EFEKTIVITAS TINDAKAN KEPOLISIAN MELALUI OPERASI SIKAT KRAKATAU DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

(2)

KRAKATAU DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

DI PROVINSI LAMPUNG Oleh

Supoyo

Data tahun 2010 menunjukkan bahwa sebelum dilaksanakannya operasi sikat Krakatau khusus pencurian dengan pemberatan (curat) menempati peringkat pertama dengan jumlah 2.342 kasus sedangkan penyelesaiannya rendah hanya 821 kasus atau 35,05%. Selanjutnya pencurian dengan kekerasan (curas) menempati urutan kelima dengan jumlah kasus 997 kasus dengan penyelesaian yang sangat rendah yaitu 30,29%. Walupun curas menempati urutan kelima tetapi dampak yang ditimbulkan di masyarakat cukup berdampak negatif terutama hubungannya dengan Lampung sebagai pintu gerbang Sumatera. Ini dapat menimbulkan citra Lampung “tidak aman” yang pada akhirnya merugikan masyarakat.

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dan penelitian ini, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Pendekatan Yuridis Normatif, yang dilakukan dengan cara menganalisis teori-teori, konsep- konsep, serta perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan. Selanjutnya yaitu Pendekatan Yuridis Empiris yang dilakukan dengan penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara dengan pakar terkait baik dengan akademisi, pengamat hukum.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas operasi kewilayahan kepolisian di Wilayah Polda Lampung menunjukkan hasil yang cukup efektif dengan menurunnya tindak pidana curat dan curas secara bertahap dari tahun 2010 sebelum dilaksanakannya operasi dengan tahun 2011-2012 setelah dilaksanakannya operasi serta masa penahanan dari rata-rata untuk tindak pidana curat dan curas dari 20-60 ahri menjadi rata-rata 15-40 hari dan penyelesaian perkara dari 20-120 hari menjadi 15-60 hari. Namun dalam pelaksanaan tindakan kepolisian masih mengalami faktor-faktor penghambat sebagai berikut: faktor hukumnya, yaitu peraturan perundang-undangan sendiri, aparat penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan budaya di masyarakat.

Pada akhirnya disarankan mengenai perlunya tambahan waktu dari 20 menjadi 30 hari dan dari 2 kali setahun manjadi 3 kali setahun dan ditingkatkannya kesempatan para anggota kepolisian untuk ikut pelatihan-pelatihan sebagai pendukung jalannya operasi kepolisian.


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis dengan judul “Efektivitas Tindakan Kepolisian melalui Operasi Sikat Krakatau dalam Menanggulangi Tidak Pidana Pencurian dengan Pemberatan dan Pencurian dengan Kekerasan Di Provinsi Lampung” adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Desember 2013 Pembuat Pernyataan,

Supoyo


(4)

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis dengan judul “Efektivitas Tindakan Kepolisian melalui Operasi Sikat Krakatau dalam Menanggulangi Tidak Pidana Pencurian dengan Pemberatan dan Pencurian dengan Kekerasan Di Provinsi Lampung” adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Desember 2013 Pembuat Pernyataan,

Supoyo


(6)

(7)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis dengan judul “Efektivitas Tindakan Kepolisian melalui Operasi Sikat Krakatau dalam Menanggulangi Tidak Pidana Pencurian dengan Pemberatan dan Pencurian dengan Kekerasan Di Provinsi Lampung” adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Desember 2013 Pembuat Pernyataan,

Supoyo


(8)

(9)

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

LEMBAR PENGESAHAN MOTTO

PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR

Hlm I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 8

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang POLRI... 16

B. Proses Penegakan Hukum oleh Polri ... 30

C. Aspek Hukum Tindak Pidana Pencurian ... 39

D. Pencurian dan Bentuk-Bentuk Pencurian ... 41

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 52

B. Jenis dan Sumber Data ... 52

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 54

D. Analisis Data ... 55

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Tindakan Kepolisian Polda Lampung dalam Menanggulangi Tindak Pidana Curat dan Curas di Provinsi Lampung . . 56

B. Faktor-faktor Penghambat Tindakan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Curat dan Curas di Provinsi Lampung ... 83


(10)

A. Simpulan ... 90 B. Saran ... 91


(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pencurian dengan pemberatan dan dengan kekerasan merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang merugikan dan menyiksa orang lain. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menghindari melakukan pencurian dengan pemberatan maupun pencurian dengan kekerasan terhadap orang lain.

Mengenai kejahatan pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat dengan (KUHP), yang dibedakan atas lima macam pencurian, yaitu :

1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP);

2. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP); 3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP);

4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP); 5. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP).

Tindak pidana pencurian selengkapnya dirumuskan dalam KUHP yaitu sebagai berikut :


(12)

Pasal 362 :

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut di atas yang dinamakan tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak pidana pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai dengan keadaan-keadaan khusus. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP.

Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya

(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Tindak pidana yang penulis teliti terdapat unsur “memberatkan” sebagaimana

diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP, yaitu :

Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuan tahun dihukum :

Ke-5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya, dengan jalan membongkar,


(13)

memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Berkenaan dengan rumusan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, R. Soesilo mengatakan:1

Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi dan diancam hokuman yang lebih berat. Apakah yang diartikan dengan pencurian denan pemberatan itu? Ialah pencurian biasa disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut :

Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. ”Malam” = waktu antara matahari terbenam dan terbit. Rumah (woning)= tempat yang dipergunakan untuk berdiam siang malam, artinya untuk makan, tidur dsb. Sebuah gudang atau toko yang tidak didiami siang malam, tidak masuk pengertian rumah sebaiknya gubug, kereta, perahu dsb yang siang malam dipergunakan sebagai kediaman, masuk sebutan rumah. Pekarangan tertutup = suatu pekarangan yang sekelilingnya ada tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar kawat dsb. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga orang tidak dapat masuk sama sekali. Disini pencuri itu harus betul-betul masuk ke dalam rumah dsb, dan melakukan pencurian disitu. Apabila ia berdiri diluar dan mengait pakaian melalui jendela dengan tongkat atau mengulurkan tangannya saja ke dalam rumah untuk mengambil barang itu, tidak masuk disini.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP juga merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.2 Maka sudah jelas bahwa pada hakekatnya, pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan yang bertentangan

1

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor, 1988, hlm 251.

2


(14)

dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan pencurian dengan kekerasan merupakan perilaku yang negatif dan merugikan terhadap moral masyarakat.

Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Perihal tentang yang disebut kekerasan itu Simons mengatakan:3 “Onder geweld zal ook hier mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe

betekenis”. Yang artinya : “Dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan”.

Lampung sebagai pintu gerbang Sumatera merupakan akses keluar masuknya orang dan barang baik menggunakan armada transportasi kendaraan roda dua, roda empat atau lebih dari atau hendak ke Sumatera harus lancar, tertib dan aman. Berbicara mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan dan pemberatan, Lampung juga menjadi salah satu tempat yang rawan terutama untuk pencurian kendaraan bermotor. Hal ini diungkapkan oleh Humas Polda Lampung Sulistyaningsih bahwa “setidaknya ada 109 titik rawan tindak kriminal khusus pencurian kendaraan bermotor dan konflik khususnya di Provinsi Lampung”.4

Ketentuan umum dalam Pasal 1 butir 4 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2011 dinyatakan bahwa:

3

Dikutip dalam P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma

Kesusilaan & Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 130.

4

http://lampost.co/berita/polda-lampung-petakan-109-titik-rawan-kriminalitas, diakses pada tanggal 1 Oktober 2013.


(15)

Operasi Kepolisian adalah serangkaian tindakan Polri dalam rangka pencegahan, penanggulangan, penindakan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), serta penanganan bencana yang diselenggarakan dalam kurun waktu, sasaran, cara bertindak (CB), pelibatan kekuatan dan dukungan sumber daya tertentu oleh beberapa fungsi kepolisian dalam bentuk satuan tugas (Satgas).

