Efektifitas Komunikasi Pt Xyz Dan Representasi Sosial Nelayan Dalam Pemberlakuan Zona Terlarang Di Sekitar Anjungan Migas

EFEKTIFITAS KOMUNIKASI PT XYZ DAN REPRESENTASI
SOSIAL NELAYAN DALAM PEMBERLAKUKAN ZONA
TERLARANG DI SEKITAR ANJUNGAN MIGAS
(Kasus: Sebuah Desa Nelayan di Pesisir Jawa Barat)

SORTA ELLY FRISKA SIRAIT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas
Komunikasi PT XYZ dan Representasi Sosial Nelayan dalam Pemberlakuan
Zona Terlarang di Sekitar Anjungan Migas adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016
Sorta Elly Friska Sirait
NIM I352120191

RINGKASAN
SORTA ELLY FRISKA SIRAIT. Efektifitas Komunikasi PT XYZ dan
Representasi Sosial Nelayan dalam Pemberlakuan Zona Terlarang di Sekitar
Anjungan Migas dibimbing oleh NURMALA K PANDJAITAN dan
KRISHNARINI MATINDAS.
Pada kegiatan produksi minyak dan gas bumi di perairan, diberlakukan area
zona terlarang radius 500 m dari anjungan migas, yang bertujuan untuk keamanan
dan keselamatan semua kegiatan yang dilakukan di laut. Sosialisasi tentang
pemberlakuan zona terlarang telah dilakukan, namun nelayan masih melakukan
penangkapan ikan di area zona terlarang di sekitar anjungan migas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis model komunikasi PT XYZ
pada sosialisasi pemberlakuan zona terlarang di sekitar anjungan migas dan

komponen-komponen komunikasi yang mempengaruhi efektifitas komunikasi,
menganalisis efektifitas komunikasi, menganalisis representasi sosial tentang
larangan mendekati anjungan operasi migas, menganalisis hubungan karakteristik
nelayan, intensitas komunikasi dan representasi sosial nelayan, serta menganalisis
hubungan representasi sosial nelayan dan efektifitas komunikasi. Penelitian
dilakukan pada salah satu desa pesisir di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Pengumpulan data dengan metode survai menggunakan kuesioner sebanyak 100
responden. Penentuan responden menggunakan teknik purposive sampling.
Korelasi antara karakteristik nelayan, intensitas komunikasi dan representasi
sosial dan korelasi antara karakteristik nelayan, representasi sosial nelayan dan
efektifitas komunikasi dianalisis menggunakan uji korelasi Rank Spearman dan
Chi square. Pengolahan data menggunakan SPSS 22 for Windows. Sementara
model komunikasi, aktor yang berkomunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan
saluran komunikasi dianalisis secara kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model komunikasi adalah model
komunikasi linier dan interaksional. Terdapat perbedaan tingkat pendidikan, kelas
sosial, dan bahasa pada fasilitator sosialisasi tatap muka dengan komunitas
nelayan yang menjadi penghalang dalam proses komunikasi. Penggunaan bahasa
setempat belum sepenuhnya digunakan dalam materi sosialisasi. Kelengkapan
materi pesan belum lengkap, serta belum ada pendekatan emosional dan rasa takut

pada isi pesan. Penggunaan media radio sudah tidak efektif karena sebagian besar
nelayan sudah tidak memiliki radio. Komunikasi belum efektif (belum dapat
merubah tindakan nelayan agar patuh terhadap larangan menangkap ikan di area
zona terlarang). Terdapat 4 tipologi representasi sosial tentang larangan mendekati
anjungan operasi migas. Tipe dominan representasi sosial adalah Tipe II yang
beranggapan bahwa larangan mendekati anjungan operasi migas adalah untuk
melindungi nelayan. Pengalaman sebagai nelayan berhubungan nyata dengan
representasi sosial Tipe 4 (norma yang harus dipatuhi). Representasi sosial Tipe I
(ancaman bagi jiwa) dan Tipe IV (norma yang harus dipatuhi) berhubungan nyata
dengan kepatuhan nelayan pada larangan mendekati anjungan operasi migas.
Kata kunci:

sosialisasi, zona terlarang,
kepatuhan nelayan

komunikasi,

representasi sosial,

SUMMARY

SORTA ELLY FRISKA SIRAIT. Effectivity of PT XYZ’s Communication and
Social Representation of Fishermen in the Implementation of Restricted Area
around Oil and Natural Gas Platform supervised by NURMALA K
PANDJAITAN and KRISHNARINI MATINDAS.
In case of oil and natural gas production, a restricted zone within 500-meterwide around offshore platform was established. The restricted zone was
established to protect all activities in the sea. Socialization on implementation of
restricted area around oil and natural gas platform has been held. Yet, it hasn’t
stopped the fishers’ effort to do fishing in the restricted zone.
The study was aimed to analyze communication model of PT XYZ and the
components of communication that affected effectivity of communication, the
effectivity of communication, social representation of fishermen about the
prohibition, the relationship of individual characteristics and communication
intensity with the social representation of the prohibition, the relationship of social
representation with effectivity of communication. The study was conducted in one
of the coastal villages in Karawang Regency, West Java. Data were collected
through questionnaires which were distributed to 100 respondents. Respondents
were selected by purposive sampling. Correlation between variables was tested
using Spearman’s Rank Correlation and Chi-square. The analyzes were performed
using SPSS 22 for Windows. Meanwhile, qualitative analyzes were conducted on
data of communication model, actor, message, and channel.

