Aklimatisasi Tanaman Anggrek Phalaenopsis Amabilis Hasil Perlakuan Kolkisin Dengan Level Ploidi Yang Berbeda

AKLIMATISASI TANAMAN ANGGREK Phalaenopsis
amabilis HASIL PERLAKUAN KOLKISIN DENGAN LEVEL
PLOIDI YANG BERBEDA

FARIDA ZULFA QONITAH

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aklimatisasi Tanaman
Anggrek Phalaenopsis amabilis Hasil Perlakuan Kolkisin dengan Level Ploidi
yang Berbeda adalah karya saya yang dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Farida Zulfa Qonitah
NIM A24110171

ABSTRAK
FARIDA ZULFA QONITAH. Aklimatisasi Tanaman Anggrek
Phalaenopsis amabilis Hasil Perlakuan Kolkisin dengan Level Ploidi yang
Berbeda. Dibimbing oleh SANDRA ARIFIN AZIZ.
Salah satu jenis anggrek yang telah dikenal oleh masyarakat luas
akan keindahan bunganya adalah jenis Phalaenopsis amabilis atau yang
lebih dikenal dengan nama lokal anggrek bulan. Anggrek Phalaenopsis
hibrida asal Indonesia memiliki ketersediaan yang belum dapat bersaing
dengan anggrek Phalaenopsis hibrida dari luar, sehingga hal tersebut
menjadi salah satu penyebab tingginya nilai import anggrek hibrida di pasar
Indonesia. Umumnya anggrek hibrida dari pasokan impor memiliki bunga
yang lebih diminati konsumen karena memiliki mahkota dan kelopak bunga
yang tebal dan besar. Bunga anggrek dengan mahkota dan kelopak yang
tebal dan besar juga dapat diperoleh dengan cara penggandaan set

kromosom. Salah satu cara untuk memperoleh tanaman dengan set
kromosom yang mengganda adalah dengan pemberian kolkisin. Penelitian
ini dilakukan di Rumah Angle (Anggrek Lele) yang berada di Kebun
Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor dan
Laboratorium Kultur Jaringan I, Laboratorium Mikro Teknik, serta
Laboratorium Biofisik dan Respirasi Benih Departemen Agronomi dan
Hortikultura Fakultas Pertanian IPB yang berlangsung pada bulan
September 2014-Juni 2015. Perlakuan kolkisin diberikan dengan cara
disungkup pada bunga fertilisasi yang dikastrasi dan pada kuncup bunga.
Tidak terdapat perbedaan hasil yang nyata dalam pertumbuhan pada tahap
aklimatisasi. Hasil pengujian sitologi pada 33 tanaman menunjukkanbahwa
terdapat 8 tanaman dari bunga kastrasi hasil selfing memiliki level ploidi
diploid dan 2 tanaman tetraploid, sedangkan perlakuan kolkisin pada
kuncupbunga diperoleh 15 tanaman diploid, 5 tanaman triploid dan 3
tanaman tetraploid.
Kata kunci: kastrasi, kromosom, level ploidi, uji sitologi

ABSTRACT
FARIDA ZULFA QONITAH. Acclimatization of Colchicine Treated
Phalaenopsis amabilis with Different Ploidy Levels. Supervised by

SANDRA ARIFIN AZIZ.
Phalaenopsis amabilis or better known as moth orchids is a type
of orchids that has been known by public because of its beauty. The moth
orchids that famous in the market consisted of local species (native from
Indonesia) and hybrid varieties. Phal. amabilis from Indonesia still can not
compete with Phalaenopsis orchid hybrids from introduction varieties, it
has become one of the causes of the high value of imported orchid hybrid
varieties in Indonesian market. Generally, hybrid varieties of orchids from
crosses are desirable because it has thick and large petals and sepals, that

can be obtained by chromosome doubling. One way to obtain plants with
sets of doubled chromosomes doubled with the administration of colchicine.
This research was conducted at the Angle (Orchid Lele) Leuwikopo Bogor
Agricultural University, Bogor Dramaga and Plant Tissue Culture
Laboratory, Micro Engineering Laboratory, Department of Agronomy and
Horticulture, Bogor Agricultural University, Bogor Dramaga which took
place in September 2014-June 2015. The treatment of Colchicine given on
castrated flowers and flowers buds. There is no morphological differences
between control and colchicines treatment. Cytological test on castrated
selfed flowers produced 8 diploid and 2 tetraploid plants,while on flower

buds resulted in 15 diploid, 5 triploid, and 3 tetraploid plants.
Keywords: castration, chromosome,cytological test, ploidy level.

AKLIMATISASI TANAMAN ANGGREK Phalaenopsis
amabilis HASIL PERLAKUAN KOLKISIN DENGAN LEVEL
PLOIDI YANG BERBEDA

FARIDA ZULFA QONITAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Judul Skripsi : Aklimatisasi Tanaman Anggrek Phalaenopsis amabilis Hasil
Perlakuan Kolkisin dengan Level Ploidi yang Berbeda.
Nama
: Farida Zulfa Qonitah
NIM
: A24110171

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc.Agr.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Mei
2015 ini ialah aklimatisasi anggrek, dengan judul Aklimatisasi Hasil
Perlakuan Kolkisin pada Anggrek Phalaenopsis amabilis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Sandra Arifin
Aziz, MS selaku pembimbing yang memberikan bimbingan, masukan,
koreksi dan dukungan dalam pembuatan karya ilmiah ini. Terima kasih juga
diucapkan kepada Bapak Zulfaryadi Adni, Ibu Siti Hidayati, Muhammad
Rais Habibie, Cahra Wibiksana serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih
sayangnya. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman
sepembimbing tugas akhir (Tebi, Dede), teman-teman dan kakak-kakak
serta Bapak dan Ibu di Laboratorium Kultur Jaringan 1 (Bu Juju, Pak Joko,
Pak Edi, Kak Kiki, Kak Tika, Bu Tendy, Bu Dini, Kak astrid, Kak Refa,
Kak Elin, Kak Alin, Kak Erick, Adis, Ojak, Anggi, Kak Amel, Kak Nanda,
Kak Anung, Ka Dini, Pak Roni), seluruh teman-teman AGH 48 (prdtr dan
yang lainnya), panitia FBBN 2015 dan semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Oktober 2015
Farida Zulfa Qonitah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Anggrek

2


Kolkisin

4

Anggrek Poliploid

4

Aklimatisasi

6

METODE

7

Waktu dan Tempat

7


Bahan dan Alat

7

Prosedur Analisis Data

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

9
9
15
17

Simpulan


17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1 Jumlah tanaman sesuai dengan level ploidi perlakuan bunga yang
telah difertilisasi kemudian di kastrasi pada masing-masing
perlakuan setelah uji sitologi
2 Jumlah tanaman sesuai dengan level ploidi perlakuan pada
kuncup bunga dalam masing-masing perlakuan setelah uji sitologi
3 Pengaruh perlakuan kolkisin pada anggrek Phal. amabilis diploid
bulan ke-enam setelah aklimatisasi
4 Pengaruh perlakuan kolkisin pada anggrek Phal. amabilis triploid
bulan ke-enam setelah aklimatisasi
5 Pengaruh perlakuan kolkisin pada anggrek Phal. amabilis
tetraploid bulan ke-enam setelah aklimatisasi

10
10
11
11
13

DAFTAR GAMBAR
1 Perbandingan parameter pada bulan ke-enam berdasarkan
perbedaan level ploidi (diploid-tetraploid-triploid).
2 Perbandingan sel dengan level ploidi
3 Sel anggrek Phal. amabilis diploid yang diperoleh berdasarkan
hasil uji sitologi
4 Sel anggrek Phal. amabilis triploid yang diperoleh berdasarkan
hasil uji sitologi.
5 Sel anggrek Phal. amabilis tetraploid yang diperoleh berdasarkan
hasil uji sitologi.

