Analisis Daya Dukung Lahan Di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara

ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU,
SULAWESI TENGGARA

MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Dukung
Lahan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016


Muhammad Mu’min Fahimuddin
P052120271

RINGKASAN
MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN. Analisis Daya Dukung Lahan di
Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BABA BARUS dan SRI
MULATSIH.
Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan untuk
mendukung aktivitas hingga tingkat tertentu. Telah banyak konsep dikembangkan
untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik lingkungan dan
ekonomi. Selain itu, daya dukung dimaknai pula sebagai batasan polulasi pada
daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat ditentukan oleh jumlah sumberdaya
dan tingkat konsumsi.
Mengetahui daya dukung lahan di wilayah perkotaan sangatlah penting.
Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi
membantu mengetahui penggunaan lahan lebih menitikberatkan pertimbangan
ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil riset yang telah banyak dilakukan
menunjukkan bahwa secara global telah terjadi peningkatan luasan penggunaan
lahan terbangun. Kecenderungan ini juga terjadi pada kota-kota di Indonesia tak

terkecuali di Kota Baubau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya dukung lahan di Kota
Baubau baik secara fisik lahan maupun ekonomi lahan dan merumuskan arah
kebijakan melalui penataan ruang. Metode penelitian ini dengan dua pendekatan
yaitu pendekatan fisik dan ekonomi lahan. Pendekatan fisik terdiri atas analisis
penggunaan lahan aktual, analisis kemampuan lahan dan rencana pola ruang. Tiap
analisis menghasilkan peta yang ditumpangtindihkan untuk menghasilkan status
daya dukung lahan secara fisik. Pendekatan ekonomi lahan dilakukan melalui
perhitungan nilai ekonomi setiap penggunaan lahan. Nilai ekonomi lahan
diperoleh melalui nilai ekonomi dinamis dan nilai ekonomi statis. Nilai ekonomi
dinamis berdasarkan nilai produktivitas lahan (recardian rent) sedang nilai
ekonomi statis berdasarkan nilai biaya yang dibutuhkan untuk membuat
penggunaan lahan tersebut. Nilai ekonomi dibandingkan nilai Kualitas Hidup
Layak (KHL) untuk mengetahui memenuhi daya dukung secara ekonomi atau
tidak memenuhi. Hasil penilaian dengan pendekatan fisik lahan dan ekonomi
ditumpangtindihkan untuk mengetahui status daya dukung lahan berkelanjutan
atau tidak berkelanjutan.
Secara fisik lahan di Kota Bauabau yang memenuhi daya dukung adalah 21
890.80 ha (74.68 %) dan tidak memenuhi seluas 7 423.13 ha (25.32 %). Secara
ekonomi, tujuh kelurahan yang tidak memenuhi daya dukung dari 38 kelurahan di

Kota Baubau. Hasil overlay antara daya dukung fisik dengan ekonomi lahan
menunjukkan status keberlanjutan dimana 21 421.25 ha (73.08 %) berkelanjutan
dan 7 892.68 ha (26.92 %) tidak berkelanjutan. Kebijakan rencana penataan
ruang di Kota Baubau hingga tahun 2030 luas penggunaan lahan terbangun
meningkat hingga 45.43 %. Peningkatan tersebut diikuti dengan berkurangnya
luasan lahan pangan dan kehutanan. Berdasarkan hal tersebut arahan pengelolaan
lahan di Kota Baubau dilakukan dengan pengendalian penggunaan lahan
terbangun dan perlindungan lahan pangan dan konservasi (kehutanan).
Kata kunci: Baubau, daya dukung lahan, ekonomi lahan, kemampuan lahan,
penggunaan lahan

SUMMARY
Muhammad Mu'min Fahimuddin. Carrying Capasity Analysis of Land in
Baubau City, Southeast Sulawesi Province. Supervised by BABA BARUS and
SRI MULATSIH.
Carrying capacity defined as the ability of environment to support activities
to a specific level. Many of the concepts that have been developed to explain the
carrying capacity of the environment including physical carrying capacity and the
economy carrying capacity. Moreover, the carrying capacity can also be
interpreted as limiting the density of polulasi certain area and a certain time.

These limits are largely determined by the amount of resources and the level of
consumption.
Knowing the carrying capacity of land in urban areas is very important.
Carrying capacity of land with ecological and economic approach can help to
determine whether a land use more focus to ecology or economy, or both. The
results of the research that has been done shows that globally there has been a
increase in the extent of use of undeveloped land. This trend also occurred in
several cities in Indonesia including in Baubau city.
This study aims to determine the carrying capacity of the land in the City
Baubau both physically and economically, and to formulate policy direction
through the arrangement of space. This research method with two approaches,
physical and economic approaches land. Physical approach consists of the
analysis of the actual land use, land capability analysis and spatial pattern plan.
Each analysis produce maps that overlaid to generate status carrying capacity of
land to physically. Economic land approach is done by calculating the economic
value of each class of land use. The economic value of the land acquired through
the dynamic economic value and static economic value. Dynamic economic value
based on the production of land use (recardian rent), while static economy value
based on the costs required to make the land use. The economic value compared
to the value of the Quality of Life to determine the carrying capacity economically

meet or not meet the carrying capacity. Results of the assessment with the
physical and economic approach overlaid to know the status of carrying capacity,
sustainable or unsustainable.
Physically (ecology) of land in the Baubau city that meet the carrying
capacity is 21 890.80 ha (74.68%), which does not meet the carrying capacity is 7
423.13 ha (25.32%). Economically there are seven villages that do not meet the
carrying capacity of 38 villages. If an overlay between the physical and economic
carrying capacity of land shows the status of sustainability in which 21 421.25 ha
(73.08%) sustainable and 7 892.68 ha (26.92%) are not sustainable. Furthermore,
the policy of spatial planning in the Baubau city to 2030, area build up land and
high economic activity increase to 45.43%. The increase was accompanied by a
reduced land area of food and forestry. Based on the mentioned, the direction of
land management in the Baubau city to do with controlling the use of build up
land; and protection to land of food and conservation (forestry).
Keywords: Baubau city, the carrying capacity of the land, land economics, land
capability, land use.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU,
SULAWESI TENGGARA

MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DEA

PRAKATA
Segala puji dan rasa syukur tak terhingga penulis haturkan karena tesis ini
salah satu anugerah yang luar biasa dari Allah SWT. Shalawat dan salam
kerinduan yang teramat sangat untuk kekasih Ilahi, Muhammad SAW karena
telah membawa petunjuk keselamatan dan panutan akhlak yang baik. Melalui
Baginda Rasul Muhammad SAW Habibillah, penulis peroleh keteladanan tentang
perjuangan dari sebuah proses.
Karya tulis ini tak sekadar sebagai upaya memenuhi syarat menyelesaikan
studi magister di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun didorong oleh
kegelisahan dan rasa ingin tahu terkait studi daya dukung di perkotaan khususnya
Kota Baubau.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kecenderungan
pembangunan perkotaan di Indonesia semakin mengenyampingkan aspek ekologi.
Kalaupun ada, sebatas tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan yang
faktanya masih dilaksanakan setengah hati.

Kajian isu lingkungan saat ini telah mendapat perhatian yang serius dimata
dunia. Perhatian tersebut memuncak diawal dekade 70-an dengan dicetuskan
KTT Bumi pertama di Stockholm, Swedia.
Bahkan KTT Bumi ikut
mempengaruhi lahirnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nama kementerian Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi kementerian Negara Lingkungan
Hidup. Sejak itu, Indonesia mulai aktif mengikuti pertemuan KTT Bumi tahun
1982 di Nairobi, Kenya dan menjadi anggota World Commission on Environment
and Development (WCED).
Salah satu isu lingkungan hidup yang sering mencuat dipermukaan adalah
daya dukung (carriying capasity) lingkungan. Daya dukung (carrying capasity)
secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu untuk
menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber
daya yang dimilikinya. Terdapat tiga persoalan pelik yang sering kali dikaitkan
dengan masalah daya dukung yaitu tekanan penduduk (populasi), kebutuhan
ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya. Saat ini, daya dukung digunakan
untuk mengukur tingkat keberlanjutan baik wilayah tertentu maupun bumi secara
global.
Tesis ini mencoba mengurai wilayah yang lebih kecil yakni lahan Kota

Baubau dengan pendekatan daya dukung. Pemilihan ini cukup beralasan karena:
pertama, hampir semua sektor dan aktivitas pembangunan dilakukan diatas lahan.
Aktivitas pembangunan tersebut sangat menentukan pola penggunaan lahan yang
terjadi. Kedua, kajian daya dukung lahan sangat penting untuk wilayah perkotaan
karena aktivitas ekonomi, pembangunan dan perubahan penggunaan lahan sangat
dinamis terjadi di kota. Ketiga, penulis sangat merasakan betul “denyut nadi”
pembangunan di Kota Baubau. Di kota ini hampir tidak ada kajian yang lebih
serius terkait lingkungan hidup. Menurut penulis, Kota Baubau sebagai kota yang
masih relatif muda, kajian daya dukung lahan penting menjadi arahan
pembangunan dan langkah preventif terjadinya kerusakan lahan (ekologi).
Sejak proses pengumpulan data hingga penulisan tesis ini melibatkan
banyak pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus
kepada mereka. Pertama-tama Bapak Dr. Ir. Baba Barus,MSc dan Ibu Dr. Ir. Sri
Mulatsih, MSc.Agr selaku pembimbing I dan II yang tidak hanya memberikan

arahan namun tak bosan memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan buat
Bapak Lala M Kolopaking dan Bang Sofyan Sjaf yang telah memberi kesempatan
belajar di PSP3-IPB melalui Sekolah Drone Desa (SDD) sehingga banyak
gagasan tesis ini penulis “uji coba” di sana. Penulis juga berterima kasih kepada
Pemerintah Kota Baubau dan jajaran SKPD-nya yang telah menfasilitasi berbagai

data.
Tak lupa pula penulis berterima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan
PSL 2012, kawan-kawan RUMANA IPB SULSEL yang selalu berbagi keceriaan
disaat suntuk, kawan-kawan RESPECT, rekan-rekan Sekolah Drone Desa (SDD)
PSP3-IPB yang telah menemani belajar. Saudaraku se-rumah kontrakan Dik
Fiqar, Dik Fitrah, kawan janjang dan yang datang belakangan Yadi Laode dan
kawan Ibo, kalian luar biasa dan sangat membantu. Terima kasih untuk Kanda
Yusran Darmawan bersama keluarga kendati saya selalu mengajak “ribut” tapi
selalu menjamu sebagai saudara dan hadir saat penulis Kanker (kantong Kering).
Terkhusus kedua orang tua penulis ayahanda Drs. H. Faimuddin dan Ibunda
Nursia yang telah membukakan pintu dunia dan memperkenalkan isinya,
memberikan nasehat, petuah dan inspirasi, memanjatkan doa-doa terbaik setiap
waktu. Sungguh ananda penuh dosa dan belum membalas segala kebaikan kalian.
Mertua penulis, Alm. Drs. Supomo Supadi dan Almh. Sulfiani Supomo, posisi
kalian sudah seperti orang tua penulis. Terima kasih telah menitipkan buah hati
kalian untuk mendampingi penulis saat susah dan senang. Ya Allah, berikan
tempat terbaik disana buat kedua mertua hamba. Aamin.
Teristimewa untuk istriku tercinta Fira Diah Setiawaty yang semoga kelak
menjadi bidadariku di surga. Terima kasih telah dengan sabar mendampingi,
menyemangati dan mencurahkan segala kasih ditengah segala kekuarangan. Ayah