Selanjutnya dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa: Tujuan peraturan ini:

a. sebagai pedoman bagi pelaksana fungsi operasional Polri dalam operasi kepolisian;

b. agar operasi kepolisian dapat terselenggara secara efektif dan efisien; dan c. agar sasaran dan TO dapat dicapai sesuai rencana operasi.

Berdasarkan hasil wawancara penulis yang dilakukan penulis pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 2013 dengan Kabid Humas Polda Lampung AKBP. Sulistyoningsih, bahwa ada 10 tindak pidana konvensional yang menonjol: pertama pencurian dengan pemberatan ada 2.342 kasus, kedua penganiayaan dengan 1.317 kasus, ketiga tipu gelap 1.211 kasus, keempat pengrusakan dengan 1.109 kasus, kelima pencurian dengan kekerasan 997 kasus, keenam pencurian biasa 814 kasus, ketujuh judi dengan 703 kasus, kedelapan pengeroyokan 381 kasus, kesembilan perbuatan cabul dengan 199 kasus, dan yang terakhir kesepuluh penyerobotan tanah dengan 119 kasus.

Berdasarkan data tersebut di atas bahwa pencurian dengan pemberatan (curat) menempati peringkat pertama dengan jumlah 2.342 kasus sedangkan penyelesaiannya rendah hanya 821 kasus atau 35,05%. Selanjutnya pencurian dengan kekerasan (curas) menempati urutan kelima dengan jumlah kasus 997


(16)

kasus dengan penyelesaian yang sangat rendah yaitu kurang dari 50%. Walupun curas menempati urutan kelima tetapi dampak yang ditimbulkan di masyarakat cukup berdampak terutama hubungannya dengan Lampung sebagai pintu gerbang Sumatera. Ini dapat menimbulkan citra Lampung “tidak aman”. Apabila di lihat dari segi sasarannya antara curat dengan curas pada dasarnya mempunyai sasaran yang sama yaitu harta benda. Akan tetapi apabila dilihat dari modus operandinya atau pola melakukannya, ada perbedaan yang mendasar dimana curat dilakukan pada pada saat pemiliknya tidak ada, sedangkan curas dilakukan dengan mengambil dalam penguasaan pemiliknya secara terang-terangan.

Kejahatan penganiayaan, tipu gelap dan pengrusakan yang menempati urutan kedua, ketiga dan keempat biasanya dilakukan dengan terlebih dahulu ada permasalahan awal para pihak, sedangkan curat dan curas dilakukan hampir sepenuhnya atas inisiatif pelaku yang pada umumnya dilakukan oleh dua orang atau lebih. Apabila hal ini tidak diambil tindakan khusus kepolisian, maka akan menjadi “momok” yang menakutkan dan akan berdampak para investor tidak ingin menanamkan modalnya karena arus barang, orang dan uang tidak nyaman, lapangan pekerjaan berkurang, kejahatan semakin berkembang sehingga pada akhirnya akan merugikan mastarakat Lampung secara umum.

Berdasarkan data dan fakta tersebut, tindakan Kepolisian Polda Lampung terhadap kejahatan khususnya curat dan curas diperlukan suatu operasi kepolisian untuk meminimalisir kejahatan tersebut. Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dalam tesis yang berjudul “Efektivitas Tindakan Kepolisian Polda Lampung Melalui Operasi Kepolisian


(17)

Mandiri Kewilayahan “Sikat Krakatau” dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan dan Pencurian dengan Kekerasan di Provinsi Lampung”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan tindakan kepolisian Polda Lampung dalam menanggulangi tindak pidana curat dan curas di Provinsi Lampung?

b. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penghambat tindakan kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana curat dan curas di Provinsi Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Pidana terutama mengenai kajian-kajian yang berhubungan dengan efektivitas tindakan kepolisian dalam penanggulangan Tindak pidana curat dan curas melalui operasi kepolisian Sikat Krakatau khususnya di wilayah hukum Polda Lampung selama tahun 2010 sampai dengan tahun 2012.


(18)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

a. Menganalisis efektivitas pelaksanaan tindakan kepolisian Polda Lampung dalam menanggulangi tindak pidana curat dan curas di Provinsi Lampung. b. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat tindakan kepolisian

dalam menanggulangi tindak pidana curat dan curas di Provinsi Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoretis, hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya dalam memberikan argumentasi dan memahami mengenai efektivitas tindakan kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana curat dan curas di Provinsi Lampung.

b. Secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi terkait, khususnya kepolisian untuk mengambil kebijakan terkait dengan tindakan kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana curat dan curas di Provinsi Lampung.

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual

1. Kerangka Pemikiran

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan ada beberapa, yaitu:


(19)

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

Upaya penegakan hukum pidana menurut Joseph Goldstein dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:5

1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.

2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap tidak mungkin dilaksanakan secara penuh, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan diskresi.

3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

b. Teori Efektivitas Hukum

Adapun secara terminologi, para pakar hukum dan pakar sosiologi memberikan pandangan yang beragam tergantung pada sudut pandang masing-masing pakar. Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa deradjat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi bahwa

5

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya


(20)

taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.6 Dalam ilmu sosial, antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan, dalam hal ini hukum.7

Selanjutnya Soerjono Soekanto8 mengungkapkan juga bahwa yang dimaksud dengan efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, dan agar kaidah hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat, maka dikatakan lebih lanjut oleh Soerjono Soekanto bahwa kaidah hukum atau peraturan tersebut haruslah memenuhi tiga unsur sebagai berikut:9 1) Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah

yang lebih tinggi tingkatannya (H.Kelsen), atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditentukan atau ditetapkan (W.Zevenberger), atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A.Logeman);

2) Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan);

6

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, 1996, hlm 19.

7

Ibid., hlm 20.

8

Ibid., hlm. 53.

9


(21)

3) Hukum tersebut berlaku secara filosofis; artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi.

Satjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja, karena hukum bukanlah merupakan hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut dijalankan atau bekerja.10 Sekurang-kurangnya ada empat langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan atau ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara efektif) yaitu:11

1) Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum tersebut;

2) Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik yang mematuhi atau melanggar hukum;

3) Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan;

4) Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk berbuat sesuai hukum.

2. Konseptual

Untuk membatasi istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini dirumuskan pengertian-pengertian sebagai berikut:

a. Efektivitas secara etimologi, kata efektivitas berasal dari kata efektif sebagai terjemahan dari kata effective dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa

10

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 70.

11


(22)

Indonesia memiliki makna berhasil, dan dalam bahasa Belanda dikenal kata effectief yang memiliki makna berhasil guna.12

Secara umum, kata efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasilnya semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya.13

Dalam konteks dengan hukum, maka efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil gunaan hukum, yaitu keberhasilan dalam mengimplementasikan hukum itu sendiri dalam tatanan masyarakat. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.14

b. Penegakan Hukum adalah dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang

12

Nurul Hakim, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan”, www.badilag.net.

13

Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 24.

14


(23)

nya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim.15

c. Berdasarkan Pasal 1 butir 3 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 3 Tahun 2009, Operasi Kepolisian adalah serangkaian tindakan Polri dalam rangka menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu, sasaran tertentu, cara bertindak tertentu, kekuatan, dan dukungan sumber daya tertentu oleh beberapa fungsi kepolisian dalam bentuk satuan tugas.

d. Kepolisian menurut Pasal 1 butir 1 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Rebulik Indonesia adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.16

f. Pencurian dengan pemberatan adalah pencurian khusus, yaitu sebagai suatu pencurian dengan cara-cara tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun atau lebih dari pidana yang diancamkan dalam Pasal 362 KUHP. Hal ini diatur dalam Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP.

15

http://click-gtg.blogspot.com/2009/12/penegakan-hukum-law-enforcement.html, diakses pada 1 Oktober 2013.

16


(24)

g. Dalam Pasal 365 KUHP, dijelaskan bahwa :

Tindak pidana pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan akan diancam hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun, dengan maksud akan memudahkan atau menyiapkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau kawannya yang urut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya.