Results showed that communication model on socialization was linear and
interactional model. There were differences between facilitator of socialization
and fishing communities in terms of education level, social class, and language
that becomes an obstacle for fishers to communicate. Local languages had not
been fully used in the socialization. The message materials had not been
completed yet, and there were no emotional and fear approaches in the message
content of socialization. The use of radio as a communication channel were
ineffective because most fishers did not have radio.
Communication in the socialization had not been able to change fishermen
behavior to be obedient to the prohibition of fishing activities in restricted area.
There were 4 kinds of type of social representations about the prohibition of
approaching oil and natural gas platform. The dominant type of social
representations was type II (the prohibition of approaching oil and natural gas
platform aimed to protect fishers’). Experience of being a fishermen was
significantly correlated to the social representation of type 4 (a norm to be
obeyed). Social representation of type 1 (threat to life) and type 4 (a norm to be
obeyed) were significantly correlated to the fishermen’s obedience to the
prohibition.
Keywords: socialization,
restricted

zone,
representation, fishers’ obedience

communication,

social

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

EFEKTIFITAS KOMUNIKASI PT XYZ DAN REPRESENTASI
SOSIAL NELAYAN DALAM PEMBERLAKUAN ZONA
TERLARANG DI SEKITAR ANJUNGAN MIGAS


SORTA ELLY FRISKA SIRAIT

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS

Judul Tesis : Efektifitas Komunikasi PT XYZ dan Representasi Sosial Nelayan
dalam Pemberlakuan Zona Terlarang di Sekitar Anjungan Migas
(Kasus: sebuah Desa Nelayan di Pesisir Jawa Barat)

Nama
: Sorta Elly Friska Sirait
NIM
: I352120191

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Nurmala K Pandjaitan, MS, DEA
Ketua

Dr Krishnarini Matindas, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 01 Juli 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah
efektifitas komunikasi dan representasi sosial, dengan judul Efektifitas
Komunikasi PT XYZ dan Representasi Sosial Nelayan dalam Pemberlakuan Zona
Terlarang di Sekitar Anjungan Migas. Penelitian ini menggunakan metode survai
untuk pengumpulan data dengan kuesioner sebanyak 100 responden dan metode
Rank Spearman dan Chi square untuk pengolahan datanya. Dalam kesempatan
ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Nurmala K Pandjaitan, MS,

DEA dan Dr Krishnarini Matindas, MS selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberi bimbingan dan saran hingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan
dengan baik. Di samping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada:
1. PT EOS Consultants atas dukungan yang diberikan.
2. Bapak Imam Soeseno, Ibu Nunik A Heranita, Bapak Sirajuddin Kamal,
Bapak A Muhklisin Rony, dan rekan-rekan kerja lainnya yang telah memberi
kesempatan untuk melanjutkan kuliah.
3. Bapak Dr. Djuara P Lubis selaku ketua program studi yang selalu memberi
dorongan dan semangat dalam penyelesaian tesis.
4. Bapak dan Mamak yang selalu mendoakan dan mendukung.
5. Suami Oscar Frits Pardomuan Manurung yang selalu memberi dukungan dan
semangat selama menjalani studi.
6. Adik-adik: Julius Ricardo Sirait, Rina Wati Sirait, Robby Alexander Sirait,
dan Melani Libra Sirait yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
7. Moh. Irfan, Alifatri, Rudi Sudrajat, Bapak Rusdiman, Bapak Icik, dan Bapak
Ohan yang telah banyak memberikan bantuan selama melakukan penelitian di
lapangan.
8. Nelayan yang telah bersedia menjadi responden penelitian ini.
9. Rekan-rekan mahasiswa S2 dan S3 Program Studi KMP 2012, yang telah
meluangkan waktu dan perhatian untuk berbagi ilmu pengetahuan.

10. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan karya ilmiah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan yang telah
Bapak/Ibu/rekan-rekan berikan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2016
Sorta Elly Friska Sirait

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian








TINJAUAN PUSTAKA
PT XYZ
Kegiatan Operasi Minyak dan Gas Bumi di Laut
Kawasan Perairan sebagai Area Penangkapan Ikan
Komunikasi
Representasi Sosial
Hubungan Patron-Klien
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Defenisi Operasional






14 
17 
18 
20 
21 
21 

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Validitas dan Reliabilitas Instrumen

23 
23 
23 
24 
25 

HASIL DAN PEMBAHASAN

26 

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

26 

Gambaran Umum Responden

26 

Bentuk Komunikasi
Sosialisasi Pemberlakuan Zona Terlarang di Sekitar Anjungan Migas
Model Komunikasi
Aktor yang Berkomunikasi
Pesan yang Dikomunikasikan
Saluran Komunikasi yang Digunakan
Intensitas Komunikasi

31 
31 
32 
33 
33 
37 
37 

Efektifitas Komunikasi

38 

Representasi Sosial Nelayan tentang Larangan Mendekati Anjungan Operasi
Migas

41 

Hubungan antara Karakteristik Nelayan, Intensitas Komunikasi dan
Representasi Sosial

48 

Hubungan Representasi Sosial dan Efektifitas Komunikasi (Tingkat Kepatuhan
Nelayan)
51 
SIMPULAN DAN SARAN

53 

DAFTAR PUSTAKA

54 

LAMPIRAN

58

RIWAYAT HIDUP

61

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.
15.
16.

Riview beberapa hasil penelitian terdahulu
18
Defenisi operasional
21
Jumlah responden menurut umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman
nelayan di Desa Muara Tahun 2014
27
Indikator pesan dan isi materi sosialisasi
35
Keterdedahan pada poster pengumuman di TPI dan spot iklan di radio 38
Frekwensi penangkapan ikan di area zona terlarang sekitar anjungan 41
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tipe representasi
sosial
41
Hasil asosiasi kata representasi sosial Tipe I
43
Hasil asosiasi kata representasi sosial Tipe II
44
Hasil asosiasi kata representasi sosial Tipe III
46
Hasil asosiasi kata representasi sosial Tipe IV
47
Hubungan karakteristik nelayan (umur, tingkat pendidikan,
pengalaman) dengan representasi sosial
48
Hubungan karakteristik nelayan (penggunaan alat bantu penangkapan
ikan, jenis alat tangkap, dan status kerja nelayan)
dengan representasi sosial
49
Hubungan karakteristik nelayan (ukuran perahu, kekuatan mesin,
tingkat pendapatan) dengan representasi sosial
49
Hubungan intensitas komunikasi dan representasi sosial
50
Hubungan representasi sosial dengan kepatuhan nelayan
52

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Ilustrasi anjungan di laut
Model Berlo
Model Komunikasi interaksional
Model komunikasi transaksional
Model komunikasi Littlejohn dan Foss
Komponen dasar dari model komunikasi konvergen
Kerangka pemikiran
Langkah-langkah mendapatkan tipe representasi sosial
Dokumentasi nelayan di Desa Muara
Piagam dan kaos sebagai bukti meghadiri sosialisasi
Poster di TPI

