Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur

ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN
DISTRIBUSI DAN KEMUNCULAN TITIK PANAS (HOTSPOT)
UNTUK DETEKSI DINI DI PROVINSI KALIMANTAN
TIMUR

MIRZHA HANIFAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hubungan
Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk
Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Mirzha Hanifah
NIM E44100022

ABSTRAK
MIRZHA HANIFAH. Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan
Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan
Timur. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA.
Kalimantan Timur merupakan salah satu dari delapan provinsi rawan
kejadian kebakaran hutan dan lahan akibat alih lahan yang cukup tinggi serta
dipicu oleh faktor alam yang mendukung. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis hubungan curah hujan dengan distribusi dan kemunculan titik panas
(hotspot) serta menganalisis model persamaan regresi terbaik untuk deteksi dini di
Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan hasil analisa model temporal. Hasil
penelitian menunjukkan kemunculan titik panas tertinggi terjadi pada musim
kemarau yaitu sekitar bulan Agustus-Oktober, dimana secara spasial hampir setiap
tahunnya terdistribusi di seluruh Provinsi Kalimantan Timur, namun dengan

jumlah yang berbeda di setiap kabupaten dan kota. Model regresi terbaik yang
dihasilkan memiliki persamaan y = 244.7 – 1.593x + 0.00271 x2 + x3, dimana y
adalah jumlah titik panas dan x adalah curah hujan. Berdasarkan model regresi
tersebut, kemunculan titik panas dapat diduga tiga bulan sebelumnya sebagai
deteksi dini di Provinsi Kalimantan Timur. Analisis time series menghasilkan
model ARIMA terbaik untuk menduga jumlah titik panas pada periode berikutnya
adalah ARIMA (1, 0, 2) dengan persamaan Yt = 0.99520 + 0.9101Yt-1 + 0.6571 at1 + 0.3233 at-2, dimana Y adalah jumlah titik panas pada periode berikutnya.
Kata kunci : ARIMA, deteksi, hotspot, kebakaran

ABSTRACT
MIRZHA HANIFAH. Analysis of the Relation between Rainfall with the
Appearance and Distribution of Hotspot for Early Detection in East Borneo.
Supervised by LAILAN SYAUFINA.
East Borneo is one of the eight provinces in Indonesia which is vulnerable
to forest and land fires due to land use change and some nature causes. This
research aims to analyze the relationship between rainfall and the appearance and
distribution of hotspot and also to analyze the best regression equation model for
early detection in East Borneo based on the result of temporary model analysis.
The result of the research revealed that, the hotspots appear frequently in high
numbers during the dry season which is in the months of August to October and

partially distributed in all over East Borneo in different numbers for each city and
municipal. The best regression model is 244.7 – 1.593x + 0.00271 x2 + x3, where
y is the number of hotspot and x representing the rainfall variable. Based on this
regression model, the appearance of hotspot can be predicted three months earlier
as early detection in East Borneo. Time series analysis results in the best ARIMA
model to predict the number of hotspot in the upcoming period which is (1, 0, 2)
with the equation Yt = 0.99520 + 0.9101Yt-1 + 0.6571 at-1 + 0.3233 at-2, where Y is
the number of hotspot in the upcoming period.
Keywords: ARIMA, detection, fire, hotspot

ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN
DISTRIBUSI DAN KEMUNCULAN TITIK PANAS (HOTSPOT)
UNTUK DETEKSI DINI DI PROVINSI KALIMANTAN
TIMUR

MIRZHA HANIFAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan

pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan
Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi
Kalimantan Timur
Nama
: Mirzha Hanifah
NIM
: E44100022

