Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah Hukum Polres Kabupaten Labuhan Batu)

(1)

PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU TERHADAP

TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

TESIS

OLEH

ROBERTUS A. PANDIANGAN 097005114 / HK

[

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU TERHADAP

TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ROBERTUS A. PANDIANGAN 097005114 / HK

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(LEMBAR PENGESAHAN)

JUDUL TESIS : PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU

TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

NAMA : ROBERTUS A. PANDIANGAN

N.I.M. : 097005114

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Ketua

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.

Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

Anggota Anggota

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH.

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum


(4)

ABSTRAK

Salah satu unsur penting dalam menciptakan keamanan dan ketertiban untuk memberikan perlindungan, pelayanan, dan pengayoman kepada masyarakat adalah Kepolisian. Wilayah hukum Polres Labuhan Batu meliputi sekaligus tiga kabupaten yakni: Kabupaten Labuhan Batu Induk/Raya, Kabuapten Labuhan Batu Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Kondisi demikian berdampak pada peranan Polres Labuhan Batu khususnya dalam menangani tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang rentan terjadi di wilayah hukum Polres Labuhan Batu.

Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan menurut hukum pidana? kedua, apakah faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Polres Labuhan Batu? dan ketiga, bagaimanakah Peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer melalui studi dokumen di kantor Polresta Labuhan Batu dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Kesimpulan diperoleh: pertama, pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan (curas) yang diatur dalam Pasal 365 KUH Pidana, ditegaskan dalam bentuk khusus yakni pencurian dengan kekerasan atau perampokan. Kedua, faktor-faktor penyebab curas di wilayah hukum Polres Labuhan Batu antara lain, kemampuan personil yang tidak sebanding dengan luas wilayah hukum, faktor hasil-hasil kebun kelapa sawit dan karet, faktor kemiskinan, faktor strategis letak geografis ketiga daerah kabupaten. Ketiga, peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan prioritas terhadap penanganan curas dan kejahatan lainnya yang tergolong sebagai perkara yang menonjol.

Saran yang diharapkan: pertama, agar penjatuhan sanksi terhadap putusan terhadap pelaku curas yang dilakukan secara bersama-sama dikenakan Pasal 365 KUH Pidana dan di-juntokan dengan Pasal 56 KUH Pidana. Kedua, agar pihak terkait secara bersama-sama untuk berupaya meminimalisir faktor-faktor kondusif curas di wilayah Polres Labuhan Batu. Ketiga, agar peranan Polres Labuhan Batu lebih ditingkatkan skala prioritasnya terhadap kejahatan-kejahatan yang menonjol di wilayah hukumnya khususnya curas.

Kata Kunci: Peranan Kepolisian, Polres Labuhan Batu, dan Pencurian Dengan Kekerasan.


(5)

ABSTRACT

One of the important elements in creating security and order to provide protection and service for the community is the Police. The jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police includes three districts such as the Districts of Labuhan Batu Induk/Raya, Labuhan Batu Utara, and Labuhan Batu Selatan. This condition brings an impact to the role of Labuhan Batu Resort Police, especially in handling the violent teft offences which are prone to occur in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police.

The problem studied in this study was: first, how the violent teft offences is regulated according to criminal law; second, the factors that can arise the incident of violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction.

The data for this analytical descriptive normative juridical study were the primary data obtained through documentation study conducted at the office of Labuhan Batu Resort Police and the secondary data in the forms of primary and secondary legal materials obtained through library research.

The conclusion drawn from the result of this study was: first, the regulation on the violent theft offences is regulated in Article 365 of the Indonesian Criminal Codes which is especially emphasized as the violent theft offences or robbery; second, the factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police are the yields of oil palm and rubber plantation, poverty, and the strategic geographical position of the three districts; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction was implemented based on the existing legal provisions by prioritizing the handling of the violent theft offences and other crimes classified as the prominent cases.

It is suggested that, first, the sanction decided for the actors of the joint violent theft offences must based on Article 365 juncto Article 56 of the Indonesian Criminal Codes; second, the related parties should jointly do their best to minimize the condusive factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the scale of priority of the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the prominent crimes, especially the violent theft offences, in its jurisdiction should be improved.


(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan, atas berkat dan karunia, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian tentang, ”Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah Hukum Polres Kabupaten Labuhan Batu)”.

Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) atas kesempatan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H., telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan selalu mengingatkan tesis sampai pada akhirnya meja hijau.

4. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide serta saran yang konsruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Penghormatan saya atas apresiasi yang sangat luar biasa kepada Dr.Madiasa Ablisar, SH, MS., dan Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku penguji tesis penulis.


(7)

6. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh teman-teman Mahasiswa yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya.

7. Terimakasih juga kepada orang tua ku yang selalu memberi dukungan dalam setiap waktu sehingga penulis dapat mencapai cita-cita.

8. Terima kasih kepada Istriku yang tercinta dr. Imelda Damayanti Simbolon dengan doa dan dukungannya yang selalu memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Magister Hukum.

9. Terima kasih kepada anak-anakku: Nathannael Goegorius Hamonangan Pandiangan, Stella Amara Viona Pandiangan yang memberikan inspirasi dan semangat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Magister Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Demikianlah sebagai kata pengantar dalam penulisan ini, mudah-mudahan dalam penelitian ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak dan menambah wawasan ilmu pengetahuan. Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan substansi dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang.

Medan, … Januari 2013 Penulis


(8)

CURRICULUM VITAE DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

N a m a : ROBERTUS ALEXANDER PANDIANGAN SIK .

Tempat/Tgl Lahir : Banyuwangi, 9 Agustus 1975

Alamat Rumah : Jln. Setia Budi / Mesjid No.22 Tjg Rejo Medan Sumatera Utara.

Telepon : (061) 8226819

Pekerjaan : Kepolisian Replublik Indonesia

Agama : Katholik

Jenis kelamin : Laki-Laki

Hobby : Membaca dan Olah Raga.

Status Kawin : Menikah

Isteri : dr Imelda Damayanti Simbolon

Anak-anak : Nathanael Gregorius Hamonangan pandiangan (L), Stella Amara Viona Pandiangan (P).

No

PENDIDIKAN FORMAL

Jenjang Pendidikan/Jurusan Tahun Selesai

1. SD RK Karya Dharma 1988

2. SMP Negeri I Medan 1991

3. SMA Kristen Immanuel Medan 1994

4. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian 2006


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 3 Tabel 2 : Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Resor Labuhan Batu

Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 4 Tabel 3 : JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Sumatera Utara Tahun 2009

s/d Tahun 2011 ... 4 Tabel 4 : JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Labuhan Batu Tahun 2009 s/d

Tahun 2011... 5 Tabel 5 : Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Sumatera

Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 5 Tabel 6 : Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Labuhan Batu

Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 6 Tabel 7 : Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polda Sumut

Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 6 Tabel 8 : Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polres Labuhan

Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 6 Tabel 9 : Kegiatan Sat Intelkam Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 112 Tabel 10 : GKTM Bulan Januari-Maret Tahun 2009 s/d Tahun 2011 ... 113 Tabel 11 : Kasus Menonjol (Crime Index) Bulan Januari s/d Maret Tahun 2011 113 Tabel 12 : Kasus Narkotika Tahun Tahun 2009 s/d 2011 ... 115 Tabel 13 : Laka Lantas Bulan Januari-Maret 2011 ... 116 Tabel 14 : Kegiatan Rutin Polres Labuhan Batu yang Ditingkatkan Periode

Tanggal 1-19 April 2011 ... 118 Tabel 15 : Hasil yang Dicapai Periode Tanggal 1-19 April 2011 ... 119


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 16

1. Kerangka Teori... 16

2. Landasan Konsepsional ... 23

G. Metode Penelitian... 24

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 24

2. Sumber Data ... 25

3. Teknik Pengumpulan Data ... 26


(11)

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN

KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA ... 28

A. Tinjauan Terhadap Istilah Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana ... 28

B. Tindak Pidana Pencurian yang Disertai Dengan Kekerasan ... 39

C. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 47

BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG DAPAT MENIMBULKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI RANTAU PARAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU ... 64

A. Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu ... 64

B. Faktor Wilayah Hukum dan Kemampuan Kepolisian Resor Labuhan Batu ... 70

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan di Labuhan Batu ... 72

1. Faktor dari Hasil Pendapatan Penduduk ... 76

2. Faktor Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Penjagaan dan Pengawalan dari Aparat Kepolisian ... 81

3. Faktor Jalan Lintas Sumatera yang Strategis ... 83

BAB IV : PERANAN KEPOLISIAN RESOR LABUHAN BATU TERHADAP PENCURIAN DENGAN KEKERASAN ... 85

A. Peranan Kepolisian Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian... 85

B. Peranan Polres Labuhan Batu Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ... 96

C. Upaya-Upaya yang Telah Dilakukan Polres Labuhan Batu ... 105

1. Tindakan Preemtif ... 105

2. Tindakan Preventif ... 106


(12)

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

A. Kesimpulan ... 128

B. Saran ... 130


(13)

ABSTRAK

Salah satu unsur penting dalam menciptakan keamanan dan ketertiban untuk memberikan perlindungan, pelayanan, dan pengayoman kepada masyarakat adalah Kepolisian. Wilayah hukum Polres Labuhan Batu meliputi sekaligus tiga kabupaten yakni: Kabupaten Labuhan Batu Induk/Raya, Kabuapten Labuhan Batu Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Kondisi demikian berdampak pada peranan Polres Labuhan Batu khususnya dalam menangani tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang rentan terjadi di wilayah hukum Polres Labuhan Batu.

Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan menurut hukum pidana? kedua, apakah faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Polres Labuhan Batu? dan ketiga, bagaimanakah Peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer melalui studi dokumen di kantor Polresta Labuhan Batu dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Kesimpulan diperoleh: pertama, pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan (curas) yang diatur dalam Pasal 365 KUH Pidana, ditegaskan dalam bentuk khusus yakni pencurian dengan kekerasan atau perampokan. Kedua, faktor-faktor penyebab curas di wilayah hukum Polres Labuhan Batu antara lain, kemampuan personil yang tidak sebanding dengan luas wilayah hukum, faktor hasil-hasil kebun kelapa sawit dan karet, faktor kemiskinan, faktor strategis letak geografis ketiga daerah kabupaten. Ketiga, peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan prioritas terhadap penanganan curas dan kejahatan lainnya yang tergolong sebagai perkara yang menonjol.

Saran yang diharapkan: pertama, agar penjatuhan sanksi terhadap putusan terhadap pelaku curas yang dilakukan secara bersama-sama dikenakan Pasal 365 KUH Pidana dan di-juntokan dengan Pasal 56 KUH Pidana. Kedua, agar pihak terkait secara bersama-sama untuk berupaya meminimalisir faktor-faktor kondusif curas di wilayah Polres Labuhan Batu. Ketiga, agar peranan Polres Labuhan Batu lebih ditingkatkan skala prioritasnya terhadap kejahatan-kejahatan yang menonjol di wilayah hukumnya khususnya curas.

Kata Kunci: Peranan Kepolisian, Polres Labuhan Batu, dan Pencurian Dengan Kekerasan.


(14)

ABSTRACT

One of the important elements in creating security and order to provide protection and service for the community is the Police. The jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police includes three districts such as the Districts of Labuhan Batu Induk/Raya, Labuhan Batu Utara, and Labuhan Batu Selatan. This condition brings an impact to the role of Labuhan Batu Resort Police, especially in handling the violent teft offences which are prone to occur in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police.

The problem studied in this study was: first, how the violent teft offences is regulated according to criminal law; second, the factors that can arise the incident of violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction.

The data for this analytical descriptive normative juridical study were the primary data obtained through documentation study conducted at the office of Labuhan Batu Resort Police and the secondary data in the forms of primary and secondary legal materials obtained through library research.

The conclusion drawn from the result of this study was: first, the regulation on the violent theft offences is regulated in Article 365 of the Indonesian Criminal Codes which is especially emphasized as the violent theft offences or robbery; second, the factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police are the yields of oil palm and rubber plantation, poverty, and the strategic geographical position of the three districts; and third, the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the violent theft offences in its jurisdiction was implemented based on the existing legal provisions by prioritizing the handling of the violent theft offences and other crimes classified as the prominent cases.

It is suggested that, first, the sanction decided for the actors of the joint violent theft offences must based on Article 365 juncto Article 56 of the Indonesian Criminal Codes; second, the related parties should jointly do their best to minimize the condusive factors causing the violent theft offences in the jurisdiction of Labuhan Batu Resort Police; and third, the scale of priority of the role of Labuhan Batu Resort Police in handling the prominent crimes, especially the violent theft offences, in its jurisdiction should be improved.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fungsi hukum sebagai sarana pengendali sosial tidak dapat diandalkan sepenuhnya pada kemampuan peraturan perundang-undangan hukum formal.1 Bertolak dari persoalan ini, Satjipto Rahardjo, meragukan kemampuan nilai-nilai hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat Indonesia sekarang yang sudah jauh lebih rumit daripada sediakala.2

Hal tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya kejahatan dan meningkatnya pengangguran yang berdampak terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah cenderung untuk tidak mempedulikan norma, nilai atau kaidah hukum yang berlaku. Mengamati kondisi ini untuk memenuhi kebutuhan manusia ada kecenderungan menggunakan segala cara agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, baik dengan cara melanggar norma hukum maupun dengan tidak melanggar norma hukum.

Diperparah dengan terjadinya krisis moneter yang berpengaruh besar terhadap masyarakat sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami krisis moral, sulitnya ruang untuk kesempatan kerja, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana-mana, pengangguran, dan lain-lain.

1

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama,

2005), hal. 8.

2

Satjipto Rahardjo, “Pemanfaatan Ilmu Sosial Untuk Pembangunan Ilmu Hukum, Artikel,


(16)

Salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah pencurian. Sulitnya perekonomian memungkinkan orang untuk mencari jalan pintas dengan mencuri. Pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik menunjukkan fluktuasi kejahatan pencurian dengan berbagai jenisnya dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang tidak tercukupi.

Para pelaku pencurian (pencuri) dapat melakukan aksinya dengan berbagai cara atau modus operandi (cara pelaksanaan kejahatan) yang berbeda-beda antara kejahatan satu dengan lainnya apalagi didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana untuk melakukan kejahatan dewasa ini, modus operandi para penjahat mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Cara-cara yang dilakukan dapat dikelompokkan misalnya pencurian biasa, pencurian dengan pemberatan, pencurian ringan, pencurian dalam keluarga, pencurian dengan kekerasan, dan lain-lain.

Secara normatif pengaturan tindak pidana pencurian diatur dalam KUH Pidana Buku II Bab XXII Pasal 362 sampai dengan Pasal 367. Batasan pengertian tentang pencurian diatur dalam Pasal 362, tentang jenis pencurian dan pencurian dengan pemberatan diatur dalam Pasal 363, tentang pencurian ringan diatur dalam Pasal 364, tentang pencurian dengan kekerasan diatur dalam Pasal 365, dan Pasal 367 mengatur tentang pencurian dalam keluarga. Salah satu yang memberatkan pelaku tindak pidana adalah pencurian yang disertai dengan kekerasan.

Kekerasan yang sering terjadi misalnya dilakukan atau disertai dengan adanya orang lain luka berat, kematian, pencurian itu dilakukan di malam hari, pencurian itu dilakukan oleh dua orang secara bersama-sama atau lebih dengan cara membongkar


(17)

melumpuhkan, memanjat, menodong korban menggunakan senjata api, menggunakan kunci palsu, perintah palsu, dan lain-lain dengan tujuan untuk memudahkan melakukan pencurian.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah faktor ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya pengangguran, kurangnya kesadaran hukum, mengendurnya ikatan keluarga dan sosial masyarakat.3

Data perbandingan Jumlah Tindak Pidana (JTP) Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) dengan Kepolisian Resor (Polres) Labuhan Batu:

Tidak satupun norma yang membolehkan pencurian. Pencurian dengan kekerasan bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pencurian dengan kekerasan merupakan salah satu penyakit masyarakat yang meregenerasi dan merugikan orang lain.

Tabel 1

Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun JTP Polda Sumut

1. 2009 35.336

2. 2010 41.806

3. 2011 46.907

Sumber: Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2011

3

http://beritasore.com/2012/01/03/pengangguran-picu-kejahatan-di-medan/, diakses tanggal 12 Januari 2012.