Disini termasuk pula, mengikat orang yang punya rumah, menutup didalam kamar, kekerasan atau ancaman kekerasan ini harus dilakukan pada orang,bukan kepada barang, dan dapat dilakukan sebelumnya, bersama-sama atau setelah pencurian itu dilakukan, asal maksudnya untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian itu, dan jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetapditangannya. Seorang pencuri dengan merusak rumah tidak masuk disini, karena kekerasan (merusak) itu tidak dikenakan pada orang.

E. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini lebih terarah, maka digunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan konseptual, serta sistematika penulisan.


(25)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan kajian-kajian teori mengenai kajian tentang tinjauan umum tentang POLRI, proses penegakan hukum oleh polri, aspek hukum tindak pidana pencurian, pencurian dan bentuk-bentuk pencurian.

BAB III METODE PENELITIAN

Merupakan metode penelitian yang berisikan pendekatan masalah, jenis dan sumber data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab pembahasan terkait dengan permasalahan yaitu: efektivitas pelaksanaan tindakan kepolisian terhadap tindak pidana curat dan curas melalui operasi kepolisian mandiri kewilayahan dan faktor-faktor yang menjadi penghambat tindakan kepolisian terhadap tindak pidana curat dan curas melalui operasi kepolisian mandiri kewilayahan di Provinsi Lampung.

BAB V PENUTUP


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang POLRI

Adapun yang akan dijadikan tinjauan umum kaitannya dengan kepolisian, antara lain :

1. Pengertian Kepolisian

Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan Lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) sedangkan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (Pasal 1 Ayat (2) Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negeri Republik Indonesia).

2. Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dalam Pasal 13 Undang-Undang No 2 Tahun 2002, diatur bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia bertugas:


(27)

a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan;

c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f) Melakukan koordinasi,pegawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil,dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian;serta

l) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 secara umum Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia berwenang:

a) Menerima laporan dan/ atau pengaduan;

b) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrative kepolisian;

f) Melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h) Mengambil sidik jari dan identifikasi lainnya serta memotret seseorang; i) Mencari keterangan dan barang bukti;


(28)

j) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (Pasal 15 Undang Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Profesionalisme dan nama baik polisi dipertaruhkan dalam menangkap pelaku kejahatan, sebab apabila polisi tidak dapat (berhasil) menangkap pelaku kejahatan, keselamatan masyarakat akan tetap terancam dan kredibilitas polisi dimata masyarakat akan berkurang. Sehingga dalam menjalankan tugas diatas polisi dituntut harus professional dan selalu terjalin koordinasi yang terpadu di lingkungannya. Berkaitan dengan tugas polisi yang profesional dan terpadu, maka dalam menjalankan penegakan hukum (khususnya dalam tugas di lapangan), polisi harus berpatokan pada aturan main yang sudah ditetapkan oleh pimpinan Polri, baik dalam peran keamanan masyarakat maupun dalam peran ketertiban masyarakat.

Aturan yang harus menjadi pegangan setiap anggota polisi diantaranya adalah Kode Etik Profesi Kepolisian, Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana17 Petunjuk Pelaksanaan tentang Hubungan Tata cara Kerja Fungsi Reskrim dengan fungsi Intelkam dalam Rangka Keterpaduan Penanganan Kriminalitas,18 Prosedur Tetap tentang Tindakan Tegas Kepolisian terhadap Penjarahan, Buku Petunjuk Lapangan tentang Penindakan Huru Hara,

17

Juklak dan Juknis tentang proses penyidikan tindak pidana adalah jabaran lebih lengkap yang khusus ditujuan bagi anggota penyidik polri yang menjalankan proses penyidikan tindak pidana yang berisi penjabaran dari KUHAP yang merupakan acuan penyidik dalam melakukan penyidikan.

18

Juklak ini juga merupakan penjabaran dari KUHAP. Dalam KUHAP diatur tentang penyelidik dan penyidik serta penyelidikan dan penyidikan, tetapi dalam KUHAP tidak diatur bagaimana Koordinasi antara kedua badan ini, sehingga untuk kerja dilapangan diperlukan petunjuk pelaksanaan bagi kedua badan tersebut, supaya tidak terjadi operlap dalam pelaksanaan tugasnya.


(29)

Petunjuk Pelaksanaan tentang Operasi Khusus Kepolisian, Prosedur Tetap tentang Tindakan Tegas Kepolisian dalam Penanggulangan Kerusuhan Massa dan masih banyak petunjuk-petunjuk lainnya bagi anggota polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk diatas diberikan dengan maksud supaya anggota polisi yang sedang menjalankan tugas penegakan hukum tidak keluar dari koridor yang sudah ditetapkan dan juga seperti yang dijelaskan diatas, bahwa dalam penegakan hukum tersebut polisi selalu berhadapan dengan masyarakat yang dilindungi oleh hukum dan hak asasi manusianya. Adapun isi dari aturan-aturan diatas antara lain:

1. Kode Etik Profesi Kepolisian

a. Bahwa Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI sebagai pedoman moral profesi kepolisian merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, Tri Brata dan Catur Prasetya, yang akan membimbing setiap anggota kepolisian dalam pengabdiannya, yang menjadi pengawas yang melekat dalam hati nuraninya agar terhindar dari perbuatan tercela, menyalahgunakan wewenang dan pelanggaran hukum yang seharusnya ditegakkan.

b. Setiap pelanggaran terhadap kode etik profesi ini, diselesaikan melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

c. Dasar Hukum dari Kode Etik Profesi ini adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tap MPRRI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI, PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan


(30)

KUHAP; Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara RI, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Sistem Operasional Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 tentang Manajemen Operasi Kepolisian.

2. Petunjuk Pelaksana dan Petunjuk Teknis tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana

a. Bahwa penyidikan tindak pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya penegakan hukum yang bersifat pembatasan/pengekangan hak-hak asasi seseorang dalam rangka usaha untuk memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, oleh karena penyidikan tindak pidana sebagai salah satu tahap daripada penegakan hukum pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka untuk pelaksanaan penyidikan tindak pidana perlu dikeluarkan petunjuk pelaksanaan yang mengatur prosedur penyidikan. b. Petunjuk Pelaksanaan ini adalah sebagai penjabaran dari pada naskah fungsi

Reserse kriminal Polri dengan maksud untuk memberikan pedoman dan kejelasan mengenai proses penyidikan tindak pidana, sehingga diperoleh keseragaman pengertian tentang kegiatan-kegiatan pokok yang harus dilaksanakan, keseragaman administrasi penyidikan, baik mengenai panatausahaan maupun mengenai kelengkapan administrasinya, tujuan dari petunjuk pelaksanaan ini adalah agar penyidikan tindak pidana dapat


(31)

dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan tidak melanggar hukum.

c. Ruang lingkup petunjuk pelaksanaan ini meliputi pokok-pokok petunjuk yang mencakup:

1) Kegiatan Penyelidikan; 2) Kegiatan Penyidikan;

3) Bantuan Teknis Operasional; 4) Administrasi Penyidikan; 5) Komando dan Pengendalian.

Pelaksanaan fungsi Penyidikan perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum Acara Pidana yang menyangkut hak-hak asasi manusia, antara lain: Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence), Persamaan dimuka umum (Equality before the law), Hak pemberian bantuan/penasihat hukum (Legal aid/assistance), Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang, penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya diseluruh Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat.

d. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia untuk


(32)

seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah KUHP, Skep Kapolri No.Pol: SKEP/02/I/1980 tanggal 31 Januari 1980 tentang Pola Dasar Pembenahan Diri, Naskah fungsi Reserse Polri tanggal 25 Februari 1980. e. Penggolongan kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana dalam

juklak ini adalah:

1) Penyelidikan; dapat dilakukan untuk mencari keterangan-keterangan guna menentukan suatu peristiwa yang dilaporkan atau diadukan, merupakan tindak pidana atau bukan, selanjutnya melengkapi keterangan yang telah diperolah agar menjadi jelas sebelum dapatnya dilakukan penindakan dan persiapan pelaksanaan penindakan. Sasaran dari penyelidikan adalah orang, benda, tempat (termasuk rumah dan tempat-tempat tertutup lainnya).