Disetujui oleh

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc

Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 hingga Mei
2014 ini ialah kebakaran hutan, dengan judul Analisis Hubungan Curah Hujan
dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di
Provinsi Kalimantan Timur.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Lailan Syaufina, MSc selaku
pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak
Badan Klimatologi, Meteorologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat, serta lembaga
NASA yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih

juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Hazairil Usman, Ibunda Wemni Amnis,
Uni Cylvia Osnasandi dan Uni Cylviana Roza, serta seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada temanteman Silvikultur 47, terutama sahabat terkasih Mira Febianti, Arie Aqmarina,
Intan Nurhajah, Kumala Fitriyanita, dan Desi Nurafida atas persahabatannya
selama ini, serta kepada keluarga besar Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA)
terutama angkatan R-XVI atas semangat persaudaraannya, terima kasih sudah
menjadi rumah kedua bagi saya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Mirzha Hanifah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Timur
Pola Curah Hujan Provinsi Kalimantan Timur
Pola Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot)
Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas
(Hotspot)
Sistem Deteksi Dini (Early Detection System)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii

vii
1
1
2
2
2
2
2
2
5
5
7
9
13
14
17
17
17
18
20

25

DAFTAR TABEL
1 Jumlah titik panas (hotspot) Provinsi Kalimantan Timur tahun 20032012
2 Jumlah titik panas (hotspot) bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun
2003-2012

10
11

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Skema analisis pengolahan data penelitian
Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur sebelum pemekaran
Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur setelah pemekaran

Pola curah hujan pada tiga zona iklim di Indonesia
Curah hujan bulanan rata-rata Provinsi Kalimantan Timur tahun 20032012
6 Peta distribusi spasial titik panas (hotspot) tertinggi Provinsi Kalimantan
Timur
7 Jumlah curah hujan bulanan dan jumlah titik panas (hotspot) bulanan di
Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012
8 Kurva hubungan antara jumlah deteksi titik panas tertinggi dengan curah
hujan tiga bulan sebelum kemunculan titik panas di Provinsi Kalimantan
Timur tahun 2003-2012

4
5
6
7
8
11
15

16


DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun 20032012
2 Peta distribusi spasial titik panas di Provinsi Kalimantan Timur
3 Hasil analisis uji korelasi dan regresi curah hujan dan jumlah titik panas
di Provinsi Kalimantan Timur

20
20
24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan hujan tropis Indonesia merupakan hutan tropis terluas ketiga di dunia
setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo, dengan luas kawasan hutan
berdasarkan data Kementerian Kehutanan pada tahun 2012 mencapai 130.61 juta
Ha. Keanekaragaman hayati yang melimpah serta jasa lingkungan yang dapat
mensejahterakan manusia merupakan sumberdaya alam hutan hujan tropika
Indonesia yang harus dijaga keberadaan dan keberlangsungannya. Seiring dengan
berkembangnya pertumbuhan dan kebutuhan manusia akan lahan, semakin banyak
pula kawasan hutan yang dialih fungsikan menjadi kawasan penggunaan lain.
Kegiatan konversi kawasan hutan ini menjadi salah satu faktor gangguan terutama
untuk kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Syaufina (2008) menjelaskan bahwa penyebab kebakaran hutan di Indonesia
umumnya adalah faktor manusia, baik disengaja maupun karena kelalaian, dimana
kegiatan konversi seringkali menjadi penyebab kejadian kebakaran hutan.
Kegiatan konversi kawasan hutan dilakukan oleh para masyarakat maupun para
stakeholder izin usaha pemanfaatan hutan. Permasalahan dalam perubahan
penggunaan lahan tersebut adalah pembukaan wilayah hutan dengan cara
pembakaran yang tidak terkendali dengan asumsi pembakaran hutan untuk
pembukaan lahan lebih praktis dan efisien (Syaufina 2008).
Kebakaran hutan terjadi tidak hanya karena perbuatan manusia, namun ada
faktor lain yang mempengaruhinya sehingga hutan menjadi lebih rentan untuk
terbakar seperti faktor cuaca. Salah satu upaya mengurangi kemungkinan kejadian
kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan menganalisa faktor pendukung
kejadian kebakaran hutan dan lahan seperti curah hujan dan titik panas.
Pemantauan titik panas dapat dilakukan melalui pengindaraan jauh yang terdeteksi
oleh satelit luar angkasa. Umumnya titik panas berada pada zona-zona
pemanfaatan intensif lahan untuk pertanian dan perladangan khususnya di luar Jawa
(Akbar 2008).
Kebakaran hutan dan lahan merupakan kejadian yang berulang di Kalimantan
Timur pada musim kemarau. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
(2014) menyatakan bahwa Provinsi Kalimantan Timur adalah salah satu dari
delapan provinsi rawan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran tersebut
berpeluang lebih menyebar dalam periode yang lebih panjang karena dipicu oleh
fenomena el nino. Mengingat alih fungsi lahan yang cukup tinggi, serta dipicu
faktor alam yang mendukung, diperlukan informasi mengenai pengaruh faktorfaktor pendukung yaitu curah hujan dan titik panas sebagai salah satu upaya deteksi
dini kejadian kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis adanya pengaruh curah hujan terhadap distribusi dan kemunculan titik
panas tahun 2003-2012 untuk pendeteksian dini di Provinsi Kalimantan Timur
berdasarkan hasil analisa model temporal.

