Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Aceh

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS
(HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA
KEBAKARAN DI PROVINSI ACEH

DESI MARDIANI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Curah Hujan
dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di
Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Desi Mardiani
NIM E44100025

ABSTRAK
DESI MARDIANI. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam
Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Aceh. Dibimbing oleh
BAMBANG HERO SAHARJO dan ERIANTO INDRA PUTRA.
Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Aceh dari tahun ke tahun semakin
meluas dan bertambah. Meskipun pada beberapa tahun sempat terjadi penurunan,
pada tahun 2012 di Provinsi Aceh terjadi peningkatan jumlah kebakaran yang
paling tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara curah
hujan dengan titik panas (hotspot) di Provinsi Aceh terkait dengan terjadinya
kebakaran hutan di Provinsi Aceh dan mengetahui wilayah yang paling parah
dilanda kebakaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa musim kemarau di
Provinsi Aceh terjadi pada bulan Mei sampai Oktober dengan puncak musim
kemarau pada bulan Juni. Peningkatan jumlah hotspot ini mengikuti pola curah
hujan yang rendah. Keadaan ini menjelaskan bahwa peningkatan dan penurunan
jumlah hotspot di Provinsi Aceh berkaitan dengan penurunan dan peningkatan

curah hujan di Provinsi Aceh. Penelitian ini menunjukkan bahwa daerah di Provinsi
Aceh yang mengalami kebakaran hutan terparah pada periode 2008-2013 dengan
jumlah hotspot tertinggi terdeteksi pada Kabupaten Aceh Barat (969 hotspot),
Kabupaten Naganraya (840 hotspot), dan Kabupaten Aceh Singkil (687 hotspot).
Kata kunci : Curah hujan, hotspot, kebakaran hutan, Provinsi Aceh

ABSTRACT
DESI MARDIANI. Relationship between Rainfall and Hotspot with Forest Fires
Occurrances in Aceh Province. Supervised by BAMBANG HERO SAHARJO and
ERIANTO INDRA PUTRA.
Forest and land fire in Aceh Province were increasing from year to year.
Although there are declining fires at several years of decline, in 2012 Aceh was
suffered from the highest fires in the last decade. This research aims to analyze the
relationship between rainfall and forest land fires occurrences in Aceh. The study
shows that hotspot were occurs in May to October with the peak of the dry season
in June. An increase in the number of hotspots is following a pattern of low rainfall.
This situation showed that increase and decrease of the number of hotspots in Aceh
are associated with a decrease and an increase in rainfall. Areas in Aceh Province
that suffered from highest number of forest fire in the period 2008-2013 were West
Aceh Regency (969 hotspot), Naganraya Regency (840 hotspot), and Aceh Singkil

Regency (687 hotspot).
Keywords: Aceh Province, forest fires, hotspots, rainfall

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS
(HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA
KEBAKARAN DI PROVINSI ACEH

DESI MARDIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya
dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Aceh
Nama
: Desi Mardiani
NIM
: E44100025

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr
Pembimbing I

Dr Erianto Indra Putra, SHut, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen Silvikultur


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari-Mei 2014 ini ialah
kebakaran hutan, dengan judul Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot)
di Provinsi Aceh.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Hero
Saharjo MAgr dan Bapak Dr Erianto Indra Putra SHut MSi selaku pembimbing,
juga kepada Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati MSi selaku dosen penguji, serta para
dosen yang telah memberikan pengajaran yang sangat berharga. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Weather Underground, NASA-FIRMS
serta kepada teman-teman Silvikultur 47, teman-teman satu bimbingan, temanteman Kost Putri Bunda yang telah membantu selama pengerjaan skripsi ini.
Ungkapan terima kasih yang paling besar disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh
keluarga serta Bayu Purnama, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

Desi Mardiani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

METODE PENELITIAN

2

Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Alat dan Bahan

2

Analisis Data


2

HASIL DAN PEMBAHASAN

3

Kondisi Umum Provinsi Aceh

3

Pola Sebaran Hotspot

4

Pengaruh Curah Hujan Terhadap Hotspot

7

SIMPULAN DAN SARAN


12

Simpulan

12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

14

DAFTAR TABEL

1 Jumlah hotspot di Provinsi Aceh perkabupaten tahun 2008-2013
2 Hotspot tertinggi dan curah hujan di Aceh pada periode 2008−2013
3 Hotspot terendah dan curah hujan di Aceh pada periode 2008−2013

