Pengamatan Parasitoid Telur Scelio sp. (Hymenoptera: ...Scelionidae) pada Telur Oxya japonica Thunberg (Orthop--...tera:.Acrididae)

PENGAMATAN PARASITOID TELUR Scelio sp.
(HYMENOPTERA: SCELIONIDAE) PADA
TELUR Oxya japonica Thunberg
(ORTHOPTERA: ACRIDIDAE)

MUHAMMAD RIDHO RASID

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengamatan Parasitoid
Telur Scelio sp. (Hymenoptera: Scelionidae) pada Telur Oxya japonica Thunberg
(Orthoptera: Acrididae) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014
Muhammad Ridho Rasid
NIM A34100106

ABSTRAK

MUHAMMAD RIDHO RASID. Pengamatan Parasitoid Telur Scelio sp.
(Hymenoptera: Scelionidae) pada Telur Oxya japonica Thunberg (Orthoptera:
Acrididae). Dibimbing oleh NINA MARYANA.
Oxya japonica adalah serangga hama yang bersifat polifag karena memiliki
banyak kisaran inang. O. japonica termasuk serangga yang mudah berkembang
dan hama ini sangat penting dan dapat merugikan sehingga perlu dilakukan
alternatif pengendalian seperti pengendalian biologi. Musuh alami O. japonica
yang banyak ditemukan adalah parasitoid telur Scelio sp. dari famili Scelionidae.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari beberapa aspek perkembangan

parasitoid dan perilaku peletakan telur Scelio sp. pada telur O. japonica. Telur O.
japonica dikumpulkan dari lapangan dan dilakukan pemeliharaan di laboratorium.
Parasitoid diamati dan ditunggu hingga keluar dan meninggalkan inangnya. Telur
Scelio sp. memiliki lebar 0.11 mm dan panjang 0.88 mm dengan tipe telur stalked.
Larva instar awal memiliki lebar 0.21 mm dan panjang 0.67 mm dengan tipe larva
teleaform dan memiliki mandibel pada bagian kepala. Larva instar akhir Scelio sp.
bertipe hymenopteriform dengan lebar 1.18 mm dan panjang 2.82 mm. Lama
perkembangan Scelio sp. dari telur hingga imago masing-masing 28.00 hari pada
jantan dan 28.40 hari pada betina. Lama hidup imago jantan rata-rata 4.10 hari
dan betina 5.10 hari. Telur Scelio sp. diletakkan ke dalam telur inang dengan
menggunakan ovipositornya dan sebelum telur diletakkan, Scelio sp. masuk ke
dalam lubang peneluran O. japonica dengan didahului masuknya abdomen.
Kata kunci: biologi, Oxya japonica, parasitoid, Scelio sp., Scelionidae.

ABSTRACT

MUHAMMAD RIDHO RASID. Observation of Scelio sp. (Hymenoptera:
Scelionidae), an Egg Parasitoid of Oxya japonica Thunberg (Orthoptera:
Acrididae). Guided by NINA MARYANA.
Oxya japonica is a polyphagous insect pest that attacks many host plants.

Population of this insect pest can increase rapidly, so it is important to find
appropriate control methods such as biological control. One of the natural enemies
attacking on O. japonica eggs is a parasitoid Scelio sp. of the family Scelionidae.
The objective of this research is to study some development aspects of the
parasitoid Scelio sp. and its egg laying behavior on O. japonica eggs. O. japonica
eggs collected from the field to be maintained in the laboratory until the
parasitoids emerged and left the hosts. The egg type of Scelio sp. was stalked,
0.11 mm in width and 0.88 mm in length. The type of first instar larvae was
teleaform, 0.21 mm in width and 0.67 mm in length, with distinct mandibles on
the head. The second instar larvae to mature larvae were hymenopteriform. The
width and length of the mature larvae were 1.18 mm and 2.82 mm respectively.
Development time from the egg to adult were 28.00 days in males and 28.40 days
in females. Life span of the female was longer (5.10 days) than that of males (4.10
days). The adult of Scelio sp. entered the egg laying hole of O. japonica on host
plant before laying the eggs. The wasp then inserted the metasoma previously and
oviposited the egg with its long ovipositor.
Keywords: biology, Oxya japonica, parasitoid, Scelio sp., Scelionidae.

©


Hak Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGAMATAN PARASITOID TELUR Scelio sp.
(HYMENOPTERA: SCELIONIDAE) PADA
TELUR Oxya japonica Thunberg
(ORTHOPTERA: ACRIDIDAE)

MUHAMMAD RIDHO RASID

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian

pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

:..Pengamatan Parasitoid Telur Scelio sp. (Hymenoptera:
...Scelionidae) pada Telur Oxya japonica Thunberg (Orthop-...tera:.Acrididae)
Nama Mahasiswa :..Muhammad Ridho Rasid
NIM
:..A34100106
Judul Skripsi

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.
Dosen Pembimbing


Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Tanggal lulus:

PRAKATA

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Pengamatan Parasitoid Telur Scelio sp.
(Hymenoptera: Scelionidae) pada Telur Oxya japonica Thunberg (Orthoptera:
Acrididae)”. Penulisan tugas akhir penelitian ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku
dosen pembimbing akademik dan skripsi yang selalu memberikan bimbingan,
pengetahuan, saran, arahan, dan masukan kepada penulis. Ucapan terimakasih

juga disampaikan kepada Dr. Ir. Titiek Siti Yuliani, S.U selaku dosen penguji
tamu yang telah memberikan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan
tugas akhir ini. Terimakasih kepada orangtua dan kakak yang selalu memberi
semangat dan dukungan dalam belajar. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada
teman-teman Laboratorium Biosistematika Serangga, khususnya Andi Dwi
Mandasari, Rizky Marcheria Ardiyanti, Sandi Amarullah Amin, Vincentius
Huberto Dhango, Johana Christine Sinaga, Supriyanto, Tri Utami Ningsih, Khoir
Samsi, Mbak Atiek, Bu Is, serta kakak tingkat dan juga teman-teman lainnya di
Departemen Proteksi Tanaman yang tidak bisa disebutkan satu per satu dalam
mendukung terlaksananya tugas akhir penelitian penulis, serta pihak lain yang
turut mambantu dalam penyusunan tugas akhir ini.
Pada penulisan tugas akhir ini penulis menyadari masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis berharap ada masukan, kritik dan saran yang bersifat
membangun dan memotivasi penulis agar dapat menuliskan karya tulis yang lebih
baik. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Bogor, September 2014
Muhammad Ridho Rasid

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Inang dan Parasitoid
Metode Penelitian
Pemeliharaan Tanaman Inang
Pengambilan Imago dan Telur O. japonica dari Lapangan
Pemeliharaan Imago O. japonica
Pemeliharaan Telur Terparasit
Pemaparan Parasitoid pada Telur Inang
Pengamatan Pradewasa Parasitoid
Pengamatan Imago Parasitoid

HASIL DAN PEMBAHASAN
Imago Oxya japonica
Parasitoid yang Ditemukan di Lapangan
Perkembangan Scelio sp.
Pradewasa
Imago
Peletakan Telur oleh Imago Scelio sp.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

viii
viii
viii
1
1
2

2
3
3
3
3
3
3
3
4
4
5
5
5
6
6
7
8
8
11
13

15
15
15
16
19
24

viii

DAFTAR TABEL

.1 Jumlah telur O. japonica dari lapangan yang menetas, tidak menetas, dan
terparasit
.2 Ukuran telur dan larva Scelio sp.
.3 Lama perkembangan Scelio sp.
.4 Ukuran tubuh dan lama hidup imago Scelio sp.