2

Tujuan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan curah
hujan dengan distribusi dan kemunculan titik panas berdasarkan hasil analisa model
temporal, serta menganalisis model persamaan regresi terbaik untuk menentukan
deteksi dini kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Timur.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
hubungan curah hujan terhadap distribusi dan kemunculan titik panas berdasarkan
hasil analisis model temporal sehingga tindakan deteksi dini maupun pemantauan
terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat lebih mudah dilakukan.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Oktober 2013 hingga Mei 2014.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, seperangkat
komputer dengan beberapa program seperti Ms Excel untuk pengolahan tabulasi
dan grafik, Arc Map GIS 9.3 untuk pengolahan dalam format Sistem Informasi
Geografis (SIG), dan Minitab 14 untuk analisis statistik. Bahan yang digunakan
berupa data curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Timur pada periode tahun
2003 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) Pusat, dan data sebaran titik panas (hotspot) Provinsi
Kalimantan Timur periode 2003 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari NASA
MODIS hotspot dataset (http://earthdata.nasa.gov).
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis statistik
dan deskriptif. Skema analisis pengolahan data penelitian pada Gambar 1
menjelaskan langkah pertama yang dilakukan adalah pengunduhan NASA MODIS
hotspot dataset Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012 serta permohonan
data curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012 ke BMKG
Pusat. Hasil pengunduhan NASA MODIS hotspot dataset kemudian dipetakan
menjadi peta sebaran titik panas Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012
menggunakan data titik panas dengan tingkat kepercayaan 95% yang telah
digabungkan/overlay dengan peta administrasi Provinsi Kalimantan Timur
menggunakan Arc Map GIS 9.3. Data titik panas kemudian direkapitulasi
berdasarkan bulan, kabupaten dan kota per tahunnya menggunakan software
Ms.Excel. Analisis selanjutnya adalah pendugaan missing value pada tahun 2003

3

menggunakan analisis time series pada MINITAB 14, setelah itu nilai curah hujan
bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012 direkapitulasi pada software
Ms.Excel. Data titik panas dan curah hujan yang telah direkapitulasi berdasarkan
bulan setiap tahunnya kemudian dilakukan uji korelasi dan analisis P-Value untuk
mengetahui adanya pengaruh curah hujan dengan titik panas serta signifikan atau
tidaknya hubungan antara curah hujan dengan jumlah deteksi titik panas. Analisa
model regresi dilakukan antara curah hujan 1-6 bulan sebelum kemunculan titik
panas dengan jumlah titik panas tertinggi pada bulan tertentu setiap tahunnya untuk
mengetahui saat bulan apa kegiatan deteksi dini dapat dilakukan. Analisis terakhir
adalah analisis time series untuk menduga model ARIMA terbaik yang akan
digunakan untuk menduga jumlah titik panas pada periode berikutnya.

