Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Riau Tahun 2013

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS
(HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA
KEBAKARAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2013

LAKSMI DEWANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Curah Hujan
dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di
Provinsi Riau 2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Laksmi Dewanti
NIM E44100052

ABSTRAK
LAKSMI DEWANTI. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot)
dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Riau 2013. Dibimbing
oleh BAMBANG HERO SAHARJO dan ERIANTO INDRA PUTRA.
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang paling sering
mengalami kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan di
Provinsi Riau terjadi setiap tahun pada dekade terakhir. Iklim merupakan salah
satu faktor alami yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan
di Provinsi Riau. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara curah
hujan dengan titik panas (hotspot) di Provinsi Riau pada tahun 2013 dan
mengetahui daerah yang paling parah dilanda kebakaran. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa musim kemarau di Provinsi Riau pada tahun 2013 terjadi pada
bulan April sampai September dengan puncak musim kemarau pada bulan Juni,
yang diikuti dengan peningkatan jumlah titik panas (hotspot) meningkat pada
bulan-bulan tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa curah hujan

mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada tahun
2013. Penelitian ini menunjukan 6.52% dari luas seluruh wilayah Riau terbakar
pada tahun 2013 dengan jumlah hotspot dan luasan areal terbakar tertinggi terjadi
pada Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 3 128 titik dan 150 225.40 ha, Kabupaten
Bengkalis 3 021 titik dan 133 615.67 ha dan Kabupaten Pelalawan 2 097 titik dan
115 353.42 ha.
Kata kunci : Curah hujan, hotspot, luas kebakaran hutan dan lahan, Provinsi Riau
ABSTRACT
LAKSMI DEWANTI. Relationship of Rainfall and Hotspot in Relation to
the Occurrence on Fire in Riau Province, 2013. Supervised by BAMBANG
HERO SAHARJO and ERIANTO INDRA PUTRA.
Riau province has become one of the province that suffered from forest and
land fires. Forest and land fires in Riau Province occur every year in the last
decade. Climate is one of the natural factors that can lead to forest and land fires
in Riau Province. The aim of this study was to determine the relationship between
rainfall and hotspots in Riau Province in 2013 and to provide the most area
suffered from forest and land fire occurrences. This study showed that the dry
season in Riau Province in 2013 occurred from April to September with peak dry
season in June, which was followed with an of hotspots. This study shows that
rainfall affects forest and land fires in Riau Province in 2013. Around 6.52% of at

Riau province was burned in 2013. Highest number of hotspots and largest area
burned area montly occurred at Rokan Hilir with 3 128 hotspot and 150 225.40 ha
burned area, Bengkalis 3 021 hotspot and 133 615.67 ha burned area, and
Pelalawan 2 097 hotspot and 115 353.42 ha burned area.
Keywords: Forest and land fires, hotspot, largest area burned, rainfall, Riau
province

HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS
(HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA
KEBAKARAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2013

LAKSMI DEWANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Penelitian

Nama Mahasiswa
NRP
Program Studi

: Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam
Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi
Riau Tahun 2013
: Laksmi Dewanti
: E44100052
: Silvikultur

Disetujui oleh


Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr
Pembimbing I

Dr Erianto Indra Putra, SHut, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen Silvikultur

Tanggal Lulus

:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah kebakaran hutan, dengan judul Hubungan Curah
Hujan dengan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya

Kebakaran di Provinsi Riau 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Hero
Saharjo, MAgr dan Dr Erianto Indra Putra, SHut, MSi selaku pembimbing, Dra
Sri Rahayu, MSi sebagai dosen penguji, dan Dr Ir Istomo, MS sebagai ketua pada
sidang komprehensif, serta para dosen yang telah memberikan pengajaran sangat
berharga. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Weather
Underground, NASA-FIRMS, kepada teman-teman satu bimbingan, sahabat dan
teman-teman Silvikultur 47 yang telah membantu selama pengerjaan skripsi ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Laksmi Dewanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii


DAFTAR GAMBAR

iii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


METODE PRAKTEK

2

Waktu dan Tempat

2

Alat

2

Bahan

2

Analisis Data

2


HASIL DAN PEMBAHASAN

3

Kondisi Umum Provinsi Riau

3

Pola Sebaran Hotspot

5

Pengaruh Curah Hujan Terhadap Jumlah Hotspot

8

SIMPULAN DAN SARAN

12


Kesimpulan

12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

14

DAFTAR TABEL
1 Jumlah titik panas (hotspot) Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau tahun 2013
2 Pendugaan luas area terbakar di Provinsi Riau tahun 2013