4
7
8
9
9
10
20
25
28
31
34

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Karakteristik responden dan intensitas komunikasi menurut tipe
representasi sosial (Repsos)
Peta lokasi penelitian

58
60

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih terus
mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan
maraknya kegiatan-kegiatan industri yang membutuhkan migas sebagai sumber
energi maupun bahan baku industri. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
pertumbuhan ekonomi domestik, pertumbuhan konsumsi bbm akan terus
mengalami kenaikan. Demikian juga dengan permintaan gas bumi di Indonesia
semakin meningkat, guna memenuhi kebutuhan industri dan pembangkit listrik.
Salah satu kegiatan operasi migas yang telah dikembangkan hingga saat ini,
berlokasi di perairan Laut Jawa Bagian Utara. Kegiatan operasi migas tersebut
terbentang di sebelah utara pantai Pulau Jawa bagian barat antara Kepulauan
Seribu (Provinsi DKI Jakarta) sampai lepas pantai Utara Kabupaten Cirebon
(Provinsi Jawa Barat) dengan jarak sekitar 59 mil dari garis pantai. Pada kegiatan
operasi migas, diberlakukan area zona terlarang pada radius 500 m dari anjungan,
dimana nelayan tidak diperbolehkan melakukan penangkapan ikan di area
tersebut. Pemberlakuan zona terlarang di sekitar anjungan diatur dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dan Peraturan Pemerintah
No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi
Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai. Hal tersebut bertujuan untuk
keamanan kegiatan operasi migas dan keselamatan nelayan.
Pada Tahun 2007, pernah terjadi perahu terbakar di sekitar anjungan
fasilitas operasi migas di perairan Ciparage, Desa Ciparage Jaya, Kecamatan
Tempuran, Karawang yang menyebabkan 1 orang nelayan tewas, 5 orang nelayan
hilang, 3 orang nelayan luka berat, dan sisanya selamat. Perahu nelayan yang
berpenumpang 14 orang tersebut terbakar bola api yang berasal dari cerobong
anjungan (Republika, 2007).
Sosialisasi tentang pemberlakuan zona terlarang telah dilakukan, namun
masih saja banyak nelayan yang menangkap ikan di area zona terlarang.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa komunikasi yang telah dilakukan selama
ini belum efektif, sehingga tujuan komunikasi tidak tercapai. Sebuah komunikasi
dapat dikatakan efektif apabila terjadi pemahaman bersama (mutual
understanding) di antara pengirim dan penerima pesan. Rogers dan Kincaid
(1981) membangun model komunikasi konvergen yaitu salah satu model
komunikasi transaksional, yang menyatakan bahwa komunikasi merupakan
sebuah proses dimana para partisipan membuat dan membagi informasi dengan
partisipan lainnya dalam rangka untuk mencapai mutual understanding atau
pemahaman bersama antara individu yang berkomunikasi. Model komunikasi ini
tidak mengabaikan konteks dimana individu-individu berada dan melihat adanya
pengaruh interaksi sosial di antara sesama individu yang akan menghasilkan
tindakan kolektif.
Selain itu, setiap komponen komunikasi sangat berperan mempengaruhi
ketepatan sebuah komunikasi. Berlo (1960) menyatakan bahwa komunikasi akan
berjalan efektif apabila ketepatannya dapat ditingkatkan dan gangguannya dapat
diperkecil. Ketepatan maupun keefektifan komunikasi sangat dipengaruhi oleh
setiap komponen komunikasi, baik pada sumber pesan, pesan, saluran pesan, dan

2
penerima pesan. Devito (2001) menyatakan bahwa salah satu tujuan komunikasi
adalah untuk mengubah perilaku orang lain. Adapun tujuan sosialisasi adalah
untuk merubah perilaku nelayan, agar tidak menangkap ikan di area zona
terlarang.
Menurut Abric (1989) dalam Pandjaitan (2010), salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkah laku adalah representasi sosial yang dimiliki oleh individu
yang bersangkutan. Berdasarkan sejumlah eksperimen yang dilakukannya, dapat
disimpulkan bahwa tingkah laku pada subjek atau kelompok tidaklah didasari oleh
karakteristik objektif dari suatu situasi, melainkan oleh representasi mereka
terhadap situasi tersebut. Dengan demikian, penelitian ini juga perlu mengkaji
representasi sosial nelayan terhadap larangan mendekati anjungan operasi migas,
dimana representasi sosial tersebut juga dapat mempengaruhi kepatuhan nelayan
pada larangan memasuki zona terlarang di sekitar anjungan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana model komunikasi PT XYZ pada sosialisasi pemberlakuan zona
terlarang di sekitar anjungan migas dan komponen-komponen komunikasi
yang mempengaruhi efektifitas komunikasi?
2. Bagaimana efektifitas komunikasi PT XYZ pada pemberlakuan zona
terlarang di sekitar anjungan migas?
3. Bagaimana representasi sosial nelayan tentang larangan mendekati anjungan
migas?
4. Bagaimana hubungan antara karakteristik nelayan, intensitas komunikasi dan
representasi sosial nelayan tentang larangan mendekati anjungan migas?
5. Bagaimana hubungan antara representasi sosial dan tingkat efektifitas
komunikasi pada pemberlakuan zona terlarang sekitar anjungan migas?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis model komunikasi PT XYZ pada sosialisasi pemberlakuan
zona terlarang di sekitar anjungan migas dan komponen-komponen
komunikasi yang mempengaruhi efektifitas komunikasi.
2. Menganalisis efektifitas komunikasi PT XYZ pada pemberlakuan zona
terlarang di sekitar anjungan migas.
3. Menganalisis representasi sosial nelayan tentang larangan mendekati
anjungan migas.
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik nelayan, intensitas komunikasi
dan representasi sosial nelayan tentang larangan mendekati anjungan migas.
5. Menganalisis hubungan antara representasi sosial dan tingkat efektifitas
komunikasi pada pemberlakuan zona terlarang sekitar anjungan migas.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menjadi bahan
pertimbangan bagi stakeholder terkait dalam melakukan komunikasi kepada
komunitas nelayan, terkait upaya peningkatan keselamatan dan keamanan dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut.
Ruang Lingkup Penelitian
Fokus kajian penelitian ini adalah nelayan lokal yang bermukim di Desa
Muara, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yaitu
nelayan Desa Muara yang melakukan penangkapan ikan di perairan Laut Jawa
Bagian Utara.