4

Pengunduhan NASA
MODIS hotspot dataset
Kalimantan Timur tahun
2003-2012 di
http://earthdata.nasa.gov

Data hotspot
satelit TerraAqua

Peta administrasi
Kalimantan Timur

Overlay menggunakan
Arc Map GIS 9.3

Permohonan data curah
hujan Kalimantan Timur
bulanan tahun 2003-2012 ke
BMKG Pusat

Pendugaan beberapa data
bulanan hilang pada tahun
2003 menggunakan
MINITAB 14 dengan
analisis time series

Rekapitulasi data curah
hujan bulanan dan ratarata curah hujan di
Ms.Excel

Identifikasi hotspot hasil
overlay yang memiliki
confidence range ≥ 95%

Rekapitulasi jumlah
hotspot per bulan dan di
setiap kabupaten di
Ms.Excel
Pengujian korelasi dan analisis
P-Value antara data curah hujan
dengan jumlah deteksi hotspot
Pengujian model regresi antara curah
hujan 1-6 bulan sebelum kejadian
hotspot tertinggi dengan jumlah hotspot
tertinggi pada bulan tertentu tiap
tahunnya
Pengujian model ARIMA terbaik dari
data hotspot untuk pendugaan jumlah
hotspot pada periode berikutnya
Gambar 1 Skema analisis pengolahan data penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi terluas di
Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya alam melimpah yang sebagian besar
potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Sumberdaya alam dan hasilhasilnya sebagian besar dieksport ke luar negeri, sehingga provinsi ini merupakan
penghasil devisa utama bagi negara, khususnya dari sektor pertambangan,
kehutanan dan hasil lainnya. Wilayah administratif Provinsi Kalimantan Timur
seperti pada Gambar 2 memiliki luas wilayah daratan 198 441,17 km² serta luas
pengelolaan laut 10 216,57 km², terletak antara 113º44’-119º00’ BT serta diantara
4º24’ LU dan 2º25’ LS (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2010).

Gambar 2

Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur sebelum
pemekaran (Sumber: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
2011)

6

Namun pada tahun 2012 terjadi pemekaran Provinsi Kalimantan Timur
menjadi pembentukan provinsi ke-34 di Indonesia yaitu Provinsi Kalimantan Utara.
Pada tanggal 16 November 2012 telah terbit Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara yang sebelumnya telah
disetujui dalam Rapat Paripurna DPR dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 25 Oktober 2012 (Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara 2014).
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan
Utara Bagian II pasal 3 mengenai Cakupan Wilayah menyatakan bahwa Provinsi
Kalimantan Utara berasal dari sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang
terdiri dari Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan,
Kabupaten Tana Tidung, dan Kota Tarakan. Hasil pemekaran dengan Provinsi
Kalimantan Utara menjadikan Provinsi Kalimantan Timur kini hanya memiliki
tujuh kabupaten dan tiga kota, yaitu Kabupaten Paser, Kutai Barat, Kutai
Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Berau, Kabupaten Penajam Paser
Utara, Kabupaten Mahakam Hulu, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kota
Bontang seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar 3

Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur setelah
pemekaran (Sumber: Pengolahan data dengan Arc Map GIS 9.3)

Luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya menurut data statistik Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur tahun 2007 tercatat bahwa hutan
konservasi seluas 2 165 198 hektar (14.78%), hutan lindung seluas 2 751 702 hektar
(18.78%), hutan produksi terbatas seluas 4 612 295 hektar (31.48%), dan hutan
produksi tetap seluas 5 121 688 hektar (34.96%) dari total luas wilayah daratan

