. Strategi Pembangunan Sektor Pertanian Di Zona Agro Ekologi (Zae) Kawasan Perdesaan Kabupaten Bantul

STRATEGI PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
DI ZONA AGRO EKOLOGI (ZAE) KAWASAN PERDESAAN
KABUPATEN BANTUL

JOKO MULYONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pembangunan
Sektor Pertanian di Zona Agro Ekologi (ZAE) Kawasan Perdesaan Kabupaten
Bantul adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor,

Desember 2015
Joko Mulyono
NIM H152130201

RINGKASAN
JOKO MULYONO. Strategi Pembangunan Sektor Pertanian di Zona Agro
Ekologi (ZAE) Kawasan Perdesaan Kabupaten Bantul. Dibimbing oleh SETIA
HADI dan KHURSATUL MUNIBAH.
Masalah yang dihadapi sektor pertanian adalah pemanfaatan sumberdaya
belum optimal, kurangnya informasi dan penguasaan teknologi pertanian,
kurangnya akses terhadap modal, pasar dan kelembagaan pendukung lainnya,
penguasaan lahan usahatani terbatas, produktivitas cenderung turun, harga sarana
produksi semakin meningkat, harga panen rendah dan konversi lahan pertanian.
Lahan pertanian yang telah dikonversi bersifat permanen, sehingga dibutuhkan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan mempertahankan produksi.
Penelitian ini bertujuan menganalisis konversi lahan pertanian, menentukan

komoditas unggulan berdasarkan zona agro ekologi, menganalisis usahatani
komoditas unggulan berdasarkan zona agro ekologi dan menyusun strategi
pembangunan sektor pertanian yang optimal di Kabupaten Bantul. Konversi lahan
pertanian dianalisis secara diskriptif. Komoditas unggulan ditentukan berdasarkan
nilai LQ > 1, nilai SSA positif dan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan
zona agro ekologi. Usahatani komoditas unggulan dianalisis dengan R/C, NKB
dan Titik Impas. Penyusunan strategi pembangunan sektor pertanian dengan
pendekatan A’WOT.
Hasil analisis menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian (sawah) ke non
pertanian sebesar 213 ha dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2014) atau 42,61
ha/tahun. Komoditas unggulannya adalah padi sawah, jagung, kedelai, kacang
tanah, cabe, kacang panjang, kangkung, bayam dan sawi. Usahatani padi sawah
sebagai komoditas unggulan lebih optimal (R/C = 2,17) dibandingkan komoditas
non unggulan (R/C=1,99) dengan nilai keuntungan bersih (NKB = 1,13).
Usahatani jagung sebagai komoditas unggulan lebih optimal (R/C = 1,78)
dibandingkan non unggulan (R/C = 1,58) dengan nilai keuntungan bersih (NKB =
1,22). Usahatani kacang tanah sebagai komoditas unggulan lebih optimal (R/C =
1,54) dibandingkan non unggulan (R/C = 1,40) dengan nilai keuntungan bersih
(NKB = 1,28). Usahatani cabe sebagai komoditas unggulan lebih optimal (R/C =
1,59) dibandingkan non unggulan (R/C = 1,52) dengan NKB = 1,12. Titik impas

produksi padi sawah masing-masing (2.729kg/ha dan 2.883 kg/ha), jagung (2.645
kg/ha dan 2.946), kacang tanah (876 kg/ha dan 943 kg/ha) dan cabe (6.662 kg/ha
dan 6.882 kg/ha). Prioritas strategi pembangunan sektor pertanian yang optimal di
Kabupaten Bantul adalah melalui budidaya komoditas unggulan dan peningkatan
kapasitas dan frekuensi penyuluhan, ketersediaan saprodi, kerjasama antar
stakeholder, penyuluhan pengendalian konversi, saprodi murah dan berkualitas,
motivasi kepada generasi muda, implementasi perlindungan lahan pertanian dan
pemanfaatan lahan sesuai tata ruang wilayah.
Kata kunci: komoditas unggulan, zona agro ekologi, strategi pembangunan
pertanian

SUMMARY
JOKO MULYONO. Strategy of Agricultural Sector Development in the Agro
Ecological Zone Rural Areas Bantul Regency. Supervised by SETIA HADI and
KHURSATUL MUNIBAH.
The problems of agricultural sector are resource utilization is not optimal,
less of information and control of agricultural technologies, less of access to
capital, markets and institutions supporting, land farming ownership is limited,
decreased productivity, price of input is increasing, low prices of harvest
commodity and conversion of agricultural land. Agricultural land has converted to

be permanent, it is needs technology to increase productivity and maintain
production.
This study aims to analyze the convertion of agricultural land, to determine
the leading commodity and farming analyze based on agro ecological zone (AEZ)
and strategy for optimal development of the agricultural sector in Bantul Regency.
Conversion of agricultural land were analyzed descriptively. Leading commodity
was determined by the value of LQ > 1, the value of SSA positive and agricultural
commodity zone based on AEZ. Farming analyzed by R/C, net profit ratio (NKB)
and break event point (BEP). The preparation of the agricultural sector
development strategy with A'WOT approach.
The result of analysis shows the conversion of agricultural land is 213 ha in
a period of 5 years (2010-2014) or 42.61 ha/year. The leading commodity are
paddy, maize, soybeans, peanuts, chili, beans, swam cabbage, spinach and
mustard. Paddy farming as the leading commodity more optimal (R/C = 2.17)
than the non leading commodity (R/C = 1.99) with the value of net profit (NKB =
1.13). Maize farming as the leading commodity more optimal (R/C = 1.78) than
the non leading commodity (R/C = 1.58) with NKB = 1.22. Soybeans farming as
the leading commodity more optimal (R/C = 1.54) than the non leading
commodity (R/C = 1.50) with NKB = 1.28. Chili farming as the leading
commodity more optimal (R/C = 1.59) than the non leading commodity (R/C =

1.52) with NKB = 1.12. Break event point of paddy production respectively
(2,729 ha/kg and 2,883 kg/ha), maize (2,645 kg/ha and 2,946 kg/ha), soybeans
(876 kg/ha and 943 kg/ha) and chilli (6,662 kg/ha and 6,882 kg/ha). Priority
strategy optimal agricultural development sector in Bantul Regency is the
cultivation of the leading commodity and improving capacity and frequency the
extension, availability of inputs, cooperation among stakeholders, extension for
conversion control, cheap and quality of inputs, motivation for the young
generation, implementation of the protection of agricultural land and land use in
accordance spatial structure.
Keywords: leading commodity, agro ecological zone, agricultural development
strategy