TINJAUAN PUSTAKA
Bab tinjauan pustaka merupakan tinjauan literatur yang berkaitan dengan
topik yang diteliti. Tinjauan pustaka ini menjadi bahan dalam mengkonstruksi
kerangka pemikiran penelitian. Adapun topik yang diuraikan dalam tinjauan
pustaka ini adalah mengenai PT XYZ; kegiatan operasi minyak dan gas bumi di
laut; kawasan perairan sebagai area penangkapan ikan; teori-teori komunikasi
yang terdiri dari pengertian komunikasi, model komunikasi, efektifitas
komunikasi, aktor yang berkomunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan saluran
komunikasi; teori-teori representasi sosial yang terdiri dari pengertian representasi
sosial, fungsi representasi sosial, struktur representasi sosial, proses pembentukan
representasi sosial, metode pengukuran representasi sosial, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi representasi sosial; hubungan patron-klien; dan penelitian
terdahulu.
PT XYZ
PT XYZ merupakan salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
SKKMigas yang melakukan kegiatan operasi migas di perairan Laut Jawa Bagian
Utara. Kegiatan operasi migas di perairan Laut Jawa Bagian Utara termasuk ke
dalam Wilayah Kerja (WK) Offshore North West Java (ONWJ). Lapanganlapangan migas di Blok ONWJ telah diusahakan sejak Tahun 1966 yang ditandai
dengan penandatanganan KPS (Kontrak Production Sharing) pertama kali pada
tahun 1966 antara PERTAMINA dengan Independent Indonesian American
Petroleum Company (IIAPCO). Pada saat itu, KPS tersebut membentang di
sebelah utara Pulau Jawa bagian barat, tepatnya antara Kepulauan Seribu
(Provinsi DKI Jakarta) hingga lepas pantai utara Kabupaten Cirebon (Provinsi
Jawa Barat) dengan jarak sekitar 59 mil. Seiring waktu, Kontrak Production
Sharing ONWJ telah mengalami beberapa kali perubahan dari segi kepemilikan.
Lapangan-lapangan migas di Blok ONWJ telah dieksplorasi dan diproduksi sejak
Tahun 1968.

4
Kegiatan Operasi Minyak dan Gas Bumi di Laut
Pengoperasian kegiatan produksi migas di laut melibatkan sejumlah fasilitas
utama maupun pendukung yang dipasang di dasar laut atau yang dimobilisasikan
sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Salah satu fasilitas tersebut adalah anjungan
produksi. Beberapa jenis anjungan produksi migas yang dibedakan berdasarkan
sifat mobilitasnya, yaitu fixed platform dan mobile platform. Fixed platform yang
umum digunakan yaitu steel leg platform, concentrate gravity production
platform, tension leg production platform, dan light weight production platform.
Mobile platform yang umum digunakan yaitu jack up, semi-submersible
production platform, semi-submersible production unit, dan floating production
unit (Caledonian Offshore Ltd, 1995 dalam Pusparini, 2012). Berikut ini
disampaikan jenis ilustrasi anjungan di laut.

Gambar 1. Ilustrasi Anjungan di Laut
Pemberlakuan zona terlarang dan terbatas di sekitar fasilitas anjungan
dimaksudkan untuk melindungi semua kegiatan di fasilitas dari kegiatan lainnya
di laut yang dapat berakibat fatal pada sistem peralatan di anjungan dan bagi
kegiatan lainnya yang memasuki area sekitar anjungan. Pemberlakuan zona
terlarang dan terbatas tersebut diatur dalam Undang-Undang RI No.1 Tahun 1973
tentang Landas Kontinen dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1974 tentang
Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di
Daerah Lepas Pantai yang diuraikan sebagai berikut:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontingen
Undang-undang No. 1 Tahun 1973 pasal 6 menyatakan bahwa:
1. Untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi, dapat dibangun,
dipelihara dan dipergunakan instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau
alat-alat lainnya di Landas Kontinen dan/atau di atasnya.
2. Untuk melindungi instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat
lainnya tersebut pada ayat (1) pasal ini terhadap gangguan pihak ketiga,
Pemerintah dapat menetapkan suatu daerah terlarang yang lebarnya
tidak melebihi 500 meter, dihitung dari setiap titik terluar pada instalasiinstalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya di sekeliling instalasi-

5
instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya yang terdapat di Landas
Kontinen dan/atau di atasnya.
3. Disamping daerah terlarang tersebut pada ayat (2) pasal ini Pemerintah
dapat juga menetapkan suatu daerah terbatas selebar tidak melebihi
1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu,
dimana kapal-kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar
sauh.
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan
Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai
Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1974 pasal 12 menyatakan bahwa
menteri dengan persetujuan menteri lain yang bersangkutan menetapkan batasbatas:
a. Daerah terlarang, dimana orang, kapal, pesawat terbang dan lain-lain
sejenisnya yang tidak berkepentingan dilarang memasukinya.
b. Daerah terbatas, dimana kapal-kapal pihak ketiga yang tidak
berkepentingan dilarang membuang atau membongkar sauh.
Kawasan Perairan sebagai Area Penangkapan Ikan
Kawasan perairan Laut Jawa Bagian Utara yaitu wilayah perairan laut Jawa
Barat merupakan area penangkapan ikan bagi nelayan lokal yang bermukim di
pesisir Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon maupun bagi
nelayan pendatang. Potensi perikanan laut dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir
sebagai sumber pendapatan utama bagi para rumah tangga nelayan. Kawasan
perairan masih merupakan primadona bagi penduduk pesisir dalam memenuhi
permintaan perikanan di wilayah Jawa Barat dan daerah Jakarta. Berbagai jenis
alat tangkap digunakan oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.
Penduduk pesisir sangat bergantung pada kelimpahan sumberdaya ikan di perairan
sebagai penghasilan utama, mengingat minimnya alternatif jenis pekerjaan lainnya
kecuali sebagai nelayan dan petani.
Usaha Perikanan Tangkap
Penangkapan ikan merupakan kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan
yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, menangani, mengolah, dan atau mengawetkan (Undang-Undang
RI No. 31 pasal 1 Tahun 2004 tentang perikanan). Taryoto el al. (1993) dalam
Mardiana (2005) mengatakan bahwa usaha penangkapan ikan di Indonesia
memiliki ciri-ciri armada penangkapan yang sederhana. Hal ini dapat dilihat dari
ukuran perahu atau kapal, ukuran motor maupun alat tangkap yang digunakan.
Usaha penangkapan ikan umumnya sangat bergantung pada kondisi cuaca,
dimana kondisi cuaca juga akan berpengaruh pada hasil produksi penangkapan
ikan.
Nelayan
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan (Undang-Undang RI No. 31 pasal 1 Tahun 2004 tentang perikanan). Dirjen

6
Perikanan (2000) yang diacu Satria (2002) mendefenisikan nelayan adalah orang
yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau
binatang air lainnya atau tanaman air. Nelayan tersebut diklasifikasikan
berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi
penangkapan atau pemeliharaan, yaitu:
1. Nelayan/petani ikan penuh adalah seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan
ikan/binatang air.
2. Nelayan/petani ikan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar
waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
3. Nelayan/petani ikan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian
kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Hermanto (1986) dalam Mardiana (2005) menyatakan bahwa secara umum
berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan dibagi menjadi
lima kelompok yaitu:
1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat
penangkapan ikan tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan ikan di
laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang
diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung
seluruh biaya operasi penangkapan.
2. Juragan laut adalah orang yang tidak mempunyai perahu dan alat
tangkap tetapi bertanggungjawab dalam operasi penangkapan ikan di
laut.
3. Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap
sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan daratlaut menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik
unit penangkapan.
4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan
dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi
hasil tangkapan dan jarang diberi upah harian.
5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit
penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah
perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota
kelompok.
Lokasi Penangkapan Ikan
Pusparini (2012) mengatakan bahwa daerah penangkapan ikan dibedakan
berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Jenis alat tangkap yang digunakan
sangat menentukan lokasi perairan yang sebaiknya dituju oleh nelayan. Secara
garis besar, daerah penangkapan ikan dibagi berdasarkan jarak dan kedalaman
perairan yang dijangkau oleh nelayan. Jika ditinjau dari jarak dan kedalaman
perairan, maka daerah penangkapan ikan dibagi menjadi daerah pesisir yaitu area
perairan dengan jarak kurang dari 2 mil dengan kedalaman kurang dari 10 meter,
daerah laut dengan jarak kurang dari 30 mil dan kedalaman perairan antara 10

7
sampai dengan 50 meter, dan area perairan dengan jarak lebih dari 30 mil dan
kedalaman kurang dari 300 meter. Area pesisir sampai dengan area kedalaman 50
meter merupakan area penangkapan ikan terpadat yang dijangkau oleh nelayan
lokal di pesisir Jawa Barat. Area perairan yang lebih jauh dan dalam jangkauan
oleh nelayan dengan alat tangkap jenis tertentu dan modal operasional per trip
yang lebih tinggi. Dengan demikian, area pesisir sampai dengan perairan
kedalaman kurang dari 50 meter merupakan area penangkapan ikan (fishing
ground) utama nelayan lokal.
Komunikasi
Pengertian Komunikasi
Theodorson dan theodorson dalam Littlejohn dan Foss (2009)
mendefenisikan komunikasi sebagai penyampaian informasi, ide, sikap, atau
emosi dari satu orang atau kelompok ke orang atau kelompok lainnya. Effendy
(2011) menyatakan bahwa proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses
penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang
lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan lain-lain
yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang
timbul dari lubuk hati.
Model Komunikasi
Model komunikasi merupakan suatu gambaran yang menyederhanakan
suatu realita proses komunikasi manusia yang kompleks, berkelanjutan dan
senantiasa berubah ke dalam bentuk yang statis. Model komunikasi dapat
dibedakan ke dalam tiga (3) tipologi oleh Tubbs dan Moss (1983) dan Devito
(1996) dalam Lubis at al., 2009 yaitu sebagai berikut:
1) Model Linier
Model komunikasi linier merupakan komunikasi satu arah, dimana arus
pesan berasal dari sumber kepada penerima atau arah pesan cenderung searah.
Model komunikasi linier dengan proses satu arah mengabaikan faktor tanggapan
balik. Salah satu model komunikasi linier adalah Model Berlo yang dikenal
dengan Model SMCR. Berlo mengemukakan bahwa elemen-elemen dasar
komunikasi yang relevan untuk komunikasi antar pribadi meliputi 6 komponen
yaitu sumber (source), penyandi (encoder), pesan (message), saluran komunikasi
(channel), penerima (receiver), dan penerjemah (decoder).

Source-Encoder
(Sumber-Penyandi)

Message
(pesan)

Channel
(saluran)

Gambar 2. Model Berlo

Receiver- Decoder
(Penerima-Penerjemah)

8
2) Model Interaksional
Model interaksional diperkenalkan oleh Wilbur Schram pada Tahun 1954.
Schram melihat komunikasi sebagai suatu upaya yang berguna untuk
memantapkan suatu kebersamaan antara sumber dan penerima. Selain
menekankan kembali pada elemen-elemen sumber, pesan, dan destinasi, Schramm
juga menegaskan akan pentingnya interpretasi dan peranan bidang pengalaman
(Lubis et al., 2009). Model interaksional (Wilbur Schramm, 1954 dalam West dan
Turner, 2008) menekankan pada proses komunikasi dua arah, yaitu dari pengirim
kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses interaksi terjadi
secara melingkar, disampaikan pada Gambar 3. Seseorang dapat menjadi pengirim
maupun penerima dalam sebuah interaksi, tetapi tidak dapat menjadi keduanya
sekaligus.

