Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau

(1)

ABSTRAK

RINENGGO SIWI. Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Di bawah bimbingan: LAILAN SYAUFINA dan ATI DWI NURHAYATI.

Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya menyumbang asap besar, tidak hanya di wilayah Indonesia akan tetapi hingga negara tetangga, salah satunya yang berasal dari Desa Sepahat, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang pada tahun 2009-2010 menyumbangkan asap hingga ke negeri tetangga. Informasi tentang data titik panas (hotspot) dapat menjadi salah satu sumber informasi deteksi dini kebakaran hutan dan lahan. Jika data hotspot dikombinasikan dengan data curah hujan maka dapat ditemukan model perhitungan spasial hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot di Desa Sepahat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan data titik panas (hotspot) dari satelit NOAA-18 dengan data yang diperoleh dari satelit TERRA-AQUA, dan mengkaji korelasi antara curah hujan dengan data titik panas (hotspot) pada tahun 2008-2010. Penelitian ini menggunakan data sekunder hotspot berdasarkan satelit NOAA yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan RI, data sekunder hotspot berdasarkan satelit TERRA AQUA yang diperoleh Center for Applied Biodiversity Science (CABS), serta data curah hujan yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perternakan Kabupaten Bengkalis. Hasil penelitian menunjukkan jumlah deteksi hotspot yang ditangkap oleh satelit TERRA-AQUA lebih banyak dari pada satelit NOAA. Rata-rata deteksi hotspot berdasarkan satelit NOAA tahun 2008-2010 adalah 11 hotspot, sedangkan rata-rata deteksi hotspot bedasarkan satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010 adalah 119 hotspot. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Bukit Batu, pada tahun 2008-2009 adalah 1617.8 mm/tahun. Hasil korelasi antara jumlah curah hujan dengan deteksi hotspot dari satelit NOAA adalah 0.893, sedangkan nilai korelasi antara jumlah curah hujan dengan deteksi hotspot yang diperoleh dari satelit TERRA-AQUA adalah 0.5888. Model Persamaan terbaik hubungan curah hujan dengan deteksi hotspot di Desa Sepahat Kabupaten Bangkalis adalah y = 146.5 – 17.49x + 8.52x2 – 0.5444x3 dimana y adalah jumlah hotspot dari satelit NOAA dan x adalah curah hujan.

Kata Kunci : hotspot, kebakaran hutan dan lahan gambut, korelasi, curah hujan, Desa Sepahat.


(2)

ABSTRACT

RINENGGO SIWI. Comparison of Hotspot Sources as an Indicator of Forest and Peatland Fire and Its Correlation with Rainfall in Sepahat Village, Bengkalis district, Province of Riau. Under the guidance of: LAILAN SYAUFINA and ATI DWI NURHAYATI

Riau is one of the areas in Indonesia which annually contributes to the regional haze problem, not only in Indonesia but also to neighboring countries, one of which comes from Sepahat village, Bukit Batu subdistrict, Bengkalis district, Province of Riau in 2009-2010 contributed the big haze until neighboring countries. Information about data hotspot may be one source of early detection information of forest fires and land. If the data hotspots combined with rainfall data, it will discover the model calculations of spatial correlation between the amounts of rainfall with the amountsof hotspot detection in Sepahat village. This study is aimed to compare hotspot of the NOAA-18 satellite with hotspot data of the TERRA-AQUA satellite and examine the correlation between rainfall and hotspot in 2008-2010. This study uses hotspot secondary data by NOAA satellite from the Ministry of Forestry of Indonesia, hotspot secondary data byAQUA TERRA satellite from Center for Applied Biodiversity (CABS), and rainfall data from the Department of Agriculture and Animal Husbandry of Bengkalis. The result of this study indicates that the number of hotspot detection captured by TERRA-AQUA satellite is higher than that of the NOAA satellite. Average hotspot detection from NOAA satellite in 2008-2010 was 11 hotspots, while average hotspot detection from TERRA-AQUA satellite in 2008-2010 was 119 hotspots. While average rainfall in Bukit Batu sub-district, in 2008-2010 was 1617.8 mm/year. The result of the correlation between the amount of rainfall and hotspot detection from NOAA satellite is 0.893, while the result of the correlation between the amount of rainfall and hotspot detection from TERRA-AQUA satellite is 0.5888. Best Equation Model of rainfall with hotspot detection in Sepahat village, Bangkalis is y = 146.5 - 17.49x + 8.52x2 - 0.5444x3 whereby y is the number of hotspots of NOAA satellite and x is rainfall.


(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebakaran hutan di Indonesia telah menarik perhatian masyarakat nasional dan internasional. Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi salah satu masalah dunia karena dampak kebakaran hutan tidak hanya dialami oleh masyarakat lokan, akan tetapi masyarakat di negara tetangga. Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya dari sisi lingkungan saja, akan tetapi dampak dari sisi ekonomi dan sosial.

Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya menyumbang asap besar, tidak hanya di wilayah Indonesia akan tetapi hingga negara tetangga. Pada musim kemarau terdapat 4 kabupaten/kota yang rawan akan terjadi kebakaran yaitu Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis dan Kampar. Kebakaran di 4 wilayah tersebut terjadi karena kondisi lahan yang bergambut serta pihak-pihak yang tidak bertangung jawab yang cenderung membuka lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar.

Desa Sepahat merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis yang pada tahun 2009-2010 menyumbangkan asap hingga ke negeri tetangga khususnya Singapore dan Malaysia yang disebabkan oleh kebakaran lahan gambut yang hebat. Kebakaran yang terjadi di wilayah ini hampir terjadi setiap tahunnya.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya mengindikasikan adanya kebutuhan dalam upaya penanggulangan secara menyeluruh dan terpadu agar dapat mengurangi dampak negatif yang dihasilkan (Kayoman 2010). Pencegahan kebakaran dengan sistem peringatan dini dapat dilakukan dengan menggunakan peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah.

Saat ini informasi dalam penanggulangan kebakaran melalui deteksi dini sudah mulai banyak disosialisasikan secara transparan kepada masyarakat. Salah satunya informasi titik panas (hotspot) yang didapatkan dari dara penginderaan jauh melalui satelit. Informasi jumlah deteksi titik panas (hotspot) dapat memberikan informasi mengenai indikasi jumlah dan luasan areal yang terbakar.


(4)

Data hotspot dapat dikombinasikan dengan data seperti curah hujan sehingga dapat ditemukan model hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot di daerah tersebut. Data hotspot tersebut dapat memberikan informasi sebagai deteksi dini terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan serta sebagai indikator potensi kebakaran hutan dan lahan, sehingga pemadaman kebakaran dapat dilakukan lebih cepat.

B. Tujuan

1. Membandingkan antara data titik panas (hotspot) dari satelit NOAA-18 dengan satelit TERRA-AQUA sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau tahun 2008-2010.

2. Mengkaji korelasi antara curah hujan dengan titik panas (hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau tahun 2008-2010.

C. Manfaat

Hasil penelitian ini memberikan informasi model persamaan yang lebih baik dalam mendeteksi sebaran hotspot, sehingga model tersebut dapat digunakan oleh pemerintah Desa Sepahat yang menjadi dasar upaya pemadaman kebakaran sedini mungkin.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Kebakaran Hutan

1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali. Berbeda dengan kebakaran hutan, jika api melalap bahan bakar bervegetasi yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di kawasan bukan hutan maka disebut kebakaran lahan.

Kebakaran hutan dapat dikelompokkan pada tiga tipe. Pengelompokkan tersebut didasarkan kepada bahan bakar yang mendominasi kebakaran. Tiga tipe kebakaran (Syaufina 2008), yaitu :

a. Kebakaran bawah (Ground Fire):

Kebakaran bawah yaitu situasi dimana api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah. Penjalaran api yang perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin menyebabkan tipe kebakaran seperti ini sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Kebakaran bawah adalah tipe kebakaran yang umum terjadi di lahan gambut.

b. Kebakaran permukaan (Surface fire)

Kebakaran permukaan yaitu situasi dimana api membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembalakan dan bahan bakar lain yang terdapat di lantai hutan. Kebakaran permukaan adalah tipe kebakaran yang umum terjadi di semua tegakan hutan.

c. Kebakaran tajuk (Crown fire)

Kebakaran tajuk yaitu situasi dimana api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon yang lain yang saling berdekatan. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin. Kebakaran tajuk sering terjadi di tegakan hutan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Api

Kejadian kebakaran hutan tidak lepas hubungannya dengan perilaku api yang dipengaruhi oleh segitiga api. Dalam segitiga api tergantung tiga unsur utama yakni bahan bakar, oksigen, sumber api (Syaufina 2008). Ketiga unsur utama ini membuat


(6)

perilaku api berhubungan erat dengan perubahan unsur-unsur lingkungan. Unsur-unsur lingkungan tersebut antara lain bahan bakar, iklim/cuaca, dan topografi.

a. Bahan Bakar

Kadar air merupakan faktor pengendali bahan bakar. Kadar air menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran (Sukmawati 2008). Menurut Syaufina (2008), kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku api terutama dalam kecepatan pembakaran bahan bakar. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka memerlukan panas yang besar untuk mengeluarkan air dari bahan bakar, maka kecepatan pembakaran dan flamabilitas (kemampuan terbakar) dari bahan bakar juga munurun. Kadar air dipengaruhi oleh curah hujan, kelembaban, dan suhu udara. Hasil penelitian di daerah Tanjong Karang, Selangor, Malaysia menyatakan kadar air bahan bakar gambut dipengaruhi oleh curah hujan dan tinggi muka air (Syaufina 2008).

b. Iklim/Cuaca

Radiasi matahari menjadi faktor adanya kebakaran hutan akibat adanya pemanasan bahan bakar. Semakin dekat dengan permukaan bahan bakar dengan sudut datang matahari, maka semakin besar pengaruh pemanasannya (Syaufina 2008). Suhu udara yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahan untuk terbakar. Suhu yang meningkat akan menurunkan kelembaban udara dan meningkatkan proses pengeringan bahan bakar, sehingga kadar air bahan bakar menurun (Sukmawati 2008). Keadaan inilah yang mempermudah bahan bakar menjadi mudah terbakar.

Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi terhadap kejadian kebakaran hutan Soares dan Sampion 2000a dalam Syaufina (2008). Curah hujan juga berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar akan tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran (Sukmawati 2008). Curah hujan merupakan unsur iklim yang mempunyai keragaman tinggi, karena pola hujan yang bervariasi menurut skala ruang dan waktu (Asdak 2002 dalam Sukmawati 2008).

Kecepatan angin dan pergerakan angin mempengaruhi perilaku api. Kecepatan angin berhubungan dengan pola penjalaran api. Menurut Chandler et al (1983) dalam


(7)

Syaufina (2008), kecepatan penjalaran api akan meningkat dua kali lipat pada setiap kenaikan angin sebesar 4 m/detik. Pengaruh angin terhadap perilaku api sangat dipengaruhi oleh topografi (Syaufina 2008). Angin mendorong dan meningkatkan pembakaran dan mensuplai udara secara terus-menerus dan meningkatkan penjalaran, sehingga api dapat menjalar ke bagian bahan bakar yang belum terbakar (Sukmawati 2008).

c. Topografi

Kelerengan mempengaruhi penjalaran api, sifat-sifat nyala api dan perilaku api lainnya. Api menjalar lebih cepat ke arah atas lereng dari pada ke bawah lereng. Kecepatan penjalaran api menaiki lereng sampai kelerengan 20 0 relatif sama. Akan tetapi pada kelerengan 30 0, kecepatan penjalaran akan meningkat secara signifikan. Berbeda halnya saat api menuruni lereng, kecepatan api saat menuruni lereng akan lebih lambat dari pada menaiki lereng (Syaufina 2008).

B.Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan

Penyebab kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor alam (biofisik) dan faktor manusia.

1. Faktor Biofisik

Kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh faktor biofisik disebabkan oleh beberapa faktor seperti petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Di negara subtropis kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh faktor alam sering terjadi. Petir merupakan penyebab kebakaran tertinggi di negara subtropis (Syaufina 2008). Sedangkan di Indonesia, menurut Zubaidah et al. (2005) hutan tropika di Indonesia, sulit terbakar secara alami, tetapi dengan meningkatnya gangguan pada hutan oleh manusia, kebakaran hutan akan sering terjadi.

Kejadian petir yang sering terjadi di Indonesia tidak dapat menimbulkan kebakaran karena datangnya petir di Indonesia selalu dibarengi dengan datangnya hujan. Sehingga percikan api dari petir yang mengenai bahan bakar tidak dapat berkembang, menjalar lebih luas.

Daerah yang berdekatan dengan gunung berapi yang masih aktif, merupakan daerah yang masih mempunyai resiko terhadap bahaya kebakaran karena udara yang


(8)

dihasilkan dapat mengeringkan bahan bakar, sehingga kemampuan bahan bakar untuk terbakar semakin tinggi (Syaufina 2008).

Kejadian kebakaran hutan dan lahan juga dipengaruhi oleh tipe tanah, misalnya tanah gambut yang akan menjadi kering akibat pemanfaatan dan pembukaan lahan gambut yang membuat tanah gambut menjadi cenderung padat (Kusmana et al. 2008 dalam Samsuri 2008). Kebakaran di lahan gambut adalah kebakaran yang berbahaya karena tipe kebakaran di lahan gambut adalah kebakaran tipe kebakaran bawah (ground fire). Bahan bakar utama pada lahan gambut adalah lapisan gambut yang berada dipermukaan. Kebakaran yang terjadi di permukaan gambut merambat ke dalam hingga membakar lapisan organik (Ritung dan Wahyunto 2003).

Menurut Chandler et al. (1983a) dalam Syaufina (2008) menyatakan bahwa iklim dan cuaca mempengaruhi kebakaran hutan yang saling berhubungan seperti berikut :

a. Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia

b. Iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran

c. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar

d. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan Kebakaran pada lahan gambut juga dipengaruhi oleh kadar air gambut. Menurut hasil penelitian Putra (2003) dalam Syaufina 2008, kecepatan pembakaran akan menurun dengan semakin meningkatnya kadar air gambut. Pada kadar air yang tinggi, api tidak menyebabkan terjadinya pembakaran karena panas tidak mampu menguapkan air serta menguraikan bahan kimia gambut atau bahan-bahan lain.

2. Faktor Aktifitas Manusia

Kebakaran merupakan acaman terbesar bagi hutan tropis terutama di Indonesia dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini. Pulau Sumatra dan Kalimantan merupakan pulau besar di Indonesia merupakan wilayah yang sering terjadi kebakaran (Samsuri 2008).

Menurut Samsuri (2008) penyebab utama deforestasi hutan di berbagai negara adalah kebakaran hutan. Permasalahan ekonomi dan sosial merupakan faktor utama


(9)

pendorong ternjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Penyiapan lahan dengan cara membakar masih dianggap cara yang paling murah dan praktis sehingga perusahaan HTI dan perkebunan dengan alasan lebih ekonomis masih melakukan sistem ini (Wibisono et al. 2005). Dari penelitian yang dilakukan CIFOR/ICRAF dalam Syaufina (2008) yang dilakukan di enam propinsi di Sumatra dan Kalimantan diketahui penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan adalah:

a. Api digunakan dalam pembukaan lahan;

b. Api digunakan dalam permasalahan konflik tanah; c. Api menyebar tidak sengaja;

d. Api yang berkaitan dengan ekstrasi sumber daya alam. Adapun penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan adalah;

a. Penguasaan lahan;

b. Alokasi penggunaan lahan; c. Insentif dan disinfentif ekonomi; d. Degradasi hutan dan lahan;

e. Dampak dari perubahan karekteristik kependudukan; f. Lemahnya kapasitas kelembagaan.

Salah satu contoh fenomena konversi hutan saat ini adalah Bengkalis, Provinsi Riau. Dalam kurun waktu dua tahun terjadi peningkatan lahan perkebunan, pemungkiman, dan lahan terbuka. Lahan yang terbuka sangat rentan dengan bahaya kebakaran karena di lahan yang terbuka memiliki bahan bakar yang melimpah, terutama bahan bakar permukaan. Selain itu permukaan lahan akan banyak terkena sinar matahari sehingga menimbulkan proses pengeringan bahan bakar. Jika terdapat api yang tersulut maka kebakaran akan mudah terjadi dan api akan mudah menjalar tanpa kendali (Syaufina 2008).

C. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak positif maupun negatif. Diperlukan pengkajian yang mendalam mengenai dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan. Menurut Adinugroho et al. (2005), dampak kebakaran hutan dan lahan gambut yaitu adanya degradasi lingkungan, gangguan kesehatan dan masalah ekonomi.


(10)

1. Degradasi lingkungan

Kebakaran lahan gambut menyebabkan penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatkan kecepatan lindak. Dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah ditentukan oleh frekuensi terjadinya kebakaran, derajat kerusakan/dekomposisi yang ditimbulkan dan pemanasan yang terjadi di permukaan yang dipengaruhi oleh ketersediaan bahan bakar (Adinugroho et al. 2005). Kebakaran yang menyebabkan meningkatnya suhu di permukaan mengakibatkan meningkatnya suhu di bawah permukaan (gambut) yang mengakibatkan tidak sedikit gambut yang terbakar. Kebakaran gambut dapat merubah sifat fisik maupun kimia tanah gambut secara signifikan.

Perubahan sifat fisik yaitu adanya perubahan struktur tanah yang mengakibatkan tanah dengan kadar bahan organik rendah akan mempunyai bulk density yang rendah sehingga meningkatkan kesarangan tanah. Pemanasan mengakibatkan terganggunya lapisan atas tanah yang berpengaruh juga terhadap penurunan pori tanah lapisan bawah. Sehingga kemudahan permeabilitas tanah akan berkurang yang menyebabkan penurunan kandungan air yang tersedia. Pori-pori yang mengecil dan kepadatan tanah akibat kebakaran menyebabkan kemampuan tanah untuk air tanah berkurang (Syaufina 2008).

Dampak kebakaran terhadap sifat kimia menurut Adinugroho et al. (2005) ditentukan oleh tingkat dekomposisi dan ketersediaan bahan bakar. Perubahan sifat kimia tanah gambut ditandai dengan peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basah total yang merupakan sementara, karena setelah 3 bulan setelah kebakaran akan terjadi penurunan pH, kandungan N-total, fosfor dan basa total. Penurunan C-Organik juga merupakan dampak perubahan sifat kimia gambut. Menurut hasil penelitian Nuryandi (2003) gambut setelah kebakaran pada kedalaman 10-20 cm memiliki kandungan C-organik yang lebih rendah daripada kedalaman lebih tinggi 10-20 cm. Hal ini dikarenakan pada kedalaman 10-20 cm terdapat mikroorganisme yang menyebabkan degradasi bahan organik akan lebih cepat daripada kedalaman di atasnya sehingga kadar C-Organik yang tersisah lebih sedikit.

2. Gangguan Kesehatan

Pembakaran menghasilkan panas dan senyawa yang dapat menjadi polutan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Proses pembakaran yang tidak sempurna atau fase


(11)

smoldering yang sering terjadi pada kebakaran gambut tidak hanya menghasilkan lebih banyak karbonmonoksida namun juga partikel-partikel serta uap air yang banyak. Masalah yang timbul adalah asap kabut yang menyebabkan gangguan trasportasi maupun kesehatan (Syaufina 2003). Menurut DeBano et al. (1998) dalam Syaufina (2008) timbulnya asap disebabkan oleh kondisi bahan bakar yang lembab akan meningkatkan waktu penyalaan, menyebabkan proses pembakaran lambat atau menyebabkan tidak terbakar dan suhu lebih rendah. Emisi yang akan dihasilkan lebih tinggi karena waktu smoldering yang lebih lama. Tahun 2003 kabut asap yang terjadi di Palangkaraya menyebabkan ribuan penduduk menyebabkan menderita infeksi saluran pernafasan, sakit mata dan batuk.

3. Masalah Ekonomi

Asap tebal yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi salah satu diantara peristiwa kebakaran terburuk yang menarik perhatian dunia. Kabut asap telah menggangu beberapa negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura. Peristiwa kebakaran hebat di Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan dampak asap kebakaran yang memicu penyakit pernafasan, penurunan produksi tanaman dan perikanan, gangguan jasa trasportasi, industri pariwisata. Biaya dalam memulihkan keadaan tersebut tidak lah sedikit, di Malaysia biaya perawatan sakit akibat asap mencapai RM 1.2 juta sedangkan kerugian produktivitas mencapai RM 4.3 juta. Di Indonesia sendiri biaya perawatan kesehatan sebesar US$ 294.7 juta dan untuk kerugian produktivitas US$ 167.3 juta.