janji akan membuatkan rumah indah itu untukmu agar tenang mendidik anak-anak
kita. Amiratushafirah, engkau belahan hati dan kedua biji mataku. Maafkan
Ayah, Nak..,karena usiamu yang kini 4 tahun, selama 3 tahun Ayah tidak berada
disampingmu. Kata-katamu “Amirah rindu Ayah” selalu menjadi penyemangat
buat ayah.
Akhirul kalam, akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada segala
pihak yang telah membantu dan tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Di
tengah bangsa ini yang begitu besar, karya tulis ini hanyalah langkah kecil dari
niat tulus untuk mengabdi kepada negeri. Atas segala kekurangan dari karya tulis
ini penulis mohonkan masukan yang konstruktif untuk perbaikan pada penelitian
selanjutnya.
Bogor, Maret 2016

Muhammad Mu’min Fahimuddin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
3
Tujuan
4
Manfaat Penelitian
4
Kerangka Pemikiran
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
5
Daya Dukung (Carrying Capasity)
5
Penggunaan Lahan
7
Kemampuan Lahan
9
Land Rent
10
Geographic Information System (GIS)
11
3 METODE PENELITIAN
12
Lokasi dan Waktu Penelitian
12
Alat Penelitian
12
Jenis dan Sumber Data Penelitian
12
Analisis Data
13
Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan
13
Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual
144
Analisis Kemampuan Lahan
14
Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana
Pola Ruang
16
Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan
23
Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya
Dukung Lahan
24
4 KONDISI UMUM WILAYAH
25
Administrasi Wilayah
25
Kondisi Fisik Wilayah
26
Topografi
26
Klimatologi
26
Hidrologi
26
Kondisi Sosial Ekonomi
27
Perekonomian
27
Rencana Pola Ruang Kota Baubau
28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
29
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan
29
Penggunaan Lahan Aktual
29
Analisis Kemampuan Lahan
41
Evaluasi Penggunaan Lahan aktual dan Pola Ruang RTRW
45
Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Kemampuan
Lahan
45
Evaluasi Keselarasan Rencana Pola Ruang RTRW Terhadap Kemampuan
Lahan
47

Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Rencana Pola
Ruang RTRW
50
Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan Aktual dan
Rencana Pola Ruang RTRW
52
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan.
55
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan
58
Penggunaan Lahan Pertanian
58
Penggunaan Lahan Peternakan dan Tambak
59
Penggunaan Lahan Kehutanan
60
Penggunaan Lahan Hotel
60
Penggunaan Lahan Pemukiman
60
Penggunaan Lahan Komersil
61
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik
62
Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara
62
Penggunaan Lahan Pemakaman dan Terminal
63
Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat Ibadah
dan Jalan
63
Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan
63
Arahan Pengelolaan Lahan Berbasis Daya Dukung Lahan
69
Rumusan Asumsi
69
Penilaian Daya Dukung Lahan
70
Arahan Tindak Lanjut
74
6 SIMPULAN DAN SARAN
76
Simpulan
76
Saran
76
DAFTAR PUSTAKA
76
RIWAYAT HIDUP
102

DAFTAR TABEL
3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan
pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap
kemampuan lahan
3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan
3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW
3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola
ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual
3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan
dan nilai ekonomi lahan
4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada
tahun 2010 dan 2011
5.1 Klasifikasi penggunaan lahan aktual Kota Baubau.
5.2 Foto lapangan dan citra setiap penggunaan lahan aktual

15
18
19
20
215
25
28
30
32

5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau
5.4 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terrhadap
kemampuan lahan
5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau
5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap
kemampuan lahan
5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana
pola ruang RTRW
5.8 Luas setiap kategori keselelarasan lahan dikota Baubau
5.9 Populasi jenis ternak/komoditi di Kota Baubau
5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik
5.11 Nilai land rent beberapa penggunaan lahan aktual
5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap
kelurahan di Kota Baubau
5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik
lahan dan nilai ekonomi lahan
5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak
berkelanjutan perkelurahan

45
47
48
49
52
53
59
62
64
68
71
73

DAFTAR GAMBAR
1.1
3.1
3.2
4.1
5.1
5.2

5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9
5.10
5.11
5.12

Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau
Peta lokasi penelitian
Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use)
Peta rencana pola ruang RTRW Kota Baubau
Peta penggunaan lahan Kota Baubau
Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas
tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan sebaran
faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan lahan di Kota
Baubau
Kelas kemampuan lahan di Kota Baubau
Sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau
Evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan
Evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan
lahan
Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola
ruang RTRW
Evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan
rencana pola ruang RTRW
Sebararan lahan terbangun dan non terbangun
Sebaran nilai ekonomi penggunaan lahan per kelurahan
Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota Baubau
Arahan pengelolaan ruang di Kota Baubau

5
13
14
29
31

42
43
44
46
50
51
55
65
67
72
75

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria
klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad
(2010)
79
2 Contoh sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen
80
3 Perhitungan daya dukung berdasarkan ketersediaan lahan
81
4 Perhitungan land rent beberapa penggunaan lahan aktual
85