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
DI ZONA AGRO EKOLOGI (ZAE) KAWASAN PERDESAAN
KABUPATEN BANTUL

JOKO MULYONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah
pembangunan sektor pertanian di zona agro ekologi, dengan judul Strategi
Pembangunan Sektor Pertanian di Zona Agro Ekologi (ZAE) Kawasan Perdesaan
Kabupaten Bantul.
Sektor pertanian mempunyai peran sebagai penyedia pangan, berkontribusi
terhadap perekonomian daerah, penerimaan ekspor, penyediaan tenaga kerja dan
kesempatan kerja, mendukung pengurangan pengangguran dan kemiskinan.
Masalah yang dihadapi sektor pertanian adalah lahan pertanian semakin
berkurang, sarana produksi pertanian semakin mahal dan produktivitas pertanian
yang cenderung turun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konversi lahan
pertanian, menentukan komoditas unggulan sektor pertanian berdasarkan zona
agro ekologi (ZAE), menganalisis usahatani komoditas unggulan sesuai zona agro
ekologi (ZAE) dan menyusun strategi pembangunan sektor pertanian yang
optimal di Kabupaten Bantul.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS dan Ibu

Dr. Dra. Khursatul Munibah, MSc selaku komisi pembimbing atas bimbingan,
arahan dan motivasinya sehingga penyusunan tesis terselesaikan. Penulis juga
menyampaikan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
selaku dosen penguji dan juga selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB atas masukan, saran untuk
penyempurnaan karya ilmiah ini dan atas tempaan selama proses belajar hingga
penyelesaian tugas akhir ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan studi melalui program beasiswa sebagai
petugas pelajar. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Kepala dan staf
Dinas Pertanian dan Kehutanan, Bappeda, BPS, BPP, Penyuluh, Kelompok Tani
dan Petani yang telah berkontribusi dalam penelitian dan penyusunan karya ilmiah
ini. Kepada rekan-rekan PWD angkatan 2013 terimakasih atas kebersamaan dan
persahabatanya selama proses belajar di PWD, Sekolah Pascasarjana IPB.
Terimakasih yang tak terhingga kepada keluarga: Ibu, Almarhum Bapak, istriku
Rini Andini Ambarwati Ekaputri, SS dan putri-putriku: Tevisia Cherdiva
Mulyaputri, Hayfa Zitaneysa Mulyaputri, atas pengertian, pengorbanan, dorongan,
kasih sayang dan doanya. Akhirnya, dengan segala kekurangan dan keterbatasan
semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor,

Desember 2015
Joko Mulyono

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xv


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Sektor Pertanian
Komoditas Unggulan Sektor Pertanian
Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE)
Analisis A’WOT
Penelitian-Penelitian Terdahulu

Kerangka Pemikiran

6
6
8
11
18
19
22

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

24
24
24
26

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BANTUL
Geografis dan Iklim
Kependudukan
Sektor Pertanian

31
31
34
36

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Konversi Lahan Pertanian ke Lahan Non Pertanian di Kabupaten Bantul
Komoditas Unggulan Sektor Pertanian Sesuai Zona Agro Ekologi (ZAE) di
Kabupaten Bantul
Usahatani Komoditas Unggulan Sesuai Zona Agro Ekologi (ZAE)
Strategi Pembangunan Sektor Pertanian yang Optimal di Kabupaten Bantul

38
38

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

79
79
80

DAFTAR PUSTAKA

80

42
48
67

D AFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7

Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25

Tabel 26
Tabel 27

Komoditas unggulan nasional
Kriteria pembagian zona agro ekologi
Zona agro ekologi dan sistem pertanian/kehutanan
Kriteria pengelompokan rejim suhu
Kriteria pengelompokan rejim kelembaban
Kriteria pengelompokkan sub zona kematangan dan kedalaman
gambut
Pengelompokan wilayah budidaya pertanian dan non budidaya
pertanian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Skala
1:250.000
Pewilayahan komoditas pertanian di Kabupaten Bantul
berdasarkan Peta ZAE Skala 1:50.000
Skala pembobotan AHP
Kriteria pemilihan responden
Tujuan, jenis, sumber, analisis dan output data penelitian
Pembobotan unsur-unsur SWOT berdasarkan analisis AHP
Matrik alternatif strategi hasil analisis SWOT
Ranking strategi pembangunan sektor pertanian yang optimal
di Kabupaten Bantul
Luas wilayah dan banyaknya desa menurut kecamatan di
Kabupaten Bantul
Luas wilayah berdasarkan ketinggian dari permukaan air laut
(dpl) di Kabupaten Bantul
Luas wilayah berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (dpl)
per kecamatan di Kabupaten Bantul (ha)
Luas wilayah berdasarkan kelerangan di Kabupaten Bantul
Luas wilayah berdasarkan kelerengan per kecamatan
Kabupaten Bantul
Rata-rata jumlah curah hujan dan banyaknya hari hujan
Kabupaten Bantul per bulan tahun 2013
Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per
km2 Kabupaten Bantul tahun 2013
Luas lahan sawah, lahan bukan sawah dan lahan bukan
pertanian per kecamatan Kabupaten Bantul tahun 2013
Luas panen sub sektor tanaman pangan menurut kecamatan
dan jenisnya di Kabupaten Bantul tahun 2013 (ha)
Luas panen, produksi dan produktivitas sub sektor tanaman
pangan menurut jenis tanaman (2011-2013)
Luas dan persentase peruntukan konversi lahan pertanian
(sawah) ke non pertanian per kecamatan di Kabupaten Bantul
tahun 2010-2014
Luas konversi lahan pertanian (sawah) ke lahan non pertanian
Kabupaten Bantul tahun 2010-2014
Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif (LQ) dan
kompetitif (SSA) sub sektor tanaman pangan di Kabupaten
Bantul

