardjono Reksodiputro terpetik dalam Eddy Rifai, KUHAP dan Hak Asasi Manusia, Harian Republika, Jakarta, 17 Maret 1998, hlm.58


(22)

11

berupa tindakan penangkapan, penahanan dan pidana, perampasan tersebut hanya dibenarkan apabila berdasarkan peraturan yang berlaku.6

Kenyataan dalam praktik sering terlihat suatu perlakuan yang tidak adil, hak-hak tersangka dan terdakwa tersebut banyak dilanggar, dalam proses pemeriksaan maupun mengabaikan prosedur ketentuan yang dilakukan oleh para penegak hukum di dalam tiap tahap proses, karenanya rentan terjadi tersangka dan terdakwa diperlakukan semena-mena, dilecehkan hak-haknya (hak asasi manusianya), dilakukan upaya paksa dengan bentuk-bentuk penyiksaan (torture) kekerasan (violence), maupun tekanan psikis serta perbuatan yang merendahkan martabat manusianya.

Pada tahap pra adjudikasi sering digunakan kekuasaan yang melampaui kewajaran (unnecessary force) yang dilakukan oleh polisi, sebagai contoh tembak di tempat (deadly force) terhadap pelaku kejahatan yang hendak ditangkap dengan alasan tersangka hendak melarikan diri. Bahkan dalam proses pemeriksaan dianggap sebagai metode yang telah “membudaya” dilakukan rekayasa pengakuan (fabricated confension) yang berkembang menjadi rekayasa kesaksian (fabricated witness).

Rekayasa pengakuan ini umumnya dilakukan melalui tindakan “menyimpang” berupa pemeriksaan dengan kekerasan terhadap tersangka meskipun telah adanya perubahan sistem pembuktian tentang keabsahan alat bukti menurut KUHAP, yaitu tidak dikehendaki suatu pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. Upaya melakukan rekayasa terhadap kesaksian dapat berupa tekanan yang menimbulkan akibat psikis kepada tersangka di

6

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 81.


(23)

dalam mengumpulkan keterangan yang harus menurut arahan dari pihak penyidik.

Konvensi anti penyiksaan Pasal 15 (CAT) yang menyatakan:

“segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan dan penyiksaan tidak boleh diajukan sebagai bukti dalam proses apapun” Indonesia telah meratifikasi konvensi ini yang seharusnya mengikat dan tunduk pada aturan konvensi ini. Sehingga suatu berita acara penyidikan yang akan berakibat dimungkinkan pembatalan.7

Sejak adanya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ada kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan “Advokat wajib” memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”

Pemberian bantuan hukum cuma-cuma menjadi bagian idealisme advokat, seharusnya setiap advokat harus mau menjalankan profesi mulia (Officium Nobile) dengan memberikan bantuan hukum cuma-cuma yang merupakan amanat dari Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

B. Sistem Peradilan Pidana dan Perlindungan Hukum

Bantuan Hukum dalam pengertian yang luas diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum,8 sedangkan dalam KUHAP tidak merumuskan tentang arti bantuan hukum.

7 Loebby Loqman,

Kekuasaan Kehakiman, Tinjauan Dari Segi Hukum Acara Pidana, CV. Data

Co , Jakarta, 99 , hl .4. Lihat juga Luhut MP Pa garibua , Polisi da A ti Kekerasa , Suara Pembaharuan,11 Juni 1995, hlm. 4.

8


(24)

13

Bantuan Hukum dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat diartikan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu” Sedangkan arti jasa hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) adalah jasa hukum yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili/ mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Bantuan Hukum pada hakekatnya akan menyentuh pada persoalan kewajiban pemerintah dan tanggung jawab negara. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, “Pemerintahan wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia” sehingga menimbulkan kewajiban bagi negara menyediakan fasilitas bagi warga negaranya untuk menghormati, melindungi dan menegakkan hak asasi dimaksud.

Bantuan hukum merupakan penjabaran dari hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum dan subjek hukum, yang diklasifikasikan sebagai Hak Non-derogable Right.

Indonesia sebagai suatu negara hukum, telah membuat pengaturan yang jelas dalam UUD 1945, dimana Hak Asasi Manusia mutlak diperlukan. Sebagai negara hukum diartikan bahwa Indonesia menyandarkan segala persoalannya melalui jalur hukum.

Konsep negara hukum ternyata sangatlah erat kaitannya dengan masalah HAM, sehingga dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah sebagai wadah dan HAM sebagai isi. Sangat penting dan relevan apabila penerapan dan implementasi HAM dijunjung tinggi di dalam pelaksanaan peradilan pidana, dan


(25)

kemudian merupakan masalah yang harus dikaji berdasarkan konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai upaya perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia dalam proses penanganan perkara pidana adalah diberikannya dan dipenuhinya hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum.

Bantuan hukum diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi atas tersangka atau terdakwa yang tergolong miskin. Tersangka atau terdakwa dilindungi haknya sebagai orang yang menghadapi tuntutan hukum dan terdesak untuk diadili. Untuk itu diberlakukan asas praduga tak bersalah. (Presumption of Innocence).9

Dalam konteks perlindungan harkat dan martabat manusia khususnya tentang pemenuhan dan perlindungan HAM, penegakkan hukum tidak dapat dilepaskan dari proses peradilan pidana itu sendiri sebagai “desain prosedur” dalam sistem peradilan pidana. Tujuan hukum acara pidana melaksanakan proses hukum yang adil (due process of law). Due process of law menurut Mardjono diartikan sebagai “proses hukum yang adil” yang arti, makna dan hakekatnya adalah :

“…Adanya hak atas kemerdekaan dari seseorang warga negara untuk membela diri dan menuntut hak-haknya dengan pengakuan atas kebersamaan kedudukan dalam hukum dan penghormatan kepada asas praduga tak bersalah”.

Unsur-unsur minimal dari proses hukum yang adil adalah : mendengar keterangan tersangka dan terdakwa, penasehat hukum dalam pembelaan, pembuktian dan pengadilan yang adil dan tidak memihak.

9


(26)

15

Fungsi dari suatu undang-undang hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga negara masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana.10 Oleh karena itu ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana harus dapat melindungi para tersangka dan terdakwa terhadap tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan yang melanggar hukum tersebut

1. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Teoritis- Praktis.

