Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan Selama Tahap Aklimatisasi

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN
POPULASI PLANLET ANGGREK PHALAENOPSIS HASIL
PERSILANGAN SELAMA TAHAP AKLIMATISASI

TYA WULANDARI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakterisasi
Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek Phalaenopsis Hasil
Persilangan Selama Tahap Aklimatisasi adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Tya Wulandari
NIM A24100141

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
TYA WULANDARI. Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet
Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan Selama Tahap Aklimatisasi. Dibimbing
oleh DEWI SUKMA.
Penelitian dilaksanakan di Rumah Anggrek, KP. Leuwikopo, Bogor pada
bulan Desember 2013 hingga Mei 2014. Penelitian ini dilakukan untuk
mempelajari karakterisasi morfologi dan pengaruh pemberian beberapa jenis
pupuk daun terhadap pertumbuhan planlet anggrek Phalaenopsis hasil
persilangan. Penelitian terdiri atas 2 percobaan, yaitu karakterisasi morfologi dan
pertumbuhan populasi planlet anggrek. Karakterisasi morfologi dilakukan
berdasarkan panduan karakterisasi anggrek Phalaenopsis (Balithi 2007). Data

karakter morfologi diolah menggunakan program NTSYSpc versi 2.02 yang akan
disajikan ke dalam bentuk dendogram. Percobaan pertumbuhan populasi
menggunakan rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri atas 2 perlakuan,
yaitu populasi dan pupuk daun. Data pertumbuhan dianalisis sidik ragam dan uji
lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test). Hasil analisis data pada
percobaan karakterisasi morfologi menunjukkan bahwa individu dalam setiap
populasi memiliki koefisien kemiripan yang tinggi, yaitu pada populasi P4 (76100%), D015 (59-100%), D022 (78-100%), TSW-1103 (63-100%), dan A001
(80-100%). Tingkat kemiripan yang tinggi menunjukkan bahwa individu-individu
dalam populasi tersebut relatif seragam untuk karakter-karakter yang diamati.
Percobaan ke-2 menunjukkan bahwa Perlakuan pupuk organik Supertonik 3 ml l-1
dan kombinasi pupuk organik Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm meningkatkan
jumlah daun pada populasi TSW-1111 (Phal. ‘Timothy Christopher’ x Phal.
‘Leopard Prince’) sebesar 4.60 helai saat 12 MSP. Perlakuan empat jenis
komposisi pupuk daun memberikan jumlah daun yang sama pada populasi TSW1107 (Phal. ‘Taipei Gold’ x Phal. venosa) dan populasi TSW-1113 (Phal. Shin
Spotted deer siblings cross).
Kata kunci: aklimatisasi, karakterisasi morfologi, kemiripan, pertumbuhan planlet,
pupuk daun

ABSTRACT
TYA WULANDARI. Morphological Characterization and Population Growth of

Phalaenopsis Orchid Plantlets Crosses Results During Phase Acclimatization.
Supervised by DEWI SUKMA.
This research was conducted at the Orchids House, KP. Leuwikopo, Bogor
from December 2013 until May 2014. This research was conducted to study the
morphological character and the effect of leaf fertilizer on growth of hybrid
population of Phalaenopsis plantlets. This research consisted of 2 experiments,
the first one was morphological characterization and the second was population
growth of orchid plantlets. Morphological characterization was conducted
according to Balithi guidance for Phalaenopsis characteristic (Balithi 2007). The
morphological data was analysed by using NTSYSpc 2.02 version the results were
be presented in dendogram. The population growth use a Completely Randomized
Factorial Design consisting of two treatments, namely population and leaf
fertilizers. The data was analyzed by variance analysis and further testing by
DMRT (Duncan Multiple Range Test). The results of data analysis in
morphological characterization showed that individuals in the each population has
a high of similarity coefficient, which is in population P4 (76-100%), D015 (59100%), D022 (78-100%), TSW-1103 (63-100%), and A001 (80-100%). High
level of similarity indicates that individuals in the population is relatively uniform
for the characters observed. The second experiment showed that fertilizer
treatment Supertonik 3 ml l-1 and a combination of fertilizer Supertonik 3 ml l-1 +
3 ppm chitosan increase the number of leaves in the population TSW-1111 (Phal.

‘Timothy Christopher’ x Phal. ‘Leopard Prince’) of 4.60 leaves at 12 weeks after
treatment (WAT). Treatment of four types foliar fertilizer composition gives the
same number of leaves in the population TSW-1107 (Phal. ‘Taipei Gold’ x Phal.
venosa) and populasi TSW-1113 (Phal. Shin Spotted deer siblings cross).
Key words: acclimatization, morphological characterization, similarity, growth of
planlet, foliar fertilizer

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN
POPULASI PLANLET ANGGREK PHALAENOPSIS HASIL
PERSILANGAN SELAMA TAHAP AKLIMATISASI

TYA WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet
Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan Selama Tahap
Aklimatisasi
Nama
: Tya Wulandari
NIM
: A24100141

Disetujui oleh

Dr Dewi Sukma, SP MSi
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berjudul “Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek
Phalaenopsis Hasil Persilangan” yang dilaksanakan selama lima bulan, yaitu
sejak bulan Desember 2013 hingga Mei 2014 di screen house Rumah Anggrek,
Kebun Percobaan Leuwikopo, Dramaga, Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan
materil serta doa yang tulus kepada penulis;
2. Dr Dewi Sukma, SP MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi;
3. Dr Ir Eko Sulistiyono, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas arahan
dan masukan selama penulis melaksanakan studi;

4. Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS selaku dosen penguji utama dan Anggi
Nindita, SP MSi selaku dosen penguji wakil urusan program studi atas
masukan, motivasi, dan revisi yang diberikan terhadap skripsi saya;
5. Rekan-rekan Agronomi 47 (Edelweiss), khususnya Erna Siaga, Fitri
Gumayanti, Alvianti Yaufa, Naning Emilia, Amanda Sari, Martika Andhini,
Fitri Herdiyanti, Ita Aprilia, dan Lidia Aminarni yang selalu memberikan
dukungan dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian;
6. Seluruh dosen dan karyawan Departemen Agronomi dan Hortikultura yang
telah memberikan bantuannya;
7. Seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan secara
langsung ataupun tidak langsung selama pelaksanaan studi, penelitian, dan
penyusunan skripsi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, khususnya bagi mahasiswa atau sivitas
akademika Institut Pertanian Bogor dan semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2014
Tya Wulandari

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
11
Latar Belakang
11
Tujuan
3
Hipotesis
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Botani Anggrek Phalaenopsis
3
Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan
4

Syarat Tumbuh Anggrek Phalaenopsis
4
Pemupukan
5
Aklimatisasi
5
Chitosan
6
METODE PENELITIAN
6
Tempat dan Waktu
6
Bahan dan Alat
6
Metode Pelaksanaan
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Kondisi Umum Penelitian
9

