Kondisi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pekerja Kehutanan Di Iuphhk-Ha Pt. Carus Indonesia, Kalimantan Tengah

KONDISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PEKERJA KEHUTANAN DI IUPHHK-HA PT. CARUS
INDONESIA, KALIMANTAN TENGAH

SUGENG NGADIPUTRA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kondisi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Pekerja Kehutanan di IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia,
Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya limpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Sugeng Ngadiputra
NIM E14110083

ABSTRAK
SUGENG NGADIPUTRA. Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pekerja
Kehutanan di IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia, Kalimantan Tengah. Dibimbing
oleh EFI YULIATI YOVI.
Pekerjaan kehutanan dikarakteristikkan dengan lingkungan kerja yang
sulit, pekerjaan fisik yang berat, dan risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Tujuan
penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi keselamatan dan kesehatan pekerja
kehutanan di PT. Carus Indonesia. Penelitian menggunakan kuesioner yang
menanyakan tentang kondisi keselamatan dan kesehatan, kepuasan kerja, dan
gejala kelelahan kumulatif dari pekerja kehutanan. Hasilnya 44% responden
mengalami kecelakaan selama bekerja, banyak diantaranya adalah akibat terkena
parang. Sebagian besar responden (66.7%) sudah menggunakan APD saat bekerja.
Sehubungan dengan kepuasan kerja, 13.0% dari responden tidak puas dengan
pekerjaan mereka terutama karena gaji yang kurang. Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh signifikan terhadap
kepuasan kerja. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan Indeks Kumulatif
Gejala Kelelahan, aspek fisik, mental, dan sosial dari kelelahan kumulatif pada
responden dapat diidentifikasi. Pekerjaan bidang penebangan memiliki keluhan
gejala kelelahan kumulatif yang tertinggi. Upaya perbaikan dalam peningkatan
kepuasan kerja akan meningkatkan kualitas hidup melalui berkurangnya kelelahan
kumulatif. Kenaikan gaji adalah perbaikan utama yang diharapkan oleh pekerja.
Kata kunci: kelelahan kumulatif, kepuasan kerja, keselamatan dan kesehatan

ABSTRACT
SUGENG NGADIPUTRA. Occupational safety and health conditions of forestry
workers in IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia, Cental Kalimantan. Supervised by
EFI YULIATI YOVI.
Forestry work is characterized as difficult working environment, heavy
physical work, and high risk of work accidents. The objectives of this research are
to identify the safety and health conditions of forestry workers in PT. Carus
Indonesia. The research used a questionnaire that inquired about safety and health
conditions, job satisfaction, and cumulative fatigue symptoms of forestry workers.
The result 44% respondents experienced accidents during work, many of which
consisted of cuts by short machete. Most respondents (66.7%) already use the PPE

while working. With respect to job satisfaction, 13.0% of the respondents were
dissatisfied with their job mainly because of the low salary. Statistical analysis
showed that the level of education has a significant effect on job satisfaction. As a
result of research using the Cumulative Fatigue Symptoms Index, physical,
mental, and social aspects of cumulative fatigue were recognized in the
respondents. Work on cutting field is the greatest cumulative fatigue symptoms.
Improvement efforts to enhance job satisfaction would improve the quality of life
through lessening cumulative fatigue. The increase of salary were the greatest
concerns of the workers.
Keywords: cumulative fatigue, job satisfaction, safety and health

KONDISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PEKERJA KEHUTANAN DI IUPHHK-HA PT. CARUS
INDONESIA, KALIMANTAN TENGAH

SUGENG NGADIPUTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan

pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pekerja Kehutanan di
IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia, Kalimantan Tengah
Nama
: Sugeng Ngadiputra
NIM
: E14110083

Disetujui oleh

Dr Efi Yuliati Yovi, SHut MLife Env Sc
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F Trop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai dengan Mei
2015 ini adalah Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pekerja Kehutanan di
IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia, Kalimantan Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Efi Yuliati Yovi, SHut MLife
Env Sc selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan selama proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada seluruh sahabat MNH 48 dan FAHUTAN 48 yang telah
memberikan semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf PT. Carus Indonesia dan

Dwima Group yang telah membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Sugeng Ngadiputra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Bahan

3

Alat

3

Prosedur Analisis Data

3


HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Kerja dan K3

5
5

Kepuasan Kerja

14

Gejala Kelelahan Kumulatif

18

SIMPULAN DAN SARAN

25

Simpulan


25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

26

RIWAYAT HIDUP

28

LAMPIRAN

29

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Menentukan peluang kejadian nyaris celaka
Pengukuran suhu dan kelembaban udara
Keadaan topografi areal IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia
Jenis kecelakaan kerja dan akibat hari tidak masuk kerja
Frekuensi mengalami kejadian nyaris celaka
Alat pelindung diri yang digunakan
Jenis tempat tinggal
Waktu menuju tempat kerja dari tempat tinggal
Perbaikan yang perlu dilakukan
Data personal responden
Uji statistik Mann Whitney
Pengelompokan karakteristik dari Indeks Kumulatif Gejala Kelelahan

4
6
6
7
8
9
11
12
12
14
17
19

DAFTAR GAMBAR
1 Perbandingan hasil Indeks Kumulatif Gejala Kelelahan antara
kelompok pekerja usia muda dengan pekerja usia tua
2 Perbandingan hasil Indeks Kumulatif Gejala Kelelahan berdasarkan
jenis pekerjaan: a) Jenis pekerjaan dengan tingkat keluhan tertinggi b)
Jenis pekerjaan dengan tingkat keluhan menengah c) Jenis pekerjaan
dengan tingkat keluhan terendah
3 Perbandingan hasil Indeks Kumulatif Gejala Kelelahan antara
kelompok pekerja baru dengan pekerja lama
4 Perbandingan Indeks Kumulatif Gejala Kelelahan rata-rata data
penelitian dengan rata-rata standar data Jepang

20

22
23
24

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner penelitian
2 Rekapitulasi data personal dan kesehatan kerja