D. Pengendalian Kebakaran Hutan

Pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi remote sensing. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam memantau kebakaran secara cepat, tepat dan akurat serta memperkirakan kejadian kebakaran dan pengaruhnya pada waktu mendatang. Informasi yang dapat membantu dalam kegiatan peringatan dini (early warning system) dalam pencegahan kebakaran hutan.

Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satus pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah atau lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital (Kayoman 2010). Data titik panas dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tentang kemungkinan terjadinya kebakaran, sehingga diperlukan


(12)

dilakukan analisa, pemantauan dan terkadang perlu dilakukan cek lapangan (ground truthing) untuk mengetahui apakah perlu dilakukan tindakan penanggulangan dini khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api sangat cepat (Adinugroho et al. 2005). Data Hotspot merupakan data yang paling cepat dalam mendeteksi kebakaran dalam penyediaan dan ditribusinya. Baik berupa lokasi hotspot (data geografis) maupun data penyebaran hotspot.

1. Satelit NOAA

Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) melalui sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), merupakan salah satu satelit yang digunakan dalam mendeteksi kebakaran lahan. Tujuan satelit ini diluncurkan untuk memantau keadaan iklim dan cuaca. Sensornya dapat membaca perbedaan suhu antara suhu permukaan di darat maupun di laut. Satelit NOAA juga mempunyai harga yang relatif murah. Sebenarnya penggunaan satelit NOAA tidak dikenakan biaya apapun, akan tetapi jika ingin mendapatkan citra (foto) dari satelit tersebut diperlukan hardware dan software yang harganya cukup mahal. Sensor AVHRR mempunyai FOV (Field of View) sangat lebar yaitu 110 0 dan jarak yang jauh dari bumi, prinsip whiskbroom menyebabkan perbedaan yang besar pada ground sel terukur dalam satu penyinaran (scaline). Data citra standar produk-produk AVHRR menghasilkan data citra ukuran yang sama ukuran di lapangan. Sensor AVHRR mampu mendeteksi permukaan bumi dengan resolusi sebesar 1.21 km2 serta dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam sehari. Ketersediaan data harian dan harga yang pantas merupakan alasan utama bagi negara-negara yang telah sukses mengembangkan sistem deteksi kejadian kebakaran (active fire), yang juga seharusnya juga dikembangkan di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Indonesia sendiri terdapat terdapat beberapa stasiun penerima NOAA, antara lain, Palembang Sumatra (MoF-EU), Bogor Jawa (MoF-JICA), Samarinda Kalimantan (MoF-GTZ), Jakarta Jawa (LAPAN-Bappedal).

Selain mempunyai kelebihan satelit NOAA juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain adalah satelit NOAA tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan ini sebenarnya dimiliki oleh satelit yang memiliki sensor optis (sinyal pasif). Berbeda dengan radar yang mempunyai sinyal aktif yang dapat menembus awan dan aktif pada malam hari. Kelemahan yang lain yang dimiliki oleh


(13)

satelit NOAA adalah resolusi spasial yang rendah. Satelit NOAA memiliki resolusi citra sekitar 1.1 km x 1.1 km. Dalam luasan 1.21 km2 tersebut kita tidak dapat mengetahui lokasi kebakaran secara persis. Selain itu, jika jumlah titik kebakaran dalam satu luasan lebih dari satu titik, akan tetapi luasan tersebut akan tetap diwakili oleh satu titik hotspot yang berada tepat di tengah luasan persegi tersebut. Penentuan luasan areal terbakar dengan menggunakan data hotspot satelit NOAA sebaiknya tidak dilakukan karena akan menyebabkan bias yang cukup besar (Thoha 2008).

Sifat sensor yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah menyebabkan kemungkinan terjadinya salah perkiraan titik panas, misalnya cerobong api dari tambang minyak atau gas yang sering kali terdeteksi sebagai titik panas. Oleh karena itu diperlukan analisis lebih lanjut dengan melakukan overlay (penggabungan) antara data titik panas dengan peta penutupan lahan atau penggunaan lahan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) serta melakukan cek lapangan (ground surveying) (Adinugroho et al. 2005).

2. Satelit TERRA dan AQUA

Satelit TERRA (yang beroperasi pada siang hari ) dan AQUA (beroperasi pada malam hari) yang membawa sensor MODIS (Moderate Resolution Image Spectroradiometer). MODIS mengorbit bumi secara polar yaitu dari utara menuju selatan pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada pukul 10:30 waktu lokal (Thoha 2008). MODIS mempunyai cangkupan lebih luas dari pada sensor AVHRR sebesar 2.33 km dengan resolusi spasial yang lebih baik. Selain itu MODIS mempunyai jendela/kanal spektral yang lebih sempit dan beragam. Produk MODIS dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi, dan tutupan lahan. Hasil pencapaian dari produk MODIS antara lain pendeteksian kebakaran hutan, pendeteksian penutupan lahan, dan pengukuran suhu permukaan bumi (Thoha 2008). Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 band (36 panjang gelombang. Satu eleman citranya mempunyai 250 m (band 1-2), 500 (band 3-7) dan 1000 m (band 8-36) (Chrisnawati 2008).

Indonesia merupakan negara tropis yang sangat dipengaruhi oleh faktor radiasi matahari dan curah hujan tinggi. Kejadian kebakaran hutan dan lahan sangat


(14)

dipengaruhi oleh curah hujan. Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau pada bulan Agustus-Desember curah hujan mengalami peningkatan sehingga jumlah hotspot di daerah tersebut berkurang bahkan tidak ditemukan sama sekali. Keadaan ini menyatakan bahwa peningkatan dan penurunan jumlah hotspot berkaitan dengan penurunan dan peningkatan curah hujan (Syaufina 2008).


(15)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2011, diawali dengan tahap pengumpulan data yang dilakukan di Desa Sepahat, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Privinsi Riau. Pengolahan data dan analisis data dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor hingga bulan September 2012.

B. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Sebaran hotspot Satelit NOAA-18 di Desa Sepahat Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau periode tahun 2008-2010 yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

b. Digital data sebaran hotspot satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau periode tahun 2008-2010 yang diperoleh dari Center for Applied Biodiversity Science (CABS).

c. Data Curah hujan di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau periode tahun 2008-2010 yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkalis.

2. Alat

Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat unit komputer yang dilengkapi dengan software yaitu MINITAB 15 untuk pengujian korelasi, Arc View 3.3 untuk mengolah dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), serta MS Excel untuk pengolahan grafik dan tabulasi.


(16)

C. Pengolahan Data

Pengolahan data terdiri dari: pengolahan data penyebaran hotspot, rekapitulasi data hotspot satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA, serta rekapitulasi data curah hujan dengan hari hujan dari tahun 2008 hingga 2010. Informasi penyebaran hotspot diperoleh melalui pengolahan data dengan menggunakan software arc view 3.3. Sedangkan untuk pengolahan rekapitulasi hotspot bulanan dari satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA beserta rekapitulasi data curah hujan dengan hari hujan dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Exel.

Langkah awal pengolahan data adalah mengolah data hotspot berdasarkan satelit NOAA dan satelit TERRA dan AQUA. Menerjemahkan data koordinat dari data kedua satelit tersebut dalam sebuah peta. Selanjutnya mengelompokan data hotspot berdasarkan bulan di masing-masing data satelit. Setelah dikelompokan berdasarkan bulan dan sumber data hotspot dilakukan uji korelasi antara data hotspot dengan curah hujan.

D. Analisis Data

Analisis data curah hujan dan hotspot dalam penelitian ini menggunakan analisis statistika terhadap, hubungan antara curah hujan dengan hotspot dengan mengunakan perangkat lunak Minitab 15 melalui tahapan berikut :

1. Perhitungan jumlah hotspot bulanan dari data satelit NOAA di Desa Sepahat periode tahun 2008-2010.

2. Perhitungan jumlah hotspot bulanan dari data satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat periode tahun 2008-2010.

3. Perhitungan nilai curah hujan rata-rata di Kecamatan Bukit Batu periode tahun 2008-2010.

4. Pengujian korelasi antara data jumlah curah hujan dengan data jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA.

5. Pengujian korelasi antara data jumlah curah hujan dengan data jumlah deteksi hotspot dari satelit TERRA-MODIS.

6. Pengujian regresi polynomial kubik data jumlah curah hujan dengan data jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA.


(17)

7. Pengujian regresi polynomial kubik data jumlah curah hujan dengan data jumlah deteksi hotspot dari satelit TERRA-MODIS.

Rekapitulasi data curah hujan sRekapitulasi data hotspot bulanan  

dari data satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA

Perhitungan rata-rata curah hujan

Pengujian korelasi antara data jumlah curah hujan dengan data jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA dan satelit TERRA -AQUA

Pengujian regresi polynomial kubik data jumlah curah hujan dengan data jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA 

Gambar 1 Skema analisis pengolahan data penelitian Deteksi sebaran data hotspot dari

satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA


(18)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI

Provinsi Riau memiliki luas wilayah sebesar 8867267 hektar. Provinsi Riau terletak di antara 01 0 05’ 00’’LS – 02 0 25’ 00’’LU atau antara 100 0 00’ 00’’BT sampai 105 0 05’ 00’’ BT, yang membentang dari Lereng Bukit Barisan sampai dengan Selat Malaka. Propinsi Riau memiliki 12 kabupaten yaitu: (1) Kuatan Singingi, (2) Indragiri Hulu, (3) Indragilir Hilir, (4) Pelalawan, (5) Siak, (6) Kampar, (7) Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, (10) Kepulauan Meranti, (11) Pekanbaru, (12) Dumai.

Gambar 2 Peta Provinsi Riau (Sumber BPS Riau 2010)

Provinsi Riau merupakan daerah yang berklim basah tropis dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1000-3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Salah satu yang memiliki curah hujan yang kecil tiap tahunnya adalah Kabupaten Bengkalis (BPS Riau 2010).

Kabupaten Bengkalis mempunyai luas wilayah sebesar 7773.93 km2 atau 9.46% dari seluruh luasan Propinsi Riau. Kabupaten Bengkalis terletak di bagian pesisir Timur Pulau Sumatera antara 2 0 7’ 37.2” LU – 0 0 55’ 33.6” LU dan 100 0 57’ 57.6” BT – 102 0 30’ 25.2” BT (BPS Kabupaten Bengkalis 2012). Kabupaten Bengkalis dibagi dalam 8 kecamatan yaitu Kecamatan Bengkalis, Batan di Kepulauan


(19)

Bengkalis, Kecamatan Rupat, Kecamatan Rupat Utara di Pulau Rupat, Kecamatan Bukit Batu, Kecamatan Siak Kecil, Kecamatan Mandau, Kecamatan Pinggir. Kabupaten Bengkalis dipengaruhi oleh iklim laut dengan temperatur rata-rata 26 0 C-32 0C dan kelembaban rata-rata 85%. Musim hujan berlangsung antara bulan September hingga Januari dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 900 mm/tahun sampai 1500 mm/tahun, dengan jumlah hari hujan per tahun kurang dari 110 hari pertahunnya (Pemerintah Kabupaten Bengkalis 2011).

Kecamatan Bukit Batu merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Bengkalis dengan ibukota kecamatan adalah Sungai Pakning. Kecamatan Bukit Batu mempunyai luasan sebesar 1022 Km2 yang terdiri dari 1 kelurahan dan 14 desa. Kecamatan Bukit Batu terletak 1 0 15’ LU – 1 0 37’ 22’’ LU dan 101 0 26’ 41’’ BT – 102 0 10’ 54’’. Kelurahan Sungai Pakning dipimpin oleh seorang lurah definitive dan empat belas desa dipimpin oleh kepala desa. Tiga belas desa mempunyai kepala desa definitive, sedangkan satu kepala desa lagi merupakan pejabat negara (Pemerintah Kabupaten Bengkalis 2011).

Desa Sepahat merupakan salah satu desa yang terkenal di Kecamatan Bukit Batu akibat intensitas kebakaran yang tinggi di wilayah ini. Desa Sepahat memiliki luas 79 km2 dengan jumlah penduduk 1163 jiwa (Pemerintah Kabupaten Bengkalis 2011). Desa Sepahat berada di pertengahan kota Dumai dengan Sungai Pakning yang menjadi ibu kota kecamatan. Desa Sepahat berada di posisi jalur khatulistiwa dan merupakan daratan rendah. Suhu rata-rata di desa ini cukup tinggi, berkisar 27 0C – 34

0

C. Desa Sepahat dipimpin oleh seorang kepala desa yang dibantu dengan penjabat tingkat desa. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani karet dan kelapa sawit serta nelayan.


(20)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hotspot Sebagai Indikator Kebakaran

Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Desa Sepahat Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis. Desa Sepahat merupakan salah satu wilayah yang setiap tahunnya terdeteksi adanya hotspot. Kebakaran di wilayah ini menimbulkan dampak yang besar yakni kerusakan dan pencemaran lingkungan khususnya pencemaran udara yang tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi meluas hingga luar negeri.

Kebakaran yang tejadi di Desa Sepahat hampir 80% terjadi di lahan warga, sisanya merupakan lahan perkebunan sawit dari program pemberantasan kemiskinan, kebodohan, dan infrastuktur milik pemerintah. Teknologi yang berkembang saat ini, penyimpangan iklim dalam fenomena kebakaran hutan dan lahan dapat dianalisis dari jumlah hotspot yang terdeteksi pada setiap jenis penutupan lahan pada berbagai keadaan curah hujan (Adiningsih et al. 2005).

Jumlah hotspot bulanan yang terdeteksi di Desa Sepahat berdasarkan data satelit NOOA-18 yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan RI selama periode 2008-2010 disajikan pada Gambar 3

Sumber data : Kementrian Kehutanan RI (Satelit NOAA-18)

Gambar 3 Jumlah hotspot tahunan di Desa Sepahat, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis melalui Satelit NOAA tahun 2008-2010


(21)

Berdasarkan Gambar 3 di atas terlihat deteksi hotspot melalui pantauan satelit NOAA-18 tahun 2008 hingga tahun 2010 mengalami penurunan. Jumlah deteksi hotspot tertinggi terlihat pada tahun 2008 yang mencapai 15 hotspot. Sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 jumlah deteksi hotspot pada Desa Sepahat sebanyak 6 hotspot. Pada bulan Februari 2008 terdeteksi 14 hotspot yang terdapat di Desa Sepahat. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi deteksi hotspot dari tahun 2008-2010. Deteksi hotspot yang terpantau oleh satelit NOOA-18 pada tahun 2008-2010 berada pada bulan-bulan awal yakni Januari, Februari, dan Maret. Hal ini berhubungan dengan jatuhnya musim kemarau di Riau yaitu pada bulan Februari hingga Maret dan bulan Juli-September.

Sumber : Kementrian Kehutanan RI

Gambar 4 Jumlah hotspot bulanan di Desa Sepahat, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis melalui satelit NOAA tahun 2008-2010

Berdasarkan Gambar 4 terlihat jelas bahwa pada tahun 2008 merupakan jumlah deteksi hotspot tertinggi yang ditangkap oleh sensor AVHRR. Pada tahun 2008 deteksi hotspot yang terekam oleh sensor AVHRR pada bulan Februari sebanyak 14 hotspot dan bulan April sebanyak 1 hotspot. Pada tahun 2009 deteksi hotspot yang terekam oleh sensor AVHRR terdapat pada bulan Maret, Agustus, dan November, yang masing-masing terdeteksi 2 hotspot. Sedangkan pada tahun 2010, deteksi hotspot yang terekam oleh sensor AVHRR terjadi pada bulan Januari dan Februari yang masing-masing terdeteksi 3 hotspot.

Berbeda dengan satelit NOAA-18, satelit TERRA-AQUA yang mempunyai cakupan lebih luas daripada sensor AVHRR yang dimiliki oleh Satelit NOAA. Pada tahun 2008 satelit TERRA-AQUA dengan menggunakan sensor MODIS dapat


(22)

mendeteksi 103 hotspot, pada tahun 2009 terdeteksi 148 hotspot dan pada tahun 2010 terdeteksi 107 hotspot.

Sumber data : Center for Applied Biodiversity Science (CABS).

Gambar 5 Jumlah hotspot tahunan di Desa Sepahat Kabupaten Bengkalis, Riau melalui Satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010

Gambar 5 menunjukkan deteksi hotspot tertinggi yang ditangkap oleh sensor MODIS terjadi pada tahun 2009 sedangkan deteksi hotspot terendah terjadi pada tahun 2008. Pada tahun 2009 jumlah deteksi hotspot tertinggi terdapat pada bulan Januari yaitu sebanyak 48 hotspot. Hal ini berbeda dengan deteksi hotspot yang tertangkap satelit NOAA yang tidak mendeteksi hotspot pada bulan Januari tahun 2009.

Berdasarkan Gambar 6, data yang diperoleh sensor MODIS hotspot tertinggi dalam kurun waktu tahun 2008-2010 terjadi pada bulan Februari. Sedangkan jumlah hotspot terendah bulanan pada kurun waktu 2008-2010 terjadi pada bulan Maret, September, dan Oktober. Bulan Februari tahun 2008 merupakan jumlah deteksi hotspot tertinggi dalam kurun waktu 2008-2010 yaitu sebanyak 93 hotspot. Bulan Desember 2009 dan bulan April 2010 merupakan jumlah deteksi hotspot terendah dalam kurun waktu 2008-2010 yaitu sebanyak 1 hotspot.

Pada tahun 2008 deteksi hotspot yang tertangkap oleh sensor MODIS terjadi pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan Desember. Deteksi hotspot tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan Februari yaitu sebanyak 93 hotspot. Sedangkan deteksi hotspot terendah pada tahun 2008 terjadi pada bulan Mei yaitu sebanyak 2 hotspot. Pada tahun 2009 deteksi hotspot yang tertangkap oleh sensor MODIS terjadi pada


(23)

bulan Januari, Februari, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember.

Sumber data : Center for Applied Biodiversity Science (CABS).

Gambar 6 Jumlah hotspot bulanan di Desa Sepahat Kabupaten Bengkalis, Riau melalui Satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010

Deteksi hotspot tertinggi pada tahun 2009 terjadi pada bulan Januari yaitu sebanyak 48 hotspot. Deteksi hotspot terendah terjadi pada bulan Desember yaitu 1 hotspot. Pada tahun 2010, deteksi hotspot yang tertangkap oleh sensor MODIS terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Juni, Juli Agustus, Oktober, dan Desember. Deteksi hotspot tertinggi pada tahun 2010 terjadi pada bulan Oktober sebanyak 49 titik. Deteksi hotspot terendah pada tahun 2010 terjadi pada bulan April yang terdeteksi 1 hotspot.

Pada bulan Mei, Juni, Juli, September, Oktober, dan Desember dari kurun waktu tahun 2008-2010 satelit NOAA-18 mendeteksi tidak ditemukan hotspot pada bulan tersebut. Hasil deteksi hotspot yang dilakukan Satelit MODIS, pada enam bulan tersebut terdeteksi adanya hotspot dengan jumlah rata-rata hotspot tertinggi berada pada bulan Oktober sebanyak 18 hotspot.

Pada Februari 2008 terdapat perbedaan yang signifikan antara deteksi hotspot yang diterima sensor MODIS dengan sensor AVHRR. Sensor AVHRR mendeteksi terdapat 14 hotspot di Desa Sepahat sedangkan untuk sensor MODIS mendeteksi 93 hotspot.

Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa dalam kurun waktu 2008-2010 jumlah deteksi hotspot yang ditangkap oleh satelit NOAA dan TERRA-AQUA bulan Februari memiliki tingkat deteksi hotspot tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan


(24)

tersebut dalam kurun waktu tiga tahun tersebut wilayah Desa Sepahat merupakan awal periode rawan kebakaran.

Gambar 7 Rata-rata hotspot selama tahun 2008-2010 berdasarkan Satelit NOAA dan Satelit TERRA-AQUA

Perbedaan jumlah deteksi hotspot antara satelit NOAA-18 dengan MODIS merupakan hal yang wajar. Perbedaan ini diakibatkan adanya perbedaan dari sistem kerja sensor kedua satelit ini. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Adminitration) menggunakan sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) untuk membaca perbedaan suhu permukaan di daratan dengan suhu permukaan di laut. Sedangkan sensor MODIS, dimiliki oleh satelit TERRA (yang beroperasi pada siang hari) dan satelit AQUA (yang beroperasi pada malam hari). Sensor MODIS juga dapat menerima patulan gelombang elektromagnetik sebanyak 36 band, sedangkan sensor AVHRR hanya mempunyai cakupan 1.21 km2 dan hanya dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam sehari (Christinawati 2008).