6
7

DAFTAR GAMBAR
1 Peta wilayah administratif Provinsi Riau
2 Sebaran Hotspot di Riau tahun 2013
3 Grafik jumlah curah hujan harian dan jumlah hotspot harian di Provinsi
Riau tahun 2013
4 Grafik jumlah curah hujan 10 harian dan jumlah hotspot 10 harian di
Provinsi Riau tahun 2013
5 Grafik jumlah curah hujan bulanan dan jumlah hotspot bulanan harian di
Provinsi Riau tahun 2013
6 Grafik regresi linear curah hujan dan jumlah hotspot di Provinsi Riau
tahun 2013

4
7
8
9
10
11

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang paling sering
mengalami kejadian kebakaran hebat terutama di lahan gambut. Anderson dan
Brown (2001) menyebutkan bahwa di Sumatera teridentifikasi 7 kawasan utama
rawan kebakaran yaitu: (i) Sumatera Utara (perbatasan Riau), (ii) lahan basah
Sungai Kampar di Riau, (iii) lahan basah di pesisir Sumatera Barat (perbatasan
Sumatera Utara), (iv) Sumatera Barat (lahan basah dipesisir Bengkulu), (v) lahan
basah Sungai Batanghari di Jambi berbatasan dengan taman Nasional Berbak, (vi)
rawa di pedalaman Sumatera Selatan, dan (vii) lahan basah di pesisir Sumatera
Selatan. Sebanyak enam dari tujuh zona rawan kebakaran tersebut mempunyai
ciri-ciri yang sama yaitu berada dalam lahan basah yang kaya akan gambut.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau pada tahun 2013
dianggap sebagai kebakaran terparah yang melanda Provinsi Riau setelah pada era
tahun 1990 hingga 1997 sempat menjadi puncak terparah peristiwa kebakaran
hutan dan lahan di Riau. Ketika tahun 1990-1997 kawasan yang terbakar atau
dibakar adalah kawasan hutan alam yang dulu banyak terdapat di Provinsi Riau
(Kasri 2013). Tahun 1997 menjadi puncak kebakaran yang hebat dengan luas
lahan yang terbakar cukup besar, namun kondisi pencemaran udara yang ada tidak
separah pada tahun 2013. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun
1997 juga dapat dipadamkan dengan mudah karena bagian lahan yang terbakar
hanya permukaannya saja (Kasri 2013), berbeda dengan kondisi kebakaran yang
terjadi di tahun 2013 yang sulit dipadamkan, sebab lahan yang terbakar
merupakan lahan gambut dengan kedalaman hingga lima meter. Kebakaran yang
terjadi terus membesar dipengaruhi oleh tiupan angin yang terus berhembus,
bahkan hembusan angin ini mendorong kabut asap hingga ke negara tetangga
seperti Singapura dan Malaysia.
Iklim merupakan salah satu faktor alami yang dapat menyebabkan
terjadinya suatu kebakaran hutan, karena kondisi iklim (suhu, kelembaban, curah
hujan, kecepatan angin) dapat mempengaruhi tingkat kekeringan bahan bakar
permukaan, banyaknya oksigen yang ada, dan kecepatan penyebaran api
(Syaufina 2008). Kondisi iklim Provinsi Riau yang berada pada daerah tropis
memiliki curah hujan serta kelembaban tinggi yang menyebabkan kemungkinan
terjadinya kebakaran karena faktor alam sangat kecil terjadi, namun pada kondisi
tertentu beberapa daerah di Provinsi Riau mengalami musim kemarau yang
ekstrim, oleh karena itu pemantauan potensi kebakaran hutan harus dilakukan
secara berkala.
Informasi deteksi titik panas (hotspot) dapat memberikan informasi
mengenai indikasi terjadinya kebakaran. Adanya pengaruh dari unsur iklim,
terutama curah hujan terhadap terjadinya kebakaran hutan dapat diketahui dengan
mencari hubungan antara hotspot dengan kondisi curah hujan, sebagai suatu
indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

2

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara curah hujan
dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan dan mengetahui sebaran kejadian
kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada tahun 2013.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
pengaruh curah hujan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi
Riau dan wilayah yang dilanda kebakaran terparah, sehingga tindakan pencegahan
maupun pemantauan kebakaran hutan dapat lebih mudah dilakukan.

METODE PNELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian
ini dimulai pada bulan Februari sampai Mei 2014.

Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, seperangkat
komputer dengan beberapa perangkat program, yaitu Arc ViewGIS 3.2 untuk
pengolahan dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), MS Excel untuk
pengolahan grafik dan tabulasi.