(18)

Tabel 2

Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun JTP Polres Labuhan Batu

1. 2009 3.691

2. 2010 3.885

3. 2011 3.699

Sumber: Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2011

Data Jumlah Tindak Pidana (JTP) tergolong sebagai kasus yang menonjol

Crime Indeks (CI) untuk Tahun 2009, 2010 dan Tahun 2011 dari Polda Sumut

disajikan berikut ini:

Tabel 3

JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Sumatera Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No Kasus Jumlah Tindak Pidana (JTP) Tahun

2009 2010 2011

1 Curas 946 1.003 941

2 Curat 6.153 7.154 7.891

3 Curanmor 3.046 4.917 6.973

4 Anirat 3.558 3.970 3.763

5 Perjudian 2.890 4.068 4.115

6 Peras / Ancam 588 540 586

7 Narkoba 2.704 2.636 2.479

8 Penyelundupan 25 18 10

9 Illegal Loging 181 150 106

10 Korupsi 20 11 16

Jumlah 20.111 24.467 26.880

Sumber: Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2011

Sedangkan data Jumlah Tindak Pidana (JTP) tergolong kasus yang menonjol

Crime Indeks (CI) untuk Tahun 2009, 2010 dan Tahun 2011 di Wilayah Hukum


(19)

Tabel 4

JTP yang Menonjol (Crime Indeks) di Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No Kasus

Jumlah Tindak Pidana (jtp) Tahun

2009 2010 2011

1 Curas 62 101 67

2 Curat 857 640 594

3 Curanmor 263 331 323

4 Anirat 41 135 52

5 Perjudian 101 395 480

6 Peras / Ancam 82 60 68

7 Narkoba 127 124 163

8 Penyelundupan - - -

9 Illegal Loging 9 8 19

10 Korupsi - - 2

Jumlah 1.542 1794 1768

Sumber: Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2011

Khusus untuk jumlah kasus pencurian dengan kekerasan (curas) selama 3 (tiga) tahun terakhir di Polda Sumut mencapai:

Tabel 5

Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Sumatera Utara Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun Jumlah Curas di Sumut

1. 2009 946 kasus

2. 2010 1.003 kasus

3. 2011 941 kasus

Sumber: Kepolisian Daerah Sumatera Utara Tahun 2011

Sedangkan jumlah kasus pencurian dengan kekerasan (curas) selama 3 (tiga) tahun terakhir di Polres Labuhan Batu mencapai:


(20)

Tabel 6

Jumlah Kasus Pencurian dengan Kekerasan (Curas) di Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

No. Tahun JTP Curas di Labuhan Batu

1. 2009 62 kasus

2. 2010 101 kasus

3. 2011 67 kasus

Sumber: Kepolisian Resor Labuhan Batu Tahun 2011

Berdasarkan data tersebut apabila dipersentasikan jumlah pencurian dengan kekerasan (curas) Polda Sumut dengan Polres Labuhan Batu, maka:

Tabel 7

Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polda Sumut Tahun 2009 s/d Tahun 2011

Tahun JTP

Trend Perbandingan Tahun 2010 dengan 2009 Trend Perbandingan Tahun 2011 dengan 2010

2009 946

6,05 % - 6,18 %

2010 1.003

2011 941

Tabel 8

Persentase Jumlah Pencurian dengan Kekerasan di Polres Labuhan Batu Tahun 2009 s/d Tahun 2011

Tahun JTP

Trend Perbandingan Tahun 2010 dengan 2009 Trend Perbandingan Tahun 2011 dengan 2010

2009 62

62,90 % - 33,66 %

2010 101

2011 67

Berdasarkan data yang diperoleh dari Polda Sumut untuk tahun 2009, JTP yang terjadi di Wilayah Hukum Polda Sumut mencapai 35.336 kasus meliputi: tindak


(21)

pidana terhadap keamanan negara, melawan aparat, pemlasuan merek, korupsi, penyuapan, penghinaan, penculikan, penipuan, pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan (curas), penggelapan, penadahan, illegal logging, narkoba, dan lain-lain.

Penyelesaian Tindak Pidana (PTP) dari jumlah di atas terpenuhi hanya 21.071 kasus. Dari jumlah data tersebut, perkara yang menonjol (crime index/CI) adalah: pencurian

dengan kekerasan (946 kasus), pencurian dengan pemberatan (6.153 kasus), pencurian kendaraan bermotor (3.046), kasus lainnya: judi, narkoba, penyelundupan,

illegal logging, dan tindak pidana korupsi.4

Dari jumlah data tahun 2009 Polda Sumut di atas, termasuk di dalamnya jumlah data kriminalitas yang ada di wilyah hukum Polres Labuhan Batu atau JTP 3691 kasus. Jumlah tindak pidana yang sudah selesai proses hukumnya (PTP) berjumlah 1.594 kasus. Perkara yang menonjol (CI) adalah: pencurian dengan kekerasan (62 kasus), pencurian dengan pemberatan (857 kasus), pencurian kendaraan bermotor (263), kasus lainnya: judi, narkoba, penyelundupan, illegal

logging, dan tindak pidana korupsi.

5

Untuk tahun 2010 Jumlah Tindak Pidana (JTP) di Polda Sumut mencapai 41.806 kasus sementara untuk PTP sekitar 20.370 kasus. Dari jumlah data tersebut, perkara yang menonjol diantaranya: pencurian dengan kekerasan (1.003 kasus), pencurian dengan pemberatan (7.154 kasus), pencurian kendaraan bermotor (4.917), kasus lainnya: judi, narkoba, penyelundupan, illegal logging, tindak pidana korupsi

4

Data dari Humas Polda Sumut dalam Tiga Tahun Terakhir. Diterangkan JTP adalah: Jumlah Tindak Pidana, PTP: Penyelesaian Tindak Pidana, CC: Crime Clearing, CT: Crime Total.

5Ibid


(22)

dan lain-lain.6 Dari jumlah tahun 2010 Polda Sumut tersebut, CT untuk Polres Labuhan Batu mencapai 260 kasus sedangkan CC 136 kasus. Perkara yang menonjol (CI) adalah: pencurian dengan kekerasan (101 kasus), pencurian dengan pemberatan (684 kasus), pencurian kendaraan bermotor (331), kasus lainnya: judi, narkoba, penyelundupan, illegal logging, dan tindak pidana korupsi.7

Berdasarkan JTP di atas jika dibandingkan antara JTP pada tahun 2009 dengan 2010, baik di wilayah hukum Polda Sumut maupun di wilayah hukum Polres Labuhan Batu, terjadi peningkatan JTP secara signifikan. Sementara data penyelesaiannya (PTP) hanya menunjukkan separuhnya dari data JTP. Khusus tahun 2009 untuk pencurian dengan kekerasan (curas) di Polda Sumut, JTP mencapai 946 kasus dan untuk di Polres Labuhan Batu JTP 62 kasus. Sedangkan pada tahun 2010, JTP pencurian dengan kekerasan di Polda Sumut 1.003 kasus sementara JTP di Polres Labuhan 101 kasus. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2010 JTP pencurian dengan kekerasan baik di wilayah hukum Polda Sumut maupun di Polres Labuhan Batu meningkat secara tajam sampai 4 kali dari jumlah sebelumnya.

Sebagaimana menurut data Polda Sumut pada tahun 2009 yang menunjukkan JTP pencurian dengan kekerasan untuk wilayah hukum Polres Labuhan Batu mencapai 21 kasus di Polres Labuhan Batu, namun menurut data Polres Labuhan Batu data tersebut mencapai 62 kasus (JTP) sedangkan yang sudah diselesaikan 18

6Ibid

.

7Ibid


(23)

kasus.8 Untuk tahun 2010, JTP pencurian dengan kekerasan di Polres Labuhan Batu meningkat dari 62 kasus menjadi 101 kasus. Data tersebut sesuai dengan data Polda Sumut pada tahun 2010.9 JTP 101 kasus pencurian dengan kekerasan tersebut hingga pada tahun 2011, menurun dari 101 menjadi 67 kasus.10

Salah satu diantara JTP pencurian dengan kekerasan yang terjadi pada tahun 2011 tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 15 April 2011 di Simpang Hockly Jalan Baru By Pass Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu Propinsi Sumatera Utara.

11

Para pelaku menggunakan 1 (satu) unit Mobil Daihatsu Terios BK 1310 YL warna silver menghadang korban, menodongkan senjata api, mengikat tangan dan kaki serta menutup mata kedua korban. Sehingga Mobil Mithsubishi Colt Diesel yang bermuatan getah (karet) gumpalan sebanyak 4000 Kg (Empat Ribu Kilogram) yang dibawa korban dapat dikendalikan para pelaku dan dibawa ke Kecamatan Aek Natas Kabupaten Labuhanbatu untuk dijual.12

Pencurian dengan kekerasan yang diputus melalui Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP tertanggal 12 Oktober 2011, bahwa Nurdin Sipahutar Alias Udin melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), “Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang

8

Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2019.

9

Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2010.

10

Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2011.

11

Sebagai Studi Kasus dalam Penlitian ini.

12

Berkas Perkara Nomor: BP/278/V/2011/Reskrim, Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Labuhan Batu, tertanggal 23 Mei 2011, hal. 1.