Satelit NOAA memiliki resolusi citra sekitar 1.1 km x 1.1 km. Dalam luasan 1,21 km2 tersebut kita tidak dapat mengetahui lokasi kebakaran secara persis. Selain itu, jika jumlah titik kebakaran dalam satu luasan lebih dari satu titik, akan tetapi luasan tersebut akan tetap diwakili oleh satu titik hotspot yang berada tepat di tengah luasan persegi tersebut. Penentuan luasan areal terbakar dengan menggunakan data hotspot satelit NOAA sebaiknya tidak dilakukan karena akan menyebabkan bias yang cukup besar (Thoha 2008). Satelit NOAA memiliki sensor optis (sinyal pasif), berbeda dengan radar yang mempunyai sinyal aktif yang dapat menembus awan dan aktif pada malam hari. Kelemahan yang lain yang dimiliki oleh satelit NOAA adalah resolusi


(25)

spasial yang rendah. Sedangkan satelit TERRA-AQUA dengan sensor MODIS mengorbit bumi secara polar yaitu dari utara menuju selatan pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada pukul 10:30 waktu lokal (Thoha 2008).

B. Hubungan antara Curah Hujan dengan Hotspot

Pada Gambar 8 menjelaskan bahwa curah hujan bulanan di Kecamatan Bukit Batu dari tahun 2008 hingga 2010 berkisar antara 1511 mm hingga 1768 mm. Curah hujan terendah terjadi pada tahun 2008, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010. Pada tahun 2008 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah 1511 mm. Pada tahun 2009 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah 1574.5 mm. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah curah hujan di kecamatan Bukit Batu adalah 1768 mm.

Sumber Data: Dinas Pertanian Kabupaten Bengkalis Riau

Gambar 8 Curah hujan tahunan di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun 2008-2010

Nilai kisaran curah hujan bulanan pada tahun 2008 berkisar antara 77 mm hingga 315 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan nilai perbedaan kisaran curah hujan sebesar 238 mm. Nilai kisaran curah hujan bulanan yang terjadi daripada tahun 2009 berkisar antara 63 mm hingga 279 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dengan nilai perbedaan kisaran curah hujan sebesar 216 mm. Nilai kisaran curah hujan bulanan yang terjadi pada tahun 2010 berkisar antara 147 mm hingga 207 mm, curah hujan terendah terjadi ada bulan Februari dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dengan nilai


(26)

perbedaan kisaran curah hujan sebesar 60 mm. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September yaitu sebesar 27 mm/hari, sedangkan rata-rata curah hujan terendah adalah bulan Oktober sebesar 84.67 mm/hari.

Sumber Data: Dinas Pertanian Kabupaten Bengkalis Riau

Gambar 9 Rata-rata curah hujan bulanan Kecamatan Bukit Batu, Propinsi Riau tahun 2008-2010

Menurut Syaufina (2008) pola iklim di Bengkalis berbeda dengan pola iklim di Pulau Jawa. Pola iklim di Pulau Jawa umumnya hanya mempunyai satu periode musim kemarau, yaitu Juni-September akan tetapi di daerah Bengkalis berbeda. Daerah Bengkalis mempunyai dua periode musim kemarau, yaitu pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli- September. Keadaan yang yang terjadi saat ini dimungkinkan adanya efek pemanasan global yang terjadi di saat ini, yang memberikan dampak perubahan periode musim kemarau dan musim penghujan.

Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot akan berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Pada Gambar 10 dan Gambar 11 terlihat disaat curah hujan tinggi maka titik hotspot akan berkurang, begitu sebaliknya jika curah hujan rendah maka deteksi hotspot akan lebih tinggi. Pada bulan Agustus, terjadi kenaikan intensitas hujan, yang menyebabkan jumlah hotspot dari satelit NOAA maupun satelit TERRA-AQUA juga mengalami penurunan.

Tetapi tidak selalu hotspot pada suatu bulan rendah disebabkan karena curah hujan yang tinggi, begitu pun sebaliknya. Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada bulan Mei dan Juli dan Gambar 11 pada bulan April, curah hujan yang rendah tidak serta merta meningkatkan hotspot.


(27)

Gambar 10 Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot NOAA-18 dari tahun 2008-2010

Gambar 11 Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot MODIS dari tahun 2008-2010

Dalam menentukan model persamaan terbaik dari hubungan antara nilai curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot baik dari satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, terlebih dahulu dilakukan pengujian korelasi untuk melihat signifikansi hubungan antara curah hujan dengan data titik panas (hotspot). Jika diketahui hubungan curah hujan dan hotspot di Desa Sepahat signifikan, maka dilanjutkan dengan mencari model persamaan hubungan antara jumlah curah hujan dengan deteksi hotspot di Desa Sepahat.

Dilihat dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil pengujian korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit NOAA adalah -0.893. Sedangkan pengujian korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit TERRA-AQUA adalah -0.588. Notasi negatif (-) pada hasil uji korelasi tersebut menunjukkan arah


(28)

kedua hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah data hotspot baik data yang diperoleh dari satelit NOAA maupun satelit TERRA-AQUA mempunyai hubungan terbalik. Hubungan terbalik memberikan arti kenaikan suatu variabel akan diikuti dengan penurunan variabel berikutnya.

Tabel 1 Hasil pengujian korelasi antara jumlah deteksi titik panas (hotspot) terhadap curah hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun 2008-2010.

No Parameter Nilai korelasi P-Value

1. Korelasi jumlah titik panas (hotspot) dari data satelit NOAA-18 bulanan rata-rata dengan curah hujan rata-rata

-0.893 0.017

2 Korelasi jumlah titik panas (hotspot) dari data satelit TERRA-AQUA bulanan rata-rata dengan curah hujan rata-rata

-0.588 0.008

Korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari data satelit NOAA adalah 0.893 yang dapat dikategorikan memiliki hubungan yang sangat kuat dan berdasarkan uji signifikan hasilnya menunjukkan nilai 0.017 yang berarti asosiasi kedua variabel adalah signifikan. Begitu juga dengan korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah hotspot dari data satelit TERRA-AQUA adalah 0.588 dapat dikategorikan memiliki hubungan yang kuat dan berdasarkan uji signifikan hasilnya menunjukkan nilai 0.008 yang berarti asosiasi kedua variabel adalah signifikan. Hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot akan dianggap signifikan jukan nilai P-Value <0.05. Nilai korelasi dari hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah deteksi hotspot yang lebih dari 0.5 membuat hubungan jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dapat dilakukan pengujian dengan mengunakan regresi polynomial kubik untuk mendapatkan model dan persamaan terbaik.

Hasil pengujian regresi polynomial kubik antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot berdasarkan data dari satelit NOAA-18 diketahui nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.963, nilai adjusted R Square sebesar 90.7% dengan standar devisiasi (S) sebesar 9.16856 (Gambar 12). Model terbaik berdasarkan nilai koefisien determinasi terbesar, model persamaannya adalah sebagai berikut:


(29)

y = 146.5 – 17.49x + 8.52x2 – 0.5444x3, dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan 14 12 10 8 6 4 2 0 300 250 200 150 100 x1 y S 9.16856 R-Sq 96.3% R-Sq(adj) 90.7%

Fitted Line Plot y = 146.5 - 17.49 x1 + 8.52 x1* * 2 - 0.5444 x1* * 3

Gambar 12 Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit NOAA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau tahun 2008-2010

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 300 250 200 150 100 50 x2 y S 46.0095

R- Sq 57.4%

R- Sq ( ad j ) 48.9%

Fi t t e d Li ne P l ot

y = 239. 6 - 14. 90 x2 + 0 .4 2 0 4 x2 * * 2 - 0 .0 0 3 0 0 2 x2 * * 3

 

Gambar 13 Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau tahun 2008-2010

Analisis hubungan antara curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot yang diperoleh dari Satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat pada tahun 2008-2010 dengan menggunakan regresi polynomial kubik, didapat nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.574, nilai adjusted R Square sebesar 48.9% dengan standar deviasi 46.0095


(30)

(Gambar 13). Model terbaik berdasarkan nilai koefisien determinasi terbesar, model persamaannya adalah sebagai berikut:

y = 239.6 – 14.9x + 0.4204x2 – 0.003002x3, dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan.

Jika dibandingkan antara nilai korelasi hubungan jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA dan satelit TERRA-AQUA, nilai korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari satelit NOAA jauh lebih baik daripada hubungan korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot daripada satelit TERRA-AQUA.

C. Analisis Kejadian Kebakaran Lahan Gambut

Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh unsur dari perilaku api. Perilaku api merupakan dasar dalam mempelajari dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan sebagai penilaian kerusakan yang ditimbulkan serta menentukan strategi dalam pengendaliannya (Syaufina 2008). Perilaku api dicirikan dengan segitiga lingkungan api yang saling terkait satu dengan yang lain. Unsur dari segitiga lingkungan api adalah bahan bakar, cuaca/iklim dan topografi. Perubahan kondisi dari setiap unsur lingkungan dan interaksi antar unsur tersebut sangat menentukan karakteristik serta perilaku api.

Ekosistem gambut memberikan manfaat yang luas bagi kehidupan di muka bumi ini. Ekosistem gambut memberikan kehidupan bagi flora dan fauna dan berperan sebagai pengatur tata air sehingga daerah di sekitarnya dapat terhindar dari intrusi air laut pada musim kemarau dan terhindar dari banjir saat musim penghujan. Lahan gambut mampu menyimpan dan menyerap gas rumah kaca atau karbon dalam jumlah besar sehingga secara tidak langsung juga berperan penting dalam mengatur iklim lokal maupun global (Wibisono et al 2005). Propinsi Riau merupakan wilayah yang mempunyai lahan gambut terbesar di Pulau Sumatera, yakni 4.044 juta Ha. Kandungan karbon tanah gambut di Riau tergolong paling tinggi di Sumatera bahkan ke Asia Tenggara (Muslim dan Kurniawan 2008). Propinsi Riau saat ini tidak hanya terkenal dengan Propinsi yang mempunyai luasan gambut terbesar di Pulau Sumatera akan tetapi wilayah yang juga penyumbang asap terbesar hingga ke negara tetangga akibat kebakaran hutan dan lahan.


(31)

Populasi manusia yang semakin hari semakin bertambah membuat kebutuhan hidup juga semakin besar, sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan pendapatan masyarakat memanfaatkan sumber daya hutan. Pemafaatan sumber daya hutan cenderung hanya terfokus kepada aktifitas penebangan pohon-pohon yang bernilai ekonomis untuk diperdagangkan tanpa memperhatikan aturan dan pengelolaan hutan yang berlaku. Perbedaan sudut pandang mengenai fungsi dan manfaat langsung hutan sering berujung pada perubahan status kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan seperti lahan perkebunan, pertanian, bahkan areal pemukiman (Wibisono et al 2005).

Perubahan status kawasan hutan gambut menjadi kawasan non-hutan menjadi lahan perkebunan di desa Sepahat misalnya, membuat masyarakat atau para pengusaha membuat saluran drainase. Saluran drainase dibuat untuk mengatur muka air tanah. Pembuatan saluran drainase sepanjang tahun akan mengalirkan air dari lahan gambut. Akan tetapi pada musim kemarau saluran drainase tidak saja menguras air yang tergenang tetapi juga air yang terikat dalam tanah gambut, sehingga menurunkan muka air tanah dan gambut menjadi kering.

Lahan gambut yang mengering akan mengurangi kemampuan daya mengikat air secara drastis dan pada saat musim kemarau panjang gambut akan lebih cepat mengering dan mudah terbakar. Saluran drainase juga dapat menyebabkan menurunnya ketebalan amblesnya gambut secara permanen (subsidence).

Desa Sepahat yang merupakan salah satu desa yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Akan tetapi saat ini hutan tersebut sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan karet. Luas perkebunan kepala sawit yang dimiliki oleh masyarakat hingga tahun 2011 sudah mencapai luas 3200 Ha.

Berdasarkan Gambar 14,15, dan 16, deteksi hotspot yang ditangkap oleh satelit NOAA dan TERRA-AQUA pada tahun 2008-2010 di desa Sepahat berada di lahan gambut dalam, dengan kedalaman gambut lebih dari 2 m. Pada tahun 2010 berdasarkan deteksi satelit TERRA-AQUA terdapat 2 hotspot yang berada di lahan gambut dengan kedalaman 75-200 cm


(32)

Gambar 14 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2008 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat

Gambar 15 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2009 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat


(33)

Gambar 16 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2010 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat

Berdasarkan sistem penyiapan lahan atau alih fungsi lahan, masyarakat Desa Sepahat menggunakan metode penyiapan lahan dengan cara membakar lahan untuk membersihkan lahan dari semak-semak belukar. Cara ini dianggap paling efektif serta tidak perlu menggunakan modal yang besar. Akan tetapi pengetahuan masyarakat untuk mengendalikan api beserta dampak yang ditimbulkan jika membersihkan lahan dengan cara membakar, sering kali membuat kebakaran lahan meluas sehingga tidak terkendali.

Tiupan angin yang besar, keadaan tanah gambut yang sulit mengikat air membuat kebakaran lahan di Desa Sepahat menjadi kebakaran yang sangat besar hingga menimbulkan asap tebal hingga ke negeri tetangga. Tahun 2009, merupakan tahun terjadinya kebakaran yang paling tinggi di antara kurun waktu 2008-2010. Kebakaran tahun 2009 telah membakar ribuan hektar perkebunan milik masyarakat. Pada tahun 2010 kebakaran juga kembali di tempat yang sama akan tetapi luasan yang terbakar hanya 20 Ha.

Kebakaran gambut merupakan kebakaran yang digolongkan sebagai kebakaran bawah (ground fire). Kebakaran bawah adalah keadaan dimana api yang berasal dari permukaan, kemudian menjalar ke bawah membakar bahan organik melalui pori-pori gambut. Ujung api bergerak dan menyebar kearah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1.29 cm/jam (Kurnain 2008). Api


(34)

membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap berwarna putih saja yang tampak di atas permukaan (Adinugroho et al. 2005).

Kebakaran yang terjadi di lahan gambut dapat mengakibatkan hilangnya lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan yang terganggu, gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem transportasi dan komunikasi. Dampak utama yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan gambut adalah asap yang ditimbulkan yang mempengaruhi jarak pandang dan kualitas udara. Asap bertahan cukup lama di lapisan atmosfer akibat rendahnya kecepatan angin permukaan (Kurnain 2008). Kebakaran yang terjadi di Desa Sepahat pada tahun 2010 telah menyebabkan kepungan asap tebal yang menyebar hingga negara tetangga yaitu Singapore dan Malaysia.


(35)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perbandingan jumlah deteksi hotspot antara satelit NOAA dengan satelit TERRA-AQUA menunjukkan bahwa pada tahun 2008 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 14.5% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Pada tahun 2009 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 4.05% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Sedangkan pada tahun 2010 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 5.6% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Sehingga persentase jumlah rata-rata hotspot dari tahun 2008-2010 melalui data Satelit NOAA adalah 7% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA.

2. Persentase jumlah deteksi hotspot yang lebih kecil antara deteksi hotspot Satelit NOAA dengan satelit TERRA-AQUA disebabkan karena Satelit TERAA-AQUA dengan sensor MODIS memiliki cakupan lebih luas dari pada sensor AVHRR yang dimiliki satelit NOAA, yang hanya mempunyai resolusi citra sekitar 1.1 km x 1.1 km.

3. Nilai Korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari Satelit NOAA sebesar 0.893. Sedangkan nilai korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari Satelit TERRA-AQUA sebesar 0.588.

4. Model persamaan terbaik hubungan jumlah curah hujan (x) dengan jumlah deteksi hotspot NOAA (y) di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau yaitu y = 146.5 – 17.49x + 8.52x2 – 0.5444x3. Model persamaan ini dapat digunakan sebagai deteksi dini kebakaran hutan dan lahan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Riau.

5. Dari data deteksi hotspot yang diperoleh dari satelit NOAA maupun satelit TERRA-AQUA, deteksi hotspot yang berada di Desa Sepahat berada di tanah gambut dengan kedalaman lebih dari 2 m.


(36)

B. Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini adalah :

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai jumlah hotspot yang berhasil dideteksi oleh satelit dengan kondisi di lapangan (ground truthing), sehingga dapat dibuktikan keakuratannya.

2. Persamaan korelasi antara curah hujan dan deteksi hotspot berdasarkan satelit NOAA dapat digunakan bagi Pemerintah Desa Sepahat dalam deteksi dini kebakaran hutan dan lahan.


(37)

PERBANDINGAN SUMBER

HOTSPOT

SEBAGAI INDIKATOR

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DAN

KORELASINYA DENGAN CURAH HUJAN DI DESA SEPAHAT,

KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

RINENGGO SIWI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih ES, Kartodiharjo H, Murdiyarso D. 2005. Analisis Kebijakan dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Jurnal Wacana-Insist Edisi 20 (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif):113-132.

Adinugroho WC, Suryadiputra INN, Saharjo BH, Siboro L. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor : Wetlands Internasional.

[BPS Provinsi Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2010. Riau dalam Angka 2010. Pekanbaru: BPS Provinsi Riau.

Chrisnawati G. 2008. Analisis Sebaran Titik Panasdan Suhu Permukaan Daratan sebagai Penduga Terjadinya Kebakaran Hutan Menggunakan Sensor Satelit NOAA/AVHRRdan EOS AQUA-TERRA/MODIS [Skripsi]. Depok: Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Kayoman L. 2010. Permodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kurnain A. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Karakteristik dan Penangannya [terhubung berkala]. Http://lemlt.unlam.ac.id. [20 November 2012].

Muslim, Kurniawan S. 2008. Fakta Hutan dan Kebakaran 2002-2007. Riau: Jikalahari

Nuryandi K. 2003. Degradasi C-Organik Tanah Gambut Alami, Pascakebakaran, Areal Kelapangan, Kalimantan Tengah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Pemerintah Kabupaten Bengkalis. 2011. Letak Geografis Kabupaten Bengkalis [terhubung berkala]. Http://www.bengkaliskab.go.id. [17 April 2012].

Ritung S, Wahyunto. 2003. Workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices October 13-14. Kandungan Karbon Tanah Gambut di Pulau Sumatera. Bogor.

Samsuri. 2008. Model Spasial Tingkat Kerawanan Model Kebakaran Hutan dan Lahan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sukmawati A. 2008. Hubungan Atara Curah Hujan dengan Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator Terjadinya kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.


(39)

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api,Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia Publishing.

Thoha AS. 2008. Penggunaan Data Hotspot untuk Monitoring KebakaranHutan dan Lahan Indonesia [terhubung berkala]. Http://respository.usu.ac.id [28 Januari 2012].

Wibisono ITC. 2008. Panduan Silvikultur untuk Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Kebakaran dan Terlantar. Bogor: Wetland Internasioal.

Wibisono ITC, et al. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor: Wetland Internasional

Zubaidah A, Dirgahayu D, Sariwulan B. 2005. Pengaruh Anomali Curah Hujan Terhadap Potensi Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau Sumatera, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Jakarta : LAPAN.


(40)

PERBANDINGAN SUMBER

HOTSPOT

SEBAGAI INDIKATOR

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DAN

KORELASINYA DENGAN CURAH HUJAN DI DESA SEPAHAT,

KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

RINENGGO SIWI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(41)

ABSTRAK

RINENGGO SIWI. Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Di bawah bimbingan: LAILAN SYAUFINA dan ATI DWI NURHAYATI.

Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya menyumbang asap besar, tidak hanya di wilayah Indonesia akan tetapi hingga negara tetangga, salah satunya yang berasal dari Desa Sepahat, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang pada tahun 2009-2010 menyumbangkan asap hingga ke negeri tetangga. Informasi tentang data titik panas (hotspot) dapat menjadi salah satu sumber informasi deteksi dini kebakaran hutan dan lahan. Jika data hotspot dikombinasikan dengan data curah hujan maka dapat ditemukan model perhitungan spasial hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot di Desa Sepahat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan data titik panas (hotspot) dari satelit NOAA-18 dengan data yang diperoleh dari satelit TERRA-AQUA, dan mengkaji korelasi antara curah hujan dengan data titik panas (hotspot) pada tahun 2008-2010. Penelitian ini menggunakan data sekunder hotspot berdasarkan satelit NOAA yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan RI, data sekunder hotspot berdasarkan satelit TERRA AQUA yang diperoleh Center for Applied Biodiversity Science (CABS), serta data curah hujan yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perternakan Kabupaten Bengkalis. Hasil penelitian menunjukkan jumlah deteksi hotspot yang ditangkap oleh satelit TERRA-AQUA lebih banyak dari pada satelit NOAA. Rata-rata deteksi hotspot berdasarkan satelit NOAA tahun 2008-2010 adalah 11 hotspot, sedangkan rata-rata deteksi hotspot bedasarkan satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010 adalah 119 hotspot. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Bukit Batu, pada tahun 2008-2009 adalah 1617.8 mm/tahun. Hasil korelasi antara jumlah curah hujan dengan deteksi hotspot dari satelit NOAA adalah 0.893, sedangkan nilai korelasi antara jumlah curah hujan dengan deteksi hotspot yang diperoleh dari satelit TERRA-AQUA adalah 0.5888. Model Persamaan terbaik hubungan curah hujan dengan deteksi hotspot di Desa Sepahat Kabupaten Bangkalis adalah y = 146.5 – 17.49x + 8.52x2 – 0.5444x3 dimana y adalah jumlah hotspot dari satelit NOAA dan x adalah curah hujan.

Kata Kunci : hotspot, kebakaran hutan dan lahan gambut, korelasi, curah hujan, Desa Sepahat.


(42)

ABSTRACT

RINENGGO SIWI. Comparison of Hotspot Sources as an Indicator of Forest and Peatland Fire and Its Correlation with Rainfall in Sepahat Village, Bengkalis district, Province of Riau. Under the guidance of: LAILAN SYAUFINA and ATI DWI NURHAYATI

Riau is one of the areas in Indonesia which annually contributes to the regional haze problem, not only in Indonesia but also to neighboring countries, one of which comes from Sepahat village, Bukit Batu subdistrict, Bengkalis district, Province of Riau in 2009-2010 contributed the big haze until neighboring countries. Information about data hotspot may be one source of early detection information of forest fires and land. If the data hotspots combined with rainfall data, it will discover the model calculations of spatial correlation between the amounts of rainfall with the amountsof hotspot detection in Sepahat village. This study is aimed to compare hotspot of the NOAA-18 satellite with hotspot data of the TERRA-AQUA satellite and examine the correlation between rainfall and hotspot in 2008-2010. This study uses hotspot secondary data by NOAA satellite from the Ministry of Forestry of Indonesia, hotspot secondary data byAQUA TERRA satellite from Center for Applied Biodiversity (CABS), and rainfall data from the Department of Agriculture and Animal Husbandry of Bengkalis. The result of this study indicates that the number of hotspot detection captured by TERRA-AQUA satellite is higher than that of the NOAA satellite. Average hotspot detection from NOAA satellite in 2008-2010 was 11 hotspots, while average hotspot detection from TERRA-AQUA satellite in 2008-2010 was 119 hotspots. While average rainfall in Bukit Batu sub-district, in 2008-2010 was 1617.8 mm/year. The result of the correlation between the amount of rainfall and hotspot detection from NOAA satellite is 0.893, while the result of the correlation between the amount of rainfall and hotspot detection from TERRA-AQUA satellite is 0.5888. Best Equation Model of rainfall with hotspot detection in Sepahat village, Bangkalis is y = 146.5 - 17.49x + 8.52x2 - 0.5444x3 whereby y is the number of hotspots of NOAA satellite and x is rainfall.


(43)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dari bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Rinenggo siwi E44070019


(44)

PERBANDINGAN SUMBER

HOTSPOT

SEBAGAI INDIKATOR

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DAN

KORELASINYA DENGAN CURAH HUJAN DI DESA SEPAHAT,

KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

RINENGGO SIWI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(45)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator

Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau

Nama Mahasiswa : Rinenggo Siwi

NRP : E44070019

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Pembimbing I,

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc NIP 19640613 198903 2 001

Pembimbing II,

Ati Dwi Nurhayati S.Hut, M.Si NIP 19770622 200701 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S NIP 19601024 198403 1 009


(46)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas kasih dan penyertaan-Nya yang di berikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara data titik panas (hotspot) dari satelit NOAA-18 dan satelit TERRA-AQUA sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun 2008-2010, serta mengkaji korelasi antara curah hujan dengan titik panas (hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau tahun 2008-2010. Diharapkan dari hasil penelitian ini diperoleh model persamaan yang lebih baik dalam mendeteksi sebaran hotspot sehingga informasi model persamaan ini dapat digunakan pemerintah Desa Sepahat dalam deteksi dini kebakaran hutan dan lahan.

Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Kontribusi kritik dan saran yang konstruktif diharapkan membuat skripsi ini lebih bermanfaat di masa yang akan datang.

Bogor, Januari 2013 Penulis


(47)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan dari banyak pihak. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Ati Dwi Nurhayati S.Hut, M.Si. sebagai dosen pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan ilmu dalam penyusunan tugas akhir.

2. Widjil Trionggo (Ayah), Rina (Ibu), Titi Juliasih (Tante) dan ketiga adik saya Angling Pramudito, Rara Srigading, Manuara Nugraha Widhi serta T. Prima Sihaloho atas do’a, dorongan, dukungan, dan semangat yang selalu diberikan. 3. Dosen dan staf Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Bogor.

4. Kementerian Kehutanan RI, Center for Applied Biodiversity Science (CABS), Dinas Pertanian dan Perternakan Kabupaten Bengkalis.

5. Guru dan sahabat Markus Hariyono (Forest Watch Indonesia), Sandika Ariansyah (TELAPAK) atas bantuan dan dukungannya.

6. Teman satu bimbingan, Adi Dzikrulloh Bahri yang saling membantu dan saling memotivasi dalam menyelesaikan penelitian ini.

7. Sahabat tercinta Jenny, Fitri, Ucik, Yosepin, Anin, Cyntia, Hendra, yang selalu mengingatkan.

8. Seluruh teman-teman Silvikultur 44 yang selalu memberikan motivasi dan semangat.

9. Teman-teman sekerja di PT. Poros Nusantara Media yang selalu memberikan dukungan dan semangat.


(48)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 April 1990 dari pasangan Widjil Trionggo dan Rina Br. Purba. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh di SMA Laboratorium UM Malang. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Departemen Silvikultur melalui jalur PMDK.

Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan, Penulis aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan Himpunan Profesi mahasiswa Silvikultur, Tree Grower Community (TGC). Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah agama Kristen pada tahun 2008. Penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan pada tahun 2009 di Gunung Sawal dan Pangandaran dan Praktek Pengolahan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2010. Pada bulan April hingga Juni tahun 2011 penulis melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT Wana Subur Lestari, estate Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pada Agustus 2011 penulis diterima sebagai karyawan di PT. Poros Nusantara Media sebagai reporter dan corporate secretary.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Sumber Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Ati Dwi Nurhayati, S.Hut, M.Si.


(49)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xii BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan Penelitian ... 2 C. Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3 A. Kebakaran Hutan. ... 3 B. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan ... 5 C. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan ... 8 D. Pengendalian Kebakaran Hutan………... 10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 13 A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 13 B. Alat dan Bahan ... 13 C. Pengolahan Data ... 14 D. Analisis Data ... 14

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI ... 16

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18 A. Hotspot sebagai Indikator Kebakaran ... 18 B. Hubungan antara Curah Hujan dengan Hotspot ... 23 C. Analisis Kejadian Kebakaran Lahan Gambut ... 28

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 33 A. Kesimpulan ... 33 B. Saran ... 34 DAFTAR PUSTAKA ... 35


(50)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil pengujian korelasi antara jumlah deteksi titik panas (hotspot) terhadap curah hujan………. 26


(51)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema analisis pengolahan data……… 15

2. Peta Provinsi Riau………. 16

3. Jumlah hotspot tahunan di Desa Sepahat, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis melalui Satelit NOAA tahun 2008-2010……… 18 4. Jumlah hotspot bulanan di Desa Sepahat, Kecamatan Bengkalis,

Kabupaten Bengkalis melalui satelit NOAA tahun 2008-2010………. 19 5. Jumlah hotspot tahunan di Desa Sepahat Kabupaten Bengkalis, Riau

melalui Satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010………. 20 6. Jumlah hotspot bulanan di Desa Sepahat Kabupaten Bengkalis, Riau

melalui Satelit TERRA-AQUA tahun 2008-2010………. 21 7. Rata-rata hotspot selama tahun 2008-2010 bedasarkan Satelit NOAA

dan Satelit TERRA-AQUA………... 22 8. Curah hujan tahunan di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis

Propinsi Riau tahun 2008-2010………. 23 9. Rata-rata curah hujan bulanan Kecamatan Bukit Batu, Propinsi Riau

tahun 2008-2010……… 24

10. Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot NOAA-18 dari

tahun 2008-2010……… 25

11. Distribusi antara curah hujan dengan data hotspot MODIS dari tahun

2008-2010……….. 25

12. Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit NOAA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau tahun

2008-2010……….. 27

13. Kurva hubungan antara curah hujan dengan jumlah hotspot dari Satelit TERRA-AQUA di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau

tahun 2008-2010……… 27

14. Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2008 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat……… 30


(52)

15 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2009 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat……… 31 16 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun


(53)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebakaran hutan di Indonesia telah menarik perhatian masyarakat nasional dan internasional. Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi salah satu masalah dunia karena dampak kebakaran hutan tidak hanya dialami oleh masyarakat lokan, akan tetapi masyarakat di negara tetangga. Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya dari sisi lingkungan saja, akan tetapi dampak dari sisi ekonomi dan sosial.

Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya menyumbang asap besar, tidak hanya di wilayah Indonesia akan tetapi hingga negara tetangga. Pada musim kemarau terdapat 4 kabupaten/kota yang rawan akan terjadi kebakaran yaitu Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis dan Kampar. Kebakaran di 4 wilayah tersebut terjadi karena kondisi lahan yang bergambut serta pihak-pihak yang tidak bertangung jawab yang cenderung membuka lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar.