7
9
10
12

DAFTAR GAMBAR

.1 Penanaman tanaman talas pada polybag
.2 Kurungan berkasa sebagai tempat pemeliharaan Imago O. japonica
.3 Tempat pemeliharaan telur O. japonica di laboratorium
.4 Gejala serangan O. japonica
.5 Peletakan telur O. japonica
.6 Telur O. japonica di dalam pelepah daun talas
.7 Imago parasitoid telur yang ditemukan dari lapangan
.8 Bentuk fase perkembangan pradewasa Scelio sp.
.9 Imago Scelio sp.
10 Karakteristik parasitoid Scelio sp.
11 Imago Scelio sp. saat keluar dari telur inang
12 Peletakan telur oleh imago Scelio sp.

3
4
5
6
6
8
8
9
11
11
12
13

DAFTAR LAMPIRAN

Ukuran telur O. japonica
Ukuran telur Scelio sp. pada 3 jam SPT
Ukuran larva instar awal Scelio sp. pada 2 hari SPT
Ukuran larva instar akhir Scelio sp. pada 8 hari SPT
Lama perkembangan pradewasa dan lama hidup imago jantan dan .betina
Scelio sp.
.6 Ukuran imago jantan Scelio sp.
.7 Ukuran imago betina Scelio sp.
.1
.2
.3
.4
.5

.20
.20
.21
.21
.22
.22
.23

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Belalang Oxya japonica Thunberg (Orthoptera: Acrididae) merupakan salah
satu hama penting tanaman pertanian yang bersifat polifag. O. japonica
menyerang padi liar (Oryza rufipogon) dan padi budidaya (O. sativa) (Li et al.
2010). Hama ini sering ditemukan pada daerah persawahan. Selain menyerang
padi, jenis Oxya lain juga dapat menyerang tanaman air dan gulma (Kalshoven
1981). Menurut Willemse (2001), inang lain O. japonica di antaranya adalah
brokoli, kubis, sorghum, kentang, jagung, dan lain-lain. O. japonica menjadi salah
satu hama pertanian yang paling penting hingga menyebabkan penurunan hasil
padi di wilayah China Selatan, Jepang, Filipina, Vietnam, Singapura dan Malaysia
(Hollis 1971). Hai-hua et al. (2005) menyatakan bahwa fase perkembangan Oxya
yang menjadi penyebab kerusakan tanaman adalah pada fase nimfa dan imago.
Siklus hidup O. japonica sekitar 5-7 bulan dengan keperidian 24 - 28 butir
telur (Willemse 2001). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa telur akan menetas
empat minggu setelah diletakkan dan sebagian besar penetasan telur terjadi pada
pagi hari. Nimfa terdiri dari lima instar yang masing-masing dapat dibedakan dari
ukuran dan warna tubuh. Menurut Yuliani (2003), Oxya spp. meletakkan telur
pada pelepah daun talas dengan gejala berlubang-lubang. Telur Oxya spp.
diletakkan secara berkelompok dan ditutupi semacam busa. Warti (2006)
melaporkan bahwa tanaman talas merupakan salah satu tanaman inang alternatif
bagi belalang selain padi. Kerusakan yang ditimbulkan berupa bekas gerigitan
pada daun yang disebabkan oleh tipe alat mulut menggigit mengunyah. Wilayah
sebaran dari O. japonica di antaranya adalah Malaysia, Indonesia, Filipina, India,
Sri Lanka, Myanmar, Vietnam, China, dan lain-lain (Willemse 2001).
Umumnya insektisida menjadi metode yang paling mudah, cepat, dan
ekonomis untuk mengendalikan hama. Namun, seringnya penggunaan insektisida
menyebabkan kesulitan pengendalian seperti yang terjadi pada O. chinensis akibat
terjadinya kekebalan hama terhadap beberapa jenis insektisida (Hai-hua et al.
2005). Kisaran inang hama yang luas dengan disertai keperidian dan populasi
hama yang tinggi akan menyebabkan kerusakan tanaman menjadi besar, oleh
karena itu adanya suatu pengendalian dapat mengurangi kerugian yang
diakibatkan serangan hama. Menurut Nurindah (2006), pengendalian yang baik
dapat dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan ekologi. Hal tersebut dapat
dilakukan melalui perancangan agroekosistem yang stabil melibatkan pengelolaan
komponen dalam agroekosistem untuk pengendalian hama, sehingga dapat
dilakukan melalui pengelolaan habitat sesuai targetnya.
Salah satu pengendalian hama yang melibatkan agroekosistem adalah
pengendalian biologi. Pengendalian biologi dapat dilakukan dengan menggunakan
patogen, serangga predator atau parasitoid. Musuh alami Oxya spp. dari golongan
patogen serangga dapat berasal dari golongan cendawan dan lainnya. Menurut
Melanie (2008), cendawan Metarhizium anisopliae menjadi salah satu agens
hayati yang diketahui berpotensi besar dalam mengendalikan populasi hama. M.
anisopliae diketahui dapat menginfeksi O. japonica dan mengakibatkan mortalitas
hingga 100%. Adapun musuh alami dari golongan serangga, yaitu dari serangga
predator dan serangga parasitoid. Serangga predator dapat bertahan hidup dengan