(24)

sama atau lebih”.13 Ketentuan pasal tersebut menurut buku terjemahan Soesilo, dinamakan pencurian biasa dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi sehingga dapat diancam dengan hukuman yang lebih berat.14

Pemberatan dalam hal ini terpidana secara bersama-sama bertindak melakukan pencurian disertai pula dengan tindakan kekerasan. Pencurian terjadi pada hari Jumat tanggal 15 April 2011 sekitar pukul 01.00 WIB di Simpang Hockly Jalan Baru By Pass Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhanbatu yang dilakukan oleh Nurdin Sipahutar alias Udin, Ahmad Dahlan Pasaribu alias Dahlan, Hubban Sagala alias Ban, Ali Tua Tanjung alias Tua, sedangkan Mail dan Ipong dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kepolisian Labuhanbatu.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP tersebut, hanya disebutkan pasal yang dilanggar adalah Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUH Pidana junto Pasal 197 KUHAP. Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUH Pidana adalah pencurian dengan kekerasan yang menurut Soesilo harus

di-junto-kan dengan Pasal 363 ayat (4) KUH Pidana yakni pencurian dengan

pemberatan atau dengan kualifikasi. Pemenuhan unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUH Pidana disingkron dengan Pasal 197 KUHAP yang memuat mengenai syarat-syarat suatu surat putusan pemidanaan, sehingga dengan demikian memenuhi syarat menjatuhkan pidana terhadap pelaku.

13

Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP tertanggal 12 Oktober 2011 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

14

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap


(25)

Berkas Perkara yang dibuat Kepolisian, atas nama Nurdin Sipahutar (berkas terpisah) dengan kawan-kawannya mencantumkan ketentuan pasal yang dilanggar adalah Pasal 365 KUH Pidana yakni pencurian dengan kekerasan. Pengenaan pasal tersebut tidak menegaskan ayat berapa dari Pasal 365 KUH Pidana yang dilanggar pelaku sehingga tampak seolah-olah semua ayat dalam Pasal 365 KUH Pidana termasuk unsur yang dilanggar pelaku. Hal demikian menjadi persoalan sebab dapat membuka peluang luas terhadap pasal tersebut untuk dijatuhkan oleh hakim yang mengadilinya.

Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang disebutkan dalam Pasal 365 KUH Pidana yang mana harus dipenuhi misalnya pada ayat (1) “diikuti dengan kekerasan untuk memudahkan pencurian”, ayat (2) ke-1 “pencurian itu dilakukan di malam hari”, ayat (2) ke-2 “pencurian itu dilakukan oleh dua orang secara bersama-sama atau lebih”, ayat (2) ke-3 “dengan cara membongkar atau memanjat, menggunakan kunci palsu, perintah palsu, atau jabatan palsu”, ayat (2) ke-4 “pencurian yang menyebabkan ada orang lain luka berat”, ayat (3) “menyebabkan kematian”, ayat (4) “menyebabkan ada orang lain luka berat atau mati yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama”.

Hukum pidana memberikan batasan unsur mana yang dilanggar sesuai dengan ketentuan setiap ayat di atas, akan tetapi dalam Berkas Perkara Nurdin Sipahutar dengan kawan-kawannya dicantumkan ketentuan pasal yang dilanggar adalah Pasal 365 KUH Pidana yang mengandung unsur “pencurian dengan kekerasan” tidak disebutkan ayat berapa dari pasal tersebut yang dilanggar. Terkait dengan Pasal 56


(26)

KUH Pidana yang di-junto-kan penyidik dalam analisis yuridisya tidak diputuskan

Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP melainkan dibuat diputus secara terpisah.15

Penegakan hukum terhadap pencurian dengan kekerasan di Rantau Parapat Kabupaten Labuhan Batu dalam Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice

System masih terdapat kejanggalan dalam penentuan unsur-unsur tindak pidana

pencurian dengan kekerasan yang disebutkan dalam hukum pidana. Selain itu, dalam proses penegakan hukum terkendala dalam menentukan delik pidana, pelaku, sebab pelaku tindak pidana pencurian tidak dilakukan oleh satu orang melainkan secara bersama-sama. Hukum pidana menegaskan perbuatan demikian itu adalah perbuatan penyertaan (deelneming) yang berbeda dengan perbuatan perbarengan (samenloop

atau concursus).16

Perbuatan penyertaan (deelneming) tersebut yang dilakukan pada saat

Maratogu Harahap (korban) melintas di Simpang Hockly Jalan Baru By Pass Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhanbatu dengan mengendarai Mobil Mithsubishi Colt Diesel yang dikendarai oleh korban bermuatan getah (karet) gumpalan sebanyak 4000 Kg (Empat Ribu Kilogram) bersama-sama dengan Parenta

15

Berkas Perkara Nomor: BP/278/V/2011/Reskrim, Op. cit, hal. 8.

16

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”,

(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 336. Penyertaan adalah perbuatan dua orang atau lebih melakukan satu tindak pidana atau dengan kata lain ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan satu tindak pidana. Sedangkan di hal. 391 buku ini disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan perbuatan perbarengan (samenloop atau concursus) adalah beberapa tindak pidana yang

dilakukan dan/atau dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Menurut Kanter dan Sianturi, jika beberapa tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang pelaku juga termasuk perbuatan perbarengan (samenloop atau concursus).


(27)

Siregar, dihadang oleh pelaku dengan menggunakan 1 (satu) unit Mobil Daihatsu Terios BK 1310 YL warna silver. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan keluar dari mobil dan menarik korban (Maratogu Harahap dan Parenta Siregar) dari Mobil Mithsubishi Colt Diesel dengan menodong korban menggunakan senjata api, mengikat tangan dan kaki serta menutup mata kedua korban dimasukkan ke dalam Mobil Daihatsu Terios BK 1310 YL.

Mobil Mithsubishi Colt Diesel yang bermuatan getah (karet) gumpalan sebanyak 4000 Kg (Empat Ribu Kilogram) dikendalikan pelaku dan dibawa ke Kecamatan Aek Natas Kabupaten Labuhanbatu untuk dijual. Sementara kedua korban diturunkan di sebuah parit dengan kondisi tangan dan kaki terikat tali serta mata ditutup. Kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian dengan kekerasan tersebut sebesar Rp.320.000.000,- (tuga ratus dua puluh juta rupiah).

Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP memutus perkara pidana atas nama Nurdin Sipahutar alias Udin dengan pidana penjara 1 (satu) tahun 10 (sepuluh) bulan dikurangi masa tahanan. Sedangkan jika dipertimbangkan pencurian tersebut dilakukan secara bersama-sama (deelneming),

melakukan kekerasan, yang menurut ancaman sanksi pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUH Pidana selama-lamanya 12 (dua belas) tahun penjara. Hukum pidana menyatakan “selama-lamanya” dan tidak menyebutkan sanksi minimal sehingga pasal ini membuka keleluasaan hakim menjatuhkan sanksi pidana dengan jumlah yang relatif singkat seperti sanksi pidana penjara yang diterapkan kepada Nurdin Sipahutar alias Udin tersebut.


(28)

Menarik untuk dikaji dan dilakukan penelitian tentang pencurian dengan kekerasan di sini mengingat bahwa pencurian tersebut dilakukan secara bersama-sama atau perbuatan penyertaan (deelneming) yang selama ini menjadi target

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Labuhan Batu. Maka, dipilih “Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan”, sebagai judul dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang, maka perumusan masalah yang diteliti adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan menurut hukum pidana?

2. Apakah faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Polres Labuhan Batu?

3. Bagaimanakah Peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan untuk melakukan penelitian ini terkait dengan permasalahan di atas adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan menurut hukum pidana.


(29)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Polres Labuhan Batu. 3. Untuk mengetahui dan memahami Peranan Polres Labuhan Batu terhadap

pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya.

D. Manfaat Penelitian

Esensi suatu penelitian dapat memberikan sejumlah manfaat. Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir untuk mengetahui, memahami, dan mendalami permasalahan hukum dalam penegakan hukum terhadap pencurian dengan kekerasan di rantau parapat kabupaten labuhan batu, mulai dari proses penyidikan sampai pada putusan. Penelitian ini dapat pula sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya, dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat Kepolisian hukum khususnya Kepolisian Resor Labuhan Batu.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Berdasarkan hasil penelusuran, tidak


(30)

ditemukan judul penelitian/tesis yang sama dengan permasalahan dan judul dalam penelitian ini. Sementara fokus pembahasan yang dikaji dalam penelitian ini, judul dan permasalahannya masih asli dan belum pernah diteliti sebelumnya.

Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain. Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan terdapat plagiat atau duplikasi dalam penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Dalam kerangka Penegakan hukum tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut suatu negara tertentu. Teori yang mendasari ini disebut dengan teori sistem hukum (legal system theory). Ada dua sistem hukum yang mendominasi

negara-negara di dunia dan dibedakan atas sistem hukum civil law (continental europe legal

system) yang bercirikan hukum dalam bentuk perundang-undangan tertulis dan sistem

hukum common law (anglo american legal system) yang bercirikan hukum tidak

tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent) sebagai sumber

hukumnya.

Subekti menyebut sistem hukum itu adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur merupakan keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran


(31)

untuk mencapai suatu tujuan.17 Pandangan demikian juga disebutkan Sudikno Mertokusumo, suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.18

Senada dengan itu, Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra juga memandang hal yang sama luasnya ruang lingkup sistem hukum sebagai suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil. Sub-sub sistem kecil itu misalnya bidang pendidikan hukum, pembentukan hukum, peraturan perundang-undangan, penerapan hukum, aparat penegak hukum, dan lain-lain, dan bidang-bidang lainnya.19

Dengan begitu luasnya elemen-elemen yang terdapat dalam sistem hukum, Lawrence M. Friedman, mengelompokkannya dalam tiga kelompok yaitu:

20

a. Struktur hukum. Mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. b. Substansi hukum. Mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan

asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

c. Kultur hukum. Mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain.

17

R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

18Ibid. 19

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,

2003), hal. 151.

20

Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan

Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta:


(32)

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini menurut beliau merupakan bagian dan faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.21 Sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak, Lawrence M. Friedman menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.22

Pengelompokan demikian tidak mengurangi luasnya sistem hukum sebagai suatu kompleksitas, tujuan pengelompokannya agar semua elemen mampu mencermatinya secara tajam dalam memahami keutuhan proseduralnya. Substansi hukum akan mampu bertahan dan evektif berlaku di masyarakat, apabila elemen struktur hukum dan kultur hukum dijalankan secara profesional. Keterkaitan elemen-elemen ini secara profesional untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang pelaksanaan penegakan hukum. Pada prinsipnya KUHAP sudah mengatur sistem pengawasan yang dapat diwujudkan melalui koordinasi

21

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,

Rajawali, 1983), hal. 5.

22

Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah


(33)

fungsional dan instansional termasuk melakukan pendekatan dengan masyarakat. Hal ini berarti masing-masing elemen sama berdiri sejajar antar instansi yang satu dengan lainnya tidak berada dalam kerangka penegakan hukum. Dimana koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi harus saling mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawabnya demi kelancaran proses penegakan hukum. Profesionalisme dalam menjalankan tugas merupakan unsur paling penting misalnya kemampuan dan keterampilan secara personal dari aparat penegak hukum utamanya adalah kalangan petinggi-petinggi hukum.23

Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, dan keterampilan yang baik dari aparatur hukum maupun pada instansi pemerintahan tertentu mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam sistim hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara tidak akan berjalan untuk mencapai tujuan hukum dan keadilan bagi pencari keadilan.24

Pada elemen struktur hukum misalnya yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat tergabung dalam

23Ibid

.

24Ibid

, hal. 212-213. Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan ”keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan

dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistim hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal

dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”. Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.


(34)

sistem yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dalam bahasa lain disebut sebagai Criminal Justice System (CJS) telah menjadi sebuah mekanisme kerja

dalam penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan sistem.25

Pendekatan sistem dimaksud di sini adalah penegakan hukum secara litigasi harus melibatkan elemen-elemen SPP atau CJS tersebut dalam penegakan hukum dimulai dari proses penyelidikan, penangkapan, penyidikan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan.

26

Kondisi demikian menunjukkan kedudukan dan fungsi strategis dari elemen-elemen SPP sebagai ciri dari negara hukum (rechtsstaat).27 Kekuasaan negara harus

dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.28 Dalam negara konsep rechtsstaat,

hukum sebagai urat nadi yang mangandung makna jika hukum tidak dijalankan dengan baik dan adil oleh penyelenggaranya, maka negara tersebut akan hancur.29

Elemen-elemen tersebut harus dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan pada bidang masing-masing. Jika tugas, fungsi, dan wewenang itu tidak dijalankan dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan kode etik, niscaya pencapaian tujuan hukum tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Salah satu dari elemen-elemen SPP tersebut adalah Kepolisian. Elemen ini berwenang dalam

25

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Putra Bardin, 1996), hal.

33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks

Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70.

26Ibid

, hal. 14.

27

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

28

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.

29


(35)

melakukan penyelidikan, penangkapan, penyidikan, penahanan, dan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan setempat. Kepolisian sebagai salah satu bagian dari elemen SPP mempunyai kedudukan yang sentral dan posisi yang strategis di dalam suatu negara hukum karena selain Kepolisian berfungsi sebagai aparat penegak hukum, juga sebagai bagian dari pemerintahan yang bertugas di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dengan cara melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.30

Tugas, fungsi, dan wewenang Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan perundang-undangan dan kode etik Kepolisian Republik Indonesia yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian). Sebagaimana dalam rangka melaksanakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan, dilakukan melalui pendekatan sistem baik melalui dua kategori kebijakan yakni: penal (menerapkan hukum pidana) maupun non penal (di luar hukum pidana). Penerapan kebijakan tersebut dapat diuraikan lagi secara khusus yakni melalui langkah-langkah preemtif, preventif, dan refresif. Preemtif dan preventif termasuk dalam kategori kebijakan non penal sedangkan refresif masuk kategori penal.31

Preemtif sebagai langkah pencegahan dilakukan secara dini melalui kegiatan-kegiatan edukatif yang tidak ada kaitannya dengan suatu pelanggaran atau tindak

30

Pasal 2 UU Kepolisian.

31

Bandingkan dengan Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy

dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press,


(36)

pidana namun dilakukan pendekatan terhadap masyarakat dengan sasaran mempengaruhi faktor-faktor kondusif penyebab (kriminogen) terjadinya pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan. Misalnya tim Kepolisian melakukan kegiatan seminar, melakukan kegiatan keagamaan, pendidikan, dan lain-lain. Preventif adalah pencegahan yang mempriotitaskan pada pengawasan dan pengendalian secara langsung yang sudah ada kaitannya dengan pelanggaran atau tindak pidana yang akan muncul. Misalnya pencegahan dengan melakukan pengawalan objek-objek vital termasuk mengawal mobil-mobil yang mengangkut barang-barang dagang jika diperlukan. Upaya preemtif dan preventif bukan semata-mata dibebankan kepada PoIri, namun juga melibatkan instansi terkait seperti Bea dan Cukai, Guru, Pemuka Agama, Akademisi, dan tidak terlepas dari dukungan maupun partisipasi masyarakat. Refresif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum atau penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran dan kejahatan yang telah terjadi dengan sanksi yang tegas dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.32

Dalam rangka penegakan hukum di wilayah hukum Polres Labuhan Batu terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan (curas) masuk dalam kategori pendekatan sistem dalam kerangka SPP yakni menerapkan hukum pidana (kebijakan penal) terhadap pelaku pencurian. Walaupun disebutkan fokusnya di wilayah hukum Polres Labuhan Batu namun tidak tertutup kemungkinan proses hukum yang dijalankan untuk menindak pelaku dalam kasus curas melibatkan semua elemen

32

Awaloedin Djamin, Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Sistem


(37)

dalam SPP seperti Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. Selain melalui pendekatan sistem, sesuai dengan amanat UU Kepolisian, Polres Labuhan batu juga melakukan pendekatan terhadap masyarakat setempat untuk dapat mengungkap kasus curas tersebut dan dibawa ke sidang pengadilan.

Tentunya hubungan koordinasi elemen-elemen SPP tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang secara organisatoris terpisah namun tetap melakukan koordinasi lintas intansi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya saling terkait satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan proses hukum.33

2. Landasan Konsepsional

Koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawab dalam perundang-undangan dan kode etik demi kelancaran proses penegakan hukum.

Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut:

a. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam menurut hukum pidana (KUH Pidana).34

b. Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindak pidana yang memenuhi semua unsur dalam Pasal 365 KUH Pidana.

33

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2000), hal. 116.

