Strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam cerpen Ayam, Suatu Malam Suatu Warung, dan Tahi dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri sebuah perspektif Pierre B

(1)

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK

DALAM CERPEN “AYAM”

,

“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”

DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:

SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Patrick Ardina Barata NIM 124114009

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(2)

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK

DALAM CERPEN “AYAM”

,

“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”

DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:

SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Patrick Ardina Barata NIM 124114009

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(3)

Halaman Persetujuan Pembimbing

Tugas Akhir

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK

DALAM CERPEN “AYAM”,

“SUATU MALAM SUATU WARUNG”

,

DAN “TAHI”

DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:

SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

Oleh

Patrick Ardina Barata NIM 124114009

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. 28 Juli 2017

Pembimbing II


(4)

Halaman Pengesahan

Tugas Akhir

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK

DALAM CERPEN “AYAM”,

“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”

DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI:

SEBUAH PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU Ditulis oleh

Patrick Ardina Barata NIM: 124114009

Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tanggal, 27 Juli 2017

dan dinyatakan memenuhi syarat.

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ... Sekretaris : Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ... Anggota : S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. ... Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ... Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ...

Yogyakarta, 31 Juli 2017 Dekan Fakultas Sastra UniversitasSanata Dharma


(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 Juli 2017

Patrick Ardina Barata NIM 124114009


(6)

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Patrick Ardina Barata

NIM : 124114009

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam cerpen “Ayam”, “Suatu Malam

Suatu Warung”, dan “Tahi” dalam Kumpulan Cerpen Hujan Menulis Ayam Karya Sutardji Calzoum Bachri: Sebuah Perspektif Pierre Bourdieu

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 28 Juli 2017 Yang menyatakan,


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program Strata satu (S-1) Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Banyak pihak yang membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih terhadap seluruh pihak yang sudah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai pembimbing I, terima kasih atas segala pendampingan, bimbingan dan masukannya selama pengerjaan skripsi ini.

2. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai pembimbing II, terima kasih atas segala masukan dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ari Subagyo, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing Akademik Angkatan 2012, terima kasih telah memotivasi dan mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Para dosen, Alm. Bapak Hery Antono, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., terima kasih telah memberikan banyak ilmu dalam perkuliahan selama ini.


(8)

5. Karyawan sekretariat Prodi Sastra Indonesia, Mbak Rus, terima kasih telah membantu saya untuk mengurus hal-hal administratif selama saya menjalani proses kuliah.

6. Teman-teman angkatan Sastra Indonesia 2012, terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya di dalam kelas maupun di luar kelas.

7. Keluarga penulis, Bapak, Ibu, dan adik, terima kasih atas dukungannya selama saya menempuh proses pengerjaan skripsi ini.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas perhatian dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu, segala saran dan kritik dari segala pihak akan penulis terima dengan besar hati. Somoga skripsi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang.

Yogyakarta, 28 Juli 2017


(9)

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Tuhan Jadikanlah Aku Murni Namun Jangan Sekarang -Agustinus-

Skripsi ini kupersembahkan untuk : Ayah, Ibu, Adik-adik, Sahabat-sahabatku


(10)

ABSTRAK

Barata, Patrick Ardina.2017. Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam cerpen “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, dan

“Tahi” dalam Kumpulan Cerpen Hujan Menulis Ayam Karya Sutardji Calzoum Bachri. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji kekerasan simbolik dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengaalisis modal, kelas, habitus, arena, kekerasan dan kekuasaan dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Selanjutnya akan dianalisis pula kekerasan simbolik yang ada di dalam kumpulan cerpen tersebut. Ada tiga cerpen yang akan dianalisis, yaitu: “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, dan “Tahi”.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan teori kekerasan simbolik. Penelitian ini diawali dengan menganalisis berbagai jenis modal, kelas, habitus, arena, kekuasaan dan kekerasan yang ada di dalam kumpulan cerpen tersebut. Selanjutnya, akan diteliti mekanisme kekersan simboliknya.

Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka. Cerpen-cerpen yang sudah terpilih ini dibaca secara mendalam kemudian data yang diperoleh dicatat. Data-data tersebut kemudian dianalisis menggunakan teori kekerasan simbolik. Metode dan teknik penyajian hasil analisis data adalah deskriptif kualitatif. Hasil analisis akan dideskripsikan secara kualitatif, yaitu peneliti mendeskripsikan jenis-jenis modal, kelas, habitus, arena, kekuasaan dan kekerasan serta kekerasan simbolik.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:(1) Adanya keempat modal di dalam kumpulan cerpen tersebut, yaitu: modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Setiap tokoh memiliki kapasistas modalnya masing-masing dalam setiap modal yang ada. (2) Kelas-kelas di dalam kumpulan cerpen tersebut dipengaruhi oleh kekuatan modal masing-masing tokoh. Kelas dominan diisi oleh orang-orang atau kelompok yang memiliki modal kuat. Dalam cerpen tersebut kelas dominan diisi oleh para penyair di cerpen “Ayam” dan “Suatu Malam Suatu Warung”, tokoh aku di dalam cerpen “Tahi”. Kelas borjuasi kecil diisi oleh pekerja pemotong dahan, pembuat kopi atau jamu di dalam cerpen “Ayam” sedangkan di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung” adalah pemilik warung. Cerpen “Tahi” tidak menghadirkan adanya kelas borjuasi kecil. Kemudian kelas populer diisi oleh orang-orang yang tinggal di pinggir sungai dalam cerpen “Ayam”, pelacur tua dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung”, dan Orang yang peminta-minta dalam cerpen “Tahi”. (3) Habitus dan arena yang ditamplkan dalam cerpen tersebut lebih pada kehidupan sosial masyarakat menengah ke bawah. (4) Kekerasan simbolik berupa mekanisme eufimisme dan mekanisme sensorisasi terjadi. Kelompok yang mendapatkan kekerasan menganggap


(11)

kekerasan itu sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi di akhir cerita ada penyesalan dan kesadaran dari tokoh-tokoh yang melakukan kekerasan tersebut.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik ada di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam, walaupun kelas-kelas yang ada di dalamnya tidak sangat mencolok digambarkan perbedaannya. Kekerasan yang terjadi diwarnai dengan banyaknya simbol-simbol yang dihadirkan di dalam cerpen tersebut. Akan tetapi ada hal-hal baru yang coba dimunculkan dari ketiga cerpen tersebut dalam upaya penciptaan dunia baru.


(12)

ABSTRACT

Barata, Patrick Ardina. 2017. Domination Structure and Symbolical Violence in Short Story “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, and

“Tahi” in Anthology of Short Story “Hujan Menulis Ayam” by

Sutardji Calzoum Bachri. Yogyakarta: Indonesian Letters Study Programme, Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University

This study examines symbolical violence in anthology of short story Hujan Menulis Ayam by Sutardji Calzoum Bachri. The purpose of this study is to describe and analyze modal, class, habitus, arena, violence and power in anthology of short story Hujan Menulis Ayam by Sutardji Calzoum Bachri. Furthermore, there will be analysis on symbolic violence on the anthology of short story mentioned above. There are three short stories which are going to be analyzed. Those are “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”,and “Tahi”.

This study uses sociological literary approach with theory of symbolical violence. This study begins with analysis on types of modal, class, habitus, arena, power and violence which are present in those short stories. After that, the mechanism of symbolical violence will be analyzed.

Method and data collecting technique which are employed in this study is library research. Selected short stories are closely read. Then, the data that has been gathered are written. The data is analyzed using theory of symbolical violence. Method and result of analysis presented are qualitative descriptive. The result of analysis will be described qualitatively which means the writer describes types of modal, class, habitus, arena, power and violence and also symbolical violence in those selected short stories from anthology of short story Hujan Menulis Ayam.

The results of this study are: (1) There are four modals in those selected short stories; economy capital, social modal, cultural modal, and symbolic modal. Every character has their own modal capacity for available modal. (2) Every class in those short stories is influenced by the power of modal of every character. Dominant class is filled with people or groups which have strong modal. In those short stories, the dominant class is filled with poets in short story “Ayam” and “Suatu Malam Suatu Warung”, and character “I” in short story “Tahi”. Small bourgeoisie class is filled with branch cutter workers, coffee or traditional herbal drinkmaker in short story “Ayam” whereas in short story “Suatu Malam Suatu Warung”, stall owner is the member of small bourgeoisie class. In short story Tahi, there is no small bourgeoisie class. Moreover, popular class is filled with people who live along the river bank in short story “Ayam”, old prostitute in short story “Suatu Malam Suatu Warung” and people who often seek help in short story “Tahi”. (3) Habitus and arena shown in those short stories are more on social life of lower class people. (4) Symbolical violence in form of euphemism mechanism and censorship mechanism occur. The group receiving violence assumes that the violence as truth. However, at the end of the story, there will be regret and enlighten from characters who perform that violence.


(13)

The result of this study can be concluded that symbolical violence occurs in anthology of short stories Hujan Menulis Ayam, even though classes in those short stories are not described distinctively. Violence occurred is noticed by the range of symbols appeared in those short stories. However, there are new things which are trying to be shown from three selected short stories in effort to create new a world.