9
11
12
12
13
13

14
17
19
25
26
29
30
30
31
32
32
33
33
34
35
36
37
38

40
41

43

Tabel 28 Komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) pada sub sektor
tanaman pangan Kabupaten Bantul
Tabel 29 Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif (LQ) dan
kompetitif (SSA) sub sektor hortikultura (sayuran) di
Kabupaten Bantul
Tabel 30 Komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) pada sub sektor
hortikultura (sayuran) Kabupaten Bantul
Tabel 31 Karakteristik petani pada sub sektor tanaman pangan
Tabel 32 Keragaan penguasaan lahan pada petani komoditas padi sawah
Tabel 33 Keragaan penguasaan lahan pada petani komoditas jagung
Tabel 34 Keragaan penguasaan lahan pada petani komoditas kacang
tanah
Tabel 35 Aksesibilitas lokasi penelitian pada sub sektor tanaman
pangan
Tabel 36 Infrastruktur lokasi penelitian pada sub sektor tanaman pangan
Tabel 37 Analisis usahatani padi sawah Kabupaten Bantul MT I
2014/2015
Tabel 38 Analisis usahatani jagung Kabupaten Bantul tahun 2014 (MT
II) dan 2015 (MT I)
Tabel 39 Analisis usahatani kacang tanah Kabupaten Bantul MT I
2014/2015
Tabel 40 Karakteristik petani pada sub sektor hortikultura (sayuran)
Tabel 41 Keragaan penguasaan lahan petani pada sub sektor hortikultura
(sayuran)
Tabel 42 Aksesibilitas lokasi penelitian pada sub sektor hortikultura
(sayuran)
Tabel 43 Infrastruktur lokasi penelitian pada sub sektor hortikultura
(sayuran)
Tabel 44 Analisis usahatani cabe Kabupaten Bantul MT III tahun 2014
Tabel 45 Faktor internal dan eksternal
Tabel 46 Pembobotan komponen dan faktor-faktor SWOT
Tabel 47 Matrik alternatif strategi pembangunan sektor pertanian yang
optimal di Kabupaten Bantul
Tabel 48 Jumlah bobot dan urutan/ranking strategi pembangunan sektor
pertanian yang optimal di Kabupaten Bantul

44

46
47
49
50
51
51
52
52
55
57
59
61
62
63
63
65
70
74
77
78

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11
Gambar 12
Gambar 13
Gambar 14
Gambar 15
Gambar 16

Penentuan simbol zona
Penentuan simbol sub zona
Diagram alir penyusunan peta pewilayahan komoditas
pertanian
Peta Pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona
agro ekologi (ZAE) Kabupaten Bantul, Provinsi DIY
Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Rancangan pemilihan responden
Struktur hirarki analisis A’WOT pembangunan sektor
pertanian yang optimal di Kabupaten Bantul
Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja
menurut lapangan usaha tahun 2013
Peta komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) pada sub
sektor tanaman pangan
Peta komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) pada sub
sektor hortikultura (sayuran)
Keragaan usahatani padi sawah, jagung dan kacang tanah
Keragaan usahatani cabe
Pembobotan AHP komponen SWOT
Pembobotan AHP faktor internal (kekuatan dan kelemahan)
Pembobotan AHP faktor eksternal (peluang dan ancaman)

15
16
16
18
23
24
25
29
35
45
48
60
66
71
72
73

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11
Lampiran 12
Lampiran 13

Luas konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian
per kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2010
Luas konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian
per kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2011
Luas konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian
per kecamatan Kabupaten Bantul tahun 2012
Luas konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian
per kecamatan Kabupaten Bantul tahun 2013
Luas konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian
per kecamatan Kabupaten Bantul tahun 2014
Nilai LQ sub sektor tanaman pangan di Kabupaten Bantul
Komoditas unggulan komparatif sub sektor tanaman
pangan di Kabupaten Bantul
Nilai SSA sub sektor tanaman pangan di Kabupaten
Bantul
Komoditas unggulan kompetitif sub sektor tanaman
pangan di Kabupaten Bantul
Nilai LQ sub sektor hortikultura (sayuran) di Kabupaten
Bantul
Komoditas unggulan komparatif sub sektor hortikultura
(sayuran) di Kabupaten Bantul
Nilai SSA sub sektor hortikultura (sayuran) di Kabupaten
Bantul
Komoditas unggulan kompetitif sub sektor hortikultura
(sayuran) di Kabupaten Bantul

84
85
86
87
88
89
89
90
90
91
91
92
92

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian masih menjadi sektor yang dominan dan menjadi basis
ekonomi bagi masyarakat perdesaan, sehingga pembangunan di sektor pertanian
menjadi penting dalam mendorong pembangunan di perdesaan. Pembangunan
sektor pertanian merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani melalui optimalisasi penggunaan sumberdaya pertanian.
Dengan kata lain, peningkatan pendapatan petani akan menyebabkan terjadinya
pertumbuhan, pemerataan ekonomi dan kesejahteraan petani di perdesaan.
Menurut Priyarsono (2011), sektor pertanian masih memegang peranan penting
dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan
yang merata dibandingkan sektor lainnya. Peran sektor pertanian dalam
perekonomian daerah adalah melalui sumbangannya terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), penerimaan ekspor, penyediaan tenaga kerja,
kesempatan kerja, mendukung pengurangan pengangguran dan kemiskinan serta
penyediaan pangan daerah (Badrudin 2012). Sektor pertanian juga memiliki
kontribusi dalam memperkuat keterkaitan antar industri, konsumsi dan investasi.
Kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian
akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Todaro dan Smith (2006),
tujuan utama pembangunan sektor pertanian dan perdesaan di negara berkembang
adalah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat perdesaan melalui peningkatan
pendapatan. Menurut Ittersum et al. (2008), kebijakan pembangunan pertanian
dirancang untuk meningkatkan kontribusinya terhadap keberlanjutan sistem
pertanian dan untuk meningkatkan kontribusi sistem pertanian terhadap
pembangunan berkelanjutan pada umumnya.
Secara geografis, wilayah Kabupaten Bantul terletak di bagian paling
selatan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari 17 kecamatan
dan 75 desa dengan luas wilayah 506,85 km2. Menurut Basuki (2008), sektor
pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan paling besar dan merupakan
sektor unggulan untuk mendukung pengembangan wilayah Kabupaten Bantul.
Rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB tahun 2001-2005 sebesar
25,47 %. Badrudin (2012), menyatakan bahwa sektor pertanian masih
mendominasi perekonomian di Kabupaten Bantul dan berperan dalam
perekonomian daerah melalui kontribusinya terhadap PDRB. Pertumbuhan
perekonomian Kabupaten Bantul dapat dilihat dari indikator perkembangan
PDRB. PDRB merupakan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu
wilayah yang telah dihilangkan unsur-unsur intermediate cost-nya (Rustiadi et al.
2011). Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang digunakan
untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dapat menjadi indikator semakin terciptanya kesempatan
kerja dan semakin tingginya pendapatan masyarakat (Badrudin 2012).
Rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian (PDRB) di
Kabupaten Bantul selama 5 tahun terakhir (2008-2012) adalah sebesar 23,18 %.
Pada tahun 2008 sumbangan terhadap PDRB sebesar 880.148 (juta rupiah),
sedangkan tahun 2012 sebesar 955.730 (juta rupiah). Sektor pertanian