30
36

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pekerjaan dibidang kehutanan merupakan jenis pekerjaan berbahaya yang
memiliki berbagai kendala seperti lingkungan kerja yang sulit, pekerjaan fisik
yang berat (yang sering melebihi batas kapasitas pekerja hutan), dan risiko
kecelakaan kerja yang tinggi (Yovi 2007). Selain itu, pekerja kehutanan sering
dihadapkan pada kondisi hidup yang kurang baik, yaitu fasilitas tempat tinggal,
infrastruktur, dan kebersihan yang minim dibandingkan dengan orang-orang yang
tinggal di kota (Gandaseca dan Yoshimura 2001). Kehutanan terus berlanjut
menjadi salah satu sektor industri yang paling berbahaya di sebagian besar negara.
Di seluruh dunia, muncul kecenderungan yang kurang baik, seperti kenaikan
tingkat kecelakaan dan tingginya kejadian penyakit akibat kerja dan pensiun dini
di kalangan pekerja kehutanan (ILO 1998). Pelaporan, pencatatan, pemberitahuan,
dan investigasi kecelakaan dan penyakit akibat kerja harus dilakukan untuk
mengidentifikasi masalah utama kesehatan dan keselamatan yang timbul dari
kegiatan kehutanan. Sehingga dapat dikembangkan metode yang efektif dalam
menangani kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dan untuk memonitor efektivitas
kebijakan yang diambil dalam menjamin tingkat kesehatan dan keselamatan yang
memuaskan (ILO 1998).
Pekerja merupakan input produksi yang perlu dikelola dengan baik, karena
mereka adalah aset (kekayaan) utama bagi perusahaan yang selalu ikut aktif
berperan dan paling menentukan tercapai tidaknya tujuan perusahaan.
Perlindungan keselamatan dan kesehatan pekerja merupakan hal yang sangat
penting. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan dalam melakukan pekerjaan. Oleh karena itu,
keselamatan dan kesehatannya perlu mendapat pemeliharaan sebaik-baiknya dari
perusahaan. Pemeliharaan pekerja adalah usaha mempertahankan dan atau
meningkatkan kondisi fisik, mental, dan sikap pekerja, agar mereka tetap loyal
dan bekerja produktif untuk menunjang tercapainya tujuan perusahaan.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah segala upaya untuk mengendalikan
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang
aman, efisien, dan produktif (Suma‟mur 1988).
Pemeliharaan K3 yang tepat guna dapat dilakukan dengan mengacu pada
hasil evaluasi manajemen K3 yang telah diterapkan. Metode yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi manajemen K3 ini diantaranya adalah penelitian
mengenai kondisi K3, kepuasan kerja, dan gejala kelelahan kumulatif. Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi kondisi K3 pada pekerja kehutanan di
IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia dan mengidentifikasi masalah mengenai
lingkungan kerja pada perusahaan tersebut.

2
Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi kerja dan K3 pekerja kehutanan di PT. Carus Indonesia
2. Bagaimana tingkat kepuasan kerja pekerja kehutanan yang menjadi fokus
kajian
3. Adanya akumulasi gejala kelelahan kumulatif akibat kerja pada pekerja
kehutanan

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kondisi kerja dan K3 pekerja kehutanan
2. Mengukur tingkat kepuasan pekerja dan faktor yang memengaruhi kepuasan
kerja
3. Mengukur Indeks Kumulatif Gejala Kelelahan pekerja berdasarkan
karakteristik usia, jenis pekerjaan, dan lama kerja

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk perusahaan sebagai bahan informasi
dan bahan pertimbangan mengenai evaluasi sistem manajemen K3 yang telah
dilaksanakan. Dengan perbaikan sistem manajemen K3 yang perlu dilakukan,
diharapkan dihasilkan peningkatan produktivitas perusahaan.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kegiatan pengelolaan pada hutan
alam, pekerja yang dikaji terdiri dari 9 aspek kegiatan kehutanan meliputi
kegiatan penebangan, penyaradan, pengangkutan, sumber daya manusia (SDM),
perencanaan lapangan, persemaian, litbang konservasi, pembinaan masyarakat
desa hutan (PMDH), serta pekerja setingkat supervisor.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di areal kerja IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia,
Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2015.

3
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam proses pengambilan data yaitu: alat tulis,
kamera digital, laptop, kuesioner, termometer digital, Software Microsoft Office
2010, dan Software SPSS versi 16.0. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data personal responden, kondisi K3, kepuasan kerja, dan keluhan gejala
kelelahan kumulatif dari pekerja kehutanan di PT. Carus Indonesia.

Jumlah dan Cara Pemilihan Responden
Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling pada 9 kelompok
pekerja yaitu penebangan, penyaradan, pengangkutan, SDM, perencanaan
lapangan, persemaian, litbang konservasi, PMDH, serta supervisor. Pengambilan
contoh pada 8 kelompok pertama adalah sekitar 6 orang, sedangkan kelompok
terakhir (supervisor) merupakan pekerja yang memiliki jabatan tinggi di
perusahaan setingkat Kepala Seksie, Kepala Subseksie, atau Koordinator
Lapangan. Pertimbangan lainnya adalah pembagian secara merata menurut
kriteria usia (muda: ≤ 35 tahun dan tua: > 35 tahun) dan kriteria lama bekerja
(baru: < 10 tahun dan lama: ≥ 10 tahun).
Pengumpulan Data
Penelitian ini mengadaptasi metode penelitian yang dilakukan oleh
Yoshimura dan Acar (2004), mengenai kondisi keselamatan dan kesehatan kerja
pekerja kehutanan di Turki. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah hasil
observasi dan kuesioner. Observasi berupa pengumpulan data langsung dari
lapangan meliputi suhu dan kelembaban udara. Data kuesioner diperoleh melalui
wawancara semistruktur terhadap responden meliputi data personal, kondisi K3,
kepuasan kerja, dan gejala kelelahan kumulatif. Data sekunder diperoleh dari data
yang telah tersedia pada instansi-instansi yang terkait, mengutip buku serta datadata lain yang berhubungan dengan penelitian ini untuk menambah kelengkapan
data.

Prosedur Analisis Data

Kondisi Kerja dan K3
Data penelitian diperoleh dari hasil kuesioner yang diisi oleh responden.
Kuesioner mengenai data personal responden disajikan pada Lampiran 1A.
Kuesioner yang disajikan pada Lampiran 1B berisi pertanyaan mengenai
informasi berdasarkan pengalaman kecelakaan kerja dan kejadian nyaris celaka,
penggunaan alat pelindung diri (APD), keluhan akibat kerja, jenis tempat tinggal
(housing), waktu menuju tempat kerja, dan perbaikan yang perlu dilakukan. Hasil
kuesioner ini kemudian dianalisis dan dikaitkan dengan data sekunder dan

4
literatur yang ada, sehingga akan diperoleh hasil yang menggambarkan kondisi
kerja dan K3 pada lokasi yang diteliti. Dalam mengkuantifikasi frekuensi kejadian
nyaris celaka digunakan konsep menentukan peluang terjadinya kecelakaan
menurut Suardi (2007) dalam Kurnia (2013), yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Menentukan peluang kejadian nyaris celaka
Peluang
Definisi
Sangat sering
Dapat terjadi kapan saja
Sering
Dapat terjadi secara berkala
Kadang-kadang
Dapat terjadi pada kondisi tertentu
Jarang
Dapat terjadi, tetapi jarang
Sangat jarang
Memungkinkan tidak pernah terjadi

Rata-rata frekuensia
≥ 5.00
4.00−4.99
3.00−3.99
2.00−2.99
≤ 1.99

a

Rata-rata frekuensi terjadinya kecelakaan kerja = Jumlah terjadinya kecelakaan kerja pada setiap
sub kegiatan berdasarkan risiko dalam 2 minggu kerja/jumlah responden. Namun peneliti
menetapkan jangka waktu pengamatan menjadi 1 bulan, sehingga rata-rata frekuensinya menjadi
dua kali lipat dari nilai yang ditunjukkan pada tabel.

Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan menggunakan
termometer digital. Pengukuran dilakukan pada pukul 07:00 WIB sampai 16:00
WIB, dengan interval waktu setiap 60 menit. Lokasi pengukuran dilakukan pada
setiap tempat aspek kegiatan yang diteliti, diantaranya pada petak tebang,
persemaian, petak ukur permanen (PUP), kamp produksi, dan kamp utama. Hasil
pengukuran dari berbagai lokasi tersebut dapat digunakan dalam mendeskripsikan
besaran suhu setiap kegiatan kehutanan yang diteliti.

Kepuasan Kerja
Kuesioner berupa pertanyaan “ya atau tidak” dilakukan untuk
mengidentifikasi kepuasan kerja, selain itu ditanyakan juga alasan untuk
ketidakpuasan kerja (Lampiran 1B). Untuk mengidentifikasi faktor-faktor
potensial yang berpengaruhi terhadap kepuasan kerja digunakan suatu metode
statistika yaitu Uji Mann Whitney. Supangat (2010) menyebutkan bahwa Uji
Mann Whitney adalah uji non parametrik yang digunakan untuk menguji
perbedaan dua sampel yang diambil secara independent (tidak berhubungan).
Sampel diperoleh dari populasi-populasi yang tidak berdistribusi normal. Dalam
analisis peubah terikat (tidak bebas) yang diuji adalah kepuasan kerja, dan peubah
bebas yang digunakan sebagai prediktor diantaranya usia, tingkat pendidikan, dan
lama kerja. Hipotesis yang dibangun adalah sebagai berikut:
H0 : Peubah bebas tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap
kepuasan kerja
H1 : Peubah bebas memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kepuasan
kerja
Terima H0 apabila p-value ≥ α dan tolak H0 apabila p-value < α, dimana α
merupakan tingkat kepercayaan yang besarnya 95% (0.05).

5
Gejala Kelelahan Kumulatif
Untuk mengkuantifikasi kondisi gejala kelelahan kumulatif pada pekerja
kehutanan, digunakan Indeks Kumulatif Gejala Kelelahan (CFSI) (Kosugo et al.
1992 dalam Yoshimura dan Acar 2004), dengan terdapat 74 pertanyaan yang
disajikan pada Lampiran 1C. Responden diarahkan untuk menjawab pertanyaan
“ya atau tidak”. Kemudian nilai hasil dari setiap pertanyaan dihitung
menggunakan persamaan berikut:

r=
Keterangan:
r = nilai hasil (%) setiap pertanyaan
y = jumlah total dari jawaban “ya” dari setiap pertanyaan
T = total jumlah dari responden
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikategorikan dalam 8 karakter kelompok.
Nilai keluhan untuk setiap kelompok dihitung menggunakan persamaan berikut:
R=
Keterangan:
R = nilai hasil untuk setiap kelompok
Y = jumlah total dari jawaban “ya” untuk pertanyaan pada setiap kelompok
T = jumlah total dari responden
k = jumlah pertanyaan pada setiap kelompok.
Hasil CFSI diolah dan dianalisis dalam bentuk grafik dengan sistem
perbandingan langsung.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Kerja dan K3
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya (Mangkunegara 2002).
Perlindungan K3 adalah upaya perlindungan yang bertujuan agar pekerja terhindar
dari kecelakaan alat kerja, bahan, dan proses produksi serta cara-cara melakukan
pekerjaan agar kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah (Suma‟mur
1989). Untuk memperoleh perumusan program K3 yang efektif maka diperlukan
pengumpulan data dan informasi mengenai kondisi kerja dan K3 dari pekerja
kehutanan PT. Carus Indonesia.
Kondisi Fisik
Areal kerja IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia secara geografis terletak
pada 00°00ʼ LS − 01°00ʼ LS dan 111°40ʼ BT − 112°00ʼ BT. Lingkungan kerja
berisiko menimbulkan beban tambahan terhadap fisik dan mental pekerja. Salah satu
faktor dari lingkungan kerja adalah faktor fisik, iklim kerja menjadi bagian di

6
dalamnya. Menurut letak geografis ini diketahui bahwa areal konsesi berada tepat
di bawah garis khatulistiwa yang memiliki suhu harian yang tinggi. Efisiensi kerja
dipengaruhi oleh iklim kerja dalam daerah nikmat kerja, dimana tidak terlalu dingin
dan tidak kepanasan. Suhu nikmat kerja ini sekitar 24−26 °C bagi orang-orang
Indonesia (Suma‟mur 2009 dalam Krisanti 2011). Tabel 2 menunjukkan suhu
lingkungan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu nikmat kerja.
Kombinasi dari suhu dan kelembaban udara di 5 lokasi apabila dibandingkan dengan
klasifikasi heat and discomfort index maka bekerja pada kondisi iklim tersebut adalah
berbahaya, dengan toleransi waktu untuk bekerja adalah sebentar dan sebagian besar
waktu digunakan untuk istirahat. Kondisi iklim kerja dengan panas berlebihan akan
mengakibatkan rasa lelah dan kantuk, mengurangi kestabilan dan meningkatkan
jumlah angka kesalahan kerja (Nurmianto 2008 dalam Krisanti 2011). Penelitian
Krisanti (2011) menyebutkan adanya hubungan positif signifikan antara tekanan
panas dengan kelelahan kerja, dimana semakin tinggi tekanan panas maka tingkat
kelelahan pekerja semakin tinggi.

Tabel 2 Pengukuran suhu dan kelembaban udara
Tempat
Temperatur (°C)
Kelembaban Udara (%)
Petak tebang
31.1 ± 3.1
68.0 ± 11.8
Petak Ukur Permanen (PUP)
29.6 ± 3.0
76.0 ± 9.8
Persemaian
31.2 ± 2.8
68.0 ± 11.3
Kamp produksi
32.6 ± 2.0
63.0 ± 8.0
Kamp utama
32.0 ± 2.2
65.0 ± 7.2
Berdasarkan pengukuran planimetris pada JOG lembar SA 49-4; SA 49-7;
SA 49-8 Provinsi Kalimantan Tengah Skala 1 : 250.000, kondisi areal IUPHHKHA PT. Carus Indonesia umumnya terdiri dari tanah kering dengan konfigurasi
dominan lahan datar dan curam. Rincian secara lengkap luasan per kelas
kelerengan ditunjukkan pada Tabel 3. Pada topografi curam pekerjaan kehutanan
khususnya bagian produksi harus dilakukan secara hati-hati dengan penggunaan
alat pelindung diri (APD) yang memadai karena bekerja pada lereng curam jauh
lebih berat dan berbahaya daripada medan datar (ILO 1992).
Tabel 3 Keadaan topografi areal IUPHHK-HA PT. Carus Indonesiaa
Kelas Lereng
A (0−8%)
B (8−15%)
C (15−25%)
D (25−40%)
E (> 40%)