7

sekitar 19 844 117 hektar. Tutupan hutan tersebut telah berkurang dibandingkan
dengan tutupan hutan saat tahun 2000. Total luas lahan kritis Provinsi Kalimantan
Timur sekitar 39.95% dari total luas wilayah. Pada tahun 2010 sebagian besar
wilayah kabupaten/kota di Kalimantan Timur memiliki lahan kritis antara sepertiga
hingga setengah luas total wilayah daratannya, terutama pada daerah yang secara
intensif mengembangkan perkebunan dan pertambangan atau adanya perambahan.
Tercatat kondisi lahan tahun 2011 di Kalimantan Timur didominasi oleh lahan
pertanian (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2012).
Pola Curah Hujan Provinsi Kalimantan Timur
Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi tiga iklim utama dengan melihat
pola curah hujan selama setahun. Pola curah hujan pertama yaitu tipe monsoon
yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan
periode musim kemarau, tipe hujan bersifat unimodial (satu puncak musim hujan).
Pola kedua yaitu pola ekuatorial yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan
bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun
hujan. Pola ketiga yaitu pola hujan lokal yang wilayahnya memiliki distribusi hujan
bulanan kebalikan dengan pola monsoon (Tjasyono 2004). Pembagian pola iklim
di Indonesia menurut Aldrian dan Susanto (2003) seperti pada Gambar 4 dibagi
menjadi tiga zona yaitu zona A (Selatan Indonesia dari Sumatera bagian selatan ke
Pulau Timor, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya),
zona B (Indonesia barat daya, Sumatera bagian utara, dan Kalimantan bagian timur
laut, dan zona C (Maluku dan sebagian dari Sulawesi). Zona A merupakan wilayah
dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember/Januari/Februari dan
minimum pada bulan Juli/Agustus/September. Siklus tahunan zona B mempunyai
dua puncak pada bulan Oktober/November/Desember dan juga pada bulan
Maret/April/Mei. Pada zona C daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan
Mei/Juni/Juli.
A

B

C

Gambar 4 Pola curah hujan pada tiga zona iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto
2003): (A) zona A, (B) zona B, (C) zona C

8

Berdasarkan klasifikasi pola curah hujan menurut Schmidt-Ferguson maka
Provinsi Kalimantan Timur termasuk ke dalam tipe A yaitu daerah yang sangat
basah dengan jumlah rata-rata bulan keringnya sekitar 1 bulan/tahun, dan jumlah
rata-rata bulan basah 11 bulan/tahun. Karakteristik iklim Provinsi Kalimantan
Timur berdasarkan data dengan rentang waktu 10 tahun (tahun 2003-2012) curah
hujan tahunan rata-ratanya adalah 2 420 mm/tahun dengan kisaran rata-rata curah
hujan bulanan 117-285 mm/bulan. Gambar 5 menunjukkan curah hujan bulanan
rata-rata Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2003-2012. Provinsi Kalimantan
Timur memiliki pola hujan tipe ekuatorial karena terjadi dua puncak musim hujan
yaitu pada bulan April dan Januari. Pada bulan April rata-rata curah hujan
mencapai 285.3 mm, dan pada bulan Januari rata-rata curah hujan mencapai 245
mm sehingga berdasarkan pembagian zona iklim menurut Aldrian dan Susanto
(2003) Provinsi Kalimantan Timur lebih dapat mendekati tipe zona B dimana curah
hujan maksimum juga terjadi pada bulan April walaupun puncak kedua bergeser
menjadi bulan Januari. Pergeseran periode musim hujan maksimum kedua pada
tahun 2003-2012 yang seharusnya terjadi pada bulan Oktober-Desember menjadi
November-Januari dimungkinkan karena efek pemanasan global yang terjadi di saat
ini, yang memberikan dampak perubahan periode musim kemarau dan musim
penghujan. Curah hujan tahunan Provinsi Kalimantan Timur dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Provinsi Kalimantan Timur juga mengalami dua puncak musim kemarau
yang terjadi pada bulan Februari dan Agustus dengan rata-rata curah hujan hanya
mencapai 154.7 mm dan 117.3 mm. Terjadinya periode musim kemarau pada bulan
Februari dan September menjadikan Provinsi Kalimantan Timur beresiko terhadap
kemunculan titik panas yang tinggi serta kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Fuller (1991) menjelaskan cuaca kebakaran adalah kondisi cuaca yang
mempengaruhi awal munculnya api, perilaku api dan penjalarannya. Curah hujan
merupakan salah satu faktor cuaca dan iklim yang berpengaruh terhadap
kelembaban (kadar air di udara) serta menentukan jumlah kandungan air di dalam
bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga
kejadian kebakaran akan sulit karena kandungan kadar air di dalam bahan bakar
tinggi, dan sebaliknya jika curah hujan rendah maka bahan bakar akan semakin
mudah mengering dan terbakar (Suratmo et al. 2003).

