Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Pada Saat Bencana Alam Ditinjau Dari Sudut Kriminologi

(1)

TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN

PADA SAAT BENCANA ALAM DITINJAU

DARI SUDUT KRIMINOLOGI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DAVID PANGARIBUAN

NIM : 070200414

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN

PADA SAAT BENCANA ALAM DITINJAU

DARI SUDUT KRIMINOLOGI

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Oleh :

DAVID PANGARIBUAN

NIM : 070200414

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DR. M. Hamdan, SH, MH NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I

Muhammad Nuh, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

OUTLINE

TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN

PADA SAAT BENCANA ALAM DITINJAU

DARI SUDUT KRIMINOLOGI

NAMA : DAVID PANGARIBUAN

NIM : 070200414

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

Pembimbing I :

Pembimbing II` :

Disetujui oleh :

Sekretaris Departemen Hukum Pidana


(4)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ...

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

1. Pengertian Kriminologi ... 6

2. Pengertian Pencurian ... 12

3. Pengertian Bencana Alam ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA PENCURIAN PADA SAAT TERJADI BENCANA ALAM A. Faktor Intelegensi ... 18

B. Faktor Usia ... 20

C. Faktor Jenis Kelamin ... 24

D. Faktor Kebutuhan Ekonomi yang Mendesak ... 25

E. Faktor Pendidikan... 26

F. Faktor Pergaulan ... 27


(5)

BAB III : LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN GUNA MELINDUNGI HARTA BENDA KORBAN BENCANA ALAM

A. Cara Preventif... 30 B. Cara Kuratif... 31 C. Pembinaan Bagi Masyarakat ... 31

BAB IV : TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN TERHADAP PARA PELAKU

A. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis... 41

B. Unsur-unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang 44

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 47 B. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini di Negara kita pada tahun-tahun terakhir ini begitu banyak sekali musibah dan cobaan yang datang silih berganti yang mana merupakan suatu bencana yang tidak kunjung usai, mulai dari krisis ekonomi yang surut, masalah politik dan keamanan yang berkepanjangan serta menyusul lagi bencana alam yang datang tiada henti.

Di samping itu juga terjadi lagi bencana alam di negara kita, yang tidak kunjung selesai, seperti baru-baru ini yang masih hangat-hangatnya terjadi, bencana alam meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta disertai dengan gempa bumi dan Tsunami di pantai Selatan Pulau Jawa menelan ribuan korban jiwa, dan juga terjadi banjir bandang di Sulawesi.

Tidak beberapa lama kemudian terjadi lagi bencana alam dan Tsunami di daerah Pengandaran tepatnya di Jawa Barat, juga menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang begitu banyak. Maka sampai kapan lagi bencana ini usai dan berakhir.

Dilihat dari kehidupan masyarakat begitu pesat dan cepat sebagai hasil dan proses pelaksanaan pembangunan dari segala kehidupan sosial, politik, ekonomi, keamanan dan kebudayaan yang telah membawa dampak yang negatif berupa peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai macam kejahatan yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat.


(7)

Kasus yang paling menarik adalah mengenai pencurian yang terjadi pada saat bencana alam, dimana banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan pencurian tersebut. Dimana hal tersebut bukan hanya lahir dari dalam diri manusia itu sendiri atau dari disi si pelaku saja, melainkan lahir dari pihak lain yang ada pada sekelilingnya.

Pada pasca terjadinya bencana alam di suatu daerah hal tersebut juga bisa menjadi pemicu meningkatnya kejahatan seperti permasalahan pencurian barang-barang milik orang lain yang mana hal tersebut dikarenakan habisnya bahan makanan yang disediakan selama ini dan juga bantuan-bantuan dari pemerintah seperti makanan, obat-obatan yang belum sampai ke tangan

masyarakat, kemungkinan tempat yang akan dipasok bala bantuan makanan dan obat-obatan jauh dari posko bantuan yang disediakan oleh pemerintah dan

suka relawan.

Seperti ada beberapa contoh yang saya kutip dari berbagai media masa mengenai tindkan pencurian harta benda pada saat terjadinya bencana alam yakni : korban gempa bumi dan gelombang Tsunami yang kini berada di lokasi pengungsian mengeluhkan aksi pencurian barang-barang yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal, sejumlah warga korban gempa bumi dan Tsunami di lokasi pengungsian di Aceh Besar mengatakan barang yang ditinggalkan di rumahnya kini habis dicuri orang “saat saya tinggalkan rumah pasca bencana alam gempa bumi dan Tsunami, semua peralatan yang ada di dalam rumah masih utuh. Namun setelah kembali, peralatan, perabotan dan berbagai barang elektronik habis disikat pencuri, kata seorang warga yang bernama Saifullah warga kampung Kramat Kota Banda Aceh”.


(8)

Ia menjelaskan rumah kediaman itu hanya mengalami kerusakan yang ringan diterjang Tsunami. Rumah saya tinggalkan tanpa penjaga dengan keadaan semua pintu terkunci rapat, namun kini hanya tersisa beberapa lemari dan kursi, sedangkan barang-barang berharga lainnya sudah habis ludes dicuri.

“Sementara itu, Mahdani yang merupakan seorang pedagang Pusat Pasar Aceh, juga menyesalkan dari orang-orang yang mencuri barang-barang dagangannya, ia menyatakan kerugian bukan hanya disebabkan bencana alam gempa bumi dan Tsunami, tetapi akibat aksi pencurian yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 30 Mei 2006 memberitakan terjadinya pencurian di beberapa tempat lokasi bencana alam di Yogyakarta dan sekitarnya.

Aksi pencurian yang memanfaatkan situasi pasca gempa bumi pada rumah-rumah kosong warga, mulai di beberapa dusun di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta aksi pencurian ini terjadi pada tanggal 28 Mei 2006 (Ahad) malam Senin dimana mereka meninggalkan rumah mereka dan pergi ke tenda-tenda pengungsian atau tenda darurat, Try Mulyo kepada ANTARA Selasa, dia juga menceritakan pada malam kedua setelah gempa, terjadi lagi pencurian di rumah-rumah warga yang sedang tidur di posko pengungsian. Pelaku pencurin tersebut dipergoki oleh salah satu warga hingga warga pun beramai-ramai mengejar si pelaku pencurian tersebut, tetapi si pelaku berhasil meloloskan diri dikegelapan malam.


(9)

Contoh kasus yang lain pada peristiwa pencurian pada saat bencana alam yakni, “tiga minggu setelah status gunung merapi dinyatakan siaga, 12 April 2006 yang lalu Gubernur Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) mengintruksikan warga Kabupaten Sleman yang tinggal di daerah atau Kawasan Rawan Bencana

(KRB) III, segera melakukan evakuasi. Kawasan itu meliputi delapan Dusun di Kecamatan Turi, Pakem, Cangkringan, imbauan tersebut untuk bertujuan

menghindari jatuhnya korban jiwa, namun di sisi lain pada saat pengosongan tempat tinggal warga, itu membuka peluang untuk terjadinya pencurian harta benda yang ditinggalkan.

Dari beberapa contoh kasus yang terjadi, jadi jelas karena adanya bencana alam yang terjadi serta dengan adanya keterlambatan untuk memberikan bantuan makanan, obat-obatan dan juga karena adanya kesempatan atau peluang seseorang untuk melakukan pencurian atau juga dikarenakan keterpaksaan atau memang untuk mencari kesempatan pada saat situasi seperti ini untuk melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri

Maka dengan uraian serta penjelasan di atas penulis ingin melakukan penelitian dengan judul : TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG

DILAKUKAN PADA SAAT BENCANA ALAM DITINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI.

B. Perumusan Permasalahan

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :


(10)

1. Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab timbulnya pencurian yang dilakukan pada saat terjadinya bencana alam?

2. Langkah-langkah apakah yang harus dilakukan guna melindungi harta benda

korban bencana alam?

3. Bagaimanakah hukuman yang harus dilakukan terhadap para pelaku pencurian

yang dilakukan pada saat terjadinya bencana alam?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindakan pencurian

pada saat terjadinya bencana alam.

2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan guna melindungi

harta benda korban bencana alam.

3. Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum bagi pelaku pencurian

pada saat terjadinya bencana alam tersebut.

Manfaat Penulisan

Secara praktis dapat memberikan pengertian dan informasi tentang suatu tindakan pencurian yang dilakukan pada saat bencana alam, faktor-faktor penyebabnya, bagaimana tindakan pencurian tersebut pada saat terjadinya bencana alam, dan juga upaya-upaya penanggulangannya. Selain itu sebagai sumbangsih bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalm masyarakat luas agar memahami dari apa yang dimaksud apabila terjadi pencurian tersebut.


(11)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Dengan ini penulis dapat bertangung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini, belum pernah ada judul yang sama demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan. Dalam hal mendukung penulisan ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi

Kriminalitas bukanlah suatu kejahatan yang baru saja terjadi, tetapi merupakan faktor dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Dan bukanlah dari semata-mata karena faktor biologis atau dari keturunannya, tingkah laku kriminalitas itu bisa saja dilakukan oleh siapa pun, baik wanita maupun pria dan dapat berlangsung pada usia anak-anak sampai dengan orang dewasa maupun telah usia lanjut (sudah tua).

Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu pikiran, direncanakan ataupun diarahkan pada suatu maksud tertentu secara setengah sadar, misalnya didorong oleh impus-impus yang hebat, atau di dorong pada paksaan-paksaan yang sangat kuat (kompulasi-kompulasi) dan oleh obsesi misalnya karena terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan terpaksa untuk

membalas menyerang sehingga terjadi peristiwa pembunuhan.1

1


(12)

Masyarakat yang modern sangatlah kompleks menimbulkan aspirasi-aspirasi materil yang tinggi yang mana disertai dengan ambisi-ambisi yang tinggi sosial yang tidak sehat. Gambaran ini merupakan pemenuhan kebutuhan materil yang melimpah-limpah misalnya untuk memiliki harta kekayaan dan barang-barang mewah tanpa memiliki kemampuan untuk mencapai dengan adanya cara tidak wajar, dengan itu mendorong seseorang atau individu untuk melakukan tindakan kriminal.

Menurut DR. Kartini Kartono mengemukakan beberapa defenisi-defenisi mengenai kriminologi yang dinyatakan oleh sarjana-sarjana antara lain :

Mr. Raul Modigo (Kriminologi Indonesia) menyatkan bahwa kriminologi adalah ilmu yang ditunjang oleh berbagai ilmu, yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia.

J. Costan mengatakan bahwa kriminologi adalah pengetahuan empiris yang berdasarkan pengalaman, bertujuan menentukan faktor-faktor dari penyebab terjadinya kejahatan dan penjahat, dengan memperhatikan faktor-faktor, sosiologis, ekonomis, dan individual.

W. Saver mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mengenai sifat jahat pribadi perorangan dan bangsa-bangsa berbudaya dan objek penyelidikannya ialah kriminalitas dalam kehidupan perorangan, serta kriminalitas dalam kehidupan bangsa dan negara.

S. Seeling mengatakan bahwa kriminologi adalah gejala-gejala yang sangat kongkret, yaitu gejala badaniah dan rohaniah mengenai kejahatan.


(13)

Mr. W.A. Bonger yaitu mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu

pengetahuan mengenai kejahatan yang seluas-luasnya.2 Melalui defenisi ini,

Bonger lalu membagi kriminologi itu menjadi kriminologi murni antara lain :3

1) Antropologi Kriminal adalah :

Ilmu pengetahuan tentang manusia jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.

2) Sosiologi Kriminal ialah :

Pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.

3) Psikologi Kriminal

Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya. 4) Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal ialah :

Ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf 5) Penologi ialah :

Ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.

Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa :

1) Higiene Kriminal

Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.

2

Ibid, hlm. 122.

3

Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 9.


(14)

2) Politik Kriminal

Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Di sini dilihat sebab-sebab seorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi semata-mata dengan penjatuhan sanksi.

3) Kriminalistik

Yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan 8 teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.

Wolfgang, Savitz dan Jhonston mengatakan bahwa kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan,

pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.4

1. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan;

Jadi objek studi kriminologi meliputi :

2. Pelaku kejahatan;

3. Reaksi masyarakat yang dijatuhkan baik terhadap perbuatan maupun terhadap

pelakunya.

Ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.

4


(15)

Bonger menyatakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan.

Alasan dirterimanya defenisi yuridis tentang kejahatan ini oleh Hasskel dan Yablonsky adalah :

1) Statistik kejahatan berasal dari pelanggaran-pelanggaran hukum yang

diketahui oleh polisi, yang dipertegas dalam catatan-cacatan penahanan atau peradilan serta data-data yang diperoleh dari orang-orang yang berada dari dalam penjara atau parole. Perilaku yang tidak normatif serta perilaku anti-sosial yang tidak melanggar hukum tidak mungkin menjadi bagian catatan pribadi.

2) Tidak ada kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud dengan perilaku

anti-sosial.

3) Tidak ada kesepakatan umum mengenai norma-norma yang pelanggarannya

merupakan perilaku non normatif dengan suatu sifat kejahatan (kecuali hukum pidana).

4) Hukum menyediakan perlindungan bagi stigmatisasi yang tidak adil.

Adalah suatu kesalahan apabila meninggalkan hal ini dalam rangka membuat pengertian kejahatan menjadi lebih inklusif.

Ukuran dari menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau kewibawaan, melainkan oleh besar kecilnya kerugian atau keparahan sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan


(16)

dikaji dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan dan kemakmuran dalam masyarakat. Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai reaksi kehidupan kelas seseorang. Disini yang menjadi nilai-nilai utama adalah keadilan dan hak-hak asasi manusia.

Rumusan kejahatan dalam kriminologi semakin diperluas. Sasaran perhatian terutama diarahkan kepada kejahatan-kejahatan yang secara politis, ekonomis dan sosial amat merugikan yang berakibat jatuhnya korban-korban bukan hanya korban individual melainkan juga golongan-golongan dalam masyarakat. Pengendalian sosial dalam arti luas dipahami sebagai usaha untuk memperbaiki atau mengubah struktur politik, ekonomi dan sosial sebagai keseluruhan.

Jika dikaji secara keseluruhan, perkembangan kriminologi untuk menjadi suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

a. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku mansuia tidaklah berbeda

dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang bersifat nonkriminal.

b. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin, bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.

c. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan

lainnya.

d. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara kejahatan sebagai

suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagia subjek perlakuan sarana peradilan pidana.

e. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu pengetahuan


(17)

2. Pengertian Pencurian

Berikut ini dikemukakan defenisi tentang pencurian yakni : “Menurut Darwan pencurian adalah pengambilan atau perampasan harta benda seseorang (tidak termasuk oleh orang di bawah pengawasan tertanggung), untuk dikuasai atau dimiliki secara

melawan hukum”.5

a. Jarah adalah (jarah), menjarah, merebut, dan merampas milik orang lain

diwaktu perang dan pada saat kekacauan.

Ada juga defenisi dari penjarahan serta beberapa defenisi yang termasuk dalam arti lainnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni :

b. Menjarah adalah, merebut, merampas milik orang lain terutama dalam rangka

perang atau dalam keadaan kekacauan.

c. Jarah adalah, merampas, barang yang dijarah.

d. Penjarah adalah, orang yang menjarah.6

Sedangkan pengertian dari pencurian dalam Pasal 362 KUHP adalah : barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Jika diteliti rumusan tindak pidana pencurian tersebut, perbuatan itu terdiri dari unsur-unsur :7

5

Darmawan, Asuransi Sinar Mas Mobil, Endosmen Huru Hara, Jakarta, 2002, hlm. 36.

6

Indrawan W.S, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Merdeka, Jombang, hlm. 284.

7

Suhartono RM, Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 38.


(18)

a. Barang siapa

b. Mengambil barang sesuatu

c. Barang kepunyaan orang lain

d. Dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum

Untuk diketahui bahwa Pasal 362 KUHP itu terdiri dari unsur seperti tersebut di atas tanpa menitikberatkan satu unsur. Tiap-tiap unsur mengandung arti yuridis untuk dipakai menentukan atas suatu perbuatan :

a. Barang siapa; yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang” subjek hukum

yang melakukan perbuatan.

b. Mengambil barang sesuatu.

Menurut Noyon Langemeyer; bahwa pengambilan yang diperlukan untuk pencurian adalah pengambilan yang eigenmachtig, yaitu karena kehendak sendiri atau tanpa persetujuan yang menguasai barang.

Menurut Simons dan Pompe; ia menyatakan menyamakan arti mengambil dengan istilah wegnehmen dalam KUHP negara Jerman yang berarti tidak diperlukan tempat dimana barang berada, tetapi memegang saja belum cukup, pelaku harus menarik barang itu kepadanya dan menempatkan dalam penguasaannya.

Sedangkan menurut Van Bemmelen; arti wegnehmen dirumuskan sebagai berikut :


(19)

1) Tiap-tiap perbuatan dimana orang menempatkan barang atau harta kekayaan orang lain dalam kekuasaannya tanpa turut serta atau tanpa persetujuan orang lain.

2) Tiap-tiap perbuatan dengan mana seseorang memutuskan ikatan dengan

sesuatu cara orang lain dengan barang kekayaannya itu. Dalam teori mengambil ada 3 jenis bentuk mengambil :

a. Konteks; bahwa suatu perbuatan mengambil apabila seseorang pelaku telah

menggeser benda dimaksud, dengan perbuatan itu berarti pelaku telah mengambil.

b. Ablasi; pelaku dikatakan mengambil barang sesuatu apabila pelaku meskipun

tidak menyentuh atas benda yang dimaksud, tetapi benda telah diamankan dari gangguan orang lain dengan harapan benda dapat dimiliki.

c. Aprehesi; mengambil berarti pelaku telah membuat sesuatu benda dalam

kekuasaannya yang nyata. Sedangkan arti memiliki :

a. Bahwa suatu barang yang diambil oleh pelaku harus dapat dinyatakan bahwa

memang barang tersebut akan dimiliki. Praktek peradilan yang dimaksud memiliki ialah :

1. Barang yang telah diambil itu : a. Ia kuasai seorang tuan b. Ia kuasai selaku pemilik

c. Ia kuasai selaku seorang penguasa

2. Bahwa perbuatan atas suatu barang yang diambil itu sudah menyatakan


(20)

3. Pengertian Bencana Alam

Bencana alam adalah malapetaka bahaya. Membebani maksudnya adalah

menimbulkan (mendatangkan) bencana, kesengsaraan, keresahan.8

Pengertian dari alam adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan, yang didiami oleh makhluk.9

F. Sistematika Penulisan

Jadi pengertian dari bencana alam secara harfiahnya adalah segala kekacauan dan kesengsaraan, malapetaka yang terjadi di bumi ataupun dunia yang didiami oleh makhluk.

Secara sistematis penulis membagi Skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA PENCURIAN PADA SAAT TERJADINYA BENCANA ALAM

Bab ini menguraikan tentang faktor-faktor penyebab timbulnya pencurian pada saat terjadinya bencana alam, diantaranya faktor

intelegensi, faktor usia, faktor jenis kelamin, faktor kebutuhan

ekonomi.

8

Indrawan W.S, Op.Cit., hlm. 74.

9


(21)

BAB III : LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN GUNA MELINDUNGI HARTA BENDA KORBAN BENCANA ALAM

Bab ini menguraikan tentang cara-cara yang dilakukan untuk melindungi harta benda korban bencana alam, yakni dengan cara preventif dan kuratif serta pembinaan bagi masyarakat.

BAB IV : BAGAIMANAKAH TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN TERHADAP PARA PELAKU

Bab ini menguraikan tentang pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku pencurian pada saat bencana alam.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.


(22)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA PENCURIAN

PADA SAAT TERJADI BENCANA ALAM

Pada kenyataannya tindakan dari pencurian itu sangatlah membuat

orang resah dan bertambah menderita dengan tindakan tersebut, dan itu menyangkut dengan hukum pidana, secara teorinya hukum pidana menurut C.S.T. Kansil adalah : hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam

dengan hukum yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.10

1. Motivasi Intrinsik (Intern)

Pada dasarnya ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan pencurian (penjarahan) yang mana hal tersebut sangatlah merugikan seseorang dan membuat kepanikan serta menimbulkan kesengsaraan orang lain yakni :

a. Faktor intelegensia b. Faktor usia

c. Faktor jenis kelamin

d. Faktor kebutuhan ekonomi yang terdesak

2. Motivasi Ekstrinsik (Ekstern)

a. Faktor pendidikan

b. Faktor pergaulan

c. Faktor lingkungan

10

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 257.


(23)

A. Faktor Intelegensi

Intelegensi adalah tingkat kecerdasan seseorang untuk atau kesanggupan menimbang dan memberikan keputusan. Dimana dalam faktor kecerdasan seseorang bisa mempengaruhi perilakunya, contoh saja apabila seseorang yang memiliki intelegensi yang tinggi atau kecerdasan, maka ia akan selalu terlebih dahulu mempertimbangkan untung dan rugi atau baik buruk yang dilakukan pada setiap tindakannya. Dan apabila seseorang yang terpengaruh melakukan kejahatan, dialah merupakan pelaku dan apabila dia melakukan kejahatan itu secara sendirian akan dapat dilakukannya sendiri, sehingga dengan melihatnya orang akan ragu apakah benar ia melakukan kejahatan tersebut.11

Jika kita tinjau kejahatan yang terjadi pada saat ini adalah disebabkan oleh demikian tingginya teknologi, sehingga dalam hal pembuktian sangat sukar untuk dibuktikan. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin berbahaya jika sampai ia melakukan kejahatan baik motif ekonomi maupun karena balas dendam, dengan cara menggunakan teknologi yang modern dalam melakukan kejahatan tersebut.

Perkembangan modus operandi dalam melakukan kejahatan dewasa ini lebih cenderung menggunakan atau memanfaatkan teknologi modern. Hampir terhadap semua kasus kejahatan selalu ditemui teknik-teknik maupun hasil teknologi mutakhir, yang mana ini dipengaruhi oleh intelegensi para pelaku yang makin lama makin tinggi.

11

W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 61.


(24)

Menghadapi modus operandi yang makin lama makin tinggi nilai teknologinya, ditambah mobilitas yang serba cepat, sudah sepantasnya kita

meningkatkan pengetahuan maupun kemampuan penyidik secara ilmiah,

disertai dedikasi yang tinggi dari petugas lapangan maupun para ilmiah di laboratorium.

Sehingga dengan adanya pengetahuan tersebut maka dengan mudah para petugas untuk menentukan siapa pelaku dari kejahatan tersebut, sehingga menghindari penangkapan, yang mengakibatkan kerugian bagi orang yang dituduh melakukan kejahatan tersebut. Maka makin tinggi intelegensi seseorang, maka akan lebih mudah ia melakukan kejahatan.

Tahap kecerdasan dapat diukur dengan suatu baterai test yang ditentukan oleh Binet dan Simon. Hasilnya dicocokkan dengan angka-angka tertentu untuk mendapatkan Equi (Inteligency Quetient), antara lain :

1. Idiot taraf kecerdasannya sampai dengan kecerdasan usia 2 tahun 2. 1 s/d 50 disebut Intesin taraf kecerdasannya usia 5-6 tahun

3. 51 s/d 71 disebut Debil taraf kecerdasannya dapat mencapai kelas 2-3 SD

4. 71 s/d 90 disebut Lamban taraf kecerdasannya dapat mencapai kelas 5 SD

5. 91 s/d 110 disebut Normal taraf kecerdasannya bisa tamat SD, SMP (kelas 2) 6. 111 s/d 150 disebut Pandai Sekali taraf kecerdasannya bisa di Perguruan Tinggi 7. 150 ke atas disebut Genius

Idiot adalah mereka yang mempunyai daya fikir atau kemampuan berfikirnya tidak lebih anak normal yang berumur 3 tahun.

Imbiesel adalah manusia yang kemampuan dan daya fikirnya tidak lebih dari anak yang berumur 6 tahun.


(25)

Debil adalah seseorang manusia yang mempunyai daya fikir atau kemampuan berfikirnya tidak lebih dari anak yang berumur 12 tahun.

B. Faktor Usia

Usia atau umur dapat juga mempengaruhi kemampuan untuk berfikir dan melakukan kemampuan bertindak, semakin bertambah umur atau usia seseorang maka semakin meningkat kematangan berfikir untuk dapat membedakan sesuatu perbuatan baik dan buruk.12

1. Masa Kanak-kanak (0 – 11 Tahun)

Karena pada umumnya apabila seseorang yang telah mencapai umur dewasa maka akan bertambah banyak kebutuhan dan keinginan yang ingin dipenuhi atau didapati.

Sebagaimana diketahui bahwa manusia mempunyai masa-masa atau periode atau perkembangan atau “life stadium” yang sudah dibawa sejak dia lahir, terdapat beberapa fase dalam perkembangan atau pertumbuhan seorang manusia antara lain :

Periode ini adalah : suatu masa yang sangat penting yakni sebagai suatu dasar atau basis untuk perkembangan individu anak dalam perkembangan selanjutnya. Bila pada masa ini, salah mengembangkan pendidikan dan pengajaran dalam pertumbuhan dan perkembangan si anak, maka anak itu kelak akan mengalami kehidupan yang suram. Sehingga yang menjadi si anak kelak menjadi orang yang baik adalah dipengaruhi oleh pengajaran dan pendidikan yang diberikan terhadap si anak tersebut.

12


(26)

Pada fase ini sifat kriminalitas yang dilakukan si anak adalah sebagai berikut :

1) Delik yang dibuat pada umumnya berbentuk sangat sederhana, misalnya :

pencurian kecil-kecilan dan perbuatan-perbuatan merusak. Pada masa ini kejiwaan si anak belum matang dan lebih banyak ketidaktahuannya bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang dilarang.

2) Delik itu bisa juga terjadi karena suruhan atau pengaruh kawan-kawannya

yang lebih dewasa. Yang sebenarnya anak itu belum matang untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk.

Frekwensi kriminalitas seorang anak untuk melakukan kejahatan pada masa ini adalah sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dilakukan atau diperbuat hanyalah kelakuan-kelakuan buruk

yang tidak dapat dikenakan/hukuman.

2) Seandainya unsur kriminalitas itu sesuai dengan delik yang tertera di dalam

undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak selamanya dapat di pidana kalau dilakukan oleh anak-anak.

2. Masa Remaja (12 – 17 Tahun)

Pada usia ini disamping pertumbuhan fisik yang cepat, juga timbul gejala-gejala kejiwaan (psikis). Pada usia ini dikenal perbedaan jenis lebih sempurna, sejalan dengan itu mulai tumbuh perasaan-perasaan seksual pada kedua jenis masing-masing (pada masa puber yang pertama).


(27)

Usia ini dipandang kritis karena baik wanita maupun laki-laki amat memerlukan pembinaan untuk menampung gejala-gejala fisik dan psikis yang baru dialami pertama kali.

Dorongan-dorongan pertumbuhan fisik terutama bagi para pria cenderung melakukan penyimpangan-penyimpangan berupa perkelahian maupun penganiayaan, pencurian, dan lain-lain. Perbuatan itu dilakukan lebih sempurna. Mulai dari bentuk-bentuk kenakalan sampai kejahatan-kejahatan tersebut di atas. Kenakalan-kenakalan yang dapat dilakukan antara lain : meninggalkan sekolah, tidak patuh pada orang tua, dan sebagainya.

3. Masa Dewasa I (18 – 31 Tahun)

Pada usia ini pertumbuhan fisik mencapai puncaknya. Pertumbuhan fisik

ini dapat mendorong untuk melakukan kejahatan, bentuk-bentuk kejahatan yang dilakukan bersifat fisik seperti : perampokan, pencurian, perkelahian, penganiayaan, bahkan pembunuhan juga dapat terjadi. Perbuatan tersebut di atas dipengaruhi dan didorong oleh kemampuan fisiknya.

Pada usia ini tumbuh suatu gejala psikis (gejala kejiwaan) yang ekstrim yaitu : keinginan untuk melakukan sesuatu yang menonjolkan keperkasaannya yaitu melakukan perbuatan yang aneh-aneh atau advonturir.

Misalnya perbuatan yang dilakukan tersebut adalah : cita-cita ingin mengelilingi dunia dan dapat dilakukan secara nyata, tanpa perhitungan yang teliti, buruk dan baik dari akibat perjalanannya itu.13

13


(28)

Pada usia ini frekwensi kejahatan paling tinggi. Karena pada usia ini orang melakukan perbuatan kejahatan tanpa memikirkan akibat dan dampak dari perbuatan, baik itu pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Karena dia melakukan perbuatan tersebut hanya menggunakan atau menonjolkan kekuatannya atau keperkasaannya, sehingga untuk memikirkan akibat dari perbuatan tersebut tidak ada.

Maka untuk mengatasi agar seseorang untuk tidak melakukan kejahatan diperlukan pembinaan dan pendidikan moral, pendidikan norma agama dan bermasyarakat. Sehingga dengan adanya pendidikan norma dan agama, maka dia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk, sehingga untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama atau bertentangan dengan undang-undang akan jatuh dari pikirannya untuk melakukan perbuatan tersebut.

4. Masa Dewasa Penuh (31 – 55 Tahun)

Pada usia ini pertumbuhan jiwa (psikis) mencapai puncak. Perbuatan kejahatan yang dilakukan adalah bersifat fisik pencurian dengan kekerasan, pencurian biasa, perkelahian dan penganiayaan, dan lain-lain mulai ditinggalkan.14

Pada usia ini kejahatan yang dilakukan adalah berdasarkan gerakan psikis (gerakan jiwa) misalnya : penggelapan, penipuan, korupsi, kolusi dan lain-lain. Yang mana kejahatan yang dilakukan mengandung kelicikan-kelicikan jiwa dalam melakukan operasi kejahatan yang hendak dilakukannya, sehingga untuk melakukan kejahatan tersebut didasarkan atas kehendak dari dalam hatinya (jiwanya), dengan kata lain apa yang dikatakan hatinya itulah perbuatan yang akan dilakukan tanpa memandang perbuatan yang akan dilakukannya, baik atau buruk perbuatan yang akan dilakukan tersebut.

14


(29)

5. Masa Tua

Pada usia ini kemampuan fisik maupun psikis (kemampuan jasmani maupun rohani kembali menurun). Frekwensi kejahatan yang pada umumnya menurun dibandingkan dengan usia dewasa I dan usia dewasa ke II. Tapi tidak tertutup kemungkinan pada fase ini untuk melakukan kejahatan yang dilakukan pada fase sebelumnya.

Ahli jiwa berpendapat bahwa salah satu titik usia yang kritis adalah 40 tahun, merupakan penyimpangan yang terakhir. Pada usia ini sebenarnya

kematangan jiwa telah dicapai. Kejahatan sudah mulai menurun sampai masa tua.15

C. Faktor Jenis Kelamin

Pada masa tua penyimpangan-penyimpangan atau kejahatan yang dilakukan antara lain : pencurian-pencurian ringan, exhybitionis (pelanggaran susila yang bersifat ringan).

Bahwa dari lahirnya seseorang itu mempunyai tingkat Gradilitas Seks yang berbeda dan bahkan ada yang sudah mempunyai bibit keturunan.

Menurut Sigmund Freud, bahwa manusia itu hidup dalam Libido Seksualitas. Apabila seseorang tidak sanggup menguasai dirinya maka akan timbullah delik seksual.

Sebagaimana dikatakan oleh P. Lukas bahwa sifat jahat pada

hakikatnya sudah ada pada manusia semenjak lahir dan hal ini diperoleh pada keturunannya.

15


(30)

Dari pendapat ini diambil kesimpulan bahwa sifat seksual tertentu termasuk di dalamnya. Kemudian apabila dilihat dari persentase kejahatan yang dilakukan oleh wanita dan laki-laki itu berbeda. Hal ini dapat dilihat dari statistik bahwa persentase kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki lebih banyak dari pada kejahatan yang dilakukan oleh para wanita. Demikian juga bentuk-bentuk kejahatan yang dilakukan baik luasnya, frekwensinya maupun caranya.

Hal ini bergantung dengan perbedaan sifat yang dimiliki wanita dengan sifat-sifat yang dimiliki laki-laki, yang sudah dipunyainya atau didapatkannya sejak dia lahir dan berhubungan pula dengan kebiasaan kehidupan suatu masyarakat.

Perlu kita ketahui bahwa fisik wanita lebih lemah bila dibandingkan dengan fisik laki-laki, sehingga untuk melakukan kejahatan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dari pada yang dilakukan oleh wanita.

D. Faktor Kebutuhan Ekonomi Yang Mendesak

Pada fase ini sangatlah berpengaruh pada seseorang atau pelaku pencurian, dimana pada saat terjadinya pencurian setiap orang pasti butuh makanan dan kebutuhan hidup lainnya yang harus dipenuhi, maka hal tersebut mendorong seseorang untuk melakukan pencurian.

Kalaulah hanya mengharapkan dari bantuan pemerintah dan dari bantuan masyarakat lainnya pasti akan lama tiba untuk mereka. Maka dengan keadaan tersebut mereka melakukan tindakan yang tidak sesuai lagi bagi kepentingan umum karena dalam masalah ini ada sebagian orang-orang yang merasa dirugikan.16

16


(31)

Yang mana krisis ekonomi akan mengakibatkan pengangguran, kelompok gelandangan, patologi sosial atau penyakit masyarakat. Apabila ditambah dengan kemerosotan moral, agama, dapat membawa kepada dekondensi moral dan kenakalan anak-anak.

Dengan makin meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat ditempuh dengan berbagai hal, baik itu dengan cara yang baik atau dengan cara yang jahat. Maka faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling dominan sehingga orang dapat melakukan kejahatan, karena disebabkan oleh kebutuhan ekonomi yang kian hari kian meningkat.

Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan mencuri atau menjarah barang orang lain, baik itu di saat gempa, maupun di saat malam hari.

E. Faktor Pendidikan

Pendidikan dalam arti luas termasuk ke dalam pendidikan formal dan non formal (kursus-kursus). Faktor pendidikan sangatlah menentukan perkembangan jiwa dan kepribadian seseorang, dengan kurangnya pendidikan maka mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang, sehingga bisa menjerumuskan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma dan aturan-aturan hukum yang berlaku.

Apabila seseorang tidak pernah mengecap yang namanya bangku sekolah, maka perkembangan jiwa seseorang dan cara berpikir orang tersebut akan sulit berkembang, sehingga dengan keterbelakangan dalam berpikir maka dia akan


(32)

melakukan suatu perbuatan yang menurut dia baik tetapi belum tentu bagi orang lain itu baik. Tapi tindkan yang sering dilakukannya itu adalah perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Pendidikan adalah merupakan wadah yang sangat

baik untuk membentuk watak dan moral seseorang, yang mana semua itu di dapatkan di dalam dunia pendidikan.

Tapi tidak tertutup kemungkinan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut adalah orang-orang yang mempunyai ilmu yang tinggi dan mengecap dunia pendidikan yang tinggi pula.

F. Faktor Pergaulan

Pada prinsipnya suatu pergaulan tertentu membuat atau menghasilkan norma-norma tertentu yang terdapat di dalam masyarakat. Pengaruh pergaulan bagi seseorang di dalam maupun di luar lingkungan rumah tersebut sangatlah berbeda, sangatlah jauh dari ruang lingkup pergaulannya.

Mengenai pergaulan yang berbeda-beda yang dilakukan oleh seseorang dapat melekat dan sebagai motivasi bagi seseorang, karena dalam sebuah contoh, yang terjadi pada saat bencana alam dimana masyarakat pada saat itu merasa mengalami kekurangan dari segala hal, seperti makanan dan kebutuhan hidup

yang harus dipenuhi oleh setiap orang pada saat terjadinya bencana alam, ia melihat orang-orang yang mengambil atau mencuri barang-barang milik orang

lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, di samping karena adanya ajakan dan dorongan dari teman-teman yang lain. Dengan hal tersebut maka ia terdorong dalam dirinya ikut melakukan pencurian barang-barang milik orang lain.


(33)

G. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan adalah semua benda dan materi yang mempengaruhi hidup manusia seperti kesehatan jasmani dan kesehatan rohani, ketenangan lahir dan batin.

Lingkungan sosial adalah berupa lingkungan rumah tangga, sekolah, dan lingkungan luar sehari-hari, lingkungan sosial dan lingkungan masyarakat.

Suatu rumah tangga adalah merupakan kelompok lingkungan yang terkecil tapi pengaruhnya terhadap jiwa dan kelakuan si anak. Karena awal pendidikannya di dapat dari lingkungan ini.

Lingkungan alam yang teduh damai di daerah-daerah pedesaan dan pegunungan yang mana memberikan pengaruh yang menyenangkan, sedangkan daerah kota dan industri yang penuh dan padat, bising, penuh hiruk pikuk yang memuakkan, mencekam dan menstimulir penduduknya untuk menjadi kanibal (kejam, bengis, mendekati kebiadapan).17

Oleh karena adanya tekanan dari masyarakat atau faktor eksternal yang merobek-robek keseimbangan batinnya, dengan demikian seseorang dapat melakukan perbuatan kriminal yang mana karena adanya tekanan atau paksaan.

Pada prinsipnya perilaku seseorang dapat berubah dan bergeser bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti halnya dalam kasus pencurian dan penjarahan yang dilakukan pada saat terjadi bencana alam itu merupakan suatu kriminal situasional atau kriminal primer yang dilakukan oleh orang-orang biasa (non-kriminal) atau yang bukan penjahat, dan individu-individu yang pada umumnya patut terhadap hukum.

17


(34)

Seseorang bertindak atau berbuat kejahatan adalah didasarkan pada proses antara lain :

1) Tingkah laku itu dipelajari

Secara negatif dikatakan bahwa tingkah laku kriminal itu tidak diwarisi sehingga atas dasar itu tidak ada seseorang menjadi jahat secara mekanis.

2) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam hubungan komunikasi.

3) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam kelompok pergaulan yang intim.