Percobaan 1. Karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis
hasil persilangan
10
Percobaan 2. Respon pertumbuhan populasi planlet anggrek Phalaenopsis
hasil persilangan pada berbagai perlakuan pupuk daun
15
Jumlah Daun
15
Panjang Daun
17
Lebar Daun
18
Jumlah Akar
19
Panjang Akar
20
Persentase Tumbuh
21
SIMPULAN DAN SARAN
25

Simpulan
25
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
35

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata jumlah daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap
aklimatisasi
2 Interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun planlet anggrek
Phalaenopsis pada umur 12 MSP
3 Rata-rata panjang daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap
aklimatisasi
4 Rata-rata lebar daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap
aklimatisasi
5 Rata-rata jumlah akar planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap
aklimatisasi
6 Rata-rata panjang akar planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap
aklimatisasi
7 Rata-rata persentase tumbuh planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap
aklimatisasi
8 Karakter kualitatif populasi TSW-1107
9 Karakter kualitatif populasi TSW-1111
10 Karakter kualitatif populasi TSW-1113

16
16
17
18
19
20
21
22
23
23

DAFTAR GAMBAR
1 Tetua-tetua populasi pada percobaan 1
2 Tetua-tetua populasi pada percobaan 2
3 Penampilan visual planlet yang terkena penyakit busuk basah Erwinia sp.
(a), daun kering akibat sun burn (b), dan keracunan pupuk (c)
4 Dendogram kemiripan individu dalam populasi P4 saat 12 MSP
5 Dendogram kemiripan individu dalam populasi D015 saat 12 MSP
6 Dendogram kemiripan individu dalam populasi D022 saat 12 MSP
7 Dendogram kemiripan individu dalam populasi TSW-1103 saat 12 MSP
8 Dendogram kemiripan individu dalam populasi A001 saat 12 MSP
9 Keragaan beberapa populasi saat 16 MSP, P4 lanset-ungu (a), D015 bulathijau (b), TSW-1103 bulat-ungu (c), dan P4 lanset-hijau (d)
10 Kondisi planlet tiap perlakuan pupuk; Supertonik 3 ml l-1 (a),
Pertumbuhan 1.25 g l-1 (b), Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm (c), dan
Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm (d)
11 Kondisi planlet saat 8 MSP
12 Kondisi planlet saat 16 MSP
13 Keragaan visual 3 populasi hasil persilangan, TSW-1107 (a), TSW-1111
(b), dan TSW-1113 (c)

7
9
10
10
11
12
13
14
15

22
24
24
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Keragaan visual individu-individu pada populasi P4
Keragaan visual individu-individu pada populasi D015
Keragaan visual individu-individu pada populasi D022
Keragaan visual individu-individu pada populasi TSW-1103
Keragaan visual individu-individu pada populasi A001
Nilai rata-rata karakter kuantitatif populasi pada percobaan 1 karakterisasi
morfologi
7 Hasil sidik ragam jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah akar,
panjang akar, dan persentase tumbuh planlet pada percobaan 2 respon
pertumbuhan

29
29
30
30
31
31

32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anggrek merupakan salah satu komoditas tanaman hias yang banyak
diminati oleh berbagai kalangan di Indonesia. Komoditas ini merupakan salah satu
kekayaan hayati yang sangat potensial untuk dikembangkan pemasarannya dalam
sub sektor bisnis hortikultura. Lebih dari 5 000 spesies dari famili ini dapat
ditemukan di Indonesia. Phalaenopsis atau yang lebih dikenal sebagai anggrek
bulan adalah salah satu tanaman anggrek yang banyak diminati karena keindahan
bentuk dan warna bunganya. Menurut Muhit (2010), terdapat peningkatan luas
panen, produksi, dan produktivitas anggrek di Indonesia. Meskipun demikian,
industri anggrek di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain
seperti Thailand, Taiwan, Singapura, dan Australia.
Dibandingkan dengan produktivitas anggrek dari negara tetangga, seperti
Thailand dengan rata-rata 10-12 tangkai per tanaman, produktivitas anggrek
Indonesia secara nasional rata-rata sangat kecil, yaitu hanya dapat mencapai 3-4
tangkai per tanaman (Direktorat Tanaman Hias 2004). Produksi anggrek di
Indonesia pada tahun 2013 sebesar 20 277 672 tangkai dengan luasan panen 1 336
677 m2 dan produktivitas rata-rata 10.23 tangkai/m2 (Badan Pusat Statistik 2014).
Thailand mengekspor anggreknya untuk mengisi kebutuhan konsumsi negaranegara Eropa seperti Italia sebesar 51%, Belanda 47%, Inggris 18%, dan Jerman
12% (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2005).
Indonesia mengekspor anggrek dalam tiga macam bentuk, yaitu benih, tanaman,
dan bunga potong. Nilai ekspor anggrek pada bulan November 2013 adalah US$
49.42 ribu atau senilai volume ekspor sebesar 4.07 ton, sedangkan pada Desember
2013 menurun menjadi US$ 34.86 ribu atau senilai dengan 3.62 ton (Respati et al.
2014).
Tahun 2009, kontribusi tanaman hias terhadap nilai Produk Domestik Bruto
(PDB) hortikultura berada diurutan ke-3 setelah komoditas buah-buahan dan
sayuran, sebesar Rp 6.732 miliyar atau 7.63% (Direktorat Jenderal Hortikultura
2010). Permintaan anggrek luar negeri sampai tahun 2002 mencapai 2.72 ribu ton
senilai US$ 1.76 juta dan diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya (Suryana
et al. 2007). Banyaknya permintaan pasar terhadap anggrek Phalaenopsis tidak
diimbangi dengan ketersediaan bibit yang memadai. Hal ini dapat diatasi melalui
suatu metode terbaik hingga saat ini dalam melestarikan dan memperbanyak
anggrek, yaitu melalui metode kultur jaringan (Balai Pengkajian dan Penerapan
Teknologi 2008).
Pemuliaan tanaman melalui persilangan merupakan salah satu usaha untuk
mendapatkan calon-calon hibrida baru pada anggrek Phalaenopsis. Tanaman hasil
persilangan perlu dikarakterisasi untuk mengetahui tingkat kemiripan individu
dalam populasi persilangan. Karakterisasi merupakan gambaran umum tentang
karakter suatu aksesi yang meliputi karakter fenotipe dan genotipe (Balai
Penelitian Tanaman Hias 2007a). Populasi planlet hasil persilangan antara varietas
hibrida kemungkinan memiliki karakter morfologi dan kecepatan pertumbuhan
yang berbeda-beda. Karakterisasi morfologi diperlukan untuk melihat keragaman