Curah Hujan (mm)

Curah Hujan Bulanan Rata-rata Provinsi Kalimantan
Timur tahun 2003-2012
300
200
100
0
J

F

M

A

M

J

J

A

S

O

N

D

Bulan

Gambar 5 Curah hujan bulanan rata-rata Provinsi Kalimantan Timur tahun 20032012 (Sumber: Pengolahan data dari BMKG)

9

Pola Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot)
Thoha (2008) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau
melalui pengamatan titik panas/hotspot yang sering diindentikan atau disebut
sebagai titik api. Dalam mengindikasikan kejadian kebakaran hutan dan lahan
dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh, istilah titik panas lebih tepat
digunakan. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.12/menhut-II/2009 Pasal 1
angka 9 menyatakan bahwa titik panas atau hotspot adalah indikator kebakaran
hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi
dibandingkan suhu di sekitarnya. Data titik panas dapat digunakan sebagai
indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan, akan tetapi tidak sepenuhnya
sehingga perlu adanya peninjauan kembali mengenai akurasinya. Hasil penelitian
Vetrita et al. (2012) menunjukkan dari 453 titik diperoleh akurasi data sebesar
42.8% dan commission error 8.8%. Data titik panas yang diperoleh perlu dilakukan
pengecekan lapang (ground check) kembali untuk memastikan validasi keberadaan
titik panas yang diduga merupakan kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Pemantauan titik panas dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh
dapat dilakukan dengan satelit. Salah satu sumber data titik panas yang memiliki
akurasi paling baik adalah data dari sensor satelit MODIS (Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer) yang diperoleh dari lembaga NASA (The National
Aeronautics and Space Adminitration). MODIS merupakan instrumen utama yang
dibawa oleh satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Orbit Terra melintasi
garis ekuator pada pagi hari dari arah utara ke selatan, sementara Aqua melintasi
ekuator pada sore hari dari selatan ke utara. MODIS Terra dan Aqua akan
mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1 atau 2 hari dan mendapatkan data
dalam 36 band spectral (NASA 2014). MODIS akan mendeteksi suatu objek di
permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
sekitarnya. Chrisnawati (2008) menyatakan bahwa sensor MODIS memiliki
ambang batas 320 K pada siang hari dan 315 K pada malam hari. Titik panas
MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km² sehingga setiap titik panas
atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km piksel. MODIS memiliki
beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih
telitinya cakupan lahan serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (NASA 2014).
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah titik panas di Provinsi Kalimantan
Timur yang sangat berfluktuatif dari tahun 2003-2012. Tabel 1 menunjukkan
jumlah titik panas per tahun yang terdapat di setiap kabupaten dan kota Provinsi
Kalimantan Timur. Kabupaten Berau, Kutai Barat, dan Kutai Kartanegara
merupakan lokasi dengan jumlah titik panas tertinggi setiap tahunnya yaitu dengan
70, 28, dan 33 titik. Kota Balikpapan dan Samarinda merupakan kota dengan
jumlah titik panas paling rendah di Provinsi Kalimantan Timur. Hampir setiap
bulan per tahunnya tidak ditemukan adanya titik panas. Lokasi dengan jumlah titik
panas terendah lainnya adalah Kota Bontang, Kabupaten Penajam Paser Utara, dan
Kabupaten Mahakam Hulu, dengan rata-rata jumlah titik panas per tahunnya hanya
3-6 titik. Kemunculan titik panas tertinggi adalah pada tahun 2004 yang mencapai
324 titik. Pada tahun 2004 secara spasial, titik panas banyak terdistribusi di
Kabupaten Kutai Kartanegara dengan jumlah deteksi titik panas mencapai 125 titik.