2
memberikan kontribusi terbesar yang diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor industri pengolahan, sektor jasa-jasa, sektor bangunan, sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan,
dan sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor pertambangan dan penggalian.
Jumlah penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2012 sebanyak 930.276
jiwa dengan kepadatan penduduk 1.835 jiwa/km2. Sebaran jumlah penduduk
berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten
Bantul hampir merata di setiap sektor atau lapangan usaha. Persentase jumlah
penduduk yang bekerja di sektor pertanian paling kecil diantara sektor-sektor
yang lain, yaitu sebesar 15,63 %. Secara berurutan, sektor yang paling banyak
menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor
industri pengolahan, sektor jasa-jasa, sektor lainnya dan terakhir sektor pertanian.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2008-2013), luas lahan sawah Kabupaten
Bantul berkurang seluas 372 ha atau 74,4 ha per tahun. Dengan asusmsi
produktivitas padi sawah sebesar 6,7 ton/ha (BPS Kabupaten Bantul 2009), maka
Kabupaten Bantul kehilangan gabah sebesar 2.492,40 ton atau 498,48 ton per
tahun. Luas panen, produktivitas dan produksi komoditas pertanian mengalami
perkembangan yang fluktuatif. Luas panen padi sawah tahun 2012 mengalami
penurunan sebesar 1,62 % atau berkurang 495 ha dari tahun sebelumnya (2011),
tetapi tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 8,51 % atau sebesar 2.557 ha
dari tahun 2012. Produktivitas padi sawah tahun 2012 mengalami peningkatan
sebesar 5,41 % dari tahun 2011, sedangkan tahun 2013 mengalami penurunan
sebesar 6,01 % dari tahun 2012. Produksi padi sawah tahun 2012 mengalami
peningkatan sebesar 3,71 % atau 7.341 ton dari tahun 2011, sedangkan tahun
2013 juga mengalami peningkatan sebesar 2,04 % atau 4.190 ton dari tahun 2012.
Perkembangan luas panen padi sawah selama 5 tahun terakhir (2008-2013),
cenderung mengalami peningkatan sebesar 5,68 %, tetapi produktivitas padi
sawah cenderung mengalami penurunan sebesar 0,69 % meskipun produksinya
cenderung meningkat 4,73 %.
Permasalahan umum yang dihadapi sektor pertanian di perdesaan adalah 1).
Belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya pertanian, 2). Kurangnya informasi
dan penguasaan teknologi pertanian, 3). Kurangnya akses terhadap modal, pasar
dan kelembagaan pendukung lainnya, 4). Penguasaan lahan usaha tani yang
sangat terbatas. Masalah sektor pertanian terkait dengan penguasaan lahan
usahatani yang sangat terbatas, dapat disebabkan karena terjadinya konversi lahan
pertanian ke non pertanian, perluasan (pencetakan sawah) lambat. Sudaryanto dan
Rusastra (2006), menyatakan bahwa luas penguasaan lahan per rumah tangga
petani terus menurun karena meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah rumah
tangga petani. Menurut Irawan dan Friyatno (2002), Provinsi DIY pada tahun
1981-1998 terjadi perubahan sawah ke non sawah sebesar 20.000 ha, dimana
untuk Kabupaten Bantul sebesar 1.412 ha. Dampak dari konversi tersebut,
Provinsi DIY kehilangan 1.727.946 ton gabah. Menurut Sudirman (2012), luas
lahan pertanian yang berubah permanen menjadi bangunan antara tahun 19962006 di Kabupaten Bantul (Kecamatan Banguntapan, Kasihan, dan Sewon) adalah
3.863,50 ha. Nilai ekonomi total (NET) yang hilang akibat konversi tersebut
sebesar 40,70 milyar rupiah.
Peluang konversi lahan pertanian lebih besar terjadi pada lahan sawah
dibandingkan dengan lahan kering (Irawan 2005). Penyebabnya adalah 1).