Bidang
Pengalaman

Gambar 3. Model komunikasi interaksional.
Pada komunikasi interaksional di atas terdapat elemen penting yaitu umpan
balik (feed back) atau tanggapan terhadap suatu pesan. Umpan balik dapat berupa
verbal dan non verbal yang membantu para komunikator mengetahui apakah
pesan telah diterima dengan baik atau tidak. Dalam model interaksional, umpan
balik terjadi setelah pesan diterima, tidak pada saat pesan sedang dikirim. Elemen
terakhir dalam model interaksional adalah bidang pengalaman (field of
experience). Budaya, pengalaman, dan keturunan seseorang akan mempengaruhi
kemampuannya untuk berkomunikasi dengan satu sama lainnya.
3) Model Transaksional
Model komunikasi transaksional pertama kali diperkenalkan oleh Barnlund
pada Tahun 1970. Komunikasi sebagai transaksi menunjukkan bahwa komunikasi
merupakan sebuah proses pertukaran yang dinamis antara komunikator, tidak
memiliki waktu tertentu. Setiap komunikator selalu aktif mengirim dan menerima
pesan. Model ini menggarisbawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang
berlangsung secara terus menerus dalam sebuah episode komunikasi. Menurut
Barnlund (1970) dalam Devito (1997), dengan transaksi dimaksudkan bahwa
komunikasi merupakan suatu proses, bahwa komponen-komponennya saling
terkait dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu

9
kesatuan dan keseluruhan. Model transaksional berarti komunikasi kooperatif,
pengirim dan penerima sama-sama bertanggungjawab terhadap dampak dan
efektifitas komunikasi yang terjadi. Dalam model transaksional, orang
membangun kesamaan makna (West&Turner, 2008).

Gambar 4. Model komunikasi transaksional
Model komunikasi sebagai transaksi juga dijelaskan oleh Littlejohn dan
Foss sebagai konteks komunikasi. Setiap tingkatan komunikasi mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh konteks-konteks yang lebih besar (Littlejohn dan Foss,
2009). Teori komunikasi disusun dalam delapan konteks, seperti pada Gambar 5
di bawah.

Gambar 5. Model komunikasi Littlejohn dan Foss
Konteks komunikasi dimulai dengan individu, yaitu melihat cara-cara dari
tradisi-tradisi yang berbeda yang menjelaskan pelaku komunikasi sebagai orangorang yang terlibat dalam interaksi sosial. Selanjutnya diperluas dengan melihat
pesan dan percakapan. Ketika orang-orang menggunakan pesan dalam percakapan
dengan orang lain, mereka mengembangkan hubungan, dan akan diperluas ke
konteks yang lebih besar dari kelompok dan organisasi. Konteks komunikasi
diperjelas dengan media dan pada tingkatan yang paling lebar yaitu untuk melihat
pada komunikasi dalam kebudayaan dan masyarakat.

10
Efektifitas Komunikasi
Sebuah komunikasi dapat dikatakan efektif apabila terjadi pemahaman
bersama (mutual understanding) di antara pengirim dan penerima pesan. Rogers
dan Kincaid (1981) membangun model komunikasi konvergen yang termasuk ke
dalam model komunikasi transaksional. Model komunikasi konvergen
menyatakan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses dimana para partisipan
membuat dan membagi informasi dengan partisipan lainnya dalam rangka untuk
mencapai mutual understanding antara individu yang berkomunikasi. Komunikasi
selalu berimplikasi pada suatu hubungan. Informasi dan mutual understanding
merupakan komponen dominan dalam model komunikasi konvergen (penafsiran),
pemahaman, keyakinan atau kepercayaan dan tindakan, yang menciptakan secara
potensial, setidaknya informasi baru untuk pengolahan lebih lanjut. Manakala
informasi dibagi (dimiliki) bersama oleh dua atau lebih partisipan, pengolahan
informasi akan membawa pada pemahaman timbal balik, kesepakatan bersama
dan tindakan kolektif. Tindakan kolektif membutuhkan tindakan-tindakan dari dua
atau lebih individu, yang dibangun atas landasan kesepakatan dan pemahaman
timbal balik. Jika dua atau lebih individu percaya bahwa pernyataan yang sama itu
valid (sah), maka pernyataan itu menjadi benar oleh atau melalui consensus atau
kesepakatan dan pemahaman bersama. Komponen dasar dalam model komunikasi
konvergensi disampaikan pada Gambar 6 di bawah.

Gambar 6. Komponen dasar dari model komunikasi konvergen
Selain itu, setiap komponen komunikasi sangat berperan mempengaruhi
ketepatan sebuah komunikasi. Berlo (1960) menyatakan bahwa komunikasi akan
berjalan efektif apabila ketepatannya dapat ditingkatkan dan gangguannya dapat
diperkecil. Ketepatan atau keefektivan komunikasi sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang ada pada setiap komponen komunikasi SMCR (Sumber
pesan, pesan, saluran pesan, dan penerima pesan) yang disampaikan di bawah ini.