34


(38)

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.35

d. Penegakan hukum adalah serangkaian tindakan aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana untuk menerapkan hukum.

e. Faktor kriminogen adalah faktor-faktor kondusif yang dapat mempengaruhi atau sebagai penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan (kriminalitas).

f. Peran Kepolisian adalah pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Polisi di wilayah hukum Polres Labuhan Batu yang terdiri dari tiga kabupaten sekaligus yakni: Kabupaten Labuhan Batu Induk, Labuhan Batu Selatan, dan Labuhan Batu Utara.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yakni penelitian terhadap asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggambarkan fakta-fakta mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kepolisian Resor Labuhan Batu dalam bentuk uraian secara

35


(39)

sistematis dengan menjelaskan hubungan antara fakta dengan peraturan undangan yang menyangkut peranan Kepolisian menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai data untuk memperkuat argumentasi-argumentasi dalam penelitian ini dilakukan wawancara langsung kepada aparat Kepolisian di Polres Labuhan Batu.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan (field research)

sedangkan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (field

research). Data sekunder dibagi dalam 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.


(40)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library

research) dan studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di

perpustakaan dan kantor Polres Labuhan Batu dengan melakukan identifikasi terhadap data yang ada. Selain itu, dilakukan studi lapangan (field research) berupa

wawancara mendalam kepada beberapa informan diantaranya: aparat penegak hukum di Polres Labuhan Batu, pemuka masyarakat, kepada korban curas Maratogu Harahap sebagai Pelapor yang mengalami langsung kejadian tersebut. Kemudian wawancara terhadap pelaku Ahmad Dahlan Pasaribu untuk memperoleh data tentang bagaimana kronologis yang dilakukan terkait dengan curas yang terjadi. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh kaitannya dengan pasal-pasal dalam perundang-undangan terkait dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Data tersebut kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu analisis yang bertolak dari data dengan memanfaatkan teori yang ada sebagai penjelas dan berakhir dengan suatu teori. Data yang dianalisis secara kualitatif yakni mendasarkan pada analisis terhadap kaidah, asas, norma-norma hukum yang terdapat dalam KUH Pidana dan KUHAP serta UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kemudian


(41)

disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan.

Analisis dilakukan dengan memberikan argumentasi-argumentasi yuridis terhadap permasalahan mengenai penilaian apa dan bagaimana yang semestinya menurut kaidah, asas, norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan. Data akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya dinyatakan secara deskriptif yaitu menggambarkan dan mengungkapkan argumentasi yang menjadi dasar hukumnya dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.


(42)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA

A. Tinjauan Terhadap Istilah Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari dua kata, ”tindak” dan ”pidana”. Tindak berarti perbuatan sedangkan pidana menyangkut kepentingan penguasa/negara dan masyarakat. Apabila diambil padanan tindak pidana dipersamakan dengan istilah

strafbaar feit yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi tindak

pidana. Selain diterjemahkan sebagai tindak pidana, strafbaar feit, juga diartikan

atau disamakan dengan istilah:36

1. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum; 2. Peristiwa pidana; dan

3. Perbuatan pidana.

Istilah tindak pidana, perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana pada parktiknya diartikan menjadi satu istilah saja dimana terkadang disebut dengan tindak pidana atau peristiwa pidana atau perbuatan pidana. Sehingga tampak dari beberapa istilah ini adalah delik yang dapat diberi sanksi atau hukuman.37

36

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op, cit, hal. 204.

Namun, pada praktik umumnya, masyarakat cenderung menggunakan istilah tindak pidana saja.

37

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal.

90. Menurut Bambang, delik adalah kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan.


(43)

Apakah keempat istilah ini berbeda satu sama lainnya?, maka untuk menjawabnya terlebih dahulu diutarakan pendapat dari para pakar hukum pidana. Misalnya sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana hukum barat:38

1. Simon. Beliau mengatakan strafbaar feit adalah suatu perbuatan atau tindakan

(handeling) yang diancam oleh pidana oleh undang-undang, bertentangan

dengan hukum (onrechtmatig), dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab.

2. Van Hamel. Beliau mengatakan strafbaar feit sama dengan yang dirumuskan

Simons, hanya ada penambahan sedikit dengan kalimat, ”tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

3. Vos merumuskan strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia

yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

4. Pompe merumuskan strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah

(penggangguan ketertiban hukum) terhadap pelaku yang memiliki kesalahan untuk dipidana secara wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

Selain dikemukakan di atas, para sarjana hukum Indonesia menerjemahkan dan mengungkapkan istilah starfbaar feit sebagai berikut:

1. Moeljatno mengatakan strafbaar feit lebih cenderung diterjemahkannya

menjadi perbuatan pidana.39

38Ibid

, hal. 91-92. Lihat juga: E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Loc, cit.

39Ibid


(44)

2. Utrecht menganjurkan untuk menggunakan istilah peristiwa pidana.40 3. Satochid Kartanegara menganjurkan pemakaian itilah tindak pidana.41 4. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana.42

5. Mr. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana, namun sedikit berbeda dengan pendapat Moeljatno.43

Walaupun telah terjadi penafsiran yang berbeda antara satu sama lainnya di kalangan para sarjana hukum baik di barat maupun di Indonesia, namun tidak menjadi persoalan ketika perundang-undangan di Indonesia tetap menggunakan istilah tindak pidana. Perundang-undangan tidak satupun bisa mendefinisikan

strafbaar feit melainkan digunakannya hanya istilah ”tindak pidana” saja. Oleh sebab,

perundang-undangan di Indonesia tidak mendefinisikan tindak pidana, maka dapat

a. Kalau untuk recht sudah lazim dipakai sitilah hukum, maka dihukum berarti diadili (berecht),

yang sama sekali tidak mesti harus berhubungan dengan pidana (straf), sebab perkara-perkara

perdata sekalipun tetap diadili (diberecht). Oleh karenanya beliau memilih menerjemahkan

strafbaar menjadi pidana sebagai singkatan dari ”yang dapat dipidana”.

b. Perkataan perbuatan sudah lazim digunakan dalam pembicaraan sehari-hari seperti: perbuatan

tidak senonoh, perbuatan jahat, perbuatan tidak terpuji, dan sebagainya. Perbuatan juga digunakan dalam istilah teknis misalnya: perbuatan melawan hukum. Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjukkan pada subjek yang melakukan maupun pada objeknya (akibatnya). Sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjukkan bahwa yang menimbulkannya adalah

handeling atau gedraging seseorang, kemungkinan yang melakukannya bisa hewan atau alam.

Perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku.

40 Ibid

. Argumentasi Utrecht mengatakan demikian: karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (handelen atau doen, positif) atau melalaikan (verzuim atau nalaten atau niet-doen, negatif).

41

Ibid. Argumentasi Satochid Kartanegara adalah: karena istilah tindak (tindakan) mencakup

pengertian melakukan atau berbuat (actieve handeling) dan/atau pengertian tidak melakukan sama

sekali atau tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handeling).

42Ibid

, hal. 209. Alasannya karena suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan sebagai subjek tidak pidana.

43 Ibid

, hal. 208. Mengemukakan suatu perbuatan dikatakan atau baru dipandang sebagai peristiwa pidana apabila telah memenuhi segala syarat yang diperlukan atau ditetapkan dalam undang-undang.


(45)

disimpulkan bahwa dalam perspektif perundnag-undangan, istilah tindak pidana itu merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi oleh undang-undang.

UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sebagai lex generalis sekalipun tidak mampu memberikan defenisi lengkap

dan secara rinci mengenai istilah tindak pidana.44 Agar tidak menjadi dilema dalam menafsirkan istilah tindak pidana ini dan agar tidak menimbulkan ambigu (makna ganda atau lebih) maka ada baiknya dirujuk pada ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, ”Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.45

Tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana di atas dapat dikatakan bahwa tindak pidana itu menyangkut segala ketentuan-ketentuan yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Istilah tindak pidana diterjemahkan dari istilah bahasa Belanda, strafbaar feit yang diartikan sebagai

sesuatu tindakan yang dilakukan pada suatu tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, mengandung kesalahan, dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

46

Istilah tindak pidana dan perbuatan pidana tampaknya lebih dikenal karena kedua istilah ini banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu

44

R. Soesilo, Op. cit, hal. 28-29.

45Ibid

, hal. 27.

46


(46)

perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.47

Bisa juga diartikan tindak pidana itu sebagai kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Tingkah laku manusia itu dipandang salah menurut hukum atau mengandung sifat melawan hukum yang diancam dengan pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Namun, tindak pidana tidak hanya menyangkut perbuatan manusia (handeling) dan perbuatan manusia itu tidak hanya perbuatan (een doen) akan tetapi

juga melakukan atau tidak berbuat (een natalen atau niet doen).48

KUH Pidana merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga KUH Pidana yang ada saat ini tidak lain adalah hasil alih bahasa yang dilakukan beberapa sarjana Indonesia.49 Hukum pidana menggunakan istilah strafbaar feit dalam menyebut tindak pidana,50 tindakan atau

perbuatan yang diancam dengan pidana oleh KUH Pidana dan undang-undang lainnya, bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh

seorang yang mampu bertanggung jawab.51

47

Ibid.