6
10
10

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Peta wilayah administratif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
4
Pola sebaran hotspot di Provinsi Aceh tahun 2008–2013
5
Grafik jumlah hotspot per tahun di Provinsi Aceh pada periode 2008−2013 8
Grafik rata-rata jumlah curah hujan harian dan jumlah hotspot harian di

Provinsi Aceh periode 2008–2013
8
5 Grafik rata-rata jumlah curah hujan 10 harian dan jumlah hotspot 10 harian
di Provinsi Aceh periode 2008–2013
9
6 Grafik rata-rata jumlah curah hujan bulanan dan jumlah hotspot bulanan
di Provinsi Aceh periode 2008–2013
9
7 Grafik regresi linear curah hujan dan jumlah hotspot di Provinsi Aceh
periode 2008–2013
12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu permasalahan serius yang
sampai saat ini masih belum dapat diatasi dengan baik. Setiap tahun masalah
kebakaran hutan cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas illegal logging, konversi lahan untuk pemukiman,
perladangan, perkebunan skala besar, pembangunan hutan tanaman yang lebih
rawan terbakar, serta kondisi iklim yang mendukung terjadinya kebakaran hutan
dan lahan yaitu salah satunya pada periode dimana curah hujan rendah.
Kebakaran hutan dan lahan di Aceh dari tahun ke tahun semakin meluas dan
bertambah. Meskipun pada beberapa tahun sempat terjadi penurunan, pada tahun
2012 terjadi peningkatan yang sangat tinggi. Kebakaran hutan dan lahan di Aceh
pada tahun 2012 menjadi yang terbesar dalam enam tahun terakhir. Hingga awal
September 2012 telah terjadi 745 kali kebakaran hutan. Jumlah tersebut setara
dengan 65% dari keseluruhan kejadian kebakaran hutan di Provinsi Aceh mulai
tahun 2007 hingga 2011 yang total kejadian sebanyak 1 129 kejadian (Walhi 2012).
Dampak cuaca panas di Provinsi Aceh telah menyebabkan semakin
meluasnya kebakaran hutan, kekeringan, dan persoalan lainnya yang dihadapi
masyarakat. Di Kabupaten Aceh Singkil, areal yang terbakar selain hutan juga
perkebunan sawit masyarakat dan milik perusahaan swasta. Titik-titik kebakaran
antara lain di Singkil dan Singkil Utara. Dampak kebakaran di Provinsi Aceh juga
menimbulkan masalah lingkungan yaitu kabut asap yang mengganggu lalu lintas
akibat semakin berkurangnya jarak pandang. Kebakaran yang terjadi di Aceh Jaya.
Aceh Barat Daya, Aceh Barat, dan Naganraya disebabkan beberapa hal, antara lain
munculnya sumber api dari bawah lahan gambut akibat meningkatnya suhu bumi
dan juga disebabkan pembukaan lahan perkebunan baru dengan cara membakar
(Walhi 2012).
Iklim merupakan faktor alam yang dapat memengaruhi peristiwa kebakaran
pada suatu wilayah. Kondisi iklim (suhu, kelembaban, curah hujan, dan kecepatan
angin) di suatu tempat akan memengaruhi tingkat kekeringan bahan bakar,
penjalaran api, ketersediaan oksigen dan lain-lain (Syaufina 2008). Aceh beriklim
tropis, terdiri atas musim kering dan musim hujan, tetapi pada bulan tertentu
menyebabkan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Untuk
mengetahui pengaruh dari unsur iklim, terutama curah hujan terhadap terjadinya
kebakaran hutan, maka perlu diketahui hubungan antara hotspot sebagai suatu
indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan kondisi curah hujan di
wilayah pengamatan.
Deteksi kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu kegiatan yang
penting dalam rangka pengendalian kebakaran hutan yaitu memberikan informasi
mengenai indikasi terjadinya kebakaran. Adanya pengaruh dari unsur iklim
terutama curah hujan terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat
diketahui dengan mencari hubungan antara hotspot dengan curah hujan sebagai
suatu indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara curah hujan
dengan titik panas (hotspot) dan mengetahui sebaran kejadian kebakaran hutan dan
lahan di Provinsi Aceh pada tahun 2008-2013
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh curah
hujan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Aceh dan di
wilayah-wilayah yang sering terbakar, sehingga menjadi alat bantu untuk
mengambil keputusan manajemen pengendalian dan peringatan dini terhadap
kejadian kebakaran di Provinsi Aceh.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada bulan
Februari sampai Mei 2014.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder: data
curah hujan harian Provinsi Aceh periode tahun 2008 sampai dengan 2013 yang
diperoleh dari Weather Underground, data hotspot Provinsi Aceh periode tahun
2008 sampai dengan 2013 yang diperoleh dari NASA- FIRMS MODIS hotspot
dataset. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, seperangkat
komputer dengan beberapa perangkat program, yaitu Arc ViewGIS 3.3 untuk
pengolahan dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), serta MS Excel untuk
pengolahan grafik dan tabulasi
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif.
Analisis data yang pertama dilakukan pemetaan sebaran hotspot di Provinsi Aceh
pada tahun 2008–2013 dengan menggunakan data hotspot MODIS dengan tingkat
kepercayaan ≥ 50% yang diolah menggunakan perangkat lunak Arc ViewGis 3.3
melalui tahapan sebagai berikut : perhitungan jumlah hotspot harian di Provinsi
Aceh periode tahun 2008-2013, perhitungan jumlah hotspot 10 harian di Provinsi
Aceh periode tahun 2008-2013, dan perhitungan jumlah hotspot bulanan di Provinsi
Aceh periode tahun 2008-2013. Sedangkan data curah hujan di hitung dengan
menggunakan MS Excel yaitu perhitungan data curah hujan harian periode tahun
2008-2013, perhitungan data curah hujan 10 harian (dasarian) periode 2008-2013,
dan perhitungan data curah hujan bulanan periode 2008-2013 di Provinsi Aceh.