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sangat ditentukan
oleh sumberdaya alam diantaranya lahan. Lahan merupakan modal dasar
berlangsungnya proses pembangunan. Meningkatnya populasi dan pembangunan
memberikan tekanan terhadap lahan. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia
berusaha pada sektor pertanian. Oleh karena itu, kualitas sumberdaya lahan harus
dijaga dari berbagai bentuk degradasi lahan yang dapat mengancam kemampuan
dan produktivitas lahan. Upaya konservasi sumberdaya lahan mutlak diperlukan
untuk mempertahankan kualitas lahan yang digunakan (Mahmudi 2002).
Peraturan Menteri (PERMEN) Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009
menjelaskan bahwa lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya
merangkum semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan
(relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia
masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Permen tersebut
kemudian menguraikan lebih lanjut bahwa setiap lahan memiliki karakteristik
untuk menunjukkan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Daya dukung dalam pengertian yang luas dapat didefinisikan sebagai
kemampuan suatu sistem (lingkungan) untuk mendukung suatu aktivitas pada
level tertentu. Definisi ini menyebabkan daya dukung tidak dapat dijelaskan
secara tunggal dan sederhana. Secara umum telah banyak konsep yang
dikembangkan untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik
lingkungan (physical) dan daya dukung ekonomi (economic) (Rustiadi et al.
2009). Braithwaite et al. (2012) mendefinisikan daya dukung sebagai batasan
kepadatan polulasi tertentu pada daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat
ditentukan oleh jumlah sumberdaya dan tingkat konsumsi.
Menurut Tilman (1982) segala sesuatu yang dikonsumsi oleh spesies
berpotensi membatasi sumber daya yang dikonsumsi itu. Istilah konsumsi oleh
Tilman digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang digunakan termasuk ruang
yang didiami oleh organisme atau populasi tertentu. Berangkat definisi ini,
Braithwaite et al. (2012) berpendapat bahwa ruang adalah sumber daya sebagai
tempat untuk melakukan aktivitas (berkonsumsi).
Konsep diatas digunakan untuk menjelaskan daya dukung lahan secara fisik
lingkungan dan daya dukung lahan secara ekonomi. Secara fisik lingkungan
(ekologis), daya dukung lahan erat kaitannya dengan tata guna atau penggunaan
lahan. Baja (2012) mengungkapkan bahwa penggunaan lahan berkelanjutan
sangat ditentukan oleh cara pandang dan persepsi pengambil keputusan (decision
maker) dan pengguna/pengelola lahan (land manager). Cara pandang itu berupa
upaya perimbangan dan keadilan antara fungsi ekologi dan fungsi ekonomi
penggunaan lahan.
Daya dukung lahan secara ekonomi dapat dijelaskan dengan pendekatan
land rent. Melalui pendekatan land rent, dapat memberikan gambaran terkait
perkembangan penduduk disertai usaha-usahanya untuk meningkatkan
kesejahteraannya yang seringkali berdampak terhadap daya dukung suatu wilayah
(Rustiadi et al. 2009). Lahan dinilai dari aspek produktifitas lahan, biaya

2

pemanfaatan, pendapatan, keuntungan dan aspek ekonomik lainnya. Pada wilayah
yang lebih luas, untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, analisis dapat
dilakukan pada setiap unit land use atau unit administrasi yang lebih sempit yakni
kecamatan dan desa.
Di daerah perkotaan, mengetahui daya dukung lahan sangatlah penting.
Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi dapat
membantu untuk mengetahui apakah penggunaan lahan lebih menitikberatkan
pertimbangan ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil evaluasi yang
dilakukan oleh Seto et al. (2011) dari 326 studi menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan luasan wilayah perkotaan di dunia seluas 58,000 km2 dari tahun 1970
hingga 2000. Peningkatan luasan tersebut mendorong hilangnya lahan pertanian,
kehutanan, mempengaruhi iklim setempat, fragmen habitat, dan mengancam
keanekaragaman hayati menjadi penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi
lebih tinggi (Kumar 2009, Seto et al. 2011 dan Santos et al. 2014).
Lahan dalam konteks otonomi daerah memainkan peranan yang sangat
penting. Secara ekonomi, sembilan sektor pembangunan daerah yang tertuang
dalam PDRB daerah berbasis pada lahan. Pengaturan tata guna lahan sangat
menentukan besaran sumbangan sembilan sektor tersebut terhadap PDRB. Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor dalam PDRB daerah yang produktifitasnya
ditentukan oleh produktifitas lahan.
Kota Baubau sebagai kota yang relatif masih muda dalam
pengembangannya harus memperhatikan aspek daya dukung yang tertuang dalam
perencanaan penggunaan lahan. Kota Baubau terbentuk menjadi daerah otonom
pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No 13 Tahun 2001. Wilayah Kota
Baubau dengan total luas 29 313.96 ha awalnya memiliki empat kecamatan. Di
tengah perjalanannya, di wilayah ini kemudian terbentuk tiga kecamatan baru
yang merupakan pemekaran dari kecamatan yang sudah ada sebelumnya
(Darmawan 2008).
Tertuang dalam dokumen RTRW kota Baubau, visi kota Baubau adalah
terwujudnya kota Baubau sebagai kota budaya yang produktif dan nyaman,
melalui optimalisasi sumberdaya lokal secara profesional dan amanah, menuju
masyarakat sejahtera, bermartabat, dan religi. Upaya mewujudkan visi ini tentu
saja sangat terkait erat dengan pola pengelolaan dan pemanfaatan lahan kota.
Secara geografis Kota Baubau terletak di bagian tengah Indonesia yakni
bagian dari Sulawesi Tenggara dan merupakan satu-satunya jalur pelayaran
nasional di Sulawesi Tenggara (SULTRA). Jumlah penduduk Kota Baubau
menurut hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 1990 berjumlah 77 224 jiwa. Pada
tahun 2000 mencapai 106,092 jiwa, sehingga laju pertumbuhan penduduk per
tahun selama 10 tahun sebesar 3.23 %. Angka pertumbuhan ini cukup besar
karena dipicu oleh adanya eksodus baik dari Ambon maupun dari Timor-Timur.
Hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2006 berjumlah 122 339 jiwa. Dari
jumlah tersebut, terdapat jumlah penduduk laki-laki sebanyak 57 027 jiwa (46.61
%) dan perempuan 65 312 jiwa (53.39 %). Jumlah rumah tangga (household) 28
416 KK dengan rata-rata 4-5 orang anggota per KK (Darmawan 2008). Situs
resmi pemerintah kota Baubau (baubaukota.go.id) menyebutkan berdasarkan
Sensus Penduduk (SP) 2010 bertambah lagi hingga mencapai 136,991 orang.