48

C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hal. 37.

49

Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),

hal. 10.

50

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990),

hal. 172.

51

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni


(47)

Tindak pidana juga diartikan sebagai tindakan yang membuat seseorang menjadi dapat dihukum.52 Pemaknaan istilah tindak pidana dirujuk pada penggunaan istilah dalam rumusan strafbaar feit. Moeljatno mengartikan strafbaar feit sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangannya. Moeljatno merujuk pada istilah perbuatan pidana untuk merumuskan

strafbaar feit tersebut.53

Istilah tindak pidana telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar

feit dalam hukum pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas. Istilah strafbaar feit

sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.54

Berdasarkan pendapat beberapa ahli pidana tersebut di atas, dapat dipahami mengenai tindak pidana itu.55

52

P.A.F. Lamintang, Op. cit., hal. 175.

Cakupannya adalah suatu perbuatan yang melawan hukum, orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara kesengajaan dan yang disebabkan karena kelalaian, serta subjek atau pelakunya baru dapat dipidana jika pelaku tersebut dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

53

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidanai, Op, cit, hal. 54.

54

S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 204.

55Ibid


(48)

Kedua macam kesalahan ini baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian mengandung 3 (tiga) unsur yang wajib ada yaitu:56

1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan tindak pidana itu; 2. Adanya hubungan batin tertentu dari orang yang berbuat, yang perbuatannya

itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan; dan 3. Tidak terdapat alasan penghapus kesalahan.

Sifat tindak pidana harus melekat suatu unsur melawan hukum, baik dalam arti melawan hukum secara formil dan secara materil.57 Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya menjadi putusan bebas (vrijspraak). Sedangkan, jika unsur melawan

hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana, maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.58

Kesalahan (schuld) terdiri dari kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

Kedua-duanya dapat dijatuhkan pidana terhadap pelaku. Unsur terpenting dari kesengajaan adalah karena adanya niat (means rea) dari pelaku sehingga dengan

adanya niat tersebut diterapkan sanksi yang lebih besar daripada kelalaian. Sementara

56

Bambang Poernomo, Op, cit, hal. 136.

57

J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum,

Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat: Bina Cipta, 1984), hal. 102-103.

58Ibid


(49)

pelaku dalam kelalaian sama sekali tidak memiliki unsur niat untuk berbuat tindak pidana, akan tetapi dalam kelalaian masih ada peluang atau kesempatan untuk berhati-hati. Oleh karena pelaku dalam kelalaian tidak berhati-hati itu, membuat pelakunya dapat dipidana, tetapi sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kesengajaan.

Salah satu asas yang terpenting dalam hukum pidana, ”Tiada hukuman tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld) yang berarti orang yang dihukum harus

terbukti bersalah. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yakni berbuat dengan hendak dan maksud atau

dengan menghendaki dan mengetahui atau willen en wetens, sedangkan dalam arti

luas berarti kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).59 Barda Nawawi Arief juga

berpendapat yang sama dengan menyebutkan perumusan asas kesalahan mengenai pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan kesengajaan dan kealpaan.60

Kelapaan (culpa) itu sendiri mengandung makna bahwa pada diri pelaku

terdapat kekurangan pemikiran, kekurang hati-hatian, kekurangan pengetahuan, dan pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri

59

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003), hal. 173.

60

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,


(50)

subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf.61

Tindak pidana dapat dibagi dengan berbagai kriteria. Pembagian ini berhubungan erat dengan berat atau ringannya ancaman, sifat, bentuk, dan perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-ajaran umum hukum pidana.62 Menurut kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang terdapat dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan (misdrijven)

yang ditempatkan dalam buku ke-II dan pelanggaran (overtredingen) yang

ditempatkan dalam buku ke-III.63

Apabila ditelaah lebih jauh pemaknaan dari tindak pidana sangat luas sehingga dapat dikatakan mencakup aspek kajahatan dan pelanggaran. Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Menurut B. Simandjutak, kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Menurut Van Bammelen, kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat tercela yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Menurut J. E Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro, kategorisasi tentang

61

S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 192.

62Ibid

, hal. 228.

63Ibid


(51)

perbuatan sebagai suatu kejahatan (sesuatu yang dilekati sifat jahat) sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat subyektif, historis, dan partikular.64

Pelanggaran dalam buku III merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan, namun baik kejahatan maupun pelanggaran tetap dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Pelanggaran Hukum adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik yang berupa pelanggaran atau kejahatan terhadap perintah, misalnya tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/diharuskan undang-undang, tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 522 KUH Pidana, tidak menolong orang yang membutuhkan pertolongan diatur dalam Pasal 531 KUH Pidana, pencurian, pemerasan, pembunuhan, penipuan, pencurian dengan kekerasan, pemerkosaan, dan lain-lain.

Pelaku tindak pidana baik untuk kejahatan maupun pelanggaran adalah subjek hukum yang memenuhi unsur sibjektif misalnya: melawan hukum, tidak ada alasan pemaaf, dan dapat bertanggung jawab merupakan unsur yang wajib melakat pada diri subjek (pelaku) tindak pidana. Subjek tindak pidana dapat berupa orang perseorangan (natuurlijke persoonen) dan/atau badan hukum (rechts persoonen). Sebagai subjek

tindak pidana pada mulanya hanyalah orang sedangkan badan hukum tidak dianggap

64


(52)

sebagai subjek,65 tetapi dengan perkembangan yang terjadi perluasan terhadap subjek tindak pidana selain orang perseorangan juga termasuk badan hukum.66

Terdapat beberapa kecenderungan penggunaan istilah strafbaar feit yang

diterjemahkan ke dalam beberapa istilah: perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, dan lain-lain, namun menurut hukum pidana cenderung menggunakan perumusan istilah ”tindak pidana”. Perlu ditekankan dalam merusmukan istilah ini tidak perlu dipersoalkan untuk menggunakan istilah yang mana, diperlukan identifikasi mendalam terhadap peristiwa atau perbuatan itu untuk dapat mengetahui kriteria apakah ia masuk kategori pidana atau bukan. Jika deliknya merupakan delik pidana, maka perbuatan atau peristiwa itu merupakan perbuatan yang dapat dihukum. Khusus untuk istilah peristiwa pidana dan perbuatan pidana tampaknya masih diragukan untuk menyarankan penggunaan istilah ini, sebab banyak peristiwa atau perbuatan yang belum tentu peristiwa pidana atau perbuatan pidana. Akan tetapi jika digunakan istilah tindak pidana tampaknya lebih tepat dan lebih sempurna untuk mengarahkan delik tersebut sudah tentu delik pidana.

65

Ibid, hal. 219.

66

Jan Remmelink, Op. cit, hal. 97. Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering

memperhitungkan kenyataan manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya, muncul sebagai satu kesatuan dan karena dari itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum/korporasi. Subjek dalam hukum pidana saat ini tidak lagi terbatas pada manusia sebagai pribadi kodrati tetapi juga mencakup manusia sebagai badan hukum. Hal ini berarti pada manusia atau orang sebagai subjek hukum pidana menyebabkan pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Selain itu, karena adanya orang-orang di dalam suatu badan hukum itulah sehingga badan hukum dikatakan sebagai subjek hukum. Apabila suatu badan hukum terkait dengan suatu tindak pidana, maka orang-orang atau pengurusnya lah yang harus bertanggung jawab berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana.


(1)

Upaya-upaya pembinaan terhadap personil, pemenuhan sarana dan prasarana, peningkatan anggaran, kesejahteraan personil Polres Labuhan Batu pada prinsipnya sebagai faktor pendukung dalam pelaksanaan tugas. Walaupun masih banyak kelemahan-kelemahan, faktor penghambat bagi Polres Labuhan Batu dalam menjalankan tugasnya, namun selama tahun 2012 untuk periode bulan Januari sampai dengan April secara umum semua rencana dapat berjalan dan dilaksanakan walaupun masih banyak hambatan-hambatan yang ditemukan. Hambatan dalam pelaksanaan tugas disebabkan kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki serta luasnya wilayah hukum Polres Labuhan Batu. Wajar saja terjadi jika di wilayah hukum Polres Labuhan Batu banyak-kasus-kasus pelanggaran dan kejahatan terjadi bahkan belum dapat diselesaikan.