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder:
Data curah hujan harian Provinsi Riau periode tahun 2013 yang diperoleh dari
Weather Underground dan data sebaran hotspot Provinsi Riau periode tahun 2013
yang diperoleh dari NASA- FIRMS MODIS hotspot dataset.

Analisis Data
Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud
meliputi: (i) data sebaran hotspot di Provinsi Riau tahun2013, (ii) data curah hujan
di Provinsi Riau 2013, dan (iii) berbagai literatur yang mendukung penelitian.

3
Pengolahan Data
Pengolahan data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) pengolahan data
penyebaran hotspot beserta rekapitulasi data hotspot dan 2) pengolahan data curah
hujan. Informasi penyebaran hotspot diperoleh melalui pengolahan data dengan
menggunakan software Arc ViewGIS 3.2, sedangkan untuk pengolahan data curah
hujan dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Exel.

Analisis Data
Analisis data yang pertama dilakukan adalah pemetaan sebaran titik panas
(hotspot) di Provinsi Riau pada tahun 2013 dengan confidence ≥50. Setelah itu
dilakukan rekapitulasi jumlah titik panas (hotspot) harian, 10 harian dan bulanan,
serta melakukan pengolahan luas area yang terbakar di Provinsi Riau pada tahun
2013. Analisis data berikutnya adalah perhitungan nilai curah hujan 10 harian dan
bulanan di Provinsi Riau tahun 2013 berdasarkan nilai curah hujan harian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Provinsi Riau
Provinsi Riau Secara geografis terletak antara 01° 05’ 00” Lintang Selatan
- 02° 25’ 00” Lintang Utara dan antara 100° 00’ 00” - 105° 05’ 00” Bujur Timur.
Batas-batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya dengan negara tetangga dan
provinsi lainnya, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan
Provinsi Sumatera Utara, sebelah Selatan berbatasan denganp Provinsi Jambi dan
Provinsi Sumatera Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan
Riau dan Selat Malaka, dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Barat dan Sumatera Utara (Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2013). Luas Wilayah
Provinsi Riau adalah 107 932.71 Km2 yang membentang dari lereng Bukit
Barisan hingga Selat Malaka, terdiri dari Luas daratan 87 712.05 Km2 dan luas
lautan 18 782.56 Km2 (Pemerintah Provinsi Riau 2013). Untuk Luas Kawasan
hutan di Provinsi Riau sesuai SK Menhut No 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni
2011 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Riau adalah
seluas 9 456 160 ha, kawasan hutan tersebut meliputi : Hutan Konservasi seluas :
451 240 ha, Hutan Lindung seluas : 397 150 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas :
1 971 553 ha ,Hutan Produksi Tetap seluas : 1 866 132 ha, Hutan Produksi yang
dapat dikonversi : 4 770 085 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2013).
Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar
antara 1 000 – 3 000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan
musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Kota
12 Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari, Kabupaten Pelalawan
147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan Kabupaten Kampar dengan jumlah
hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di
Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3 349.0 mm, disusul Kota
Pekanbaru sebesar 3 214.4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota
Dumai sebesar 635.0 mm. Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi

4
Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru tahun 2009 menunjukkan
28oC dengan suhu maksimum 36oC dan suhu minimum 21oC (BPS Riau 2010).

Gambar 1 Peta wilayah administratif Provinsi Riau
Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah
dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di
Wilayah Provinsi Riau antara 2–91 m dpl. Provinsi Riau memiliki empat jenis
tanah (Zwieryeki dalam BPS Riau 2011), yakni : (i) jenis tanah organosol glei
humus, (ii) jenis tanah padsolik merah kuning dari alluvium, (iii) jenis tanah
padsolik merah kuning dari batuan endapan, (iv) jenis tanah podsolik merah
kuning dari batuan endapan dan batuan beku. Jenis-jenis tanah tersebut terutama
didapati di daerah-daerah sepanjang pantai sampai dengan pertengahan daratan
yang berformasi sebagai daratan muda tidak bergunung-gunung, bahkan beberapa
bagian terdiri dari tanah berawa-rawa. Selain jenis tanah tersebut, dibeberapa
daerah di Provinsi Riau juga tersebar tanah gambut dengan luas seluruh lahan
gambut di Provinsi Riau adalah 4 043 602 hektar dan terdapat hampir di semua
wilayah kabupaten, tetapi yang paling luas terdapat di wilayah kabupaten yang
berada di pantai timur. Enam kabupaten yang memiliki lahan gambut paling luas
berturut-turut adalah Kabupaten Indragiri Hilir (983 ribu ha atau 24.3% dari total
lahan di provinsi), Bengkalis (856 ribu ha atau 21.2%), Pelalawan (680 ribu ha
atau 16.8%), Siak (504 ribu ha atau 12.5%), Rokan Hilir (454 ribu ha atau 11.2%),
dan Indragiri Hulu (222 ribu ha atau 5.5%). Kabupaten yang lain seperti Kampar,