Selain faktor-faktor tersebut di atas ada satu faktor yang menyebabkan orang melakukan kejahatan yaitu faktor kesombongan moral, yang mana dalam faktor ini seseorang melakukan kejahatan tanpa memperhatikan disekelilingnya, yang mana dia mau melakukan suatu kejahatan tanpa memperhatikan keadaan disekelilingnya, asalkan dia mendapatkan apa yang diinginkannya, baik dengan cara baik atau dengan cara jahat dan baik itu dalam keadaan gempa maupun dalam keadaan yang lain. Maka faktor ini merupakan salah satu dari jenis faktor-faktor yang lain, yang mempengaruhi orang melakukan kejahatan.


(35)

BAB III

LANGKAH-LANGKAH YANG DILAKUKAN UNTUK

MELINDUNGI HARTA BENDA PADA

SAAT BENCANA ALAM

Ada 3 (tiga) cara yang dapat digunakan dalam melindungi harta benda pada saat terjadi bencana alam dari tindakan pencurian yakni :

A. Cara Preventif

Preventif adalah semua urusan atau kebijaksanaan yang diambil jauh sebelum timbulnya tindakan pencurian, yang bertujuan agar tindakan pencurian itu jangan sampai terjadi.

Secara garis besarnya usaha preventif dapat dilakukan dengan menciptakan keluarga dan lingkungan yang taat pada agama, harmonis dan adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dengan aparat penegak hukum.

Secara preventif usaha penanggulangan dari tindakan pencurian dapat dilakukan antara lain dengan :

a. Secara Moralistik adalah dengan cara menyebar dan memberikan keterangan

yang sifatnya meluas tentang ajaran-ajaran agama dan norma-norma hukum yang mana akan mengekang maksud dan tujuan seseorang untuk berbuat kejahatan. Dalam hal ini dibutuhkan peranan anggota masyarakat dan peranan pemerintah.

b. Cara Abolistik adalah dengan cara mengatasi atau mengurangi setiap perilaku

kejahatan, seperti dengan memperbaiki perekonomian masyarakat dan mempercepat bantuan makanan dan obat-obatan bagi masyarakat.


(36)

B. Cara Kuratif

Cara kuratif adalah tindakan yang diambil sesudah timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan agar kejahatan atau tindakan pencurian itu jangan sampai terjadi lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membasmi tindakan kejahatan dengan kekuasaan dan sanksi, dan juga dapat dicegah dengan melalui atau mengikuti kegiatan-kegiatan seperti kegiatan agama, diskusi, penyuluhan yang dilakukan oleh para petugas dari pihak pemerintah yang dapat menggugah pikiran seseorang yang melakukan tindakan kejahatan.

C. Pembinaan Bagi Masyarakat

Pembinaan bagi masyarakat yang dalam keadaan tidak stabil atau masih dalam masa trauma pada saat bencana alam. Hal ini dapat dilakukan untuk pembinaan kepribadian, yang menyangkut kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara dan juga disertai oleh pihak pemerintah untuk mempercepat kedatangan bantuan makanan dan obat-obatan yang dibutuhkan bagi masyarakat.

Adapun strategi yang dilakukan dewan PBB dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan antara lain :18

1. Meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya

kejahatan.

2. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan

integral/sistematik.

3. Kejahatan-kejahatan yang mendapat perhatian kongres PBB untuk

ditanggulangi.

18

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 77.


(37)

4. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan sistem manajemen organisasi/manajemen data.

5. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum.

6. Disusun beberapa “Guines”, “Basic Principles”, “Rules”, “Standart Minimum

Rules” (SMR).

7. Ditingkatkan kerjasama Internasional “International Cooperation” dan

bantuan teknis “Technical Assitance” dalam rangka memperkokoh “The Rule

of Low” dan “Management of Criminal Justice System”.

Dalam melakukan penanggulangan dan pencegahan kejahatan harus memperhatikan hal-hal pokok sebagai berikut :19

1. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan

“goal”, “Social Walfare” dan “Social Defence”. Aspek “Social Walfare” dan “Social Defence” sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan.

2. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan

integral ada keseimbangan sarana “penal” dan “non-penal”.

Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana “non-penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan “penal” mempunyai keterbatasan/kelemahan (yaitu bersifat fragmentaris, simplistis, tidak structural fungsional; simptomatik atau tidak eliminatif individualistic atau “offender oriented tidak victim oriented” lebih bersifat represif atau tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya yang tinggi.

19


(38)

3. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsional dan opersionalnya melalui beberapa tahap, antara lain :

a. Formulasi (kebijakan legislatif)

b. Aplikasi (kebijakan yudikatif/yidicial) c. Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif)

Dengan adanya tahap “formulasi” maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aprat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui “penal policy”. Oleh karena itu, kesalahan dan kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Agar peegakan hukum dapat terlaksana dengan baik dalam masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan berjalan dengan baik maka hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, sehingga penegakan hukum tersebut dapat berjalan dengan baik, antara lain :20

1. Pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para penegak hukum

2. Sikap yang lugas (zakelijk) dari penegak hukum

3. Penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan teknologi mutakhir

4. Penerangan dan penyuluhan mengenai peraturan yang berlaku terhadap masyarakat

5. Memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami peraturan

yang baru dibuat.

20

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 46.


(39)

Meskipun studi yang baru dilakukan oleh Soerjono Soekanto tersebut

mengambil objek studi bidang penegakan hukum lalu lintas jalan raya, tetapi kesimpulan yang ditariknya cukup relevan bagi penegakan hukum di bidang-bidang lainnya juga. Lebih tegasnya lagi, masih menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah

sebagai berikut :

1. Faktor hukumnya sendiri (termasuk faktor undang-undang)

2. Faktor penegak hukum (dimasukkan disini, baik para pembantu maupun

penerapan hukum)

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Adapun penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum di negara kita saat sekarang ini adalah sebagai berikut :

1. Rendahnya kualitas dari Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat

2. Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right pleace

3. Rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum

4. Tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang baik dan modern

5. Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia


(40)

6. Dan yang sangat memperihatinkan adalah kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antara anggota caturwangsa tersebut berupa tuduhan “mafia peradilan”.


(41)

BAB IV

TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN TERHADAP

PARA PELAKU

Aliran kriminologi baru lahir dari pemikrian yang bertolak pada anggapan bahwa perilaku yang menyimpang dan disebut dengan kejahatan, harus dijelaskan dengan melihat kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat dan menempatkan perilaku menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik sosial masyarakat.

Maka pandangan kriminologi terhadap pencurian adalah sesuatu perbuatan yang menyimpang. Sedangkan pengertian dari pencurian adalah Pasal 352 KUHP adalah : barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Maka penerapan hukum terhadap para pelaku yang melakukan kejahatan pencurian pada saat gempa bumi sesuai dengan bunyi Pasal 363 KUHP huruf 2e yang berbunyi : Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum pencurian pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, letusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan di masa perang.


(42)

Dari bunyi pasal di atas maka hukuman yang dikenakan bagi para pelaku adalah lebih berat karena pada waktu semacam di atas orang semua ribut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga, sehingga memudahkan orang untuk melakukan kejahatan tersebut. Maka orang tersebut memanfaatkan kesempatan itu untuk mencuri. Sehingga penerapan hukumnya diperberat karena orang yang memiliki barang tersebut tidak mengawasi dan menjaga barangnya jauh dari kontrollannya. Karena dalam keadaan ini orang lebih mementingkan keselamatan jiwa dan keluarga dibandingkan dengan keselamatan harta bendanya.

Ukuran dari yang menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan bukan diketahui oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau kebiwaan, melainkan oleh besar kecilnya atau keparahan sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan atau kemakmuran dalam masyarakat. Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang. Disini yang menjadi nilai-nilai utama adalah keadilan dan hak-hak asasi manusia.

Rumusan kejahatan dalam kriminologi semakin diperluas. Sasaran perhatian terutama diarahkan kepada kejahatan-kejahatan yang secara politis, ekonomis, dan sosial amat merugikan yang berakibat jatuhnya korban-korban bukan hanya korban individual melainkan juga golongan-golongan dalam masyarakat. Pengendalian sosial dalam arti luas dipahami sebagai usaha untuk memperbaiki atau mengubah struktur politik, ekonomi dan sosial sebagai keseluruhan.


(43)

Robert F Meler mengungkapkan bahwa salah satu kewajiban dan kriminologi baru ini adalah untuk mengungkap tabir hukum pidana, baik sumber-sumber maupun penggunaan-penggunaannya, guna mempelajari kepentingan-kepentingan penguasa.

Suatu catatan kritis terhadap pemikiran ini diungkapkan oleh Paul Mudigdo dinyatakan bahwa kadar kebenaran dan nilai-nilai praktis dan teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkrit demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang terbelakang, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi, bahaya dari praktek pengalaman yang tak terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi yang terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai pada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku penyimpangan yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik adanya pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendaknya menyamaratakan orang-orang menjadi obyek-obyek peraturan oleh birokrasi ekonomi dan politik.

Prespektif teori kriminologi untuk membahas masalah kejahatan pada umumnya memiliki dimensi yang amat luas. Keleluasaan dimensi dimaksud sangat bergantung pada titik pandang yang hendak dipergunakan dalam melakukan analisis teoritis terhadap subjek pembahasan. Terdapat tiga titik pandang dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan, yaitu : pertama, yang disebut titik pandang secara makro atau macrotheories, kedua, yang disebut microtheories, dan ketiga disebut bridging theories.21

21

Ramli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Rafika Aditma, Bandung, 2005, hlm. 71.


(44)

Macrotheories adalah teori-teori yang menjelaskan kejahatan dipandang

dari segi struktur sosial dan dampaknya. Teori-teori ini menitikberatkan

rates of crime atau epidemiologi kejahatan dari pada atas pelaku kejahatan.

Sebagai contoh, teori anatomi dan teori konflik. Sementara itu microtheories adalah teori-teori yang menjelaskan mengapa seseorang atau kelompok orang dalam masyarakat terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan dan terdapat pula sekelompok orang atau orang-orang tertentu yang tidak melakukan kejahatan.

Teori ini menitikberatkan pada pendekatan psikologis atau sosiologis atau biologis. Sebagai contoh, teori kontrol dan social learning theory.

Bridging theories adalah teori-teori yang tidak atau sulit untuk dikategorikan

ke dalam, baik macrotheories maupun microtheories. Teori-teori yang termasuk ke dalam kategori ini menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana seseorang atau sekelompok orang menjadi penjahat. Sebagai contoh, teori subkultur dari teori differential opportunity.

Aliran-aliran atau sering disebut sebagai schools dalam kriminologi menunjuk kepada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan dan pelakunya.

Landasan pemikiran aliran klasik yang mengatakan bahwa manusia dapat melakukan kejahatan adalah sebagai berikut :

1. Individu dilahirkan dengan kehendak bebas untuk hidup menentukan

pilihannya sendiri.

2. Individu memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup, kebebasan dan


(45)

3. Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut muncul sebagai hasil perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah.

4. Setiap warga negara hanya menyerahkan sebagai dari hak asasinya kepada

negara sepanjang diperlukan oleh negara untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan sebagian terbesar dari masyarakat.

5. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial, oleh karena itu

kejahatan merupakan kejahatan moral.

6. Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu dijatuhkan untuk

memelihara perjanjian sosial. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencegah kejahatan dikemudian hari.

7. Setiap orang dianggap sama dimuka hukum, oleh karena itu seharusnya setiap

orang diperlakukan sama.

Aliran ini mengakui bahwa manusia memiliki akalnya disertai kehendak untuk menentukan pilihannya. Akan tetapi, aliran ini berpendapat bahwa kehendak mereka itu tidak terlepas dari pengaruh lingkunganna. Secara singkat, aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa kehidupan seseorang dikuasai oleh hukum sebagai akibat.

Sedangkan pemikiran aliran positif adalah sebagai berikut :

1. Kehidupan manusia dikuasai oleh hukum sebab akibat.

2. Masalah-masalah sosal seperti kejahatan dapat diatasi dengan melakukan studi secara sistematis mengenai tingkah laku manusia.

3. Tingkah laku kriminologi adalah hasil dari kondisi abnormalitas.

Abnormalitas ini mungkin terletak pada diri individu atau juga pada lingkungannya.


(46)

4. Tanda-tanda abnormalitas tersebut dapat dibandingkan dengan tanda-tanda yang normal.

5. Abnormalitas tersebut dapat diperbaiki dan karenanya penjahat dapat

diperbaiki.

6. Treatment lebih menguntungkan bagi penyembuhan penjahat, sehingga tujuan

dari saksi bukanlah menghukum melainkan memperlakukan atau membina pelaku kejahatan.

Maka dari uraian di atas tindakan pidana tersebut mempunyai unsur-unsur yaitu antara lain :

A. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :22

1. Perbuatan;

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan di dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkonkrito orang yang melakukan perbuatan dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain pengertian pidana.

22


(47)

Menurut R. Tresna peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

Dari rumusan R. Tresna di atas, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur :

1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

3. Diadakan tindakan penghukuman

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan penghukuman terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman, terdapat pengertian seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang selalu diikuti dengan penghukuman. Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana.

Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana antara lain :

1. Kelakuan manusia

2. Diancam dengan pidana

3. Dalam peraturan perundang-undangan

Dapat dilihat pada unsur yang ketiga penganut paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang, dan diancam dengan pidana bagi yang melakukan.


(48)

Dari unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pelaku, semata-mata mengenai pembuatannya.

Akan tetapi jika dibandingkan dengan penganut paham monoisme memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang di muka telah dikemukakan yaitu Jonkers dan Schrevandijk.

Dari batasan yang dibuat oleh Jonkers penganut paham monosime dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana antara lain :23

1. Perbuatan

2. Melawan hukum yang berhubungan dengan

3. Kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

4. Dipertanggungjawabkan

Sementara itu Schrevandijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kelakuan orang yang

2. Bertentangan dengan keinsyafan hukum

3. Diancam dengan hukuman

4. dilakukan dengan hukum

5. Dipersalahkan atas kesalahan

Walaupun rincian dari ketiga rumusan di atas tampak berbeda, namun pada hakekatnya ada persamaan yaitu tidak memisahkan antara unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

23


(49)

B. Unsur-unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang

Buku II KUH Pidana memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan buku ke III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur-unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan yaitu mengenai tingkah laku atau perbuatan wlaupun ada pengecualian seperti pada Pasal 351.24

1. Unsur tingkah laku

Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan sering kali jika tidak dicantumkan, sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur-unsur kemampuan bertanggungjawab. Di samping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar atau mengenai objek kejahatan atau perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUH Pidana itu, dapat diketahui adanya unsur tindak pidana yaitu :

2. Unsur melawan hukum

3. Unsur kesalahan

4. Unsur akibat konstitutif

5. Unsur keadaan menyertai

6. Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

8. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana

9. Unsur objek hukum tindak pidana

10.Unsur objek hukum tindak pidana

11.Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana

24


(50)

Dari sebelas unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan

melawan hukum yang termasuk unsur subjektif. Sedangkan sebaliknya berupa unsur objektif, unsur melawan hukum ada kalanya bersifat objektif.

Misalnya melawan hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (Pasal 362). Terletak bahwa dalam mengambil itu di luar persetujuan atau kehendak pemiliknya. Atau pada Pasal 251 pada kalimat tanpa izin perintah juga pada Pasal 253 pemerasan, pengancaman 369, dimana disebutkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan pada Pasal 372 yang besifat subjektif. Artinya terdapat kekerasan bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu merupakan celaan masyarakat.

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum objektif atau subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan objek tindak pidana.

Unsur subjektif adalah semua unsur yang mengenai atau melekat pada keadaan batin orangnya.


(51)

Pengetahuan tentang sifat melawan hukum yang subjektif ini relatif belum lama dan pertama timbul di Jerman. Menurut Mezger, hal adalah buah

usaha orang-orang seperti Von Weber Welel, Maurach dan Bush.25

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

Jadi untuk menyimpulkan apa yang diajukan di atas, maka yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah :

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subjektif

Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan tadi sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri.

Akhirnya ditekankan, bahwa meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subjektif.

25


(52)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Aliran kriminologi baru lahir dari pemikiran yang bertolak pada anggapan

bahwa perilaku yang menyimpang dan disebut dengan kejahatan harus dijelaskan dengan melihat kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat dan menempatkan perilaku menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik sosial masyarakat. Pencurian yang dilakukan oleh seseorang pada waktu bencana sangatlah suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, yang mana orang yang dalam kesusahan seharusnya membutuhkan uluran tangan sehingga dapat membantu meringankan kesusahan yang dialaminya, bukan untuk disusahkan lagi dengan jalan mengambil barang yang dimilikinya.

2. Faktor-faktor yang mengakibatkan seseorang untuk melakukan kejahatan

pencurian adalah faktor ekonomi karena dengan adanya kebutuhan yang sangat banyak, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang harus dengan jalan bekerja, dan yang paling memprihatinkan bagi orang-orang yang belum bekerja, maka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang banyak tersebut sehingga dia melakukan kejahatan dengan mencuri. Sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan keluarganya, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya tersebut.


(53)

3. Dalam mengatasi kejahatan di negara kita, pemerintah harus benar-benar melakukan penegakan hukum dan menerapkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan, dengan diterapkan sanksi tersebut maka orang akan merasa takut untuk melakukan kejahatan. Khususnya bagi para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan disaat orang dalam keadaan musibah misalnya gempa bumi, gunung meletus, kebakaran, pencurian di malam hari, harus dikenakan sanksi yang sangat berat. Maka sanksi yang dijatuhkan pada orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut dapat memberikan efek jera bagi para pelakunya.

B. Saran

1. Harapan kita bagi pemerintah dalam mengatasi bencana alam yang

dialami negara kita saat sekarang, yang mana bencana tersebut bahkan silih berganti datangnya. Maka pemerintah dalam hal ini harus cepat bertindak dan memberikan bantuan baik itu sandang maupun pangan, karena masyarakat yang ketimpa bencana memang sangat membutuhkan hal tersebut. Dalam hal menyalurkan bantuan tersebut harus benar-benar ditujukan bagi orang yang sangat membutuhkannya.

2. Bagi masyarakat yang tertimpa bencana, harus sabar dan banyak intropeksi

diri karena itu semua merupakan ujian dan cobaan dari Tuhan dan bagi pemerintah sendiri ini merupakan suatu hal yang harus dijadikan sebagai masalah nasional, maka dengan dijadikannya masalah tersebut menjadi masalah nasional, maka seluruh rakyat baik yang tertimpa bencana


(54)

maupun yang tidak, harus sama-sama merasakan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Sehingga untuk melakukan kejahatan, maka dia merasakan keadaan yang dialami oleh saudara-saudaranya yang ditimpa bencana.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2005. Bonger WA, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1977

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

Darwan, Asuransi Sinar Mas Mobil Endosemen Huru Hara, Jakarta, 2000 Indrawan W.S. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Merdeka, Jombang Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1984

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, Rajawali, Jakarta, 2003 Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Munir Faudy, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Ramli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Rafika Aditma, Bandung, 2005

Suhartono RM. Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Objektif Sebagai Dasar

Dakwaan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005


(56)

B. Sumber-sumber Lain

Agus Priadi, Maling Mulia Jarah Harta Benda Pengungsi, Waspada, 12 Januari 2006

Budi Setiawan, Merapi Kompas, 5 Mei 2006


(1)

Pengetahuan tentang sifat melawan hukum yang subjektif ini relatif belum lama dan pertama timbul di Jerman. Menurut Mezger, hal adalah buah usaha orang-orang seperti Von Weber Welel, Maurach dan Bush.25

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

Jadi untuk menyimpulkan apa yang diajukan di atas, maka yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah :

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subjektif

Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan tadi sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri.

Akhirnya ditekankan, bahwa meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subjektif.

25


(2)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Aliran kriminologi baru lahir dari pemikiran yang bertolak pada anggapan bahwa perilaku yang menyimpang dan disebut dengan kejahatan harus dijelaskan dengan melihat kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat dan menempatkan perilaku menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik sosial masyarakat. Pencurian yang dilakukan oleh seseorang pada waktu bencana sangatlah suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, yang mana orang yang dalam kesusahan seharusnya membutuhkan uluran tangan sehingga dapat membantu meringankan kesusahan yang dialaminya, bukan untuk disusahkan lagi dengan jalan mengambil barang yang dimilikinya.

2. Faktor-faktor yang mengakibatkan seseorang untuk melakukan kejahatan pencurian adalah faktor ekonomi karena dengan adanya kebutuhan yang sangat banyak, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang harus dengan jalan bekerja, dan yang paling memprihatinkan bagi orang-orang yang belum bekerja, maka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang banyak tersebut sehingga dia melakukan kejahatan dengan mencuri. Sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan keluarganya, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya tersebut.


(3)

3. Dalam mengatasi kejahatan di negara kita, pemerintah harus benar-benar melakukan penegakan hukum dan menerapkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan, dengan diterapkan sanksi tersebut maka orang akan merasa takut untuk melakukan kejahatan. Khususnya bagi para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan disaat orang dalam keadaan musibah misalnya gempa bumi, gunung meletus, kebakaran, pencurian di malam hari, harus dikenakan sanksi yang sangat berat. Maka sanksi yang dijatuhkan pada orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut dapat memberikan efek jera bagi para pelakunya.

B. Saran

1. Harapan kita bagi pemerintah dalam mengatasi bencana alam yang dialami negara kita saat sekarang, yang mana bencana tersebut bahkan silih berganti datangnya. Maka pemerintah dalam hal ini harus cepat bertindak dan memberikan bantuan baik itu sandang maupun pangan, karena masyarakat yang ketimpa bencana memang sangat membutuhkan hal tersebut. Dalam hal menyalurkan bantuan tersebut harus benar-benar ditujukan bagi orang yang sangat membutuhkannya.

2. Bagi masyarakat yang tertimpa bencana, harus sabar dan banyak intropeksi diri karena itu semua merupakan ujian dan cobaan dari Tuhan dan bagi pemerintah sendiri ini merupakan suatu hal yang harus dijadikan sebagai masalah nasional, maka dengan dijadikannya masalah tersebut menjadi masalah nasional, maka seluruh rakyat baik yang tertimpa bencana


(4)

maupun yang tidak, harus sama-sama merasakan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Sehingga untuk melakukan kejahatan, maka dia merasakan keadaan yang dialami oleh saudara-saudaranya yang ditimpa bencana.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2005. Bonger WA, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1977

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

Darwan, Asuransi Sinar Mas Mobil Endosemen Huru Hara, Jakarta, 2000 Indrawan W.S. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Merdeka, Jombang Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1984

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, Rajawali, Jakarta, 2003 Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Munir Faudy, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Ramli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Rafika Aditma, Bandung, 2005

Suhartono RM. Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Objektif Sebagai Dasar

Dakwaan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005


(6)

B. Sumber-sumber Lain

Agus Priadi, Maling Mulia Jarah Harta Benda Pengungsi, Waspada, 12 Januari 2006

Budi Setiawan, Merapi Kompas, 5 Mei 2006