2
morfologi planlet dalam populasi. Respon pertumbuhan planlet dalam suatu
populasi belum tentu sama dengan populasi yang lainnya. Respon fenotipe
tanaman merupakan interaksi antara genotipe dengan lingkungan (Syukur et al.
2012).
Perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan (in vitro) merupakan peluang
untuk mengatasi kebutuhan bibit dalam jumlah besar, serentak, bebas penyakit,
serta bibit yang seragam dalam waktu relatif singkat. Menurut Sarwono (2002),
tanaman yang diperbanyak melalui kultur jaringan dapat diperoleh ribuan bibit
anggrek dari tanaman tunggal dalam waktu relatif singkat melalui salah satu
jaringan meristem dapat berupa ujung tunas, tunas samping, ujung batang, ujung
daun, ataupun tunas apikal. Dalam perbanyakan tanaman secara in vitro,
aklimatisasi merupakan salah satu tahapan yang paling menentukan keberhasilan
tumbuh planlet di lingkungan ex vitro (Arditi 1997).
Aklimatisasi adalah proses adaptasi suatu organisme terhadap perubahan
dari lingkungan heterotrof ke lingkungan autotrof (Kartikasari 2009). Planlet yang
tumbuh dalam kondisi in vitro memiliki karakteristik stomata daun yang lebih
terbuka dan tidak memiliki lapisan lilin pada permukaan daun sehingga planlet
sangat rentan terhadap kelembaban rendah. Hal ini menjadikan proses aklimatisasi
menjadi salah satu proses yang penting untuk dilakukan sebelum anggrek tersebut
di tanam di lapangan (Mariska dan Sukmadjaja 2003). Tahapan ini dilakukan agar
tanaman yang sebelumnya ditumbuhkan dalam botol kultur dengan suplai media
lengkap tetap dapat bertahan hidup secara mandiri dan berfotosintesis pada
kondisi lingkungan eksternal (Yosepa et al. 2012).
Media tanaman merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan
aklimatisasi. Media yang umum digunakan untuk aklimatisasi anggrek
Phalaenopsis adalah spaghnum moss. Spaghnum moss merupakan jenis lumutlumutan yang memiliki sistem drainase yang baik sehingga dapat dijadikan
sebagai media tanam untuk pertumbuhan planlet anggrek Phalaenopsis (Suryati
2007). Media ini mempunyai banyak rongga, dengan adanya rongga ini
memungkinkan akar tanaman tumbuh dan berkembang dengan leluasa.
Selain media tanam, salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam
tahap aklimatisasi adalah pemupukan. Pertumbuhan anggrek Phalaenopsis dalam
pot biasanya dirangsang melalui pemupukan lewat daun. Menurut Iswanto (2001),
daun mampu menyerap pupuk sekitar 90%, sedangkan akar hanya mampu
menyerap pupuk sekitar 10%. Pemupukan yang dilakukan lewat daun akan
memudahkan distribusi kandungan unsur hara ke jaringan tubuh tanaman melalui
pembuluh daun atau kutikula.
Pemberian pupuk pada tanaman anggrek mengutamakan tiga unsur hara
yang diperlukan, yaitu unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Unsur N
berpengaruh dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif, unsur P berpengaruh
untuk merangsang pertumbuhan generatif, inisiasi akar, dan pendewasaan
tanaman, sedangkan u n s u r K berfungsi sebagai katalisator (Ginting et al.
2001). Pemberian pupuk harus dilakukan dengan tepat agar kebutuhan tanaman
anggrek dapat tersedia tanpa mengakibatkan kerugian akibat penggunaan pupuk
yang berlebih.
Dalam bidang pertanian, chitosan menawarkan alternatif alami dalam
penggunaan bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
Chitosan membuat mekanisme pertahanan pada tumbuhan, menstimulasi

3
pertumbuhan, dan merangsang enzim tertentu. Pengontrol organik baru ini
menawarkan pendekatan sebagai alat biokontrol. Pada buah dan sayuran, chitosan
mampu mengurangi kehilangan akibat transpirasi dan menunda pemasakan (Zhao
2005).

Tujuan
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan 1 merupakan
karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan.
Tujuan percobaan 1 adalah mengamati tingkat kemiripan individu pada setiap
populasi. Percobaan 2 merupakan respon pertumbuhan populasi planlet anggrek
Phalaenopsis hasil persilangan pada berbagai komposisi pupuk daun. Tujuan
percobaan 2 adalah mencari perlakuan komposisi pupuk yang optimum untuk
setiap populasi.

Hipotesis
Populasi hibrida memiliki tingkat kemiripan lebih rendah dibandingkan
populasi hasil silang dalam dan terdapat interaksi antara perlakuan komposisi
pupuk daun dan populasi pada salah satu karakter yang diamati.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Anggrek Phalaenopsis
Anggrek termasuk anggota famili Orchidaceae yang merupakan famili
terbesar di antara famili tanaman hias lainnya. Famili ini memiliki berjumlah
kurang lebih 43 000 spesies dari 750 generasi yang berbeda. Lebih dari 5 000
spesies dari famili ini dapat ditemukan di Indonesia. Penyebaran famili
Orchidaceae hampir meliputi seluruh dunia, dari Asia hingga Amerika Selatan dan
Amerika Tengah. Bahkan, beberapa spesiesnya ditemukan di daerah Kutub Utara,
selatan Patagonia, dataran Pulau Macquarie, hingga Antartika. Namun, dari sekian
banyak spesiesnya yang hidup di alam, hanya beberapa genus anggrek yang akrab
di telinga masyarakat. Genus-genus yang lebih dikenal tersebut adalah
Dendrobium, Phalaenopsis, Arachnis, Cymbidium, Cattleya, dan Vanda dengan
daerah penyebaran mayoritas di Asia Tenggara, kecuali Cattleya (Iswanto 2010a).
Anggrek Phalaenopsis memiliki bentuk daun lebar, tekstur lemas dengan
susunan tunggal berhadapan dengan bentuk helaian daun melebar ke arah ujung,
bentuk bunga bulat (round shape) atau bintang (star) terdiri atas tiga buah sepal
atau kelopak bunga, bentuk buahnya menyerupai kapsul berwarna hijau,
perakaran epifit yang berfungsi sebagai tempat menempelnya tubuh tanaman pada
media tumbuh, dan tidak memiliki batang semu. Berdasarkan pola
pertumbuhannya, anggrek Phalaenopsis memiliki tipe pertumbuhan monopodial,

4
yaitu, pertumbuhan batangnya lurus ke atas pada satu batang tanpa batas dengan
bunga keluar dari sisi batang di antara dua ketiak daun (Sandra 2005a).

Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan
Karakterisasi merupakan gambaran umum tentang karakter suatu aksesi
yang meliputi karakter fenotipe dan genotipe (Balithi 2007a). Perbedaan antar fase
pertumbuhan akan mempengaruhi proses karakterisasi. Proses karakterisasi pada
fase tanaman berbunga akan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
tanaman pada fase planlet. Menurut Wardiyati et al. (2003), karakterisasi berbagai
macam tanaman telah dilakukan oleh IPGRI tetapi, belum ada karakterisasi untuk
tanaman anggrek, khususnya anggrek Phalaenopsis sehingga akan sulit untuk
menentukan karakter genotipe dan fenotipenya.
Karakterisasi yang didasarkan pada penanda morfologi biasanya
dipengaruhi lingkungan makro dan mikro, serta umur tanaman. Karakterisasi
morfologi perlu didukung oleh karakterisasi menggunakan penanda molekuler.
Penanda molekuler dapat memberi gambaran tentang kekerabatan yang lebih
akurat karena DNA (deoxyribo nucleid acid) sebagai material genetik tidak
dipengaruhi kondisi lingkungan (Dwiatmini et al. 2003). Sebagian besar tanaman
menggunakan aksesi terseleksi sebagai acuan untuk menentukan kisaran variasi
karakter tertentu (Balithi 2007b). Hubungan kekerabatan genetik dalam populasi
dapat diukur berdasarkan kesamaan dari sejumlah karakter (Hadiati 2003).
Semakin banyak persamaan ciri, maka semakin dekat hubungan kekerabatannya.
Sebaliknya, semakin banyak perbedaan ciri maka semakin jauh hubungan
kekerabatannya. Pengelompokan ciri yang sama merupakan dasar untuk
pengklasifikasian (Irawan dan Purbayanti 2008).

Syarat Tumbuh Anggrek Phalaenopsis
Phalaenopsis lebih dikenal sebagai anggrek bulan di Indonesia. Tanaman
ini tergolong ke dalam anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menumpang di
tanaman lain, tetapi tidak merugikan tanaman yang ditumpanginya. Anggrek epifit
membutuhkan naungan dari cahaya matahari. Menurut Iswanto (2010b) anggrek
Phalaenopsis tumbuh baik pada suhu udara siang hari 25-32 0C dan malam hari
15 0C dengan intensitas cahaya rendah (teduh), yakni 25-50% dengan kelembaban
udara sekitar 50-80% pada ketinggian 600-1 200 m dpl.
Berdasarkan kebutuhan suhu, Phalaenopsis ternasuk jenis anggrek tipe
hangat. Suhu malam hari yang diperlukan antara 21-24 0C dan siang hari antara
24-29 0C, semakin tinggi suhu pada batas toleransi ini semakin baik untuk
merangsang pertumbuhan vegetatifnya (Setiawan 2003). Dalam keadaan tempat
yang terbuka atau tidak ternaungi, suhu udara menjadi
lebih tinggi
dibandingkan di tempat yang teduh atau tidak terkena cahaya matahari secara
langsung, sedangkan semakin tinggi su at u tempat m ak a su hu ud a r a a k an
semakin rendah.

5
Pemupukan
Pemupukan pada anggrek biasanya dilakukan melalui aplikasi pemupukan
lewat daun. Hal ini dilakukan karena cara aplikasi tersebut lebih efektif
dibandingkan cara lain. Daun mampu menyerap pupuk sekitar 90%, sedangkan
akar hanya mampu menyerap pupuk sekitar 10%. Pemupukan yang dilakukan
lewat daun akan memudahkan distribusi kandungan unsur hara ke jaringan tubuh
tanaman melalui pembuluh daun atau kutikula. Secara umum, konsentrasi larutan
pupuk daun yang digunakan untuk tanaman anggrek sebanyak 2 g l-1 air.
Kondisi ini dapat berubah tergantung kondisi tanaman (Fatmawati dan Susiyanti
2004). Waktu yang tepat dalam melakukan pemupukan adalah seminggu sekali,
pagi hari pukul 07.00-09.00 W IB atau s o r e h a r i pukul 15.00-17.00 WIB.
Pemupukan dilakukan pada waktu tersebut karena hanya sedikit terjadi
penguapan sehingga bahan makanan dapat lebih banyak diserap oleh daun.
Aplikasi pemupukan pada tanaman anggrek berbeda-beda, tergantung fase
pertumbuhan tanaman (Sandra 2005b). Pemberian pupuk pada tanaman anggrek
mengutamakan tiga unsur hara yang diperlukan, yaitu unsur nitrogen (N), fosfor
(P), dan kalium (K). Unsur N berpengaruh dalam meningkatkan pertumbuhan
vegetatif, unsur P berpengaruh untuk merangsang pertumbuhan generatif, inisiasi
akar, dan pendewasaan tanaman, sedangkan u n s u r K berfungsi sebagai
katalisator (Ginting et al. 2001). Pemupukan anggrek efektif dilakukan secara
teratur sebanyak dua kali dalam seminggu (Kencana 2007). Konsentrasi dari
beberapa jenis bahan kimia untuk pupuk selama pembibitan anggrek , yaitu pupuk
Peters Internasional 20 : 20 : 20 dengan konsentrasi 1 g 5.5 l-1, Ca (NO3)2 dengan
konsentrasi 0.2 g l-1, MgSO4 dengan konsentrasi 0.2 g l-1, NiSO4 dengan
konsentrasi 0.01 g l-1, dan Bori Acid (Biotri) 0.1 mg l-1 (Gustin 2009).

Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah proses adaptasi suatu organisme terhadap perubahan
dari lingkungan heterotrof ke lingkungan autotrof (Kartikasari 2009).
Aklimatisasi merupakan tahapan penting yang harus dilalui oleh tanaman hasil
kultur jaringan (in vitro) yang bersifat heterotrof. Tahapan ini dilakukan agar
tanaman yang sebelumnya ditumbuhkan dalam botol kultur dengan suplai media
lengkap tetap dapat bertahan hidup secara mandiri dan berfotosintesis pada
kondisi lingkungan eksternal (Yosepa et al. 2012). Menurut Riyadi (2002),
adanya perbedaan yang sangat tajam terutama kelembaban dan intensitas cahaya
lingkungan di dalam botol dan di luar botol menyebabkan proses aklimatisasi ini
merupakan tahapan yang kritis. Karakteristik planlet hasil kultur in vitro sangat
berbeda apabila dibandingkan dengan tanaman hidup pada kondisi in vivo.
Kondisi lingkungan in vivo yang berbeda dengan kondisi in vitro menyebabkan
rendahnya presentase tumbuh tanaman jika proses aklimatisasi tidak dilakukan
dengan baik.
Perlakuan yang tepat dan terkontrol pada planlet akan menentukan tingkat
keberhasilan saat aklimatisasi (Handini 2012). Menurut Yusnita (2004), salah satu
cara untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi adalah dengan proses
penguatan (hardening off) planlet in vitro. Cara ini akan menjadikan bibit

6
memiliki vigor lebih baik, lebih kokoh, dan daun lebih hijau. Hardening
dilakukan dengan menempatkan bibit botolan di luar ruang kultur, yaitu pada
tempat dengan suhu kamar dan cahaya matahari tidak langsung yang intensitasnya
lebih tinggi selama dua minggu sebelum bibit diaklimatisasi.