11
Aktor Yang Berkomunikasi
Aktor yang berkomunikasi atau pelaku komunikasi terdiri dari sumber pesan
dan penerima pesan. Menurut Littlejohn dan Foss (2009), pelaku komunikasi
adalah individu yang mandiri, individu yang unik dengan karakteristikkarakteristik khusus yang ditentukan secara parsial oleh genetik. Menurut Berlo,
terdapat 5 faktor yang akan mempengaruhi keefektifan komunikasi yang terdapat
pada pelaku komunikasi, baik pada sumber pesan maupun penerima pesan, yaitu
keterampilan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial-budaya. Kelima
faktor tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Keterampilan berkomunikasi
Keterampilan berkomunikasi penting bagi sumber dan penerima. Pada
sumber penting karena memungkinkan sumber dapat mengembangkan dan
menyandi pesan, sementara keterampilan komunikasi pada penerima penting agar
dia mampu menerjemahkan dan membuat keputusan-keputusan tentang suatu
pesan. Menurut Berlo, terdapat 5 jenis keterampilan berkomunikasi, khususnya
pada komunikasi verbal, yaitu menulis, berbicara, membaca, mendengarkan, dan
berpikir. Kelima hal tersebut diperlukan oleh pengirim dan penerima pesan untuk
menterjemahkan pesan-pesan yang dikirim maupun yang diterima.
2. Sikap
Sikap adalah kecenderungan pada individu untuk suka atau tidak suka
terhadap sesuatu, baik itu manusia maupun objek atau benda lainnya. Pada sumber
pesan, sikap-sikapnya yang mempengaruhi ketepatan komunikasi meliputi: sikap
terhadap diri sendiri, sikap terhadap materi atau isi pesan, dan sikap terhadap
penerima. Berlo menyatakan bahwa ketepatan komunikasi yang tinggi dapat
dicapai, jika sumber memiliki kepercayaan diri dan faktor-faktor kepribadian
individu yang tinggi seperti motivasi dan aspirasi. Sikap sumber terhadap materi
yang akan disampaikan dan terhadap penerima pesan juga harus positif. Adapun
pada penerima pesan, kemampuannya menerjemahkan pesan dari sumber akan
ditentukan oleh sikap pada diri sendiri, sikap pada isi pesan, dan sikap pada
sumber pesan.
3. Pengetahuan
Sumber pesan harus memiliki pengetahuan tentang pesan (menguasai
materi), pengetahuan tentang karakteristik penerima, menguasai cara-cara
menghasilkan dan memperlakukan pesan-pesan, serta mampu membuat pilihanpilihan dalam menentukan saluran komunikasi yang tepat untuk mengirimkan
pesannya sesuai dengan karakteristik penerimanya. Demikian juga dengan
penerima pesan harus mengetahui kode yang digunakan sumber pesan, isi sebuah
pesan, dan kemampuan dalam memaknai atau membuat inferensi atas maksud
atau tujuan sumber mengirim pesan kepadanya.
4. Sistem sosial-budaya
Secara umum, posisi sumber dalam struktur sosial dan konteks budayanya
akan mempengaruhi perilaku komunikasinya. Sistem sosial budaya akan
menentukan perilaku sumber dalam memilih pesan, simbol-simbol pesan (seperti
bahasa), cara-cara, dan saluran komunikasi yang digunakan, serta penerima
pesannya. Demikian pula halnya dengan penerima, posisinya dalam sistem sosial
serta budayanya akan mempengaruhi kemampuan dia memaknai pesan dan
sekaligus ketepatan komunikasinya. Umum diketahui bahwa orang yang memiliki
kepemimpinan, status ekonomi dan pendidikan tinggi memiliki perilaku

12
komunikasi yang lebih kosmopolit dibanding mereka yang serba rendah dalam hal
status sosial ekonominya. Mereka lebih banyak bergaul dengan peneliti, penyuluh
dan tokoh-tokoh pemimpin di luar desanya serta lebih terdedah (terpapar) pada
komunikasi media massa. Orang-orang dengan karakteristik demikian, mampu
berkomunikasi, baik berperan sebagai sumber maupun penerima, yang
berkomunikasi dengan ketepatan yang tinggi. Di dalam sebuah komunikasi, perlu
juga mempertimbangkan faktor homofili. Hal tersebut mengacu kepada
pengiriman informasi di antara orang yang sama dalam kelas sosial, usia,
pendidikan, bahasa dan karakteristik demografik lainnya akan mengurangi
halangan dalam berkomunikasi. Menurut Rogers (2003), homofili adalah derajat
dimana sepasang individu atau lebih yang berkomunikasi dengan cara yang sama.
Kesamaan tersebut bisa saja pada atribut tertentu, seperti kepercayaan,
pendidikan, status sosial ekonomi, dan kesukaannya.
Pesan Yang Dikomunikasikan
Menurut Berlo, setiap pesan memiliki elemen-elemen dan struktur. Kedua
aspek tersebut menjadi bagian yang integral dari tiga faktor yang ada pada
komponen pesan komunikasi, yaitu kode pesan, isi pesan, dan perlakuan pesan.
1. Kode pesan merupakan kelompok simbol-simbol yang dapat
distrukturkan dengan cara tertentu sehingga bermakna bagi sejumlah
orang. Bahasa adalah kode pesan yang utama dalam komunikasi. Setiap
kode bahasa memiliki sekelompok elemen serta kosakata dan prosedur
untuk mengkombinasikan elemen-elemen tersebut sehingga bermakna.
2. Isi pesan merupakan materi dalam pesan yang telah diseleksi oleh
sumber untuk mengekspresikan tujuan komunikasi. Isi pesan terkait
dengan materi pendukungnya, visualisasi pesan, isi negatif pesan,
pendekatan emosional, pendekatan rasa takut, kreativitas humor serta
pendekatan kelompok rujukan.
3. Perlakuan pesan adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh sumber
untuk memilih metode untuk menyusun dan mengirim kode dan isi
pesan. Penting diperhatikan untuk memperlakukan pesan sesuai dengan
karakteristik penerima pesan.
Menurut Koballa (1986) dalam Venus (2004), sikap yang terbentuk
berdasarkan contoh-contoh dan peristiwa bersejarah yang telah terjadi di masa
lalu lebih menetap dalam diri seseorang untuk jangka waktu yang lama,
dibandingkan sikap yang terbentuk berdasarkan data-data. Isi pesan seharusnya
menyertakan visualisasi sehingga respon tertentu yang diharapkan akan muncul
dari khalayak. Contohnya pada kampanye penggunaan sabuk pengaman, akan
lebih efektif menggunakan contoh nyata seperti foto-foto kecelakaan akibat
pengabaian pemakaian sabuk pengaman daripada hanya menunjukkan data
statistik angka kecelakaan. Semakin nyata visualisasinya maka akan semakin
mudah bagi khalayak untuk mengevaluasi pesan dan semakin cepat menentukan
sikap untuk menerima atau menolak pesan. Selain itu, diperlukan pendekatan
emosional yang bersifat afektif. Pendekatan emosional akan membuat khalayak
lebih mudah menerima pesan. Namun, pendekatan emosional seperti himbauan
rasa takut dengan cara memberikan ancaman, cenderung membuat khalayak
sasaran tidak akan merespon pesan yang disampaikan. Contohnya dalam
kampanye anti rokok, khalayak justru merasa terancam dan akan cenderung

13
mengabaikan pesan kampanye jika materinya adalah bahaya merokok. Lebih baik
melakukan pendekatan afeksi terhadap keluarga, seperti keluarga akan terabaikan
jika seseorang terus-menerus merokok. Para peneliti di Ontario, Canada
menemukan fakta bahwa himbauan rasa takut pada kampanye pemakaian sabuk
pengaman di negara tersebut, lebih efektif saat menampilkan cedera akibat
kecelakaan daripada rasa takut terbunuh dalam kecelakaan lalu lintas. Temuan
tersebut meyakinkan para penyelenggara dan ahli kampanye bahwa himbauan rasa
takut yang berlebihan akan menyebabkan pesan tidak efektif, karena khalayak
akan menolak pesan tersebut dengan komentar, “Mati itu urusan Tuhan, …..mati
tidak bisa terhindarkan jika harus terjadi.”Dengan demikian, harus berhati-hati
dalam menggunakan himbauan rasa takut pada pesan. Himbauan rasa takut harus
disesuaikan dengan karakteristik khalayak dan objek kampanye yang
disampaikan.
Saluran Komunikasi Yang Digunakan
Penyampaian dan penerimaan pesan dalam sebuah proses komunikasi
memerlukan saluran komunikasi sebagai media komunikasi. Devito (2011)
menyatakan bahwa saluran komunikasi adalah media yang dilalui oleh pesan.
Menurut Lubis et all, 2013, sumber pesan harus mengetahui dan memahami
saluran komunikasi setidaknya dalam tiga aspek, yaitu: sebagai mekanisme yang
berpasangan (as coupling mechanism), sebagai kendaraan (vehicles), atau sebagai
kendaraan pembawa (vehicle carriers). Selain itu, sumber pesan harus
mempertimbangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan panca indra manusia,
kemampuan indera dari penerima pesan, agar pesan yang dikirimkannya
membuahkan respon sebagaimana dikehendakinya.
Berlo dalam Lubis et all, 2013 membedakan saluran komunikasi untuk
komunikasi antar pribadi dan komunikasi bermedia. Dalam komunikasi
antarpribadi, khususnya dalam percakapan, sumber mengirim pesan-pesannya
yang berbentuk lisan. Untuk itu, sumber membutuhkan: kendaraan pembawa
pesan (message-vehicle) berupa gelombang suara yang akan menghantarkan pesan
sumber dan udara sebagai pembawa kendaraan (vehicle-carrier). Gelombang
suara tidak akan terdengar tanpa ada udara. Konteks mekanisme berpasangan
sangat relevan dalam komunikasi bermedia. Sumber tidak mungkin mengirim
pesan dengan berbicara melalui telepon kepada penerima yang tidak memiliki
pesawat telepon. Berbagai tipologi saluran komunikasi menurut Rogers (2003),
adalah:
1. Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi di antara
seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara
dua orang yang langsung diketahui balikannya. Menurut Devito (1997),
komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang
dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang
dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan
umpan balik segera.
2. Saluran kelompok yaitu pertemuan dalam jumlah tertentu, kemungkinan
adanya umpan balik menjadi terbatas, namun antar individu dapat saling
berinteraksi. Saluran komunikasi kelompok adalah komunikasi yang
berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok kecil seperti
dalam rapat, pertemuan, konferensi dan sebagainya.

14
3. Saluran media massa mempunyai potensi menyebarkan informasi
dengan cepat. Untuk menyebarkan informasi, media massa sangat
efektif yang dapat mengubah sikap, pendapat, dan perilaku komunikan.
Cangara, 2000 mengatakan bahwa media adalah alat bantu atau sarana yang
digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media
komunikasi yang dimaksud adalah media massa, yakni media elektronik (radio
dan televisi) dan media cetak (surat kabar, majalah, buku, brosur, leaflet, dan lainlain). Keterdedahan adalah mendengarkan, membaca, melihat atau secara lebih
umum mengalami dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan
media. Gonzales yang diacu Jahi (1988) menyampaikan bahwa khalayak
sesungguhnya aktif, terutama dalam memilih keterdedahannya, memilih hal-hal
yang patut diperhatikan untuk diingat dan dipelajari. Rogers (1966) mengatakan
bahwa keterdedahan pada media massa mempunyai korelasi yang tinggi, sehingga
dapat dibuat suatu indeks keterdedahan pada media massa paling tidak dikotomi
ke dalam hal berikut:
1. Setidaknya pernah terdedah (misalnya: kebiasaan membaca surat kabar
sekali seminggu).
2. Tidak terdedah.
Suatu komunikasi dapat dikatakan efektif atau berhasil jika tujuan
komunikasi tersebut tercapai. Devito (2001) menyatakan bahwa salah satu tujuan
komunikasi adalah untuk mengubah perilaku orang lain. Slamet (1978: 442)
menyatakan bahwa perilaku adalah tindak tanduk, ucapan maupun perbuatan
seseorang yang dapat diamati secara langsung ataupun tidak langsung melalui
panca indra. Menurut Padmowihardjo (1978), perilaku merupakan pencerminanpencerminan yang ditampakkan oleh seseorang sebagai hasil interaksi dari sifatsifat genetis dan lingkungan. Sementara menurut Amanah dan Utami (2006),
perilaku dapat diamati oleh orang lain, dapat didengar, dilihat atau dirasakan oleh
orang lain. Perilaku adalah keseluruhan tindakan seseorang yang dapat diamati
oleh orang lain. Nelayan merupakan orang yang secara aktif melakukan pekerjaan
menangkap ikan/binatang air lainnya/tanaman air (Undang-Undang No. 31 Tahun
2004). Dengan demikian, perilaku nelayan adalah segala tindakan nelayan yang
dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung melalui panca indra dalam
melakukan pekerjaan menangkap ikan.
Representasi Sosial
Pengertian Representasi Sosial
Moscovici (1973) dalam Putra et al. (2003) menyatakan bahwa representasi
sosial adalah sebuah sistem dari nilai, gagasan, dan praktek dengan fungsi untuk
membangun sebuah urutan yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan
atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka dan untuk
menguasai lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku
adalah representasi sosial yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan.
Berdasarkan sejumlah eksperimen yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa
tingkah laku para subyek atau kelompok tidaklah didasari oleh karakteristik
obyektif dari suatu situasi melainkan oleh representasi mereka atas situasi
tersebut, Abric (1989) dalam Pandjaitan (2010).

15
Putra et al. (2003) mendefenisikan representasi sosial sebagai cara berpikir
rasional yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya
logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok
yang sama melalui komunikasi sehari-hari. Representasi sosial (RS) yang disebut
juga sebagai pengetahuan mengenai arti umum (Ia connaissance de sens commun)
atau pemahaman alamiah (Ia pensee naturelle), diperkenalkan pertama