Topografi
Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Sangat Curam
Jumlah

a

Luas (ha)
27 824
15 993
9 286
16 907
2 159
72 170

Persentase (%)
38.55
22.16
12.87
23.43
2.99
100.00

Sumber: RKU IUPHHK-HA PT. Carus Indonesia

Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak
diduga semula saat proses kerja yang dapat menimbulkan korban manusia dan
atau harta benda (Depnaker 1998). Kerugian yang diderita tidak hanya berupa
kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban

7
jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini
merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah sumber daya yang
tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun. Kerugian langsung yang tampak
dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya pengobatan dan kompensasi
kecelakaan. Sedangkan biaya tidak langsung yang tidak tampak ialah kerusakan
alat-alat produksi, penataan manajemen keselamatan yang lebih baik, biaya
penyelidikan kecelakaan, terhentinya kegiatan produksi, dan hilangnya waktu
kerja. Ada tiga faktor utama terjadinya kecelakaan kerja yaitu perbuatan manusia
yang tidak aman, kondisi lingkungan yang tidak aman, dan manajemen (Tarwaka
2008).
Tabel 4 Jenis kecelakaan kerja dan akibat hari tidak masuk kerjaa
Kejadian
Jumlah Hari tidak masuk
Rerata hari tidak
kerja
masuk kerja
Kena parang
8
30, 7, 2, 2, 2, 7, 0, 3
6.6
Tersengat tawon
6
2, 2, 2, 1, 3, 0
1.7
Tertimpa pohon rebah
4
30, 120, 180, 3
83.3
Mobil terbalik
3
5, 1, 1
2.3
Logging truk terbalik
2
1, 2
1.5
Tabrakan mobil
2
1, 1
1
Kejatuhan kayu kecil/ranting
2
0, 0
0
Terlempar serpihan kayu
2
0, 0
0
Tertimpa ban logging truk
1
365
365
Terjatuh luka jari kelingking
1
6
6
Sepeda motor masuk sungai
1
1
1
Kena duri sling
1
0
0
Digigit ular
1
1
1
Duri rotan kena wajah
1
0
0
a

Jawaban ganda (boleh lebih dari 1)

Hasil kuesioner menunjukkan bahwa 24 responden (44%) pernah
mengalami kecelakaan saat bekerja. Pencegahan kecelakaan harus
dikonsentrasikan pada jenis-jenis kecelakaan yang sering terjadi maupun yang
berdampak serius (ILO 1992). Tabel 4 menunjukkan jenis kecelakaan kerja terkait
pekerjaan kehutanan. Kecelakaan tertinggi yaitu akibat terkena parang dan
mengakibatkan korban tidak masuk kerja. Banyak responden menyatakan
kecelakaan ini terjadi karena rasa lelah yang dialami sehingga menjadi kurang
fokus dan berimplikasi pada seringnya melakukan kesalahan. Lilley et al. (2002)
dalam Jingxin et al. (2003) menyebutkan bahwa terdapatnya hubungan antara
kecelakaan kerja dengan kelelahan, dimana kecelakaan dapat terjadi saat pekerja
sedang bekerja untuk suatu waktu dan kemudian mulai merasa lelah. Sehingga
disarankan agar pekerja beristirahat sejenak ketika kelelahan yang dirasakan
sudah parah, karena dapat membahayakan. Kemudian kecelakaan tertinggi kedua
yaitu tersengat tawon dan mengakibatkan beberapa hari tidak masuk kerja.
Kecelakaan tersebut sering terjadi ketika tegakan hutan sedang berlangsung
musim berbunga. Kecelakaan tertinggi selanjutnya yaitu pekerja yang tertimpa
pohon rebah dan banyak diantaranya mengakibatkan tidak masuk kerja dengan
jangka waktu relatif lama. Kegiatan penebangan harus dilakukan dengan cermat

8
dan terkoordinasi baik antar pekerja, karena kegiatan penebangan merupakan
pekerjaan paling berbahaya pada industri kehutanan (Pine et al. 1994 dalam
Jingxin et al. 2003).
Selanjutnya kejadian tertimpa ban logging truk, kecelakaan ini hanya sekali
dan secara umum jarang terjadi, namun mengakibatkan absen yang paling lama
yaitu 365 hari. Kecelakaan ini mengakibatkan kerusakan (retak) pada tulang di
sekitar mata dan mengakibatkan fungsi pengelihatan terganggu sehingga
memerlukan waktu pemulihan yang lama. Kejadian ini perlu dijadikan perhatian
terutama oleh supir logging truk, mekanik, maupun pekerja lainnya untuk berhatihati dalam menangani alat berat terkait keparahan kecelakaan yang mungkin
diakibatkan. Untuk mencegah kecelakaan fatal maka harus dapat menekan angka
kejadian nyaris celaka, kerusakan harta benda, maupun kecelakaan ringan yang
mungkin timbul. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan diperlukan untuk
mengurangi kejadian kecelakaan tersebut.
Kejadian Nyaris Celaka
Pada kuesioner juga ditanyakan mengenai pengalaman kejadian nyaris
celaka selama bekerja. Kejadian nyaris celaka (near-miss incident) adalah suatu
kejadian yang tidak diinginkan dimana pekerja hampir terlibat dalam kecelakaan
kerja, dengan keadaan yang sedikit berbeda dapat mengakibatkan kerusakan,
cedera, bahkan kematian (Gandaseca dan Yoshimura 2001). Kejadian ini
dianggap berpengaruh dalam menjelaskan faktor-faktor risiko potensial pada
kecelakaan aktual, dan analisis kejadian-kejadian ini adalah penting dalam
mengidentifikasi faktor risiko dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum
kecelakaan aktual terjadi (Gandaseca dan Yoshimura 2001).
Tabel 5 Frekuensi mengalami kejadian nyaris celaka
Jawaban
Jumlah
Persentase (%)
Sangat sering
0
0
Sering
0
0
Kadang-kadang
0
0
Jarang
21
38.9
Sangat jarang
33
61.1
Tabel 5 menunjukkan tingkat frekuensi kejadian nyaris celaka tertinggi
adalah tidak pernah (61.1%) dan jarang (38.9%), sedangkan tingkat frekuensi
lainnya adalah nihil. Kejadian nyaris celaka dengan frekuensi jarang terjadi pada
pekerja bagian penebangan, penyaradan, dan litbang konservasi. Jawaban yang
sering disampaikan oleh responden adalah kejatuhan ranting pohon tebangan pada
pekerja penebangan, terkena hempasan kayu pada pekerja penyaradan, dan
terkena parang pada pekerjaan litbang konservasi. Ketika kejadian hampir celaka
ini terjadi secara otomatis pekerja kemudian meningkatkan kewaspadaan dan
kehati-hatian mereka dalam bekerja, sehingga frekuensi kejadian ini tidak terus
bertambah dan menimbulkan kecelakaan aktual. Namun, banyak pekerja yang
cenderung melupakan pengalaman kejadian nyaris celaka dengan mudah karena
kejadian-kejadian tersebut bukan kecelakaan aktual dengan konsekuensi cedera
(Yoshimura dan Acar 2004). Imatomi (2002) dalam Yoshimura dan Acar (2004),
mengelola kuesioner pada perusahaan kehutanan di Jepang dan menemukan

9
bahwa 172 dari 289 responden (60%) mengalami kejadian nyaris celaka selama
periode 1 tahun terakhir. Merujuk pada hasil tersebut, peneliti yakin bahwa
terdapat lebih banyak kejadian nyaris celaka di PT. Carus Indonesia yang terjadi
dibandingkan dengan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 5. Sehubungan dengan
sulitnya mengingat kembali rincian kejadian nyaris celaka yang pernah terjadi.
Peneliti menyarankan bahwa setiap kejadian nyaris celaka dilaporkan secara
tertulis setiap hari untuk mencegah kecelakaan yang sebenarnya.
Alat Pelindung Diri
Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat yang digunakan untuk
melindungi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya atau kecelakaan kerja.
Penggunaan APD efektif dalam meminimalkan cedera fatal di bidang pekerjaan
kehutanan. Analisis catatan kecelakaan pada kegiatan penebangan membuktikan
bahwa keharusan menggunakan APD dan perangkat keselamatan yang sesuai
pada chainsaw menghasilkan penurunan yang drastis pada beberapa jenis cedera
dan kecelakaan (FAO 1992). APD berupa sepatu keselamatan terdiri dari 2
macam yaitu sepatu boot digunakan oleh pekerja yang masuk hutan dan sepatu
safety digunakan oleh pekerja yang tidak masuk hutan (mekanik, operator
kendaraan, dan lain-lain). Pada Tabel 6 terlihat sudah banyak responden yang
menggunakan APD khususnya helm (66.7%) dan sepatu keselamatan (75.9%),
namun untuk penggunaan secara menyeluruh pada semua pekerja masih belum
dapat direalisasikan. Kendala utama dalam membudayakan penggunaan APD
adalah biaya yang tinggi dan tidak terbiasanya pekerja menggunakan APD.
Ketidakbiasaan ini yang membuat pekerja enggan menggunakan, dan merasa
menggunakan APD adalah hal yang mengganggu. Namun sebaliknya pekerja
yang sudah terbiasa dan paham akan fungsinya justru merasa tidak nyaman
apabila tidak menggunakan.
Tabel 6 Alat pelindung diri yang digunakana
Alat pelindung diri
Jumlah
Persentase (%)
Helm
36
66.7
Sarung tangan
17
31.5
Sepatu keselamatan
41
75.9
Pelindung telinga (earplug)
3
5.6
a

Jawaban ganda (boleh lebih dari 1)

Manajemen perusahaan khususnya Bagian Sumber Daya Manusia (SDM)
adalah bidang yang menangani langsung urusan ketenagakerjaan dan salah satu
diantaranya adalah APD. Bagian SDM pada dasarnya sudah mulai fokus pada
perlindungan K3 tenaga kerja. Upaya yang dilakukan dengan menyediakan APD
yang dirasa penting bagi setiap bidang pekerjaan, khususnya yang diharuskan
secara menyeluruh adalah helm dan sepatu keselamatan. Sehingga helm selalu
disediakan secara gratis, helm yang rusak maupun hilang dapat segera diganti.
APD yang baru-baru ini disediakan secara gratis adalah earplug, namun
distribusinya masih terbatas yaitu hanya untuk operator chainsaw. Respon pekerja
cukup antusias karena APD tersebut secara cukup signifikan mengurangi
kebisingan dan juga tidak dirasa mengganggu terhadap pekerjaan, dibandingkan
dengan menggunakan earmuff. Earmuff memiliki beberapa kekurangan

10
diantaranya tidak nyaman untuk digunakan dalam lingkungan kerja yang panas
dan mengganggu penggunaan APD lainnya seperti kacamata dan helm (Yovi
2011). Atas temuan tersebut peneliti menyarankan perusahaan menyediakan
earplug yang lebih banyak untuk pekerja lainnya seperti asisten chainsaw,
operator traktor, dan asisten traktor. Hal yang perlu diperhatikan pengelola
kemudian dalam penggunaan earplug adalah kemungkinan adanya infeksi (bakteri
dan virus) pendengaran terkait kebersihan pekerja (tangan) yang minim saat
bekerja.
Penggunaan APD pada pekerja penebangan secara umum sudah
dilaksanakan, dari 6 responden 5 diantaranya sudah memadai namun ada 1
responden yang masih kurang yaitu tidak mengenakan helm. Hal ini berlawanan
dengan pekerja bagian penyaradan, dari 6 responden tidak satu pun yang
mengenakan helm. Jingxin et al. (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
kepala, atau kepala dan bagian tubuh lain, merupakan bagian yang paling sering
mengalami cedera pada pekerjaan kehutanan di Jilin China dengan persentase
79%, dikarenakan kejatuhan suatu obyek atau material. Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa proporsi yang besar dari cedera terjadi pada bagian kepala
(Salisbury et al. 1991; West et al. 1996 dalam Jingxin et al. 2003). Hal ini juga
dipengaruhi oleh supervisor (pimpinan) bagian produksi yang kurang intensif
dalam upaya penerapan penggunaan APD secara menyeluruh. Merujuk pada data
kecelakaan kerja PT. Carus Indonesia 5 tahun terakhir pada tahun 2009−2012 dan
2014 terjadi kecelakaan kerja dengan persentase pekerjaan penebangan sebesar
37.5% dan penyaradan sebesar 20.0% terhadap seluruh jumlah kecelakaan yang
terjadi. Kecelakaan kerja pada kedua pekerjaan ini selalu terjadi setiap tahunnya
dan merupakan yang terbesar dibandingkan dengan kecelakaan kerja pada
pekerjaan lainnya. Sehingga penggunaan APD memiliki urgensi penting dalam
mencegah dan meminimalkan cedera akibat kecelakaan kerja. Saran kepada
Bagian SDM untuk lebih mengintensifkan penggunaan APD kepada Supervisor
Bagian Produksi dan dilanjut pada pekerja di lapangan. Selain itu, Bagian SDM
perlu juga untuk lebih mengintensifkan penggunaan APD pada staf lapangan
Litbang Konservasi karena sebagian besar masih belum menggunakan helm saat
bekerja.
Jenis Tempat Tinggal
Tempat tinggal adalah tempat pekerja memperoleh perlindungan dari
cuaca buruk dan istirahat, makan dan mengeringkan serta menyimpan pakaian,
pada tempat yang mudah dicapai dari tempat kerja (ILO 1998). Rumah
merupakan tempat tinggal dimana pekerja dapat berkumpul dengan keluarganya,
baik ayah, ibu, saudara, istri, anak, dan lain-lain. Pekerja yang menetap di rumah
biasanya adalah para pekerja lokal, pekerja pendatang yang menikah dengan
penduduk lokal, maupun pekerja pendatang yang membawa keluarganya (istri dan
atau anak) untuk tinggal di mess karyawan. Intinya kelompok pekerja yang
tinggal di rumah adalah pekerja yang tinggal bersama keluarganya. Mess atau
kamp merupakan tempat tinggal yang disediakan oleh pihak perusahan sebagai
tempat tinggal karyawannya. Pengertian kamp ini meliputi kamp utama, kamp
produksi (tarik), dan kamp pembinaan hutan. Tingkat kenyamanan dan
kelengkapan fasilitas jenis-jenis tempat tinggal ini tentu berbeda, rumah
merupakan jenis tempat tinggal yang paling nyaman.

