1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubetas Efendi, 2006. Yang paling
menonjol dalam tumbuh kembang remaja adanya perubahan fisik, alat reproduksi, kognitif dan psikososial Depkes, 2010.
Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas bertanggungjawab atas munculnya dorongan seksual. Pemuasan dorongan seksual masih dipersulit dengan
banyaknya tabu sosial, sekaligus juga kekurangan pengetahuan yang benar tentang seksualitas Efendi, 2006. Rendahnya pemahaman remaja tentang pengetahuan
kesehatan reproduksi yang benar, serta seksualitas yang masih dianggap tabu memunculkan penyimpangan reproduksi, seperti seks pranikah, aborsi, dan
HIVAIDS. Namun, disisi lain, arus informasi tentang reproduksi semakin deras dan orang tua tidak mampu berperan secara maksimal dalam pendidikan kesehatan
reproduksi karena pemahaman orang tua perihal kesehatan reproduksi masih rendah serta konstruksi sosial yang menempatkan seksualitas sebagai masalah tabu untuk
diperbincangkan dipublik Imron, 2012. Berdasarkan survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia SKKRI, 2002-
2003, diperoleh data bahwa remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada usia 14-19 tahun perempuan 34,7; laki-laki 30,9,
sedangkan usia 20-24 tahun perempuan 48,6; laki-laki 46,5. Dari penelitian Wimpie Pangkahila 1996, terhadap 633 pelajar SLTA di bali, diperoleh data bahwa
27 remaja laki-laki dan 18 remaja perempuan mempunyai pengalaman
berhubungan seks pranikah. Sedangkan, situmorang 2001 melakukan penelitian dan diperoleh 27 remaja laki-laki dan 9 remaja perempuan di Medan mengatakan
sudah pernah melakukan hubungan seks. Hasil penelitian DKT Indonesia 2005 menunjukkan perilaku seksual remaja di empat kota, yaitu Jabotabek, Bandung,
Surabaya, dan Medan, para remaja yang menjadi responden penelitian secara terbuka menyatakan pernah melakukan hubungan seks pranikah sebanyak 51 di
Jabodetabek; 54 di Bandung; Surabaya sebanyak 47; dan di Medan dihasil data 52 Imron, 2012.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka sangat diperlukan adanya pendidikan seks yang benar bagi remaja. Pendidikan yang tentu saja bertujuan untuk
membimbing dan menjelaskan tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang harus dilalui dalam kehidupan manusia disertai dengan penanaman
nilai-nilai seksualitas itu sendiri. Promosi kesehatan tidak lepas dari media karena melalui media, pesan-pesan
yang disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami, sehingga sasaran dapat mempelajari pesan tersebut Notoatmodjo, 2010. Dengan metode yang benar dan
penggunaan media yang tepat sasaran, maka materi atau bahan isi yang perlu dikomunikasikan dalam promosi kesehatan akan mudah diterima, dicerna dan diserap
oleh sasaran Depkes, 2004. Media akan membantu dalam melakukan pendidikan kesehatan masyarakat karena pesan-pesan kesehatan dapat disampaikan secara lebih
jelas, sehingga sasaran akan menerima pesan tersebut dengan jelas dan tepat. Disamping itu, melalui media mampu memahami fakta kesehatan yang dianggap
rumit. Apabila tenaga kesehatan yang bertugas di lini terdepan promosi kesehatan
tidak melihat peluang dan tantangan, dengan kata lain hanya melakukan pendidikan
kesehatan secara konversional maka masyarakat akan menilai sedemikian tertinggalnya metode penyampian informasi tersebut dan akan berimbas juga
terhadap materi yang akan tersampaikan. Hal ini akan menimbulkan kesan bahwa informasi kesehatan yang disampaikan sudah tertinggal dan out of date. Oleh karena
itu, petugas kesehatan diharapkan senantiasa mengupdate materi, metode dan media promosi kesehatan yang akan disampaikan kepada masyarakat. Untuk melaksanakan
hal ini, tenaga kesehatan harus menyampaikan informasi yang tepat dan dalam bentuk yang dapat dimengerti. Seringkali fakta dan gagasan yang sama perlu disampaikan
dengan penyajian yang berbeda-beda dengan berbagai macam media. Namun pertanyaan yang sering muncul yaitu media apakah yang paling efektif digunakan
dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan tersebut? Suiroka Supariasa, 2012. Media atau alat peraga disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang
ada pada setiap manusia diterima atau ditangkap melalui panca indra. Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan jelas pula
pengertianpengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain media atau alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indra sebanyak mungkin kepada suatu objek,
sehingga mempermudah pemahaman. Setiap indra ternyata berbeda pengaruhnya terhadap hasil belajar seseorang, 1 melalui rasa, 2 melalui sentuhan, 3 melalui
indra pencium, 11 melalui pendengaran, 83 melalui penglihatan. Oleh karena itu seseorang dapat mempelajari sesuatu dengan baik apabila ia menggunakan lebih dari
satu panca indra. Dan kita bisa mengingat 10 dari yang kita baca, 20 dari yang kita dengar, 30 dari yang kita lihat, 50 dari yang kita lihat dan kita dengar, 80
dari yang kita ucapkan, 90 dari yang kita ucapkan dan lakukan DEPKES, 2004. Berdasarkan hasil pengamatan di SMA Muhammadiyah 1 Malang, dimana
terdiri dari 93 orang remaja usia 15-16 tahun. Dari hasil studi pendahuluan pada
remaja di SMA Muhammadiyah 1 Malang tidak pernah di berikan promosi kesehatan mengenai pendidikan seks. Sebanyak 65 siswa berpacaran dan 35 siswa tidak
berpacaran. Setelah melakukan wawancara dengan beberapa siswa tentang perilaku seksual, rata-rata siswa menjawab hanya berkencan dan berpegangan tangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan efektivitas penggunaan mtode penyuluhan dengan media
leaflet dan roleplay terhadap persepsi hubungan seksual pranikah remaja usia 15-16
tahun di SMA Muhammadiyah 1 Malang”.
1.2 Rumusan Masalah