2) Penindakan; dapat diartikan sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi, tindakan hukum tersebut dapat berupa pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

3) Pemeriksaan; merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsure-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas, cara melakukan pemeriksaan dapat berbentuk interview, interogasi, konfrontasi, rekontruksi, hal ini


(33)

dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan sebelum dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan.

4) Penyelesaian dan Penyerahan berkas perkara; merupakan kegiatan akhir dari proses penyidikan tindak pidana. Pertimbangan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara adalah: hasil pemeriksaan tersangka dan saksi serta kelengkapan bukti yang diperolah, unsur-unsur tindak pidana dan demi hukum.

Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri atas pembuatan resume, penyusunan isi berkas perkara, pemberkasan isi berkas perkara dengan susunan dan syarat-syarat pengikatan dan penyegelan tertentu. Dan kegiatan yang terakhir adalah penyerahan berkas perkara yang merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

(1) Pada tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan Berkas Perkara; (2) Tahap berikutnya penyidik menyerahkan tanggung jawab atas

tersangka dan barang buktinya.

f. Penggolongan kegiatan yang kedua adalah Bantuan Kegiatan Teknis, yaitu untuk kepentingan pembuktian dalam rangka pelaksanaan penyidikan secara ilmiah diperlukan bantuan lembaga-lembaga yang telah menggunakan kelengkapan teknologi yaitu dengan mengikut sertakan peranan, antara lain Identifikasi, Laboratorium Kriminil dan Dinas Psychologi.

g. Penggolongan kegiatan yang ketiga adalah Administrasi Penyidikan, yang merupakan penata-usahaan kegiatan penyidikan, pencatatan, pelaporan dan


(34)

pendataan, baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan.

h. Penggolongan Komando dan Pengendalian, yaitu dalam pelaksanaan hukum acara pidana, penyidik bertanggung jawab secara tuntas, atas tindakan penyidikan yang dilakukan berdasar kewenangan yang diberikan oleh hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanggung jawab penyidik selaku anggota komando Kesatuan Polri secara hirarkhis terikat menurut garis komandonya, garis teknis fungsional dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana, baik diminta ataupun tidak Kesatuan Reserse pada Komando Kesatuan Atas dapat membantu Kesatuan Reserse pada komando Kesatuan dibawahnya secara hirarkhis menurut kebutuhan.

Berikut adalah ketentuan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana: Pasal 4

Dasar dilakukan Penyidikan: a. laporan polisi/pengaduan; b. surat perintah tugas;

c. laporan hasil penyelidikan (LHP); d. surat perintah penyidikan; dan e. SPDP.

Pasal 5

(1) Laporan Polisi/Pengaduan terdiri dari: a. Laporan Polisi Model A; dan b. Laporan Polisi Model B.

(2) Laporan Polisi Model A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.

(3) Laporan Polisi Model B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/pengaduan yang diterima dari masyarakat.


(35)

Pasal 6

Surat perintah tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, sekurang-kurangnya memuat:

a. dasar penugasan; b. identitas petugas; c. jenis penugasan;

d. lama waktu penugasan; dan e. pejabat pemberi perintah. Pasal 7

(1) LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, dibuat oleh tim penyelidik dan ditandatangani oleh ketua tim penyelidik.

(2) LHP sekurang-kurangnya berisi laporan tentang waktu, tempat kegiatan, hasil penyelidikan, hambatan, pendapat dan saran.

Pasal 8

Surat perintah penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, sekurang-kurangnya memuat:

a. dasar penyidikan;

b. identitas petugas tim penyidik; c. jenis perkara yang disidik;

d. waktu dimulainya penyidikan; dan

e. identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah. Pasal 9

Administrasi penyelidikan, meliputi: a. surat perintah tugas;

b. surat perintah penyelidikan; dan c. LHP.

Pasal 10

(1) Administrasi penyidikan merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan Penyidikan, meliputi:

a. sampul berkas perkara; b. isi berkas perkara, meliputi;

1. daftar isi; 2. resume; 3. laporan polisi; 4. surat perintah tugas;


(36)

5. surat perintah Penyidikan; 6. SPDP;

7. berita acara pemeriksaan TKP; 8. surat panggilan saksi/ahli; 9. surat perintah membawa saksi;

10. berita acara membawa dan menghadapkan saksi; 11. berita acara penyumpahan saksi/ahli;

12. berita acara pemeriksaan saksi/ahli; 13. surat panggilan tersangka;

14. surat perintah penangkapan; 15. berita acara penangkapan;

16. berita acara pemeriksaan tersangka; 17. berita acara konfrontasi;

18. berita acara rekonstruksi;

19. surat permintaan bantuan penangkapan; 20. berita acara penyerahan tersangka; 21. surat perintah pelepasan tersangka; 22. berita acara pelepasan tersangka; 23. surat perintah penahanan;

24. berita acara penahanan;

25. surat permintaan perpanjangan penahanan kepada jaksa penuntut umum (JPU) dan hakim;

26. surat penetapan perpanjangan penahanan; 27. berita acara perpanjangan penahanan;

28. surat pemberitahuan perpanjangan penahanan kepada keluarga tersangka;

29. surat perintah pengeluaran tahanan; 30. berita acara pengeluaran tahanan; 31. surat perintah pembantaran penahanan; 32. berita acara pembantaran penahanan;

33. surat perintah pencabutan pembantaran penahanan; 34. berita acara pencabutan pembantaran penahanan; 35. surat perintah penahanan lanjutan;

36. berita acara penahanan lanjutan;

37. surat permintaan izin/izin khusus penggeledahan kepada ketua pengadilan;

38. surat perintah penggeledahan;

39. surat permintaan persetujuan penggeledahan kepada ketua pengadilan;

40. berita acara penggeledahan rumah tinggal/tempat tertutup lainnya; 41. surat permintaan izin/izin khusus penyitaan kepada ketua

pengadilan;

42. surat permintaan persetujuan penyitaan kepada ketua pengadilan; 43. surat perintah penyitaan;

44. berita acara penyitaan;

45. surat permintaan persetujuan Presiden, Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur, Majelis Pengawas Daerah (Notaris) untuk melakukan pemanggilan/pemeriksaan terhadap pejabat tertentu;


(37)

46. surat perintah pembungkusan, penyegelan dan pelabelan barang bukti;

47. berita acara pembungkusan, penyegelan dan pelabelan barang bukti; 48. surat perintah pengembalian barang bukti;

49. berita acara pengembalian barang bukti;

50. surat permintaan bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (labfor);

51. surat hasil pemeriksaan labfor;

52. surat permintaan bantuan pemeriksaan identifikasi; 53. surat hasil pemeriksaan identifikasi;

54. surat pengiriman berkas perkara; 55. tanda terima berkas perkara;

56. surat pengiriman tersangka dan barang bukti;

57. berita acara serah terima tersangka dan barang bukti; 58. surat bantuan penyelidikan;

59. daftar saksi; 60. daftar tersangka; 61. daftar barang bukti;

62. surat permintaan blokir rekening bank; 63. berita acara blokir rekening bank;

64. surat permintaan pembukaan blokir rekening bank; 65. berita acara pembukaan blokir rekening bank;

66. surat permintaan penangkapan tersangka yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO);

67. surat pencabutan permintaan penangkapan tersangka yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO);

68. surat permintaan pencarian barang sesuai Daftar Pencarian Barang (DPB);

69. surat pencabutan permintaan pencarian barang sesuai Daftar Pencarian Barang (DPB);

70. surat permintaan cegah dan tangkal (cekal); 71. surat pencabutan cekal;

72. surat penitipan barang bukti;

73. surat perintah penyisihan barang bukti; 74. berita acara penyisihan barang bukti; 75. surat perintah pelelangan barang bukti; 76. berita acara pelelangan barang bukti; 77. surat perintah pemusnahan barang bukti; 78. berita acara pemusnahan barang bukti; 79. surat perintah penitipan barang bukti; dan 80. berita acara penitipan barang bukti.

(2) Isi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, bilamana diperlukan dapat ditambahkan berita acara perekaman suara dan/atau gambar. (3) Selain administrasi penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, administrasi penyidikan yang dapat dilampirkan di dalam berkas perkara meliputi:

a. surat perintah penyelidikan; b. LHP;


(38)

c. kartutik kejahatan/pelanggaran; d. kartu sidik jari; dan

e. foto Tersangka dalam 3 (tiga) posisi.

(4) Administrasi penyidikan yang tidak termasuk dalam berkas perkara, meliputi: a. surat perintah penghentian penyidikan;

b. surat ketetapan penghentian penyidikan; c. surat pemberitahuan penghentian penyidikan;

d. surat pelimpahan berkas perkara penyidikan kepada instansi lain;

e. berita acara pelimpahan berkas perkara penyidikan kepada instansi lain; dan

f. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Pasal 11

(1) Kegiatan penyelidikan dilakukan:

a. sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan; dan

b. sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka penyidikan. (2) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

dilakukan untuk mencari dan menemukan Tindak Pidana.

(3) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan penyidikan untuk: a. menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau

bukan;

b. membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya; dan c. dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa.

Pasal 12

(1) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 meliputi: a. pengolahan TKP;

b. pengamatan (observasi); c. wawancara (interview); d. pembuntutan (surveillance); e. penyamaran (under cover); f. pelacakan (tracking); dan

g. penelitian dan analisis dokumen. (2) Sasaran penyelidikan meliputi:

a. orang;

b. benda atau barang; c. tempat;

d. peristiwa/kejadian; dan e. kegiatan.

Pasal 13

(1) Petugas penyelidik dalam melaksanakan tugas penyelidikan, wajib dilengkapi dengan surat perintah penyelidikan yang ditandatangani oleh atasan penyelidik selaku Penyidik.


(39)

(2) Petugas penyelidik wajib membuat laporan hasil penyelidikan kepada pejabat pemberi perintah.

(3) Laporan hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis, atau lisan yang ditindaklanjuti dengan laporan secara tertulis paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.

Pasal 14

(1) Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat perintah penyidikan.

(2) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B.

(3) Setelah Laporan Polisi dibuat, penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT atau Siaga Bareskrim Polri segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara pemeriksaan saksi pelapor.

(4) Kepala SPKT atau Kepala Siaga Bareskrim Polri segera meneruskan laporan polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada:

a. Karobinops Bareskrim Polri untuk laporan yang diterima di Mabes Polri; b. Direktur Reserse Kriminal Polda untuk laporan yang diterima di SPKT

Polda sesuai jenis perkara yang dilaporkan;

c. Kapolres/Wakapolres untuk laporan yang diterima di SPKT Polres; dan d. Kapolsek/Wakapolsek untuk laporan yang diterima di SPKT Polsek.

(5) Laporan Polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan ke kesatuan yang lebih rendah atau sebaliknya dapat ditarik ke kesatuan lebih tinggi.

Pasal 15

Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi: a. penyelidikan;

b. pengiriman SPDP; c. upaya paksa; d. pemeriksaan; e. gelar perkara;

f. penyelesaian berkas perkara;

g. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum; h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan i. penghentian Penyidikan.


(40)

B. Proses Penegakan Hukum oleh Polri

Perubahan sosial mendatangkan tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi oleh polisi, kedudukan polisi di tengah-tengah perubahan masyarakat yang sedang terjadi sekarang ini menjadikan polisi harus dapat berlaku dan bersikap dengan benar dan menurut hukum. Apalagi dalam melaksanakan penegakan hukum, polisi selalu terkait dengan criminal justice system (Sistem peradilan pidana) yang berlaku di Indonesia, dan di negara kita unsur dari system peradilan pidana ini terdiri dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Ketiga unsur ini harus bertindak berdasarkan hukum dan masing-masing memiliki tugas yang berbeda, sehingga harus selalu terdapat komunikasi antar unsur tersebut. Merupakan suatu badan yang ditugasi untuk mewujudkan ancaman sangsi pidana menjadi kenyataan. Tetapi yang menjadi persoalan yang sangat berat adalah bahwa disini posisinya sebagai aparat keamanan dan ketertiban yang bersifat mempertahankan status quo menjadi sangat dominan, tetapi pada waktu politik suatu bangsa mulai mengakomodasi partisipasi masyarakat lebih luas dan lebih besar, maka posisi polisi pun menjadi sangat dilematis, karena dia juga harus dapat bersikap sebagai protagonis, yang menurut Anton Tabah, bahwa posisi polisi berada pada titik persimpangan yang cukup gawat (crucial).19

Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat dielakkan oleh setiap anggota polisi, sehingga dalam menjalankan tugas dilapangan polisi selalu dituntut untuk dapat bertugas dan bertindak professional. Telah banyak upaya yang dilakukan Polri untuk meningkatkan profesionalismenya, yaitu salah satunya adalah peningkatan

19

Anton Tabah, Polisi Budaya dan Politik (Renungan Diri, Usia Setengah Abad), C.V. Sahabat, Jawa Tengah, 1996, hlm. 27.


(41)

sumber daya manusianya (SDM), walaupun memang sampai sekarang masih dirasa sangat kurang.

Berdasarkan tugas pokoknya sebagai penegak hukum dan pembina Kamtibmas, maka penjabarannya dilapangan, tugas pokok tersebut dibagi dalam 3 fungsi, yaitu Bimbingan Masyarakat, Preventif dan Represif. Fungsi Binamitra merupakan upaya untuk menggugah (attention) dan menanamkan pengertian (understanding) pada masyarakat untuk melahirkan sikap penerimaan, sehingga sekedar sadar mau berperan serta dalam upaya pembinaan Kamtibmas dan ketaatan pada hukum. Fungsi Preventif adalah merupakan upaya pemeliharaan keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam dari gangguan ketertiban atau bencana. Termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan (search and Rescue/SAR). Fungsi Represif merupakan upaya penindakan dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan gangguan kamtibmas/kriminalitas.20

Pelaksanaan tugas penegakan hukum pidana, setiap anggota polisi diberikan wewenang yang merupakan pengejewantahan dari wewenang negara, yaitu kekuasaan memaksa bagi setiap orang untuk mentaati hukum yang berlaku, sehingga pada saat tugas tersebut dilaksanakan dilapangan sering timbul persepsi yang salah dari masyarakat tentang pelaksanaan wewenang tersebut., yaitu bahwa polisi sering dianggap melawan hukum dengan cara merampas kemerdekaan, melakukan kekerasan dan melanggar hak asasi seseorang (polisi sering dianggap memiliki kekuatan yang besar untuk menekan masyarakat/cold and distant representatives of authority) apalagi bahwa dalam melaksanakan tugasnya polisi

20


(42)

sering diperlengkapi dengan pentungan, borgol dan senjata api, dan hal ini diperkuat/didukung pula oleh Kongres ke-8 Perserikatan Bangsa-Bangsa di Havana, Kuba, yang mengesahkan prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum, yang diuraikan dalam ketentuan umumnya butir ke-2, yaitu:

“Pemerintah dan badan hukum akan mengembangkan sejumlah sarana seluas mungkin dan memperlengkapi para pejabat penegak hukum dengan berbagai jenis senjata dan amunisi yang akan memungkinkan penggunaan kekerasan dan senjata api yang berbeda-beda”. 21

Momo Kelana menyatakan bahwa kepolisian dilengkapi dengan senjata semata-mata karena sifat tuntutan tugasnya secara universal dan bukan karena dimasukkan ke dalam Angkatan Bersenjata. Oleh karena itu menurut Anton Tabah22 di satu pihak fungsi kepolisian merupakan pekerjaan kepolisian melambangkan sesuatu yang menakutkan, sehingga sering tugas polisi dilapangan selalu dihadapkan pada undang-undang Hak Asasi Manusia (UU HAM), dan Undang-Undang HAM sering ditafsirkan diperuntukkan bagi anggota polisi yang melaksanakan tugas untuk melindungi hak asasi orang yang telah dilanggar oleh orang lain (Pelaku Tindak pidana). Untuk meminimalisir kecurigaan masyarakat terhadap tugas polisi dilapangan, maka pelaksanaanya selalu harus didasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku. Aturan-aturan main dalam melaksanakan penegakan hukum pidana sudah penulis jabarkan diatas, dan merupakan

21

Untung S. Radjab, Kedudukan dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam

Sistem Ketata Negaraan Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Pajajaran, Bandung, 2002, hlm. 285.

22


(43)

pelaksanaan dan penjabaran dari Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No.8 Tahun 1981), dan apabila kita simak ternyata prosedur pelaksanaan tugas tersebut sangat ketat dan penuh dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang anggota polisi. Mengimbangi kewewenangan yang dimiliki oleh polisi dilapangan, maka dia dituntut memiliki tanggung jawab, baik secara organisatoris maupun secara pribadi/perorangan. Dari segi respresif, apabila telah terjadi suatu kejahatan atau gangguan kamtibmas, maka menjadi tanggung jawab polisi melakukan penindakan kepolisian dan harus mempertanggung jawabkannya, baik terhadap organisasi (atasan) maupun terhadap hukum.

Kesalahan dalam melakukan tindakan terutama apabila melakukan penyalahgunaan wewenang membawa konsekwensi pada anggota polisi dapat dijatuhi hukuman, baik hukuman tindakan disiplin, maupun hukuman pidana (berdasarkan Undang-undang kepolisian sanksi pidana bagi anggota polisi lebih berat dari pada orang sipil/masyarakat biasa). Dengan telah dikeluarkannya Undang-undang kepolisian yang baru (UU No. 2 Tahun 2002), maka sanksi bagi anggota polisi yang melakukan penyalahgunaan wewenang harus diadili dalam sistem peradilan umum, dan Undang-undang inipun didukung pula oleh Surat Kapolri Nomor B/968/III/2002/KK/Babinkum, tentang Arahan Yuridis berkaitan dengan berlakunya Peradilan Umum bagi Anggota Polri, sehingga tidak ada alas an bagi anggota polisi untuk lolos dari jeratan hukum, dan berlakunya peradilan umum ini adalah mulai tanggal 8 Januari 2002, atau juga undang-undang kepolisian ini dapat berlaku surut apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anggota polisi belum dilakukan penyidikan pada tanggal itu.


(44)

Berikut adalah pedoman penegakan hukum dalam bentuk operasi kepolisian berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 tentangh Manajemen Operasi Kepolisian:

Pasal 4

Pedoman dasar manajemen operasi kepolisian, meliputi: a. penetapan sasaran;

b. waktu operasi; c. penentuan CB; d. pelibatan kekuatan; e. dukungan anggaran; dan f. pengawasan dan pengendalian. Pasal 5

(1) Penetapan sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, merupakan kegiatan yang direncanakan berdasarkan perkiraan khusus (Kirsus) intelijen, selanjutnya ditetapkan sasaran atau objek yang akan dihadapi.

(2) Sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan melalui analisis bentuk sasaran, waktu, tempat dan aspek-aspek yang menyertainya, selanjutnya dipertajam dalam TO.

(3) TO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. orang;

b. benda atau barang; c. lokasi atau tempat; d. kegiatan;

e. perkara; dan

(4) TO sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. perkiraan keadaan khusus intelijen;

b. TO dapat dicapai dan dituntaskan selama operasi berlangsung; dan c. TO dapat diukur secara kuantitatif dan/atau kualitatif.

Pasal 6

(1) Waktu operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, merupakan jumlah hari yang ditetapkan dalam penyelenggaraan operasi kepolisian. (2) Penetapan lama waktu operasi kepolisian disesuaikan dengan bentuk, sasaran,

TO dan anggaran yang tersedia. Pasal 7

(1) Penentuan CB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, merupakan urutan tindakan yang dipilih dalam pelaksanaan operasi kepolisian dengan memperhatikan resiko kegagalan yang paling kecil.


(45)

(2) CB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. preemtif;

b. preventif; c. represif;

d. kuratif; dan/atau e. rehabilitasi.

(3) CB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digolongkan dalam bentuk: a. CB tehnis; dan

b. CB taktis.

(4) CB tehnis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan CB yang telah diatur dalam masing-masing Peraturan Fungsi Kepolisian.

(5) CB taktis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan CB dari Satgas yang bersifat taktis kepolisian terhadap TO yang ditangani dan penerapannya disesuaikan dengan situasi di lapangan.

Pasal 8

Pelibatan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d yang diorganisir dalam setiap operasi kepolisian, harus memperhatikan:

a. Sasaran atau TO; b. CB;

c. kemampuan personel; d. sarana dan prasarana; dan e. anggaran.

Pasal 9

(1) Dukungan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, merupakan anggaran yang mendukung kebutuhan operasi kepolisian.

(2) Anggaran penyelenggaraan operasi kepolisian sudah tersedia sebelum operasi dilaksanakan (cash on hand).

Pasal 10

Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f, merupakan bagian dari kegiatan manajemen operasi agar dinamika operasi kepolisian dapat terselenggara sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Pasal 11

Jenis operasi kepolisian, terdiri dari: a. operasi kepolisian terpusat; dan b. operasi kepolisian kewilayahan.


(46)

Pasal 12

(1) Operasi Kepolisian Terpusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a merupakan operasi kepolisian yang manajemen operasinya diselenggarakan oleh Mabes Polri.

(2) Operasi Kepolisian Terpusat meliputi operasi yang dilaksanakan oleh: a. Mabes Polri secara mandiri;

b. Mabes Polri yang melibatkan personel satuan kewilayahan (Satwil); dan c. Mabes Polri dan Satwil.

(3) Operasi Kepolisian Terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan operasi yang diselenggarakan oleh Mabes Polri tanpa melibatkan Satwil.

(4) Operasi Kepolisian Terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan operasi yang diselenggarakan dan dikendalikan oleh Mabes Polri dengan melibatkan personel dari Satwil sebagai anggota Satgas.

(5) Operasi Kepolisian Terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan operasi yang diselenggarakan oleh Mabes Polri dan Satwil, yang masing-masing melaksanakan fungsi manajemen dengan bentuk dan waktu operasi ditetapkan oleh Mabes Polri.

Pasal 13

(1) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b dilaksanakan pada tingkat:

a. Polda; dan b. Polres.

(2) Operasi Kepolisian Kewilayahan merupakan operasi kepolisian yang manajemen operasinya diselenggarakan oleh Polda dan Polres.

(3) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi operasi yang dilaksanakan oleh:

a. Polda secara mandiri;

b. Polda yang diback up Mabes Polri dan/atau melibatkan personel Polres; dan

c. Polda dan Polres.

(4) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan operasi yang diselenggarakan secara mandiri oleh Polda.

(5) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan operasi yang diselenggarakan dan dikendalikan oleh Polda dengan back up dari Mabes Polri dan/atau melibatkan personel Polres sebagai anggota Satgas.

(6) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan operasi kepolisian yang manajemen operasinya diselenggarakan oleh Polda dan Polres.

Pasal 14

(1) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b meliputi operasi yang dilaksanakan oleh:


(47)

a. Polres secara mandiri; dan b. Polres yang diback up Polda.

(2) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan operasi yang diselenggarakan secara mandiri oleh Polres.

(3) Operasi Kepolisian Kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan operasi yang diselenggarakan dan dikendalikan oleh Polres dengan back up dari Polda sebagai anggota Satgas.

Pasal 15

Sifat operasi kepolisian: a. terbuka; atau b. tertutup. Pasal 16

(1) Operasi Kepolisian Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a merupakan operasi kepolisian yang dapat dipublikasikan dan mengedepankan tindakan preemtif dan preventif.

(2) Operasi Kepolisian Tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b merupakan operasi kepolisian yang dapat dipublikasikan secara terbatas dengan mengedepankan tindakan intelijen dan/atau represif.

Pasal 17

(1) Bentuk operasi kepolisian, meliputi: a. operasi intelijen;

b. operasi pengamanan kegiatan; c. operasi pemeliharaan keamanan; d. operasi penegakan hukum;

e. operasi pemulihan keamanan; dan f. operasi kontinjensi.

(2) Operasi intelejen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri. Pasal 18

(1) Operasi pengamanan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b merupakan operasi kepolisian yang diselenggarakan oleh Polri berkaitan dengan kegiatan masyarakat dan/atau pemerintah yang berpotensi menimbulkan gangguan keamanan secara nyata dan dapat mengganggu/menghambat perekonomian dan/atau sistem pemerintahan. (2) Operasi pengamanan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan operasi kepolisian yang bersifat terbuka dengan mengedepankan polisi berseragam, diarahkan pada sasaran AG, penentuan TO secara kualitatif dan/atau kuantitatif, dengan CB preventif.


(48)

Pasal 19

(1) Operasi pemeliharaan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c merupakan operasi kepolisian yang kegiatannya mengedepankan tindakan pencegahan dan penangkalan, melalui kegiatan pembinaan masyarakat, simpatik, dalam rangka meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.

(2) Operasi pemeliharaan keamanan merupakan operasi kepolisian yang bersifat terbuka dengan mengedepankan polisi berseragam, diarahkan pada sasaran PG, AG, dan TO kualitatif dan/atau kuantitatif dengan CB preemtif, preventif, represif dan represif non yustisial (persuasif edukatif).

Pasal 20

(1) Operasi penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d merupakan operasi kepolisian yang dilaksanakan berkaitan dengan penanggulangan berbagai gangguan keamanan berupa kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara serta kejahatan yang berimplikasi kontinjensi.

(2) Operasi penegakan hukum merupakan operasi kepolisian yang bersifat tertutup dengan mengedepankan polisi tidak berseragam, diarahkan pada sasaran GN, TO kuantitatif, dengan CB represif (penegakan hukum).

Pasal 21

(1) Operasi pemulihan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e merupakan operasi kepolisian yang diselenggarakan untuk pemulihan situasi Kamtibmas yang terganggu akibat konflik sosial yang meluas, kejahatan yang berintensitas tinggi dan dapat mengganggu stabilitas Kamtibmas.

(2) Operasi pemulihan keamanan merupakan operasi kepolisian yang bersifat terbuka dengan mengedepankan polisi berseragam, diarahkan pada sasaran AG dan GN, TO kualitatif dan/atau kuantitatif dengan CB preventif dan represif (penegakan hukum).

Pasal 22

(1) Operasi kontinjensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f merupakan operasi kepolisian yang dilaksanakan untuk menangani kejadian/ peristiwa yang muncul secara mendadak, berkembang secara cepat dan meluas sehingga mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri.

(2) Operasi kontinjensi merupakan operasi kepolisian yang bersifat terbuka dan/atau tertutup, diarahkan pada sasaran AG, GN, TO kualitatif dan/atau kuantitatif dengan CB preventif, represif, kuratif dan rehabilitatif.


(49)

C. Aspek Hukum Tindak Pidana Pencurian

Kejahatan merupakan entitas yang selalu lekat dengan dinamika perkembangan peradaban umat manusia. Kejahatan yang disebut perilaku menyimpang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan, oleh karena itu upaya penanggulangan kejahatan sesungguhnya merupakan upaya yang terus menerus dan berkesinambungan. tidak ada yang bersifat final, hal ini dimaksudkan bahwa setiap upaya penanggulangan kejahatan tidak dapat menjanjikan dengan pasti bahwa kejahatan itu tidak akan terulang atau tidak akan memunculkan kejahatan baru. namun demikian, upaya itu tetap harus dilakukan untuk lebih menjamin perlindungan dan kesejahteraan manusia.

Semakin majunya peradaban manusia, sebagai implikasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul berbagai jenis kejahatan berdimensi baru, yang termasuk di dalamnya cyber crime. Sejalan dengan itu diperlukannya upaya penanggulangan untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat. dalam perspektif hukum, upaya ini direalisasikan dengan hukum pidana. Hukum pidana diharapkan mampu memenuhi cita ketertiban masyarakat.

Asas hukum mempunyai dua fungsi, fungsi dalam hukum dan fungsi dalam ilmu hukum. Asas dalam hukum mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim serta mempunyai pengaruh normatif yang mengikat para pihak, oleh karena itu hukum pidana dalam fungsi pengendalian masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penganggulangan kejahatan harus berorientasi kepada asas-asas tersebut.


(50)

Tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP, selain itu, diatur pula dalam Pasal 363 KUHP (pencurian dengan pemberatan), Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), Pasal 365 KUHP (pencurian yang disertai dengan kekerasan/ancaman kekerasan, Pasal 367 KUHP (pencurian di lingkungan keluarga).

Ketentuan tentang pencurian dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi:

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Unsur-unsur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut terdiri dari: 23

2. Mengambil barang artinya perbuatan mengambil barang, kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ketempat orang lain.

3. Barang yang diambil artinya merugikan kekayaan korban, maka barang yang harus diambil harus berharga, harga ini tidak selalu bersifat ekonomis.

4. Tujuan memiliki barangnya dengan melanggar hukum artinya tindak pidana pencurian dalam bentuknya yang pokok berupa perbuatan mengambil suatu benda yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain.

Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP diatas, terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif, yakni sebagai berikut:

23

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 1967, hlm. 15.


(51)

1. Unsur subjektif :

Menguasai benda tersebut secara melawan hukum 2. Unsur objektif :

a. Barang siapa

b. Mengambil atau wegnemen yaitu suatu perilaku yang membuat suatu benda berada dalam penguasaannya yang nyata, atau berada di bawah kekuasaannya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksudnya tentang apa yang ia inginkan dengan benda tersebut;

c. Sesuatu benda d. Yang sebagian atau

D. Pencurian dan Bentuk-Bentuk Pencurian

1. Pencurian dalam bentuk pokok

Pasal 362 KUHP terkait dengan pencurian merupakan suatu perbuatan yang baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat unsure-unsur sebagai berikut:24

a. Unsur- unsur obyektif 1) Unsur perbuatan mengambil

Dari adanya perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif atau perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan

24

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Cetakan Ketiga, Malang, 2004, hlm 5.


(52)

mengangkatnya lalu membawa dan memindahkan ketempat lain atau kedalam kekuasannya. Akan tetapi sebagaimana dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari jari sebagaimana tersebut diatas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasan benda itu kedalam kekuasannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut kedalam kekuasanannya secara nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk selesainya perbuatan pencurian secara sempurna.25

2) Unsur benda

Pada mulanya benda- benda yang mejadi obyek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie Van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP ( Kitab Undang-Undang hukum pidana) adalah terbatas pada benda benda bergerak dan benda-benda berwujud. Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi obyek pencurian apabila terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas atau dilepas. Apabila petindak terlebih dulu menebang pohon atau melepas daun pintu maka disamping melakukan pencurian ia juga telah melakukan kejahatan perusakan benda (Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).26

25

Ibid, hal 6-7

26


(53)

Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan wujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan. Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu lawan pengertian dari benda bergerak. Akan tetapi dalam praktik pengertian benda yang dapat menjadi obyek pencurian sebagaimana diterangkan diatas tidak sepenuhnya dianut, kadang- kadang ditafsirkan sedemikian luasnya sehingga sudah jauh menyimpang, sebagai contoh kasus-kasus sebagai berikut:

a) Orang yang perbuatannya menyadap aliran listrik,yang dikulifisir sebagai pencurian listrik. Jelas disini energi listrik telah tetap menjadi obyek pencurian.

b) Orang yang mendapatkan gas yang diusakan pemerintah kotamadya yang bertentangan dengan syarat-syarat penyerahan gas melalui suatu meteran, perbuatan tersebut dianggap sebagai pencurian gas, tanpa memperhatikan siapa yang telah melakukan perusakan meterannya.27

Oleh sebab itu pengertian benda tersebut tidak lagi sepenuhnya pada keterangan MvT sebagai benda bergerak dan berwujud, akan tetapi pada benda yang bernilai atau berharga, seperi nilai ekonomis, estetika, historis. Terutama nilai ekonomisnya. Syarat bernilainya suatu benda ini tidak harus bagi semua orang, tetapi juga bagi orang tertentu, dalam hal ini adalah bagi pemiliknya.28

2. Pencurian yang diperberat

Pencurian dalam bentuk diperberat (gequalificeerdedieftstal) adalah bentuk pencurian sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 362 (bentuk pokoknya)

27

Ibid, hal 10

28


(54)

ditambah unsur-unsur lain, baik yang obyektif maupun subyektif, yang bersifat memeberatkan pencurian itu, dan oleh karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pencurian bentuk pokoknya. Pencurian dalam bentuk yang diperberat diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Bentuk pencurian yang diperberat pertama ialah:

a. Pasal 363 KUHP merumuskan:

1) Diancam dengan pidana paling lama 7 tahun : a) Pencurian ternak;

b) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang.

c) Pencurian pada waktu malam dalam suatu tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada tempat kediamannya, yang dilakukan oleh orang yang disini tidak diketahui atau dikehendaki oleh yang berhak.

d) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, dan,

e) Pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu.

2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal tersebut dalam butir 4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun.


(1)

55

D. Analisis Data

Data yang diperoleh atau yang dikumpulkan dalam penelitian ini baik data primer maupun data sekunder merupakan data yang sifatnya kualitatif maka teknik analisis data yang digunakanpun adalah analisis kualitatif, dimana proses pengolahan datanya yakni setelah data tersebut telah terkumpul dan dianggap telah cukup kemudian data tersebut diolah dan dianalisis secara deduktif yaitu dengan berlandaskan kepada dasar-dasar pengetahuan umum kemudian meneliti persoalan yang bersifat khusus dari adanya analisis inilah kemudian ditarik suatu kesimpulan dan secara induktif dimana data yang bersifat khusus serta kesimpulan yang bersifat khusus.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Secara umum pelaksanaan kegiatan tindakan kepolisian Polda Lampung melalui operasi mandiri kepolisian di Provinsi Lampung yang di beri nama “Sikat Krakatau” cukup efektif dalam arti selama pelaksanaan operasi, jumlah tindak pidana curat dan curas dari tahun 2010 – 2012 menurun cukup signifikan dan hasil penyelesaian perkara waktunya lebih singkat khususnya untuk curat dan curas dari 20 sampai dengan 120 hari dalam kegiatan rutin kepolisian menjadi 15 sampai dengan 60 hari dalam pelaksanaan operasi dan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat sehingga masyarakat melaporkan peristiwa pidana curat dan curas kepada polisi untuk ditindak lanjuti.

2. Pelaksanaan tugas operasi kewilayahan kepolisian di Wilayah Polda Lampung telah dilaksanakan secara optimal sesuai dengan capaian hasil yang ditargetkan. Namun dalam pelaksanaan tindakan kepolisian masih mengalami faktor-faktor penghambat sebagai berikut:

a. Faktor Hukumnya, yaitu peraturan perundang-undangan sendiri dengan perlu diganti atau direvisi seperti kebijakan atau keputusan Kepala Kepolisian Daerah Lampung terkait dengan lama waktu pelaksanaan


(3)

91

operasi sikat krakatau. Sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa: “Penetapan lama waktu operasi kepolisian disesuaikan dengan bentuk, sasaran TO dan anggaran yang tersedia”. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan operasi sikat Krakatau, maka waktu yang ditetapkan oleh Kepolisian Daerah Lampung terlalu singkat, sehingga berdampak dengan pemenuhan terhadap target operasi kurang maksimal.

b. Aparat Penegak Hukumnya yang kurang professional dengan membocorkan target operasi kepada pelaku sehingga pelaku dapat dengan mudah mengetahui informasi dan segera melarikan diri.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas yang minim sehingga menyebabkan kurang cepat dalam mendeteksi, mengejad pelaku dan menemukan barang buktinya.

d. Faktor Masyarakat yang kurang kooperatif dan sangat sulit untuk mau dijadikan saksi dengan alasan takut dan sebagainya.

e. Budaya di Masyarakat yang masih tertutup sehingga membuat polisi kesulitan untuk menangkap pelaku.

B. Saran

1. Kepada Pimpinan Kepolisian (Kapolda Lampung) perlu ditambahkan alokasi waktu pelaksanaan operasi sikat dari 20 hari menjadi 30 hari dan dilaksanakan untuk semua jajaran dalam waktu yang serentak serta pelaksanaan operasi yang selama ini sejak tahun 2011 dan 2012 hanya 2 kali dalam setahun ditingkatkan menjadi 3 kali dalam setahun.


(4)

92

2. Dalam rangka peningkatan pancapaian target operasi kepolisian kewilayahan hendaknya kesempatan untuk mengikuti pendidikan kejuruan/pelatihan lebih diprioritaskan kepada anggota kepolisian sebagai pendukung jalannya operasi kepolisian serta tambahan dukungan sarana dan prasarana seperti dana, kendaraan, sarana komunikasi dan komputerisasi sebagai pendukung kinerja kepolisian khusus terkait dengan tindakan kepolisian melalui operasi kepolisian kewilayahan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Literatur

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Cetakan Ketiga, Bayumedia, Malang, 2004.

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet ke-8, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Muladi. Menjamin Kepastian Ketertiban Penegakan dan Pelindungan Hukum dalam era Globalisasi, Jurnal Keadilan, 2001.

P. Siagian, Sondang, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 1967.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

S. Radjab, Untung, Kedudukan dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Sistem Ketata Negaraan Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Pajajaran, Bandung, 2002.

Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, 1996. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1988.

Tabah, Anton, Polisi Budaya dan Politik (Renungan Diri, Usia Setengah Abad), C.V. Sahabat, Jawa Tengah, 1996.

M. Solly Lubis, “Serba-serbi Politik dan Hukum”, Mandar Maju, Bandung, 1989. Wignjosoebroto, Soetandyo “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika


(6)

Mertokusumo, Sudikno “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yoyakarta, 1993.

E. Utrecht, “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962.

Rahardjo, Satjipto “Ilmu Hukum”, Alumni, Bandung, 2000.

2. Perundang-Undangan Undang Undang Dasar 1945;

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP);

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Sistem Operasional Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 tentang Manajemen Operasi Kepolisian.

3. Website

http://lampost.co/berita/polda-lampung-petakan-109-titik-rawan-kriminalitas. Nurul Hakim, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan”, www.badilag.net.


Dokumen yang terkait

Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah Hukum Polres Kabupaten Labuhan Batu)

2 113 145

Analisis Normatif Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca Di Museum.

2 53 72

Peranan Polisi Dalam Menanggulangan Tindak Pidana Pencurian Kelapa Sawit (Studi Pada Polsek Sosa Kabupaten Padang Lawas)

14 116 89

ANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

0 5 15

KEBIJAKAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI WILAYAH HUKUM POLRES TULANG BAWANG

1 30 81

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG (Studi di polresta Bandar Lampung)

0 12 70

PERAN TIM PENANGGULANGAN KEJAHATAN DENGAN KEKERASAN KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNG DALAM MENGATASI TINDAK PIDANA PENCURIAN SEPEDA MOTOR DENGAN KEKERASAN (Studi pada Kepolisian Daerah Lampung)

0 15 50

PERAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN KEKERASAN YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA (STUDI PADA POLDA LAMPUNG)

2 35 67

LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN Langkah-Langkah Penanganan Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Kasus Di Polres Karanganyar).

0 4 17

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pencurian Dengan Kekerasan Sebagai Bagian dari Kejahatan Kekerasan - Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Di Polsek Bagan Sinembah Riau

1 1 29