Setiap negara mempunyai sistem hukum yang mencerminkan sejarah dan pengalaman masyarakat negara tersebut dalam perkembangan struktur ekonomi, politik, budaya dan tradisinya. Sistem hukum, apalagi Sistem Peradilan Pidana, mencerminkan politik ketatanegaraan (apakah berbentuk kesatuan, federal atau konfederasi) dan bentuk politik pemerintahannya (apakah menjalankan bentuk pemerintahan demokrasi, sosialis atau komunis).

Sistem hukum yang baik, berusaha untuk membatasi tindakan yang merugikan masyarakat demi rasa aman masyarakat itu sendiri. Manakala masyarakat merasa tidak aman, terjadilah tindakan-tindakan, masyarakat main hakim sendiri atau “take the law into their own hands’.31)Tindakan main hakim sendiri adalah perwujudan gagalnya pemerintahan dalam memberikan

10Mardjo o Reksodiputro “iste Peradila Pida a I do esia (Melihat Kepada Kejahata

dan penegakkan hukum dalam batas-batas tolera si Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993 hlm 1 terpetik dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Op.Cit hlm 14 Lihat Juga Mien Rukmini, Op.Cit hlm 6.


(27)

perlindungan dan jaminan rasa aman kepada masyarakat, baik terhadap keamanan jiwa maupun harta bendanya. Kondisi ini diakibatkan oleh:11

1. Pengabaian Hukum (disregarding the laws);

2. Ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law); 3. Ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law); serta 4. Penyalahgunaan hukum (misuse of the law).

Untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, tugas menciptakan keamanan masyarakat itu diserahkan kepada negara melalui Sistem Peradilan Pidana. Perkembangan Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari bentuk-bentuk hukuman, tambahan jenis hak untuk pelaku dan korban, dan reformasi penegakkan hukum sejak zaman kuno. Perkembangan ini dapat dilihat dari berubahnya kebiasaan, ide politik dan kondisi ekonomi. Sebelum abad pertengahan, pembayaran ganti rugi kepada korban (atau keluarganya), adalah bentuk hukuman lain yang dikenal pada saat itu. Bagi mereka yang tidak mampu, barulah mereka dikenakan hukuman badan yang berat. Beberapa teori peradilan pidana dan hubungannya dengan hak perorangan dan kontrol sosial12, adalah :

1. Restorative justice, adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum tindak pidana terjadi.

2. Bazemore dan Walgrave mendefinisikan restorative justice sebagai setiap tindakan untuk menegakkan keadilan dengan memperbaiki

11

Arief T. Surowidjojo, Pembaharuan Hukum, ILUNI-FHUI, Jakarta, 2004 hlm. 124.

12

Pavlich, George, Diterjemahkan oleh Paulus Hadisuprapto, Governing paradoxes of Restorative Justice, Glasshouse Press, 2005, London, hlm.2.


(28)

17

kerusakan yang ditimbulkan akibat suatu tindak pidana. (“Restorative justice is every action that is primarily oriented toward doing justice by repairing the harm that has been caused by a crime”). Teori ini berasal dari tradisi common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah untuk dihukum. Hukuman menurut teori ini termasuk pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.

3. Restorative justice adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama seperti ia memperlakukan korban. Teori ini berpijak pada perbedaan yang penting dalam retributivisme positif. Retributivisme negatif didefinisikan oleh dua aturan: pertama, hanya yang salah dapat dihukum (only the quilty can be punished); kedua, yang salah hanya dapat dihukum sebatas ganjaran atas kesalahannya (the quilty can only be punished to the extent of their desert). Prinsip yang mendasari kedua prinsip ini, menurut De Keijser, adalah apa yang disebut “retribution in distribution”. Berdasarkan prinsip retributivisme negatif, penghukuman merupakan suatu tanggapan yang perlu atas kejahatan dan hukumannya. Menurut Howard Zehr, dalam keadilan retributif kejahatan adalah pelanggaran terhadap negara dan hukum, dan keadilan ditetapkan dengan cara mempermasalahkan dan memberikan rasa sakit, dimana keadilan merupakan perseteruan antara pelaku kejahatan dengan negara (crime is a violation of the state, crime is defined as lawbreaking, justice determined blame and administers pain, justice is a contest between the offender and the state).


(29)

4. Psychiatric imprisonment adalah teori yang menyatakan bahwa kejahatan adalah penyakit sehingga harus disembuhkan dengan obat-obatan atau teknik yang lain yang berhubungan dengan kedokteran Psychiatric imprisonment dan involuntary commitment sendiri mengacu kepada pemenjaraan seseorang dirumah sakit jiwa secara sah dan berdasarkan hukum karena dianggap orang tersebut tidak waras atau sakit. Definisi seseorang dikatakan tidak waras atau sakit dan dapat dimasukan ke Psychiatric Imprisonment berbeda di tiap negara, ada negara-negara yang melakukan perluasan terhadap definisi tersebut. Sebagai contoh: homoseksualitas dan perzinahan di Uni Soviet dan perlawanan politik di Cina dianggap sebagai kelainan jiwa yang membahayakan dan dapat dikenakan Psychiatric imprisonment. Cara memasukan orang pada lembaga ini juga berbeda-beda, ada negara-negara yang membutuhkan penetapan pengadilan, seperti Amerika Serikat, dan ada yang tidak memerlukan penetapan pengadilan, seperti Australia. Thomas Szasz menyatakan bahwa praktik semacam ini merupakan alternatif dari hukuman penjara dan juga sebagai cara untuk mendefinisikan penyakit-penyakit jiwa. Teori Psychiatric imprisonment menyatakan bahwa penyembuhan terhadap kejahatan jiwa dilakukan melalui terapi elektrik menggunakan aliran listrik, obatan penghilang rasa sakit dan obat-obatan keras lainnya.

Banyak perdebatan terjadi di antara para ahli, ada yang menyatakan bahwa metode ini memang dapat menyembuhkan dan ada yang berpendapat bahwa metode ini berbahaya dan dapat disalahgunakan oleh negara-negara untuk menghukum orang-orang yang merupakan lawan politik dari pemerintah


(30)

19

yang berkuasa. Thomas Scasz, Lawrence Stevens, dan Fred Foldvary adalah orang-orang yang menentang adanya Psychiatric imprisonment. Walaupun demikian, pada dasarnya hampir semua negara memiliki aturan mengenai hal ini. PBB mengenai Resolusi Majelis Umum No 46/119 Tahun 1991 berusaha untuk membuat satu standar di antara negara-negara mengenai Psychiatric imprisonment. Resolusi tersebut berjudul Principles for the Protection of Persons with Mental Illnes and the Improvement of Mental Healt Care.