3
Hotspot dapat dideteksi oleh MODIS dari NASA Earth Observing System
(EOS). Pendugaan hotspot memiliki kekurangan yakni dalam hal akurasi data. Oleh
sebab itu perlu dilakukan seleksi terhadap data hotspot, salah satunya adalah dengan
memilih data hotspot yang memiliki nilai kepercayaan (confidence) tinggi. Melalui
cara tersebut maka ketidakakuratan data dapat diminimalisasi. Menurut
Adinugroho et al. (2005), untuk menghindari terjadinya kemungkinan salah
perkiraan hotspot semisal bocornya cerobong api dari tambang minyak, diperlukan
upaya penggabungan (overlay) antara data hotspot dengan peta penutupan lahan
atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta
dengan melakukan cek lapangan (ground surveying). Data hotspot yang digunakan
pada penelitian ini memiliki nilai kepercayaan ≥50% untuk meminimalisasi
ketidakakuratan data hotspot tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Provinsi Aceh
Provinsi Aceh terletak di bagian barat Indonesia tepatnya di bagian ujung
Pulau Sumatera. Secara geografis Aceh terletak antara 2°- 6° Lintang Utara dan 95°
– 98° Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 mdpl. Sebelah Utara dan Timur
Provinsi Aceh berbatasan dengan Selat Malaka, di sebelah Selatan dengan Provinsi
Sumatera Utara dan di sebelah Barat dengan Samudra Hindia (Dinas Kehutanan
Provinsi Aceh 2012). Satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan Provinsi
Sumatera Utara sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan
provinsi tersebut.
Aceh beriklim tropis, terdiri atas musim kering (Maret-Agustus) dan musim
hujan (September – Februari). Kelembaban udara di wilayah provinsi Aceh
mencapai 79%, dengan rata-rata curah hujan adalah 131.4 mm/bulan. Di daerah
pesisir, curah hujan berkisar antara 1 000 – 2 000 mm/tahun dan di dataran tinggi
dan pantai barat selatan antara 1 500 – 2 500 mm/tahun. Penyebaran hujan ke semua
daerah tidak sama, di daerah dataran tinggi dan pantai barat selatan relatif lebih
tinggi. Rata-rata suhu udara mencapai 26.9°C dengan rata-rata suhu udara
maksimum 32.5° C dan minimumnya yaitu 22.9°C. Luas wilayah Provinsi Aceh
adalah 57 948.94 km2. Provinsi Aceh yang beribukota di Banda Aceh, terdiri dari
17 kabupaten dan 4 kota, 280 kecamatan, 755 Mukim, dan 6 423 Gampong atau
Desa (Dinas Kehutanan Provinsi Aceh 2012).
Aceh memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar dan 2 buah danau.
Karakteristik lahan di Provinsi Aceh pada tahun 2009, sebagian besar didominasi
oleh hutan, dengan luas 3 523 817 ha (61.42%). Penggunaan lahan terluas kedua
adalah perkebunan besar dan kecil mencapai 691 102 ha (12.06%) dari luas total
wilayah Aceh. Luas lahan pertanian sawah seluas 311 872 ha (5.43%) dan pertanian
tanah kering semusim mencapai 137 672 ha (2.4%) dan selebihnya lahan
pertambangan, industri, perkampungan, perairan darat, tanah terbuka dan lahan
suaka alam lainnya dibawah 5.99% (BPS Aceh 2009).