10

Pada tahun 2006 dan 2009 juga menunjukkan kemunculan jumlah titik panas yang
cukup tinggi yaitu sejumlah 301 titik dan 247 titik, dengan lokasi distribusi titik
panas paling tinggi adalah di Kota Berau dan Kabupaten Kutai Barat. Kemunculan
titik panas terendah terjadi pada tahun 2011 dimana hanya ditemukan 37 titik panas.
Kemunculan titik panas bulanan di Provinsi Kalimantan Timur pada Tabel 2
menunjukkan periode terjadinya kemunculan titik panas tertinggi adalah pada bulan
Agustus-Oktober dengan kisaran rata-rata jumlah titik panas mencapai 25-50 titik
per bulan tiap tahunnya. Kemunculan titik panas tertinggi di tahun 2004 terjadi
pada bulan Oktober dengan 194 titik. Tahun 2011 kemunculan titik terendah terjadi
pada periode musim hujan yaitu Januari serta April dengan kisaran rata-rata
kemunculan titik panas 0-1 titik.
Tabel 1 Jumlah titik panas (hotspot) Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012
Kabupaten
Berau
Balikpapan
Bontang
Samarinda
Kutai Barat
Kutai
Kartanegara
Kutai Timur
Mahakam
Hulu
Paser
Penajam
Paser Utara
Total

Jumlah Titik Panas tahun2006 2007 2008 2009
70
15
10
39
0
0
0
0
3
1
0
5
0
0
0
0
69
16
18
65

2010
17
0
3
0
6

2011
9
1
2
0
9

x
2012
16 22
0 0
2 3
0 0
14 28

63
20

36
12

2
6

8 33
25 18

0
0

7
45

5
0

2
5

3 6
2 16

0
45

3
247

0
79

1
37

2003
12
0
7
0
6

2004
19
0
6
0
58

2005
9
0
1
0
12

3
12

125
68

3
6

62
14

12
7

10
7

1
2

10
35

7
4

15
62

1
3

3
46

3
324

3
45

6
301

1
56

1
71

Kemunculan titik panas pada bulan Agustus-Oktober erat kaitannya dengan
musim kemarau yang sedang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur sehingga
intensitas pemantauan titik panas sebagai indikator kejadian kebakaran hutan dan
lahan perlu ditingkatkan pada periode musim kemarau ini. Kondisi sebaliknya
yaitu periode kemunculan titik panas terendah terjadi pada bulan Januari, April, dan
Desember dimana pada bulan-bulan tersebut sedang terjadi puncak musim hujan di
Provinsi Kalimantan Timur sehingga dapat ditemukan tidak adanya titik panas
sama sekali pada bulan tersebut namun pemantauan terhadap titik panas tetap perlu
untuk dilakukan sebagai upaya deteksi dini.

3

11

Tabel 2 Jumlah titik panas (hotspot) bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun
2003-2012
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
x

Bulan

J F M A M
0 0 2 1 2
1 0 0 0 0
0 3 0 0 1
0 0 0 1 0
0 1 0 0 0
0 2 0 0 2
0 3 3 0 0
1 19 11 1 2
0 1 0 0 0
0 1 0 1 0
1 3 2 1 1

J
J
6 0
2 0
0 0
0 17
0 0
3 0
3 6
6 0
1 0
0 2
3 3

A
S
O
21
8
6
61 57 194
8 26
6
75 121 77
12 25 14
0 21 17
17 184 26
16 17
6
19
9
2
20 29 16
25 50 37


N D
0 0 46
9 0 324
1 0 45
9 1 301
2 2 56
0 0 45
5 0 247
0 0 79
4 1 37
2 0 71
4 1

Hampir setiap tahunnya titik panas terdistribusi di seluruh wilayah Provinsi
Kalimantan Timur. Distribusi spasial titik panas tertinggi yaitu pada tahun 2004
serta pada tahun 2006 dan 2009 disajikan pada Gambar 6. Distribusi spasial titik
panas pada tahun-tahun lainnya yaitu pada tahun 2003, 2005, 2007, 2008, 2010,
2011, serta 2012 dapat dilihat pada Lampiran 2.
A