Resolusi ini bersifat tidak mengikat, tetapi banyak negara yang mengadopsi isi resolusi ini dalam hukum nasionalnya. Pendukung teori Psychiatric imprisonment menyatakan bahwa cara ini efektif digunakan bagi terpidana yang diduga memiliki kelainan jiwa karena dapat menyembuhkan mereka dari penyakit yang dideritanya. Cara mendeteksi terpidana seperti ini dinilai dari motifnya, biasanya mereka sulit dimengerti karena mereka melakukan kejahatan tanpa motif ekonomi atau keuntungan apapun.

Transformative justice tidak membandingkan hidup korban atau terpidana sebelum dan sesudah tindak pidana. Teori ini mengutamakan rasa percaya masyarakat terhadap anggotanya, termasuk rasa percaya bahwa si pelaku tidak akan melakukan kejahatan lagi, dan percaya bahwa si korban tidak akan membalas dendam. Teori ini mengungkapkan strategi filosofis yang digunakan untuk masalah menanggulangi masalah, terutama di bidang hukum lingkungan, hukum perusahaan, hubungan industrial, kepailitan dan hukum keluarga.

Teori ini menggunakan pendekatan sistem untuk mencari sebab timbulnya masalah dan mencoba untuk memperlakukan kejahatan tersebut sebagai sarana perubahan dan kesempatan belajar bagi korban, pelaku dan pihak lain yang


(31)

terkena akibat dari perbuatan si pelaku. Bahkan, dalam teorinya model ini dapat dicoba terhadap orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal. Teori ini tidak mendukung adanya hukuman bagi pelaku, tetapi lebih mengarahkan ke perdamaian di antara para pihak. Walaupun demikian, biasanya korban tidak menjadi bagian dari proses ini, tetapi bisa memilih untuk ikut berpartisipasi. Para peserta dari usaha transformative justice ini bersama-sama berusaha untuk menyetujui apa yang dapat mengurangi kesusakan yang telah dialami, diantaranya dengan cara memisahkan si pelaku dari korban.

Menurut teori ini, permasalahannya ada pada masyarakat, apakah mereka bersedia untuk mendukung korban dan pelaku dalam suatu bentuk hubungan. Mereka menentang penjara sebagai bentuk hukuman karena penjara dianggap merusak jiwa dan memberi pengaruh buruk bagi individu yang berada di dalamnya maupun kepada masyarakat luas. Teori ini berasal dari hasil pemikiran Samuel Tuke dan B.F Skinner yang dikembangkan oleh Ruth Morris dan Giselle Dias dari Canadian Society of Friends13.

Istilah Sistem Peradilan Pidana menurut Andi Hamzah, bukan hanya meliputi hukum, tetapi termasuk juga berbagai unsur non-hukum. Sistem Peradilan Pidana dimulai dari pembentukan undang-undang Hukum Pidana di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sampai kepada pembinaan narapidana hingga keluar dari LP.14Sistem Peradilan Pidana mempunyai tujuan jangka pendek untuk resosialisai, tujuan jangka menengah untuk pemberantasan kejahatan dan tujuan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana menjadi harapan bagi upaya mengendalikan kejahatan.

13

Teori Permasalahan Pada Masyarakat, http:// www.revitalisasiparadigma.blogspot.com, di akses pada hari selasa, 4 Desember pukul 16.00 wib

14


(32)

21

Meskipun demikian, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, bukanlah satu-satunya senjata ampuh untuk menghadapi tindak pidana, karena masih sangat dipengaruhi oleh: (a) profesionalisme penegak hukum; dan (b) persepsi yang sama di antara para penegak hukum tentang bagaimana model Sistem Peradilan Pidana yang dilaksanakan bersama.

Sistem Peradilan Pidana tidak dapat lepas dari sistem hukum dalam suatu negara secara keseluruhan, Khususnya sistem hukum pidana. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sistem Hukum Pidana menganut asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Romli Atmasasmita mengatakan bahwa unsur mutlak dalam hukum adalah asas dan kaidah. Kekuatan jiwa hukum terletak pada dua unsur tersebut, bahwa unsur atas hukum merupakan jantung pertahanan hidup hukum dalam masyarakat. Semakin dipertahankan asas hukum, semakin kuat dan bermakna kehidupan dan pelaksanaaan hukum dalam masyarakat.

Dalam proses peradilan pidana, ekspresi equality tersebut digambarkan oleh M. Trapman sebagai berikut:

“Dalam peradilan pidana terdakwa mempunyai pertimbangan yang

subyektif dalam posisi yang subyektif; penasihat hukum mempunyai pertimbangan yang objektif dalam posisi yang subyektif; penuntut umum mempunyai pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang objektif, sedangkan hakim mempunyai pertimbangan yang objektif

pula.”

Hukum Pidana yang dikodifikasi dalam KUHP digolongkan sebagai Hukum Pidana materiel, sedangkan Hukum Acara Pidana (Strafprocesrecht) digolongkan sebagai Hukum Pidana formal. Sampai sekarang tidak ada kesamaan pendapat tentang arti dari Hukum Acara Pidana, tetapi dari penempatannya dalam


(33)

sistematika ilmu hukum, setidak-tidaknya fungsi dari hukum Acara Pidana tersebut dapat diketahui.15

S.M. Amir mendefinisikan hukum acara sebagai kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiel. Dalam kata lain, hukum acara mengabdi kepada hukum material.16

Sementara, Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan Hukum Pidana. Hukum Acara Pidana merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan Hukum Pidana.17

Hukum Acara Pidana merupakan ketentuan mengenai proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjadi proses peradilan pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga dalam Hukum Acara Pidana. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka melindungi HAM.

Melalui sejumlah prosedur hukum itulah, hakim dapat tiba pada kesimpulan apakah seseorang secara faktual dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak

15

Djisman Samosir, C. Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Binacipta, Bandung, 1985, hlm. 6.

16

Amir, S.M. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hlm.6.

17


(34)

23

pidana yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang Hukum Pidana materiel. Sementara hak untuk menuntut tanggung jawab pemerintah terhadap pelanggaran atas hak asasi seorang tersangka, terdakwa maupun terpidana, dijamin melalui lembaga seperti Habeas Corpus di Australia dan Inggris, lembaga Praperadilan di Indonesia atau lembaga Rechter-commissaris di Belanda. Selain itu, Sistem Peradilan Pidana juga merupakan sistem pengendalian kejahatan yang dilakukan oleh berbagai lembaga penegakkan hukum seperti kepolisisan, kejaksaan, pengadilan dan LP, yang bertujuan antara lain untuk mencegah masyarakat untuk menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan dan mengusahakan mantan narapidana tidak menjadi residivis.