4
95’00 E

96’00 E

97’00 E

98’00 E

6’00 N

6’00 N

5’00 N

5’00 N

4’00 N

4’00 N

3’00 N

3’00 N

2’00 N

2’00 N

Gambar 1 Peta wilayah administratif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sumber:
Bakosurtanal atau Badan Informasi Geospasial)

Bencana yang sering terjadi di Aceh selain bencana yang disebabkan oleh
fenomena alam, dapat disebabkan pula oleh perilaku manusia antara lain karena
kelalaian, ketidaktahuan, maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat
atau disebut bencana sosial. Bencana sosial dapat terjadi dalam bentuk kebakaran,
pencemaran lingkungan (polusi udara dan limbah industri) dan kerusuhan atau
konflik sosial. Potensi rawan kebakaran seperti kebakaran hutan terjadi pada hutanhutan yang dilalui jaringan jalan utama sebagai akibat perilaku manusia, terutama
pada Bab II Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun
2005-2025, sebayak 22 kawasan hutan pinus dan lahan gambut yang cenderung
mudah mengalami kebakaran pada musim kemarau. Indikasi potensi rawan
kebakaran hutan tersebut adalah di Aceh Besar, Pidie, Gayo Lues, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Aceh
Tengah.
Pola Sebaran Hotspot
Pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam
kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot
lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas (Heryalianto 2006). Titik panas
(hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki suhu lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan oleh data digital

5
satelit. Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas (hotspot) adalah
metode penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Hotspot adalah titik panas
yang dapat diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini
sudah digunakan secara umum di berbagai negara untuk memantau kebakaran
hutan dan lahan menggunakan satelit.
Salah satu perangkat yang digunakan dalam memantau kebakaran hutan dan
lahan adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS
adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS)
Terra satelitte, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat,
National Aeronautics and Space Administration (NASA). MODIS mengorbit bumi
secara polar yaitu dari utara menuju selatan pada ketinggian 705 km dan melewati
garis khatulistiwa pada pukul 10:30 waktu lokal (Thoha 2008). MODIS mempunyai
cakupan lebih luas dari pada sensor AVHRR sebesar 2.33 km dengan resolusi
spasial yang lebih baik. Selain itu MODIS mempunyai jendela atau kanal spektral
yang lebih sempit dan beragam. Produk MODIS dikategorikan menjadi tiga bagian
yaitu produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi, dan tutupan lahan.
Hasil pencapaian dari produk MODIS antara lain pendeteksian kebakaran hutan,
pendeteksian penutupan lahan, dan pengukuran suhu permukaan bumi (Thoha
2008).

Gambar 2 Pola sebaran hotspot di Provinsi Aceh tahun 2008–2013

6
Titik hotspot dideteksi oleh MODIS menggunakan Terra (EOS AM) dan
Aqua (EOS PM) dari NASA Earth Observing System (EOS). Lintasan orbit satelit
Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada pagi hari.
Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada siang
hari menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Satelit Terra
diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002
(FIRMS 2013).
MODIS akan mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi
adalah 330 K untuk sebuah hotspot. Hotspot MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km
x 1 km atau 1 km2 sehingga setiap hotspot atau kebakaran yang terdeteksi diwakili
oleh 1 km piksel. MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya
spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan serta lebih kerapnya
frekuensi pengamatan (FIRMS 2013).
Tabel 1 Jumlah hotspot di Provinsi Aceh per-Kabupaten tahun 2008-2013
Kabupaten

Jumlah Hotspot

Jumlah

2008

2009

2010

2011

2012

2013

101

182

104

90

233

259

969

Aceh Barat Daya

25

128

7

40

70

18

288

Aceh Besar

17

31

20

24

30

22

144

Aceh Jaya

18

11

7

11

45

29

121

Aceh Selatan

10

47

7

27

22

27

140

Aceh Singkil

70

110

65

140

148

154

687

Aceh Tamiang

6

4

10

3

8

10

41

Aceh Tengah

10

24

8

18

12

20

92

4

3

7

5

1

2

22

Aceh Timur

13

12

17

10

6

17

75

Aceh Utara

6

3

4

1

11

4

29

Bener Meriah

6

17

9

9

19

21

81

Bireuen

16

14

7

4

8

11

60

Gayo Lues

15

44

16

37

35

30

177

Kota Banda Aceh

0

0

0

0

0

0

0

Kota Langsa

1

0

0

1

0

1

3

Kota Lhokseumawe

2

2

5

2

2

2

15

Simeulue

0

0

0

0

0

0

0

Kota Sabang

0

0

0

0

0

0

0

113

164

67

155

207

134

840

24

14

9

35

32

13

127

457

810

369

612

889

774

3 911

Aceh Barat

Aceh Tenggara

Naganraya
Pidie
Jumlah

Sumber : Hasil Pengolahan Data

7
Sebaran hotspot Provinsi Aceh pada tahun 2008−2013 terkonsentrasi di
beberapa tempat seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Jumlah hotspot tahun 2008
dan 2009 mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 457 titik (2008), menjadi
810 titik (2009). Pada tahun 2010 jumlah titik hotspot mengalami penurunan yaitu
369 titik (2010) dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2011 dan 2012
yaitu 612 titik (2011) dan 889 titik (2012), setelah itu mengalami penurunan
kembali pada tahun 2013 yaitu menjadi 774 titik (2013). Gambar 2 menunjukkan
bahwa hotspot terbanyak di Provinsi Aceh terjadi pada tahun 2012 (889) diikuti
tahun 2009 (810).
Hasil perhitungan untuk jumlah hotspot pada tahun 2008-2013 yang ada di
Provinsi Aceh di uraikan per-Kabupaten (Tabel 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa
jumlah hotspot yang ada di Provinsi Aceh setiap tahunnya terkonsentrasi di
beberapa Kabupaten tertentu. Hal ini menandakan bahwa kejadian kebakaran hutan
yang terjadi di Provinsi Aceh dari tahun ke tahun hampir selalu berada di lokasi
yang sama. Kabupaten di Aceh yang memiliki jumlah hotspot tertinggi dalam kurun
waktu 6 tahun yaitu Aceh Barat (969), Naganraya (840), dan Aceh Singkil (687).
Hal ini disebabkan karena pada ketiga Kabupaten tersebut masih di dominasi oleh
hutan dan adanya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian maupun
perkebunan, seperti di Naganraya yang saat ini banyak terdapat lahan persawahan
dan perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao. Di Kabupaten Aceh Barat sendiri
terdapat pengelolaan IUPHHK Hutan Alam terluas diantara IUPHHK Hutan Alam
lainnya yang ada di Provinsi Aceh (Dinas Kehutanan Provinsi Aceh 2012).
Sedangkan untuk Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Sabang, dan Kabupaten
Simeulue hampir tidak ditemukan hotspot, jikapun ditemukan hotspot dalam
jumlah yang sangat kecil.
Pengaruh Curah Hujan terhadap Jumlah Hotspot
Jumlah hotspot pertahun pada periode 2008−2013 di Provinsi Aceh disajikan
pada Gambar 3. Seperti terlihat pada Gambar 3 jumlah hotspot di Aceh pada tahun
2008 sampai dengan 2013 bersifat fluktuatif dan bersesuaian dengan pola curah
hujan. Gambar 3 menunjukkan bahwa hotspot terbanyak di Provinsi Aceh dalam
periode tahun 2008-2013 terjadi pada tahun 2012 (889 titk) diikuti tahun 2009 (810
titik), sedangkan untuk jumlah hotspot terendah di Provinsi Aceh terjadi pada tahun
2010 (369 titik) yang disebakan karena curah hujan pada tahun 2010 merupakan
curah hujan paling tinggi selama periode waktu 2008-2013 di Provinsi Aceh.
Jumlah hotspot paling rendah terdapat pada tahun 2010 yang disebabkan
curah hujan pada tahun 2010 adalah curah hujan tahunan tertinggi dibandingkan
curah hujan tahun-tahun yang lainnya. Sebaliknya pada tahun 2012 merupakan
tahun dengan jumlah hotspot tertinggi yang disebabkan curah hujan pada tahun
2012 adalah curah hujan tahunan terendah di bandingkan tahun-tahun lainnya di
Provinsi Aceh. Dalam hal ini terlihat bahwa curah hujan mempengaruhi jumlah
hotspot yang mengindikasikan terjadinya kebakaran.
Gambar 4 disajikan hasil perhitungan jumlah rata-rata curah hujan harian dan
jumlah rata-rata hostpot harian. Jumlah hotspot terendah berada antara hari ke 310365, atau pada saat jumlah curah hujan berada diatas rata-rata harian yaitu 3.36 mm,
sedangkan jumlah hotspot tertinggi berada antara hari ke 166-271, dimana jumlah
curah hujan berada dibawah angka rata-rata harian yaitu sebesar 3.36 mm. Hal ini