Angka Laka Lantas masih meningkat dengan masih adanya jalan rusak dan sarana prasarana jalan kurang dan jumlah kendaraan meningkat. Meningkatnya angka kejahatan khususnya Curas menjadi 62 kasus di tahun 2009, naik menjadi 101 kasus di tahun 2010, turun sedikit di tahun 2011 menjadi 67 kasus. Polres Labuhan Batu tampak kewalahan dalam menanganni kasus-kasus pelanggaran dan kejahatan yang kian meningkat sementara sarana dan prasarana yang tidak memadai ditambah lagi dengan kondisi wilayah hukum Polres Labuhan Batu yang sangat luas hanya ditangani oleh satu Polres yaitu Polres Labuhan Batu. Menurut Hirbak Wahyu


(2)

Setiawan, perlu dibangun Polsek-polsek persiapan dan peningkatan Pospol menjadi Polsek, misalnya:173

1. Pospol Padang Halaban menjadi Polsek yang terletak di Kecamatan Aek Kuo.

2. Pos Pol Kampung Mesjid menjadi Polsek yang terletak di Kecamatan Kualuh Hilir.

3. Pos Pol Pangkatan menjadi Polsek yang terletak di Kecamatan Pangkatan. 4. Pos Pol Ajamu menjadi Polsek yang terletak di Kecamatan Panai Hulu. 5. Penambahan Polsek di Kecamatan Kualuh Selatan.

6. Penambahan Polsek di Kecamatan Rantau Utara. 7. Penambahan Polsek di Kecamatan Rantau Selatan. 8. Penambahan Polsek di Kecamatan Bilah Barat.

Selanjutnya sangat diharapkan pada pimpinan Polri untuk mencukupi sarana dan prasarana seperti: jumlah personil, rumah dinas untuk anggota, Ranmor Dinas baik R2 maupun R4, Penambahan dukungan BBM. Tipologi Polres Labuhan Batu dan Polsek-Polsek di Jalinsum perlu ditingkatkan guna untuk penyesuaian dengan tingkat kerawanan pelanggaran dan kejahatan dengan kuantitas penduduk maupun luas wilayah.

173

Laporan Kesatuan Dalam Rangka Kunjungan Kerja Kapolda Sumut di Polres Labuhan Batu Rantau Prapat oleh Hirbak Wahyu Setiawan, (Kepala Kepolisian Resor Labuhan Batu), pada Bulan Mei 2012, hal. 34.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telag dibahasa dan diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan:

1. Pengaturan tindak pidana pencurian dengan kekerasan (Curas) diatur dalam Pasal 365 KUH Pidana. Pengaturannya ditegaskan dalam bentuk khusus yakni pencurian dengan kekerasan (Curas) atau perampokan. Kekerasan dalam pencurian dilakukan bersamaan ketika perbuatan pidana itu dilakukan dan ditujukan kepada orang sebagai korban bukan kepada benda-benda atau barang-barang selain orang, melainkan hanya ditujukan pada manusia (orang). Jika dilakukan lebih dari satu orang secara bersama-sama maka sanksinya diperberat atau dilakukan di malam hari, dalam kondisi darurat, dalam keramaian, dan lain-lain. Jika menyebabkan orang lain luka-luka permanen atau bahkan meninggal dunia maka semakin diperberat lagi menurut ketentuan ini. Kematian itu tidak diinginkan oleh pelaku Curas termasuk dalam ketentuan Pasal 365 KUH Pidana ini tetapi jika kematian itu telah diniatkan sebelumnya oleh pelaku (pencuri) maka pelaku dikenakan Pasal 339 KUH Pidana.

2. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya Curas di wilayah hukum Polres Labuhan Batu terhimpun dalam banyak faktor dan faktor tersebut sekaligus menjadi kriminogen kejahatan jika tidak dilakukan langkah-langkah preemtif dan


(4)

preventif. Luasnya wilayah hukum Polres Labuhan Batu dalam menangani tiga kabupaten sekaligus tidak sebanding dengan kemampuan sarana dan prasarana serta personil Polres Labuhan Batu. Pendapatan masyarakat khususnya dari hasil-hasil kebun kelapa sawit dan karet yang menjanjikan menjadi target para pelaku Curas apalagi pada umumnya pelaku-pelaku bisnis di wilayah ini kurang tertarik meminta bantuan kepada personil Polres Labuhan Batu untuk melakukan pengawalan dan atau penjagaan terhadap barang-barang atau harta bawaan maupun yang bersifat permanen. Letak geografis ketiga daerah kabupaten tersebut sangat strategis dan sangat memungkinkan bagi pelaku Curas untuk melakukan pencurian dan perampokan karena memiliki akses Jalinsum bahkan hingga lintas negara melalui selat malaka.

3. Peranan Polres Labuhan Batu terhadap pencurian dengan kekerasan di wilayah hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku menentukan Kepolisian sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat serta bertindak sebagai aparat penegak hukum. Sebagai aparat penegak hukum, Polres Labuhan Batu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua pelanggaran dan kejahatan apapun atau tindak pidana seperti Curas sampai pada tuntasnya kesus-kasus tersebut. Polres Labuhan Batu memprioritaskan penanganan terhadap Curas dan kejahatan lainnya yang tergolong sebagai perkara yang menonjol (crime Index). Berdasarkan data-data yang disajikan di atas, penanganan Polres Labuhan Batu terhadap Curas masih sangat minim dapat diselesaikan dari kasus-kasus yang telah diidentifikasi.


(5)

B. Saran

Untuk perbaikan-perbaikan ke depannya terhadap instansi-instansi terkait khususnya Polres Labuhan batu dan sebagai jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini, maka:

1. Diharapkan dalam penjatuhan sanksi terhadap putusan dalam kasus Curas jika dilakukan lebih dari satu secara bersama-sama dikenakan Pasal 365 KUH Pidana dan di-juntokan dengan Pasal 56 KUH Pidana agar lebih maksimal dan efektif untuk menjatuhkan sanksi tersebut kepada pelaku sehingga menurut pertanggungjawaban penyertaan (deelneming) semuanya dapat dipidana.

2. Diharapkan agar pihak terkait secara bersama-sama untuk berupaya meminimalisir faktor-faktor kondusif ini. Pihak Polres Labuhan Batu segera melakukan perbaikan-perbaikan misalnya dengan memperbanyak Polsek-Polsek, pemenuhan sarana dan prasarana serta jumlah personil. Pihak pemerintah hendaknya segera menempatkan Polres di wilayah Kabupaten Labuhan Batu Utara dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan.

3. Diharapkan peranan Polres Labuhan Batu lebih ditingkatkan skala prioritasnya terhadap kejahatan-kejahatan yang menonjol di wilayah hukumnya khususnya Curas walaupun masih perlu perbaikan-perbaikan yang signifikan untuk itu.


(6)

Daftar Pencarian Barang Nomor: DPB/76/V/2011/Reskrim Polres Labuhan Batu tanggal 13 Mei 2011.

Daftar Pencarian Barang Nomor: DPB/77/V/2011/Reskrim Polres Labuhan Batu tanggal 13 Mei 2011.

Daftar Pencarian Orang Nomor: DPO/205/V/2011/Reskrim Polres Labuhan Batu tanggal 13 Mei 2011.

Daftar Pencarian Orang Nomor: DPO/206/V/2011/Reskrim Polres Labuhan Batu tanggal 13 Mei 2011.

Daftar Pencarian Orang Nomor: DPO/207/V/2011/Reskrim Polres Labuhan Batu tanggal 13 Mei 2011.

Humas Polda Sumut dalam Tiga Tahun Terakhir. Diterangkan JTP adalah: Jumlah Tindak Pidana, PTP: Penyelesaian Tindak Pidana, CC: Crime Clearing, CT: Crime Total.

Laporan Polisi Nomor: LP/590/IV/2011/SU/RES-LBH, tertanggal 15 April 2011. Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2019.

Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2010. Laporan Data Kriminalitas Per Bulan Polres Labuhan Batu Tahun 2011.

Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor: 1109/Pid.B/2011/PN-RAP tertanggal 12 Oktober 2011 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Surat Nomor: SPDP/266/V/2011/Reskrim, tertanggal 9 Mei 2011.

Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/282/IV/2011/Reskrim, tertanggal 25 April 2011.

Surat Kepolisian dalam hal Permintaan Perpanjangan Penahanan Nomor: B/282.a/V/2011/Reskrim, tertanggal 12 Mei 2011, atas nama tersangka Nurdin Sipahutar alias Udin.

Surat dari pihak Kejaksaan Negeri Rantau Prapat dalam hal Perpanjangan Penahanan Nomor: B-588/N.2.16.3/Epp.2/05/2011, tertanggal 13 Mei 2011.