Dari pengertian Sistem Peradilan Pidana tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem Peradilan Pidana erat kaitannya dengan hak tersangka dan terdakwa yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum dalam melakukan tindakan upaya paksa, mulai dari tahap pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan), penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim, upaya hukum, sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pengambilan keputusan dalam Sistem Peradilan Pidana melibatkan lebih dari sekadar pemahaman aturan dan aplikasi-aplikasinya.18 Keputusan diambil berdasarkan diskresi, yaitu penggunaan pertimbangan pribadi untuk memilih tindakan yang dapat diambil. Diskresi, atau mengambil keputusan, investigasi, penggeledahan, pemeriksaan atau upaya paksa. Demikian juga jaksa dapat

18


(35)

menggunakan pertimbangan pribadi dalam memilih untuk menuntut seseorang atau untuk melakukan penawaran (plea bargain). Hakim juga menggunakan diskresi ketika mereka menetapkan jaminan (bail), menerima atau menolak ple bargain, dan dalam pengambilan keputusan.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum Indonesia yang merupakan cermin sistem hukum Belanda. Karena berasal dari induk yang sama, Sistem Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Belanda memiliki banyak persamaan.

Sistem Hukum Pidana Belanda berawal ketika Kekaisaran Perancis menjajah Belanda dan Hukum Pidana untuk Kerajaan Belanda diganti dengan (Code Penal), dan ketentuan peradilan pidana ditetapkan dalam Code

d’Instruction Criminelle (1838). Pada tahun 1881 Belanda menetapkan Wetboek van Strafrecht (WvS) yang sampai sekarang telah mengalami perubahan untuk menyesuaikan kondisi dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Sekalipun WvS sudah berlaku sejak tahun 1886, penyesuaian terhadap Hukum Acara Pidana baru dilakukan pada Tahun 1926 saat ditetapkannya Wetboek van Strafvordering (SV). Pembaharuan Hukum Acara Pidana tersebut terjadi karena desakan-desakan untuk membatasi karakter inquisitor yang terlalu kuat dalam hukum acara produk Perancis tersebut.

2. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Nasional

Bagir Manan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan HAM adalah: 19

19

Bagir Manan, Demokrasi Pancasila. Makalah, disampaikan pada Lokakarya Pengajar Pancasila di Bandung, Juli 1998, hlm. 35.


(36)

25

1. Hak-hak asasi baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat sosial. Hak-hak yang bersifat klasik terdapat dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Sementara hak yang bersifat sosial dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 24 UUD 1945. Hak yang berkenaan dengan semua orang yang berkedudukan sebagai penduduk tidak dirumuskan dengan hak melainkan kemerdekaan. Contohnya rumusan Pasal 28 dan 29 ayat (2) UUD 1945.

2. Hak yang berkenaan dengan warga negara Indonesia, Hal ini dapat kita baca pada Pasal 27 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1). Hak asasi yang berlaku khusus pada warga negara ini dapat dikategorikan ke dalam hak asasi yang timbul karena hukum (legal rights).20

Kemerdekaan Indonesia terjadi pada masa-masa pemikiran dan pergolakan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia sedang terjadi. Para pendiri negara Indonesia memahami makna HAM maupun penegakkan dan perlindungannya melalui sistem hukum nasional. Namun, sejak awal pembentukan konstitusi Indonesia, perdebatan mengenai apakah HAM dan sistem perlindungannya sudah sesuai dengan budaya bangsa, telah terjadi.

Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, timbul kehendak berbagai elemen masyarakat untuk mengubah UUD 1945, yang membawa perubahan mendasar terhadap keberadaan dan diakuinya HAM serta upaya penegakkannya dalam

20 O.C. Kaligis,

Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, terdakwa dan terpidana. Alumni. Bandung. 2006.hlm 96.


(37)

kehidupan sehari-hari. Dalam amandemen Kedua yakni Bab XA. Pasal 28 UUD 1945 kemudian mengalami perubahan menjadi Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28H, 28I.

Perlu diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.


(38)

27

BAB III

KEGIATAN KERJA PRAKTEK

A. Kegiatan Kerja Praktek

Kegiatan kerja praktek merupakan perkuliahan yang telah dilakukan selama kurang lebih satu bulan terhitung dari pukul 08.00 – 16.00 WIB sejak tanggal 23 Juli 2012 sampai dengan tanggal 10 Agustus 2012 Kegiatan kerja bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) yang berlokasi di Jl. Terusan Jakarta No. 50 Antapani Bandung. Penulis telah melakukan berbagai hal dengan mempelajari sistem kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bandung, kegiatan yang telah dilakukan antara lain :

1. Mencari data dari setiap bidang di Badan Narkotika Nasional Provinsi untuk memenuhi kebutuhan pembuatan laporan kerja praktek. Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam wilayah Provinsi, tugas dari berbagai bidang yang terdapat dalam Badan Narkotika Nasional Provinsi adalah sebagai berikut :

a) Bagian Tata Usaha terdiri atas :

1) Subbagian Perencanaan : mempunyai tugas melakukan penyiapan penyusunan rencana program dan anggaran, bahan bantuan hukum dan kerjasama serta evaluasi dan penyusunan laporan.


(39)

2) Subbagian Logistik : mempunyai tugas melakukan urusan tata persuratan, pengelolaan logistik dan urusan rumah tangga BNNP.

3) Subbagian Administrasi : mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian, keuangan, kearsipan, dokumentasi dan hubungan masyarakat.

b) Bidang Pencegahan mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah Provinsi. Bidang Pencegahan terdiri atas :

1) Seksi Desiminasi Informasi : mempunyai tugas melakukan penyiapan desiminasi informasi P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis desiminasi informasi kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota. 2) Seksi Advokasi : mempunyai tugas melakukan

penyiapan advokasi P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah Provinsi, dan penyiapan bimbingan teknis advokasi kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

c) Bidang Pemberdayaan Masyarakat : mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis. P4GN di bidang pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi dalam wilayah Provinsi. Bidang Pemberdayaan Masyarakat terdiri atas :

1) Seksi Peran Serta Masyarakat : mempunyai tugas melakukan penyiapan peran serta masyarakat P4GN di


(40)

29

bidang pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi dalam wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis peran serta masyarakat kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

2) Seksi Pemberdayaan Alternatif : mempunyai tugas melakukan penyiapan pemberdayaan alternatif P4GN di bidang pemberdayaan masyarakat dalam wilayah Provinsi, dan penyiapan bimbingan teknis advokasi kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota. d) Bidang Pemberantasan : mempunyai tugas melaksanakan

P4GN di bidang pemberantasan dalam wilayah Provinsi. Bidang Pemberantasan terdiri atas :

1) Seksi Intelijen : mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan kegiatan intelijen berbasis teknologi dalam wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan teknis kegiatan intelijen berbasis teknologi kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota. 2) Seksi Penyelidikan, Penindakan, dan Pengejaran

mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan penyidikan, penindakan dan pengejaran dalam rangka pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol dalam wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan


(41)

teknis kegiatan interdiksi kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

3) Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset : mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan pengawasan tahanan, barang bukti dan aset dalam wilayah Provinsi.

