Studi Kualitatif Sosio-Psikologi Masyarakat Terhadap Penyakit Malaria Di Daerah Endemis Malaria (Studi Kasus di Kecamatan Gunung Sitoli, Kabupaten Nias)

H
NEELLIITTIIA
AN
N
HA
ASSIILL PPEEN

STUDI KUALITATIF SOSIO-PSIKOLOGI MASYARAKAT
TERHADAP PENYAKIT MALARIA DI DAERAH ENDEMIS
MALARIA (STUDI KASUS DI KECAMATAN GUNUNGSITOLI,
KABUPATEN NIAS)
Fotarisman Zaluchu1 dan Abdul Jalil Amri Arma2
1

Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan, Provinsi Sumatera Utara
2
Pengajar pada Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM USU

ABSTRACT
Malaria is one of the most communicable diseases in Indonesia. In Nias District,
North Sumatra Province, malaria is prevalent and contributing to the endemic

status of malaria. The previous study showed that human behavior had a
relationship with this disease. the objective of this study is to analyze the dynamic
of this human behavior. This research was designed using qualitative approach.
Key informants were people understanding about this problem and having
experiences with this disease. Using EZ-Text 3.06 developed by CDC, descriptive
method was developed. Located in Gunungsitoli, this study had collected 8 key
informants. The result of study showed that people in endemic area tend to manage
their problem by using their own perception and knowledge. While they felt
“fever”, for instance, they had their own “diagnostic” for malaria disease. They
were familiar buying “pil kina” as a drug for malaria. As a culture, they did not
thought malaria as a problem. This study recommend that the community behavior
towards malaria have to be changed in order to prevent the resistance of malaria
drug in Nias.
Keywords: Endemic disease, Malaria, Human behavior, Socio psichological factors
PENDAHULUAN
Penyakit malaria merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Menurut laporan
World Health Organization (WHO), pada
tahun 1998 setiap tahunnya 1-2 juta
penduduk dunia mati karena tertular penyakit

ini, dari prevalensi malaria sebanyak 270 juta
penduduk setiap tahunnya (Agoes, 1998).
Bahkan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
(Balitbangkes)
Departemen
Kesehatan RI pada tahun 1996/1997
memperkirakan 40% penduduk dunia
terancam infeksi ini dan jumlah prevalensi
tercatat 200 - 300 juta tiap tahunnya. Annual
Parasite Incidence (API) malaria yang
menurun dari 0,21 per 1000 penduduk pada
tahun 1989 menjadi 0,09 per 1000 penduduk
pada tahun 1996 di Jawa-Bali, meningkat
lagi menjadi 0,2 per 1000 penduduk pada

tahun 1998. Parasite Rate (PR) malaria di
luar Jawa-Bali yang semula sebesar 3,97
persen pada tahun 1995 meningkat menjadi
4,78 persen pada tahun 1997.

Penyakit ini bahkan disebut sebagai
emerging disease, yaitu salah satu penyakit
menular yang insidensinya pada manusia
bertambah atau meningkat pada dua dekade
terakhir ini. Hal ini dikarenakan karena
malaria menunjukkan wujud epidemiologis
dan klinis yang berbeda dari sebelumnya dan
dikhawatirkan akan mengancam jumlah
penduduk dunia di masa yang akan datang
(Agoes, 1998).
Penyakit malaria merupakan penyakit
yang endemis di daerah tropis termasuk di
Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah
Tangga tahun 2001, terdapat 15 juta kasus
malaria dengan 38.000 kematian setiap
tahunnya dan diperkirakan 35% penduduk

18
Universitas Sumatera Utara


Indonesia tinggal di daerah berisiko tertular
malaria. Dari 293 Kabupeten/Kota yang ada
di Indonesia,167 Kabupaten/Kota merupakan
wilayah endemis malaria (Depkes, 2006).
Angka kesakitan malaria di Jawa dan Bali
annual parasite incidence (API) pada tahun
2000 sebesar 0,81‰ turun menjadi 0,15‰
pada tahun 2004. Untuk di Luar Jawa dan
Bali, annual malaria incidence (AMI) pada
tahun 2000 sebesar 31,09‰ turun menjadi
20,57‰ pada tahun 2004. Namun sejak
1997-2005 kejadian luar biasa (KLB) malaria
masih sering terjadi, dengan jumlah kasus
32.987 penderita dan 559 kematian akibat
malaria dan case fatality rate (CFR) malaria
berat yang dilaporkan dari beberapa rumah
sakit berkisar 10-50% (Depkes, 2006). Di
Indonesia, malaria merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena
menyebabkan 14% kematian dari jumlah

kematian di rumah sakit dan juga menjadi
sebab 20% kunjungan ke fasilitas kesehatan
(Santoso dkk, 1994).
Di Sumatera Utara sendiri, PR
menunjukkan kenaikan, yaitu dari 2,21%
pada tahun 1992, dan menjadi 5,67% pada
tahun 1993 (SKRT, 1994). Data Dinas
Kesehatan Kabupaten Nias diperoleh
keterangan bahwa pada tahun 2005 penyakit
malaria menempati urutan pertama dari
sepuluh penyakit utama di Kabupaten Nias,
yaitu sebanyak 23.237 kasus (34,45%).
Penyakit malaria merupakan penyakit yang
endemis di Kabupaten Nias (Harijanto,
2000). Upaya pemberantasan telah di
laksanakan, namun angka kesakitan malaria
masih tinggi hal ini terbukti dengan AMI
Kabupaten Nias masih tinggi, yaitu tahun
2004 85,78‰, tahun 2005 52,02 ‰ dan
tahun 2006 42,12‰. Di samping tingginya

AMI
yang
memperlihatkan
bahwa
pelaksanaan program pengendalian malaria
belum mencapai hasil yang diharapkan, juga
ditunjukkan dengan adanya KLB malaria di
Nias tahun 2005 sejumlah 253 kasus,
kematian 2 orang dengan AR = 2,97% dan
CFR = 0,79% (Dinas Kesehatan Kabupaten
Nias, 2006)
Jika dibandingkan dengan jumlah
seluruh penderita malaria klinis di Propinsi
Sumatera Utara, yaitu sebesar 79.472 orang
maka Kabupaten Nias mencapai 63%
diantaranya, dengan Annual Malaria
Incidence (AMI) tahun 1998 tertinggi
diantara seluruh kabupaten di Propinsi

Sumatera Utara, yaitu sebesar 73,01 (Profil

Kesehatan Sumatera Utara, 1999).
Tingginya angka kejadian penyakit
malaria ini berhubungan erat dengan
beberapa faktor, dan yang terpenting
diantaranya berkaitan dengan lingkungan.
Pemberantasan ditujukan kepada perubahan
dan modifikasi lingkungan seperti pembuatan
kolam ikan, penggunaan vektor biologi
pemakan jentik nyamuk, dan intervensi
menggunakan buku petunjuk dan petugas
lapangan malaria. Akan tetapi yang pernah
dilakukan di atas merupakan tindakan
intervensi yang ditujukan kepada upaya
mencegah vektor mempengaruhi manusia
dan belum pada perubahan manusianya
sendiri.
Lingkungan
sebagai
tempat
berkembangnya vektor malaria banyak

dipengaruhi oleh faktor sosio psikologi
(Belding, 1958; WHO, 1986). Padahal,
pengendalian terhadap faktor tersebut akan
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap penyebaran malaria (WHO, 1986).
Hasil penelitian ini akan menjadi masukan
berarti bagi pengelolaan lingkungan, secara
khusus untuk menghasilkan lingkungan yang
baik dan what bagi semua orang untuk
kelangsungan kehidupannya. Pengetahuan
yang lebih baik tentang faktor-faktor ini juga
akan dapat memberikan jalan keluar yang
lebih
baik,
efektif,
efisien
dalam
pengendalian malaria (WHO, 1986).
Kabupaten Nias, merupakan salah satu
Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dan

merupakan sebuah pulau yang dikelilingi
oleh lautan. Pulau ini yang sekaligus
merupakan satu kabupaten memanjang dari
Utara ke Selatan dengan panjang 120 km
dengan lebar Timur ke Barat 40 km. Luas
seluruh pulau ini termasuk pulau-pulau kecil
di sekitarnya adalah 5.625 km2 yang
sebagian besar masih ditutupi oleh hutan
sekunder (Gulo, 1983). Hujan dan kemarau
silih berganti sepanjang tahun. Penduduk,
yang sebagian besar merupakan penduduk
miskin (berdasarkan klasifikasi Bappenas,
seluruh desa di Nias merupakan penerima
Inpres Desa Tertinggal, 1996) menyesuaikan
kegiatan pertanian subsisten mereka dengan
musim tersebut. Di pulau ini terdapat
beberapa sungai besar, akan tetapi sangat
dangkal sehingga tidak merupakan sarana
transportasi. Struktur tanah muda membuat
banyak sarana jalan rusak cepat. Akibatnya


Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25)
19
Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
Universitas Sumatera Utara

pada sebagian besar daerah, sulit dijangkau
oleh kendaraan umum. Nias mempunyai
potensi alam untuk pariwisata dan
lingkungan sehingga sektor pariwisata
merupakan salah satu sumber pendapatan
bagi daerah ini. Dengan demikian,
penanggulangan malaria di Kabupaten Nias
bukan hanya berdampak positip kepada
kesehatan masyarakat namun juga akan
mampu untuk menarik kunjungan turis ke
daerah ini. Karena malaria erat kaitannya
dengan produktivitas masyarakat, maka
penanggulangannya
diharapkan

akan
berdampak pada peningkatan kemampuan
ekonomi masyarakat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui sosio-psikologi masyarakat
terhadap penyakit malaria. Beberapa
penelitian yang dilakukan terdahulu di
Kabupaten Nias, antara lain Boewono dan
Nalim (1996), Dewi dkk (1996), dan
Boewono dkk (1997) telah meneliti
keberadaan vektor penyakit malaria ini dan
merekomendasikan
penelitian
sosiopsikologi. Dengan demikian, hasil penelitian
ini dibarapkan akan dapat menghasilkan
masukan bagi program pemberantasan
malaria yang lebih efektif di daerah yang
lebih spesifik (WHO, 1986).
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan pendekatan
kualitatif. Sampel didapatkan dengan
menggunakan metode snow ball dan
menemukan 8 orang informan kunci (key
informan). Analisa menggunakan pendekatan
deskriptif dibantu dengan software khusus
kualitatif EZ-Text 3,06 dari CDC.
Lokasi penelitian dipusatkan di
Kecamatan Gunungsitoli dengan asumsi
bahwa komunikasi dengan informan akan
lebih mudah dilakukan. Syarat informan
adalah tokoh masyarakat yang mengetahui
bagaimana
perilaku
masyarakat
di
Kecamatan Gunungsitoli, memiliki waktu
dan
bisa
berkomunikasi.
Pertanyaan
penelitian
dipersiapkan
dengan
menggunakan panduan wawancara dengan
alat bantu tape recorder dan catatan
wawancara selama wawancara dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit malaria ini umumnya berdasarkan

20

gejala. Seperti diuraikan oleh salah seorang
informan,
"....jika seseorang mengalami demam tinggi
(faaukhu) dan menggigil (o'afu) selama 2-3
hari itu pasti terkena malaria..."

Pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap malaria ini dibandingkan dengan
beberapa penelitian memiliki variasi sesuai
dengan kondisi setempat. Di Banjanegara
dan Temanggung, penelitian yang dilakukan
menunjukkan
bahwa
hanya
sedikit
masyarakat yang mengetahui dengan benar
tentang gejala dan tanda-tanda malaria.
Sementara di Berakit, Riau Kepualauan,
penelitian yang dilakukan pada tahun 1983
menunjukkan
bahwa
secara
umum
masyarakat mengetahui mengenai gejala
tanda-tanda malaria. Penelitian yang
dilakukan di 3 desa Jawa Tengah juga
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
penduduk
mengetahui
dengan
benar
permasalahan
malaria
(Santoso
dan
Kasnodihardjo, 1991).
Kondisi desa penelitian yang secara
umum telah lama menjadi daerah endemis
serta transportasi yang mudah dijangkau,
menyebabkan informasi dan program
kesehatan menjadi lebih mudah didapatkan
dan diperoleh masyarakat. Masyarakat dari
dirinya sendiri sudah membangun persepsi
bahwa yang namanya malaria berhubungan
dengan demam dan menggigil.
Salah
seorang
informan
lain
mengungkapkan,
”....biasanya seluruh sendi kita terasa sakit
dan tidak enak. Kadang-kadang disertai
dengan sakit kepala yang berkepanjangan.”

Manusia
memang
belajar
dari
pengalamannya.
Informan
menyatakan
bahwa malaria pernah terjadi pada mereka
bahkan ada informan yang pernah terserang
lebih dari satu kali.
Secara teoritis, masa inkubasi malaria
adalah antara 12 sampai 30 hari. Penularan
terjadi dengan perantaraan gigitan nyamuk
Anopheles sp. Di Indonesia terdapat 93
spesies Anopheles yang dapat merupakan
vektor penyakit malaria, dan 18 diantaranya
telah dikonfirmasi (Kirnowardoyo, 1991).
Beberapa jenis Anopheles yang terpenting di
antaranya adalah Anopheles sundaicus,
Anopheles aconitus, Anopheles maculatus,
Anopheles leucoshyrus, dan Anopheles

Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25)
Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
Universitas Sumatera Utara

hyrcanus. Penderita memiliki gejala sakit
kepala, lesu, diikuti demam tinggi seringkali
disertai meracau dan menggigil, diakhiri
berkeringat banyak. Plasmodium sp. dapat
pula menyerang otak menyebabkan Malaria
cerebralis dengan gejela-gejala kaku kuduk,
kesadaran menurun seperti pada gejala
radang otak lainnya. (Entjang, 1997).
Manusia merupakan cumber utama
dari penyebaran parasit malaria. Walaupun
ada indikasi bahwa primata yang lain dapat
merupakan sumber infeksi, akan tetapi masih
belum cukup bukti untuk menyatakan
keterlibatan tersebut (McGregor, 1985).
Menurut Bruce-Chiralt (1985), jenis kelamin
dan umur tidak penting dalam penularan
malaria ini, tetapi anak-anak memiliki
kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan orang dewasa.
Penduduk asli di suatu daerah endemik
masih juga dapat terkena infeksi; hanya
gejala klinik biasanya lebih ringan. Di antara
penduduk asli secara alami ada yang tidak
mudah dan mudah sekali terkena infeksi
malaria. Bayi yang baru lahir di daerah
endemik sering sekali masih mempunyai
kekebalan yang didapat dari ibunya.
Perpindahan penduduk ke dan dari daerah
endemik masih menimbulkan masalah
malaria (Oemijati, 1991).
Lingkungan sosial budaya dan
ekonomi setempat juga mempengaruhi besar
kecilnya kontak antara manusia dengan
vektor (Oemijati, 1991). Berbagai kebiasaan
seperti cara membuat rumah, cara bertani dan
adat kebiasaan lainnya dapat menambah
kontak antara manusia dengan vektor. Di
Indonesia bagian Timur, orang membangun
rumah dengan dinding yang dibuat dari gabagaba, yaitu batang daun pohon sagu. Dinding
rumah seperti itu biasanya tidak rapat
sehingga nyamuk dengan mudah dapat
masuk ke dalam rumah. Kebiasaan
menunggui ladang selama bercocok tanam
dan tidur di pondok-pondok yang sangat
sederhana sangat menambah pemaparan
(exposure). Juga bekerja di hutan dan
berburu yang mengharuskan seseorang
bermalam
di
hutan
sering
kali
mengakibatkan terjadinya malaria. Kelambu
yang sudah dipunyai sebagian besar
masyarakat pedesaan, wring sangat kurang
penggunaannya. Karena udara panas orang

lebih suka tidur tanpa kelambu, dan ini
menambah pemaparan.
Perilaku
manusia
terhadap
lingkungannya merupakan faktor penting
dalam penyakit malaria ini. Penelitian
Santoso
dan
Kasnodihardjo
(1991),
Kirnowardoyo
(1991)
dan
berbagai
penelitian lainnya menunjukkan bahwa
perilaku masyarakat terhadap perumahan dan
lingkungan merupakan penyebab kerentanan
penyebaran malaria di daerah penelitian.
Pengetahuan yang rendah menenai malaria,
pencegahan dan pengobatannya, sikap dan
pandangan budaya yang tidak waspada
terhadap malaria serta tindakan di
lingkungan
pemukiman,
merupakan
pendukung bagi hadirnya vektor malaria.
(Oemijati, 1991).
Uniknya, masyarakat sendiri telah pula
mengetahui bagaimana meresponi apa yang
dialaminya. Seperti diuraikan oleh salah
seorang informan, mengenai pengobatan,
informan umumnya telah ”mengetahui”
obatnya,
"... dulu, biasanya masyarakat memakai
Bintang Tujuh. Tetapi sekarang ini, mereka
sudah tahu tentang kholoroquin. Mereka
biasanya kalau sudah mengalami demam
sampai 3 hari, langsung meminum obat
malaria atau biasa juga disebut dengan pil
kina tersebut..."

Ketika ditelusuri mengenai sumber
pengetahuan tersebut, ternyata mereka
mendapatkanya dari pengalaman sendiri dan
juga informasi dari teman yang memberikan
informasi tersebut kepada mereka. Ungkapan
salah seorang informan adalah sebagai
berikut,
”....biasanya masyarakat yang sudah pernah
diberikan obat kina tidak perlu ke dokter
lagi. Mereka biasa mendapatkannya di
apotek..”

Pengobatan dengan cara seperti ini
merupakan suatu hal yang tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang dilakukan di
Banjarnegara dan Temanggung. Ditemukan
bahwa bila penduduknya ”merasa” sakit
malaria penyembuhannya dengan cara
minum pil. Pola yang sama juga ditemukan
di 3 desa di Jawa Tengah (Santoso dan
Kasnodihardjo, 1991).
Masalah yang menjadi kekhawatiran
adalah walaupun mereka tahu bahwa
pengobatan
malaria
adalah
dengan

Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25)
21
Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
Universitas Sumatera Utara

kholoroquin atau sejenisnya, mereka
kebanyakan melakukan pengobatan dengan
cara yang tidak benar. Seorang informan
mengungkapkannya:

masih tetap bisa bekerja. Kalau demam, ia
kan tinggal meminum obat. Jadi, tidak perlu
menganggap malaria itu sebagai penyakit
yang berbahaya..."

"... setelah merasa bahwa demamnya sudah
sembuh dan mereka dapat kembali bekerja,
biasnya
masyarakat
mengira
bahwa
malarianya
sudah
sembuh.
Mereka
mengentikan meminum obat tersebut lalu
kembali meminumnya jika demam dan panas
kambuh lagi..."

Sarwono (1997) mengutip Sudarti
menjelaskan keadaan ini dengan menyatakan
bahwa umumnya masyarakat tradisional
memandang seseorang sebagai sakit jika
orang itu kehilangan nafsu makannya atau
gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan
tugasnya sehari-hari secara optimal atau
kehilangan kekuatan sehingga harus tinggal
di tempat tidur. Dilanjutkannya, selama
seseorang masih mampu melaksanakan
fungsinya seperti biasa maka orang itu masih
dikatakan sehat. Dan akibatnya, masyarakat
cenderung tidak perduli dengan keadaan
rumah dan lingkungannya.

Dikhawatirkan, cara pengobatan yang
tidak sesuai dengan petunjuk pemakaian obat
ini akan dapat menimbulkan resistensi
terhadap pengobatan malaria. Penelitian yang
dilakukan di sejumlah tempat endemik
malaria di Indonesia oleh Din Safrudin dan
kawan-kawan
(1999-2000)
ternyata
menemukan bahwa di daerah seperti
Lampung, Nias dan Kalimantan Timur 100%
dari parasit malarianya mempunyai mutasi
gen di tubuh parasit malaria (dalam Majalah
Tempo, 19 Maret 2000).
Akibatnya, karena masyarakat sudah
mengetahui
sendiri
”obatnya”
maka
masyarakat mengganggap bahwa bahwa
malaria tidak berbahaya, atau penyakit biasa
dan bahkan menyatakan bahwa malaria
bukan penyakit menular yang harus
dikuatirkan. Seperti diungkapkan oleh salah
seorang informan.
"...malaria dulu menjadi momok bagi
penduduk. Tetapi sekarang sudah tidak
demikian. Malaria seperti sudah menjadi
penyakit masyarakat..."
Yang lainnya,” ah, tidak perlu kuatirlah,
kan hanya tinggal minum obatnya...”

Malaria yang telah sekian lama
menjadi suatu penyakit masyarakat, dianggap
tidak lagi menjadi penyakit yang berbahaya.
Salah seorang informan bahkan menyatakan
bahwa malaria adalah bagian dari budaya
mereka.
"Bagi saya, malaria itu telah menjadi tradisi
di masyarakat. Malaria adalah penyakit
budaya. Tidak ada seorangpun di
masyarakat yang tidak tahu apa itu
malaria..."

Anggapan bahwa malaria merupakan
penyakit biasa dan tidak menular juga
diungkapkan oleh seorang informan.
"Masyarakat menganggap bahwa malaria
tidak menimbulkan apa-apa bagi dirinya. Ia

22

"Mengenai rumah, yah apa adanya saja.
Masyarakat kita tidak tahu apakah itu
memenui syarat kesehatan atau tidak. Yang
penting, mereka sudah mempunyai rumah.
Soal apakah lingkungan mereka terjaga atau
tidak, itu lain hal lagi. Manalah masuk
dalam pengertiannya tentang malaria itu"

Temuan-temuan di atas merupakan
penemuan yang sejalan dengan penelitian
yang dilakukan di Berakit, Riau dan Jawa
Tengah yang merupakan salah satu daerah
hiperendemik malaria. Masyarakat di daerah
tersebut
tidak
melakukan
tindakan
pencegahan terhadap kemungkinan tertular
malaria, karena menganggap bahwa malaria
bukan merupakan penyakit menular dan
tidak berbahaya, dan merupakan penyakit
biasa karena dalam kehidupan sehari-hari
penderita malaria masih tetap bekerja
(Santoso dan Kasnodihardjo, 1991).
Menurut Notoatmodjo (1993), persepsi
terhadap keadaan sakit menyebabkan
masyarakat tidak bertindak atau tidak
melakukan kegiatan apa-apa terhadap
penyakitnya tersebut. Tetapi jika sakit,
perilaku yang dilakukan adalah justru juga
tetap tidak bertindak oleh karena kondisi
yang demikian tidak menganggu kegiatan
atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin
mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak
apa-apapun simptom yang dideritanya akan
lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula
masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lain
yang dianggap lebih penting daripada
mengobati sakitnya. Atau perilaku yang
dilakukan adalah melakukan tindakan

Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25)
Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
Universitas Sumatera Utara

pengobatan sendiri dengan salah satu alasan
yaitu kepercayaan pada diri sendiri dan sudah
merasa bahwa berdasarkan pengalamanpengalaman
yang
lalu
usaha-usaha
pengobatan
sendiri
sudah
dapat
mendatangkan kesembuhan.
Menurut Notoatmodjo, perilaku lain
juga dapat terjadi yaitu masyarakat mencari
pengobatan dengan membeli obat-obat di
warung-warung obat dan sejenisnya. Pilihan
terhadap pengobatan ke fasilitas-fasilitas
kesehatan modern dan dokter hanyalah
pilihan terakhir dari masyarakat. Perilaku
tersebut menunjukkan adanya penyimpangan
yang akhirnya dapat membahayakan
kehidupannya sendiri (Salan, 1988).
Masalah ini merupakan suatu problema
kesehatan, oleh karena sebagian besar
masyarakat masih menganggap bahwa
kesehatan adalah kepentingan sekunder, yang
dapat diabaikan oleh kepentingan primer
yaitu makanan dan tempat perlindungan.
Sajono (1995) menyatakan bahwa dalam
masyarakat dimana sebagian anggotanya
menderita malaria misalnya, hal itu
dipandang
normal
dalam
kehidupan
masyarakat tersebut.
WHO (dalam Notoatmodjo, 1993)
menganalisa bahwa yang menyebabkan
seseorang itu berperilaku tertentu adalah
karena adanya 4 (empat) alasan pokok yaitu
Pertama. Pemikiran dan perasaan (thoughts
and
feeling),
yakni
dalam
bentuk
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaankepercayaan,
dan
penilaian-penilaian
seseorang
terhadap
objek
kesehatan.
Pengetahuan diperoleh dari pengelaman
sendiri atau pengelaman orang lain.
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua,
kakek atau nenek. Seseorang menerima
kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan
tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.
Sikap menggambarkan suka atau tidak suka
seseorang terhadap objek. Sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari
orang lain yang paling dekat. Sikap membuat
seseorang mendekati atau menjauhi orang
lain atau objek lain. Sikap positif terhadap
nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud
dalam tindakan nyata. Akan tetapi, sikap
dipengaruhi oleh situasi seat itu, acuan
terhadap pengalaman orang lain, pengalaman
dan nilai di masyarakat.
Kedua, referensi akan mempengaruhi
perilaku orang. Apabila seseorang itu penting

untuknya, maka apa yang ia katakan atau
perbuat cenderung untuk dicontoh. Orangorang yang dianggap penting ini disebut
kelompok referensi (referensi group), antara
lain guru, kepala adat (suku), kepala desa,
dan sebagainya.
Ketiga, sumber daya (resources),
mencakup uang, waktu, tenaga, dan
sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap
perilaku
seseorang
atau
kelompok
masyarakat. Pengaruh sumber-sumber daya
terhadap perilaku dapat bersifat positif
maupun negatif
Keempat, perilaku normal, kebiasan,
nilai-nilai, dan penggunaan somber-somber
di dalam masyarakat akan menghasilkan
suatu pola hidup (way of life) yang pada
umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan
ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai
akibat dan kehidupan suatu masyarakat
bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik
lambat ataupun cepat, sesuai dengan
peradaban umat manusia. Kebudayaan atau
pola hidup, masyarakat di sini merupakan
kombinasi dari semua yang telah disebutkan
sebelumnya. Perilaku normal adalah salah
satu aspek dari kebudayaan den selanjutnya
kebudayaan mempenyai pengaruh yang
dalam terhadap perilaku ini.
Berkaitan dengan penyakit, maka di
masyarakat terdapat perbedaan dalam
meresponi interaksi terhadap penyakit.
Masyarakat memiliki pandangan yang
beraneka ragam mengenai konsep sehat-sakit
(Notoatmodjo, 1993). Penyakit (disease)
adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap
suatu organisme, benda asing, atau luka
(injury). Hal ini adalah suatu fenomena yang
objektif yang ditandai oleh perubahan fungsifungsi tubuh sebagai organisme biologis.
Sedangkan sakit (illnes) adalah penilaian
seseorang terhadap penyakit sehubungan
dengan
pengalaman
yang
langsung
dialaminya. Hal ini merupakan fenomena
(subjektif) yang ditandai dengan perasaan
tidak enak (feeling unwell). Batasan tersebut
akan dapat menjelaskan misalnya kenapa
seseorang secara objektif dapat terkena
penyakit, namun dia tidak merasa sakit. Atau
sebaliknya seseorang merasa sakit atau
merasakan sesuatu di dalam tubuhnya tetapi
dari pemeriksaan klinis tidak diperoleh bukti
bahwa is sakit
Perilaku sakit diartikan sebagai segala
bentuk tindakan yang diperlukan oleh

Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25)
23
Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
Universitas Sumatera Utara

individu yang sedang sakit agar memperoleh
kesembuhan, sedangkan perilaku sehat
adalah tindakan yang dilakukan individu
untuk memelihara den meningkatkan
kesehatannya,
termasuk
pencegahan
penyakit, perawatan kebersihan diri (personal
hygiene); penjagaan kebugaran melalui
olahraga den makanan bergizi (Sarwono,
1997).
Secara khusus, menurut Yukaida
(1997) pandangan masyarakat mengenai
perilaku kuat ini memiliki variasi antara lain
merasa kuat bila tidak ada gangguan fisik,
merasa kuat walaupun ada gangguan fisik
tetapi masih mampu melakukan aktivitas,
merasa kuat walaupun ada gangguan psikis
tetapi masih mampu melakukan aktivitas,
merasa kuat melakukan aktivitas dengan
anggota fisik yang tidak lengkap (cacat).
Dari pengertian tersebut, terdapat
subjektivitas pengertian sehat di masyarakat,
secara khusus untuk ketiga pengertian
terakhir. Subjektivitas tersebut, selanjutnya
menurut Yukaida (1997) disebabkan oleh
faktor ekonomi, faktor budaya, serta faktor
sosial. Ketiga faktor ini pulalah yang akan
menyebabkan
perbedaan
pengertian
masyarakat mengenai konsep sakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
penelitian
dapat
disimpulkan bahwa terdapat keyakinan di
masyarakat bahwa malaria adalah merupakan
masalah biasa yang bisa mereka tangani
sendiri dengan menggunakan pengetahuan
yang sudah mereka dapatkan sebelumnya.
Sebagai daerah endemis malaria, masyarakat
terbiasa menggunakan obat yang umumnya
mudah mereka dapatkan. Hal inilah yang
bisa menyebabkan resistensi terhadap
program pengobatan.
Disarankan untuk segera mengubah
pola perilaku demikian karena akan
menimbulkan kegagalan terhadap pencegahan dan pengobatan malaria. Pendekatan
pendidikan perilaku bisa diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, R. 1998. Pemanasan Global dan
Antisipasi Dampaknya pada Perubahan
pola Sebar Penyakit Menular. Dalam
Manusia, Kesehatan dan Lingkungan
(Editor Kudwiratni Setiono, Johan Sm,
Anna A). Bandung, Alumni: halaman
77-94

24

Belding, DL. 1958. Basic Clinical
Parasitology.
Appleton-CenturyCrofts, Inc. New York. p87-121
Boewono, DT; S. Nalim; T. Sularto;
Mujiono;
dan
Sukarno.
1997.
Penentuan
Vektor
Malaria
di
Kecamatan Teluk Dalam Nias. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran No. 118
halaman 9-14
Bruce-Chiralt,
L.J.
1985.
Essential
Malariology.
A
Wiley-Medical
Publication
Depkes RI. 2006. Pedoman Penatalaksanaan
Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI
Dewi, R.M; HA. Marwoto; S. Nalim;
Sekartuti dan E. Tjitra. 1996.
Penelitian Malaria di Kecamatan Teluk
Dalam, Nias. Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran No. 106 halaman 5-9
Dinkes Kabupaten Nias. 2006. Profil
Kesehatan Kabupaten Nias Tahun
2005. Gunungsitoli: Dinas Kesehatan
Entjang,
I.
1997.
Ilmu
Kesehatan
Masyarakat. Bandung: Citra Aditya
Bakti
Gulo, W. 1983. Benih Yang Tumbuh BNKP.
Salatiga: Percetakan Satya Wacana
halaman 3
Kirnowardoyo, S. 1991. Penelitian Vektor
Malaria yang Dilakukan Oleh Institusi
Kesehatan Tahun 1975-1990. Jakarta:
Buletin Penelitian Kesehatan Nomor
19 (4) 1991 halaman 24-31
Majalah Mingguan Tempo. Edisi 13-19
Maret 2000 halaman 48-49 Majalah
Mingguan Tempo. Edisi 15-21 Mei
2000 halaman 73
McGregor, LA. 1985. Malaria. Epidemiology
and The Community Control of
Disease in Warm Climate Countries
(Editor Derek Robinson) Churchill
Livingstone.
Edinburgh
London
Melbourne and New York.
Notoatmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan
Kesehatan
dan
Ilmu
Perilaku
Kesehatan. Jogjakarta: Andi Offset
Oemijati, S. 1991. Masalah Malaria di
Indonesia.
Kumpulan
Makalah
Simposium Malaria (Editor Wita
Pribadi, Rusli Muljono dan Inge
Sutanto).
Jakarta:
Fakultas
Kedokteran-Universitas
Indonesia
halaman 1-8

Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25)
Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
Universitas Sumatera Utara

Sajono. 1995. Manusia, Masyarakat dan
Kesehatan. Jakarta: Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Tahun XXIII,
Nomor 7 halaman 479-497
Salan, R. 1988. Perilaku Kesehatan, Perilaku
Kesakitan dan Peranan Sakit (Suatu
Introduksi). Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran, No. 51 halaman 31-34
Santoso, SS; Bintari Rukmono; Wita Pribadi;
Sri Soewasti Soetanto; dan Sudarti.
1994.
Pengetahuan,
Pengalaman,
Pandangan dan Pola Pencarian
Pengobatan Tentang Penyakit Malaria
di Daerah Hiper Endemik Mimika
Timur, Irian Jaya. Jakarta: Buletin
Penelitian Kesehatan No. 22(3)
halaman 24-38
Santoso, SS dan Kasnodihardjo. 1991. Suatu
Tinjauan Aspek Sosial Budaya Dalam
Kaitannya Dengan Penularan dan
Penanggulangan Malaria. Jakarta:
Buletin Penelitian Kesehatan No. 19
(4) halaman 42-50

Santoso, SS; Sunanti Zalbawi, dan Wita
Pribadi.
1995.
Penanggulangan
penyakit Malaria Melalui Peran Serta
Masyarakat
di
Berakit,
Riau
Kepulauan. Jakarta: Jurnal Jaringan
Epidemiologi Nasional, Edisi 2
halaman 21-27
Santoso SS, dan Wita Pribadi. 1996.
Pengaruh Buku Panduan Malaria
terhadap Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku di Daerah yang Berdekatan
dengan Penelitian. Jakarta: Majalah
Kesehatan Masyarakat Indonesia,
tahun XXIV, Nomor 8 halaman 514520
Sarwono, S. 1997. Sosiologi Kesehatan,
beberapa Konsep Beserta Aplikasinya.
Jogjakarta: GM University Press
WHO. 1986. WHO Expert Committee on
Malaria (8th Report), Technical Report
Series. Geneva
WHO. 1999. World Health Report 1999.
Geneva.
Yukaida, N. 1997. Tinjauan Konsep Sehat
dan Sakit Serta Status Kesehatan di
Masyarakat.
Jakarta:
Majalah
Kesehatan Masyarakat Indonesia,
Tahun XXV, Nomor I halaman 9-12

Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25)
25
Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma
Universitas Sumatera Utara