12
13

14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Gambar Hasil BFK
Gambar hasil Bud

21
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya
adalah anggrek (Phalaenopsis sp.) diperkirakan sekitar kurang lebih 5000 jenis
anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga
bagi para pengembang dan pencinta anggrek di Indonesia khususnya potensi
genetis untuk menghasilkan silangan anggrek yang memiliki nilai komersial yang
lebih tinggi. Anggrek merupakan tanaman hias yang sangat prospektif dan
memiliki nilai ekonomis tinggi karena bentuk dan warna bunganya yang menarik
serta memiliki ketahanan yang lama (Iswanto 2010).
Menurut Latief (1960) salah satu jenis anggrek yang telah dikenal oleh
masyarakat luas akan keindahan bunganya yang merupakan anggrek asli
Indonesia adalah jenis Phalaenopsis amabilis atau yang lebih dikenal dengan
nama lokal anggrek bulan. Saat ini jenis anggrek bulan yang terdapat di pasaran
terdiri dari dua jenis, yakni anggrek varietas lokal (asli Indonesia) dan varietas
hibrida. Menurut Widiastoety (2010), anggrek komersial yang dikembangkan
dewasa ini umumnya merupakan hasil silangan dengan anggrek luar (hibrida),
anggrek hibrida memiliki harga jual yang lebih tinggi dan lebih diminati oleh
konsumen karena berbagai keunggulannya, diantaranya seperti keserempakan
arah bunga menghadap, juga kelopak bunga yang lebih tebal dan besar.
Sayangnya Indonesia masih kurang banyak memproduksi anggrek Phalaenopsis
hibrida sendiri, melainkan lebih bergantung pada pasokan impor karena belum
terdapat hasil hibrida yang digemari oleh konsumen dari spesies Phal. amabilis
yang diproduksi oleh para peneliti dan pencinta anggrek di Indonesia. Menurut
Departemen Pertanian tahun 2015, produksi anggrek dari tahun 2010-2012 di
Indonesia mengalami peningkatan, namun terjadi penurunan dari tahun 20122014 dengan produksi anggrek sebesar 20 727 891 pada tahun 2012, kemudian
menurun menjadi 20 277 672 pada tahun 2013 dan mengalami penurunan kembali
menjadi 19 739 627 pada tahun 2014. Anggrek dengan kriteria bentuk bunga lebih
bagus dan masa segar bunga (vase life) yang dimilikinya lebih lama juga dapat
diperoleh juga dengan cara penggandaan kromosom sehingga terjadi peningkatan
ploidi (Yusnita 2012).
Individu atau populasi yang memiliki lebih dari dua set kromosom disebut
individu atau populasi poliploid (Eigsti dan Dustin 1957). Menurut Syukur (2006)
Poliploid terbentuk dari hasil persilangan interspesifik atau terjadi penggandaan
dari diploid kerabat dekatnya. Menurut Lestari (2013) Salah satu bentuk dari
perubahan genetik adalah adanya poliploidi, yaitu suatu keadaan (kondisi)
individu mempunyai kromosom set (genom) pada sel-sel somatiknya lebih dari
dua pasang. Anggrek yang banyak digemari di pasaran juga merupakan hasil dari
perlakuan genetik pada tanaman sehingga terciptanya anggrek poliploid (Yusnita
2012). Tanaman yang diberi kolkisin akan mengalami poliploidi. Kolkisin
(C22H25O6N) merupakan suatu alkaloid berwarna putih yang diperoleh dari umbi
tanaman Colchichum autumnale L. (Familia Liliaceae). Kolkisin (C22H25O6N)
merupakan alkaloid yang mempengaruhi penyusunan mikrotubula, sehingga salah

satu efeknya adalah menyebabkan penggandaan jumlah kromosom tanaman
(terbentuk tanaman baru) (Suminah et al. 2002).
Aklimatisasi menurut Basri (2004) adalah penyesuaian fisiologis dan
perilaku suatu organisme sebagai reaksi terhadap suatu perubahan lingkungan
atau modifikasi sifat fenotip suatu organisme yang disebabkan lingkungan. Proses
pengadaptasian hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih
ekstrim adalah bagian dari kultur jaringan yang berupa pemindahan tanaman dari
lingkungan steril (in vitro) ke lingkungan semisteril sebelum dipindahkan ke
lapangan. Perbedaan faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi kultur
jaringan dan greenhouse antara lain cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping
hara dan media tanam. Aklimatisasi merupakan saat paling kritis dalam
perbanyakan tanaman secara in vitro karena peralihan dari heterotrof ke autotrof.
Organisme heterotrof adalah organisme yang kebutuhan makanannya memerlukan
satu atau lebih senyawa karbon organik, makanannya tergantung pada hasil
sintesis organisme lain. Adapun organisme autotrof adalah organisme yang
membuat makanannya dari zat-zat anorganik.
Penelitian ini dilakukan untuk melanjutkan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Azmi pada tahun 2012-2015. Berdasarkan penelitian Azmi
(2015) diperoleh hasil tanaman yang diduga poliploid dan tanaman yang diduga
diploid dari hasil perlakuan pemberian kolkisin dengan cara disungkupkan pada
bunga fertilisasi yang telah dikastrasi (BFK) dengan lama penyungkupan 3 hari
dan 5 hari dan perlakuan penyukupan kolkisin dengan waktu 3 hari pada kuncup
bunga (Bud).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui pertumbuhan
tanaman dengan perlakuan kolkisin dalam tahap aklimatisasi.
Hipotesis
Tanaman yang telah diberikan perlakuan kolkisin memiliki daun yang
lebih lebar, lebih banyak dan lebih tebal pada proses aklimatisasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Anggrek
Anggrek termasuk jenis tanaman Crassulacean Acid Metabolism (CAM).
Jenis tanaman ini melakukan pengikatan CO2 pada malam hari dan
melepaskannya lagi pada siang hari untuk fotosintesis. Pada siang hari stomata
tertutup sehingga fiksasi terjadi pada keadaan gelap (Yusnita 2012). Proses
membuka dan menutupnya stomata dipengaruhi oleh perubahan kondisi
lingkungan seperti intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan konsentrasi CO2.
Tanaman CAM, membuka stomata dan menambat CO2 menjadi asam malat

3

terutama pada malam hari, ketika udara sejuk dan kelembaban nisbi lebih tinggi
(Salisburry 1995). Anggrek monopodial adalah anggrek yang pertumbuhan
batangnya lurus ke atas pada satu batang tanpa batas. Bunga keluar dari sisi
batang antara dua ketiak daun. Contoh anggrek tipe monopodial diantaranya
Vanda, Arachnis, Phalaenopsis, dan Aerides. Sementara tipe simpodial adalah
anggrek yang tidak memiliki batang utama. Bunga keluar dari ujung batang dan
akan berbunga kembali pada pertumbuhan anakan atau tunas baru, contoh
anggrek tipe simpodial antara lain ialah Dendrobium, Cattleya, Oncidium, dan
Cymbidium (Iswanto 2010).
Pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman anggrek dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan. Faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, suhu, dan
kelembaban, serta faktor lain seperti jenis media dan pemupukan sangat
menentukan produktivitas tanaman anggrek. Salah satu usaha untuk
meningkatkan laju pertumbuhan pada anggrek (Sukma 2010). Anggrek
Phalaenopsis memiliki 40 sampai 60 spesies di dunia, sedangkan 22 spesies
terdapat secara alami di wilayah Indonesia (Rukmana 2000). Phalaenopsis yang
banyak terdapat di pasaran yaitu Asponopsis, Doritaenopsis dan Renarthopsi.
Syarat tumbuh anggrek berbeda-beda tergantung dari jenis anggrek tersebut.
Anggrek Phalaenopsis dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 500-600 mdpl.
Suhu merupakan unsur penting dalam pembungaan anggrek Phalaenopsis.
Kebutuhan cahaya anggrek Phalaenopsis yaitu 60-75% dengan suhu malam
16.5oC dan suhu siang 24-270C. Kelembaban yang dibutuhkan anggrek
Phalaenopsis sebesar 70% (Mattjik 2010).
Dwiatmini (2002) menggunakan beberapa spesies anggrek Phalaenopsis
dalam penelitiannya. Jumlah spesies yang digunakan dalam penelitiannya adalah
sebanyak 19 spesies yaitu terdiri dari Phalaenopsis violacea ‘Borneo’, Phal.
sumatrana, Phal. kunstleri, Phal. pantherina, Phal. cornu-cervi, Phal. micholitzii,
Phal. gigantea, Phal. leuddemanniana ‘pulchra’, Phal. amboinensis ‘Ambon’,
Phal. parishii, Phal. celebensis, Phal.amabilis, Phal. javanica, Phal. speciosa
‘Tetrapis’, Phal. venosa, Phal. schillerana, Phal. manii dan Phal equestris.
Yusnita (2012) memaparkan bahwa keragaman anggrek juga dapat dilihat
berdasarkan habitat tumbuhnya. Terdapat empat ragam habitat tumbuh anggrek,
yaitu :
1. Anggrek terrestrial
Anggrek yang hidup di media tanah dan memerlukan
cahaya penuh atau hampir penuh.
2. Anggrek epifit
Anggrek yang hidup menempel pada tumbuhan lain, tetapi
tidak merugikan tanaman tempat tumbuhnya.
3. Anggrek litofit
Anggrek yang tumbuh di bebatuan dan tahan terhadap
cahaya matahari penuh atau ternaungi.
4. Anggrek saprofit
Anggrek yang tumbuh dan mendapatkan nutrisi dari
serasah dedaunan atau biomassa tanaman berhumus di
tempat ternaungi di bawah pepohonan.

4

Kolkisin
Kolkisin adalah suatu alkaloid yang dihasilkan oleh tanaman krokus
(Colchicum autumnale, L.) yang banyak ditanam di Eropa, India, dan Afrika
Utara. Rumus molekul kolkisin adalah C22H25O6N. Kolkisin diperdagangkan
dalam bentuk serbuk halus berwarna putih. Senyawa ini memilki sifat mudah
larut dalam air dan digunakan dalam konsentrasi rendah (Crowder 1997).
Menurut Poespodarsono (1988) kepekaan terhadap perlakuan kolkisin amat
berbeda di antara spesies tanaman. Oleh karena itu baik konsentrasi maupun
waktu perlakuan akan berbeda pula, bahkan untuk bagian tanaman yang berbeda
akan lain pula dosis dan waktunya. Untuk biji yang cepat berkecambah, biji
direndam dalam larutan selama 1-5 hari sebelum tanam. Untuk kecambah
dicelup kedalam larutan kolkisin selama 3-4 jam, sedangkan untuk tunas larutan
dioleskan atau diteteskan. Kolkisin efektif dalam penggunaannya karena
menghasilkan persentase poliploid yang lebih tinggi dibandingkan senyawa lain,
pada konsentrasi nontoksik untuk tanaman. Kolkisin dapat diberikan dalam
bentuk cair/emulsi, pemberiannya bisa dengan cara disemprotkan ke titik tumbuh
berulang kali, diteteskan ke titik tumbuh atau titik tumbuh dibungkus dengan
kapas yang diberi larutan kolkhisin dan bisa juga diberikan dengan cara
perendaman. Perlakuan perendaman kolkisin dengan konsentrasi 10-3 M selama
72 jam pada kultur agregat sel Stevia rebaudiana menghasilkan sel poliploid
yang tertinggi (Rodiansah 2007).
Mekanisme penggandaan sel akibat perendaman dengan kolkisin tersebut
terjadi karena adanya gangguan pada benang gelendong. Kondisi tersebut dapat
diamati pada sel yang berada diakhir metafase, anafase 8 atau telofase, dimana
kromosom tersebar dan tidak mengarah pada dua kutub yang berlawanan. Benang
gelendong (spindle fiber) merupakan substrat yang dipengaruhi oleh aktivitas
kolkisin. Molekul kolkisin bereaksi dengan molekuler sistem dari benang
gelendong dianggap sebagai dasar hubungan anatara keduanya. Mekanisme
penghambatan atau destruksi terhadap benang gelendong akan terlihat sebagai
reaksi kuantitatif, karena konsentrasi kolkisin merupakan faktor yang kritikal
(Eigsti dan Dustin 1957).
Menurut Anggraito (2004) pada dasarnya penggunaan kolkisin sangat
bergantung pada tujuan, bahan, dan luasnya penggunaan, namun dari sekian
metode yang relatif paling murah dan mudah adalah imersi (perendaman) biji. Hal
yang perlu diperhatikan adalah batas konsentrasi dan lama waktu perendaman
dalam kolkisin yang paling tepat untuk setiap tanaman, karena setiap tanaman
memiliki karakteristik pelindung biji yang khas, sehingga kemampuan kolkisin
untuk menembus lapisan pelindung biji akan sangat bervariasi. Kolkisin memiliki
mekanisme menghambat pergerakan kromosom menuju dua kutub yang berbeda,
ketika pembelahan mitosis berlangsung.
Anggrek Poliploid
Individu atau populasi yang memiliki lebih dari dua set kromosom disebut
individu atau populasi poliploid (Eigsti dan Dustin 1957). Sebanyak 75 % Famili
Gramineae (saat ini disebut Poaceae) adalah tanaman poliploid dan sebanyak 3035% spesies angipspora juga merupakan tanaman poliploid. Menurut Syukur

5

(2006) poliploid terbentuk dari hasil persilangan interspesifik atau terjadi
penggandaan dari diploid kerabat dekatnya. Tipe-tipe poliploid dapat dibedakan
berdasarkan asal set kromosom yang dimilikinya. Pada tanaman, set-set
kromosom yang berasal dari spesies berbeda disebut alopoliploid, sedangkan setset kromosom yang berasal dari spesies yang sama atau dari penggandaan
kromosom itu sendiri disebut autoploid.
Perlakuan kolkisin pada kuncup bunga anggrek memiliki beberapa
keunggulan, diantaranya adalah dapat menghasilkan tingkat ploidi yang bervariasi.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena kolkisin akan menghasilkan sel gamet
poliploid dengan tingkat yang berbeda bergantung pada tahapan dari proses
pembentukan sel gamet, apakah ketika proses meiosis atau mitosis. progeniProgeni poliploid dapat dihasilkan dari penggabungan antara sel gamet jantan dan
betina yang bersifat poliploid. Selain itu, keunggulan lain dari progeni atau planlet
poliploid yang dihasilkan melalui perlakuan kolkisin pada kuncup bunga
merupakan poliploid yang sifatnya solid. Perlakuan kolkisin pada kuncup bunga
berbeda dengan perlakuan kolkisin pada protocorm ataupun planlet yang dapat
menghasilkan planlet poliploid yang bersifat kimera. Kimera merupakan kondisi
dimana terjadi mutasi pada beberapa sel dari suatu jaringan, salah satunya adalah
mixoploid. Poliploid yang bersifat kimera perlu diperkecil peluangnya atau
dieliminasi dalam induksi poliploidi, karena dapat berubah menjadi diploid
kembali akibat adanya diplontic selection (Azmi 2015). Keunggulan lain dalam
induksi poliploidi pada bunga setelah penyerbukan adalah dapat dihasilkannya
planlet poliploid dalam jumlah yang banyak. Buah anggrek memiliki biji dalam
jumlah yang sangat banyak, dengan kisaran mulai dari 1 300 sampai 4 000 000
biji per buah (Arditti 1992).
Berdasarkan hasil penelitian Azmi (2015) terdapat beberapa perubahan
karakteristik bunga pada tiga hari setelah penyerbukan sendiri secara buatan, yaitu
stigma (column) mulai menutup. Bunga tersebut mampu berkembang menjadi
buah pada kontrol dan setiap perlakuan kolkisin. Namun, terdapat beberapa buah
dari perlakuan kolkisin yang tidak berkembang dan mengalami kerontokan atau
kering sebelum mencapai umur panen sekitar 24 minggu setelah perlakuan (MSP).
Dalam penelitian ini dalam tahap in vitro, terdapat karakter yang belum pernah
diamati sebelumnya dalam identifikasi planlet poliploid pada anggrek bulan, yaitu
basal organ of the protocorm (BOP). Secara umum, terdapat perbedaan yang
nyata berdasarkan uji kontras pada karakter-karakter seperti BOP, daun, akar, dan
stomata, antara planlet kontrol dan planlet yang diperoleh dari semua perlakuan
kolkisin. Chaicharoen (1981) menemukan bahwa anggrek Dendrobium tetraploid
menghasilkan abnormalitas pembelahan ketika proses mikrosporogenesis, selain
itu pertumbuhan tabung polen juga lebih lambat dan pendek dibandingkan
diploidnya dengan persentase keberhasilan induksi poliploidi sekitar 50 %
tetraploid, dengan konsentrasi kolkisin masing-masing 50 dan 500 mg L-1.
Terdapat satu laporan yang dilakukan oleh Nakasone (1960) melalui
perlakuan kolkisin pada spike Vanda Miss Joaquin dan tidak diperoleh individu
poliploid. Menurut Azmi (2015) tanpa melihat peluang keberhasilan penelitian
penelitian tersebut yang kecil, percobaan induksi gamet poliploid memiliki nilai
tambah yang besar dalam peningkatan program pemuliaan anggrek bulan. Peluang
keberhasilannya yang kecil sangat mungkin untuk diatasi melalui teknik-teknik

6

baru, seperti penggunaan organ generatif muda pada beberapa fase perkembangan
sebagai material untuk perlakuan induksi menggunakan agen anti-mitosis.
Penelitian Azmi (2015) menggunakan teknik baru perlakuan kolkisin pada
organ generatif anggrek. Teknik baru yang digunakan adalah pada penggunaan
bunga setelah penyerbukan (pollinated flower) sebagai bahan perlakuan kolkisin.
Organ generatif lain yang digunakan adalah kuncup bunga dan spike, induksi
gamet poliploid dilakukan pada Phal. amabilis. Selain itu, dalam penelitian ini
juga menggunakan protocorm Phal. gigantea sebagai material untuk induksi
poliploidi sel somatik dengan menggunakan agen anti-mitosis. Agen anti-mitosis
yang digunakan dalam hal ini adalah kolkisin. Secara umum, penelitian ini
memiliki tujuan untuk pengembangan varietas-varietas unggul anggrek bulan
yang berbasis pada spesies lokal Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari pengaruh kolkisin terhadap organ generatif dan protocorm, serta
untuk mendapatkan teknik yang efektif dan efisien dalam menghasilkan anggrek
bulan poliploid dalam jumlah yang banyak.
Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan proses adaptasi tanaman asal in vitro yang
sebelumnya di tumbuhkan di dalam botol kultur dengan suplai media yang
lengkap. Aklimatisasi juga merupakan proses pengkondisian planlet atau
tunasmikro (jika pengakaran dilakukan secara ex vitro) di lingkungan baru yang
aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat
bertahan danterus menjadi benih yang siap ditanam di lapangan (Yusnita 2004).
Aklimatisasi menurut Basri (2004) adalahpenyesuaian fisiologis dan
prilaku suatu organisme sebagai reaksi terhadap suatu perubahan lingkungan atau
modifikasi sifat fenotif suatu organisme yang disebabkan lingkungan. Proses
pengadaptasian hasil kultur jaringan terhadap lingkungan luar yang lebih
ekstrim adalah bagian dari kultur jaringan yang berupa pemindahan tanaman dari
lingkungan steril (in vitro) ke lingkungan semisteril sebelum dipindahkan ke
lapangan. Perbedaan faktor-faktor lingkungan yang utama dari kondisi kultur
jaringan dan greenhouse antara lain cahaya, suhu, kelembaban relatif, di samping
hara dan media tanam. Aklimatisasi merupakan saat paling kritis dalam
perbanyakan tanaman secara kultur in vitro karena peralihan dari heterotrof ke
autotrof. Organisme heterotrof adalah organisme yang kebutuhan makanannya
memerlukan satu atau lebih senyawa karbon organik, makanannya tergantung
pada hasil sintesis organisme lain. Adapun organisme autotrof adalah organisme
yang membuat makanannya dari zat-zat anorganik.
Tahap akhir dalam kegiatan budidaya tanaman secara kultur jaringan
adalah aklimatisasi. Aklimatisasi dapat dilakukan jika planlet sudah memiliki
organ lengkap yang umumnya berumur delapan hingga dua belas bulan.
Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian terhadap iklim pada lingkungan baru
yang merupakan masalah penting dalam budidaya tanaman menggunakan bibit
dari teknik kultur jaringan. Banyak kegagalan yang terjadi pada saat proses
aklimatisasi berlangsung. Anatomi daun anggrek dari perbanyakan in vitro yang
memiliki lapisan kutikula kurang berkembang menyebabkan laju
transpirasitanaman tinggi, dan tidak adaptif terhadap kondisi in vivo. Kondisi
tersebut menyebabkan rendahnya persentase tumbuh tanaman jika proses