2. Membaca dan mempelajari buku tentang bahaya dalam penyalahgunaan narkotika yang ada di kantor Badan Narkotika Nasional Provinsi.

3. Mencari bahan untuk menambah data – data laporan kerja praktek berupa :

a) Laporan kegiatan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat bulan April 2012.

b) Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat.

c) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

d) Mempelajari Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

4. Melakukan wawancara dengan staff dan ahli yang berada di bagian pemberantasan narkotika, diantaranya :

a) Kepala Bidang Pencegahan : Drs. Wuryanto Sugiri

b) Kepala Bidang Pemberantasan : Deni Yus Danial. SIP.MH. c) Subbagian Perencanaan : Cecep Suherman, S.sos


(42)

31

e) Seksi Penyidikan, Penindakan, dan Pengejaran : Chusnul Waton, S.sos, S.H

5. Membuat rancangan laporan kerja praktek dengan Pembimbing Bapak Deni Yus Danial. SIP. MH.

B. Struktur Organisasi

Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Kepala : Anang Pratanto, Drs

Bagian Tata Usaha :

1. Subbagian Perencanaan : Cecep Suherman, S.sos 2. Subbagian Logistik : Eka Suryana, S.sos

3. Subbagian Administrasi : Yohanes Eko Arianto, A.pt,M.Si

Bidang Pencegahan :

1. Seksi Desiminasi Informasi : Tri Wahyu Astuti, S.E

Bidang Pemberdayaan Masyarakat : Anas Saefudin, Drs

Bidang Pemberantasan :

1. Seksi Intelijen :

2. Seksi Penyidikan, Penindakan, dan Pengejaran : Chusnul Waton, S.sos, S.H

3. Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset : Deni Yusdanial, S.Ip,M.H


(43)

32

MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003

TENTANG ADVOKAT

A. Bantuan Hukum Wajib Diberikan Kepada TersangkaPenyalahgunaan Narkoba Sebagai Perlindungan Hak Asasi Manusia

Pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi tersangka dapat dibagi dalam 3(tiga) bagian, yaitu :

1. Pelanggaran administratif dan prosedural penyelidikan dan penyidikan;

2. Pelangaran terhadap diri pribadi (jiwa/raga dan harta)tersangka; 3. Pelanggaran HAM yang tidak diatur dalam KUHAP.

Bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi tersangka dapat ditinjau dalam berbagai bentuk sebagaimana disebut di atas, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam suatu perkara Narkoba terjadi beberapa bentuk pelanggaran, baik pelanggaran asdministratif, pelanggaran prosedural, maupun pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka penyalahgunaan Narkoba.

Pelanggaran Administratif dan Prosedural dala Penyelidikan dan penyidikan perkara penyalahgunaan Narkoba dapat terjadi dalam bentuk yang sepertinya sudah lazim terjadi sampai kepada sesuatu yang terlupakan di mana hak-hak sesorang tersangka atau saksi diabaikan secara sengaja,


(44)

33

antara lain : penyedik tidak memberitahukan hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum.

Substansi bantuan hukum di Indonesia menjadi pertanyaan paling mendasar, yaitu apakah bantuan hukum itu bersifat wajib diberikan kepada tersangka penyalahgunaan Narkoba dalam proses penyidikan atau baru diwajibkan setelah beberapa syarat tertentu dipenuhi. Bantuan hukum adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan Pidana karena merupakan bagian dari perlindungan HAM, khususnya terhadap Hak Atas Kebebasan dan Hak Atas Jiwa-Raga. Bantuan hukum merupakan pelaksanaan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang lazim disebut sebagai asas legalitas. Asas legalitas

sendiri adalah asas umum Hukum Pidana yang berlaku universal. Meskipun tidak secara nyata menyebut tentang bantuan hukum, tetapi Pasal 1 KUHP ini mempunyai substansi dan tujuan yang sama, yaitu sebagai perlindungan hukum atas hak kebebasan dan jiwa raga seorang tersangka. Sehingga bantuan hukum dipandang sebagai wujud nyata atas asas legalitas.

Semua negara tanpa memandang orientasi politik dan ketatanegaraannya, selalu mengakui asas legalitas dan bantuan hukum dalam sistem Peradilan Pidana masing-masing. Bedanya terletak pada sejauh mana bantuan hukum dijalankan sebagai kewajiban oleh seluruh Lembaga Sistem Peradilan Pidana.

Berdasarkan Pasal 54 KUHAP bahwa prinsip Hak atas bantuan hukum diakui, akan tetapi kenyataannya tidak termasuk ke dalam Hak yang bersifat “wajib”. Terdapat kondisi atau syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum Hak atas bantuan hukum tersebut menjadi “wajib”. Syarat khusus tersebut adalah :


(45)

a) Kemapuan (finansial)

b) Ancaman hukuman bagi tindak pidana yang disangkakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 Ayat (1) dan (2).

Ketentuan wajib tersebut apabila diabaikan akan menimbulkan akibat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima atau mengakibatkan Penyidikan menjadi tidak sah.

Ketentuan Pasal 56 KUHAP bersifat imperatif yaitu hukum yang memaksa (dwingend recht), bahkan dengan tegas mengharuskan adanya Penasehat Hukum untuk mendampingi Tersangka dalam perkara Narkoba pada semua tingkat pemeriksaan. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai implementasi dijunjung tinggi hak asasi tersangka penyalahgunaan Narkoba, sebagaimana tujuan diundang-undangkannya KUHAP. Sehingga tidak diharapkan adanya kesewenang-wenangan dalam pemeriksaan tersangka.

Kondisi dan syarat-syarat tersebut menimbulkan ketidakpastian, khususnya mengenai dasar bagi penyidik untuk menilai apakah seorang tersangka mampu secara finansial atau tidak untuk membayar jasa penasihat hukum. Secara yuridis normatif bagi terdakwa yang tidak mampu membayar penasihat hukum setelah pembacaan surat dakwaan, pemeriksaan saksi hanya pembacaan Berita Acara Perkara (BAP) saksi, kemudian dibacakan tuntutan pidana, kemudian putusan perkara dan Jaksa Penuntut Umum menekan terdakwa untuk menerima putusan. Di dalam praktek, tersangka berhadapan dengan penyidik yang memiliki hak diskresi cenderung tidak terkendali, seperti penggunaan kekerasan yang eksesif (police brutality), penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi.


(46)

35

Diskresi yang tidak terkendali selalu menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), hak atas bantuan hukum seharusnya wajib diberikan dalam setiap penyidikan terhadap tersangka penyalahgunaan narkoba, karena penyalahgunaan narkoba merupakan perbuatan seseorang yang menggunakan narkoba tanpa pengawasan dokter. Pengguna adalah pecandu yang secara medis adalah orang-orang yang mempunyai nilai kepribadian yang menyimpang, dan berhak untuk diperlakukan sebagai orang yang membutuhkan pertolongan dan perawatan dalam pengawasan dokter.

Pelaksanaan penegakkan hukum, hak-hak asasi yang melekat pada diri tersangka tidak boleh dikurangi. Berdasarkan KUHAP, hak-hak asasi utama tersangka yang harus dijunjung antara lain:

1) Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum : Tersangka dan aparat Penegak hukum adalah sama-sama warga negara yang mempunyai hak, kedudukan dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, siapapunharus diperlakukan sama tanpa deskriminasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum.

2) Praduga tak bersalah : Setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan dalam sidang Pengadilan yang bebas dan jujur di depan umum.

3) Penangkapan atau penahana harus didasarkan bukti permulaan yang cukup : Wewenang aparat penegak hukum dalam melakukan penangkapan dan penahanan harus dibatasi dan didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Penangkapan atau penahanan tidak


(47)

dapat didasarkan pada selera dan sikap masa bodoh aparat penegak hukum.

4) Hak mempesiapkan pembelaan secara dini : KUHAP memberi kebebasan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasihat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan.

Bantuan hukum dalam proses peradilan pidana tidak dapat dilepaskan, dihindarkan, dan ditiadakan sama sekali. Sebagai salah satu sub sistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) bantuan hukum dapat memberikan kontribusi dalam mencapai proses hukum yang adil.

B. Fungsi Advokat menurut UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat Dihubungkan dengan kewajiban Memberikan Bantuan Hukum.

Advokat merupakan bagian integrasi (integrated Justice System). Sebagai salah satu pilar (sub system), maka kehadirannya sangat penting dalam mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih, menjamin kepastian hukum dan kepastian keadilan, serta jaminan HAM untuk menciptakan independensi kekuasaan kehakiman.

fungsi dan kewajiban seorang advokat, dapat dilihat dalam Mukaddimah Aggaran Dasar Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang menyatakan:

“Adapun tugas dan jabatan seorang advokat adalah dengan bebas dan berani tetapi penuh tanggung jawab memberikan bantuan hukum dan nasehat hukum, baik diluar maupun di muka pengadilan, kepada setiap orang yang memerlukannya karena terancam jiwanya, kebebasannya, hak miliknya dan nama baiknya, dengan mencurahkan segenap keahliannya yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan, sehingga dengan demikian ia turut membantu menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran”.


(48)

37

Advokat secara perseorangan maupun organisatoris, harus mampu menjadi faktor pendorong (impetus majority) dalam perwujudan sistem peradilan yang terintegrasi. Oleh karena itu secara posisional, kedudukan advokat harusnya sejajar dengan kedudukan hakim, jaksa, polisi, dan lembaga pemasyarakatan dengan segala hak kewajibannya dalam mengawal perwujudan independensi kekuasaan kehakiman.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan advokat mempunyai kedudukan sebagai penegak hukum yang dijamin kebebasan dan kemandiriannya oleh hukum. Peraturan Pemerintah akan menjadi panduan operasional bagi setiap advokat dalam memberikan bantuan hukum pro bono. Salah satu Pasal yang diatur dalam rancangan peraturan pemerintah tersebut adalah pembentukan lembaga bantuan hukum cuma-cuma (LBHCC) dimana lembaga ini berada dalam ruang lingkup dan bertanggung jawab kepada organisasi advokat. Adanya amanat dan tanggung jawab yang dibebankan kepada organisasi advokat merupakan salah satu point krusial yang melekat pada undang-undang advokat. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, organisasi bertanggung jawab penuh akan seluruh advokat yang dinaunginya. Mulai dari urusan magang, ujian advokat, pendidikan khusus dan berkelanjutan sampai pada pengawasan, perlindungan serta penindakan terhadap advokat termasuk kewajiban memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Pasal 22 ayat 1 Undang-undang No. 18 Tahun tidak efektif ketika menghadapi para advokat yang mengabaikan kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu


(49)

karena tidak adanya prosedur yang jelas dalam pelaksanaannya di samping itu juga tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada advokat yang tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum, merupakan penyebab terlambatnya pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu.

Undang-undang advokat perlu diperbarui mengenai pengawasannya, otoritas pihak yang mengawasi dan lembaga kehormatan kode etik menjatuhkan sanksi, optimalisasi fungsi organisatoris, pengaturan yang tegas dan jelas mengenai hak dan kewajiban advokat di hadapan hukum, moral dan etika, adanya pasal-pasal yang diskriminatif dan kontraproduktif, sangat tidak adil khususnya pasal yang tidak memperkenankan dosen yang di Biro Bantuan Hukum (BBH) perguruan tinggi berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), LBH dan para pembela umum tidak diperkenankan untuk beracara di pengadilan.

Lembaga bantuan hukum dan biro-biro bantuan hukum universitas dapat diberdayakan dalam pembelaan kepada orang-orang miskin dan menciptakan kaderisasi advokat muda yang dibimbing dosen yang berpengalaman semenjak dibangku kuliah karenanya Undang-undang advokat patut disempurnakan.

Advokat harus mampu bertindak sebagai agent of law development dan agen of law enculturation. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan serta menjunjung tinggi supremasi hukum untuk menjamin terselenggaranya negara hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Advokat merupakan wujud moral force, kekuatan moral yang dilakukan oleh sekelompok orang, sejalan dengan perkembangan


(50)

39

kehidupan dan kesadaran masyarakat di berbagai bidang, khususnya di bidang hukum. Jasa hukum melalui advokat dewasa ini berkembang menjadi kekuatan Institusional.

Pasal 115 ayat (1), menyatakan kedudukan penasehat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan, hanya sebagai “penonton”. Terbatas hanya “melihat serta mendengar” atau within sight and within hearing. Selama kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak diperkenankan memberi nasehat. Seolah-olah kehadirannya berupa persiapan menyusun pembelaan atau pemberian nasihat pada taraf pemeriksaan selanjutnya.

Kehadiran penasihat hukum, membuat suasana pemeriksaan menjadi lebih manusiawi, kecuali memang pemeriksa sendiri sudah lupa daratan dimabuk kecongkakan kekuasaan, dan sudah berteman dengan emosi dan telah kehilangan akal sehat. Demikian juga dari segi psikologis, kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan, mendorong tersangka lebih berani mengemukakan kebenaran yang dimiliki dan diketahuinya, kecuali jika tersangka benar-benar perihidupnya terlampau dalam ditelan budaya paternalisme.


(51)

40

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang dipaparkan, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, yang antara lain sebagai berikut:

1. Bantuan Hukum wajib diberikan dalam rangka perlindungan HAM kepada tersangka dalam perkara penyalahgunaan Narkoba karena merupakan perintah langsung dari undang-undang yang bersifat secara imperatif. Dan pemerintah wajib menjamin tersedianya bantuan hukum dalam bentuk penyediaan sistem yang memastikan bantuan hukum dapat bekerja efektif memberikan fasilitas maupun dukungan dana. Kemudian proses peradilan pidana dan bantuan hukum tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang hak asasi. Peradilan pidana dan bantuan hukum adalah salah satu aspek dari perjuangan hak asasi manusia. Oleh karena itu KUHAP telah menempatkan tersangka dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakkan hukum, hak-hak asasi yang melekat pada diri tersangka tidak boleh dikurangi.

2. Fungsi advokat baik secara perorangan maupun organisasi menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 dihubungkan dengan kewajiban memberikan bantuan hukum terhadap tersangka dalam perkara penyalahgunaan Narkoba adalah belum efektif karena dalam ketentuan tersebut tidak ada sanksi yang tegas yang dapat dikenakan kepada Advokat jika seorang advokat atau organisasi advokat menolak untuk memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan bagi tersangka


(52)

41

perkara penyalahgunaan Narkoba. Mengenai tanggung jawab Advokat terhadap kewajiban dalam jasa pelayanan hukum yaitu mengenai ketentuan tanggung jawab Advokat tentang pelayanan jasa hukum yang diatur dalam Undang-Undang Advokat dan kode Etik Profesi Advokat belum dapat mengantisipasi keutuhan praktik, karena tanggung jawab yang di atur oleh Undang-Undang Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat hanya sebatas tanggung jawab dalam bentuk menjalankan kewajiban-kewajiban selaku Advokat dan meninggalkan larangan-larangan melakukan perbuatan tertentu bukan dalam bentuk tanggung jawab dalam memberikan pelayanan jasa hukum. Untuk itu prinsip tanggung jawab mutlak dapat diterapkan terhadap profesi Advokat.

B. Saran

Dari pembahasan-pembahasan serta kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran-saran yang dapat penulis uraikan adalah sebagai berikut :

1. Mengingat pentingnya bantuan hukum bagi tersangka dalam perkara penyalahgunaan Narkoba maka perlu kiranya dibuat segera Undang-undang tentang bantuan hukum atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang tata cara pemberian bantuan hukum oleh advokat, agar ada jaminan kepada tersangka dan terdakwa dalam mendapatkan bantuan hukum dan prosedur yang jelas tentang tata cara pemberian bantuan hukum oleh advokat secara individu maupun organisatoris serta kepada pemerintah dituntut tanggungjawab yang besar dalam pelaksanaaan bantuan hukum yang antara lain dalam bentuk penyediaan sistem yang memastikan bantuan hukum dapat bekerja efektik, fasilitas


(53)

maupun dukungan dana. Dimana harus mengalokasikan melalui anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk bantuan hukum. 2. Perlu kiranya diajukan rekomendasi agar merevisi Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya Pasal 56 dan 115 ayat (1) serta Pasal 114 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum dan peran advokat dimana ditegaskan bahwa bantuan adalah hak dan dapat dipergunakan dirubah atau ditambah beberapa Pasal menjadi bantuan hukum wajib diberikan kepada tersangka. Dan juga merevisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta diperlukan pengawasan hakim yang dilakukan oleh komisi yudisial.


(1)

37

Advokat secara perseorangan maupun organisatoris, harus mampu menjadi faktor pendorong (impetus majority) dalam perwujudan sistem peradilan yang terintegrasi. Oleh karena itu secara posisional, kedudukan advokat harusnya sejajar dengan kedudukan hakim, jaksa, polisi, dan lembaga pemasyarakatan dengan segala hak kewajibannya dalam mengawal perwujudan independensi kekuasaan kehakiman.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan advokat mempunyai kedudukan sebagai penegak hukum yang dijamin kebebasan dan kemandiriannya oleh hukum. Peraturan Pemerintah akan menjadi panduan operasional bagi setiap advokat dalam memberikan bantuan hukum pro bono. Salah satu Pasal yang diatur dalam rancangan peraturan pemerintah tersebut adalah pembentukan lembaga bantuan hukum cuma-cuma (LBHCC) dimana lembaga ini berada dalam ruang lingkup dan bertanggung jawab kepada organisasi advokat. Adanya amanat dan tanggung jawab yang dibebankan kepada organisasi advokat merupakan salah satu point krusial yang melekat pada undang-undang advokat. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, organisasi bertanggung jawab penuh akan seluruh advokat yang dinaunginya. Mulai dari urusan magang, ujian advokat, pendidikan khusus dan berkelanjutan sampai pada pengawasan, perlindungan serta penindakan terhadap advokat termasuk kewajiban memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Pasal 22 ayat 1 Undang-undang No. 18 Tahun tidak efektif ketika menghadapi para advokat yang mengabaikan kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu


(2)

karena tidak adanya prosedur yang jelas dalam pelaksanaannya di samping itu juga tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada advokat yang tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum, merupakan penyebab terlambatnya pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu.

Undang-undang advokat perlu diperbarui mengenai pengawasannya, otoritas pihak yang mengawasi dan lembaga kehormatan kode etik menjatuhkan sanksi, optimalisasi fungsi organisatoris, pengaturan yang tegas dan jelas mengenai hak dan kewajiban advokat di hadapan hukum, moral dan etika, adanya pasal-pasal yang diskriminatif dan kontraproduktif, sangat tidak adil khususnya pasal yang tidak memperkenankan dosen yang di Biro Bantuan Hukum (BBH) perguruan tinggi berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), LBH dan para pembela umum tidak diperkenankan untuk beracara di pengadilan.