11

Jenis
Rumah
Mess/kamp

Tabel 7 Jenis tempat tinggal
Jumlah
15
39

Persentase (%)
27.8
72.2

Cara pengelompokkan pekerja terhadap jenis tempat tinggalnya adalah
berdasarkan jumlah hari dominan dalam sebulan pekerja tinggal terkait dengan
tugas pekerjaannya masing-masing. Sebagai contoh pekerja lokal yang tinggal di
desa (rumah) sekitar kamp utama, namun tugas pekerjaannya mengharuskan
untuk bekerja di petak tebang (kamp produksi) dengan ketentuan toleransi waktu
berada di kamp utama atau rumah (meninggalkan pekerjaan) hanya beberapa hari
dalam sebulan, maka pekerja ini termasuk dalam kelompok yang tinggal di mess
meskipun dia adalah penduduk lokal disana. Jenis tempat tinggal pekerja
ditunjukkan pada Tabel 7, sebagian besar responden tinggal di mess atau kamp
(72.2%) dan rumah (27.8%). Kenyamanan dan ketersediaan fasilitas dasar untuk
hidup pada tempat tinggal turut mempengaruhi kepuasan kerja, sehingga penting
untuk diperhatikan oleh perusahaan. Fasilitas dasar ini diantaranya adalah
kelayakan bangunan, pengaturan jumlah pekerja yang tinggal (privasi), hiburan,
olahraga, makanan, dan pemenuhan kebutuhan barang sehari-hari. Meskipun tetap
saja kondisi hidup jauh lebih kurang nyaman dibandingkan dengan mereka yang
tinggal di desa atau kota. Terpenuhinya kebutuhan dasar pekerja akan
mengimbangi gejala kelelahan kumulatif (perasaan negatif) akibat pekerjaan,
sehingga pekerja tetap bersemangat dan optimal dalam bekerja.
Waktu Menuju Tempat Kerja
Tabel 8 menunjukkan waktu yang dubutuhkan ke tempat kerja dari tempat
tinggal. Lokasi kerja terletak tidak jauh dari tempat tinggal, sebagian besar
(85.2%) dapat ditempuh kurang dari 30 menit perjalanan. Pekerja dengan waktu
tempuh ≤ 15 menit sebagian besar adalah mereka yang bekerja di kantor kamp
utama, lokasinya dekat dengan perumahan karyawan sehingga dapat ditempuh
dengan berjalan kaki maupun menggunakan sepeda motor. Kemudian pekerja
dengan waktu tempuh antara 16−30 menit sebagian besar adalah mereka yang
bekerja di petak tebang diantaranya pekerja penebangan, penyaradan, dan
perencanaan lapangan. Untuk menuju tempat kerja pekerja diantar oleh mobil
operasional dan dilanjut dengan menumpang pada traktor sarad untuk menuju
petak tebangan. Selanjutnya pekerja dengan waktu tempuh > 120 menit adalah
pekerja yang mengoperasikan logging truk, hal ini dikarenakan jarak tempuh yang
jauh antara logpond maupun TPK hutan dengan petak tebang. Petak tebang RKT
2015 berada pada km 109, sementara logpond dan TPK hutan berada pada km 0
dan Km 53. Waktu tempuh dari TPK hutan menuju petak tebang saja ditempuh
dengan waktu > 120 menit.

12
Tabel 8 Waktu menuju tempat kerja dari tempat tinggal
Waktu (menit)
Jumlah
Persentase (%)
≤ 15
28
51.9
16−30
18
33.3
31−60
2
3.7
> 120
6
11.1
Sebagian besar pekerja tidak merasa berat dengan jarak tempuh mereka menuju
lokasi kerja karena masih relatif dekat. Namun hal berbeda pada pekerja litbang
konservasi yang mengeluhkan jauhnya jarak dari pondok menuju tempat kerja
(meskipun dapat ditempuh < 30 menit) ditambah beratnya topografi lahan ketika
bekerja di dalam hutan. Hal ini karena perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki
dan harus merintis jalan menembus hutan, hal ini diperparah ketika pekerja harus
membawa material untuk keperluan kerjanya sehingga akan menambah beban
kerja. Seperti dalam kegiatan pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP) baru
dimana pekerja harus membawa patok batas sub petak yang terbuat dari kayu,
sehingga semakin jauh lokasi kerja berimplikasi pada bertambahnya beban kerja.
Perbaikan yang Diperlukan
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya mengenai berbagai kendala dan
keterbatasan bekerja di sektor kehutanan, lebih lanjut peneliti menanyakan
mengenai perbaikan yang perlu dilakukan (Tabel 9).
Tabel 9 Perbaikan yang perlu dilakukana
Indikator
Jumlah
Gaji/upah
15
Tempat tinggal dan kehidupan lebih baik
11
Kendaraan transportasi
7
Hutan yang lestari dan perlindungan lingkungan kerja
4
Kelengkapan peralatan kerja dan gudang peralatan
3
Alat mesin kehutanan
3
a

Persentase (%)
27.8
20.4
13.0
7.4
5.6
5.6

Jawaban ganda (boleh lebih dari 1)

Dengan mengidentifikasi perbaikan yang perlu dilakukan diharapkan
adanya peningkatan kesejahteraan pekerja dan berimplikasi pada peningkatan
produktivitas kerja. Dapat dilihat bahwa gaji atau upah (27.8%) adalah perbaikan
yang utama menurut responden. Beberapa responden merasa bahwa gaji mereka
kurang mencukupi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Selain itu, hampir
separuh (40.7%) dari responden adalah pekerja yang berasal dari luar provinsi dan
meninggalkan (berpisah dengan) keluarganya, sehingga balas jasa akan korbanan
tersebut diharapkan dalam bentuk gaji yang mencukupi standar kepuasan dari
masing-masing individu. Karakteristik kerja yang berat dan berbahaya juga
memengaruhi tuntutan akan gaji yang sepadan. Kemudian kondisi fasilitas hidup
yang minim dibandingkan dengan pekerja pada industri lain juga turut
memengaruhi tuntutan gaji tersebut. Sebagian besar pekerja yang mengharapkan
kenaikan gaji atau upah ada tiga bidang yaitu litbang konservasi, penebangan, dan
penyaradan. Perbaikan kedua yang diharapkan adalah tempat tinggal dan
kehidupan lebih baik (20.4%). Hal ini wajar mengingat sebagian besar responden