3

Rumusan Masalah
Daya dukung lahan dapat dijelaskan dengan dua pendekatan yakni
pendekatan fisik lingkungan dan pendekatan ekonomi. Kedua pendekatan ini
secara pragmatis sekaligus menjelaskan dua manfaat lahan yakni manfaat secara
ekologi dan manfaat secara ekonomi. Pendekatan fisik lingkungan memberikan
arahan ekologis dalam hal penggunaan lahan. Pendekatan fisik lingkungan
menegaskan bahwa penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahannya.
Produktivitas dan besaran manfaat lahan dapat diukur berdasarkan tingkat
kemampuan lahan tersebut. Penekanan pada kemampuan lahan ini untuk
memberikan jaminan bahwa penggunaan lahan tidak melampaui daya dukung
lahan sehingga keberlanjutan dapat terjaga.
Pendekatan ekonomi memberikan gambaran tentang nilai lahan secara
ekonomi (land rent). Dalam analisis land rent ada dua hal yang mempengaruhi
nilai ekonomi lahan. Pertama adalah seberapa besar nilai produktifitas lahan
tersebut. Ini yang biasa disebut recardian rent. Selain itu, faktor jarak dari pusat
kota atau pertumbuhan juga mempengaruhi nilai land rent atau biasa disebut
dengan locational rent. Idealnya kedua aspek tersebut dalam tata guna lahan harus
berjalan seimbang dan simultan. Namun kenyataannya, seiring dengan laju
pembangunan dan populasi manusia keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi
terhadap lahan sering terabaikan.
Trend penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengarah untuk penggunaan
lahan dengan nilai ekonomi tinggi (non pertanian dan kehutanan) seperti
pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi (Kumar 2009, Santos et al.
2014). Hal ini memang tersurat dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Selain itu, Jayadinata (1999) dan Martokusumo (2006)
yang mengutip Levebre (1990) menegaskan bahwa kawasan perkotaan lebih
diprioritaskan untuk kegiatan pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi.
Namun bukan berarti bahwa penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengabaikan
aspek daya dukung fisik lingkungan.
Ada beberapa alasan penting mengapa daya dukung harus diperhatikan
dalam tata guna lahan. Pertama, untuk memastikan keberlanjutan lahan karena
lahan memiliki karakter dan kapasitas maksimum untuk menampung kehidupan
dan aktifitas tertentu. Jika ini terlampaui maka akan berdampak pada kerusakan
lahan dan munculnya bencana alam.
Kedua, banyaknya regulasi yang
memberikan pedoman dalam tata guna lahan untuk tidak mengabaikan aspek daya
dukung lingkungan. Ketiga, tidak semua wilayah perkotaan di Indonesia
memiliki kondisi biofisik dan sosial yang sama. Masih banyak wilayah di
Indonesia yang statusnya sebagai kota namun secara aktual masih mencirikan
non perkotaan seperti didominasi oleh hutan dan pertanian. Hal ini juga didukung
oleh regulasi dan kebijakan daerah untuk mempertahankan kualitas lingkungan
hidup sekaligus sebagai komoditi andalan pada kota tersebut.
Kota Baubau adalah salah satu kota baru yang terdapat di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Kota Baubau ditetapkan sebagai kotamadya sejak tahun 2001 yang
awalnya adalah bagian administrasi dari Kabupaten Buton. Kondisi aktual
penggunaan lahan Kota Baubau masih di dominasi oleh kawasan hutan dan
pertanian. Hal ini cukup memberikan konstrubusi untuk menjaga kualitas
lingkungan kota.

4

Kota Baubau memiliki laju populasi yang cukup tinggi yakni mencapai 3.23
% pertahunnya. Hal ini dikarenakan Kota Baubau memiliki akses yang cukup
terbuka untuk dikunjungi sehingga mendorong terjadinya migrasi penduduk.
Selain itu, Kota Baubau sejak masa kolonial Belanda sebagai center of network
dari wilayah kepulauan Sulawesi Tenggara (Rabani 2010). Kondisi ini
meningkatkan permintaan ruang untuk pemukiman dan aktivitas ekonomi lainnya
dan mendorong konversi lahan pertanian dan kehutanan.
Melihat penjelasan diatas, maka dibutuhkan arahan pengelolaan lahan yang
terencana dengan baik. Dalam konteks tata guna lahan, perencanaan pengelolaan
lahan harus memperhatikan keseimbangan daya dukung lahan secara ekologi dan
secara ekonomi. Rencana pengelolaan tersebut harus tertuang dalam kebijakan.
Dalam konteks kebijakan, pengaturan penggunaan lahan tertuang dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu, RTRW harus memberikan arahan tata
guna lahan dengan memperhatikan aspek daya dukung baik secara ekologi dan
maupun secara ekonomi.
RTRW Kota Baubau memproyeksikan pola rencana penggunaan lahan
hingga tahun 2030. Hal ini tentu saja memungkinkan perubahan penggunaan
lahan terhadap penggunaan lahan saat ini. Jika dikaitkan dengan kemampuan
lahan, apakah penggunaan lahan saat ini dan rencana penggunaan lahan dalam
RTRW telah mempertimbangkan aspek kemampuan lahan. Sebaliknya pula,
apakah penggunaan lahan tersebut secara ekonomi memiliki nilai yang cukup
untuk menunjang populasi penduduk di Kota Baubau.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa pertanyaan yang dianalisis
lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
fisik lingkungan.
2. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
ekonomi.
3. Bagaimana arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan
daya dukung lahan.
Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
fisik lingkungan.
2. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan
ekonomi.
3. Menyusun arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan
analisis daya dukung lahan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi ilmu pengetahuan; memberikan perspektif baru tentang kajian daya
dukung lahan di Kota Baubau serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