Chitosan
Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat,
sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4.
Chitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi, dan bersifat
polielektrolitik. Chitosan dapat mudah berinteraksi dengan zat organik lain,
seperti protein dan lemak (Hirano 1986 dalam Darmawan 2007).
Dalam bidang pertanian, chitosan menawarkan alternatif alami dalam
penggunaan bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
Chitosan membuat mekanisme pertahanan pada tumbuhan, menstimulasi
pertumbuan, dan merangsang enzim tertentu. Pengontrol organik baru ini
menawarkan pendekatan sebagai alat biokontrol (Kusumawati 2009). Pada buah
dan sayuran, chitosan mampu mengurangi kehilangan akibat transpirasi dan
menunda pemasakan (Zhao 2005). Tanaman yang diberikan aplikasi chitosan
bersifat lebih tahan terhadap serangan jamur (Boonlertnirun et al. 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Sulistiana (2013), bahan organik chitosan dengan
konsentrasi 3 ppm merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan
pertumbuhan vegetatif anggrek Phalaenopsis amabilis.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di screen house Rumah Anggrek, Kebun
Percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai Desember 2013
hingga Mei 2014.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan meliputi planlet anggrek Phalaenopsis hasil
persilangan yang berasal dari Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor dan penyilang anggrek,
media tanam berupa spaghnum moss, fungisida (Antrachol), bakterisida (Agrept),
chitosan, air, serta pupuk daun. Alat-alat yang digunakan meliputi alat tanam, pot
anggrek, wadah plastik, pinset, suntikan takar, meteran, sprayer, alat tulis, dan
kamera.

7
Metode Pelaksanaan
Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam dua percobaan yang berbeda
dimulai dengan menyiapkan media tanam berupa sphagnum moss yang diisi 3/4
bagian pot plastik. Selanjutnya, planlet dikeluarkan dari dalam botol dengan
memasukkan air kemudian diguncangkan perlahan dan diambil satu per satu
menggunakan pinset lalu dicuci bersih dengan perendaman dalam air agar media
agar-agar yang melekat dapat terlepas. Planlet direndam pada larutan fungisida
dan bakterisida dengan konsentrasi masing-masing 1 g l-1 selama ± 5-10 menit.
Planlet ditanam dalam pot-pot sesuai ukurannya yang telah diisi media tanam
hingga 3/4 bagian pot. Pemeliharaan selama aklimatisasi meliputi penyiraman
yang dilakukan setiap 3-4 hari sekali. Planlet hasil aklimatisasi selanjutnya dibagi
ke dalam dua percobaan yang berbeda, yaitu :
Percobaan 1. Karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis
hasil persilangan
Percobaan ini tidak menggunakan rancangan lingkungan karena bersifat
eksploratif. Kelima populasi tanaman yang digunakan, yaitu :
1. P4
: Populasi hasil silang dalam Phalaenopsis amabilis
‘Borneo’;
2. D015
: Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis tipe standar
putih x Phalaenopsis tipe standar pink;
3. D022
: Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis tipe
standar pink x Phalaenopsis tipe standar putih;
4. TSW-1103 :Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis ‘Sogo
Diamond’ x Phalaenopsis ‘Jinbao Red Rose’;
5. A001
: Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis tipe
standar pink x Phalaenopsis tipe standar putih.

Phal. standar putih

Phal. standar pink

Phal. ‘Sogo Diamond’

Phal. ‘Jinbao Red Rose’
Phal. amabilis ‘Borneo’
Gambar 1 Tetua-tetua populasi pada percobaan 1
Gambar dari tetua populasi tersebut di atas seperti terlihat pada Gambar 1.

8
Setiap populasi terdiri atas sekurang-kurangnya 10 planlet sehingga terdapat
minimal 60 planlet yang ditanam. Pengamatan terdiri atas karakter kualitatif dan
kuantitatif tanaman mengikuti panduan karakterisasi Balithi. Karakter kualitatif
dan kuantitatif diubah (skoring) ke dalam bentuk data biner. Data biner
digunakan untuk menganalisis keragaman genetik menggunakan program
numerical taxonomy and multivariate analysis system (NTSYSpc) versi 2.02
(Rohlf 1998).
Karakter kualitatif yang diamati meliputi : warna pinggir daun, warna
permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, bentuk daun, dan warna
ujung akar. Skoring dilakukan pada karakter warna pinggir daun, warna
permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun menjadi warna hijau,
keunguan, dan hijau keunguan. Karakter yang memunculkan warna tersebut diberi
nilai 1, sedangkan yang lainnya diberi nilai 0. Bentuk daun dibedakan menjadi
bulat, lanset, dan semi lanset, sedangkan warna ujung akar dibedakan menjadi 2,
yaitu hijau dan kuning kemudian sistem pemberian skoring adalah sama seperti
yang dilakukan sebelumnya. Karakter kuantitatif yang diamati meliputi : 1)
Panjang daun (cm), 2) Lebar daun (cm), 3) Rasio panjang daun dibandingkan
dengan lebar daun, 4) Jumlah daun (helai), 5) Panjang akar (cm), 6) Jumlah akar
(helai), dan 7) Persentase tumbuh (%). Data karakter kuantitatif diubah terlebih
dulu ke dalam batasan yang telah dibuat kemudian diubah ke dalam data biner.
Data disajikan dalam bentuk dendogram.
Percobaan 2. Respon pertumbuhan populasi planlet anggrek Phalaenopsis
hasil persilangan pada berbagai perlakuan pupuk daun
Percobaan ini disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
faktorial dengan dua faktor perlakuan (Gomez dan Gomes 1995), yaitu populasi
dan komposisi pupuk daun sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan (4 taraf
pemupukan x 3 populasi). Populasi planlet anggrek yang digunakan terdiri atas
tiga populasi (lampiran 2), yaitu P1 = TSW-1107 (Phal. ‘Taipei Gold’ x Phal.
venosa), P2 = TSW-1111 (Phal. ‘Timothy Christopher’ x Phal. ‘Leopard Prince’),
dan P3 = TSW-1113 (Phal. Shin Spotted deer siblings cross). Perlakuan pupuk
daun terdiri atas empat taraf, yaitu Q1 = pupuk supertonik 3 ml l-1; Q2 = pupuk
pertumbuhan 1.25 g l-1; Q3 = pupuk supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm ; dan Q4
= pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm.
Setiap kombinasi perlakuan terdiri atas tiga ulangan, masing-masing
ulangan terdiri atas 5 planlet sehingga jumlah planlet yang ditanam adalah 180
planlet. Setiap kombinasi perlakuan terdapat lima planlet yang diamati sehingga
terdapat 180 planlet sebagai satuan amatan. Model aditif linier yang digunakan,
yaitu :
Yijk = μ + αi + ßj + (αß)ij + ϵ ijk
dimana :
Yijk = respon pengamatan pada perlakuan populasi ke-i, pupuk daun ke-j, dan
ulangan ke-k; μ = nilai tengah umum; αi = pengaruh perlakuan populasi ke-i; ßj =
pengaruh pupuk daun ke-j; (αß)ij = pengaruh interaksi perlakuan populasi ke-i dan
pupuk daun ke-j; ϵ ijk = pengaruh galat percobaan perlakuan populasi ke-i, pupuk
daun ke-j, dan ulangan ke-k.