2
cara memakan ataupun mematikan serangga lain sebagai mangsanya. Selama
hidupnya, satu predator memerlukan banyak mangsa. Yuliani (2003) menyatakan
bahwa di daerah Bogor ada tiga jenis serangga predator yang menjadi musuh
alami Oxya spp., yaitu Conocephalus sp. (Orthoptera: Tettigoniidae), Hierodula
sp. (Mantodea: Mantidae), dan Stenoscinis sp. (Diptera: Chloropidae). Serangga
parasitoid termasuk serangga yang berukuran kecil atau sama besar dengan inang
yang diparasit dan mampu mematikan inang. Parasitoid hanya membutuhkan satu
inang untuk melangsungkan satu siklus hidup (Sembel 2010). Menurut Yuliani
(2003), terdapat dua parasitoid yang memarasit telur Oxya spp. di daerah Bogor,
yaitu Scelio sp. dari famili Scelionidae dan Eurytoma sp. dari famili Eurytomidae,
keduanya termasuk ke dalam ordo Hymenoptera.
Parasitoid Scelio sp. merupakan parasitoid yang termasuk ke dalam
subfamili Telenominae (Masner 1980). Scelio sp. adalah parasitoid kosmopolitan
dan menjadi salah satu pengendalian biologi potensial yang sangat penting (Yoder
et al. 2014). Clausen (1940) menyatakan bahwa Scelio sp. berkembang dalam
telur Oxya pada semua tahapan perkembangannya. Scelio sp. menjadi penting
karena parasitoid ini banyak ditemui pada penelitian sebelumnya. Penelitian
mengenai parasitoid Scelio sp. pada telur O. japonica di Indonesia masih belum
banyak dilakukan, sehingga masih sedikit informasi mengenai perkembangan
parasitoid Scelio sp. tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai parasitoid Scelio sp. sebagai informasi dasar pemanfaatan
parasitoid Scelio sp. dalam agens pengendali hayati di lapangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari perkembangan dan perilaku peletakan
telur parasitoid Scelio sp. pada telur O. japonica di laboratorium sebagai inang
alami parasitoid di lapangan.
Manfaat Penelitian
Informasi mengenai pengamatan dan perkembangan parasitoid telur Scelio
sp. yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan
strategi pemanfaatan parasitoid dan pertimbangan dalam pengendalian belalang O.
japonica di lapangan.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biosistematika Serangga,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada
bulan Februari hingga Mei 2014.
Bahan
Inang dan Parasitoid
Inang yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur Oxya japonica.
Selain telur, dilakukan juga pemeliharaan imago O. japonica yang bertujuan
untuk peletakan telur O. japonica di laboratorium. Telur belalang O. japonica
diperoleh dari pertanaman talas di dua lokasi, yaitu pertanaman talas di Kelurahan
Situ Gede dan Balumbang Jaya, Bogor Barat, Kota Bogor. Adapun parasitoid
yang digunakan adalah parasitoid Scelio sp. yang memarasit telur O. japonica
yang diperoleh dari lapangan.
Metode Penelitian
Pemeliharaan Tanaman Inang
Tanaman inang yang digunakan adalah tanaman talas yang diambil dari
lapangan. Penanaman talas dilakukan pada polybag berukuran 30 cm x 30 cm
yang diisi dengan media tanah (Gambar 1). Tanaman talas dipelihara agar tetap
tumbuh hingga siap digunakan untuk penelitian. Tanaman inang ini digunakan
untuk pakan dan tempat peletakan telur O. japonica di laboratorium. Telur O.
japonica yang diperoleh dari pemeliharaan, selanjutnya digunakan dalam
pengamatan perkembangan pradewasa parasitoid, imago parasitoid, dan peletakan
telur parasitoid.

Gambar 1 Penanaman tanaman talas pada polybag
Pengambilan Imago dan Telur O. japonica dari Lapangan
Pengambilan imago O. japonica dilakukan untuk mendapatkan telur yang
akan digunakan sebagai inang dalam penelitian. Imago diambil dari pertanaman
talas dengan jaring serangga dan dimasukkan ke dalam plastik transparan untuk
dibawa ke laboratorium.

4
Pengambilan telur O. japonica dilakukan untuk memperoleh parasitoid
Scelio sp. Pelepah daun talas yang mengandung kelompok telur inang ditandai
dengan adanya lubang bekas peletakan telur dan cairan berwarna coklat
kemerahan yang mengering di dekat lubang tersebut. Pelepah daun talas yang
mengandung kelompok telur inang dipotong dan dimasukkan ke dalam kantung
plastik transparan berukuran 10 cm x 20 cm dan dibawa ke laboratorium.
Pemeliharaan Imago O. japonica
Imago O. japonica yang diperoleh dari lapangan dimasukkan ke dalam
kurungan berkasa dengan ukuran 57 cm x 55 cm x 50 cm yang berisi dua tanaman
talas (Gambar 2). Tanaman talas ini berfungsi sebagai makanan (bagian daun) dan
tempat peletakan telur (bagian pelepah daun) imago. Imago dibiarkan agar dapat
meletakkan telur pada inang. Bila pada pelepah tanaman talas terdapat gejala
peletakan telur, maka tanaman talas tersebut siap digunakan sebagai tempat
peletakan telur parasitoid.

Gambar 2 Kurungan berkasa sebagai tempat pemeliharaan imago O. japonica
Pemeliharaan Telur Terparasit
Pelepah daun talas yang mengandung kelompok telur inang dimasukkan ke
dalam wadah plastik berkasa yang berdiameter 6.5 cm dan tinggi 6 cm (Gambar
3a). Wadah plastik diberi alas kertas dan ditetesi dengan air sebanyak tiga tetes
agar tempat pemeliharaan telur tetap lembab dan tidak kering. Setiap wadah
plastik diisi dengan satu kelompok telur inang agar mudah saat pengamatan.
Dalam menjaga kelembaban telur, dilakukan pemeliharaan dengan menetesi
kembali wadah tersebut dengan air setiap hari. Semua wadah plastik berisi
kelompok telur inang kemudian diletakkan di meja tempat pengamatan yang
berukuran 90 cm x 55 cm (Gambar 3b). Telur inang diamati setiap hari dan
ditunggu hingga nimfa inang atau parasitoid keluar.
Setelah semua nimfa inang dan parasitoid keluar, pelepah daun talas
dibedah dan diamati jumlah telur yang tidak menetas di bawah mikroskop stereo.
Parasitoid Scelio sp. adalah parasitoid soliter, sehingga tingkat parasitisasi
dihitung dengan menentukan jumlah parasitoid yang keluar dibagi dengan jumlah
telur yang diamati. Imago parasitoid yang keluar selanjutnya digunakan untuk
penelitian.