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...v

KATA PENGANTAR ...vi

MOTO DAN PERSEMBAHAN ...viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ...xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Hasil Penelitian ... 6

1.4.1Manfaat Teoretis ... 6

1.4.2Manfaat Praktis ... 7

1.5Tinjauan Pustaka ... 7

1.6Landasan Teori ... 8

1.6.1 Pendekatan Sosiologi Sastra ... 9

1.6.2Perspektif Pierre Bourdieu ... 10

1.6.2.1Strukturasi Kekuasaan ... 10

1.6.2.1.1 Modal ... 10

1.6.2.1.2Kelas ... 11

1.6.2.1.3Habitus ... 12

1.6.2.1.4Arena ... 13

1.6.2.1.5Kekerasan dan Kekuasaan... 14

1.6.2.2Kekerasan Simbolik ... 14

1.6.2.2.1Eufemisme... 15

1.6.2.2.2Mekanisme Sensorisasi ... 15

1.6.2.2.3Menciptakan Dunia ... 15

1.7Metode Penelitian... 15

1.7.1 Pendekatan Penelitian ... 16

1.7.2Metode Penelitian... 16

1.7.3Metode Analisis Data ... 16

1.7.4Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 17

1.7.5Sumber Data ... 17


(15)

BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN

DALAM CERPEN “AYAM”,

“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI” DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM

KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI ... 19

2.1 Pengantar ... 19

2.2 Modal ... 20

2.2.1 Modal Ekonomi ... 20

2.2.2 Modal Sosial ... 26

2.2.3 Modal Budaya... 29

2.2.4 Modal Simbolik ... 39

2.3 Kelas ... 43

2.3.1 Kelas Dominan ... 44

2.3.2 Kelas Borjuasi Kecil ... 47

2.3.3 Kelas Populer ... 48

2.4 Habitus ... 51

2.4.1 Habitus Kelas Dominan ... 51

2.4.2 Habitus Kelas Borjuasi Kecil ... 52

2.4.3 Habitus Kelas Populer ... 53

2.5 Arena ... 54

2.6 Kekuasaan dan Kekerasan... 56

2.7 Rangkuman ... 57

BAB IIIKEKERASAN SIMBOLIK DALAM CERPEN “AYAM”, “SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI” DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN MENULIS AYAM KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI ... 60

3.1 Pengantar ... 60

3.2 Analisis Kekerasan Simbolik ... 60

3.2.1 Eufimisme ... 63

3.2.2 Mekanisme Sensorisasi ... 63

3.2.3 Menciptakan Dunia ... 65

3.3 Rangkuman ... 65

BAB IIIPENUTUP ... 67

4.1 Kesimpulan ... 67

4.2 Saran ... 68


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Karya sastra selalu menarik untuk diteliti karena menyimpan realitas di dalamnya. Ada banyak persoalan yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Masalah-masalah di dalam kehidupan seringkali terungkap dari karya sastra. Wellek dan Warren (2003:15) mengungkapkan bahwa pendekatan umum yang dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial.

Bagi para akademisi, karya sastra tidak hanya untuk dinikmati. Makna berlapis dalam karya sastra selalu memberikan tantangan tersendiri untuk dipahaminya dengan menganalisisnya, sehingga hal-hal penting yang terkandung di dalamnya dapat terungkap. Apalagi sastra bisa menjadi cermin tentang masyarakat.

Cerpen adalah salah satu jenis karya sastra. Sampai saat ini cerpen masih menarik hati pembaca karena tulisan yang tidak panjang dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membacanya. Banyak pula majalah ataupun surat kabar yang memberikan kolom khusus untuk cerpen. Bahkan ketika banyak novel ataupun buku-buku yang dilarang terbit, sastrawan memakai cerpen sebagai media untuk menyampaikan gagasan-gagasannya.

Kisah menarik tentang cerpen terjadi pada masa Orde Baru. Saat korupsi dan manipulasi menggerogoti kehidupan manusia, ditambah lagi situasi


(17)

perpolitikan yang nampak suram membuat penerbit buku-buku mulai tidak menentu. Penerbit seperti Balai Pustaka, Pustaka Rakyat, dan Pembangunan mulai tidak menentu. Hal tersebut membuat aktivitas sastra terbatas pada majalah-majalah seperti Pujangga Baru, Gelanggang, Kompas, Tjerita, Basis, dll. Pada waktu itu Nugroho Notosusanto mempopulerkan istilah “sastra Majalah” dalam tulisannya di Kompas.

Dalam perkembangannya kumpulan cerita pendek jauh kurang terkenal ketimbang novel bagi masyarakat pembaca. Bahkan kumpulan sajak masih terjual lebih laku ketimbang kumpulan cerita pendek (Teeuw, 1988: 169). Teeuw (1989: 169) juga menyimpulkan bukannya tidak mungkin bahwa penulis-penulis cerita pendek yang berbakat telah terlupakan, terutama apabila tidak satu pun karya mereka tampil di dalam kumpulan-kumpulan tersendiri.

Dewasa ini, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) adalah salah satu penulis cerpen yang mungkin bisa terlupakan karena dia lebih terkenal dengan puisinya. Tidak banyak yang mengenal cerpen-cerpen SCB. Dalam pengantar kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya SCB, dikatakan, “Sejarah dan pembaca sastra harus tahu, bahwa justru jauh hari sebelum SCB kukuh dengan kredo puitiknya (bahkan mungkin sebelum SCB menulis puisi), ia terlebih dulu sudah menulis cerpen dan mempublikasikannya. Beberapa cerpen itu dipublikasikan di majalah Aktuil dan Mahasiswa Indonesia Edisi Djabar, selain kemudian juga di Horison, Pelita, dan Kompas(Bachri, 2001: xiii).

Padahal cerpen-cerpen SCB sarat akan pesan dan hal-hal yang diangkat sangat dekat dengan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam


(18)

masyarakat.Dalam pengantar kumpulan cerpenHujan Menulis AyamSCB dikatakan sebagai seorang sastrawan yang hadir menampilkan realitas keseharian.

SCB adalah pengarang yang menggebrak dunia sastra di Indonesia pada tahun 70-an karena puisinya yang melakukan banyak penyimpangan. Rachmat Djoko Pradopo(2012: 106) mengatakan penyimpangan itu diantaranya berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis kata dari kata lain tanpa mengubah bentuk morfologisnya. Hampir dapat dikatakan pada setiap sajaknya terdapat penyimpangan tata bahasa normatif.

Rupanya beberapa keunikan tersebut juga masih ada di dalam cerpen-cerpennya. Dalam pengantar kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam dikatakan bahwa diksi-diksi di dalam cerpen pun juga tetap menampakkan identitas eksentrik kebahasaan SCB yang memang menonjol dalam puisinya, misalnya pada pengulangan dan permainan kata. Orang tua itu tuanya tegap dan tua orang tua itu tak ada susahnya kelihatan (Bachri, 2001: 13).

Walaupun demikian, dia tetap kritis dalam memberi kritik sosial, seperti yang terungkap dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung.”Pelacur tua itu memandang lagi pada yang punya warung, minta diiyakan. Yang punya warung diam. Dia sering mendengar pertengkaran di warungnya dan biasanya dia diam saja. Karena setiap pertengkaran selalu asalnya sama saja, mempertahankan kepura-puraan (Bachri, 2001: 23).

Bertolak dari kredo puisinya yang ingin membebaskan kata-kata dari makna. Cerpen-cerpen SCB tidak demikian karena banyak makna yang dikandung


(19)

di dalam keindahan penceritaannya yang seperti sajak dalam puisi. Semua cerpennya berisi tentang makna-makna yang dalam dan kritis terhadap masalah-masalah sosial.

Penulis melihat adanya masalah sosial berkaitan dengan ekonomi dalam karya-karya SCB. Adanya kekuasaan dan yang dikuasai kemudian pertentangan juga dimunculkan di dalamnya sebagai bagian dari kritiknya. Hal itu menunjukkan adanya permasalahan sosial di dalamnya. Kemudian relasi kekuasaan juga tidak lepas dari isi cerpen tersebut yang digambarkan dengan konflik yang melibatkan kelompok kelas yang berbeda. Hal-hal tersebutlah yang menjadi dasar Penulis memilih topik ini untuk diteliti lebih jauh. Penulis ingin mengungkapkan permasalahan sosial yang ada di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam. Persoalan-persoalan masyarakat selalu penting untuk dibicarakan. Begitu pula kumpulan cerpen ini yang sarat akan persoalan-persoalan sosial. Persoalan-persoalan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan modal dalam tiap-tiap orang ataupun kelompok masyarakat.

SCB yang terkenal dengan puisinya dan banyaknya orang yang belum mengenal cerpen-cerpenya juga menjadi alasan tambahan penelitian ini. Menguak cerpen-cerpen SCB yang penuh dengan kritik sosial memang tidak mudah. Apalagi jika sudah terjebak di dalam keindahan bahasanya. Tidak jarang akan membuat pembaca kebingungan untuk menangkap pokok pemikirannya.

Dari 10 cerpen dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayamkarya SCB, hanya akan dipilih tiga cerpen untuk ditelititi agar terungkap kritiknya dan relasi di dalam kelas yang saling bersinggungan. Ketiga cerpen tersebut adalah cerpen


(20)

berjudul: “Ayam”; “Suatu Malam Suatu Warung”; dan “Tahi.” Ketiga cerpen tersebut dipilih karena kritik yang ada di dalamnya lebih menonjol dan masalah-masalah yang diungkap sangat berkaitan dengan masalah-masalah sosial dewasa ini. Terlebih lagi mempunyai tema yang sama berkaitan dengan permasalahan sosial yang berakar dari masalah modal dan perbedaan dalam kelas sosial.Sedangkan enam cerpen yang lainnya di dalam kumpulan cerpen Hujen Menulis Ayam tidak menyinggung permasalahan-permasalahan kelas yang mencolok berkaitan masalah ekonomi. Ketiga cerpen tersebut akan dianalisis menggunakan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik Pierre Bourdieu.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah strukturasi kekuasaan dalam kumpulan cerpenHujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri?

2. Bagaimanakah kekerasan simbolik yang terjadi di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan strukturasi kekuasan yang mencakup modal, kelas, habitus, kekerasan dan kekuasaandalam kumpulan cerpen Hujan Menulis


(21)

Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Hal-hal tersebut akan dianalisis di dalam Bab II.

2. Mendeskripsikan kekerasan simbolik dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Hal tersebut akan dianalisis di dalam Bab III.

1.4Manfaat Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini akan memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Manfaat-manfaat tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan dan manfaat praktis adalah manfaat untuk profesi pekerjaan tertentu. Cerpen yang sudah dipilih adalah cerpen-cerpen yang mengandung permasalahan sosial yang sesuai dengan situasi saat ini. Terlebih berkaitan dengan masalah ekonomi.

Penelitian ini akan menghadirkan berbagai masalah yang berdekatan dengan masalah sosial yang ada saat ini. Masalah yang diulas akan memberikan pemahaman tentang permasalahan sosial yang terjadi di masa sekarang.