13
tinggal di kamp dekat hutan dengan fasilitas seadanya. Harapan pekerja adalah
pengaturan penggunaan kamar agar tidak terlalu banyak, perlunya renovasi pada
bagian tempat tinggal yang mulai rusak, dan penambahan bangunan perumahan
sehubungan bertambahnya jumlah pekerja. Hal ini utamanya disuarakan oleh
pekerja di bidang persemaian serta litbang konservasi mengenai tempat tinggal di
lokasi kamp utama.
Perbaikan tertinggi selanjutnya adalah ketersediaan kendaraan transportasi
(13.0%). Transportasi merupakan sarana yang diperlukan untuk mengakses
tempat kerja atau tempat tujuan lainnya. Pekerja biasanya tidak dapat pergi ke
mana pun tanpa akses menggunakan mobil karena hutan tempat mereka bekerja
sangat luas dan jauh. PT. Carus Indonesia merupakan salah satu dari lima anak
perusahaan dalam naungan Dwima Group, manajemen sendiri menerapkan prinsip
penghematan tenaga kerja dalam pengelolaannya, sehingga ada satu divisi yang
langsung menangani lima anak perusahaan sekaligus. Hal ini berimplikasi pada
volume pekerjaan yang banyak dan memerlukan bantuan sarana transportasi untuk
mobilitas, sehingga ketiadaan sarana mengakibatkan pekerjaan tertunda. Sebagai
contoh, Divisi Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang karena adanya keterbatasan sarana transportasi sehingga
program kerja yang telah rencanakan berjalan kurang maksimal. Divisi yang
paling mengharapkan perbaikan ini adalah PMDH terlihat semua aspirasi
responden dalam hal yang senada mengenai perlunya tambahan sarana
transportasi. Lebih jauh lagi, esensi pembinaan masyarakat desa masih kurang
maksimal karena PMDH hanya memberikan bantuan uang untuk kegiatankegiatan tertentu seperti bantuan honor guru, kesehatan, acara adat, santunan duka
cita kematian, dan lain-lain. Sedangkan upaya pembinaan peningkatan
kemandirian usaha dan kesejahteraan masih minim dan belum mencapai
kesuksesan. Sebenarnya keluhan kurangnya sarana transportasi ini juga terjadi
pada jenis kegiatan lainnya, sehingga saran peneliti agar perusahaan dapat
menambah armada transportasi yang ada. Ketiga macam perbaikan utama ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya di Turki oleh Yoshimura dan Acar (2004),
yang menyatakan bahwa secara umum perbaikan yang diharapkan oleh pekerja
kehutanan mengarah pada kesejahteraan ekonomi dan kondisi hidup pekerja.
Hutan yang lestari dan perlindungan lingkungan kerja, kelengkapan
peralatan kerja dan gudang peralatan, serta alat mesin kehutanan juga
diidentifikasi sebagai aspek yang perlu diperbaiki. Perbaikan mengenai hutan
yang lestari dan perlindungan lingkungan kerja yang diharapkan adalah agar
perambahan hutan terus ditekan, dan seluruh pekerja melaksanakan pekerjaan
dengan benar sesuai dengan SOP (Standard Operational Procedure) yang
berlaku. Sehingga kelestarian hutan dapat tercapai, dengan hutan yang lestari
maka lapangan kerja khususnya di PT. Carus Indonesia juga akan berlangsung
lama. Perbaikan dan penataan ulang perlu dilakukan pada gudang peralatan karena
sudah lama tidak adanya renovasi dan terkesan berantakan, dengan dilakukannya
perbaikan maka secara estetika akan terlihat lebih baik dan membuat pekerjaan
menjadi lebih efektif dan efisien. Sebenarnya kebutuhan jumlah alat mesin
kehutanan yang ada secara kuantitas adalah cukup, namun beberapa alat berat
bulldozer sudah termasuk dalam masa pemakaian lama sehingga berkorelasi
terhadap persen kesiapan alat. Sehingga ketika terjadi hal tak terduga seperti
kerusakan alat maka dapat menghambat kegiatan produksi yang dilakukan.

14
Sedangkan pekerjaan tetap dan asuransi tidak menjadi perhatian khusus oleh
pekerja. Hal ini karena perusahaan sekarang sedang terus tumbuh dan terbukti
dengan adanya rencana manajemen untuk menambah 2 anak perusahaan baru.
Pekerja juga sudah paham selama mereka bekerja dengan baik atau dengan
selayaknya (tidak mangkir kerja) serta tidak membuat pelanggaran fatal maka jasa
mereka akan tetap dipakai perusahaan. Perusahaan sudah mendaftarkan pekerja
pada perusahaan asuransi terkait tenaga kerja sesuai dengan peraturan pemerintah
yang berlaku. Perusahaan juga memiliki poliklinik kesehatan sendiri dan
hubungan kerjasama dengan rumah sakit besar di ibukota provinsi dengan akses
yang mudah. Proses penanganan kecelakaan kerja dan perhatian kesehatan pekerja
sudah cukup baik. Hal tersebut membuat pekerja merasa tenang mengenai
jaminan keselamatan dan kesehatan mereka.
Kepuasan Kerja
Data Personal Responden
Tabel 10 menunjukkan data personal dari 54 responden, yang seluruhnya
laki-laki.
Tabel 10 Data personal responden
Karakteristik
Kategori
Jumlah
Jenis kelamin
Laki-laki
54
Perempuan
0
Status pernikahan
Menikah
47
Belum menikah
7
Usia (tahun)
18–35
24
> 35
30
Pendidikan terakhir
SD
6
SMP
6
SMA atau lebih tinggi
42
Lama bekerja (tahun)
≥ 10
24
< 10
30
Jenis pekerjaan
Penebangan
6
Penyaradan
6
Pengangkutan
5
Perencanaan lapangan
6
Litbang konservasi
6
Persemaian
4
PMDH
5
SDM
5
Supervisor
11

Persentase (%)
100
0
87.0
13.0
44.4
55.6
11.1
11.1
77.8
44.4
55.6
11.1
11.1
9.3
11.1
11.1
7.4
9.3
9.3
20.4

Lebih dari setengah responden memiliki pengalaman kurang dari 10 tahun
dalam pekerjaan kehutanan. Tingkat pendidikan yang diperoleh responden cukup
baik yaitu menyelesaikan tingkat SMA dan yang lebih tinggi (77.8%). Data
personal responden lebih lengkap disajikan pada Lampiran 2. Pekerja kantor juga
termasuk dalam penelitian ini karena mereka adalah bagian dari tenaga kerja yang
hidup dalam kondisi yang kurang baik, bersama dengan pekerja lainnya, dan