5
Karimun, dan Pekanbaru hanya mempunyai lahan gambut kurang dari 5%
(Wahyunto et al., 2005).

Pola Sebaran Hotspot
Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya
terdeteksi adanya hotspot. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan
di Provinsi Riau yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
tidak hanya terjadi di dalam negeri namun hingga luar batas negara. Titik panas
(hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki suhu lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan oleh data digital
satelit. Menhut No.P12/Pmenhut-II/2009 Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa titik
panas atau hotspot adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi
yang memiliki suhu relative lebih tingi dibandingkan suhu di sekitarnya. Metode
yang digunakan dalam pemantauan titik panas (hotspot) adalah metode
penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Salah satu perangkat yang
digunakan dalam memantau kebakaran hutan dan lahan adalah Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS adalah salah satu
instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra dan Aqua
satelittes, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat,
National Aeronautics and Space Administration (NASA). MODIS mengorbit
bumi secara polar yaitu dari utara menuju selatan pada ketinggian 705 km dan
melewati garis khatulistiwa pada pukul 10.30 waktu lokal. MODIS mempunyai
cakupan lebih luas dari pada sensor AVHRR sebesar 2.33 km dengan resolusi
spasial yang lebih baik. Selain itu MODIS mempunyai jendela atau kanal spektral
yang lebih sempit dan beragam. Produk MODIS dikategorikan menjadi tiga
bagian yaitu produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi dan tutupan
lahan. Hasil pencapaian dari produk MODIS antara lain pendeteksian kebakaran
hutan, pendeteksian penutupan lahan, dan pengukuran suhu permukaan bumi
(Thoha 2008).
Titik hotspot dideteksi oleh MODIS menggunakan satelit Terra (EOS AM)
dan Aqua (EOS PM) dari NASA Earth Observing System (EOS). MODIS akan
mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi adalah 320 K
(siang) dan 315 K (malam) untuk sebuah hotspot. Hotspot MODIS terdeteksi pada
ukuran 1 km x 1 km atau 1 km2 sehingga setiap hotspot atau kebakaran yang
terdeteksi diwakili oleh 1 km pixel. MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu
lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan
serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (Solichin et al. 2007).
Hotspot di Provinsi Riau pada tahun 2013 selalu ditemukan pada setiap
bulannya. Berdasarkan hasil perhitungan untuk jumlah hotspot yang ada di
Provinsi Riau pada tahun 2013 diuraikan per-Kabupaten (Tabel 1). Jumlah
hotspot yang ada di Provinsi Riau pada tahun 2013 tertingggi berada pada
Kabupaten Rokan Hilir (3 128 titik), diikuti Bengkalis (3 021 titik) dan Pelalawan
(2 097 titik). Sedangkan untuk Kota Dumai dan Kota Pekanbaru jumlah hotspot
yang ditemukan sangat rendah yaitu 1 dan 4 titik. Jumlah hotspot yang tinggi pada
Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, dan Pelalawan diduga terjadi akibat adanya

6
kegiatan pengkonversian lahan hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian
yang dilakukan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan
sawit (Putra 2012). Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
Provinsi Riau 90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam
(WWF 2010). Tingginya jumlah hotspot pada ketiga Kabupaten tersebut juga
dapat dipengaruhi oleh pembukaan lahan yang dilakukan di lahan bergambut,
sebab ketiganya merupakan Kabupaten di Provinsi Riau dengan luasan lahan
gambut cukup besar. Syaufina (2008) menyebutkan bahwa gambut merupakan
bahan bakar yang baik dengan nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat
mencapai 27,7 KJ/g dengan kadar abu yang rendah (sekitar 13%).
Kemunculan hotspot terbanyak berada pada bulan Juni sebanyak 6 391
titik, diikuti bulan Agustus dan Juli sebanyak 2 231 dan 1 279 titik. Jumlah
terendah kemunculan hotspot berada pada bulan November dan Desember dimana
hanya ditemukan 11 dan 12 titik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya jumlah curah
hujan pada bulan Juni-Agustus, dimana pada bulan-bulan tersebut hari hujan yang
ada hanya sedikit dan hari lainnya tidak turuh hujan dan tingginya jumlah curah
hujan pada bulan November-Desember. Syaufina (2008) menyampaikan bahwa
kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di
beberapa tempat di bumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun.
Selanjutnya, kekurangan kadar air yang panjang dapat menyebabkan tanaman
mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran menjadi tinggi.
Tabel 1 Jumlah titik panas (hotspot) Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau tahun
2013.
Kabupaten dan
Kota