Lembaga bantuan hukum dan biro-biro bantuan hukum universitas dapat diberdayakan dalam pembelaan kepada orang-orang miskin dan menciptakan kaderisasi advokat muda yang dibimbing dosen yang berpengalaman semenjak dibangku kuliah karenanya Undang-undang advokat patut disempurnakan.

Advokat harus mampu bertindak sebagai agent of law development dan agen of law enculturation. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan serta menjunjung tinggi supremasi hukum untuk menjamin terselenggaranya negara hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Advokat merupakan wujud moral force, kekuatan moral yang dilakukan oleh sekelompok orang, sejalan dengan perkembangan


(3)

39

kehidupan dan kesadaran masyarakat di berbagai bidang, khususnya di bidang hukum. Jasa hukum melalui advokat dewasa ini berkembang menjadi kekuatan Institusional.

Pasal 115 ayat (1), menyatakan kedudukan penasehat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan, hanya sebagai “penonton”. Terbatas hanya “melihat serta mendengar” atau within sight and within hearing. Selama kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak diperkenankan memberi nasehat. Seolah-olah kehadirannya berupa persiapan menyusun pembelaan atau pemberian nasihat pada taraf pemeriksaan selanjutnya.

Kehadiran penasihat hukum, membuat suasana pemeriksaan menjadi lebih manusiawi, kecuali memang pemeriksa sendiri sudah lupa daratan dimabuk kecongkakan kekuasaan, dan sudah berteman dengan emosi dan telah kehilangan akal sehat. Demikian juga dari segi psikologis, kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan, mendorong tersangka lebih berani mengemukakan kebenaran yang dimiliki dan diketahuinya, kecuali jika tersangka benar-benar perihidupnya terlampau dalam ditelan budaya paternalisme.


(4)

40

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang dipaparkan, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, yang antara lain sebagai berikut:

1. Bantuan Hukum wajib diberikan dalam rangka perlindungan HAM kepada tersangka dalam perkara penyalahgunaan Narkoba karena merupakan perintah langsung dari undang-undang yang bersifat secara imperatif. Dan pemerintah wajib menjamin tersedianya bantuan hukum dalam bentuk penyediaan sistem yang memastikan bantuan hukum dapat bekerja efektif memberikan fasilitas maupun dukungan dana. Kemudian proses peradilan pidana dan bantuan hukum tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang hak asasi. Peradilan pidana dan bantuan hukum adalah salah satu aspek dari perjuangan hak asasi manusia. Oleh karena itu KUHAP telah menempatkan tersangka dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakkan hukum, hak-hak asasi yang melekat pada diri tersangka tidak boleh dikurangi.

2. Fungsi advokat baik secara perorangan maupun organisasi menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 dihubungkan dengan kewajiban memberikan bantuan hukum terhadap tersangka dalam perkara penyalahgunaan Narkoba adalah belum efektif karena dalam ketentuan tersebut tidak ada sanksi yang tegas yang dapat dikenakan kepada Advokat jika seorang advokat atau organisasi advokat menolak untuk memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan bagi tersangka


(5)

41

perkara penyalahgunaan Narkoba. Mengenai tanggung jawab Advokat terhadap kewajiban dalam jasa pelayanan hukum yaitu mengenai ketentuan tanggung jawab Advokat tentang pelayanan jasa hukum yang diatur dalam Undang-Undang Advokat dan kode Etik Profesi Advokat belum dapat mengantisipasi keutuhan praktik, karena tanggung jawab yang di atur oleh Undang-Undang Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat hanya sebatas tanggung jawab dalam bentuk menjalankan kewajiban-kewajiban selaku Advokat dan meninggalkan larangan-larangan melakukan perbuatan tertentu bukan dalam bentuk tanggung jawab dalam memberikan pelayanan jasa hukum. Untuk itu prinsip tanggung jawab mutlak dapat diterapkan terhadap profesi Advokat.

B. Saran

Dari pembahasan-pembahasan serta kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran-saran yang dapat penulis uraikan adalah sebagai berikut :

1. Mengingat pentingnya bantuan hukum bagi tersangka dalam perkara penyalahgunaan Narkoba maka perlu kiranya dibuat segera Undang-undang tentang bantuan hukum atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang tata cara pemberian bantuan hukum oleh advokat, agar ada jaminan kepada tersangka dan terdakwa dalam mendapatkan bantuan hukum dan prosedur yang jelas tentang tata cara pemberian bantuan hukum oleh advokat secara individu maupun organisatoris serta kepada pemerintah dituntut tanggungjawab yang besar dalam pelaksanaaan bantuan hukum yang antara lain dalam bentuk penyediaan sistem yang memastikan bantuan hukum dapat bekerja efektik, fasilitas


(6)

maupun dukungan dana. Dimana harus mengalokasikan melalui anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk bantuan hukum. 2. Perlu kiranya diajukan rekomendasi agar merevisi Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya Pasal 56 dan 115 ayat (1) serta Pasal 114 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum dan peran advokat dimana ditegaskan bahwa bantuan adalah hak dan dapat dipergunakan dirubah atau ditambah beberapa Pasal menjadi bantuan hukum wajib diberikan kepada tersangka. Dan juga merevisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta diperlukan pengawasan hakim yang dilakukan oleh komisi yudisial.


Dokumen yang terkait

Bantuan Hukum untuk Tersangka Penyalahgunaan Narkotika dalam Proses Penyidikan dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

0 9 71

Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 13 114

Tinjauan Hukum Tentang Praperadilan Atas Status Tersangka Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

0 4 73

IS IMPLEMENTASI HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP.

0 4 11

II IMPLEMENTASI HAK-HAK TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP.

0 2 5

KEDUDUKAN ADVOKAT DALAM PASAL 5 UNDANG- UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT PERSPEKTIF HUKUM

0 0 13

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika - PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM PERKARA NARKOTIKA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 15

KEDUDUKAN DAN PERANAN PARALEGAL DALAM AKTIVITAS BANTUAN HUKUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT jo UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM - repo unpas

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN - KEDUDUKAN DAN PERANAN PARALEGAL DALAM AKTIVITAS BANTUAN HUKUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT jo UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN

0 0 20

BAB II - KEDUDUKAN DAN PERANAN PARALEGAL DALAM AKTIVITAS BANTUAN HUKUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT jo UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM - rep

0 0 55