5

Gambar 3 Tempat pemeliharaan telur O. japonica di laboratorium; (a) Wadah
.plastik, (b) meja pemeliharaan
Pemaparan Parasitoid pada Telur Inang
Bagian pelepah daun talas yang mengandung gejala peneluran O. japonica,
dikurung dengan kurungan mika berkasa dengan diameter 5 cm dan tinggi 8 cm.
Bagian ujung kurungan mika diikatkan ke pelepah daun talas dengan tali. Imago
parasitoid dimasukkan ke dalam kurungan tersebut agar dapat meletakkan telur
pada telur inang. Pemindahan imago parasitoid dilakukan dengan aspirator. Imago
parasitoid dipaparkan pada telur inang selama 3 jam. Telur inang yang telah
terparasit selanjutnya digunakan untuk pengamatan perkembangan parasitoid.
Pengamatan Pradewasa Parasitoid
Pengamatan terhadap telur terparasit dilakukan dengan membedah pelepah
daun talas dan mengeluarkan telur inang. Telur inang kemudian dibedah dengan
jarum mikro bertangkai di dalam larutan ringer pada cawan ciracus. Pembedahan
dilakukan setiap hari untuk mengetahui perkembangan pradewasa parasitoid.
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop stereo dan mikroskop compound.
Pengamatan meliputi bentuk, ukuran, stadium telur, dan pupa dengan ulangan
masing-masing 20 individu. Khusus untuk larva, diamati bentuk dan ukuran larva
instar awal dan instar akhir.
Sebagian telur terparasit tidak dibedah namun dibiarkan di dalam pelepah
daun talas. Telur diamati setiap hari dan ditunggu hingga imago parasitoid keluar
untuk mengetahui lama perkembangan dari telur parasitoid diletakkan hingga
imago parasitoid keluar dari pupa.
Pengamatan Imago Parasitoid
Imago parasitoid yang telah keluar dari pupa dimasukkan ke dalam wadah
plastik berkasa berdiameter 11 cm dan tinggi 6 cm yang diberikan pakan madu
30%. Madu diserapkan pada bulatan kapas yang diletakkan pada dasar kurungan.
Pengamatan imago meliputi bentuk, ukuran, lama hidup, perbedaan jantan dan
betina dan perilaku peletakan telur.
Pengamatan peletakan telur oleh imago parasitoid dilakukan di dalam
wadah plastik berkasa yang berukuran sama pada pemeliharaan imago. Pelepah
daun talas yang mengandung kelompok telur inang dipotong sepanjang 5 cm dan
dimasukkan ke dalam wadah plastik tersebut. Imago betina parasitoid dimasukkan
ke dalam wadah plastik dan dilakukan pengamatan peletakan telur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Imago Oxya japonica
O. japonica menjadi salah satu hama penting bagi tanaman. Banyaknya
inang yang menjadi alternatif makanan bagi hama ini mengakibatkan populasi
hama cepat meningkat dan menyebabkan kerusakan bagi tanaman. Serangan berat
Oxya spp. di daerah Bogor mampu menyebabkan kerugian bagi petani talas dan
padi (Yuliani 2003). Pada tanaman talas hama ini memakan daun talas dengan
gejala gerigitan daun dari bagian tepi hingga tersisa tulang daun akibat aktivitas
makannya (Gambar 4a, b).

Gambar 4 Gejala serangan O. japonica; (a) Pengamatan di laboratorium, (b)
pengamatan di lapangan
Pada pengamatan serangan hama di lapangan, O. japonica lebih sering
ditemukan pada tanaman talas budidaya maupun talas liar daripada tanaman padi.
Adapun jenis Oxya lain yang sering ditemukan pada pertanaman padi adalah O.
chinensis. Imago betina O. japonica yang diamati di laboratorium meletakkan
telur dengan cara menusukkan ovipositor ke dalam jaringan pelepah daun talas
(Gambar 5a). Pada saat meletakkan telur, ovipositor betina memanjang dan masuk
ke dalam jaringan pelepah daun talas. Selama peletakan telur, ada cairan coklat

Gambar 5 Peletakan telur O. japonica; (a) Imago menusukkan ovipositor, (b)
.jaringan talas mengeluarkan cairan bekas tusukan ovipositor, (c) busa
.yang dihasilkan setelah peletakan telur

7
kemerahan yang keluar di sekitar lubang tusukan ovipositor dan semakin lama
cairan tersebut akan mengering (Gambar 5b). Cairan tersebut berasal dari respon
tanaman inang ketika jaringan talas ditusukkan oleh ovipositor betina. Cairan
coklat kemerahan yang keluar dari respon tanaman inang yang mengering ini
menandakan adanya bekas tusukan ovipositor di sekitar cairan. Ketika imago
betina O. japonica telah meninggalkan lubang bekas tusukan, terdapat busa yang
menutupi lubang tersebut (Gambar 5c). Busa yang baru ditinggalkan awalnya
berwarna putih, kemudian semakin lama busa akan mengeras dan terjadi
perubahan warna menjadi kecoklatan.
Parasitoid yang Ditemukan di Lapangan
Selama pengamatan telur O. japonica di laboratorium, tidak semua telur
berhasil menetas menjadi nimfa. Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah telur
belalang O. japonica yang dikumpulkan dari lapangan, lebih banyak yang
menetas dibandingkan telur yang tidak menetas dan terparasit. Hal ini
menandakan bahwa keberadaan populasi hama semakin banyak dan masih akan
bertambah dengan munculnya individu baru O. japonica. Telur O. japonica yang
tidak terparasit dan baru diletakkan berwarna kuning cerah dengan adanya busa
sekitar telur (Gambar 6a). Telur O. japonica memiliki rata-rata panjang 4.52 mm
dan lebar 0.91 mm (Lampiran 1). Jumlah telur yang dikumpulkan dari lapangan
sebanyak 1 189 butir telur dan 73.09% merupakan telur yang menetas menjadi
nimfa O. japonica (Gambar 6b). Telur inang yang terparasit ditandai dengan
adanya perubahan warna telur menjadi kehitaman dan terdapat mekonium yang
berwarna kuning pada ujung telur (Gambar 6c). Jumlah telur yang tidak menetas
sebanyak 8.16% dari jumlah telur yang dikumpulkan terjadi karena telur
mengering dan juga karena adanya nematoda yang menyerang. Telur mengering
disebabkan pelepah daun talas saat pemeliharaan telur mudah kering sehingga
telur yang berada di dalam pelepah daun talas tersebut juga menjadi kering dan
tidak dapat berkembang menjadi nimfa O. japonica. Pada saat pengamatan
berlangsung, ditemukan nematoda yang memarasit telur O. japonica namun
jumlahnya hanya sedikit.
Tabel 1 Jumlah telur O. japonica dari lapangan yang menetas, tidak menetas dan
.terparasit
N
Individu
%

Jumlah telur
yang
dikoleksi
1 189
100

Jumlah
telur yang
menetas
869
73.09

Jumlah telur
yang tidak
menetas
97
8.16

Jumlah telur yang terparasit
Scelio sp.
188
15.81

Eurytoma sp.
35
2.94

Terdapat dua jenis parasitoid yang ditemukan selama pemeliharaan telur
inang, yaitu Scelio sp. (Hymenoptera: Scelionidae) (Gambar 7a) dan Eurytoma sp.
(Hymenoptera: Eurytomidae) (Gambar 7b). Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa
tingkat parasitisasi dari kedua parasitoid tersebut sebesar 18.75%, parasitisasi oleh
Scelio sp. sebesar 15.81% dan Eurytoma sp. sebesar 2.94%. Tingkat parasitisasi
Scelio sp. lebih tinggi dibandingkan Eurytoma sp. Hal ini menunjukkan bahwa
parasitoid famili Scelionidae lebih dominan daripada parasitoid Eurytomidae pada
telur inang O. japonica. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Yuliani (2003)

8
2 mm

2 mm
1 mm

Gambar 6 Telur O. japonica di dalam pelepah daun talas; (a) Telur yang baru
.diletakkan,.(b) telur .yang tidak terparasit, (c) telur yang terparasit
.dengan mekonium

1 mm

1 mm

Gambar 7 Imago parasitoid telur yang ditemukan dari lapangan; (a) Scelio sp., (b)
.Eurytoma sp.
bahwa parasitoid Scelio sp. pada kelompok telur Oxya spp. ditemukan dalam
jumlah yang banyak.
Banyak faktor yang mempengaruhi persentase tinggi rendahnya tingkat
parasitisasi di lapangan. Salah satu faktornya adalah keberadaan pertanaman yang
sedang berbunga di sekeliling pertanaman inang dan menjadi pendukung bagi
tersedianya makanan berupa nektar. Ketersediaan makanan parasitoid akan
mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat parasitisasi di lapangan (Yuliani 2003).
Perkembangan Scelio sp.
Pradewasa
Scelio sp. merupakan parasitoid yang banyak menyerang serangga lain pada
fase telur dari serangga ordo Orthoptera. Parasitoid ini termasuk endoparasitoid
obligat pada telur belalang Acrididae (Dangerfield et al. 2001). Perkembangan
parasitoid ini termasuk dalam perkembangan hipermetamorfosis karena tipe fase
larva instar awal berbeda. Ada pun bentuk pada tahapan pradewasa parasitoid ini
berbeda pada setiap fasenya. Telur parasitoid Scelio sp. ditemukan di dalam telur
O. japonica yang dibedah pada 3 jam setelah peletakan telur (SPT) berbentuk
lonjong dengan bagian ujung depan yang membesar dan bagian belakang yang
mengecil atau lebih meruncing (Gambar 8a, b). Telur Scelio sp. berwarna
putih susu dengan rata-rata panjang 0.88 mm dan lebar 0.11 mm (Tabel 2).

9

0.5 mm

0.5 mm

0.5 mm

0.5 mm

1 mm

2 mm

2 mm

2 mm

2 mm

Gambar 8 Bentuk fase perkembangan pradewasa Scelio sp.; (a) & (b) Telur (tipe
stalked) pada 3 jam SPT, (c) & (d) larva instar awal (tipe teleaform)
pada 2 hari SPT, (e) bentuk larva instar akhir (hymenopteriform) pada
8 hari SPT, (f) pupa dalam telur inang pada hari ke-20, (g) pupa
setelah pembedahan pada hari ke-20, (h) pupa dalam telur inang pada
hari.ke-21, (i) pupa setelah pembedahan pada hari ke-21
Tabel 2 Ukuran telur dan larva Scelio sp. (mm)
Fase

Panjang

x̅ ± SD
Telur
0.88 ± 0.07
Larva instar awal
0.67 ± 0.05
Larva instar akhir
2.82 ± 0.16
*)rata-rata, **)standar deviasi
*)

**)

Kisaran
0.75 - 1.00
0.55 - 0.75
2.65 - 3.15

Lebar
x̅ ± SD
0.11 ± 0.03
0.21 ± 0.04
1.18 ± 0.05

N
Kisaran
0.05 - 0.15
0.15 - 0.30
1.10 - 1.25

20
20
20

Lampiran 2 menunjukkan ukuran telur Scelio sp. pada 3 jam SPT. Pada telur
Scelio sp. terdapat tangkai (stalk) dengan bentuk telur yang memanjang. Menurut
Clausen (1940), telur yang memiliki karakter ini adalah telur yang bertipe stalked.
Perkembangan telur Scelio sp. relatif singkat dengan masa waktu penetasan
telur rata-rata 2 hari (Tabel 3). Telur mulai diletakkan ke dalam telur inang ketika
imago betina menemukan inangnya dengan waktu praoviposisi yang sangat cepat.
Betina Scelio sp. dapat meletakkan telur ketika imago baru keluar dari inangnya.
Telur dapat diletakkan ke dalam inang walaupun tanpa melalui proses kopulasi

10
Tabel 3 Lama perkembangan Scelio sp.
Fase
Telur
Larva
Pupa
Telur  imago jantan
Telur  imago betina

Lama perkembangan (hari)
x̅*) ± SD**)
2.00 ± 0.00
6.00 ± 0.00
20.15 ± 0.88
28.00 ± 0.73
28.40 ± 0.82

N
20
20
20
20
20

*)rata-rata, **)standar deviasi

antara imago jantan dan betina terlebih dahulu. Telur Scelio sp. yang diletakkan
tanpa proses kopulasi tetap dapat menetas, akan tetapi individu baru parasitoid
yang keluar dari inang adalah parasitoid jantan, sedangkan imago betina yang
berkopulasi dan meletakkan telur akan menghasilkan parasitoid jantan dan betina.
Pola reproduksi parasitoid seperti ini disebut arrhenotoky karena telur yang
dibuahi dapat menghasilkan keturunan betina, sedangkan telur yang tidak dibuahi
akan menghasilkan keturunan jantan. Hal yang sama juga pernah dilaporkan oleh
Irianto (1986) pada parasitoid Diadegma eucerophaga (Hymenoptera:
Ichneumonidae) yang menyerang larva Plutella xylostella (Lepidoptera:
Yponomeutidae). Parasitoid D. eucerophaga ini memiliki pola reproduksi yang
sama seperti parasitoid Scelio sp. dalam penelitian ini, yaitu arrhenotoky.
Larva Scelio sp. terbentuk setelah 2 hari dari telur diletakkan. Larva instar
awal memiliki rata-rata panjang 0.67 mm dan lebar 0.21 mm. Larva instar awal
memiliki ukuran panjang antara 0.55 - 0.75 mm dan lebar 0.15 - 0.30 mm (Tabel
2, Lampiran 3). Larva Scelio sp. instar awal memiliki bentuk dengan karakteristik
abdomen yang agak membulat dan cekung, berwarna putih transparan, dan
memiliki mandibel besar seperti kait yang mengarah ke bagian ventral (Gambar
8c, d). Menurut Clausen (1940), bentuk larva seperti ini tergolong ke dalam tipe
larva telaform. Larva instar akhir memiliki rata-rata panjang 2.82 mm dan lebar
1.18 mm. Lampiran 4 menunjukkan panjang dan lebar larva instar akhir Scelio sp.
pada 8 hari SPT. Larva instar akhir berbentuk lonjong, agak membulat pada kedua
ujungnya dan memiliki warna transparan (Gambar 8e). Larva instar akhir ini
memiliki tipe hymenopteriform (Clausen 1940). Perkembangan larva Scelio sp.
dari instar awal hingga instar akhir terjadi selama 6 hari (Tabel 3).
Perkembangan parasitoid Scelio sp. yang paling lama adalah pada fase pupa
dengan lama perkembangan selama 20.15 hari dan mulai terbentuk pupa dengan
bentuk yang jelas pada 20 hari SPT. Pupa Scelio sp. dijumpai dengan bentuk yang
jelas saat dilakukan pembedahan pada 20 dan 21 hari SPT. Pupa berwarna kuning
pada 20 hari (Gambar 8f) dan akan mulai menghitam pada 21 hari SPT (Gambar
8g). Bagian tubuh pupa Scelio sp. menyerupai imago, seperti bakal mata, tungkai,
antena dan ruas abdomen yang juga sudah terbentuk. Lama perkembangan hidup
Scelio sp. dari telur hingga menjadi imago masing-masing 28.00 hari pada imago
jantan dan 28.40 hari pada imago betina (Tabel 3). Perkembangan hidup Scelio sp.
dari telur diletakkan hingga imago keluar dari telur inang berkisar antara 26
hingga 30 hari. Umumnya, imago jantan keluar lebih cepat daripada imago betina.
Imago jantan keluar dari inang mulai hari ke-26 sampai ke-29, sedangkan betina
keluar dari hari ke-27 sampai ke-30 SPT (Lampiran 5).

11
Imago
Imago Scelio sp. berwarna hitam dari bagian kepala hingga ujung abdomen
(Gambar 9a, b). Bagian skapus antena dan tungkai berwarna coklat kemerahan.
Pada seluruh bagian tubuh terdapat seta halus, khususnya pada bagian kepala dan
toraks (Gambar 10a, b). Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari jumlah ruas
antena dan bentuk abdomen.

1 mm

1 mm

Gambar 9 Imago Scelio sp.; (a) Jantan, (b) betina
Karakter khusus lainnya yang dimiliki Scelio sp. ini adalah letak ocelli yang
membentuk segitiga, yaitu bagian anterior ocellus (ao) dan posterior ocelli (po)
(Gambar 10b). Sayap Scelio sp. memiliki kesamaan dengan Scelionidae lainnya,
po

po
ao

Gambar 10 Karakteristik parasitoid Scelio sp.; (a) Seta pada bagian kepala dan
toraks, (b) kepala dari arah anterior, (c) .sayap.depan dan belakang,
(d) vena stigmal pada sayap depan, (e) & (f) tungkai depan hingga
belakang, (g).taji pada.tibia, (h) antena imago jantan, (i) antena
imago betina

12
yaitu dengan venasi sayap yang tidak sempurna. Vena tubular hanya terdapat pada
bagian submarginal (Sc + R) dengan vena stigmal pada bagian sayap depan
(Gambar 10c, d). Scelio sp. memiliki tungkai dengan trokhanter bagian depan
yang sempit dan ukurannya lebih panjang dari trokhanter tungkai tengah dan
belakang. Koksa pada tungkai depan ukurannya membesar dari bagian tungkai
depan hingga tungkai belakang (Gambar 10f). Tungkai Scelio sp. memiliki taji
pada bagian dorso-apikal tibia (Gambar 10g). Menurut Dangerfield et al. (2001),
karakter morfologi seperti ini merupakan gambaran dari ciri umum karakteristik
yang dimiliki oleh parasitoid Scelio sp. Antena imago jantan memiliki jumlah ruas
yang berbeda dengan imago betina. Imago jantan memiliki 10 ruas (Gambar 10h)
dan imago betina memiliki 12 ruas antena (Gambar 10i) dari bagian skapus
hingga flagelum. Imago jantan dan betina juga dapat dibedakan dari bentuk
bagian ujung abdomen. Imago jantan memiliki ujung abdomen lebih ramping
dengan ujung yang menumpul, sedangkan betina melebar dengan ujung yang
meruncing.
Imago Scelio sp. keluar dari inang ditandai dengan perubahan warna telur
inang yang menghitam (Gambar 11a). Scelio sp. keluar dengan cara menggigit
kulit telur O. japonica pada bagian ujung dan menggigit dari bagian dalam hingga
terbentuk pola lingkaran pada ujung telur (Gambar 11b). Imago yang keluar dari
inang dapat langsung bergerak aktif, mencari makan, melakukan kopulasi dan
terbang (Gambar 11c). Imago jantan memiliki ukuran panjang 4.41 ± 0.16 mm
dan rentang sayap 5.56 ± 0.16 mm, lebih kecil dibandingkan imago betina dengan
panjang 4.57 ± 0.11 mm dan rentang sayap 5.75 ± 0.14 mm (Tabel 4). Lampiran 6
dan 7 menunjukkan kisaran ukuran tubuh imago jantan dan imago betina Scelio
sp. yang meliputi rentang sayap, panjang tubuh dan lebar tubuh.

Gambar 11 Imago Scelio sp. saat keluar dari telur inang; (a) Imago masih di
dalam telur inang, (b) imago menggigit kulit telur inang, (c) imago
telah keluar dari telur inang
Tabel 4 Ukuran tubuh dan lama hidup imago Scelio sp.
Imago
Jantan
Betina

Panjang (mm)
x̅*) ± SD**)
4.41 ± 0.16
(4.20 - 4.73)***)

Lebar (mm)
x̅ ± SD
0.81 ± 0.04
(0.73 - 0.86)

4.57 ± 0.11
0.79 ± 0.04
(4.33 - 4.73)
(0.73 - 0.86)
*)rata-rata, **)standar deviasi, ***) nilai kisaran

Rentang sayap (mm)
x̅ ± SD
5.56 ± 0.16
(5.40 - 5.86)

Lama hidup (hari)
x̅ ± SD
4.10 ± 1.02
(2.00 - 6.00)

5.75 ± 0.14
(5.46 - 5.93)

5.10 ± 1.25
(3.00 - 7.00)

N
20

20

13
Pemberian madu sebagai pengganti pakan parasitoid di lapangan, membantu
dalam mengetahui lamanya hidup individu imago parasitoid di laboratorium
selama pengamatan. Lama hidup imago Scelio sp. relatif singkat, yaitu antara 2
hingga 7 hari. Imago jantan memiliki rata-rata lama hidup 4.10 hari dan imago
betina 5.10 hari. Lama hidup imago jantan lebih singkat satu hari dibandingkan
imago betina. Imago jantan hidup sekitar 2 hingga 6 hari, sedangkan imago betina
mampu hidup selama 3 hingga 7 hari (Lampiran 5).
Peletakan Telur oleh Imago Scelio sp.
Hasil pengamatan peletakan telur Scelio sp. menunjukkan bahwa sebelum
menemukan inang, parasitoid betina berjalan mengelilingi wadah kurungan plastik
selama 3 sampai 5 menit, kemudian diam dan menggerakkan antena seperti
mengetuk-ketuk (drumming). Selanjutnya parasitoid berjalan mendekati lubang
telur O. japonica dengan memasukkan kepala hingga setengah bagian tubuhnya
(Gambar 12a). Selama berada di dekat permukaan lubang, imago membuka
lubang telur inang yang agak tertutup dengan cara menggerigit busa dengan alat
mulutnya dan akan keluar kembali. Setelah terjadi kontak dengan inang,
parasitoid selanjutnya kembali masuk ke dalam lubang telur pada jaringan talas
didahului dengan masuknya bagian ujung abdomen sehingga terlihat mundur,
kemudian parasitoid menusukkan ovipositornya ke dalam telur inang (Gambar
12c).

Gambar 12 Peletakan telur oleh imago Scelio sp.; (a) Imago betina mendekati
.lubang tempat kelompok telur O. japonica, (b) & (c) imago betina
.saat meletakkan telur di dalam lubang tempat telur O. japonica, (d)
.& (e) ovipositor betina Scelio sp. saat peletakan telur
Parasitoid betina melakukan gerakan maju dan mundur saat menusukkan
ovipositornya (Gambar 12b). Namun, tidak semua parasitoid Scelio sp.
meletakkan telur ke dalam inang. Pada beberapa kali pengamatan, betina terlihat
menusukkan ovipositor ke dalam inang, tetapi saat dilakukan pembedahan tidak
terdapat telur di dalamnya. Hal yang sama pernah terjadi pada parasitoid
Trichogramma chilotraeae (Hymenoptera: Trichogrammatidae) yang memarasit
inangnya namun tidak terdapat telur di dalamnya (Hasriyanty 2006). Ovipositor
Scelio sp. berwarna putih kekuningan berbentuk memanjang dengan ukuran lebih

14
panjang dari bagian metasomanya (Gambar 12d, e). Imago betina menusukkan
ovipositor ke dalam inang secara berulang kali dan ini memungkinkan terdapat
lebih dari satu telur yang berhasil diletakkan di dalam satu inang. Hal ini terlihat
pada saat pengamatan telur Scelio sp. (Lampiran 2) dan larva instar awal
(Lampiran 3) yang terdapat lebih dari satu individu dalam satu inang. Menurut
Noble (1935) dalam Dangerfield et al. (2001), hanya satu parasitoid yang
berkembang dan berhasil mencapai imago, namun beberapa telur dapat diletakkan
pada inang yang sama.

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Telur Scelio sp. bertipe stalked, larva instar awal bertipe teleaform, dan
larva instar akhir bertipe hymenopteriform. Perkembangan hidup parasitoid dari
awal telur diletakkan pada inang hingga imago keluar berkisar antara 26 sampai
30 hari. Lama hidup imago jantan lebih pendek (4.10 ± 1.02 hari) dibandingkan
dengan imago betina (5.10 ± 1.25 hari). Imago jantan memiliki ukuran tubuh yang
lebih kecil dibandingkan imago betina. Imago jantan memiliki rata-rata panjang
tubuh 4.41 ± 0.16 mm dan betina 4.57 ± 0.11 mm. Parasitoid Scelio sp.
meletakkan telur pada inang O. japonica dengan cara masuk ke dalam lubang
telur didahului dengan masuknya abdomen.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aspek biologi
lainnya dan inang lain yang dapat dijadikan sebagai inang alternatif bagi
pembiakan parasitoid.

DAFTAR PUSTAKA

Clausen CP. 1940. Entomophagous Insects. New York (US): McGraw-Hill.
Dangerfield PC, Austin AD, Baker GL. 2001. Biology, Ecology and Systematics
of Australia Scelio Wasp Parasitoids of Locust and Grasshopper Eggs.
Collingwood (AU): CSIRO.
Hai-hua WU, Yang Mei-ling, Guo Ya-ping, En-bo MA. 2005. Comparisons of
properties of acetylcholinesterase from two field-collected populations of
Oxya chinensis Thunberg (Orthoptera: Acrididae) and the role of
acetylcholinesterase in the susceptibility to malathion. J Agric Sci. [Internet]
[diunduh 2014 Mei 8]; 4(1):47-53. Tersedia pada:http://abi.sxu.edu.cn/docs/
20090618114314453403.pdf.
Hasriyanty. 2006. Perilaku, pola peletakan telur dan efisiensi pemarasitan
parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja dan Nagarkatti
(Hymenoptera: Trichogrammatidae) pada berbagai jumlah inang dan
kepadatan parasitoid [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hollis D. 1971. A preliminary revision of the genus Oxya Audient Serville
(Orthoptera: Acridoidea). Bull Brit Mus (Natural History) Entomol.
26(7):269–343.
Irianto K. 1986. Biologi, perilaku peletakan telur dan superparasitisme parasitoid
Diadegma eucerophaga Horstman (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada
larva Plutella xylostella Linnaeus (Lepidoptera: Yponomeutidae) [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesië.
Li T, Geng Y, Zhong Y, Zhang M, Ren Z, Maa J, Guo Y, Ma E. 2010. Hostassociated genetic differentiation in rice grasshopper, Oxya japonica on
wild vs. cultivated rice. J Bioecol. [Internet] [diunduh 2014 Mei 27];
38(2010): 958-963.doi:10.1016/j.bse. 2010.05.003.
Masner L. 1980. Key to genera of Scelionidae of the Holarctic region, with
descriptions of new genera and species (Hymenoptera: Proctotrupoidea). J
Entomology Canada. [Internet] [diunduh 2014 April 7]; 113: 1-54. Tersedia
pada: http://128.146.250.117/pdfs-osuc/474/474.pdf.
Melanie. 2008. Pengaruh infeksi jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae
terhadap mortalitas dan respon imun Oxya japonica (Orthoptera : Acrididae)
[tesis]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Nurindah. 2006. Pengelolaan agroekosistem dalam pengendalian hama.
J Perspektif. [Internet] [diunduh 2014 April 22]; 5(2):78–85. Tersedia pada:
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif/P
erspektif_vol_5_No_2_3_Nurindah.pdf.
Sembel DT. 2010. Pengendalian Hayati Hama-hama Serangga Tropis dan
Gulma. Yogjakarta (ID): Andi Offset.
Warti. 2006. Perkembangan hama tanaman padi pada tiga sistem budidaya
pertanian di desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