Jumlah

Bulan
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Augts

Sep

Okt

Nov

Des

Bengkalis

30

93

98

175

45

1 947

319

235

56

20

3

0

3 021

Indragiri Hilir

16

13

32

6

3

196

15

114

6

7

2

1

411

Indragiri Hulu

4

1

2

6

4

45

13

156

1

0

0

0

232

Kampar

2

0

4

16

19

212

41

150

18

14

0

3

479

Kota Dumai

0

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

1

Kota Pekanbaru

0

0

0

1

0

3

0

0

0

0

0

0

4

Kuantan Singingi

5

0

16

5

3

33

10

57

3

1

3

1

137

48

39

54

39

29

838

97

929

11

8

2

3

2 097

Rokan Hilir

3

11

7

16

72

2 172

437

300

99

11

0

0

3 128

Rokan Hulu

3

0

5

7

19

540

201

119

30

3

0

3

930

12

18

28

3

15

404

146

171

29

2

1

1

830

123

175

246

274

209

6 391

1 279

2 231

253

66

11

12

11 270

Pelalawan

Siak
Jumlah

Jun

Jul

Sumber : Hasil Pengolahan Data
Jumlah hotspot dapat menjadi penduga awal luas area terbakar disuatu
wilayah. Luas area terbakar di Provinsi Riau tahun 2013 disajikan pada Tabel 2.
Luas area terbakar terluas pada tahun 2013 terdapat pada Kabupaten Rokan Hilir
sebesar 150 225.40 ha atau 16.91% dari luas wilayahnya, diikuti Kabupaten

7
Bengkalis sebesar 133 615.67 atau 17.14% dari luas wilayahnya, dan Kabupaten
Pelalawan sebesar 115 353.42 ha atau 8.28% dari luas wilayahnya. Untuk
Provinsi Riau tahun 2013 secara keseluruhan luas area yang terbakar sebesar 572
157.27 ha atau 6.52% wilayah daratan Riau terbakar.
Tabel 2 Pendugaan luas areal terbakar di Provinsi Riau tahun 2013
Kabupaten dan
Luas Kabupaten
Luas area
Persen area
kota
dan Kota (ha)
terbakar (ha)
terbakar (%)
Bengkalis
779 393
133 615.67
17.14
Indragiri Hilir

1 160 597

24 946.36

2.15

Indragiri Hulu

819 826

15 558.43

1.90

1 128 928

28 695.75

2.54

172 385

99.36

0.06

63 226

369.40

0.58

765 603

10 891.79

1.42

1 392 494

115 353.42

8.28

Rokan Hilir

888 159

150 225.40

16.91

Rokan Hulu

744 985

50 632.89

6.80

Siak

855 609

41 768.81

4.88

Kampar
Kota Dumai
Kota Pekanbaru
Kuantan Singingi
Pelalawan

Jumlah

8 771 205
572 157.27
6.52
Sumber: Pemerintah Provinsi Riau 2013 dan Hasil pengolahan data

Gambar 2 Sebaran Hotspot di Riau tahun 2013

8
Pengaruh Curah Hujan Terhadap Jumlah Hotspot
Iklim tropis membuat Indonesia memiliki 2 musim, yaitu musim penghujan
dan musim kemarau. Kebakaran hutan biasanya terjadi pada saat musim kemarau.
Pada musim kemarau curah hujan sangat berkurang dan umumnya kondisi
kelembaban udara juga relatif rendah sehingga suasana kering tersebut merupakan
saat yang sangat rawan bagi terjadinya kebakaran (Sukamawati 2006).
Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan
kejadian kebakaran hutan dan merupakan faktor yang paling tinggi dalam
menentukan akumulasi bahan bakar (Syaufina 2008). Musim kebakaran hutan
berhubungan dengan pola hujan, terutama dengan kekeringan. Puncak musim
kebakaran di Riau terjadi pada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi maka
kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Menurut
Mackinno et al. (1997) dalam Hadiwijoyo 2012, bulan basah ditandai dengan
curah hujan >200 mm/bulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan