BAB II KERANGKA TEORITIS
A. Teori Pertukaran
Teori Pertukaran adalah salah satu perspektif teoritis utama dalam sosiologi yang mana memandang perilaku sosial terutama dalam hal untuk mengejar imbalan dan
menghindari hukuman dan bentuk lain daribiaya. Dalam teoripertukaran,unit dasaranalisisadalah hubungan antaraorang-orang yang terlibat di dalamnya.Individuterlibat
dalaminteraksidalam rangka memenuhikebutuhan.Hubungan sosial danstruktur sosialyang dihasilkan olehhubunganyang mengikatorang ke dalamberbagai bentukasosiasidipandang
sebagaiobyeksentralpenyelidikansosiologis denganteoripertukaran. Kuper berpendapat bahwa pertukaran bersifat universal. Menurutnya ada lima alasan
yang membuat pertukaran menarik. Kelima hal tersebut juga dilihat sebagai aspek pertukaran menurut Kuper, yaitu 1 pertukaran adalah wahana yang memungkinkan
seseorang memperoleh sesuatu yang diperlukan, 2 pertukaran adalah salah satu cara masyarakat menciptakan dan memelihara organisasi sosial, 3 pertukaran selalu diatur
melalui ketentuan hukum, konvensi atau etiket, 4 pertukaran selalu bermakna karena mengandung unsur simbolik dan seringkali dijadikan metafora untuk kegiatan yang lain,
5 di banyak masyarakat, orang sering berspekulasi asal mula, motif, moralitas, konsekuensi dan esensi pertukaran.
Ada banyak jenis pertukaran, mulai dari pemberian cuma-cuma yang sebenarnya adalah pertukaran antara sesuatu barang dengan rasa puas, barter, derma, perdagangan
pajak, bahkan pencurian.Sesuatu yang dipertukarkan sangat bervariasi, mulai dari barang, kado biasa, kartu ucapan selamat, bahkan pertukaran manusia, misalnya budak yang
dipertukarkan dengan uang, dan dalam perkawinan, wanita diberikan kepada laki-laki dan sebagai gantinya laki-laki memberikan mas kawin.
1
Sahlins membuat upaya unik untuk menunjukkan bagaimana berbagai prinsip pertukaran bisa berubah-ubah sesuai dengan tujuan atau motif yang dikandungnya. Dalam
pandangan para ekonom, motif yang sah dari pertukaran hanyalah pencarian keuntungan, tetapi kajian yang dilakukan Gregory pada tahun 1982 mengenai perbedaan hadiah dan
komoditi, serta karya para ekonom lainnya mulai mengungkapkan motif-motif pertukaran di luar motif ekonomi.
2
Salah satu jenis pertukaran adalah pemberian, yang menurut Mauss didasarkan pada tiga kewajiban, yakni menerima, memberi dan mengembalikan. Ketiga unsur ini :
penerimaan, pemberian dan pengembalian merupakan prinsip kunci dalam praktek pemberian.
3
Mauss mengatakan bahwa pada dasarnya banyak pandangan tentang sistem pertukaran atau pemberian dalam masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Budaya
tukar-menukaratau barter, permutatiosudah terjadi dalam kehidupan masyarakat primitif atau kuno pada masa lampau. Tradisi pemberian hadiah dan kewajiban untuk
membalasnya, atau kewajiban memberi dan kewajiban untuk menerima telah menjadi realita sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Beberapa contoh, misalnya dalam kebudayaan masyarakat Malayo-Polinesia seperti Samoa, Maori, Tahiti, Tonga dan Mangareva di Samudra Pasifik, terdapat budaya
pertukaran tonga, yaitu segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai harta kekayaan yang dapat dipertukarkan, di antaranya termasuk anak laki-laki dan perempuan. Demikian juga,
kewajiban untuk memberi hadiah merupakan suatu ciri yang menandai kebudayaan
1
Adam Kuper Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, 327.
2
Ibid, 328.
3
Ibid, 327
Eskimo dari Alaska
4
. Dalam kehidupan masyarakat Dayak misalnya, berkembang sejumlah cara yang didasarkan pada kewajiban untuk turut bersama-sama makan segala
makanan yang disajikan di mana seseorang hadir pada waktu makanan tersebut disajikan atau seseorang melihat makanan tersebut sedang dimasak
5
. Tradisi ini mengisyaratkan adanya sebuah kewajiban memberi dan kewajiban untuk menerima. Dalam budaya
masyarakat Timor, dan suku-suku lain di Nusa Tenggara Timur, terdapat tradisi memberi dan menerima atau tukar-menukar kain tenun. “Pada masa lampau, kain tenun kerap
dipergunakan oleh masyarakat Sumba sebagai alat tukar-menukar”
6
. Bahkan sampai masa sekarang, tukar-menukar atau pemberian kain tenun merupakan tanda persahabatan,
kekerabatan, kekeluargaan atau penghormatan satu dengan yang lain. Mauss memberikan pemikirannya tentang pemberian dalam peryataan berikut :
“Pemberian yang menunjukkan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar- menukar dalam masyarakat kuno atau arkaik…menghasilkan adanya sistem
tukar-menukar pemberian yang melibatkan kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat secara menyeluruh. Bersamaan dengan itu, setiap
pemberian adalah bagian dari suatu sistem tukar-menukar yang saling mengimbangi di mana kehormatan dari si pemberi dan si penerima terlibat
dalamnya…sistem tukar-menukar ini merupakan suatu sistem yang menyeluruh total system di mana setiap unsur dari kedudukan atau harta
milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Dalam sistem tukar-menukar ini, setiap pemberian harus
dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis-habisnya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima karena bersamaan dengan
pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan”
7
Dalam pemikiran Mauss di atas terlihat beberapa unsur dalam pemberian yaitu 1 adanya aktivitas tukar-menukar, 2 adanya obyek yang dipertukarkan, 3 melibatkan
4
Marcel Mauss, Pemberian : Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1992, 12.
5
Ibid, 16
6
Nana Lystiani Ed, Chic Mengolah Wastra Indonesia Tenun NTT, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, 8.
7
Ibid, xix
setiap anggota kelompok atau masyarakat, 4 menuntut kewajiban moral untuk pengembalian, 5 mempertaruhkan nilai kehormatan individu atau kelompok masyarakat,
6 memiliki unsur kontinuitas atau berkelanjutan. Sifat universalitas dan kontinuitas dalam pemberian membuat tradisi atau kebiasaan
memberi hadiah atau tukar-menukar berlangsung turun temurun, diadopsi oleh masyarakat menjadi suatu budaya atau tradisi dalam kehidupan masyarakat. Tradisi dan masyarakat
adalah suatu dwi tunggal yang artinya tradisi selalu berlangsung dalam suatu masyarakat dan masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memangku tradisi dan menjadi
wadah dari padanya
8
sehingga dalam kelompok masyarakat terdapat suatu kepercayaan dan kepercayaan tersebut diungkapkan dalam berbagai bentuk yaitu ritual-ritual yang
dilaksanakan oleh masyarakat tersebut. Sistem tukar-menukar adalah suatu sistem yang mencakup keseluruhan kegiatan di
mana setiap unsur kedudukan yang terlibat di dalamnya berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Sistem pertukaran ini memiliki ciri-ciri yakni : pertama,
pengembalian benda yang diterima tidak harus dilakukan bersamaan pada saat barang atau hadiah diterima, atau dengan kata lain dapat dilakukan pada waktu yang berbeda. Kedua,
pengembalian benda yang diterima tidak harus berupa barang yang sama. Ketiga, benda yang diterima tidak dilihat sebagai nilai melainkan sebagai prestasi karena benda ini
memiliki kekuatan gaib. Dalam bukunya, Mauss mengemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian
yang cuma-cuma atau gratis. Segala bentuk pemberian selalu diikuti oleh pemberian balasan atau imbalan. Kebiasaan saling tukar-menukar pemberian adalah suatu proses
sosial yang dinamik yang melibatkan keseluruhan anggota masyarakat sebagai sistem yang menyeluruh. Proses-proses dinamik terwujud melalui hakikat saling memberi yang
8
Koentjaraningrat, Antrpologi Kebudayaan, Jakarta: Aksara Baru, 1969, 98-99
mengharuskan si penerima untuk melebihi pengembalian pemberian, yang mencerminkan adanya persaingan kedudukan dan kehormatan dari pihak-pihak yang bersangkutan
sehingga tukar-menukar tersebut tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi.
Bentuk interaksi dalam masyarakat bisa berupa perbuatan saling tolong-menolong sebagai sebuah tuntutan hidup bermasyarakat. Dalam masyarakat, bentuk interaksi bisa
berupa saling tukar-menukar pemberian yang melibatkan kelompok dan masyarakat secara menyeluruh. Sistem tukar-menukar ini menyangkut setiap unsur dari kedudukan atau harta
milik yang terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan
9
. Apa yang saling dipertukarkan menurut Mauss sebagai prestasi yaitu nilai barang yang
memiliki makna berlaku bagi masyarakat dan bukannya nilai dari barang pemberian tersebut. Prestasi yang dipertukarkan adalah menyeluruh karena tukar-menukar melibatkan
keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan invidu secara pribadi. Sedangkan dalam masyarakat yang telah mengenal perdagangan, tukar-
menukar pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral, dan hukum. Aspek yang tertinggal dalam tukar-menukar hanyalah
aspek ekonomi, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa serta berlaku hanya di antara individu dan bukan di antara kelompok.
Mauss memperlihatkan bahwa ada pemberian yang tidak menuntut diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima, contohnya adalah sedekah. Namun jika
diperhatikan akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah unsur yang secara luas memperlihatkan adanya hubungan antara si pemberi dengan unsur ketiga yaitu Tuhan,
9
Marcel Mauss, xix
yang kedudukan-Nya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima yang akan memberikan pahala kepada si pemberi.
Pada masa lampau, sistem tukar-menukar ditemukan secara sederhana dari benda- benda, kekayaan dan hasil produksi melalui pasar-pasar yang telah ditetapkan oleh setiap
individu. Lebih lanjut, benda-benda yang digunakan sebagai tukar-menukar tidaklah semata-mata benda-benda dan kekayaan nyata milik pribadi dan benda-benda yang bernilai
ekonomi, tetapi lebih banyak saling tukar-menukar penghormatan, penghiburan, upacara, bantuan militer, perempuan, anak-anak, tari-tarian, pesta, dan pasar malam.
10
Sistem dari pemberian atau tukar-menukar ini juga terjadi dalam peristiwa seperti kelahiran bayi, sakit,
sunatan, anak perempuan menginjak dewasa, upacara penguburan orang mati dan perdagangan.
11
Dalam pertukaran ini juga membahas tentang kewajiban dalam memberikan dan kewajiban dalam menerima dengan maksud bahwa ikatan yang tercipta melalui atau oleh
benda-benda yang sebenarnya adalah suatu ikatan perorangan karena benda itu mengacu pada seseorang. Apapun bentuknya benda-benda yang digunakan baik segala sesuatu yang
dimiliki, perempuan, anak-anak, atau upacara ritual semuanya itu tetap berisikan muatan gaib dan keagamaan menempel bagi si penerima.
Kaitan hubungan dengan tukar-menukar di antara manusia tampak jelas sekali di mana terjadi suatu ritual secara kontrak dan ekonomi. Namun, penjualan anak di sini tidak
memiliki maksud untuk suatu tujuan ekonomi melainkan dengan maksud untuk melepaskan sesuatu yang dianggap akan hilang apabila anak tersebut dijual. Tujuan dan
maksud dari pertukaran ini sama halnya dalam dunia perdagangan yaitu untuk sesuatu kepentingan yang mana untuk menghasilkan suatu persahabatan di antara dua orang atau
kelompok yang bersangkutan. Hadiah atau benda-benda yang dipertukarkan merupakan
10
Ibid, 4
11
Ibid, 11
suatu ikatan, hadiah ini memberikan suatu identitas pada dua pihak atau kelompok yang terungkap dan selanjutnya sejak saat itu membuat kedua pihak saling menegur atau saling
mengunjungi satu sama lain. Hal yang sama terjadi dalam tradisi penjualan anak yang menjadi tradisi bagi
masyarakat Timor, di mana klen atau keluarga yang melakukan tradisi ini baik yang memberi atau menerima diharuskan untuk tetap memberikan dan juga menerima atau
dengan kata lain terjadi suatu interaksi timbal balik yang melibatkan kedua klen tersebut. Melalui interaksi tersebut akan terjadi suatu ikatan yang lebih dekat yakni terjalinnya suatu
persahabatan, atau dalam kebiasaan orang Timor dianggap telah menjadi bagian dari keluarga. Hal ini tentunya terjadi apabila si pembeli pada awalnya bukan bagian dari
keluarga yang menjual. Dalam budaya masyarakat Samoa, kepulauan Pasifik, ada tradisi yang mirip dalam hal
menukarkan anak, di mana anak dibesarkan oleh orang lain yang bukan orang tuanya fosterage.
Tentulah pendidikan bagi si anak berada di luar keluarganya sendiri, tetapi dalam fakta itu, ditandai oleh suatu kepulangan kembali kepada keluarga yang
melahirkannya
12
. Tradisi penjualan anak yang terjadi dalam kepercayaan masyarakat Timor memiliki
kesamaan sistem.Praktek ini tidak didasarkan oleh motif ekonomi untuk pencarian keuntungan, tetapi dapat diartikan sebagai pemberian atau pertukaran untuk sesuatu yang
bukan benda atau barang yang bersifat komoditi. Dengan mengetahui dasar-dasar dari sistem tukar-menukar maka penulis akan membahas tentang konsep pertukaran yang
memiliki kaitan dengan masalah yang dipaparkan yakni tradisi penjualan anak atau pemberian, pertukaran dengan pihak tertentu yang disepakati keluarga.
12
Ibid, 23
Selain tradisi pertukaran dan saling memberi di antara sesama, kewajiban memberi dan tradisi pertukaran juga dijumpai dalam hubungan dengan ilah-ilah, dewa-dewa, roh-
roh leluhur atau wujud tertinggi yang didewakan dalam masyarakat. Dalam banyak masyarakat kuno atau primitif tradisi pertukaran atau memberi dan menerima di antara
sesama manusia tidak saja mengindikasikan adanya niat dan ikatan persahabatan, kekeluargaan, kontrak, kerjasama dan saling menghormati, tetapi juga melibatkan transaksi
dengan roh-roh nenek moyang, ilah-ilah dan dewa-dewa yang dipercayai menguasai alam dan hidup manusia secara khusus yang dipercayai berkuasa dalam masyarakat tersebut.
Pertukaran, kewajiban memberi dan menerima dimotivasi oleh keinginan untuk memohon kemurahan hati para penguasa tersebut, sehingga kehidupan masyarakat atau individu yang
memberi dilimpahi keamanan, kesehatan, kekayaan melimpah ruah dan kesejahteraan. Dengan kata lain, pemberian dan pertukaran kepada sesama yang umumnya melalui ritual-
ritual tertentu, dimaksudkan untuk menyenangkan roh-roh leluhur, ilah atau para dewa yang disembah. Di sinilah terlihat unsur mitos dan spiritual dalam sistem pertukaran atau
pemberian. Mauss memaparkan contoh kehidupan masyarakat Eskimo di bagian Barat Alaska dan
di bagian pantai Asia di Selat Behring yang saling bersaing untuk menyatakan kemurahan hati melalui pemberian hadiah-hadiah dan roh-roh dari orang-orang yang telah mati yang
ikut ambil bagian dalam transaksi-transaksi tersebut. Dalam upacara tukar-menukar ini disebutkan nama-nama roh-roh yang sudah mati, dewa-dewa, hewan-hewan dan berbagai
gejala alam memohon kemurahan hati untuk dilimpahkan kepada mereka
13
. Mauss berpendapat bahwa kaitan hubungan kontrak tukar-menukar di antara sesama
manusia dan yang berlaku antara manusia dengan dewa-dewa menjelaskan suatu aspek menyeluruh dari teori berkorban. Dalam hal ini, saling tukar-menukar dan kontrak-kontrak
13
Ibid, 17
mencakup tidak hanya manusia dengan benda-benda, tetapi juga makhluk-makhluk gaib, dan roh-roh yang memiliki keterkaitan dengan roh-roh dimaksud
14
. Sebuah tradisi lain yang berisi keyakinan bahwa manusia harus membeli dari dewa-
dewa dan bahwa dewa-dewa itu membayar kembali harga-harga dari korban-korban yang diberikan, terlihat dalam kehidupan suku Toraja. Kruyt dalam Mauss memaparkan dalam
pernyataan berikut :
‘Pemilik’ dapat ‘membeli’ dari roh-roh hak untuk melakukan hal-hal tertentu dengan ‘harta milik’nya lebih tepat ‘harta milik’ mereka. Sebelum
ia menebang pohon atau menggali kebunnya atau memagari rumahnya dia harus memberikan suatu pembayaran kepada dewa-dewa. Jadi walaupun
masalah membeli nampaknya sangat kecil perkembangannya pada tingkat kehidupan ekonomi secara perorangan di antara orang Toraja, tetapi ide
tentang membeli dari dewa-dewa dan roh-roh itu secara universal dipahami.
15
Mauss mengatakan bahwa pemberian hadiah kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. Dalam cara ini
pengaruh-pengaruh setan akan dapat ditekan, karena kutukan manusia akan memungkinkan bagi roh-roh yang cemburu dan dengki untuk merasuki dan membunuh seseorang dan
memberi izin pengaruh jahat untuk bertindak, dan jika seseorang melakukan kesalahan terhadap orang lain, orang itu menjadi tidak berdaya terhadap roh-roh itu
16
. Mengacu pada paparan Mauss di atas, tradisi penjualan anak dalam budaya
masyarakat Timor, sekilas terlihat mempunyai motif yang sama, yakni memberikan uang untuk ‘membeli sesuatu’ dari ’wujud tertinggi’ yang mengatur kehidupan manusia. Sesuatu
dapat berupa kedamaian, keselamatan, kesehatan, keamanan, perubahan karakter dan umur panjang bagi si anak yang dijual. Dalam hal penjualan anak, pihak keluarga ‘membeli’
keselamatan dan kesehatan sang anak, juga karakter baik bagi sang anak, dengan jalan
14
Ibid, 18
15
Ibid, 19
16
Ibid, 20
memberikan sejumlah uang bagi pihak pembeli. Dengan kata lain, pihak keluarga menjual nyawa anak tersebut kepada ‘wujud tertinggi’ untuk mendapatkan kesehatan, karakter baik
dan keselamatan anak tersebut. Di sini terlihat adanya kesamaan motif dan tujuan dengan tradisi pembelian dari roh-roh dan dewa-dewa dalam suku-suku primitif lainnya.
Sebagaimana dikatakan Mauss bahwa ide tentang membeli dari dewa-dewa dan roh-roh itu secara universal dipahami
17
penulis berasumsi bahwa ide penjualan anak dalam masyarakat Timor juga merupakan manifestasi dari tertanamnya pemahaman masyarakat pada zaman
dulu tentang ide pembelian dari para leluhur atau roh-roh nenek moyang yang dipercayai masyarakat Timor.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya, pemberian kepada sesama manusia yang dilakukan dengan ritual-ritual tertentu, mengisyaratkan adanya ikatan
spiritual dan kontrak dengan kuasa supernatural. Dalam hal ini sang penguasa dapat berarti Tuhan semesta alam, roh-roh para leluhur yang telah meninggal atau dewa-dewa yang
dipercayai dalam masyarakat tersebut. Pemberian, pertukaran atau pembelian, tidak saja menyatakan adanya persahabatan, persaudaraan, tanda kehormatan, dan kontrak kerja sama
dengan sesama, tetapi juga kontrak dan transaksi dengan ‘penguasa hidup’ untuk mendapatkan hal-hal tertentu yang diyakini hanya dapat diberikan oleh ‘sang penguasa’,
seperti anugerah, kesehatan, keamanan, terbebas dari murka atau kutukan, kekuatan, kesejahteraan, karakter yang baik, kelimpahan harta kekayaan dan keselamatan.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan unsur-unsur dalam sistem pertukaran, pemberian atau jual-beli dalam tradisi masyarakat :
1. Pihak pemberi dan penerima, atau penjual dan pembeli, atau penukar dan yang
menerima tukaran : adalah pribadi, individu atau masyarakat dan pihak penerima
17
Ibid, 19
adalah sesama manusia, tetapi bisa juga roh-roh orang yang sudah mati, dewa-dewa atau sang penguasa alam yang dipercayai oleh individu atau masyarakat.
2. Motif dan tujuan pemberian, pembelian atau pertukaran : pihak pemberi dimotivasi
oleh berbagai alasan, motif atau latar belakang misalnya pemahaman religius atau kepercayaan dalam masyarakat, tradisi turun temurun, kedermawanan, rasa hormat,
kewajiban, tanggung jawab, dan rasa takut. Selain itu juga mempunyai tujuan-tujuan tertentu, misalnya membangun relasi persahabatan, kekerabatan, kerja sama,
mendapatkan kehormatan, keamanan, kesehatan, kekayaan, kesejahteraan dan keselamatan.
3. Cara atau ritual pemberian, pertukaran atau pembelian : pemberian-pemberian yang
melibatkan unsur mitos dan keagamaan pada umumnya dilakukan dengan cara-cara atau ritual tertentu.
4. Sarana pendukung, mediator atau benda-benda yang digunakan sebagai prasyarat
dalam proses pemberian, pertukaran atau pembelian. Dalam hal ini merujuk pada obyek-obyek pelengkap atau mediator yang diperlukan dalam ritual pemberian atau
pertukaran. 5.
Pemberian, pertukaran ataupun pembelian mengandung nilai-nilai moral, etika, sosial dan religi yang mengikat pihak pemberi dan penerima. Dalam hal ini, kedua
belah pihak terikat dalam kontrak yang melibatkan tanggungjawab dan kehormatan atas nilai-nilai tersebut, misalnya setelah penerima menerima pemberian dari
pemberi, ada ikatan moral yang harus selalu dijaga yakni menghargai dan menjunjung tinggi persahabatan dan kekerabatan yang telah terjalin melalui
pemberian yang diterima. Dalam pemberian kepada roh-roh leluhur yang sudah mati atau kepada dewa-dewa untuk mendapatkan kesehatan, kekayaan atau keselamatan,
setelah pemberi menerima apa yang diinginkannya, ia terikat pada kewajiban untuk
selalu hidup dalam rasa takut, hormat dan taat pada roh-roh atau penguasa-penguasa yang disembahnya.
Sebagaimana dipaparkan dalam Bab I, tradisi penjualan anak dalam masyarakat Timor telah menjadi tradisi turun temurun, dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dari
generasi ke generasi. Dalam tradisi penjualan anak ini, pihak penjual atau penukar adalah orang tua yang
mengharapkan imbalan kesehatan atau pendamaian dengan salah satu orang tua yang wajahnya mirip dengan si anak. Pendamaian ini akan terlihat dari perubahan karakter si
anak yang semula selalu berselisih dengan salah satu orang tua yang mirip wajahnya. Pihak pembeli adalah salah satu kerabat, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Jika ditelusuri
secara mendalam, sesungguhnya pihak pembeli atau penerima yang adalah anggota keluarga, bukanlah pembeli yang sesungguhnya, karena pihak pembeli tidak dimotivasi
oleh motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan dari pembelian anak tersebut dan kesembuhan atau perubahan karakter dalam diri si anak, tidak mungkin dikerjakan oleh
pihak pembeli yang mungkin saja bukan seorang tabib atau dokter. Jika menelusuri secara mendalam, penerima sesungguhnya yang tidak kasat mata adalah roh-roh leluhur yang
diyakini masih memiliki koneksi atau keterikatan spirit dengan keluarga dan anak-anak dalam keluarga. Roh-roh nenek moyang inilah yang sesungguhnya ada di balik transaksi
atau kontrak penjualan anak, dan menjadi penerima akhir dari penjualan anak tersebut. Suparlan dalam Koentjaraningrat memaparkan tentang kepercayaan orang Timor
yang dimaksud secara khusus adalah suku Atoni yang disebut sebagai orang asli pulau Timor. Menurutnya agama asli orang Timor berpusat pada kepercayaan adan adanya dewa
langit Uis Neno, yang dianggap sebagai pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia.
Tentang kepercayaan kepada Uis Neno, Yewangoe mengatakan,
“Dalam struktur kepercayaan orang Atoni dikenal Uis Neno yang adalah Tuhan Surgawi, atau juga Tuhan Matahari. Ia dianggap sebagai yang
memberikan kelurusan dan kejuuran, yang memberikan kedinginan. Ia bercahaya dan semarak, yang melindungi, yang memelihara dan yang
memberikan makanan. Ia adalah alamat yang kepadanya doa dinaikkan, agar Ia melindungi dan memberikan kegairahan. Ia juga adalah alamat
untuk memohonkan perlindungar agar memberikan kejujuran dan kelurusan”
18
Upacara-upacara yang ditujukan kepada Uis Neno terutama untuk meminta hujan, sinar matahari atau untuk mendapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan. Selain itu
orang Timor percaya juga pada Uis Afu yaitu Dewa Bumi yang mendampingi Uis Neno yang memberikan berkah bagi kesuburan tanah yang sedang ditanami. Di samping itu orang
Timor juga percaya akan adanya makhluk-makhluk gaib yang menempati tempat-tempat tertentu di hutan-hutan, mata-mata air, sungai-sungai dan pohon-pohon tertentu. Mahkluk-
makhluk halus tersebut bisa bersifat baik dan bisa juga bersifat jahat. Upacara-upacara dilakukan untuk memuaskan makhluk-makhluk halus tersebut.
19
Yewonge mengatakan bahwa orang Timor percaya bahwa Uis Neno, roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi mengontrol nasib manusia. Orang Atoni sadar bahwa
bahaya mengintip di mana-mana dan yang menguasainya bukanlah kekuatan manusiawi tetapi kekuatan-kekuatan roh yang tersembunyi. Di lain pihak, orang Atoni juga
mengharapkan keadilan, kesejahteraan dan kesehatan. Semuanya berasal dari Uis Neno dan roh-roh lain. Hal itu hanya dapat diperoleh jikalau menyelenggarakan ritual yang layak
dengan baik dan memperhatikan peraturan-peraturan yang ditetapkan.
20
Suparlan memaparkan dengan lebih detail tentang kepercayaan orang Timor :
18
Andreas A. Yewonge, Pendamaian, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983,46 Parsudi Suparlan, ‘Kebudayaan Timor’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
1976, 217
20
Andreas A. Yewonge, Pendamaian, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983,46
“Mereka juga percaya kepada roh-roh nenek moyang yang seperti mahluk- mahluk halus lainnya dianggap mempunyai pengaruh yang luas kepada
jalannya hidup manusia. Berbagai malapetaka seperti sakit, kecelakaan, kesukaran-kesukaran dalam hidup, seringkali dianggap sebagai suatu
tindakan dari mahluk-mahluk halus tersebut terhadap manusia, yang telah lalai untuk melakukan upacara sajian untuk mahluk-mahluk halus itu… Roh-
roh nenek moyang selalu diperingati dengan upacara-upacara dan sajian- sajian pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sosial dari
suatu rumah tangga, dan khususnya pada setiap peristiwa yang berhubungan dengan tingkat-tingkat pada lingkaran hidup dari anggota keluarga dalam
rumah tangga itu”
21
Tentang motif dan tujuan penjualan anak, telah disinggung sedikit sebelumnya yaitu dimotivasi oleh rasa hormat akan Wujud Tertinggi yang diyakini mengatur kehidupan
keluarga atau nenek moyang, juga dimotivasi oleh rasa takut jika melanggar atau tidak menyenangkan hati para leluhur yang meminta tradisi tersebut dijalankan. Motifnya
bukanlah motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan bisnis. Tujuan dilakukannya tradisi ini adalah mendapatkan keselamatan, kesehatan dan pendamaian bagi si anak.
Cara atau ritual pembelian juga bermacam ragam. Dalam beberapa ritual, si anak diletakkan di atas niru, tetapi juga bisa diserahkan lewat jendela. Obyek-obyek pelengkap
atau mediator yang diperlukan dalam ritual penjualan atau pertukaran ini antara lain niru dan uang.
Nilai-nilai moral, etika, sosial dan religi yang mengikat pihak pemberi dan penerima dalam tradisi ini antara lain terjalinnya kekerabatan dan kekeluargaan yang tidak bisa
terputuskan, adanya tanggungjawab moril dan spiritual dari kedua belah pihak dalam pendidikan dan pertumbuhan anak. Secara keagamaan, kedua belah pihak merasa lega sebab
tidak ada hutang pada roh-roh nenek moyang karena telah menjalankan tradisi ini.
21
Parsudi Suparlan, ‘Kebudayaan Timor’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1976,218.
B. Unsur Teologis dalam Budaya Pertukaran.