17
Willemse LPM. 2001. Fauna Malesiana Guide to the Pest Orthoptera of the IndoMalayan Region. Leiden (NL): Backhuys Publishers.
Yoder MJ, Valerio AA, Polaszek A, van Noort S, Masner L, Johnson NF. 2014.
Monograph of the afrotrofical spesies of Scelio Latreille (Hymenoptera,
Platygastridae), egg parasitoids of acridid grasshoppers (Orthoptera,
Acrididae). J ZooKeys. [Internet] [diunduh 2014 April 5]; 380(2014): 1188.doi: 10.3897/zookeys.380.5755.
Yuliani D. 2003. Pengamatan serangga predator dan parasitoid Oxya spp.
(Orthoptera: Acrididae) pada pertanaman padi dan talas di daerah Bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

18

19

LAMPIRAN

20
Lampiran 1 Ukuran telur O. japonica (mm)
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Rata-rata ± SD*)
*) standar deviasi

Panjang
4.60
4.45
4.50
4.45
4.60
4.50
4.45
4.55
4.50
4.60
4.45
4.50
4.45
4.60
4.55
4.50
4.45
4.60
4.60
4.55
4.52 ± 0.06

Lebar
0.95
0.90
0.95
0.95
0.95
0.90
0.85
1.00
0.85
0.90
0.90
0.85
0.80
0.95
1.00
0.90
0.90
0.85
0.80
0.95
0.91 ± 0.06

Lampiran 2 Ukuran telur Scelio sp. pada 3 jam SPT*) (mm)
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Panjang
0.95
0.95
0.90
0.85
0.90
0.85
0.85
1.00
0.95
0.85
0.90
11
1.00
0.85
12
0.85
13
0.90
14
0.75
15
0.85
16
0.95
17
0.90
18
0.90
0.85
0.75
19
0.80
20
0.85
**)
Rata-rata ± SD
0.88 ± 0.07
*)setelah peletakan telur, **) standar deviasi

Lebar
0.15
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.10
0.15
0.10
0.10
0.05
0.15
0.05
0.10
0.10
0.15
0.10
0.05
0.15
0.10
0.15
0.10
0.10
0.10
0.11 ± 0.03

21
Lampiran 3 Ukuran larva instar awal Scelio sp. pada 2 hari SPT*) (mm)
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Panjang
0.65
0.65
0.65
0.60
0.75
0.70
0.70
0.70
0.70
0.65
0.70
0.65
12
0.65
13
0.75
14
0.70
15
0.65
16
0.60
0.55
17
0.70
0.65
18
0.65
19
0.60
20
0.70
**)
Rata-rata ± SD
0.67 ± 0.05
*)setelah peletakan telur, **) standar deviasi

Lebar
0.20
0.20
0.15
0.20
0.20
0.20
0.20
0.20
0.20
0.25
0.30
0.25
0.20
0.20
0.20
0.15
0.20
0.20
0.20
0.20
0.15
0.20
0.30
0.21 ± 0.04

Lampiran 4 Ukuran larva instar akhir Scelio sp. pada 8 hari SPT*) (mm)
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Panjang
2.70
2.65
2.65
2.80
2.85
2.80
3.00
3.00
2.90
3.15
3.10
3.00
2.65
2.75
2.65
2.80
2.65
2.85
2.80
2.65

Rata-rata ± SD**)
2.82 ± 0.16
*)setelah peletakan telur, **) standar deviasi

Lebar
1.15
1.15
1.10
1.20
1.15
1.10
1.25
1.25
1.25
1.25
1.20
1.20
1.15
1.20
1.20
1.15
1.10
1.15
1.20
1.10
1.18 ± 0.05

22
Lampiran 5 Lama perkembangan pradewasa dan lama hidup imago jantan dan
betina Scelio sp. (hari)
Jantan
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Rata-rata ± SD*)
*)standar deviasi

Lama
perkembangan
pradewasa
26
27
27
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
29
29
29
29
28.00 ± 0.73

Betina
Lama hidup
imago
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
5
6
4.10 ± 1.02

Lama
perkembangan
pradewasa
27
27
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
29
29
29
29
29
29
30
30
28.40 ± 0.82

Lama hidup
imago
3
3
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
6
6
6
6
6
7
7
7
5.10 ± 1.25

Lampiran 6 Ukuran imago jantan Scelio sp. (mm)
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Rata-rata ± SD*)
*)standar deviasi

Rentang sayap
5.46
5.40
5.46
5.80
5.73
5.66
5.53
5.60
5.53
5.40
5.86
5.40
5.72
5.46
5.46
5.40
5.53
5.46
5.86
5.46
5.56 ± 0.16

Panjang tubuh
4.26
4.53
4.46
4.53
4.73
4.53
4.46
4.20
4.33
4.60
4.46
4.26
4.46
4.33
4.40
4.26
4.06
4.46
4.33
4.53
4.41 ± 0.16

Lebar tubuh
0.73
0.80
0.80
0.86
0.86
0.73
0.80
0.73
0.80
0.86
0.86
0.80
0.80
0.80
0.86
0.80
0.80
0.80
0.86
0.80
0.81 ± 0.04

23
Lampiran 7 Ukuran Imago betina Scelio sp. (mm)
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Rata-rata ± SD*)
*)standar deviasi

Rentang sayap
5.66
5.66
5.46
5.66
5.93
5.66
5.93
5.80
5.93
5.73
5.93
5.93
5.80
5.60
5.66
5.66
5.60
5.66
5.93
5.73
5.75 ± 0.14

Panjang tubuh
4.73
4.53
4.46
4.53
4.53
4.60
4.73
4.60
4.66
4.66
4.53
4.73
4.46
4.53
4.66
4.53
4.40
4.33
4.53
4.60
4.57 ± 0.11

Lebar tubuh
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.86
0.80
0.80
0.80
0.80
0.73
0.73
0.73
0.73
0.80
0.73
0.80
0.80
0.79 ± 0.04

24

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada tanggal 10 Oktober 1991, sebagai
putra ke lima dari Ayah Rumaini dan Ibu Nooryani, penulis adalah putra ke lima
dari lima bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari MA Darul Hijrah Putra
Martapura dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah Kementrian Agama
dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan dan
kepanitiaan dari Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA),
termasuk menjadi pengurus dan juga menjadi kepala bagian Divisi Akademik dan
Prestasi HIMASITA periode 2013-2014 dan ikut serta dalam mengikuti kegiatan
dan kepanitian di dalamnya. Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum
Dasar-dasar Proteksi Tanaman pada tahun 2013.