5

2. Bagi penentu kebijakan; menjadi sumbang saran yang konstruktif dalam
menyusun rencana pembangunan khususnya perencanaan pengelolaan lahan
dengan pendekatan daya dukung lahan.
3. Bagi praktisi; memberikan masukan dan referensi dalam pengelolaan lahan
dengan pendekatan daya dukung lahan.
Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah seperti pada diagram alir
berikut:
Daya dukung lahan
Analisis
kemampuan
lahan

Fisik
lingkungan

- klasifikasi land use
aktual
- pola ruang RTRW

Daya dukung lahan
secara fisik lingkungan

Analisis
land rent

Ekonomi

1.

klasifikasi
aktual

land use

Daya dukung lahan
secara ekonomi

Penentuan daya dukung

Berdasarkan KHL

Arahan pengelolaan lahan

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daya Dukung (Carrying Capasity)
Daya dukung (carrying capasity) lahan secara sederhana dapat diartikan
sebagai kemampuan lahan untuk mendukung hidup manusia dan makhluk hidup
lain (Baja 2012). Daya dukung biasanya dikaitkan dengan daya tampung yang
oleh Baja (2012) diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap
zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalam
tanah/lahan. Soemarwoto (2003) menekankan bahwa daya dukung adalah batas
kemampuan untuk memasok sumber daya dan mengasimilasi zat pencemar serta
ketegangan sosial. Dari sini daya dukung terkait pada lingkungan alamiah dan
lingkungan sosial.

6

Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa terminologi daya dukung sulit
ditafsirkan secara tunggal namun menyentuh konsep yang lebih luas. Konsep
daya dukung yang telah banyak dikembangkan mencakup konsep daya dukung
fisik (physical), daya dukung ekologis (ecological), daya dukung sosial (social)
dan daya dukung ekonomi (economic). Ditinjau dalam perspektif lingkungan
maka daya dukung mencakup dua komponen yaitu kapasitas penyediaan
(supportive capasity) dan kapasitas tampung (assimilative capasity).
Konsep daya dukung tidak hanya digunakan untuk menjelaskan kasus
populasi manusia. Hagy dan Kaminski (2015) menggunakan konsep daya dukung
untuk memahami ekologi satwa liar kaitannya dengan keberlanjutan wilayah
konservasi. Studi tersebut lebih fokus pada hewan liar jenis unggas di Mississippi
Timur, Tennessee Barat dan lembah Mississippi, Amerika Serikat. Melalui
konsep daya dukung, Hagy dan Kaminski menjelaskan jumlah dan jenis makanan
beberapa jenis unggas dan area dalam mencari makanan.
Saat ini, daya dukung telah dipergunakan untuk mengukur keberlanjutan
suatu wilayah. Keberlanjutan ini dikaitkan dengan ketersediaan sumberdaya alam
dan lingkungan terhadap kebutuhan hidup manusia.
Disini dilakukan
perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, misalnya luas
aktual lahan produktif. Luas areal yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan
manusia disebut jejak ekologi (ecological footprint). Jejak ekologi dapat dikaji
dari luas aktual lahan produktif yang dihitung dengan memperbandingkan antara
lahan tersedia atau akan tersedia dalam kurun waktu tertentu dan lahan yang
dibutuhkan untuk menjamin kehidupan pada standar tertentu (Baja 2012).
Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias
Wackernagel dalam desertasinya yang berjudul Ecological Footprint and
Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada
Universitas British Columbia Tahun 1994. Perhitungan daya dukung lingkungan
hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan
menggunakan basis neraca bioproduk dan biokapasitas serta kemampuan lahan
yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan
sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010).
Ada dua hal yang ingin didekati oleh ecological footprint. Pertama,
mengukur biaya total ekologis dalam area lahan dari supply seluruh barang
(pertanian, pemukiman, jalan, dll) dan jasa kepada penduduk. Kedua, sebagai
indikator keberlanjutan yaitu carrying capasity. Hal yang kedua ini daya dukung
dimaknai sebagai jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh luasan
lahan tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan ecological footprint mengukur
permintaan penduduk atas alam dalam satuan metrik (Rustiadi et al. 2010).
Pendekatan ecological footprint pernah digunakan oleh Bai et al. (2015) di
wilayah ekologi Yuanzhou, China. Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi
keberlanjutan penggunaan lahan pertanian guna menjamin pasokan makanan
(pangan) yang aman dan mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan selama
periode 1981-2009. Pendekatan yang dilakukan berdasarkan jejak ekologi
(ecological footprint) yang diintegrasikan dengan analisis emergi. Analisis
emergi telah digunakan untuk mengevaluasi aliran energi dalam sistem yang
kompleks yang didasarkan pada prinsip energetik, teori sistem dan sistem ekologi.
Metode akuntasi juga digunakan dalam studi tersebut. Metode ini telah mulai
diperkenalkan sejak tahun 2005 disebut dengan emergetic ecological footprint