3
Pembangunan kegiatan non pertanian seperti perumahan dan industri lebih mudah
dilakukan pada lahan sawah yang lebih datar dibanding lahan kering, 2).
Pembangunan masa lalu terfokus pada upaya peningkatan produksi padi, maka
infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah lahan
kering, dan 3). Daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah
konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibanding daerah
lahan kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Dampak langsung akibat konversi lahan pertanian adalah kehilangan produksi
pertanian, kehilangan lapangan pekerjaan, dan kerugian investasi dalam
infrastruktur irigasi terutama untuk tanaman padi. Dampak tidak langsungnya
adalah hilangnya fungsi ekologis lahan pertanian untuk menstabilkan suhu,
mencegah erosi dan banjir, serta menyajikan pemandangan yang menarik.
Menurut Irawan (2005), konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak
negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga diperlukan suatu
kebijakan untuk pengendaliannya.
Konversi lahan pertanian menyebabkan terjadinya keterbatasan lahan
pertanian dan berkurangnya penguasaan lahan pertanian. Kebutuhan lahan untuk
sektor non pertanian terus mengalami peningkatan, sehingga menimbulkan
persaingan dalam penggunaan lahan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasi keterbatasan lahan pertanian adalah melalui pemilihan komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang sesuai dengan zona agro
ekologinya (ZAE). Pemilihan komoditas unggulan dilakukan untuk mengurangi
biaya usahatani, meningkatkan produktivitas dan produksi, meningkatkan
keuntungan dan pendapatan, sehingga sektor pertanian lebih menarik dan lebih
menguntungkan, sehingga dapat mengurangi laju konversi lahan pertanian.
Penetapan komoditas unggulan perlu dilakukan sebagai acuan penyusunan
prioritas program pembangunan oleh penentu kebijakan yang disebabkan adanya
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki seperti sumberdaya keuangan,
sumberdaya manusia dan sumberdaya lahan (Bachrein 2003).
Salah satu teknologi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian
dalam mengatasi permasalahan lahan adalah peta pewilayahan komoditas
pertanian berdasarkan zona agro ekologi (ZAE) dengan skala 1:50.000. Zona agro
ekologi merupakan pengelompokan suatu wilayah berdasarkan kondisi fisik
lingkungan yang hampir sama, dimana keragaman tanaman dan hewan diharapkan
tidak berbeda nyata (Badan Litbang Pertanian 2013a). Peta pewilayahan
komoditas pertanian berdasarkan zona agro ekologi (ZAE) Skala 1:50.000 ini
memberikan gambaran atau arahan mengenai komoditas-komoditas pertanian
yang dapat dibudidayakan oleh petani sesuai dengan zona agro ekologinya dan
juga dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan perencanaan pembangunan
sektor pertanian. Arahan kegiatan dan paket teknologi yang diintroduksikan sesuai
dengan kondisi fisik lingkungan (ZAE). Pewilayahan komoditas pertanian
berdasarkan zona agro ekologi di Kabupaten Bantul terdiri dari 15 komoditas
pertanian, yaitu: padi sawah, kedelai, sayuran, bawang merah, padi gogo, jagung,
umbi-umbian, tembakau, pepaya, jeruk, pisang, semangka, melon, cabe, dan
kacang tanah (BPTP Yogyakarta 2013). Penggunaan teknologi tepat guna sangat
berperan dalam mendukung usahatani. Teknologi tepat guna adalah inovasi yang
memenuhi kriteria yaitu : (1) Secara teknis teknologi tersebut dapat diterapkan
oleh pengguna, (2) Secara ekonomi memberi nilai tambah dan insentif yang

4
memadai, (3) Secara sosial budaya dapat diterima oleh masyarakat, (4) Teknologi
tersebut ramah lingkungan (Adnyana 2001).
Beranjak dari kondisi tersebut, perlu dilakukan analisis mengenai konversi
lahan pertanian ke non pertanian, analisis komoditas-komoditas unggulan yang
dapat dibudidayakan oleh petani sesuai dengan zona agro ekologinya, analisis
usahatani komoditas pertanian yang dilakukan petani dan penyusunan strategi
pembangunan sektor pertanian yang optimal melalui penelitian tentang Strategi
Pembangunan Sektor Pertanian di Zona Agro Ekologi (ZAE) Kawasan Perdesaan
Kabupaten Bantul.
Perumusan Masalah
Tantangan pembangunan sektor pertanian ke depan semakin besar, sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan di sektor non pertanian mendorong
terjadinya konversi lahan pertanian. Konversi lahan pertanian menyebabkan
berkurangnya lahan pertanian. Lahan pertanian terutama lahan sawah banyak
beralih fungsi menjadi rumah, perumahan, kawasan industri, sarana pendidikan,
sarana kesehatan dan sebagainya. Dampak konversi lahan adalah berkurangnya
produksi pertanian, kehilangan lapangan pekerjaan, kerugian investasi dan
kerusakan lingkungan. Perlindungan lahan pertanian belum dijalankan
sepenuhnya, baru sebatas ditetapkan dalam perundang-undangan dan peraturan.
Masalah lain yang dihadapi sektor pertanian adalah semakin mahalnya
harga sarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida) dan produktivitas
komoditas pertanian juga cenderung mengalami penurunan. Kondisi ini
memberikan gambaran seolah-olah sektor pertanian tidak lagi dapat memberikan
keuntungan dan kesejahteraan bagi petani. Generasi muda cenderung lebih tertarik
bekerja di sektor non pertanian, bekerja di sektor pertanian dianggap sebagai
pekerjaan yang rendah dibandingkan bekerja di sektor non pertanian. Pemanfaatan
sumberdaya pertanian yang belum optimal, kurangnya informasi dan penguasaan
teknologi, kurangnya akses terhadap modal, pasar dan kelembagaan pendukung
lainnya menjadi kendala dalam pembangunan sektor pertanian.
Pemilihan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, kompetitif dan
sesuai dengan zona agro ekologi (ZAE) dilakukan untuk mengurangi biaya
usahatani, meningkatkan produktivitas dan produksi, meningkatkan keuntungan
dan pendapatan, sehingga sektor pertanian menjadi lebih menarik dan lebih
menguntungkan, sehingga dapat mengurangi laju konversi lahan pertanian. Pada
tahun 2012 Kementerian Pertanian menerbitkan Permentan (Peraturan Menteri
Pertanian)
Nomor:
50/Permentan/CT.140/8/2012
tentang
Pedoman
Pengembangan Kawasan Pertanian. Tujuan pengembangan kawasan pertanian
adalah mendukung tercapainya empat target sukses Kementerian Pertanian, yaitu
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, peningkatan diversifikasi
pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta peningkatan
kesejahteraan petani. Komoditas yang akan dikembangkan dalam kawasan
pertanian tersebut adalah 40 komoditas unggulan nasional yang telah ditetapkan
dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014, mencakup 7
komoditas tanaman pangan, 11 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan,
dan 7 komoditas peternakan. Ada 5 komoditas diantaranya diprioritaskan sebagai
komoditas strategis yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi.

5
Dari kondisi tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1.
Apakah konversi lahan pertanian ke non pertanian terus terjadi dan semakin
meningkat?
2.
Apakah komoditas yang dibudidayakan oleh petani merupakan komoditas
unggulan yang sesuai dengan zona agro ekologi (ZAE)?
3.
Bagaimana usahatani komoditas pertanian yang dilakukan oleh petani,
seperti biaya usahatani, produktivitas dan produksi, keuntungan dan
pendapatannya?
4.
Bagaimana strategi pembangunan sektor pertanian yang otimal?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.

Tujuan penelitian ini adalah:
Menganalisis konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian di
Kabupaten Bantul.
Menentukan komoditas unggulan sektor pertanian berdasarkan zona agro
ekologi (ZAE) di Kabupaten Bantul.
Menganalisis usahatani komoditas unggulan sesuai zona agro ekologi
(ZAE).
Menyusun strategi pembangunan sektor pertanian yang optimal di
Kabupaten Bantul
Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi acuan/pedoman bagi petani
dalam menentukan dan memilih komoditas unggulan yang sesuai dengan zona
agro ekologinya, sehingga dapat mengurangi biaya usahatani, meningkatkan
produktivitas dan produksi dan meningkatkan keuntungan dan pendapatannya.
Bagi pemerintah daerah Kabupaten Bantul dapat dijadikan sebagai bahan
masukan di dalam menyusun perencanaan pembangunan khususnya di sektor
pertanian (kegiatan, teknologi dan kebijakan).
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul yang meliputi 17
kecamatan, yaitu Srandakan, Sanden, Kretek, Pundong, Bambanglipuro, Pandak,
Bantul, Jetis, Imogiri, Dligo, Pleret, Piyungan, Banguntapan, Sewon, Kasihan,
Pajangan dan Sedayu. Penelitian ini difokuskan pada sub sektor tanaman pangan
dan hortikultura (sayuran) yang merupakan komoditas strategis. Dalam kaitannya
dengan konversi lahan pertanian, penelitian ini dibatasi tidak sampai dengan
membandingkan keuntungan penggunaan lahan pertanian untuk kegiatan sektor
non pertanian dengan kegiatan sektor pertanian. Penelitian ini memberikan
gambaran penggunaan lahan pertanian dengan komoditas unggulan sesuai dengan
zona agro ekologi (ZAE), yang dapat mengurangi biaya usahatani, meningkatkan
produktivitas dan produksi, meningkatkan keuntungan dan pendapatan, sehingga
sektor pertanian lebih menarik dan menguntungkan, sehingga dapat mengurangi
laju konversi lahan pertanian dan didukung dengan kebijakan-kebijakan
pengendaliannya. Tahapan-tahapan penelitian ini adalah sebagai berikut:

6
1.

2.

3.

4.

Menganalisis konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian,
menggunakan analisis diskriptif. Data yang digunakan adalah luas konversi
lahan pertanian ke non pertanian dan perkembangan jumlah penduduk.
Penentuan komoditas unggulan sektor pertanian menggunakan analisis
Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), yang kemudian di
overlay dengan peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona
agro ekologi (ZAE). Input data yang digunakan adalah luas areal panen
komoditas sub sektor tanaman pangan dan hortikultura (sayuran).
Menganalisis usahatani komoditas unggulan sesuai zona agro ekologi
(ZAE), menggunakan analisis usahatani dan skala usaha tani. Analisis
usahatani meliputi R/C ratio dan nisbah peningkatan keuntungan (NKB).
Menurut Soedjana (2007), skala usahatani dapat ditentukan dengan
menggunakan pendekatan titik impas. Skala usahatani dapat dilihat dengan
menentukan titik impas produksi (TIP) maupun titik impas harga (TIH).
Titik impas ditentukan pada saat TR=TC atau total penerimaan usahatani
sama dengan total biaya usahatani.
Penyusunan strategi pembangunan sektor pertanian yang optimal
menggunakan pendekatan A’WOT yang merupakan kombinasi atau
integrasi analisis AHP (analytical Hierarchy Process) dan SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang berdasarkan hasilhasil analisis sebelumnya.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Sektor Pertanian
Todaro dan Smith (2006), tujuan utama pembangunan sektor pertanian dan
perdesaan di negara berkembang adalah untuk memperbaiki taraf hidup
masyarakat perdesaan melalui peningkatan pendapatan, total produksi (output)
dan produktivitas petani kecil. Pemerintah harus melakukan identifikasi mengenai
sumber-sumber pokok kemajuan pertanian dan kondisi-kondisi dasar yang akan
mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Sumber-sumber pokok
kemajuan pertanian berskala kecil meliputi: (1) Kemajuan teknologi dan inovasi,
(2) Kebijakan ekonomi pemerintah yang tepat dan (3) Kelembagaan sosial yang
mendukung. Syarat-syarat umum yang diperlukan dalam mewujudkan kemajuan
perdesaan meliputi: (1) Modernisasi struktur usahatani dalam rangka memenuhi
permintaan pangan yang terus meningkat, (2) Penciptaan sistem penunjang yang
efektif dan (3) Perubahan kondisi sosial perdesaan guna memperbaiki taraf hidup
masyarakat perdesaan.
Pembangunan pertanian di Indonesia masih merupakan bagian terpenting
dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Menurut Priyarsono (2011),
sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata
dibandingkan sektor lainnya. Hanani et al. (2003) dalam Dwiastuti et al. (2008),
memberikan beberapa alasan yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia,

7
yaitu : (1) Potensi sumberdayanya yang besar dan beragam, (2) Sumber mata
pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia, (3) Pangsa terhadap pendapatan
nasional cukup besar, (4) Pangsa terhadap ekspor nasional cukup besar, (5)
Menjadi basis pertumbuhan di perdesaan. Pada saat krisis tahun 1997/1998, sektor
pertanian lebih tangguh bertahan dan mampu pulih lebih cepat dibandingkan
dengan sektor-sektor lain, sehingga berperan sebagai penyangga pembangunan
nasional. Kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pembangunan di sektor
pertanian akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lahan pertanian telah dan terus mengalami degradasi baik secara fisik,
kimia, biologi maupun karena adanya alih fungsi lahan (konversi) atau perubahan
penggunaan lahan (landuse). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi
lahan adalah faktor ekonomi, faktor sosial dan perangkat hukum. Konversi lahan
yang disebabkan faktor ekonomi dilakukan oleh petani melalui penjualan ke pihak
lain ataupun mengganti pada usaha non padi, dengan anggapan pendapatan total
petani akan meningkat dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Faktorfaktor sosial antara lain perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan,
pemecahan lahan, pengambilan keputusan dan apresiasi pemerintah terhadap
aspirasi masyarakat. Perubahan perilaku terjadi pada generasi muda akibat
berkembangnya sarana transportasi dan komunikasi, sehingga ada perubahan
persepsi atau cara pandang bahwa petani merupakan profesi yang rendah. Faktor
hubungan pemilik dengan lahan, lahan pertanian merupakan asset sosial sebagai
instrumen untuk mempertahankan kehormatan keluarga, sehingga mempunyai
fungsi sosial yang tidak mudah tergantikan oleh imbalan ganti rugi apapun.
Kepemilikan lahan yang luas dapat memberi pekerjaan kepada tetangganya. Salah
satu penyebab terjadinya pemecahan lahan adalah sistem waris, sehingga
kepemilikan lahan menjadi lebih sempit dan kurang efisien dalam pengelolaannya.
Akibatnya pertanian tidak lagi menjadi mata pencaharian utama, mereka mencari
sumber pendapatan yang baru di bidang non pertanian. Faktor perangkat hukum,
peraturan yang ada kurang efektif karena tidak memberikan sanksi kepada
pelanggar dan tidak memberikan apresiasi kepada yang patuh. Menurut Irawan
(2005) dari sudut pandang ekonomi konversi lahan pertanian disebabkan oleh
tarikan permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dan dorongan petani
pemilik lahan. Perilaku permintaan dan penawaran lahan tidak terlepas dari
kebijakan pembangunan ekonomi, sosial dan sarana publik sehingga fenomena
konversi lahan tidak terlepas pula dari kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Dampak yang ditimbulkan akibat konversi lahan dapat bersifat langsung dan tidak
langsung. Dampak langsung akibat konversi lahan adalah berkurangnya produksi
akibat semakin sempitnya lahan pertanian. Lahan pertanian yang semakin
berkurang menuntut adanya pemilihan komoditas unggulan sesuai dengan zona
agro ekologinya, agar produktivitas yang dicapai optimal.
Kesalahan pengelolaan lahan dapat menyebabkan kerusakan lahan berupa
degradasi kesuburan dan ketersediaan air. Pemilihan komoditas yang sesuai
dengan lahan (zona agro ekologi) merupakan salah satu bentuk atau cara
pengelolaan lahan agar tidak terjadi kerusakan lahan. Komoditas-komoditas yang
dibudidayakan sebaiknya merupakan komoditas unggulan yang sesuai dengan
zona agro ekologi, sehingga pewilayahan komoditas berdasarkan zona agro
ekologi sangat dibutuhkan. Pewilayahan komoditas sesuai dengan zona agro
ekologi sangat diperlukan dalam rangka mendukung pembangunan pertanian.

8
Sudihardjo et al. (2003) dan Mahening et al. (2005) dalam BPTP Yogyakarta
(2013) mengatakan bahwa pembangunan pertanian dengan menggunakan acuan
peta pewilayahan komoditas berdasarkan zona agro ekologi akan lebih efektif dan
efisien di dalam pelaksanaan dan sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan
potensi daerah, serta dicapainya produksi yang optimal dan berkelanjutan.
Produksi pertanian menjadi optimum dan berwawasan lingkungan apabila lahan
digunakan secara tepat dan dengan cara pengelolaan yang sesuai (Kubelaborbir
dan Yarangga 2010). Sudaryanto dan Syafaat (2002) dalam Hidayah (2010)
menjelaskan bahwa pembangunan pertanian ke depan harus selalu diarahkan agar
mampu memanfaatkan secara maksimal keunggulan sumberdaya wilayah secara
berkelanjutan.
Komoditas Unggulan Sektor Pertanian
Rustiadi et al. (2011) menjelaskan bahwa sektor ekonomi suatu wilayah
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dan sektor non basis. Sektor
basis merupakan kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan
kebutuhan yang menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar
wilayah. Dalam sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi dan melayani pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah.
Sektor non basis merupakan sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya
memenuhi dan melayani pasar di daerahnya sendiri, kapasitas ekspor daerah
belum berkembang. Indikasi sektor basis dapat digunakan untuk menggambarkan
indikasi sektor unggulan. Menurut Rusastra et al. (2002) dalam Hendayana (2003),
yang dimaksud dengan kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang
hasilnya baik berupa barang maupun jasa ditujukan untuk ekspor ke luar dari
lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar, regional, nasional dan
internasional. Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan masyarakat yang
hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri
dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut.
Setiyanto (2013) menjelaskan bahwa komoditas unggulan adalah komoditas
yang sesuai dengan agro ekologi setempat dan juga mempunyai daya saing, baik
pasar di daerah itu sendiri, di daerah lain dalam lingkup nasional, maupun di pasar
internasional. Komoditas unggulan yang dikembangkan dalam kerangka
pengembangan stabilitas sosial, ekonomi dan politis, yang lebih berorientasi pada
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemenuhan kebutuhan pasar
dalam negeri disebut dengan komoditas strategis. Menurut Badan Litbang
Pertanian (2003b), komoditas unggulan merupakan komoditas andalan yang
memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah yang
penetapannya didasarkan pada berbagai pertimbangan baik secara teknis (kondisi
tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif.
Komoditas unggulan dapat dilihat dari keunggulan komparatif maupun
keunggulan kompetitif. Komoditas unggulan komparatif merupakan komoditas
yang diproduksi melalui dominasi dukungan sumber daya alam, di mana daerah
lain tak mampu memproduksi produk sejenis. Komoditas hasil olahan yang
memiliki dukungan bahan baku yang tersedia pada lokasi usaha tersebut.
Komoditas unggulan kompetitif merupakan komoditas yang diproduksi dengan

9
cara yang efisien dan efektif. Komoditas tersebut telah memiliki nilai tambah dan
daya saing usaha, baik dari aspek kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas dan
harga. Menurut Rusastra et al. (2004), keuntungan finansial mengindikasikan
keunggulan kompetitif suatu komoditas. Keuntungan finansial merupakan selisih
penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga keluaran yang
diterima dan harga masukan yang dibayar petani produsen. Keuntungan ekonomi
mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan
sumberdaya yang langka dalam negeri. Menurut Hendayana (2003), komoditas
mempunyai keunggulan komparatif dapat dilihat dari sisi penawaran maupun
permintaan. Dilihat dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh
kelebihan (superioritas) dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi
dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Menurut Syafaat dan Supena (2000)
dalam Hendayana (2003) dilihat dari sisi permintaan, komoditas unggulan
dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar domestik maupun internasional.
Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud mencakup penguasaan teknologi,
kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur (misalnya pasar) dan kebiasaan
petani setempat (Anonymous 1995 dalam Hendayana 2003).
Dalam Permentan Nomor:50/Permentan/CT.140/8/2012 tentang Pedoman
Pengembangan Kawasan Pertanian, ada 40 (empat puluh) komoditas unggulan
nasional yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian
2010-2014, mencakup 7 (tujuh) komoditas tanaman pangan, 11 (sebelas)
komoditas hortikultura, 15 (lima belas) komoditas perkebunan, dan 7 (tujuh)
komoditas peternakan. Lima (5) komoditas diantaranya diprioritas sebagai
komoditas strategis yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi. Komoditas
unggulan nasional yang ditetapkan dalam Permentan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komoditas unggulan nasional
Komoditas
Tanaman Pangan
Hortikultura

Pangan
padi, jagung, kedelai, kacang tanah,
kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar
cabe, bawang merah, kentang, mangga,
pisang, jeruk, durian, manggis, salak

Perkebunan

kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada,
jambu mete, teh, tebu

Peternakan

sapi potong, sapi perah, kerbau,
kambing/domba, babi, ayam buras, itik

Non Pangan
rimpang dan tanaman
hias (anggrek, krisan,
melati)
karet, kapas, tembakau,
cengkeh, jarak pagar,
nilam, kemiri sunan
-

Sumber: Permentan Nomor 50 tahun 2012
Metode penentuan komoditas unggulan telah banyak dikembangkan.
Metode Loqation Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) merupakan
metode yang sering digunakan sebagai indikasi sektor basis yang selanjutnya
digunakan sebagai indikasi sektor unggulan (Rustiadi et al. 2011). Suliyanto dan
Purnomojati (2012) menggunakan metode LQ untuk menganalisis sektor basis
dan komoditas dasar di Banyumas. Metode LQ sering digunakan dalam
mengidentifikasi sektor-sektor yang terspesialisasi untuk memperoleh gambaran
dalam menentukan sektor unggulan, untuk menjelaskan kondisi perekonomian
suatu wilayah.

10
Menurut Hendayana (2003), metode LQ dapat digunakan untuk menentukan
komoditas unggulan dari sisi penawaran. Komoditas yang berbasis lahan,
perhitungan LQ menggunakan luas areal tanam atau luas areal panen, sedangkan
komoditas yang tidak berbasis lahan dasar perhitungannya menggunakan populasi.
Menurut Miller et al. (1991), Isserman (1977) dan Hood (1998), LQ merupakan
suatu analisis untuk mengidentifikasi komoditas unggulan. Metode LQ sangat
populer karena membutuhkan sedikit data dan ketrampilan menganalisis serta
dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan murah (Isserman 1977). Metode LQ
digunakan untuk melihat aktivitas terspesialisasi di suatu wilayah berdasarkan
sumberdaya alam yang dimiliki dengan mempertimbangkan keunggulan
komparatif dan kompetitif (Guimaraes et al. 2008). Penggunaan metode LQ telah
berkembang luas tidak hanya digunakan dalam bahasan ekonomi, tetapi juga
dimanfaatkan untuk
melakukan identifikasi
potensi
wilayah dan
pengembangannya. Ada 3 kriteria penilaian LQ, yaitu:
LQ > 1 : Komoditas tersebut merupakan komoditas basis atau unggulan.
Komoditas tersebut mempunyai keunggulan komparatif, di mana
produksi komoditas tersebut dapat memenuhi dan melayani pasar
domestik daerah dan pasar di luar daerah/wilayah (ekspor), memiliki
sebaran luas areal panen yang luas.
LQ = 1 : Komoditas tersebut merupakan komoditas non basis/bukan unggulan,
tidak mempunyai keunggulan komparatif. Produksi komoditas
tersebut hanya cukup untuk memenuhi dan melayani kebutuhan pasar
domestik daerah.
LQ < 1 : Komoditas tersebut juga termasuk komoditas non basis/non unggulan,
tidak mempunyai keunggulan komparatif. Produksi komoditas
tersebut tidak mampu memenuhi dan melayani kebutuhan pasar
domestik daerah (impor), sebaran luas areal panennya sedikit.
Analisis Shift Share digunakan untuk melihat pertumbuhan produksi
sektoral dari suatu kawasan/wilayah. Menurut Rahayu dan Navastara (2014),
analisis shift share juga digunakan untuk membandingkan laju pertumbuhan
berbagai komoditas di suatu wilayah terhadap wilayah nasional. Secara teknis
komponen pertumbuhan dibedakan menjadi 3, yaitu:
1.
Komponen laju pertumbuhan total (Regional share)
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu
yang menunjukkan dinamika total wilayah.
2.
Komponen pergeseran proporsional (Proportional Shift).
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah.
3.
Komponen pergeseran diferensial (Differential Shift).
Komponen ini menjelaskan tingkat kompetisi (competitiveness) suatu
aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas
tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika
keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah
tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.
Apabila komponen proportional shift bernilai positif, maka daerah tersebut
berspesialisasi pada sektor yang di tingkat provinsi tumbuh lebih cepat. Apabila
komponen differential shift bernilai positif, maka sektor tersebut tumbuh lebih
cepat daripada sektor yang sama di tingkat provinsi (Susanto dan Woyanti, 2008).

11
Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE)
A.

Peta Zona Agro Ekologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Skala
1:250.000

Komponen utama agro ekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah
dan tanah. Suhu dan curah hujan merupakan faktor iklim yang berhubungan erat
dengan keragaan tanaman, yang mempunyai pengaruh paling dominan karena
sulit dikendalikan atau dimodifikasi. Untuk daerah tropis, suhu dapat dicirikan
dari ketinggian tempat (m dpl), yaitu panas (< 700 m dpl), sejuk ( > 700 – 1200 m
dpl), dingin (> 1200 – 2000 m dpl) dan sangat dingin (> 2000 m dpl). Dilihat dari
lamanya tanah mengalami kekeringan dalam satu tahun sampai kedalaman
tertentu, kelembaban tanah dibagi atas basah (aquik), lembab (udic) dan kering
(ustic). Bentuk wilayah dinyatakan dalam besaran lereng