Selanjutnya, penelitian ini juga menghadirkan perihal tentang relasi kekuasaan yang berkaitan dengan kelas dan ekonomi. Permasalahan itu adalah permasalahan yang saat ini sedang terjadi, sehingga akan diketahui hal-hal apa yang menyebabkan permasalahan itu terjadi menurut perspektif Pierre Bourdieu.


(22)

1.4.2 Manfaat Praktis

Penulisan ini juga bermanfaat untuk orang-orang yang bergelut di dalam bidang ilmu pengetahuan, terlebih yang menjalani profesi dalam bidang sastra untuk mendalami lagi tentang kepenyairan SCB dalam mengkritik keadaan sosial masyarakat dan perbedaan kelas sosial yang terjadi lewat cerpen-cerpennya.

Bagi Penulis, hasil penulisan ini juga dapat menambah wawasan tentang salah satu pengarang dalam sastra yang terkenal sebagai penulis puisi namun juga telah menulis cerpen untuk menunjukkan masalah-masalah sosial masyarakat.Penelitian ini juga bermanfaat sebagai syarat kelulusan dari program S1 Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.

1.5Tinjauan Pustaka

Ketenarannya dalam karya sastra yang berbentuk puisi membuat SCB sedikit dilupakan dalam karyanya yang lain. Hal ini membuat karya SCB yang lain tidak banyak dibicarakan di dalam penelitian. Hal ini tentu tidak boleh terjadi karena karya SCB yang berbentuk cerpen sangat menarik untuk dibicarakan.

Puisinya memang sudah banyak diteliti oleh berbagai kalangan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang beragam. Terlebih kumpulan puisi O, Amuk, Kapak yang terkenal inkonvensional dan mampu mendobrak kelesuan sastra Indonesia pada tahun 70-an. Akan tetapi, sejauh ini Penulis belum menemukan peneliti lain yang berusaha meneliti cerpen-cerpenya dalam tulisan resmi seperti artikel ilmiah.


(23)

Adapun penelitian tentang cerpen SCB berjudul “hujan.” Akan tetapi penelitian tersebut tidak berkaitan langsung dengan sastra karena menganalisis

cerpen “hujan” karya SCB dari aspek kebahasaannya. Tentunya hal ini menjadi tantangan bagi Penulis untuk mengungkap karya cerpen SCB yang sebenarnya penuh dengan permasalahan sosial masyarakat. Apalagi masalah-masalah tersebut berakar dari permasalahan modal yang menjadi salah satu pilar penting bagi kelangsungan hidup manusia.

Dalam hal ini, penulis mencoba melihat ketiga cerpen yang dipilih dengan cara pandang yang baru yaitu berkaitan dengan isi di dalam cerita yang mengandung masalah-masalah sosial. Sejauh yang penulis ketehui, penelitian ini bisa dikatakan sebagai sebuah penelitian yang baru karena belum ditemukannya penelitian yang menjadikan cerpen Hujan Menulis Ayam sebagai objek penelitiannya.

1.6Landasan Teori

Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik. Setelah suatu ilmu pengetahuan berhasil mengabstraksikan keseluruhan konsepnya ke dalam suatu rumusan ilmiahyang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu sendiri, maka teori tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga cabang-cabang ilmu pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam (Ratna, 2004: 1-2).

Karya sastra merupakan sebuah fakta yang terlahir sebagai bagian dari berbagai permasalahan dan situasi konkret yang dihadapi manusia di luar faktanya


(24)

sebagai pembangun makna. Dengan itu, hendak dinyatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah fakta kemanusiaan (Faruk, 2012: 90).

1.6.1 Pendekatan Sosiologi Sastra

Teori sangat penting untuk membongkar dan mengungkap hal yang ada di dalam sebuah karya satra. Dalam ketiga cerpen SCB yang telah dipilih, penulis akan menggunakan Sosiologi Sastra untuk menganalisisnya. Sosiologi sastra adalah sebuah ilmu yang menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi sastra muncul karena perkembangan masyarakat yang begitu pesat sehingga kajian sosiologis dibutuhkan dalam hal ini.

Hubungan karya sastra denga masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan (Ratna, 2004: 334).

Sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat. Salah satu caranya adalah menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi (Ratna, 2004: 340).

Oleh sebab itu penulis akan menggunakan dua teori untuk membedah ketiga cerpen yang sudah dipilih. Penulis akan menggunakan teori kekerasan simbolik yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu untuk menganalisis


(25)

permasalahan relasi sosial masyarakat. Namun sebelumnya akan dibahas terlebih dahulu konsep dasar dari pemikiran Pierre Bourdieu berkaitan dengan masalah modal, kelas, habitus, kekerasan dan kekuasaan.

1.6.2 Perspektif Pierre Bourdieu

Pada dasarnya pemikiran Pierre Bourdieu menunjuk pada masalah-masalah sosial. Permasalah-masalahan itu adalah modal, kelas, habitus, arena, dan kekerasan simbolik. Bila permasalahan-permasalahan itu dapat dipecahkan, relasi kekuasaan yang ada di dalamnya akan terkuak.

Relasi adalah hubungan antara dua kelompok ataupun individu. Di dalam sebuah relasi akan ada pihak yang mendominasi dan pihak yang terdominasi. Perbedaan itulah yang membuat adanya permasalahan dalam sebuah relasi. Sehingga bisa melahirkan relasi kekuasan. Istilah itu menunjukkan adanya kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik. Strukturasi kekuasaan sebagai pintu masuk untuk sampai pada analisis kekerasan simbolik.

1.6.2.1Strukturasi Kekuasaan

Sebelum masuk pembahasan pada kekerasan simbolik perlu adanya analisis struktur. Pierre Bourdieu menyebutnya dengan strukturasi kekuasaan yang mencakup modal, kelas, habitus, arena, kekerasan dan kekuasaan.

1.6.2.1.1 Modal

Dalam pemikiran Bourdieu, modal bukan berarti tentang uang saja seperti dalam istilah ekonomi. Namun lebih luas dari hal tersebut, modal berarti sebuah


(26)

hasil kerjayang terakumulasi dan terjiwai dalam diri seseorang (Martono, 2013: 32), sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan modal oleh Bourdieu adalah hal yang tidak hanya bersifat materi namun juga bersifat nonmateri. Hal tersebut sangat penting karena akan menentukan posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial.

Ada empat modal yaitu; modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Modal ekonomi adalah modal yang berkaitan dengan uang dan warisan yang bisa diteruskan untuk generasi selanjutnya. Modal sosial adalah modal bersama yang membuat adanya jaringan hubungan. Misalnya seperti keluarga, suku, sekolah. Selanjutnya, modal budaya adalah kemampuan seseorang dalam sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Sedangkan modal simbolik adalah sesuatu yang dikenali dan diakui secara natural, seperti; tempat tinggal, hobi, tempat makan, dan sebagainya (Martono, 2013: 33). 1.6.2.1.2 Kelas

Pemikiran Bourdieu memang dipengaruhi juga oleh Karl Marx sehingga dia juga menggunakan istilah kelas yang dimaknai sebagai sebuah individu yang menempati posisi atau kedudukan yang sama. Dalam hal ini Bourdieu juga menggunakan istilah selera(Martono, 2013: 34).

Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau modal yang berbeda. Perbedaan inilah yang akhirnya menyebabkan lahirnya hubungan antarkelas yang tidak seimbang. Kemudian peranan sosial yang dimainkan tersebut bisa melahirkan selera yang berbeda-beda.


(27)

Ada tiga kelas menurut Bourdieu, yaitu: kelas dominan, kelas borjuasi kecil, dan kelas populer. Kelas dominan adalah pemilikan modal yang cukup besar sehingga membedakan dirinya dengan yang lain. Kelas dominan juga memaksakan pandangannya tentang yang baik dan yang buruk. Selanjutnya kelas borjuasi kecil adalah kelas yang berada di tengah-tengah dan memiliki keinginan untuk naik ke kelas yang lebih tinggi. Menaiki kelas lebih penting daripada memaksakan pandangan. Sedangkan kelas populer adalah kelas yang tidak memiliki modal baik ekonomi, budaya, maupun simbolik. Kelas ini seperti tidak memiliki posisi tolak terhadap kelas dominan yang memaksakan idenya.

1.6.2.1.3 Habitus

Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup, nilai-nilai, watak, dan harapan kelompok sosial tertentu (Martono, 2013: 36).

Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yaitu pengaruh sejarah yang dianggap alamiah. Habitus juga memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Habitus hanya menyarankan apa yang harus dipikirkan dan tindakan apa yang seharusnya dipilih (Takwin, 2003: 115).

Ada lima konsep dasar habitus, yaitu; habitus sebagai sebuah pengondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas; habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktisyang kemudian diterjemahkan menjadi sebuah kemampuan, yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam


(28)

lingkungan sosial tertentu; habitus merupakan kerangka penafsiran dan menjadi dasar kepribadian individu; habitus merupakan nilai atau norma dalam masyarakat yang menjadi etos untuk menjadi cerdas, ulet, tekun, rajin dan juga dalam bentuk cara berjalan, mudah bergaul, mata memandang ke bawah, dan sebagainaya; habitus bisa memposisikan diri di dalam kelas sosial.

Jadi setiap kelas memiliki habitusyang berbedadan kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya untuk menguasai kelas terdominasi (Martono, 2013: 38).

1.6.2.1.4 Arena

Konsep habitus tidak dapat dipisahkan dari arena atau ranah karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Habitus mendasari terbentuknya ranah, sementara di lain pihak ranah menjadi lokus dari kinerja habitus. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena pertempuran, arena juga merupakan arena perjuangan. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik.

Arena adalah ruang yang ada di dalam masyarakat. Arena seperti sepotong kecil dunia sosial, sebuah jagat penuh mufakat yang bekerja secara otonom ddengan hukum-hukumnya sendiri. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Arena juga merupakan tempat di mana orang bermanuver dan berjuang dalam mengejar sumber daya yang didambakan (Rusdiarti, 2003: 34).