7

(EEF). Hasil studi menjelaskan bahwa lahan pertanian di Yuanzhou digunakan
tidak berkelanjutan sejak tahun 1983.
Menurut Permen LH No. 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya
Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah terdapat tiga
pendekatan untuk mengukur daya dukung lingkungan yaitu 1) berdasarkan
kemampuan lahan, 2) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan lahan (neraca
lahan), dan 3) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air (neraca air). Permen
tersebut menegaskan bahwa untuk memenuhi daya dukung lingkungan maka
setiap penduduk dalam wilayah harus terpenuhi menurut standar Kualitas Hidup
Layak (KHL) yang disetarakan dengan pangan beras. Lebih lanjut disebutkan
bahwa asumsi perkapita (orang/tahun) KHL yang harus dipenuhi adalah setara 1
ton beras.
Kelemahan dari Permen LH tersebut adalah tidak menjelaskan secara detail
apa yang menjadi dasar penentuan KHL adalah setara dengan 1 ton beras. Selain
itu, apakah setara 1 ton beras tersebut juga termasuk di dalamnya kebutuhan non
pangan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain sebagainya. Jika
merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012 tentang
Perubahan Penghitungan Kebutuhan Hidup Layak, maka cukup jelas bahwa
definisi Kebutuhan Hidup Layak adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh
lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Selain
ituKepmen tersebut juga menjabarkan komponen-komponen yang termasuk dalam
KHL yaitu Makanan & Minuman 11 items, Sandang 13 items, Perumahan 26
items, Pendidikan 2 item, Kesehatan 5 items, Transportasi 1 item dan Rekreasi
dan Tabungan 2 item. Komponen inilah yang menjadi dasar penentuan Upah
Minimum Regional/Kabupaten/Kota (UMR/UMK). Dari sini dapat dimaknai
bahwa asumsi KHL 1 ton beras menurut Permen LH dapat dianggap sama dengan
komponen KHL menurut Kepmen Tenaga Kerja yang direfleksikan melalui nilai
UMR/UMK.
Penggunaan Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi, iklim, relief, hidrologi
dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat dari berbagai kegiatan manusia
baik di masa lalu maupun di masa sekarang seperti kegiatan reklamasi,
penebangan hutan dan akibat merugikan lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007).
Baja (2012) menguraikan bahwa dalam perencanaan tata guna lahan sangat
penting untuk dibedakan pemahaman antara tanah (soil), lahan (land), unit lahan
(land unit), penggunaan lahan (land use) dan jenis pemanfaatannya (land
utilization type). Lahan dapat bersifat stabil atau labil karena dikaitkan pada
aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah. Hal itu pula dipengaruhi oleh sifat
tanah, siklus alam dan faktor-faktor lain yang berhubungan. Oleh karena itu lahan
tidak hanya merujuk pada tanah tetapi aktifitas yang berhubungan dengan semua
faktor yang relevan dari lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan,
topografi, vegetasi, aktivitas di bawah permukaan tanah hingga aktivitas sosial,
ekonomi dan budaya.

8

Terminologi penggunaan lahan (land use) sering pula dipersandingankan
dengan istilah tutupan lahan (land cover). Land cover merujuk pada keadaan
biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan
keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land
cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang
mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur
manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land
cover (Lambin et al. 2003).
Johnson dan Zuleta (2013) pernah mempersandingkan istilah Land Use
Land Cover (LULC) untuk menjelaskan rusaknya keanekaragaman hayati di
Ekoregion Espinal, Argentina. Penelitian terkait LULC tersebut dilakukan pada
periode 1987-2001 dan 2001-2009 di dua daerah aliran sungai yang letaknya atau
berdekatan dengan Espinal, salah satu ekoregion paling dilindungi dari Argentina.
Mereka berhasil mendeteksi penurunan ekosistem hingga 20 % dan khususnya 60
% hutan asli telah hilang. Hal ini didorong oleh perubahan penggunaan lahan
Ekoregion Espinal menjadi lahan pertanian dan peternakan.
Lambin et al. (2003) menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan
diakibatkan oleh adanya faktor-faktor pendorong (driving factors) seperti tekanan
penduduk, faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, faktor kebijakan
(policy), kelembagaan, budaya dan biofisik wilayah. Analisis perubahan
penggunaan lahan dilakukan untuk menemukan penyebab (driver) yang
mendorong terjadinya perubahan tersebut serta akibat atau dampak yang
ditimbulkan. Beberapa alasan perubahan penggunaan lahan yaitu kelangkaan
sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar;
hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam
organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku.
Penelitian yang dilakukan oleh Abraham et al. (2015) menunjukkan
hubungan antara perilaku manusia dalam memanfaatkan lahan (penggunaan
lahan) dengan jejak ekologi (ecological footprint). Penelitian tersebut dilakukan
di Meksiko dengan mengembangkan peta jejak ekologi manusia untuk
mengidentifikasi daerah ekologi yang paling berubah oleh tindakan manusia.
Pendekatan yang dilakukan terhadap dua variabel penting yaitu geografi fisik dan
geografi sejarah. Geografi fisik yakni tinjauan spasial dalam bentuk bioma dan
ekoregion dan geografi sejarah yaitu tinjauan spasial pemukiman manusia dan
aktivitas lainnya dimasa lalu. Hasilnya menunjukkan bahwa pemukiman manusia
dimasa lalu telah mendorong pola penggunaan lahan dan secara keseluruhan
Meksiko masih memiliki 56 % lahan yang memiliki dampak dari aktivitas
manusia. Nilai terendah berada pada wilayah utara yang kering dan tenggara
tropis, sedangkan nilai yang tinggi sepanjang pantai teluk Meksiko, pedalaman
sepanjang koridor timur ke barat yang mengikuti rentang vulkanik Meksiko dan
terikat dengan dataran tinggi. Kesimpulannya adalah penyebaran jejak ekologi
manusia dibatasi oleh kondisi fisik geografi untuk pembangunan pada tingkat
bioma dan bioma yang berbeda, sejarah peradaban masa lalu yang kompleks,
teknologi, ledakan demografi abad 20 dan pola pemukiman kuno yang diduduki
koloni Spanyol.