Desa Sepahat merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis yang pada tahun 2009-2010 menyumbangkan asap hingga ke negeri tetangga khususnya Singapore dan Malaysia yang disebabkan oleh kebakaran lahan gambut yang hebat. Kebakaran yang terjadi di wilayah ini hampir terjadi setiap tahunnya.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya mengindikasikan adanya kebutuhan dalam upaya penanggulangan secara menyeluruh dan terpadu agar dapat mengurangi dampak negatif yang dihasilkan (Kayoman 2010). Pencegahan kebakaran dengan sistem peringatan dini dapat dilakukan dengan menggunakan peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah.

Saat ini informasi dalam penanggulangan kebakaran melalui deteksi dini sudah mulai banyak disosialisasikan secara transparan kepada masyarakat. Salah satunya informasi titik panas (hotspot) yang didapatkan dari dara penginderaan jauh melalui satelit. Informasi jumlah deteksi titik panas (hotspot) dapat memberikan informasi mengenai indikasi jumlah dan luasan areal yang terbakar.


(54)

Data hotspot dapat dikombinasikan dengan data seperti curah hujan sehingga dapat ditemukan model hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot di daerah tersebut. Data hotspot tersebut dapat memberikan informasi sebagai deteksi dini terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan serta sebagai indikator potensi kebakaran hutan dan lahan, sehingga pemadaman kebakaran dapat dilakukan lebih cepat.

B. Tujuan

1. Membandingkan antara data titik panas (hotspot) dari satelit NOAA-18 dengan satelit TERRA-AQUA sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau tahun 2008-2010.

2. Mengkaji korelasi antara curah hujan dengan titik panas (hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau tahun 2008-2010.

C. Manfaat

Hasil penelitian ini memberikan informasi model persamaan yang lebih baik dalam mendeteksi sebaran hotspot, sehingga model tersebut dapat digunakan oleh pemerintah Desa Sepahat yang menjadi dasar upaya pemadaman kebakaran sedini mungkin.


(55)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Kebakaran Hutan

1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali. Berbeda dengan kebakaran hutan, jika api melalap bahan bakar bervegetasi yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di kawasan bukan hutan maka disebut kebakaran lahan.

Kebakaran hutan dapat dikelompokkan pada tiga tipe. Pengelompokkan tersebut didasarkan kepada bahan bakar yang mendominasi kebakaran. Tiga tipe kebakaran (Syaufina 2008), yaitu :

a. Kebakaran bawah (Ground Fire):

Kebakaran bawah yaitu situasi dimana api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah. Penjalaran api yang perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin menyebabkan tipe kebakaran seperti ini sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Kebakaran bawah adalah tipe kebakaran yang umum terjadi di lahan gambut.

b. Kebakaran permukaan (Surface fire)

Kebakaran permukaan yaitu situasi dimana api membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembalakan dan bahan bakar lain yang terdapat di lantai hutan. Kebakaran permukaan adalah tipe kebakaran yang umum terjadi di semua tegakan hutan.

c. Kebakaran tajuk (Crown fire)

Kebakaran tajuk yaitu situasi dimana api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon yang lain yang saling berdekatan. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin. Kebakaran tajuk sering terjadi di tegakan hutan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Api

Kejadian kebakaran hutan tidak lepas hubungannya dengan perilaku api yang dipengaruhi oleh segitiga api. Dalam segitiga api tergantung tiga unsur utama yakni bahan bakar, oksigen, sumber api (Syaufina 2008). Ketiga unsur utama ini membuat


(1)

Gambar 16 Deteksi hotspot melalui Satelit NOAA-18 dan Satelit TERRA tahun 2010 pada berbagai kedalaman lahan gambut di Desa Sepahat

Berdasarkan sistem penyiapan lahan atau alih fungsi lahan, masyarakat Desa Sepahat menggunakan metode penyiapan lahan dengan cara membakar lahan untuk membersihkan lahan dari semak-semak belukar. Cara ini dianggap paling efektif serta tidak perlu menggunakan modal yang besar. Akan tetapi pengetahuan masyarakat untuk mengendalikan api beserta dampak yang ditimbulkan jika membersihkan lahan dengan cara membakar, sering kali membuat kebakaran lahan meluas sehingga tidak terkendali.

Tiupan angin yang besar, keadaan tanah gambut yang sulit mengikat air membuat kebakaran lahan di Desa Sepahat menjadi kebakaran yang sangat besar hingga menimbulkan asap tebal hingga ke negeri tetangga. Tahun 2009, merupakan tahun terjadinya kebakaran yang paling tinggi di antara kurun waktu 2008-2010. Kebakaran tahun 2009 telah membakar ribuan hektar perkebunan milik masyarakat. Pada tahun 2010 kebakaran juga kembali di tempat yang sama akan tetapi luasan yang terbakar hanya 20 Ha.

Kebakaran gambut merupakan kebakaran yang digolongkan sebagai kebakaran bawah (ground fire). Kebakaran bawah adalah keadaan dimana api yang berasal dari permukaan, kemudian menjalar ke bawah membakar bahan organik melalui pori-pori gambut. Ujung api bergerak dan menyebar kearah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1.29 cm/jam (Kurnain 2008). Api


(2)

membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap berwarna putih saja yang tampak di atas permukaan (Adinugroho et al. 2005).

Kebakaran yang terjadi di lahan gambut dapat mengakibatkan hilangnya lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan yang terganggu, gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem transportasi dan komunikasi. Dampak utama yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan gambut adalah asap yang ditimbulkan yang mempengaruhi jarak pandang dan kualitas udara. Asap bertahan cukup lama di lapisan atmosfer akibat rendahnya kecepatan angin permukaan (Kurnain 2008). Kebakaran yang terjadi di Desa Sepahat pada tahun 2010 telah menyebabkan kepungan asap tebal yang menyebar hingga negara tetangga yaitu Singapore dan Malaysia.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perbandingan jumlah deteksi hotspot antara satelit NOAA dengan satelit TERRA-AQUA menunjukkan bahwa pada tahun 2008 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 14.5% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Pada tahun 2009 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 4.05% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Sedangkan pada tahun 2010 persentase jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit NOAA adalah 5.6% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA. Sehingga persentase jumlah rata-rata hotspot dari tahun 2008-2010 melalui data Satelit NOAA adalah 7% dari jumlah deteksi hotspot melalui data Satelit TERRA-AQUA.

2. Persentase jumlah deteksi hotspot yang lebih kecil antara deteksi hotspot Satelit NOAA dengan satelit TERRA-AQUA disebabkan karena Satelit TERAA-AQUA dengan sensor MODIS memiliki cakupan lebih luas dari pada sensor AVHRR yang dimiliki satelit NOAA, yang hanya mempunyai resolusi citra sekitar 1.1 km x 1.1 km.

3. Nilai Korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari Satelit NOAA sebesar 0.893. Sedangkan nilai korelasi antara jumlah curah hujan dengan jumlah deteksi hotspot dari Satelit TERRA-AQUA sebesar 0.588.

4. Model persamaan terbaik hubungan jumlah curah hujan (x) dengan jumlah deteksi hotspot NOAA (y) di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis Riau yaitu y = 146.5 – 17.49x + 8.52x2 – 0.5444x3. Model persamaan ini dapat digunakan sebagai deteksi dini kebakaran hutan dan lahan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Riau.

5. Dari data deteksi hotspot yang diperoleh dari satelit NOAA maupun satelit TERRA-AQUA, deteksi hotspot yang berada di Desa Sepahat berada di tanah gambut dengan kedalaman lebih dari 2 m.


(4)

B. Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini adalah :

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai jumlah hotspot yang berhasil dideteksi oleh satelit dengan kondisi di lapangan (ground truthing), sehingga dapat dibuktikan keakuratannya.

2. Persamaan korelasi antara curah hujan dan deteksi hotspot berdasarkan satelit NOAA dapat digunakan bagi Pemerintah Desa Sepahat dalam deteksi dini kebakaran hutan dan lahan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih ES, Kartodiharjo H, Murdiyarso D. 2005. Analisis Kebijakan dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Jurnal Wacana-Insist Edisi 20 (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif):113-132.

Adinugroho WC, Suryadiputra INN, Saharjo BH, Siboro L. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor : Wetlands Internasional.

[BPS Provinsi Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2010. Riau dalam Angka 2010. Pekanbaru: BPS Provinsi Riau.

Chrisnawati G. 2008. Analisis Sebaran Titik Panasdan Suhu Permukaan Daratan sebagai Penduga Terjadinya Kebakaran Hutan Menggunakan Sensor Satelit NOAA/AVHRRdan EOS AQUA-TERRA/MODIS [Skripsi]. Depok: Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Kayoman L. 2010. Permodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kurnain A. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Karakteristik dan Penangannya [terhubung berkala]. Http://lemlt.unlam.ac.id. [20 November 2012].

Muslim, Kurniawan S. 2008. Fakta Hutan dan Kebakaran 2002-2007. Riau: Jikalahari

Nuryandi K. 2003. Degradasi C-Organik Tanah Gambut Alami, Pascakebakaran, Areal Kelapangan, Kalimantan Tengah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Pemerintah Kabupaten Bengkalis. 2011. Letak Geografis Kabupaten Bengkalis [terhubung berkala]. Http://www.bengkaliskab.go.id. [17 April 2012].

Ritung S, Wahyunto. 2003. Workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices October 13-14. Kandungan Karbon Tanah Gambut di Pulau Sumatera. Bogor.

Samsuri. 2008. Model Spasial Tingkat Kerawanan Model Kebakaran Hutan dan Lahan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sukmawati A. 2008. Hubungan Atara Curah Hujan dengan Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator Terjadinya kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.


(6)

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api,Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia Publishing.

Thoha AS. 2008. Penggunaan Data Hotspot untuk Monitoring KebakaranHutan dan Lahan Indonesia [terhubung berkala]. Http://respository.usu.ac.id [28 Januari 2012].

Wibisono ITC. 2008. Panduan Silvikultur untuk Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Kebakaran dan Terlantar. Bogor: Wetland Internasioal.

Wibisono ITC, et al. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor: Wetland Internasional

Zubaidah A, Dirgahayu D, Sariwulan B. 2005. Pengaruh Anomali Curah Hujan Terhadap Potensi Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau Sumatera, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Jakarta : LAPAN.