9
Tetua dari populasi tanaman yang digunakan terlihat pada Gambar 2 berikut
ini :

Phal. ‘Taipei Gold’

Phal. Venosa

Phal. ‘Timothy Christopher’

Phal. ‘Leopard Prince’ P. Shin Spotted deer siblings cross
Gambar 2 Tetua-tetua populasi pada percobaan 2
Pengamatan dilakukan pada karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter
kualitatif dan kuantitatif yang diamati sama seperti percobaan 1. Perbedaan
pengamatan terdapat pada parameter rasio antara panjang dan lebar daun dalam
percobaan 1 tidak diamati pada percobaan 2. Data kualitatif pada percobaan 2
disajikan dalam tabel setelah dicari berdasarkan frekuensi kemunculannya,
sedangkan data kuantitatif diolah dengan uji F pada sistem SAS (Statistical
Analysis System) kemudian dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range
Test) pada perlakuan yang berpengaruh nyata pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Penampilan visual planlet anggrek pada tahap aklimatisasi dalam percobaan
1 lebih baik dibandingkan dalam percobaan 2. Tanaman memerlukan unsur hara
yang akan ditranslokasikan ke seluruh bagian tubuh tanaman selama masa
pertumbuhan vegetatif. Pupuk mengandung unsur hara yang dibutuhkan bagi
tanaman. Menurut Ginting et al. (2001), unsur N berpengaruh
dalam
meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Beberapa planlet anggrek pada
percobaan 2 mati disebabkan adanya penyakit busuk basah Erwinia sp., daun
mengalami kekeringan karena sun burn dan pemberian konsentrasi pupuk
pertumbuhan yang terlalu tinggi (Gambar 3).

10

(a)
(b)
(c)
Gambar 3 Penampilan visual planlet yang terkena penyakit busuk basah Erwinia
sp. (a), daun kering akibat sun burn (b), dan keracunan pupuk (c)
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, antara lain
media tanam, intensitas pemupukan, dan faktor iklim mikro di sekitar lingkungan
penanaman (Wiyono 2007). Kondisi media tanam berupa spaghnum moss terlalu
lembab. Hal ini berkaitan dengan volume penyiraman yang kurang terkontrol
dengan baik dan perlu disesuaikan dengan kelembaban media. Volume
penyiraman untuk percobaan 1 sebesar ± 9-12 ml, sedangkan percobaan 2 sebesar
± 15-21 ml. Penyiraman kurang terkontrol karena alat yang digunakan hanya
berupa suntikan takar yang ketelitiannya tidak begitu akurat. Pemupukan
dilakukan setiap tiga hari sekali. Menurut Kencana (2007), pemupukan anggrek
efektif dilakukan secara teratur sebanyak dua kali dalam seminggu. Hal ini sejalan
dengan intensitas pemupukan yang telah dilakukan dalam penelitian.
Percobaan 1. Karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis
hasil persilangan
Hubungan kekerabatan antara dua individu atau populasi dapat diukur
berdasarkan kesamaan sejumlah karakter dengan asumsi bahwa karakter-karakter
berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan susunan genetik. Karakter pada
makhluk hidup dikendalikan oleh gen (Purwantoro et al. 2005).

Gambar 4 Dendogram kemiripan individu pada populasi P4 saat 12 MSP

11
Data yang disajikan dalam bentuk dendogram merupakan hasil
karakterisasi berdasarkan karakter kualitatif dan kuantitatif pada individu dalam
setiap populasi yang diamati. Populasi P4 merupakan populasi hasil silang dalam
sehingga keragaman karakter yang diamati kurang terlihat. Individu-individu
dalam populasi P4 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu klaster A dan B pada jarak
euclidius 0.76, artinya individu-individu dalam populasi tersebut memiliki tingkat
kemiripan sebesar 76% (Gambar 4). Klaster A terdiri atas individu 1, 2, 3, 5, 6, 7,
8, 9 pada jarak euclidius 0.82. Individu 3, 5, 6, 7, 8, 9 merupakan individu yang
memiliki karakter kualitatif dan kuantitatif sangat mirip. Klaster B hanya terdiri
atas individu 4 pada jarak euclidius 0.76. Individu 1 memiliki perbedaan dengan
individu lainnya berdasarkan karakter morfologi yang diamati, yaitu warna
pinggir daun dan warna permukaan bawah daun. Individu 1 memiliki pinggir daun
berwarna keunguan dan permukaan bawah daun berwarna hijau keunguan
(Lampiran 1). Individu pada populasi P4 memiliki rata-rata panjang daun sebesar
6.37 cm, lebar daun 2.50 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 2.51, jumlah
daun sebanyak 5.10 helai, panjang akar 6.33 cm, dan jumlah akar 6.90 helai
(Lampiran 6).
Individu-individu dalam populasi D015 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu
klaster A dan B pada tingkat kemiripan 59%, artinya individu dalam populasi
tersebut memiliki tingkat kemiripan 59% (Gambar 5).

Gambar 5 Dendogram kemiripan individu pada populasi D015 saat 12 MSP
Kemiripan tersebut terlihat pada karakter morfologi yang diamati, yaitu
warna ujung akar seluruh individu adalah hijau. Individu pada klaster A
mengelompok berdasarkan kemiripan sifat morfologi, yaitu warna pinggir daun,
warna permukaan atas daun, dan warna ujung akar. Klaster A kembali membentuk
dua klaster, yaitu A1 dan A2 pada jarak euclidius 0.66. Klaster A1 terdiri atas
individu 1 yang memiliki kemiripan sebesar 66% dengan individu lainnya dalam
sub klaster 2. Individu 1 berbeda dengan individu 2, 5, 7, 4, 8 pada karakter
permukaan bawah daun berwarna hijau dan bentuk daun bulat, sedangkan sub
klaster A2 (individu 2, 5, 7, 4, 8) memiliki karakter permukaan bawah daun

12
berwarna hijau keunguan dan bentuk daun lanset. Klaster A2 terbagi ke dalam dua
kelompok pada jarak euclidius 0.80, artinya individu dalam kelompok-kelompok
tersebut yang terdiri atas individu 2, 5, 7, 4, 8 memiliki tingkat kemiripan 80%.
Klaster A2 mengelompok dikarenakan kemiripan warna pinggir daun, warna
permukaan atas daun, dan warna ujung akar.
Individu pada klaster B terdiri atas individu 3, 6, 9 pada jarak euclidius
0.80. Individu 3 dan 6 memiliki tingkat kemiripan yang sangat tinggi berdasarkan
karakter warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan
bawah daun, bentuk daun, dan warna ujung akar. Individu 9 memiliki permukaan
atas daun berwarna hijau, sedangkan individu 3 dan 6 berwarna hijau keunguan
(Lampiran 2). Individu pada populasi D015 memiliki rata-rata panjang daun
sebesar 4.74 cm, lebar daun 2.80 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 1.72,
jumlah daun sebanyak 4.40 helai, panjang akar 4.46 cm, dan jumlah akar 7.10
helai (Lampiran 6).

Gambar 6 Dendogram kemiripan individu pada populasi D022 saat 12 MSP
Individu-individu dalam populasi D022 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu
klaster A dan B pada jarak euclidius 0.78, artinya individu dalam populasi
tersebut memiliki tingkat kemiripan 78% (Gambar 6). Kemiripan ini disebabkan
oleh kemiripan pada beberapa karakter morfologi, yaitu warna permukaan bawah
daun, bentuk daun, dan warna ujung akar (Lampiran 3). Klaster A terdiri atas dua
klaster, yaitu klaster A1 dan A2 pada jarak euclidius 0.87. Klaster A1 terdiri atas
individu 1 dan 7 yang memiliki kemiripan sebesar 95% pada karakter morfologi
yang diamati. Klaster A2 terdiri atas individu 3 yang memiliki perbedaan dengan
individu 1 dan 7 berdasarkan karakter kuantitatif yang diamati.
Klaster B terdiri atas dua klaster, yaitu klaster B1 dan B2 pada jarak
euclidius 0.85. Klaster B1 membentuk dua kelompok pada jarak euclidius 0.93
terdiri atas individu 2, 6, 4. Individu 2,6,4 memiliki tingkat kemiripan sebesar
93% berdasarkan karakter yang diamati. Klaster B2 membentuk dua kelompok
pada jarak euclidius 0.92 terdiri atas individu 5, 10, 9, 8. Individu 5 dan 10

13
memiliki kemiripan karakter kualitatif dan kuantitatif yang sangat tinggi sehingga
kedua individu tersebut dapat dikatakan sebagai individu yang sangat mirip.
Individu pada populasi D022 memiliki rata-rata panjang daun sebesar 5.37 cm,
lebar daun 2.69 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 2.02, jumlah daun
sebanyak 5.00 helai, panjang akar 7.61 cm, dan jumlah akar 5.70 helai (Lampiran
6).

Gambar 7 Dendogram kemiripan individu pada populasi TSW-1103 saat 12 MSP
Individu-individu dalam populasi TSW-1103 terbagi ke dalam dua klaster,
yaitu klaster A dan B pada jarak euclidius 0.63 (Gambar 7). Klaster A membentuk
tiga kelompok yang terdiri atas individu 1, 3, 2, 4, 5 pada jarak euclidius 0.87,
artinya individu-individu tersebut memiliki tingkat kemiripan 87%. Kemiripan
tersebut terdiri atas karakter warna pinggir daun, warna permukaan atas daun,
warna permukaan bawah daun, dan warna ujung akar. Bentuk daun pada individu
5 adalah lanset, berbeda dengan individu 1, 3, 2, 4 yang memiliki bentuk daun
bulat. Klaster B terdiri atas individu 6, 7, 8 pada jarak euclidius 0.74. Bentuk daun
pada individu 6 adalah lanset, sedangkan individu 7 dan 8 memiliki bentuk daun
bulat (Lampiran 4). Individu pada populasi TSW-1103 memiliki rata-rata panjang
daun sebesar 3.73 cm, lebar daun 2.73 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun
1.36, jumlah daun sebanyak 4.00 helai, panjang akar 4.31 cm, dan jumlah akar
5.40 helai (Lampiran 6).
Individu-individu dalam populasi A001 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu
klaster A dan B pada jarak euclidius 0.80, artinya individu dalam populasi
tersebut memiliki tingkat kemiripan 80% (Gambar 8). Kemiripan tersebut terlihat
pada beberapa karakter morfologi, yaitu warna permukaan atas daun, warna
permukaan bawah daun, dan warna ujung akar. Klaster A kembali membentuk
dua klaster, yaitu A1 dan A2 pada jarak euclidius 0.82. Klaster A1 membentuk
dua kelompok pada jarak euclidius 0.92 yang terdiri atas individu 1, 5, 7, 2.
Individu-individu tersebut memiliki tingkat kemiripan sebesar 92% pada karakterkarakter kualitatif yang diamati. Klaster A2 terdiri atas individu 4. Individu 4

14
memiliki pinggir daun berwarna hijau, sedangkan individu 1, 5, 7, 2 memiliki
pinggir daun berwarna keunguan (Lampiran 5). Klaster B terdiri atas individu 3
dan 6 pada jarak euclidius 0.95. Beberapa karakter morfologi yang diamati, yaitu
warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun,
bentuk daun, dan warna ujung akar pada individu 3 dan 6 memiliki tingkat
kemiripan yang tinggi sebesar 95%. Tingginya tingkat kemiripan dari individuindividu dalam populasi A001 mengindikasikan bahwa kedua tetua persilangan
memiliki kemiripan genetik yang tinggi. Individu pada populasi A001 memiliki
rata-rata panjang daun sebesar 4.94 cm, lebar daun 2.16 cm, rasio panjang
dibandingkan lebar daun 2.32, jumlah daun sebanyak 4.60 helai, panjang akar
4.39 cm, dan jumlah akar 5.60 helai (Lampiran 6).

Gambar 8 Dendogram kemiripan individu pada populasi A001 saat 12 MSP
Keragaan karakter kualitatif ataupun kuantitatif yang diamati selama
pengamatan berbeda-beda antar populasi yang satu dengan lainnya. Berdasarkan
karakter kualitatifnya, planlet anggrek Phalaenopsis memiliki keragaman dalam
bentuk daun, warna pinggir daun, warna permukaan bawah daun, dan adanya
bintik-bintik yang terlihat pada permukaan atas daun (Gambar 9). Populasi D015
memiliki keragaman karakter kualitatif pada setiap individu dalam populasi
tersebut (Lampiran 7). Berdasarkan karakter kuantitatif yang diamati, terdapat
perbedaan pertumbuhan pada setiap populasi. Pertumbuhan yang baik ditunjukkan
oleh nilai rata-rata dari setiap parameter pengamatan pada populasi D015 yang
memiliki keragaman yang lebih tinggi dibandingkan populasi lainnya (Lampiran
6). Perubahan pada karakter kualitatif ataupun kuantitatif yang diamati pada awal
hingga akhir diduga karena pada awal pengamatan karakter yang diamati belum
terlihat jelas atau belum terekspresi secara fenotipe, tetapi baru terlihat pada akhir
pengamatan. Hal tersebut menyebabkan perubahan pola klaster pada awal hingga
akhir pengamatan.