7

aklimatisasi tidak dilakukan dengan baik. Kegiatan aklimatisasi merupakan
kegiatan penting yang akan menentukan hasil akhir keberhasilan teknik kultur
jaringan. Kondisi non aseptik dan tidak terkontrol baik suhu, cahaya, dan
kelembaban, memaksa tanaman harus dapat hidup dalam kondisi autotrof.
Perlakuan yang tepat dan terkontrol pada planlet akan menentukan tingkat
keberhasilan saat aklimatisasi (Handini 2012). Penelitian Venturieri (2011)
menyimpulkan bahwa media cacahan pakis dan sphagnum moss merupakan
media terbaik dalam aklimatisasi Phalaenopsis amabilis.
Pada planlet hasil kultur jaringan, sistem pembuluh angkut antara pucuk
dan akar sering tidak terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan
berkurangnya transport air dan hara. Sistem perakaran yang cenderung mudah
rusak dan tidak berfungsi dengan baik akan membuat pertumbuhan tanaman pada
kondisi in vivo sangat tertekan (Zulkarnain 2009). Menurut Handini (2012)
tanaman kontrol memiliki ukuran lebar daun lebih besar dibandingkan dengan
tanaman yang diberi perlakuan paclobutrazol pada anggrek Dendrobium
lasianthera, pada tanaman kontrol penurunan persen tumbuh mulai terlihat sejak 3
MSA (Minggu setelah aklimatisasi). Planlet anggrek Dendrobium lasianthera
cenderung mengalami penurunan daya tumbuh selama delapan minggu dalam
waktu pengamatan.Persentase tumbuh planlet anggrek Dendrobium lasianthera
terus mengalami penurunan pada seluruh perlakuan dari 5 hingga 8 MSA, dan
rata-rata mencapai 78 % pada 8 MSA. Jumlah daun total anggrek Dendrobium
lasianthera pada akhir pengamatan menunjukkan bahwa tanaman kontrol
memiliki jumlah daun yang semakin menurun.
Menurut Raynalta (2013) dalam media in-vitro, bibit anggrek selalu
berada dalam keadaan kelembaban jenuh (RH=100%), pertumbuhannya
bergantung pada suplai energi dari sukrosa sehingga menyebabkan lajufotosintesis
lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang ditumbuhkan dirumah kaca
(diduga disebabkan rendahnya aktifitas ribulose bis-phosphate carboxylase
oxygenase yang merupakan enzim kunci dalam fotosintesis), suplai hara dari
media buatan, intensitas cahaya yang rendah dan pertukaran gas yang rendah.
Keadaan tersebut, sering menyebabkan planlet yang dipindahkan langsung ke
kondisi lingkungan luar tanpa penguatan (hardening) mengalami kematian.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Rumah Angle (Anggrek Lele) yang berada di
Kebun Percobaan Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Mikro
Teknik Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB,
Dramaga.
Bahan dan Alat
Anggrek Phal. amabilis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
anggrek hasil penelitian sebelumnya yang dipisahkan berdasarkan tanaman yang
diduga poliploid dan tanaman yang diduga diploid dari hasil perlakuan pemberian

8

kolkisin. Pemberian kolkisin pada penelitian sebelumnya adalah pemberian
kolkisin dengan cara disungkupkan pada bunga fertilisasi yang telah dikastrasi
(BFK) dengan lama penyungkupan 3 hari dan 5 hari dan perlakuan penyukupan
kolkisin dengan waktu 3 hari pada kuncup bunga (Bud). Bahan yang akan
digunakan adalah tanaman anggrek Phal. amabilis berumur 8 minggu setelah
aklimatisasi (MSA).
Dalam pemeliharaan rutin bahan yang diperlukan adalah vitamin B1 dan
pupuk NPK (20:20:20). Uji sitologi dalam penelitian ini memerlukan ujung akar
anggrek dalam kondisi baik dan segar, kolkisin 50 mg liter-1, HCL 1 N, asam
asetat konsentrasi 45%, orcein 45%, minyak inersi, dan alkohol 96%. Peralatan
yangakan digunakan adalah penggaris, mikro tube, sarung tangan, masker, palet
warna, pinset, pipet tetes, label, kaca penutup, kaca objek, dan mikroskop cahaya.
Metode Penelitian
Seluruh planlet anggrek hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Azmi pada tahun 2012-2015, yang sudah siap diaklimatisasi dipindahkan ke
lapang dan kemudian diaklimatisasi dengan menggunakan media spagnum moss.
Masing-masing tanaman yang diaklimatisasi ditanam di dalam satu pot plastik
bening dengan kepadatan moss yang cukup untuk menghindari media menjadi
terlalu lembab. Setiap pot tanaman diberikan kode perlakuan dan pendugaan
secara morfologi berdasarkan skrining planlet di Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura. Perlakuan tanaman yang
diamati adalah: tanaman tanpa pemberian kolkisin (Kontrol), perlakuan kolkisin 3
hari 50 ppm pada bunga yang telah difertilisasi kemudian dikastrasi (50 3H BFK),
perlakuan kolkisin 5 hari 50 ppm pada bunga yang telah difertilisasi kemudian
dikastrasi (50 5H BFK), perlakuan kolkisin 5 hari 500 ppm pada bunga yang telah
difertilisasi kemudian dikastrasi (500 5H BFK), perlakuan kolkisin 50 ppm pada
kuncup bunga (50 BUD), perlakuan kolkisin 500 ppm pada kuncup bunga
persilangan dengan bunga tanpa perlakuan kolkisin (500 BUD X), perlakuan
kolkisin 500 ppm pada kuncup bunga (500 BUD), perlakuan kolkisin 1000 ppm
pada kuncup bunga (1000 BUD), perlakuan kolkisin 1000 ppm pada kuncup
bunga persilangan dengan bunga tanpa kolkisin (1000 BUD X). Parameter yang
diamati pada tanaman meliputi panjang daun (diamamati dari daun yang paling
panjang), lebar daun (diamati pada daun yang sama), diameter tajuk daun dan
jumlah daun dalam tanaman. Uji sitologi dilakukan setelah peubah pengamatan
diamati pada setiap tanaman dalam setiap perlakuan sehingga diperoleh sejumlah
8 tanaman diploid dan 2 tanaman tetraploid pada kode perlakuan BFK, sementara
untuk perlakuan dengan kode perlakuan Bud diperoleh 15 tanaman diploid, 5
tanaman triploid dan 3 tanaman tetraploid dari 33 tanaman yang diamati jumlah
kromosomnya.
Uji kromosom dilakukan pada setiap tanaman untuk memastikan dugaan
planlet yang dipisahkan berdasarkan pengamatan morfologi sebelumnya.
Pengujian ini dilakukan pada ujung akar bibit Phal. amabilis hasil aklimatisasi,
dengan kriteria akar yang baik yakni akar yang bewarna hijau dengan ujung akar
keunguan untuk dijadikan sampel uji sitologi. Hasil uji kromosom yang telah
difoto kemudian dikontraskan dengan menggunakan photoshop sehingga dapat
terlihat cukup jelas untuk kemudian dihitung, dipastikan apakah sample tersebut

9

merupakan tanaman atau tidak, dengan menggunakan acuan jumlah kromosom
anggrek Phal. amabilis diploid ialah 38 kromosom. Metode uji sitologi yang
dilakukan adalah menggunakan metode Giesbarch (1981) yang dimodifikasi oleh
Azmi (2015). Uji sitologi dilakukan dengan merendam ujung akar anggrek dalam
larutan kolkisin 50 ppm selama 5 jam, kemudian ujung akar tersebut direndam di
dalam larutan asam asetat konsentrasi 45% selama kurang lebih 24 jam dan
direndam kembali dalam HCL 1 N selama kurang lebih 2 jam, kemudian
direndam dalam pewarna orcein konsentrasi 45% selama 2-2.5 jam sehingga
ujung akar tersebut dapat digunakan sebagai preparat yang akan diamati
menggunakan mikroskop cahaya dan dapat dilakukan penghitungan kromosom.
Prosedur Analisis Data
Parameter pengamatan berupa jumlah daun yang muncul, panjang daun
yang dihitung terhadap daun tanaman yang paling panjang, lebar daun pada
tanaman yang sama, serta lebarnya diameter tajuk terlebar pada tanaman yakni
jarak yang diukur dari ujung daun terpanjang ke ujung daun lainnya. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel menggunakan standard error
dilakukan pada 3 level ploidi yaitu: diploid, triploid dan tetraploid. Pengujian
mengunakan standard error dilakukan tanpa memperhatikan perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Terdapat sejumlah tanaman dengan perlakuan kolkisin yang mengalami
kematian di lapang sehingga diperoleh tanaman yang tetap bertahan hidup
sebanyak 33 tanaman untuk diamati pertumbuhannya pada 8 minggu setelah
aklimatisasi (8 MSA). Menurut Handayati (2013) iradiasi dalam penggandaan
kromosom cenderung menurunkan persentase tanaman hidup. Hasil pengamatan
pada tanaman anggrek tahap aklimatisasi yang telah diperlakukan kolkisin
sebelumnya menghasilkan jumlah kromosom yang sama dengan awalnya (2n),
triploid (3n), maupun tetraploid (4n). Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan
2, gambar setiap sel tanaman yang telah diuji sitologi dan dikelompokan
berdasarkan perlakuan kolkisin dapat dilihat pada lampiran.

10

Tabel 1 Jumlah tanaman sesuai dengan level ploidi perlakuan bunga yang telah
difertilisasi kemudian dikastrasi pada masing-masing perlakuan setelah
Kode
Diploid
Perlakuan
BFK-50-3H
3
BFK-50-5H
1
BFK-500-5H
4
Jumlah
8
Persentase
80
(%)

Jumlah Tanaman
Triploid Tetraploid
-

2
2
20

Jumlah total
tanaman diuji
3
1
6
10

Keterangan: BFK adalah tanaman dengan perlakuan kolkisin pada bunga yang telah difertilisasi
kemudian dikastrasi pada lama penyungkupan 5 hari (5 H) dan 3 hari (3H).

Tabel 2 Jumlah tanaman sesuai dengan level ploidi perlakuan pada kuncup bunga
dalam masing-masing perlakuan setelah uji sitologi
Jumlah Tanaman
Kode Perlakuan
Bud-501)
Bud-5001)
Bud-10001)
Bud-500-X2)
Bud-1000-X2)
Jumlah
Persentase (%)

Diploid
2
4
2
5
2
15
68.18

Triploid
4
1
5
22.73

Tetraploid
2
1
3
13.64

Jumlah total
tanaman diuji
2
6
3
9
3
23

Keterangan: Bud adalah tanaman dengan perlakuan kolkisin pada kuncup bunga; 1)penyerbukan
putik dan benang sari yang diberi perlakuan kolkisin pada tanaman yang sama; 2)
penyerbukan dilakukan antara tanaman tanpa perlakuan kolkisin dengantanaman
dengan perlakuan kolkisin.

Berdasarkan Tabel 1 dan 2 dapat diperoleh dua gambar yang menunjukkan
perbandingan antara level ploidi yang berbeda dalam berbagai perlakuan kolkisin.
Gambar menunjukkan perbedaan hasil yang tidak nyata antara tanaman diploid
dengan tanaman tetraploid dan triploid (Gambar 1).
Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa perbedaan perlakuan kolkisin
pada tanaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap morfologi
pertumbuhan fase vegetatif, (Gambar 1). Avery et al. (1947) menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada tanaman akibat pemberian kolkisin bisa bervariasi.
Sebagian tanaman mengalami mutasi pada hampir seluruh bagian tanaman mulai
titik tumbuh hingga organ generatif, namun sebagian lainnya hanya mengalami
mutasi pada beberapa organ saja, sehingga kolkisin yang diberikan kepada setiap
individu tanaman tidak mempengaruhi semua sel tanaman, tetapi hanya sebagian
sel-sel saja. Adanya pengaruh yang berbeda pada sel-sel tanaman karena kolkisin
hanya efektif pada sel yang sedang aktif membelah.

11

Data yang diolah adalah data rata-rata dari tanaman yang disesuaikan setelah
dilakukan uji sitologi, sehingga diperoleh rataan dari masing-masing perlakuan
yang telah diketahui level poliploidinya, yakni level diploid (Tabel 3), triploid
(Tabel 4) dan tetraploid (Tabel 5). Jumlah daun pada tanaman diploid lebih
rendah sebesar 7.70% dibandingkan jumlah daun pada tanaman triploid, panjang
daun tanaman diploid lebih rendah 28.34% dibandingkan tanaman triploid dan
0.17% lebih tinggi dibandingkan tanaman tetraploid, sedangkan untuk lebar daun
tanaman diploid 17.92% lebih rendah dibandingkan tanaman triploid dan lebih
tinggi 13.96% dibandingkan tanaman tetraploid, sementara diameter daun pada
tanaman diploid 37.45% lebih rendah dibandingkan tanaman triploid dan 0.09%
lebih tinggi dibandingkan tanaman tetraploid (Gambar 1).
Tabel 3 Pengaruh perlakuan kolkisin pada anggrek Phal. amabilis yang
teridentifikasi diploid bulan ke-enam setelah aklimatisasi.
Perlakuan
BFK 50 3H
BFK 50 5H
BFK 500 5H
BUD 501)
BUD 5001)
BUD 10001)
BUD 500 X2)
BUD 1000 X2)
Rata-rata

Jumlah
Daun
5.67
3.00
4.50
5.00
2.50
2.00
4.00
4.00
3.83

Panjang Daun
7.00
5.00
5.95
7.00
5.80
2.50
7.06
7.65
5.99

Lebar
Daun
2.63
4.00
2.30
2.80
2.20
1.60
2.60
3.05
2.65

Diameter Tanaman
12.40
12.00
11.95
13.50
10.47
2.95
11.64
15.00
11.24

Keterangan: BFK adalah tanaman dengan perlakuan kolkisin pada bunga yang telah difertilisasi
kemudian dikastrasi pada lama penyungkupan 5 hari (5 H) dan 3 hari (3H); Bud
adalah tanaman dengan perlakuan kolkisin pada kuncup bunga; 1)selfing;
2)
penyerbukan dilakukan antara tanaman tanpa perlakuan kolkisin dengan tanaman
dengan perlakuan kolkisin.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan kolkisin pada anggrek Phal. amabilis yang
teridentifikasi triploid bulan ke-enam setelah aklimatisasi.
Perlakuan
BUD 500 X
BUD 1000 X
Rata-rata

Jumlah
Daun
3.75
4.50
4.125

Panjang Daun
7.57
9.15
8.36

Lebar
Daun
3.00
3.25
3.125

Diameter
Tanaman
13.65
17.25
15.45

Keterangan: Bud X adalah tanaman dengan perlakuan kolkisin pada kuncup bunga yang
penyerbukannya dilakukan antara tanaman tanpa perlakuan kolkisin dengan tanaman
dengan perlakuan kolkisin

BFK 500 5H
BUD 500
BUD 1000
BUD 500 X

diameter daun

lebar daun

panjang daun

jumlah daun

diameter daun

lebar daun

panjang daun

jumlah daun

diameter daun

lebar daun

panjang daun

jumlah daun

diameter daun

lebar daun

panjang daun

jumlah daun

diameter daun

lebar daun

panjang daun

jumlah daun

12

Rata-rata

12

25

20

15

10
diploid

5
tetraploid

triploid

0

BUD 1000 X

Perlakuan Kolkisin

Gambar 1 Perbandingan parameter pada bulan ke-enam berdasarkan perbedaan level ploidi (diploid-tetraploid-triploid)

13

Tabel 5 Pengaruh perlakuan kolkisin pada anggrek Phal. amabilis yang
teridentifikasi tetraploid bulan ke-enam setelah aklimatisasi.
Panjang
Lebar
Diameter
Perlakuan
Jumlah Daun
Daun
Daun
Tanaman
BFK 500 5H
4.0
6.35
2.25
12.25
1)
BUD 500
3.5
5.60
2.60
10.45
1)
BUD 1000
4.0
6.00
2.00
11.00
Rata-rata
3.83
5.98
2.28
11.23
Keterangan: BFK adalah tanaman dengan perlakuan kolkisin pada bunga yang telah difertilisasi
kemudian dikastrasi pada lama penyungkupan 5 hari (5 H) dan 3 hari (3H); 1) Bud
adalah tanaman dengan perlakuan kolkisin pada kuncup bunga denganpenyerbukan
selfing.

Kromosom yang terdapat didalam sel tidak pernah sama ukurannya.
Umumnya makhluk hidup dengan jumlah kromosom sedikit, memiliki ukuran
kromosom lebih besar daripada makhluk hidup yang jumlah kromosomnya
banyak.Pada umulebih besar daripada hewan.Tingkat ploidi yang lebih tinggi
dapat berakibatmenurunnya floriferousness, yaitu tanaman menghasilkan sedikit
bunga (Soetopo 2009). Perbedaan jumlah kromosom Phal.amabilis pada sel
diploid, triploid dan tetraploid dapat dilihat pada Gambar 2.
A

B

C

Gambar 2 Perbandingan sel dengan level ploidi, yaitu: (A) diploid, (B) triploid
dan (C) tetraploid.
Penghitungan kromosom dalam sel tidak selalu sesuai pada acuan
kromosom anggrek Phal. amabilis diploid (38 kromosom). Hasil penghitungan
kromosom sel diploid yang diperoleh dapat lebih dari 38 dan dapat kurang dari 38,
akan tetapi hasil yang tidak begitu berbeda jauh ± 5 dapat dianggap bahwa sel
tersebut masih dalam level ploidi diploid. Beberapa hasil penghitungan kromosom
pada tahap uji sitologi dengan level ploidi diploid dapat dilihat pada Gambar 3.

14

A

C
A

B
A

D
C

Gambar 3 Sel anggrek Phal. amabilis diploid yang diperoleh berdasarkan hasil uji
sitologi, yaitu: (A) 42 kromosom, (B) 34 kromosom, (C) 37 kromosom
dan (D) 42 kromosom
Hasil penghitungan kromosom sel triploid dari uji sitologi yang diperoleh
juga dapat melebihi 57 kromosom dan dapat kurang dari 57, akan tetapi hasil yang
tidak begitu berbeda jauh ± 5 dapat dianggap bahwa sel tersebut masih dalam
level ploidi triploid. Beberapa hasil penghitungan kromosom pada tahap uji
sitologi dengan level ploidi triploid dapat dilihat pada Gambar 4.
A

B
A

C
A

D
A

Gambar 4 Sel anggrek Phal. amabilis triploid yang diperoleh berdasarkan hasil uji
sitologi, yaitu: (A) 55 kromosom, (B) 56 kromosom, (C) 58 kromosom
dan (D) 56 kromosom
Hasil penghitungan kromosom sel tetraploid dari uji sitologi yang
diperoleh juga dapat melebihi 76 kromosom dan dapat kurang dari 76, akan tetapi
hasil yang tidak begitu berbeda jauh ± 5 dapat dianggap bahwa sel tersebut masih

15

dalam level ploidi tetraploid. Beberapa hasil penghitungan kromosom pada tahap
uji sitologi dengan level ploidi triploid dapat dilihat pada Gambar 5.
A

B

C

D

Gambar 5 Sel anggrek Phal. amabilis tetraploid yang diperoleh berdasarkan hasil
uji sitologi, yaitu: (A) 72 kromosom, (B) 78 kromosom, (C) 77
kromosom dan (D) 77 kromosom.
Pembahasan
Tanaman diploid dan poliploid tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan pada fase vegetatif yang diamati saat aklimatisasi.Secara umum, hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi kolkisin tidak berpengaruh
nyata terhadap panjang dan lebar daun tanaman, diameter, maupun jumlah daun
pada tanaman anggek yang diamati. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rahayu (2014) pada pemberian kolkisin terhadap tanaman
sedap malam, hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi tingkat konsentrasi
dan lama perendaman kolkisin tidak berpengaruh terhadap panjang tanaman sedap
malam. Wiendra et al. (2011) menemukan bahwa perlakuan perendaman kolkisin
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada tinggi tanaman pacar air yang
berumur satu bulan setelah tanam. Hal ini sejalan dengan hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini, yang menunjukkan bahwa hasil tidak berbeda nyata antara
masing-masing perbedaan dosis pemberian kolkisin walaupun pengamatan
dilakukan bukan pada variabel tinggi tanaman. Hal tersebut juga sejalan dengan
hasil penelitian Anggraito (2004) yang menyatakan bahwa waktu perendaman
yang lebih lama pada konsentrasi tinggi tidak selalu meningkatkan diameter pada
suatu tanaman. Terlihat dari 33 tanaman yang telah diuji sitologi bahwa jumlah
tanaman diploid lebih mendominasi, namun pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa
terdapat perbedaan yang nyata antara parameter jumlah daun, panjang daun, lebar
daun dan diameter daun dalam perlakuan kolkisin Bud 1000. Pada tahap
aklimatisasi ini tidak terdapat hasil yang nyata diduga karena masih dalam fase
vegetatif awal, sehingga pertumbuhan belum maksimal. Banyak kegagalan yang
terjadi pada saat proses aklimatisasi berlangsung. Menurut Handini (2012)
anatomi daun anggrek dari perbanyakan in vitro yang memiliki lapisan kutikula

16

kurang berkembang menyebabkan laju transpirasi tanaman tinggi, dan tidak
adaptif terhadap kondisi in vivo. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya
persentase tumbuh tanaman jika proses aklimatisasi tidak dilakukan dengan baik.
Kegiatan aklimatisasi merupakan kegiatan penting yang akan menentukan hasil
akhir keberhasilan teknik kultur jaringan. Kondisi non aseptik dan tidak terkontrol
baik suhu, cahaya, dan kelembaban, memaksa tanaman harus dapat hidup dalam
kondisi autotrof. Perlakuan yang tepat dan terkontrol pada planlet akan
menentukan tingkat keberhasilan saat aklimatisasi.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana,
menurut Rosdiana (2010) tanaman dengan tingkat penambahan zat pengatur
tumbuh yang tinggi dapat menggandakan set kromosom, hal tersebut dapat
membuat tanaman tersebut menjadi tanaman dengan pertumbuhan yang lebih baik
dan dapat pula menyebabkan pertumbuhannya terhambat. Tanaman yang
mengalami penggandaan kromosom akibat suatu zat asing yang ditambahkan,
dalam hal ini kolkisin akan dapat menghambat pertumbuhannya atau membuat
pertumbuhan menjadi kurang stabil akibat gen-gen yang rentan terhadap suatu
penyakit pun juga turut meningkat dengan menggandanya kromosom pada sel.
Hasil yang diperoleh dari uji sitologi menunjukkan bahwa kolkisin yang
diberikan pada kuncup bunga (Bud) lebih banyak memberikan hasil tanaman
tetraploid dan triploid dibandingkan kolkisin yang diberikan pada bunga fertilisasi
kastrasi (BFK). Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 bahwa perlakuan
kolkisin pada BFK hanya memberikan hasil 2 tanaman tetraploid, sedangkan
perlakuan kolkisin pada kuncup bunga (Bud) memberikan hasil 3 tanaman
tetraploid dan 5 tanaman triploid. Menurut Rai (2006) bunga manggis yang masih
dalam keadaan kuncup merupakan fase yang sangat penting pada tahap induksi
bunga dan akan sangat mempengaruhi biji bunga yang akan dihasilkan. Bernier et
al.(1985) menyatakan bahwa keberhasilan proses pembungaan dimulai setelah
terjadi induksi bunga, diikuti proses diferensiasi, pendewasaan organ-organ bunga,
antesis dan polinasi. Chaicharoen (1981) menemukan bahwa anggrek
Dendrobium tetraploid menghasilkan abnormalitas pembelahan ketika proses
mikrosporogenesis, selain itu pertumbuhan tabung polen juga lebih lambat dan
pendek dibandingkan diploidnya dengan persentase keberhasilan induksi
poliploidi sekitar 50 % tetraploid, dengan konsentrasi kolkisin masing-masing 50
dan 500 mg L-1. Nakasone (1960) memperoleh hasil penelitian perlakuan kolkisin
pada spike Vanda Miss Joaquin dan tidak diperoleh individu poliploid.
Tanaman anggrek merupakan tanaman tahunan yang memiliki pertumbuhan
lambat. Hal tersebut berpengaruh dalam uji sitologi yang dilakukan pada
pengambilan sampel ujung akar anggrek. Selama proses pengamatan kromosom
kendala yang dialami diantaranya adalah lambatnya kemunculan akar baru dalam
kondisi baik pada anggrek, menurunnya presentase anggrek yang bertahan hidup
dan tidak semua sample untuk uji sitologi dapat diamati dengan jelas jumlah
kromosomnya. Penurunan persentase tumbuh diduga karena suhu di dalam
greenhouse yang cukup tinggi dikarenakan musim kemarau yang berkepanjangan.
Tingginya suhu pada musim kemarau menyebabkan tanaman anggrek Phal.
amabilis pertumbuhannya tidak optimum. Menurut Iswanto (2010) ciri-ciri akar
anggrek yang sehat adalah akar anggrek yang memiliki struktur akar keras (tidak
lembek), berwarna hijau dengan ujung akar berwarna ungu atau hijau

17

kekuningan, hingga berwarna hijau cerah. Uji sitologi dilakukan pada sampel
bagian tanamanyang selnya aktif membelah, yakni tunas apikal dan ujung akar.
Pada tanaman anggrek Phal. amabilis ini uji sitologi dilakukan pada ujung akar
tanaman, akar yang diperlukan untuk bahan uji sitologi adalah akar dengan
struktur akar yang keras dan memiliki warna ujung akar ungu atau hijau muda,
sedangkan pada kondisi di lapang tidak jarang ditemui hanya terdapat satu atau
dua akar pada satu tanaman dengan kondisi akar berwarna hijau tua bahkan
berwarna putih pucat pada ujungnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tidak terdapat perbedaan hasil yang nyata secara morfologi pada fase
vegetatif antar setiap perlakuan maupun terhadap control untuk aklimatisasi Phal.
amabilis hasil perlakuan kolkisin. Uji sitologi menghasilkan 8 tanaman dari bunga
kastrasi hasil selfing memiliki level ploidi diploid, dan 2 tanaman dengan level
tetraploid. Perlakuan kolkisin pada kuncup bunga diperoleh 15 tanaman diploid, 5
tanaman triploid, dan 3 tanaman tetraploid.
Saran
Percobaan sebaiknya dilanjutkan sampai ke fase generatif tanaman
sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh perlakuan kolkisin pada tahapantahapan pertumbuhan tanaman anggrek Phal.amabilis selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraito U. 2004. Indentifikasi berat, diameter, dan tebal daging buah melon
(Cucumis melo, L.) kultivar action 434 tetraploid akibat perlakuan
kolkisin. BPH. 10(1):37-42.
Arditti J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. New York (US). J Wiley.
Avery GS Jr, Johnson EB. 1947. Hormones and horticulture. London (UK): Mc
Graw-Hill Book Co. Inc.
Azmi TKK. 2015. Induksi Poliploidi Anggrek Bulan (Phalaenopsis sp.)
menggunakan Kolkisin pada Organ Generatif dan Protocorm [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Basri Z. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Palu (ID): Tadulako Press, Universitas
Tadulako Palu. 182hl.
Bernier GB, Kinet JM, Sach RM. 1985.The Physiology of Flowering: Transition
to Reproductive Growth. Vol II. Florida: CRC Pr.
Chaicharoen S, Saejew K. 1981. Autopolyploidy in Dendrobium phalaenopsis. J
Sci Soc. 7:25-32

18

Crowder LV. 1997. Genetika Tumbuhan. Lilik Kusdiarti, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plants Genetics.
499 p.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2015. Produksi anggrek menurut provinsi
2010-2014. [Internet]. [diunduh 2015 Okt 07]. Tersedia pada:
http://www.pertanian.go.id/ATAP2014-HORTI-pdf/215-ProdAnggrek.pdf.
Dinarti D, Agus P, Anas DS. 2007. Optimalisasi daya regenerasi dan multiplikasi
tunas in vitro bawang merah untuk mendukung pen