15
memungkinkan mengalami kelelahan secara fisik, mental, maupun sosial.
Responden setingkat supervisor merupakan pekerja dengan posisi jabatan yang
tinggi di perusahaan diantaranya Kepala Seksie, Kepala Subseksie, dan
Koordinator Lapangan. Kepala Seksie merupakan orang yang memimpin suatu
divisi. Terkait 8 jenis pekerjaan lainnya maka responden setingkat supervisor yang
diambil mewakili 5 divisi yaitu Produksi, Sumber Daya Manusia (SDM),
Perencanaan, Bina Hutan, dan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH).
Kepuasan Kerja
Pekerja merupakan pelaku yang menunjang tercapainya tujuan, mempunyai
pikiran, perasaan, dan keinginan yang dapat mempengaruhi sikap-sikapnya
terhadap perusahaan. Menurut Handoko (1996), kepuasan kerja adalah keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagaimana para pekerja
memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar
pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan kerja bersifat
individual dan setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Kepuasan kerja umumnya
mengacu pada sikap seorang pekerja sebagai kumpulan perasaan, kepuasan kerja
bersifat dinamis. Indikator kepuasan kerja dapat diukur dengan kedisiplinan,
moral kerja, dan mutasi yang kecil maka secara umum kepuasaan kerja pekerja
baik (Hasibuan 2013). Menurut Hasibuan (2013), kepuasan kerja dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai
dengan keahlian, berat dan ringannya pekerjaan, serta suasana dan lingkungan
pekerjaan. Faktor lain yang turut berpengaruh adalah peralatan yang menunjang
pelaksanaan pekerjaan, sikap pimpinan dalam kepemimpinannya, dan sifat
pekerjaan monoton atau tidak. Mutasi (keluar-masuk) yang rendah harus didorong
karena mutasi yang tinggi pada pekerja dapat meningkatkan biaya operasional dan
risiko kecelakaan (ILO 1998).
Sehubungan dengan kepuasan kerja, 47 responden (87.0%) puas dengan
pekerjaan mereka sementara sisanya (13.0%) tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa
secara umum pekerja merasa puas akan pekerjaannya. Utamanya para pekerja
sudah cukup puas dengan kebijakan penggajian yang diterapkan perusahaan,
dimana besarannya dipengaruhi oleh kemampuan (produktivitas), tingkat
pendidikan, lama kerja, tanggung jawab, dan pengalaman. PT. Carus Indonesia
cukup berkomitmen dalam menyediakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan
karyawan dalam rangka menciptakan suasana kerja yang kondusif. Hal ini
diimplementasikan dengan disediakannya fasilitas-fasilitas berupa peralatan kerja,
perumahan karyawan (juga disediakan untuk keluarga karyawan), K3, pendidikan,
ibadah, olahraga, hiburan, pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan akses jalan yang
tersedia. Banyak responden menyebutkan kondisi fasilitas ini merupakan salah
satu kelebihan PT. Carus Indonesia dibandingkan dengan perusahaan sejenis
lainnya, khususnya yang berlokasi di Kalimantan Tengah. Keadaan sosial pekerja
dan masyarakat sekitar pun cukup kondusif dimana jarak sosial antara penduduk
pendatang dengan penduduk pribumi tidak signifikan dan berjalan baik, bahkan
banyak diantaranya yang terikat pernikahan sehingga memperkecil jarak sosial
tersebut. Faktor-faktor tersebut diduga berpengaruh dalam mendukung tingkat
kepuasan pekerja. Lebih lanjut, kepuasan kerja akan berpengaruh terhadap
stabilitas bahkan peningkatan produktivitas dan mengendalikan gejala kelelahan

16
kumulatif yang dirasakan pekerja. Manajemen perusahaan perlu terus
mempertahankan bahkan meningkatkan kondisi ini, diantaranya dengan penelitian
terkait juga mengimplementasi aspirasi pekerja yang dirasa relevan dan penting.
Sinaga (2009) menyebutkan bahwa kepuasan kerja dapat menurun secepat
timbulnya, bahkan lebih cepat, sehingga mengharuskan para manajer untuk
memperhatikan setiap saat.
Namun tetap saja terdapat sebagian pekerja tidak puas terhadap
pekerjaannya. Jumlah total responden yang tidak puas sebanyak 7 orang (13.0%),
dari jumlah tersebut alasan utama untuk ketidakpuasan kerja adalah gaji atau upah
yang kurang (100%), kemudian konflik antar pekerja (14.3%) merupakan alasan
lainnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian Gandaseca dan Yoshimura (2001),
yang menyatakan sebagian besar pekerja kehutanan di Indonesia tidak puas akan
gaji yang didapatkan. Pekerja yang tidak puas terdiri dari pekerja di bagian litbang
konservasi sebanyak 3 orang. Kemudian masing-masing 1 orang pada pekerjaan
berikut yaitu penebangan, penyaradan, pengangkutan, dan persemaian. Selain gaji
ketidakpuasan pekerja bagian litbang konservasi juga dipengaruhi oleh lokasi
kerja yang jauh dan ditempuh dengan berjalan kaki, padatnya pekerjaan
dibandingkan dengan tenaga kerja yang ada, fasilitas mess kurang layak
(kerusakan), hubungan dengan atasan Divisi Bina Hutan yang kurang harmonis,
dan kecemburuan hasil gaji bulanan dengan divisi lain. Saran peneliti terhadap
perusahaan untuk mengkaji kembali kebutuhan tenaga kerja yang ada karena
jumlahnya memang sangat terbatas ditambah lagi harus menangani 4 IUPHHKHA lainnya dalam naungan Dwima Group, akibatnya hasil pekerjaan yang
dilakukan kurang maksimal karena dikejar oleh pekerjaan lain yang menanti.
Kemudian untuk fasilitas mess selain merupakan tanggung jawab pekerja yang
menempati, akan lebih baik apabila perusahan mendata secara rutin kondisi mess
yang ada dan membantu kegiatan renovasi yang sekiranya diperlukan. Selain itu
dengan semakin berkembangnya perusahaan (tenaga kerja) diperlukan
penambahan jumlah mess, hal ini banyak dikeluhkan oleh pekerja lapangan Divisi
Bina Hutan dan pekerja lapang di kamp produksi khususnya ketika berada (libur
kerja) di kamp utama Tumbang Manggu.
Pada bagian penebangan pekerja yang tidak puas adalah pekerja usia muda
(< 20 tahun) yang disebabkan oleh realita pekerjaan yang berbeda dengan persepsi
yang dibayangkan, yaitu pekerjaan yang berat, jauh dari keramaian
perkampungan, kondisi fasilitas hiburan yang seadanya dan lain-lain. Hal ini
sejalan dengan Mangkunegara (2001) dalam Sinaga (2009) yang menyebutkan
pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia
kerjanya, sehingga apabila antara