Gambar 6

Peta distribusi spasial titik panas (hotspot) tertinggi di Provinsi
Kalimantan Timur: (A) Tahun 2004, (B) Tahun 2006, (C) Tahun 2009

12

B

C

Gambar 6 (Lanjutan)
Berdasarkan peta distribusi spasial titik panas pada Gambar 6 dan jumlah titik
panas per tahun yang terdapat di setiap kabupaten dan kota Provinsi Kalimantan
Timur pada Tabel 1 dapat terlihat bahwa titik panas banyak terdistribusi pada

13

Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Berau. Selain
faktor curah hujan, berdasarkan distribusi secara spasial, titik panas yang tidak
terdistribusi merata di seluruh daerah Provinsi Kalimantan Timur ini hingga tahun
2009 erat kaitannya dengan faktor lain yaitu faktor manusia dalam hal penyiapan
lahan untuk perkebunan. Kementerian Kehutanan (2007) menyatakan penyebab
utama kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah pembakaran lahan untuk
menyiapkan perkebunan skala besar. Kemunculan titik panas di provinsi
Kalimantan Timur diduga karena kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran
untuk perkebunan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan karet.
Perkebunan kelapa sawit dan karet terluas berada pada Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Berau dimana daerah-daerah ini
merupakan daerah dengan kemunculan titik panas tertinggi. Berdasarkan distribusi
spasial titik panas di Provinsi Kalimantan Timur, dalam kegiatan pemantauan titik
panas lebih memperhatikan daerah-daerah yang memiliki kemunculan titik panas
tertinggi seperti pada Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, dan
Kota Berau karena daerah ini merupakan daerah rawan kejadian kebakaran hutan
dan lahan yang diduga penyebabnya adalah adanya kegiatan penyiapan lahan untuk
perkebunan skala besar dengan cara pembakaran.
Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas
(Hotspot)
Cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan yaitu dalam
menentukan jumlah kadar air bahan bakar hutan pada suatu daerah. Curah hujan
merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran
hutan (Soares dan Sampaio 2000). Gambar 7 menunjukkan analisis temporal
jumlah curah hujan dengan jumlah titik panas bulanan di Provinsi Kalimantan
Timur tahun 2003-2012. Grafik menunjukkan saat jumlah titik panas tertinggi,
grafik rata-rata jumlah curah hujan cenderung menunjukkan titik terendah, dan
sebaliknya saat jumlah titik panas terendah maka grafik rata-rata jumlah curah
hujan cenderung mencapai titik tertinggi. Hal ini ditunjukkan oleh kemunculan titik
panas tertinggi tahun 2004 pada bulan Oktober dimana periode musim kemarau
sedang terjadi, jumlah deteksi titik panas adalah 194 titik dan curah hujan yang
terjadi adalah 2 mm. Kemunculan titik panas terendah adalah pada tahun 2011
dimana kemunculan titik panas dalam satu tahun hanya berkisar 37 titik dengan
kejadian paling tinggi terjadi pada bulan Agustus serta rata-rata curah hujan
bulanannya adalah 211.3 mm. Kemunculan titik panas pada suatu bulan bukan
diduga melalui curah hujan pada saat bulan yang sama dengan kemunculan titik
panas tersebut, akan tetapi oleh curah hujan sebelum kemunculan titik panas.
Hasil analisis P-Value antara parameter curah hujan dengan titik panas adalah
sebesar 0.029 yang berarti bahwa curah hujan memiliki pengaruh terhadap
kemunculan titik panas karena P-Value dianggap signifikan jika nilai P-Value