15
Hubungan kekerabatan antar populasi seperti yang telah dilakukan
merupakan hubungan kekerabatan berdasarkan karakter fenotipe sehingga hasil
pengamatan merupakan gambaran dari keadaan fenotipe di lapangan. Kekerabatan
secara fenotipe merupakan kekerabatan yang didasarkan pada analisis sejumlah
penampilan fenotipe dari suatu organisme. Penelitian seperti ini merupakan
penelitian sederhana terhadap hubungan kekerabatan anggrek-anggrek yang
diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran terhadap karakter morfologi
tanaman. Hasil penelitian lebih lanjut dapat dilengkapi menggunakan karakter
genetik dengan penanda molekuler (Purwantoro et al. 2005).

(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 9 Keragaan beberapa populasi saat 16 MSP, P4 lanset-ungu (a), D015
bulat-hijau (b), TSW-1103 bulat-ungu (c), dan P4 lanset-hijau (d)
Berdasarkan analisis klaster tersebut di atas maka terlihat populasi-populasi
yang memiliki kemiripan tinggi antar individu dalam populasi adalah populasi P4,
sedangkan populasi yang relatif beragam antar individunya adalah populasi D015
dan D022. Hal ini menunjukkan bahwa populasi hasil persilangan dari tetua
dengan warna bunga standar pink dengan putih atau sebaliknya menghasilkan
tingkat keragaman yang tinggi pada karakter morfologi tanaman pada fase
vegetatif. Populasi hibrida TSW-1103 memiliki keragaman antar individu cukup
tinggi menunjukkan hubungan genetik yang relatif jauh dari kedua tetuanya
(Lampiran 4).
Percobaan 2. Respon pertumbuhan populasi planlet anggrek Phalaenopsis
hasil persilangan pada berbagai perlakuan pupuk daun
Jumlah Daun
Perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun.
Jumlah daun total planlet anggrek selama tahap aklimatisasi bersifat fluktuatif
karena adanya daun muda yang baru tumbuh dan daun dewasa yang mati selama
berlangsungnya pengamatan. Berdasarkan Tabel 1, terlihat adanya interaksi yang
nyata antara perlakuan populasi dan pemupukan saat 12 MSP terhadap jumlah
daun. Pertumbuhan daun anggrek pada rumpun pertumbuhan pertama sangat
minim karena proses aklimatisasi pada tanaman merupakan tahap adaptasi
tanaman terhadap cekaman iklim yang berbeda (Suradinata et al. 2012).
Hasil interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun terlihat pada Tabel
2. Jumlah daun pada populasi TSW-1107 dan TSW-1113 yang diberikan ke empat
perlakuan pupuk menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Penggunaan

16
komposisi pupuk daun yang berbeda menunjukkan jumlah daun yang sama pada
kedua populasi tersebut.
Tabel 1 Rata-rata jumlah daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi
Umur planlet (MSP)
Perlakuan
0
4
8
12
Jumlah daun (helai)
Populasi (P)
3.37
3.57
4.00
4.03
TSW-1107
3.37
3.90
4.33
4.30
TSW-1111
3.57
3.88
4.28
4.33
TSW-1113
tn
tn
tn
tn
0.31
0.18
0.22
0.19
Pr > F
Pupuk daun (Q)
3.51ab
3.62
4.17
4.27
Supertonik 3 ml l-1
b
-1
3.20
3.69
4.09
4.08
Pertumbuhan 1.25 g l
ab
-1
3.33
3.84
4.13
4.32
Supertonik 3 ml l + chitosan 3 ppm
3.98
4.42
4.20
Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm
3.69a
*
tn
tn
0.04
0.42
0.49
0.68tn
Pr > F
tn
tn
tn
Interaksi PxQ
0.99
0.55
0.65
3.19*
KK (%)
10.46
12.74
11.46
10.17
*: berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn: tidak berpengaruh nyata; Pr: Probability; KK:
Koefisien keragaman. aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MSP:
minggu setelah perlakuan

Tabel 2 Interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun planlet anggrek
Phalaenopsis pada umur 12 MSP
Populasi (P)
Perlakuan
TSW-1107 TSW-1111 TSW-1113
Jumlah daun (helai)
Pupuk daun (Q)
Supertonik 3 ml l-1
4.27a
4.60a
3.94a
Pertumbuhan 1.25 g l-1
3.98a
4.20ab
4.07a
Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm
4.07a
4.60a
4.28a
Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm
3.80a
3.78b
5.02a
a

Angka-angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata

Hasil pengamatan pada karakter jumlah daun populasi TSW-1111
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antar perlakuan komposisi pupuk daun
yang digunakan (Tabel 2). Populasi TSW-1111 yang diberikan pupuk organik
supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi dari pupuk organik supertonik 3 ml l-1 +
chitosan 3 ppm berbeda nyata dibandingkan pemberian kombinasi pupuk
pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm. Pemberian pupuk organik supertonik 3
ml l-1 dan kombinasi dari pupuk organik supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm
menunjukkan hasil yang nyata lebih tinggi dalam meningkatkan jumlah daun,

17
yaitu sebesar 4.60 helai, sedangkan aplikasi kombinasi pupuk pertumbuhan 1.25 g
l-1 + chitosan 3 ppm hanya meningkatkan jumlah daun sebesar 3.78 helai. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian berbagai macam komposisi pupuk daun pada
populasi anggrek hibrida yang digunakan, yaitu populasi TSW-1107 dan TSW
1113 memberikan jumlah daun yang sama. Populasi anggrek hibrida TSW-1111
lebih cocok diberikan komposisi pupuk organik supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi
dari pupuk organik supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm untuk meningkatkan
jumlah daun tanaman.
Panjang Daun
Pengamatan panjang daun dilakukan setiap bulan, daun yang diukur
adalah daun dewasa terpanjang yang telah memiliki struktur daun secara
sempurna sehingga memudahkan pengamatan. Panjang daun untuk setiap
populasi mengalami peningkatan setiap minggunya hingga 12 MSP.
Tabel 3

Rata-rata panjang daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap
aklimatisasi
Umur planlet (MSP)
Perlakuan
0
4
8
12
Panjang daun (cm)
Populasi (P)
2.96a
3.19a
2.97a
3.34a
TSW-1107
2.25b
2.28b
2.20b
2.68b
TSW-1111
3.24a
3.11a
2.91a
3.28a
TSW-1113
**
**
**
< .0001
< .0001
0.0005
0.0045**
Pr > F
Pupuk daun (Q)
3.11
3.13
2.94
3.44a
Supertonik 3 ml l-1
2.77
2.86
2.63
3.01ab
Pertumbuhan 1.25 g l-1
2.81
2.85
2.83
3.20ab
Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm
2.59
2.37
2.74b
Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm
2.59
0.14tn
0.13tn
0.07tn
0.04*
Pr > F
Interaksi PxQ
1.20tn
1.11tn
1.75tn
1.45tn
KK (%)
16.24
15.99
17.15
15.70
*: berpengaruh nyata pada taraf 5%; **: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; tn: tidak
berpengaruh nyata; Pr: