1.4.2 Manfaat Praktis
Penulisan ini juga bermanfaat untuk orang-orang yang bergelut di dalam bidang ilmu pengetahuan, terlebih yang menjalani profesi dalam bidang sastra
untuk mendalami lagi tentang kepenyairan SCB dalam mengkritik keadaan sosial masyarakat dan perbedaan kelas sosial yang terjadi lewat cerpen-cerpennya.
Bagi Penulis, hasil penulisan ini juga dapat menambah wawasan tentang salah satu pengarang dalam sastra yang terkenal sebagai penulis puisi namun juga
telah menulis
cerpen untuk
menunjukkan masalah-masalah
sosial masyarakat.Penelitian ini juga bermanfaat sebagai syarat kelulusan dari program
S1 Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
1.5 Tinjauan Pustaka
Ketenarannya dalam karya sastra yang berbentuk puisi membuat SCB sedikit dilupakan dalam karyanya yang lain. Hal ini membuat karya SCB yang
lain tidak banyak dibicarakan di dalam penelitian. Hal ini tentu tidak boleh terjadi karena karya SCB yang berbentuk cerpen sangat menarik untuk dibicarakan.
Puisinya memang sudah banyak diteliti oleh berbagai kalangan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang beragam. Terlebih kumpulan puisi O,
Amuk, Kapak yang terkenal inkonvensional dan mampu mendobrak kelesuan sastra Indonesia pada tahun 70-an. Akan tetapi, sejauh ini Penulis belum
menemukan peneliti lain yang berusaha meneliti cerpen-cerpenya dalam tulisan resmi seperti artikel ilmiah.
Adapun penelitian tentang cerpen SCB berjudul “hujan.” Akan tetapi
penelitian tersebut tidak berkaitan langsung dengan sastra karena menganalisis cerpen “hujan” karya SCB dari aspek kebahasaannya. Tentunya hal ini menjadi
tantangan bagi Penulis untuk mengungkap karya cerpen SCB yang sebenarnya penuh dengan permasalahan sosial masyarakat. Apalagi masalah-masalah tersebut
berakar dari permasalahan modal yang menjadi salah satu pilar penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Dalam hal ini, penulis mencoba melihat ketiga cerpen yang dipilih dengan cara pandang yang baru yaitu berkaitan dengan isi di dalam cerita yang
mengandung masalah-masalah sosial. Sejauh yang penulis ketehui, penelitian ini bisa dikatakan sebagai sebuah penelitian yang baru karena belum ditemukannya
penelitian yang menjadikan cerpen Hujan Menulis Ayam sebagai objek penelitiannya.
1.6 Landasan Teori
Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik. Setelah suatu ilmu pengetahuan berhasil mengabstraksikan keseluruhan konsepnya ke dalam suatu
rumusan ilmiahyang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu sendiri, maka teori tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga cabang-cabang ilmu
pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam Ratna, 2004: 1-2.
Karya sastra merupakan sebuah fakta yang terlahir sebagai bagian dari berbagai permasalahan dan situasi konkret yang dihadapi manusia di luar faktanya
sebagai pembangun makna. Dengan itu, hendak dinyatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah fakta kemanusiaan Faruk, 2012: 90.
1.6.1 Pendekatan Sosiologi Sastra
Teori sangat penting untuk membongkar dan mengungkap hal yang ada di dalam sebuah karya satra. Dalam ketiga cerpen SCB yang telah dipilih, penulis
akan menggunakan Sosiologi Sastra untuk menganalisisnya. Sosiologi sastra adalah sebuah ilmu yang menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada di
dalam masyarakat. Sosiologi sastra muncul karena perkembangan masyarakat yang begitu pesat sehingga kajian sosiologis dibutuhkan dalam hal ini.
Hubungan karya sastra denga masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra
mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan,
maupun memberikan
pengakuan terhadap
suatu gejala
kemasyarakatan Ratna, 2004: 334. Sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan
masyarakat. Salah satu caranya adalah menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya
dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi Ratna, 2004: 340.
Oleh sebab itu penulis akan menggunakan dua teori untuk membedah ketiga cerpen yang sudah dipilih. Penulis akan menggunakan teori kekerasan
simbolik yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu untuk menganalisis PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
permasalahan relasi sosial masyarakat. Namun sebelumnya akan dibahas terlebih dahulu konsep dasar dari pemikiran Pierre Bourdieu berkaitan dengan masalah
modal, kelas, habitus, kekerasan dan kekuasaan.
1.6.2 Perspektif Pierre Bourdieu
Pada dasarnya pemikiran Pierre Bourdieu menunjuk pada masalah- masalah sosial. Permasalahan itu adalah modal, kelas, habitus, arena, dan
kekerasan simbolik. Bila permasalahan-permasalahan itu dapat dipecahkan, relasi kekuasaan yang ada di dalamnya akan terkuak.
Relasi adalah hubungan antara dua kelompok ataupun individu. Di dalam sebuah relasi akan ada pihak yang mendominasi dan pihak yang terdominasi.
Perbedaan itulah yang membuat adanya permasalahan dalam sebuah relasi. Sehingga bisa melahirkan relasi kekuasan. Istilah itu menunjukkan adanya
kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori strukturasi
kekuasaan dan kekerasan simbolik. Strukturasi kekuasaan sebagai pintu masuk untuk sampai pada analisis kekerasan simbolik.
1.6.2.1 Strukturasi Kekuasaan
Sebelum masuk pembahasan pada kekerasan simbolik perlu adanya analisis struktur. Pierre Bourdieu menyebutnya dengan strukturasi kekuasaan yang
mencakup modal, kelas, habitus, arena, kekerasan dan kekuasaan.
1.6.2.1.1 Modal
Dalam pemikiran Bourdieu, modal bukan berarti tentang uang saja seperti dalam istilah ekonomi. Namun lebih luas dari hal tersebut, modal berarti sebuah
hasil kerjayang terakumulasi dan terjiwai dalam diri seseorang Martono, 2013: 32, sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan modal oleh Bourdieu
adalah hal yang tidak hanya bersifat materi namun juga bersifat nonmateri. Hal tersebut sangat penting karena akan menentukan posisi seseorang atau kelompok
dalam struktur sosial. Ada empat modal yaitu; modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan
modal simbolik. Modal ekonomi adalah modal yang berkaitan dengan uang dan warisan yang bisa diteruskan untuk generasi selanjutnya. Modal sosial adalah
modal bersama yang membuat adanya jaringan hubungan. Misalnya seperti keluarga, suku, sekolah. Selanjutnya, modal budaya adalah kemampuan seseorang
dalam sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Sedangkan modal simbolik adalah sesuatu yang dikenali dan diakui secara natural,
seperti; tempat tinggal, hobi, tempat makan, dan sebagainya Martono, 2013: 33.
1.6.2.1.2 Kelas
Pemikiran Bourdieu memang dipengaruhi juga oleh Karl Marx sehingga dia juga menggunakan istilah kelas yang dimaknai sebagai sebuah individu yang
menempati posisi atau kedudukan yang sama. Dalam hal ini Bourdieu juga menggunakan istilah seleraMartono, 2013: 34.
Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau modal yang berbeda. Perbedaan inilah yang akhirnya menyebabkan lahirnya
hubungan antarkelas yang tidak seimbang. Kemudian peranan sosial yang dimainkan tersebut bisa melahirkan selera yang berbeda-beda.
Ada tiga kelas menurut Bourdieu, yaitu: kelas dominan, kelas borjuasi kecil, dan kelas populer. Kelas dominan adalah pemilikan modal yang cukup
besar sehingga membedakan dirinya dengan yang lain. Kelas dominan juga memaksakan pandangannya tentang yang baik dan yang buruk. Selanjutnya kelas
borjuasi kecil adalah kelas yang berada di tengah-tengah dan memiliki keinginan untuk naik ke kelas yang lebih tinggi. Menaiki kelas lebih penting daripada
memaksakan pandangan. Sedangkan kelas populer adalah kelas yang tidak memiliki modal baik ekonomi, budaya, maupun simbolik. Kelas ini seperti tidak
memiliki posisi tolak terhadap kelas dominan yang memaksakan idenya.
1.6.2.1.3 Habitus
Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama.
Habitus juga merupakan gaya hidup, nilai-nilai, watak, dan harapan kelompok sosial tertentu Martono, 2013: 36.
Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yaitu pengaruh sejarah yang dianggap alamiah. Habitus juga memungkinkan manusia hidup
dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak- pihak di luar dirinya. Habitus hanya menyarankan apa yang harus dipikirkan dan
tindakan apa yang seharusnya dipilih Takwin, 2003: 115. Ada lima konsep dasar habitus, yaitu; habitus sebagai sebuah pengondisian
yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas; habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktisyang kemudian diterjemahkan
menjadi sebuah kemampuan, yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lingkungan sosial tertentu; habitus merupakan kerangka penafsiran dan menjadi dasar kepribadian individu; habitus merupakan nilai atau norma dalam
masyarakat yang menjadi etos untuk menjadi cerdas, ulet, tekun, rajin dan juga dalam bentuk cara berjalan, mudah bergaul, mata memandang ke bawah, dan
sebagainaya; habitus bisa memposisikan diri di dalam kelas sosial. Jadi setiap kelas memiliki habitusyang berbedadan kelas dominan akan
selalu memaksakan habitusnya untuk menguasai kelas terdominasi Martono, 2013: 38.
1.6.2.1.4 Arena
Konsep habitus tidak dapat dipisahkan dari arena atau ranah karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Habitus
mendasari terbentuknya ranah, sementara di lain pihak ranah menjadi lokus dari kinerja habitus. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena
pertempuran, arena juga merupakan arena perjuangan. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal
ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Arena adalah ruang yang ada di dalam masyarakat. Arena seperti sepotong
kecil dunia sosial, sebuah jagat penuh mufakat yang bekerja secara otonom ddengan hukum-hukumnya sendiri. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan,
arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Arena juga merupakan tempat di mana orang bermanuver dan berjuang dalam mengejar sumber daya yang
didambakan Rusdiarti, 2003: 34. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Siapa saja yang ingin masuk ke dalamnya harus memahami “aturan main” yang berlaku di jagat mufakat ini, karena jagat ini juga merupakan sebuah arena
pertarungan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya Rusdiarti, 2003: 34.
1.6.2.1.5 Kekerasan dan Kekuasaan
Bourdiou berpendapat bahwa kekerasan merupakan pangkal dari hasil kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam
proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Jadi kekerasan dan kekuasaan adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Kelas dominan berupaya agar aksi kekerasannya tidak mudah untuk dikenali. Akhirnya kekerasan yang dilakukan bukanlah kekerasan fisik semata
sehingga kelas terdominasi tidak merasakan bahwa dia mendapat kekerasan.
1.6.2.2 Kekerasan Simbolik
Secara bergantaian Bourdieu menggunakan istilah kekerasan simbolik, kuasa simbolik, dan dominasi simbolik untuk menunjuk hal yang sama.
Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tidak dirasa sebagai sebuah kekerasan. Kekerasan ini juga merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa
dan kekerasan ini me mpunyai mekanisme „penyembunyian kekerasan‟ yang
akhirnya disadari „yang memang seharusnya demikian” Martono, 2013: 40. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang sangat halus, kekerasan yang
dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, malah sebaliknya mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena
bentuknya yang sangat halus Takwin, 2003: 116. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.6.2.2.1 Eufemisme
Eufemisme membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja sangat halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara tidak sadar. Bentuk
Eufimisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang pahala, dan belas kasihan Martono, 2013: 40.
1.6.2.2.2 Mekanisme Sensorisasi
Mekanisme Sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagi moral
kehormatan, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan moral yang rendah, seperti; kekerasan, kriminal,
ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya Martono, 2013: 40.
1.6.2.2.3 Menciptakan Dunia
Pelaku sosial dapat menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih penting lagi dengan menggunakan kekerasan
simbolik, ia dapat membuat definisi maskulin atau feminim, kuat atau lemah, baik atau buruk, benar atau salah Martono, 2013: 40.
1.7 Metode Penelitian