9

Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan adalah '' kualitas '' lahan untuk menghasilkan tanaman
yang umum dibudidayakan dan tanaman rumput untuk penggembalaan tanpa
kerusakan selama periode waktu yang panjang (FAO, 1983). Berbeda dengan
definisi Wells dalam Gad (2015) mendefinisikan kemampuan lahan sebagai
kemampuan lahan untuk mendukung jenis penggunaan lahan tertentu tanpa
menyebabkan kerusakan permanen. Kategori klasifikasi kemampuan lahan dibagi
ke dalam kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahan (Gad 2015). Kelas
kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan
penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang
umum (Arsyad 2010)
Tanah sebagai komponen utama dari sistem klasifikasi kemampuan lahan,
mempertimbangkan keterbatasan tanah, risiko kerusakan ketika tanah digunakan,
dan bagaiman cara tanah memberi respon terhadap perlakuan yang diberikan (Gad
2015). Klasifikasi kemampuan lahan menyediakan panduan untuk penilaian
kendala tanah dan rekomendasi pengelolaan lahan untuk penggunaan di berbagai
skala termasuk negara, DAS hingga tingkat perencanaan kawasan perumahan
(Murphy et al. 2004). Di Indonesia sistem klasifikasi kemampuan lahan yang
umum digunakan adalah sistim USDA (United State Departemen of Agriculture)
karena sangat mudah dan sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat
fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa
memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di
laboratorium (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Menurut Arsyad (2010) intensitas faktor penghambat adalah menjadi faktor
penentu pengklasifikasian kemampuan lahan. Menggunakan sistim USDA, tanah
dikelompokkan menjadi delapan kelas dengan menggunakan angka romawi.
Semakin tinggi kelas kemampuan menunjukkan semakin tinggi pula faktor
penghambat dan ancaman kerusakan sehingga jenis dan intesitas penggunaannya
semakin terbatas. Secara rinci setiap kelas kemampuan lahan dijelaskan oleh
Arsyad (2010) sebagai berikut:
 Kelas I, lahan yang tidak mempunyai Tidak mempunyai atau hanya sedikit
hambatan yang membatasi penggunaannya sehingga sesuai untuk berbagai
penggunaan terutama pertanian. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan
kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak
mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah,
kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan iklim sesuai bagi
pertumbuhan tanaman secara umum.
 Kelas II, lahan yang memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan
sehingga mengurangi pilihan penggunaannya. Hal ini dapat menyebabkan
perlu adanya tindakan konservasi yang sedang. Tindakan pengelolaan harus
hatis-hati. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landaiberombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah
dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena
banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim
agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan
 Kelas III, lahan yang memiliki beberapa hambatan yang berat yang
mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi

10










khusus dan keduanya.. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika
dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan
konservasi lebih sulit diterapkan. Hambatan membatasi lama penggunaan
bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi
dari pembatas tersebut. Hambatan dapat disebabkan: topografi miringbergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami
erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam,
kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas
menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah
sedang, atau hambatan iklim agak besar
Kelas IV, lahan yang memiliki hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih
besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. Perlu pengelolaan
hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.
Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit,
kepekaan erosi tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas
menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari
24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi
dan keadaan iklim kurang menguntungkan
Kelas V , lahan yang tidak memiliki ancaman erosi tetapi mempunyai
hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi
pilihan penggunaannya. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi
sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.
Kelas VI, lahan yang mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak
sesuai untuk penggunaan pertanian. Memiliki pembatas atau ancaman
kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi
faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam
laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai.
Kelas VII, lahan yang tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan
penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau
telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki
Kelas VIII, lahan yang sebaiknya dibiarkan secara alami. Pembatas dapat
berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air
rendah.
Land Rent

Land rent adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa
atas penggunaan lahan yang harus dibayarkan pada lahan (Rustiadi et al. 2009).
Setiap jenis penggunaan lahan memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis
penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai
porsi penggunaan terbesar. Hal ini dikarenakan lahan diarahkan pada kegiatan
yang memberikan nilai land rent tertinggi. Dampaknya pada lahan pertanian
meskipun lebih lestari kemampuannya menjamin kehidupan petani, tetapi hanya
memberikan sedikit keuntungan finansial dibandingkan sektor industri,
pemukiman dan jasa lainnya menyebabkan konversi lahan pertanian ke non
pertanian tidak dapat dicegah (Arsyad dan Rustiadi 2008).
Kumar (2009) pernah melakukan studi yang berkaitan dengan land rent
yang dapat memicu perubahan penggunaan lahan di kota New Delhi. Hasil studi

11

Kumar menunjukkan bahwa selama periode tahun 1986-2004 telah terjadi
perubahan penggunaan lahan pertanian ke sektor konstruksi. Alasannya adalah
penggunaan lahan non pertanian memiliki nilai produktivitas ekonomi lebih tinggi
dibanding pertanian.
Barlowe (1986) menjabarkan bahwa land rent dapat digunakan untuk
menjelaskan tingkat perbaikan kualitas lingkungan.
Perbaikan kualitas
lingkungan ini berkaitan dengan tingkat kenyamanan (amenity) dari suatu
lingkungan. Hal yang berkaitan dengan kenyamanan lingkungan tersebut antara
lain pemandangan alam yang estetik, akses terhadap sumberdaya alam seperti
sumber air, akses terhadap fasilitas dan layanan publik serta ruang rekreasi.
Analisis ekonomi lahan mengacu pada keunggulan komparatif atau efisiensi
dari penggunaan lahan dari suatu kegiatan produktif. Efisien disini diartikan
bahwa alokasi sumber-sumber ekonomi digunakan untuk kegiatan yang
menghasilkan output dengan nilai ekonomi tertinggi. Faktor harga ekonomi
mungkin bayangan dimana tidak menunjukkan harga yang sesungguhnya untuk
mencerminkan beberapa manfaat secara sosial dari lahan (Rossiter 2004).
Pada mulanya land rent hanya terbatas untuk memberikan apresiasi atas
nilai ekonomi lahan. Dalam perspektif yang lebih luas ternyata lahan tidak hanya
member