8
menunjukkan bahwa hubungan antara curah hujan dan hotspot berbanding terbalik,
semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot mengalami penurunan sebaliknya
semakin sedikit curah hujan jumlah hotspot mengalami peningkatan.
1000

2500

900
800

Hotspot

700
600

1500

500
400

1000

300
200

Curah Hujan (mm)

2000

500

100
0

0
2008

2009

2010

2011

2012

2013

Tahun
Jumlah Hotspot

Curah Hujan

Gambar 3 Grafik jumlah hotspot per tahun di Provinsi Aceh pada periode 2008−2013

25

90
80

60

Hotspot

15
50
40
10
30
20

Curah Hujan (mm)

20

70

5

10
0

1
13
25
37
49
61
73
85
97
109
121
133
145
157
169
181
193
205
217
229
241
253
265
277
289
301
313
325
337
349
361

0

Hari
Hotspot

Curah Hujan

Rata-rata CH

Gambar 4 Grafik rata-rata jumlah curah hujan harian dan jumlah hotspot harian di Provinsi
Aceh periode 2008–2013

9

500

18

450

16

400

14

Hotspot

350

12

300

10

250
8

200

6

150
100

4

50

2

0

0

Curah Hujan (mm)

Jumlah hotspot rata-rata dasarian dan jumlah curah hujan rata-rata dasarian
(Gambar 5) menunjukkan jumlah hotspot terendah berada diantara bulan
November-Desember, dimana jumlah curah hujan berada diatas rata-rata dasarian
yaitu 4.01 mm, sedangkan jumlah hotspot tertinggi berada diantara bulan MeiOktober dimana jumlah curah hujan berada dibawah angka rata-rata dasarian yaitu
sebesar 4.01 mm. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan dasarian
memiliki pengaruh terhadap jumlah rata-rata hotspot dasarian.

Bulan
Hotspot

Curah Hujan

Rata-rata CH

Gambar 5 Grafik rata-rata jumlah curah hujan 10 harian dan jumlah hotspot 10 harian di
Provinsi Aceh periode 2008–2013
1000

250

900
200

Hotspot

700
600

150

500
400

100

300
200

Curah Hujan (mm)

800

50

100
0

0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Bulan
Hotspot

Curah Hujan

Rata-rata CH

Gambar 6 Grafik rata-rata jumlah curah hujan bulanan dan jumlah hotspot bulanan di
Provinsi Aceh periode 2008–2013

10
Gambar 6 menunjukkan bahwa curah hujan bulanan berbanding terbalik
dengan hotspot bulanan, dimana apabila jumlah curah hujan naik, maka jumlah
hotspot yang ditemukan akan menurun, dan sebaliknya apabila jumlah curah hujan
turun, makan jumlah hotspot akan mengalami kenaikan. Menurut Schmidt dan
Ferguson (1951), kriteria curah hujan bulanan terbagi menjadi tiga yaitu: Bulan
basah (CH >100 mm), bulan lembab (CH antara 60–100 mm), dan bulan kering
(CH