(29)

Siapa saja yang ingin masuk ke dalamnya harus memahami “aturan main”

yang berlaku di jagat mufakat ini, karena jagat ini juga merupakan sebuah arena pertarungan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya (Rusdiarti, 2003: 34). 1.6.2.1.5 Kekerasan dan Kekuasaan

Bourdiou berpendapat bahwa kekerasan merupakan pangkal dari hasil kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Jadi kekerasan dan kekuasaan adalah dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.

Kelas dominan berupaya agar aksi kekerasannya tidak mudah untuk dikenali. Akhirnya kekerasan yang dilakukan bukanlah kekerasan fisik semata sehingga kelas terdominasi tidak merasakan bahwa dia mendapat kekerasan. 1.6.2.2 Kekerasan Simbolik

Secara bergantaian Bourdieu menggunakan istilah kekerasan simbolik, kuasa simbolik, dan dominasi simbolik untuk menunjuk hal yang sama. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tidak dirasa sebagai sebuah kekerasan. Kekerasan ini juga merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa dan kekerasan ini mempunyai mekanisme „penyembunyian kekerasan‟ yang

akhirnya disadari „yang memang seharusnya demikian” (Martono, 2013: 40). Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, malah sebaliknya mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus (Takwin, 2003: 116).


(30)

1.6.2.2.1 Eufemisme

Eufemisme membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja sangat halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara tidak sadar. Bentuk Eufimisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang pahala, dan belas kasihan (Martono, 2013: 40).

1.6.2.2.2 Mekanisme Sensorisasi

Mekanisme Sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagi moral kehormatan, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan moral yang rendah, seperti; kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Martono, 2013: 40).

1.6.2.2.3 Menciptakan Dunia

Pelaku sosial dapat menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih penting lagi dengan menggunakan kekerasan simbolik, ia dapat membuat definisi maskulin atau feminim, kuat atau lemah, baik atau buruk, benar atau salah (Martono, 2013: 40).

1.7 Metode Penelitian

Penulis akan menggunakan beberapa pendekatan yang dapat membantu dalam penelitian ini. Selanjutnya untuk metode penelitiannya akan ada beberapa tahapan. Penelitian ini akan melewati beberapa tahap seperti pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data.


(31)

1.7.1 Pendekatan Penelitian

Penulis akan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ratna (2004: 60) dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya itu dimanfaatkan oleh masyarakat.

Selanjutnya, penulis juga akan menggunakan pendekatan objektif karena sangat erat dengan teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan bertumpu atas karya sastra itu sendiri (Ratna, 2004:73). 1.7.2 Metode Penelitian

Penulis akan menggunakan tiga tahapan yaitu: a) pengumpulan data, b) analisis data, c) penyajian data.

Pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka. Hal ini adalah hal yang paling bisa untuk dijangkau penulis karena data-data yang ada sudah cukup untuk menganalisis karya ini. Buku-buku referensi dan buku-buku penunjang dalam penelitian ini juga sudah ditemukan.

1.7.3 Metode Analisis Data

Dalam analisis data yang digunakan adalah analisis isi. Metode analisis isi akan membantu memecahkan masalah yang ada dengan cara mencari pesan yang ada di dalam karya sastra tersebut dengan landasan berpikir Pierre Bourdieu dalam teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik.


(32)

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Data yang ada akan disajikan dengan deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan analisis ke dalam kalimat-kalimat. Isi dari deskripsi ini adalah analisis mengenai strukturasi kekasaan yang ada di dalam ketiga cerpen SCB. Selanjutnya, akan disajikan pula kekerasan simbolik yang ada di dalam ketiga cerpen SCB.

1.7.5 Sumber Data

Karya sastra yang menjadi objek penelitian adalah kumpulan cerpen dengan identitas sebagi berikut:

Judul Buku : Hujan Menulis Ayam Pengarang : Sutardji Calzoum Bachri Tahun Terbit :2001

Penerbit : Indonesiatera

Halaman : 94

Dalam buku kumpulan cerpen tersebut hanya akan diteliti tiga cerpen,

yaitu: “Ayam,” “Suatu Malam Suatu Warung,” dan “Tahi.”

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan dilaporkan dalam bentuk yang sistematis ke dalam bab-bab. Setiap bab memiliki peranannya masing-masing untuk menyajikakan sesuatu yang berkaitan dengan penelitian. Pada dasarnya penelitian ini akan di bagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.


(33)

Pada bagian awal berisi satu bab yang di dalamnya terdapat beberapa sub bab. Bagian awal adalah Bab I yang memberikan pendahuluan untuk penelitian ini. Bab I berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat hasil penulisan, tinjauan pustakan, landasan teori, pendekatan dan metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Pada bab II berisi tentang pemahaman karya sastra dengan cara membedah unsur karya sastra dan mendeskripsikan strukturasi kekuasaan yang ada di dalam ketiga cerpen yang dipilih. Selanjutnya bab III berisi tentang kekerasan simbolik yang ada di dalam karya menurut teori dari Pierre Bourdieu. Bagian akhir berisi penutup dari penelitian ini. Penulis akan membuat kesimpulan dari seluruh hasil analisis dalam cerpen yang sudah dipilih dari kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya SCB.


(34)

BAB II

STRUKTURASIKEKUASAAN

DALAM CERPEN “AYAM”,

“SUATU MALAM SUATU WARUNG”, DAN “TAHI”

DALAM KUMPULAN CERPENHUJAN MENULIS AYAM KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI

2.1 Pengantar

Ada pilar-pilar penting untuk membahas kekerasan simbolik menurut perspektif Pierre Bourdieu. Dalam bab ini akan dibahas mengenai pilar-pilar penting yang ada di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayamkarya SCB. Pembahasan akan mencakup permasalahan mengenai modal, kelas, habitus, arena, kekuasaan dan kekerasan.

Pembahasan tersebut dilakukan sebagai pintu masuk dan dasar untuk meneliti lebih jauh tentang kekerasan simbolik yang ada di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayamkarya SCB. Permasalahan mengenai modal, kelas, habitus, arena, kekuasaan dan kekerasan juga mejadi cara untuk menjabarkan dan memilah hal-hal yang ada di dalam cerpen karya SCB tersebut. Cerpen-cerpen

yang akan dianalisis yaitu cerpen “Ayam,” “Suatu Malam Suatu Warung,” dan “Tahi.”

Pembahasan mengenai modal dilakukan terlebih dahulu karena modal merupakan hal yang sangat vital untuk menentukan posisi kelas. Setelah itu, bila pembagian kelas sudah terbentuk maka akan dianalisis habitus yang ada dan


(35)

bagaimana keberadaanya di dalam sebuah arena. Kemudian bab ini akan ditutup dengan pembahasan mengenai kekuasaan dan kekerasan yang ada di dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya SCB, yaitu cerpen “Ayam,” “Suatu

Malam Suatu Warung,” dan “Tahi.”

2.2 Modal

Modal menurut perspektif Pierre Bourdieu adalah hal yang bukan saja bersifat materi namun juga dapat berupa nonmateri. Modal menjadi dasar bagi tiap-tiap orang untuk menentukan posisinya di dalam masyarakat. Semakin banyak modal yang dimiliki oleh manusia maka akan semakin bagus juga posisinya di dalam arena perjuangan.

Modal dibagi menjadi empat jenis, yaitu: modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Masing-masing modal memiliki peranannya masing-masing di dalam sebuah arena. Dalam arena yang satu mungkin orang akan membutuhkan modal budaya namun di dalam arena yang lain modal ekonomi diperlukan. Posisi pelaku di dalam lingkup kelas-kelas sosial tergantung pada kepemilikan jumlah besarnya struktur modal mereka (Haryatmoko, 2003: 12).

2.2.1 Modal Ekonomi

Modal ekonomi bukan hanya berkaitan dengan uang saja melainkan bisa mencangkup alat-alat produksi, materi dan harta yang dengan mudah dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


(36)

Dalam cerpen “Ayam” ayah Sasi adalah orang yang memiliki modal

ekonomi paling banyak. Dia bisa melakukan banyak hal dengan uang yang dia miliki. Ayah Sasi bisa membelikan Sasi sebuah boneka kelinci kepadanya.

Sasi, anakku, langsung menyambar kelinci raksasa, dan tak nampak kecewa karena sepatu kebesaran. Sambil menggendong kelinci ia ikut membantu ibunya membongkar kopor (Bachri, 2001:71).

Dia juga bisa membelikan oleh-oleh berupa barang-barang serta kurma untuk istrinya walaupun bukan merupakan barang yang mahal.

“Ah made in China,” kata istriku ketawa, “Jauh-jauh dari Baghdad masak bawa made in China.”

“Orang Irak Cuma bikin minyak dan kurma. Yang murah

-murah buatan Cina dan Bangladesh,” aku bilang.

“Masak kau tak bisa cari barang yang khas Irak, yang tak usah mahal-mahallah” (Bachri, 2001:71).

Kemudian hal-hal yang berkaitan dengan modal ekonomi ayah Sasi ditunjukkan dengan membelikan Sasi dua ekor anak ayam. Hal menarik terjadi di tengah-tengah cerita ketika ayah Sasi hendak membuang ayam ke sungai. Di sana ayah Sasi menjumpai orang-orang yang hidupnya sangat miskin sekali bahkan mereka hendak meminta ayam yang sudah mati tersebut untuk dimakan.

“Kasih kami saja, Pak,” ujar salah seorang di antaranya. “Mubazir, Pak, kalau dibuang,” ujar yang lain.

“Ayamnya sudah mati,” aku bilang.

“Justru itu, Pak,” kata yang paling tua. Matanya rusak

sebelah, pernah kena penyakit agaknya.

Mereka mendekat dan ingin menggapai kantung plastik itu (Bachri, 2001:79).

Namun, ayah sasi tidak memberikan ayam tersebut melainkan mengambil uang seribu rupiah untuk diberikan kepada orang yang hidup di pinggiran sungai itu karena ketika dia sempat melemparkan ayam itu ke sungai, orang-orang


(37)

ayah Sasi marah dan memberikan uang kepada mereka. Kemudian ayam itu dibawa pulang kembali.

Aku raba saku celana, aku keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku, yang lain juga saku kemejaku. Aku memang masih ingat aku bawa uang seribu. Tapi, dalam keadaan begini aku benar-benar mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah aku serahkan kepada wanita kuyu itu. Aku bawa bangkai ayam itu pergi(Bachri, 2001:80).

Dalam cerpen tersebut ayah Sasi memiliki modal ekonomi paling tinggi. Dia juga bersama tetangga-tetangga komplek rumahnya yang biasa menyuruh orang-orang untuk membantu mereka dengan memberikan upah. Sedangkan orang-orang pinggiran sungai tersebut tidak memiliki harta apapun. Bahkan mereka masih kebingungan untuk mencari makan sampai tubuhnya menjadi sangat kurus.

Sampai di rumah, aku lihat pohon akasia di samping pagar sudah habis dahan-dahannya. Tinggal batang saja yang mencuat dengan beberapa helai daun di dahan kecil.

“Aku suruh mereka potong dahan-dahan itu, baru aku beri ayam dan seribu perak. Soalnya kalau langsung terima ayam dan seribu perak, tidak potong pohon, bisa kesedapan. Jangan dinampakkan bahwa kita mudah diteror dengan

kemelaratan mereka,” ujar istriku(Bachri, 2001:80).

Sementara di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” para senimanlah yang mempunyai modal ekonomi paling baik daripada pemilik warung maupun pelacur yang mereka godai. Ketiga seniman itu setidaknya memiliki modal ekonomi yang lebih baik walaupun mereka mengukur keberhasilannya dengan karya yang mereka miliki namun kepemilikan uang membuat mereka masih bisa menikmati minuman dalam warung yang masih buka sampai sangat malam dan membayari pelacur yang duduk-duduk di sana.


(38)

Ketika para seniman tersebut terlibat di dalam sebuah obrolan, mereka sampai kepada obrolan bahwa salah satu dari penyair tersebut tidak takut sipilis. Hal itu membuat mereka menantang temanya tersebut. Keberaniannya dibuktikan dengan mencengkeram pangkal paha pelacur itu. Kepemilikan uang membuat seniman itu berani berbuat semaunya.

“Tidak, aku tidak takut sipilis. Aku tidak takut gonorrheoa,”

kata Nahar. Dia mencengkam cepat-cepat pada antara dua

pangkal paha pelacur tua itu. Pelacur itu menjerit, “Au,” kemudia ketawa kecil,”Ha...ha...” (Bachri, 2001:21).

Kemudian cerita dilanjutkan dengan masalah uang lagi. Kalimat bayarkan muncul berkali-kali. Hal itu menunjukkan modal ekonomi para seniman tersebut jauh dibandingkan pelacur tua itu.

“Aku tak takut sipilis,” kata Nahar, “Kau bayarkan aku,

Man. Biar aku main dengannya.”

“Aku tak sipilis,” kata pelacur tua itu (Bachri, 2001:22).

“Bayarkan dia, Man,” kata Amir, biar dia rasa sipilis itu apa.”

“Aku tak sipilis!” pelacur itu marah dan marahnya datang sendirian (Bachri, 2001:22).

“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main

dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.

“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi (Bachri, 2001:22).

“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.

“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi (Bachri, 2001:22).

“Aku tak sipilis. Aku tak gonorwa. Aku tak pernah sakit,”

dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya ta kelihatan.

“Ayolah main, katanya pada Nahar. “Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.


(39)

Walaupun setelah itu mereka tidak melakukan apapun namun hal itu membuat pelacur itu marah dan pergi. Mereka kemudian membayarkan makanan yang sudah pelacur tua itu nikmati walau mereka tidak menikmati pelacur itu. Modal ekonomi yang tidak terlalu kuat juga membuat pemilik warung tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya diam melihat pelacur tua itu menjadi ejekan para seniman tersebut. Setidaknya ejekan itu tidak menimpanya karena pelacur tua itulah yang memiliki modal ekonomi paling jelek di dalam cerpen tersebut.

Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” hanya ada dua tokoh yang terlibat di

dalam jalannya cerita. Ada tokoh yang memiliki modal paling baik dan yang satunya lagi tidak memilikinya, bahkan hanya untuk makan harus meminta kepada tokoh yang memiliki modal ekonomi yang lebih baik tersebut. Walaupun tokoh yang lebih baik di dalam cerita ini juga harus menghutang untuk menghidupi dirinya. Masalah uang kembali menjadi hal yang ditonjolkan di dalam cerita ini.

Aku sampai di tengah kota dan matahari tepat di atasnya. Orang ramai di trotoar, lalu dan lewat. Dia menyapaku kuat-kuat karena suara orang banyak di sekitar.

“Hei, ke mana kau?” katanya.

“Ke mana, kau?” kataku. “Aku cari-cari rejeki,” kataku pula.

“Aku mau ke rumah kau. Rejeki apa?” katanya.

“Cari-cari kawan yang bisa dipinjami uangnya”(Bachri, 2001:30).

Kepemilikan uang membuatnya masih bisa makan sedangkan orang yang ditemui di trotoar itu yang tentunya sudah akrab dengan belas kasihannya membuatnya peduli untuk memberi makan.

“Aku lapar, sudah empat hari tidak makan,” katanya. “Ada nasi di rumahku,” kataku.


(40)

“Ada! Di dapur, dalam rantang ditutup koran.”

Dia mengulurkan tangannya yang kering kurus coklat berdaki. Jari-jarinya cepat menangkap kunci yang kuberikan. Dia pergi. Aku pergi. Kami berpisah (Bachri, 2001:31).

Orang yang kelaparan tersebut akhirnya memakan tahi yang dirasanya seperti nasi goreng yang sudah basi. Mungkin tokoh tersebut sudah terbiasa dengan nasi yang sudah basi. Hal-hal itu hanya dekat dengan orang yang memiliki modal ekonomi yang buruk di dalam masyarakat.

Di akhir cerita, orang yang memakan tahi di dalam rantang berkarat tersebut diberi rokok dan uang oleh tokoh yang memiliki modal ekonomi lebih baik walaupun uang itu hanya cukup untuk digunakan membeli kopi.

Kuberikan rokok. Seorang sahabat telah memakan serantang penuh tahiku. Aku akan memberikan segalanya pada sahabatku.

Dua batang rokok sudah habis diisapnya, dan pada batang rokok yang ketiga dia mau pulang.

“Kau mau?” kataku. Kugenggamkan semua uangku

padanya.

“Jangan semua,” katanya, “Beri aku hanya untuk kopi saja.”

(Bachri, 2001:33).

Kemudian tokoh yang memiliki modal ekonomi paling baik di dalam cerita itu masih bisa mengatakan bahwa besok dia akan mendapat uang dari Syam , salah seorang temannya meskipun itu adalah hal yang bohong. Sedangkan tokoh yang baru saja memakan tahi dalam rantang tersebut dengan bercanda ingin meminta uang kepadanya pada besok hari.

Ambilah semuanya,” kataku.

“Ah, jangan. Kau nanti bagaimana?” katanya.

“Besok pagi-pagi Syam datang kemari. Dia janjikan uang

untukku,” kataku, berbohong.


(41)

Dia memasukkan ke sakunya uang yang dikiranya cukup untuk kopi. Dia pergi (Bachri, 2001:33).

Dari ketiga cerpen tersebut terlihat bagaimana modal ekonomi tiap-tiap orang atau kelompok masyarakat sangat beragam. Cerpen-cerpen tersebut lebih menonjolkan modal ekonomi dalam bentuk uang. Bagaimana digambarkan dengan uang orang bisa membeli dan membayar, bahkan memberi. Sedangkan tokoh yang memiliki modal ekonomi kurang bagus hanya bisa menerima.

2.2.2 Modal Sosial

Modal sosial bisa berupa keluarga, suku, dan sekolah. Termasuk di dalamnya ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial (Haryatmoko, 2003:12).

Dalam cerpen SCB yang berjudul “Ayam,” terlihat mencolok dalam

beberapa tokoh yang mempunyai modal sosial yang bagus di dalam masyarakat, terutama ayah Sasi. Ayah Sasi adalah seorang seniman dari sebuah keluarga yang tidak berkekurangan dan memiliki hubungan yang baik dengan tetangga. Kejadian itu nampak ketika tetangganya menawarkan kandang untuk ayam yang ingin dimiliki Sasi.

“Ah, janji anak-anak lima tahun, tahu sendirilah, jadi aku

tetap bertahan,” kata istriku. “Celakanya, ibu tina lewat.

Mendengar alasanku padda Sasi, kita tak punya kandang untuk ayam, lantas saja ibu Tina bilang, ia punya sangkar burung yang tak dipakai, ambil sajalah untuk Sasi, katanya (Bachri, 2001:73).

Selain itu ayah Sasi juga orang yang berpendidikan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa hal yang ada di dalam cerpen tersebut. Salah satu hal itu ketika


(42)

dia bisa sampai keluar negeri sebagi seorang penyair. Di sana dia bisa melihat teater pula bersama temannya, Taufiq Ismail.

Maksudku, sambil duduk-duduk di bawah pohon kurma, menunggu teman-teman yang sedang asik menonton pembacaan sajak di teater arena Babylon, aku pungut buah kurma yang terus berjatuhan di bawah matahari yang tak terlalu panas. Aku pikir, bijinya nanti bisa ditanam untuk kenang-kenangan. Malam harinya, di lobi hotel, kawanku penyair Taufiq Ismail bilang, daerah yang kami kunjungi itu dulunya kawasan Nabi Sulaiman (Bachri, 2001:72).

Ayah Sasi juga memiliki teman-teman yang bekerja di sebuah kantor di dekat Taman Ismail Marzuki. Teman-temannya tersebut adalah orang-orang bekerja di di dalam bidang periklanan. Ada pula seniman-seniman. Orang-orang menghargainya.

Beberapa sahabatku, para seniman, sastrawan, penyair

mendirikan usaha yang mereka namakan “multi-media advertising” di sini (Bachri, 2001:82).

Sementara di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di dalam cerpen “Ayam.” Di sana ada sekelompok penyair yang memiliki modal sosial lebih tinggi ketimbang pelacur maupun pemilik warung.

Penyair-penyair itu jelas memiliki kedudukan sosial yang tinggi karena pendidikan mereka. Sedangkan pemilik warung itu terlihat tidak memiliki kedudukan sosial yang juga tinggi walaupun dia memiliki warung. Pemilik warung itu harus berjaga sampai larut malam dan warungnya adalah tempat tongkrongan pelacur tua.


(43)

lampunya muram dan sumbunya kecil pula di pasang. Sedang malam sudah larut dan bulan di luar sebelah saja sudah kelihatan (Bachri, 2001:19).

Penyair-penyair itu bercanda layaknya sebuah keluarga yang saling memahami dan saling membantu. Pergaulan mereka tampak terasa dan menunjukkan kedudukan sosal mereka memang lebih tinggi dibandingkan tokoh lainnya yang ada di dalam cerita tersebut. Ketika pelacur tua itu sedang dalam masalah ketika dituduh menderita sipilis, dia hanya bisa menangis dan pergi. Dia tidak punya kekuatan karena kelas sosialnya memang tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan.

“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” Pelacur itu menangis dan

tomat yang mau busuk itu pecah sekarang. Dia keluar berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang muram (Bachri, 2001:24).

Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” perbedaan modal sosial ditunjukkan

dalam lingkungan pergaulan yang berbeda. Lingkungan pergaulan itu membentuk setiap tindakan tokoh. Salah satu tokoh yang memiliki modal sosial yang tinggi masih bisa mendapatkan uang dari sahabat-sahabat yang berada dalam posisi yang baik dalam masyarakat. Sedangkan tokoh yang lainnya yang memiliki modal sosial kurang baik hanya bisa meminta pertolongan dan membutuhkan uluran tangan atau bantuan.

Ambilah semuanya,” kataku.

“Ah, jangan. Kau nanti bagaimana?” katanya.

“Besok pagi-pagi Syam datang kemari. Dia janjikan uang

untukku,” kataku, berbohong.

“Kalu begitu, besok saja aku minta lagi uangmu,” katanya,

ketawa. Dia tahu aku bohong.

Dia memasukkan ke sakunya uang yang dikiranya cukup untuk kopi. Dia pergi (Bachri, 2001:33).


(44)

Dalam ketiga cerpen di atas sebenarnya keberadaan modal sosial tidak ditunjukkan secara eksplisit. Bagaimana keluarga, suku, atau sekolah mereka. Akan tetapi posisi mereka dalam masyarakat menunjukkan bahwa ada orang-orang atau kelompok yang memiliki modal sosial paling baik di dalam masyarakat. Hampir semuanya ditunjukkan dengan adanya pendidikan yang lebih baik ketimbang tokoh yang memiliki modal sosial kurang baik. Selain itu juga ditunjukkan perbedaan posisi mereka dengan relasi yang mereka dalam lingkungan sosial.

2.2.3 Modal Budaya

Modal budaya meliputi cara orang dalam bertindak, bersikap, dan berpenampilan dalam masyarakat. Termasuk modal budaya yaitu ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.

Dalam cerpen SCB yang berjudul “Ayam,” modal budaya tiap tokoh terlihat sangat berbeda. Hal itu menunjukkan bagaimana sebenarnya posisi mereka di dalam masyarakat berbanding dengan modal budaya yang mereka miliki masing-masing dan mereka hidupi.

Ayah Sasi adalah tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas. Dia bisa paham tentang sejarah. Dia mengerti tentang produk-produk yang berkualitas.

“Orang Irak Cuma bisa bikin minyak dan kurma. Yang

murah-murah buatan Cina dan Bangladesh,” aku bilang.


(45)

Jelas, dong, itu kan kurma Nabi Sulaiman,” jawabku.

“Lima ribu tahun yang lalu, kata Taufiq, Nabi Sulaiman

sering gentayangan di tempat kurma ini ditanam, jadi aku kira tentulah nenek moyang kurma ini pernah memberi makan Nabi Sulaiman,” aku bilang (Bachri, 2001:72).

Dia juga memiliki cara bergaul yang sangat kelas. Dia bisa menonton pembacaan sajak dengan teman-temannya di teater arena Babylon.

Maksudku, sambil duduk-duduk di bawah pohon kurma, menunggu teman-teman yang sedang asik menonton pembacaan sajak di teater arena Babylon, aku pungut buah kurma yang terus berjatuhan di bawah matahari yang tidak terlalu panas (Bachri, 2001:72).

Sikapnya juga menunjukan bahwa dia memiliki modal budaya yang baik, ditunjukkan dengan pola perilakunya dalam menghadapi situasi.

Bangun dinihari, mulai satu jam dari yang dianjurkan guru

spiritualku. “Life begins at two o’clock in the morning,”

kata guru yang memang bahasa Inggris. “Boleh nggak aku

tawar, “aku bilang. Dia tersenyum, aku ketawa. Lantas

mulailah aku membiasakan diri bangun jam tiga pagi, duduk menghadap meja, dan menghujani kompleks dengan bunyi mesin ketikku. Kalau kadang tak ada yang bisa diketik, aku membaca. Jika tak ada yang bisa aku baca, aku menyanyi-nyanyi atau bersiul-siul sampai pagi (Bachri, 2001:75).

Sudah menjadi kebiasaanku, sebelum pergi ke luar rumah, duduk-dudk santai dahulu di depan rumah, membaca koran ata majalah (Bachri, 2001:77).

Bahkan ketika menuju tempat teman-temannya di daerah Taman Ismail Marzuki, dia sempat membaca majalah di dalam bus.

Sambil menyandang tas aku pun keluar rumah. Setelah akhirnya dapat tempat duduk di dalam bus, aku ambil majalahdan mulai membaca di samping seorang mahasiswi yang sedang asik mengisi teka-teki silang (Bachri, 2001:81).


(46)

Ayah Sasi menunjukkan bagaimana dia bersikap terhadap orang lain dengan beberapa kejadian. Dia nampak seperti orang yang memiliki perilaku budaya yang sangat baik dalam masyarakat. Pertama, saat dia hendak ingin membunuh ayam milik Sasi yang sering berak dan merepotkan dirinya karena harus membersihkan kotorannya namun di sisi lain dia juga mash mengobatinya ketika ayam itu sakit.

Setiap pagi setelah mengetik, kedua anak ayam mulai berciap-ciap menggantikan bunyi mesin ketikku. Sambil memberikan makanan dan menuangkan air di tempat minumannya, aku berharap kedua binatang ini cepat saja mati. Tentu aku bisa memencet dengan kedua jariku dan matilah. Tapi, cara begitu tidak begitu cocok dengan perangaiku (Bachri, 2001:73).

Kedua ayam itu telah besar dan sudah saatnya untuk dipotong. Tapi, tak ada niatku untuk memotong. Memelihara ayam potong untuk tidak dipotong memang kurang masuk akal. Namun begitulah, ketika seekor ayam itu sakit, aku mencoba menyembuhkannya. Aku masukkan kapsul ampiclox 500 miligram sisa-sisa waktu aku sakit dahulu(Bachri, 2001:78).

Kedua, ketika dia hendak membuang ayam ke sungai dan berhadapan dengan orang-orang misin yang hidup di pinggir sungai.

Aku ingin memakinya. Tetapi kainnya yang kuyup gemetar, kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong menatap, menyumpal mulutku. Aku raba saku celana, aku keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku yang lain juga saku kemejaku. Aku memang ingat aku bawa uang seribu itu. Tapi, dalam keadaan seperti ini aku benar-benar mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah yang aku serahkan kepada wanita kuyu itu (Bachri, 2001:80).


(47)

Ketiga, ketika dia merasa bersalah membuang bangkai ayam itu di temat sampah kantor sahabatnya sehingga ayam itu diambil oleh pembantu di dalam kantor itu untuk dikonsumsinya.

“Pemalu juga rupanya Pak Abdul itu. Dia malu-malu kalau-kalau kita tak mau terima. Jadi berlagak nyentrik dan

pura-pura pikun, dia taruh saja di keranjang sampah.” “Ah, bukan

pemalu. Bijak kok. Coba kalau di rumah langsung nyodorkan ayam mati kepada kita, tentu dia takut kalau-kalau kita tersnggung. Omong-omong enak juga ya. Masih

ada nggak sisanya?” “kan sudah aku bawa pulang.”

Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pint toilet pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan menceritakan segalanya (Bachri, 2001:84).

Sedangkan tokoh-tokoh lain seperti orang-orang yang hidup dipinggiran sungai itu memiliki modal budaya yang kurang baik di dalam tatanan masyarakat. Terlihat dari bagaimana mereka bersikap dan berpakaian.

Dari semak-semak di seberang muncul tubuh wanita kerempeng dengan kutang yang kumal. Ia menatap ke arahku dan remang-remang kelihatan nasib membikin dia lebih tua daripada usianya. Pastilah istri salah satu orang-orang ini, pikirku (Bachri, 2001:80).

Ia baru saja menaiki tebing sungai. Erat-erat dipelukknya kantung plastik itu. Aku rampas saja. Ia tak mengiba. Tak meronta. Tak menangis Cuma terperangah. Agaknya ia tak menyangka ada orang yang begitu hebat membela bangkai ayam (Bachri, 2001:80).

Ada juga ibu-ibu pegawai yang biasanya membuat kopi untuk para karyawan. Mereka melakukan tindakan-tindakan yang terlihat tidak memiliki modal budaya yang baik. Tindakan itu seperti memungut ayam yang sudah meninggal dari dalam sampah untuk dijadikan lauk makan.


(48)

kalau-pura pikun, dia taruh saja di keranjang sampah.” “Ah, bukan

pemalu. Bijak kok. Coba kalau di rumah langsung nyodorkan ayam mati kepada kita, tentu dia takut kalau-kalau kita tersnggung. Omong-omong enak juga ya. Masih

ada nggak sisanya?” “kan sudah aku bawa pulang.”

Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pint toilet pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan menceritakan segalanya (Bachri, 2001:84).

Selanjutnya di dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” juga ditunjukkan dengan jelas bagaimana modal budaya dari masing-masing tokoh. Hal-hal itu sangat tampak terlihat dari bagaimana mereka berpenampilan, bersikap, dan bertutur kata. Tokoh-tokoh yang memiliki modal budaya paling tinggi di dalam cerita tersebut adalah para penyair, yaitu: Rahman, Amir, dan Nahar. Sedangkan pemilik warung dan pelacur tidak memiliki modal sebaik para penyair tersebut.

Ketiga lelaki itu bajunya lusuh, dan malam dan warung yang muram membikin lusuh bajunya bertambah kumal kelihatan. Seorang dari mereka, yang bersampingan dengan pelacur tua, memakai topi. Topi itu disediakan untuk mentari siang tadi, tapi bila malam tiba dibiarkannya saja di sana, di atas kepalanya, di bawah bulan dan pada malam yang dingin datangnya. Debu jalanan menutupi jaket tipis dari yang seorang lagi. Debu itu tebalnya karena debu jalan sepanjang siang. Tapi, biru baru jaket itu masih dapat kelihatan. Sedang yang satu lagi belum bercukur. Bulu-bulu banyak di mukanya membikin dia yang paling kumal di antara mereka (Bachri, 2001:19).

Pelacur tua itu terlihat sudah tidak memiliki tampilan yang memadai untuk menjadi pelacur yang bisa mendapatkan banyak keuntungan. Hal itu terlihat dari perwakannya yang digambarkan di dalam cerpen tersebut.


(49)

tetap diam dan sesuatu yang kosong dalam dadanya makin besar rasa kosongnya. Dan dia diam-diam memandang mata pelacur tua itu yang jadi bertambah merah dalam marahnya. Pipi yang dibedaki merah jadi seperti tomat yang mau busuk kelihatan. Bibir keriput agak segar kena air liur dan teriakkan. Urat lehernya membuat cekung yang panjang dalam dongakan menantang. Pelacur tua itu memandang yang punya warung. (Bachri, 2001:23)

Hal itu menunjukkan sebenarnya bagaimana pelacur tua itu menutupi penampilannya. Dia merasa harus berjuang bagaimana sebisa mungkin untuk menjadi lebih cantik agar sanggup memikat orang-orang. Sedangkan pemilik warung tidak digambarkan dengan jelas namun pembawaannya saat menjaga hingga laruh malam sampai-sampai dan harus menahan kantuknya berkali-kali menunjukkan bagaimana perjuangannya untuk sampai pada posisi yang lebih baik.

Yang punya warung, perempuan tua yang lebih tua lagi karena beban kantuknya mulai memperhatikan mereka. Diusapnya bibirnya dengan telapak tangan, dia mengusir kantuknya di sana. Dan matanya berusaha memadatkan pandangan pada mereka (Bachri, 2001:22).

Tapi, kosong itu tetap makin besar rasa kosongnya, menangkup segala yang tinggal dari pelacur tua itu, tempat duduknya, gelas yang kosong, sisa kue, dan sisa-sisa makian yang masih dapat kedengaran ditinggalkannya di ujung jalan. Rahman memandang yang punya warung. Yang punya warung telah dari tadi kembali menunduk dalam kantuknya (Bachri, 2001:25).

Hal-hal lain yang menunjukkan modal budaya yang berbeda adalah dari cara tokoh-tokoh tersebut dalam bertutur kata ataupun bersikap. Terlihat ketiga penyair tersebut sangat santai dalam melontarkan kalimat-kalimat yang sebenarnya sulit untuk diterima oleh kelompok yang lainnya. Namun, balutan


(50)

“Coba kaubayangkan bila kita yang begini muda kehabisan daya cipta,” kata Nahar, “Aku benar-benar takut.”

“Hm,” kata rahman.

“Aku tak takut hutang. Aku tak takut sipilis. Aku tak takut gonorrheoa. Aku takut Tuhan menghilangkan daya

kreatifku,” kata Nahar.

“Aku takut Tuhan. Aku juga takut sipilis dan gonorrheoa,” kata Nahar.

“Lagipula, kalau kau sipilis atau gonorrheoa, kau tak bisa

menulis,” kata Amir.

“Tidak, aku tak takut sipilis, Aku tak takut gonorrheoa,” kata Nahar. Dia mencengkam cepat-cepat pada antara dua

pangkal paha pelacur tua itu. Pelacur itu menjerit, “Au,”

kemudia tertawa kecil, “Ha...ha...” (Bachri, 2001:21).

Sedangkan pemilik warung lebih memilih menjadi sosok yang mendengarkan. Sekali-kali berbicara untuk menempatkan posisinya di pihak yang lebih kuat. Dalam hal ini berada di dalam pihak para penyair tersebut.

Pelacur tua itu memandang yang punya warung, minta diiyakan. Yang punya warung diam. Dia sering mendengar pertengkaran di warungnya dan biasanya dia diam saja. Karena setiap pertengkaran selalu asalnya sama saja, mempertahankan kepura-puraan. Tetapi, lelaki itu memang ada benarnya, pikirnya (Bachri, 2001:21).

Nasib lain harus diterima pelacur tua itu. Modal budaya yang dia miliki dalam kehidupan bermasyarakat membuatnya berada di posisi yang kurang bagus sehingga tampak tidak memiliki kekuatan karena tidak adanya modal kuat untuk melakukannya. Hal yang bisa dilakukannya hanya menerima atau bila marah pun itu lebih kepada dia tidak percaya akan hal-hal yang harus dia terima.

Memang sudah lama kelihatan orang tak mengambilnya lagi. Orang hanya megang dadanya, memegang-megang pahanya, mememegang-megang-memegang-megang pantatnya saja di sini. Dan lelaki yang memegang membayarkan kopi dan kue-kue ang dimakannya. Memang tak pernah kelihatan lagi dia


(51)

pergi dengan lelaki yang memeganginya, pikirnya (Bachri, 2001-23).

Bahkan kemarahannya pun harus terjadi ketika hinaan itu datang lebih dari tiga kali. Kata-kata pasrahnya juga menunjukkan sikapnya yang lemah dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya.

“Aku tak takut sipilis,” kata Nahar, “Kau bayarkan aku, Man. Biar aku main dengannya.”

“Aku tak sipilis,” kata pelacur tua itu (Bachri, 2001:22).

“Bayarkan dia, Man,” kata Amir, biar dia rasa sipilis itu apa.”

“Aku tak sipilis!” pelacur itu marah dan marahnya datang

sendirian (Bachri, 2001:22).

“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.

“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi (Bachri, 2001:22).

“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.

“Aku memang tak sipilis,” kata si pelacur itu lagi. (Bachri, 2001:22)

“Aku tak sipilis. Aku tak gonorwa. Aku tak pernah sakit,”

dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya ta kelihatan.

“Ayolah main, katanya pada Nahar. “Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.

“Tak usah bayar,” kata pelacur itu, “Aku tak sakit.” (Bachri, 2001:24)

“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” Pelacur itu menangis dan

tomat yang mau busuk itu pecah sekarang. Dia keluar berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang muram (Bachri, 2001:24).

Selanjutnya dalam cerpen “Tahi,” ada dua tokoh yang memiliki


(52)

lebih tinggi memiliki sikap yang lebih santai dan menjalani hidupnya dengan lepas bebas walaupun hal itu juga disaingi oleh tokoh yang modal budayanya lebih rendah. Akan tetapi ketergantungan tokoh dengan modal budaya yang lebih rendah kepada tokoh yang lainnya menunjukkan perbedaan modal budaya di sana.

“Aku lapar, sudah empat hari tidak makan,” katanya. “Ada nasi di rumah,” kataku.

“Ada?”

“Ada! Di dapur, dalam rantang ditutup koran.”

Dia mengulurkan tangannya yang kering kurus coklat berdaki. Jari-jarinya cepat menangkap kunci yang kuberikan. Dia pergi. Aku pergi. Kami berpisah. (Bachri, 2001:31).

Bahkan tokoh dengan modal budaya yang lebih rendah tersebut tidak bisa membedakan tahi dan nasi goreng.

“Tahi itu!” “Apa?” katanya.

“Tahi. Yang kaumakan itu tahi!”

“Ya,benar. Nasi gorengmu sekarang sudah jadi tahi,”

katanya, ketawa-tawa sambil mengetuk-ngetuk perutnya. Ketukan itu padat kedengaran. Dan tanganku makin kuat getarannya (Bachri, 2001:32).

Belum cukup sampai di situ. Dia juga meminta rokok. Sikap meminta hanya ada di dalam kelompok yang tidak memiliki modal budaya yang lebih rendah karena bila yang memiliki modal lebih tinggi tidak memberi maka tidak akan didapat hal yang diharapkan dari orang yang meminta tersebut.

“Kau yang gila,” bentakku. “Kau tak gila?” katanya. “Aku tak gila,” kataku.

“Kau tak gila! Aku tak gila. Aku tak lapar. Makanlah nasi itu. Aku masih kenyang,” katanya agak berteriak. “Kau ada rokok?” katanya melanjutkan. (Bachri, 2001:33).


(53)

Walaupun kemudian perasaan bersalah muncul lagi di dalam cerpen ini karena merasa telah membuat sahabatnya memakan tahi yang ditaruh di dalam rantang. Bercaandaan kembali menjadi hal yang membuat dia lupa bahwa kelaparan menjadikan sahabatnya tidak mengerti bahwa tahi telah dimakannya.

Soalnya itu tahi. Ah tahi! Ah tabahnya dia! Empat hari tak makan masih ada kuatnya berjalan di bawah pekat matahari. (Bachri, 2001:34).

Dalam ketiga cerpen SCB yang berjudul, “Ayam,” “Suatu Malam Suatu Warung,” dan “Tahi,” ditunjukkan bagaimana perbedaan modal budaya yang tiap -tiap tokoh miliki. Hal itu membuat cara bersikap dan berpenampilan dari masing-masing tokoh sangat berbeda.

Hal-hal yang menonjol ditunjukkan dengan cara tokoh bersikap dalam menghadapi situasi. Tokoh yang memiliki modal budaya lebih baik merasa bersalah walaupun dia tidak sadar bahwa hal itu juga terjadi akibat dirinya. Segala kebaikan yang telah dilakukannya seperti sudah menjadi hal yang cukup atas perbuatan yang sudah dilakukannya.

Uniknya di dalam ketiga cerpen tersebut, para tokoh yang memiliki modal budaya lebih tinggi masih peduli dengan tokoh yang tidak memiliki modal budaya cukup baik. Sikap-sikap tersebut sangat menunjukkan bagaimana kelompok dengan modal budaya lebih kuat bisa menentukan nasib kelompok-kelompok dengan modal budaya yang kurang baik. Kelompok tersebut memegang peranan. Tindakan mereka sangat menetukan kelompok-kelompok yang lainnya. Bahkan, kelompok-kelompok lain merasa mendapatkan kebaikan dari mereka.


(54)

2.2.4 Modal Simbolik

Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritasnya (Haryatmoko, 2003:12).

Modal simbolik juga merupakan sesuatu yang dikenali dan diakui secara natural, seperti; tempat tinggal, hobi, tempat makan, dan sebagainya (Martono, 2013:33).

Dalam cerpen “Ayam” ditunjukkan dengan keluarga seorang penyair. Dia

memiliki istri, anak, dan tempat tinggal yang layak.

Turun dari taksi, di halaman rumah di balik pohon jambu kerdil, di tanah sempit penuh dengan pepohonan perdu, sudah menunggu dua ekor anak ayam dalam sangkar burung (Bachri, 2001:71).

Selanjutnya simbol lain ditunjukkan dengan sahabat-sahabat dari penyair tersebut. Dia punya sahabat-sahabat yang melambangkan ada dalam kelompok sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ditunjukkan pula bagaimana hobinya di dalam cerpen tersebut.

Maksudku, sambil duduk-duduk di bawah pohon kurma, menunggu teman-teman yang sedang asik menonton pembacaan sajak di teater arena Babylon, aku pungut buah kurma yang terus berjatuhan di bawah matahari yang tak terlalu panas (Bachri, 2001:72).

Aku tinggalkan kantor sepi itu dan aku pergi membeli film ke Jalan Sabang (Bachri, 2001:83).


(55)

Selain itu dia juga mempunyai teman seorang penyair yang terkenal yaitu Taufiq Ismail. Dia juga mempunya teman seorang bos di dalam sebuah kantor. Terlihat dari panggilan akrab dari teman, bukan atasan.

Malam harinya di lobi hotel, kawanku penyair Taufiq Ismail bilang, daerah yang kami kunjungi itu dulunya kawasan Nabi Suaiman (Bachri, 2001:72).

Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pintu toilet pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan menceritakan segalanya. Aku bawa dia ke sudut ruangan agak jauh dari teman-teman yang sibuk ngobrol. Lantar aku paparkan kisah ini (Bachri, 2001:84).

Kawan-kawannya juga orang yang bukan sembarangan dalam memilih makan. Mereka bahkan mereka membutuhkan makanan khusus di kala kantor sedang mempunyai banyak pesanan.

Tiga hari tiga malam repot terus di kantor. Semua jadi sibuk. Juga ibu pembikin kopi. Kalau sudah sibuk begitu ia tidak hanya berfungsi sekadar memasak air dan membikin kopi tetapi juga harus memasak menu khusus atau jamu. Maklumlah sahabat-sahabatku para bos ini banyak pantangan makanannya, tak bisa begitu saja pesan makanan di restoran Padang atau semacamnya (Bachri, 2001:83).

Kemudian ibu-ibu yang memesak di kantor tersebut memang tidak disebutkan bagaimana rumahnya maupun hobinya. Namun setidaknya mereka bekerja dan memiliki penghasilan untuk mencukupi hidupnya. Hal itu melambangkan kelas mereka masih lebih baik dibanding orang-orang yang tinggal di pinggir sungai.

Orang-orang tersebut jelas secara simbolis nampak bahwa mereka berada dalam kelas yang tidak beruntung. Mulai dari tempat tinggal, bahkan hingga selera makan. Ditunjukkan pula bagaimana bentuk tubuhnya dan penampilannya


(1)

Ha ha haha! Dia sedang membaca seenaknya (Bachri, 2001:31).

3.2.3 Menciptakan Dunia

Dalam menciptakan dunia, manusia harus mengubah bagaimana dunia itu diciptakan. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan menciptakan dunia. Dengan memiliki kekuasaan simbolik, pelaku sosial memiliki kekuasaan untuk menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih penting lagi kekuasaan untuk memberi nama atau membuat defenisi: maskulin/feminin, atas/bawah, kuat/lemah, bahkan juga baik/buruk, benar/salah, dan lain-lainnya (Rusdiarti, 2003:39).

Dalam ketiga cerpen SCB ada perisiwa-peristiwa di mana dunia diciptakan. Cerpen “Ayam,” ditunjukkan dengan istri dari penyair tersebut tidak mau memberikan uang cuma-cuma. Orang harus bekerja dan berjuang. Penciptaan dunia baru menghapuskan rasa belas kasihan yang menjadi salah satu indikasi kekerasan simbolik.

Penciptaan dunia baru juga dimunculkan dengan perasaan bersalah dari kelas dominan. Cerpen “Ayam” dan “Tahi” menggambarkan tentang bagaimana kelas dominan menjadi merasa bersalah atas perbuatan mereka.

3.3 Rangkuman

Dalam ketiga cerpen SCB bentuk kekerasannya lebih dominan pada simbol sopan santun, pemberian, utang, dan belas kasihan.


(2)

Contohnya dalam cerpen “Ayam,” menunjukkan bagaimana hati-hatinya seorang dalam membuang ayam. Hingga akhirnya dengan satir ditunjukkan bahwa bangkai ayam tersebut tetap menjadi makanan untuk orang lain. Bahkan, mereka menikmati dan menganggap membuang ayam pada sampah di kantor adalah sebuah kebenaran tanpa berpikir kritis. Ayam bukan merupakan lambang dari sampah kantor. Ketika orang lain dari kelompok kelas yang lebih rendah mendapatinya, mereka akan berpikir bahwa itu adalah sebuah pemberian karena mereka merasa hal itu bukan bentuk kekerasan.

Kemudian dalam cerpen-cerpen SCB yang menunjukkan adanya kekerasan melalui mekanisme sensorisasi adalah dengan kesantunan dan kedermawanan. Kesantunan bisa dilihat dari ucapannya kepada kelompok lain dan kedermawanan bisa dilihat dari bentuk pemberian yang cuma-cuma.

Lalu dalam penciptaan dunia baru, ditunjukkan dalam cerpen “Ayam,” istri dari penyair tersebut tidak mau memberikan uang cuma-cuma. Orang harus bekerja dan berjuang. Penciptaan dunia baru menghapuskan rasa belas kasihan yang menjadi salah satu indikasi kekerasan simbolik. Cerpen “Ayam” dan “Tahi” menggambarkan tentang bagaimana kelas dominan menjadi merasa bersalah atas perbuatan mereka.

Dalam bab ini dibahas mengenai berbagai mekanisme kekerasan simbolik. Analisis kekerasan simbolik yang mencakup mekanisme eufimisme dan mekanisme sensorisasi. Praktik kekerasan tersebut ditemukan di dalam cerpen-cerpen karya SCB. Akan tetapi, penciptaan dunia juga terjadi di dalam karya tersebut.


(3)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Cerpen-cerpen Sutardji Calzoum Bachri lebih banyak menggambarkan kehidupan sosial masyarakat. Sutardji seperti menangkap kehidupan sehari-hari masyarakat dan dituangkan ke dalam cerpen-cerpennya. Melalu simbol-simbol dan bentuk-bentuk yang sederhana, cerpen tersebut menampilkan perbedaan-perbedaan kelas di dalam masyarakat.

Perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus melulu tentang kelompok dominan yang digambarkan dengan penguasa yang kaya raya dan memiliki banyak uang. Sedangkan kelompok yang tertindas adalah kelompok-kelompok yang sangat miskin hingga tidak sanggup berbuat apapun. Akan tetapi cerpen-cerpen tersebut menggambarkan tentang masyarakat yang hidup biasa-biasa saja dan terlihat normal namun praktik kekerasan juga terjadi di sana.

Dari cerpen-cerpen yang sudah dianalisis terlihat jelas bahwa modal ekonomi menjadi modal paling kuat di dalam masyarakat. Modal ekonomi menjadi pilar berharga bila orang ingin berjuang di dalam sebuah arena. Selain itu habitus tiap-tiap kelas juga berbeda-beda dan tidak mungkin kita menyamakannya. Hal itu terbentuk sangat lama hingga menjadi sebuah kebiasan. Penciptaan dunia baru-lah yang akan bisa mengubahnya. Habitus yang tertanam itu terlihat sekali sangat mempengaruhi kehidupan masing-masing kelompok masyarakat.


(4)

Kekerasan simbolik yang ada di dalam cerpen tersebut digambarkan dengan sangat halus melalui tingkah laku, cara hidup dan simbol-simbol yang ada di dalam setiap tokoh. Kekerasan itu tidak menjurus ke dalam hal-hal yang fisik melainkan melalui simbol-simbol yang dibangun oleh tokoh yang lebih kuat kepada tokoh yang lebih lemah.

Bentuk kekerasannya bermacam-macam namun pihak yang menerima kekerasan itu merasa dirinya layak mendapatkannya. Bahkan bukan lagi menjadi sebuah kekerasan. Selanjutnya yang menarik dicatat adalah ketika tokoh yang melakukan kekerasan itu menjadi kecewa dan sadar akan tindakan-tindakannya. 4.2 Saran

Kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri memiliki banyak simbol-simbol. Cerpen tersebut juga bisa diteliti dalam hubungannya dengan sejarah dan tentang keterkaitan simbol-simbol di dalam sejarah karena semua cerpennya ditulis ketika masa Orde Baru.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bachri, Sutardji Calzoum. 2001. Hujan Menulis Ayam. Magelang: Yayasan Indonesia Tera

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural. Diterjemahkan oleh Yudi Santosa. Yogyakarta: Kreasi wacana

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Buku Seru

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: Kanisius

Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kkepalsuan Budaya Penguasa”. dalam Majalah Basis, No.11-12, November-Desember 2003, hlm. 5-23

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rusdiarti, Suma Riella. 2003. “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan”. dalam Majalah Basis, No.11-12, November-Desember 2003, hlm. 31-40 Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press


(6)