Kedudukan dan Tanggung Jawab Hukum Pengu

Kedudukan dan Tanggung Jawab Hukum
Pengurus Yayasan
Undang Undang Yayasan memberikan tanggung jawab yang sangat besar kepada
pengurus dan pengawas yayasan. Dan pada saat yang sama, menerapkan berbagai
pembatasan dan pengekangan terhadap kebebasan dan manfaat yang mereka terima. Selain
dilatarbelakangi adanya kekosongan hukum positif (huruf a bagian Menimbang), lahirnya
UUY juga dilatarbelakangi adanya penyalahgunaan dan penyimpangan dalam yayasanyayasan selama ini (vide huruf c bagian Menimbang). Karena itu sembari mengisi
kekosongan hukum, UUY memiliki misi mengoreksi dan mengembalikan Yayasan pada
hakikat yang sebenarnya.
Yayasan pada hakikatnya adalah kekayaan yang dipisahkan dan diberi status badan
hukum serta diperuntukkan secara limitatif (khusus) untuk melayani pekerjaan di bidang
sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, yayasan terpisah dari pihak yang
menjadi sumber kekayaan tersebut dan dari organ-organ yayasan, serta tidak memiliki
anggota (Fred B.G. Tumbuan, Mencermati Yayasan Sebagaimana Dimaksudkan Oleh UU
Yayasan, 2001). Salah satu metode yang dipakai oleh UUY untuk mencapai misi ini
adalah metode preventif, yakni

dengan

membuat


ketentuan-ketentuan

yang

tidak

mengizinkan atau setidak-tidaknya, mempersulit terjadinya penyalahgunaan yayasan oleh
organ-organ yayasan. Ketentuan-ketentuan tersebut meletakkan pembatasan (restriksi)
terhadap yayasan, baik berupa pengekangan kebebasan maupun berupa pemberian beban
akuntabilitas (pertanggungjawaban) tertentu.
Dari sudut obyeknya, metode ini ditempuh dengan 2 cara, yakni pembatasan terhadap aset
dan pembatasan terhadap organ yayasan. Pembatasan terdapat aset dapat dilihat misalnya
pada ketentuan Pasal 5 yang melarang pengalihan atas pembagian aset yayasan kepada organ
yayasan.
UUY Pasal 5 berbunyi: "Kekayaan Yayasan, baik berupa uang, barang maupun kekayaan lain
yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan,
secara langsung atau tidak langsung, kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau
pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan".

1


Berdasarkan Pasal 5 inilah, terutama dengan adanya subklausula "dilarang dialihkan atau
dibagikan, secara langsung atau tidak langsung", maka yayasan tidak boleh menggaji
pengurusnya. Yang dapat diterima oleh pengurus hanyalah penggantian atas ongkos dan biaya
yang dikeluarkan oleh pengurus dalam melakukan pengurusan yayasan (reimbursement at
cost) (Pasal 6).
Pembatasan terhadap organ yayasan dapat dilihat misalnya pada Pasal 37 ayat (1), Pasal 38,
dan Pasal 39. Pasal 37 ayat (1) melarang pengurus mengikat yayasan sebagai penjamin utang
pihak lain; Pasal 38 melarang pengurus mengadakan perjanjian dengan organisasi terafilisasi;
Pasal 39 memberikan beban pembuktian kepada pengurus dalam hal terjadinya kepailitan
yayasan (sistem pembuktian terbalik).
Tanggung jawab hukum pengurus
Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan (Pasal 31
ayat 1), dan bertanggungjawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan
tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 35 ayat
1). Susunan pengurus terdiri dari sekurang-kurangnya seorang ketua, seorang sekretaris, dan
seorang bendahara yang diangkat serta diberhentikan oleh pembina untuk masa tugas 5 tahun.
Melihat karakteristik ini, pengurus pada yayasan dapat disamakan dengan direksi pada
Perseroan Terbatas (PT). Organ lain dari yayasan adalah pengawas, yang ekuivalen dengan
komisaris, sedangkan pembina sedikit dapat dibandingkan dengan RUPS PT.

Benarkah UUY menerapkan sistem pembuktian terbalik kepada pengurus dalam hal
terjadinya kepailitan? Untuk menjawab ini, Pasal 39 harus dibaca dan dianalisis secara utuh
(3 ayat). Pasal 39 berbunyi: (1): "Dalam hal kepailitian terjadi karena kesalahan atau
kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat
kepailitan tersebut, maka setiap anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas kerugian tersebut".
Pasal 39 (2): "Anggota Pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara renteng atas kerugian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".
Pasal (3): "Anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah dalam pengurusan Yayasan, yang
menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan putusan
Pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut
2

memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan
manapun".
Pasal 39 ini mengatur mengenai tanggung jawab pengurus dalam 2 kategori, yakni dalam hal
kepailitan (ayat 1 dan ayat 2) dan dalam hal lainnya (ayat 3). Karenanya, analisis mengenai
tanggung jawab pengurus dalam hal kepailitan dilakukan atas ayat 1 dan ayat 2 saja. Sebab,
kalau ayat 3 turut dibaca, maka terjadi kontradiksi antara ayat 2 dan ayat 3. Menurut ayat 2,

beban pembuktian ada di tangan pengurus, sedangkan menurut ayat 3 upaya tersebut ada
pada pengadilan (sistem pembuktian normal).
Sekarang, bagaimana hubungan antara ayat 2 dan ayat 1? Bila membaca ayat 1 saja, kita
tidak menemukan sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik ditegaskan oleh
ayat 2, dan secara tegas pula ayat 2 membuat rujukan kepada ayat 1.
Berarti bahwa ayat 2 menegaskan hubungan positif antara ayat 1 dan ayat 2 dalam hal bahwa
kedua ayat ini hendak menerapkan sistem pembuktian terbalik. Bahwa dalam setiap keadaan
pailit, setiap anggota pengurus (masing-masing dari ketua, masing-masing dari sekretaris, dan
masing-masing dari bendahara) harus secara aktif membuktikan bahwa dirinya masingmasing tidak telah turut menyebabkan yayasan pailit; anggota pengurus yang gagal
membuktikan ketidakterlibatannya dalam kepailitan yayasan akan bertanggungjawab secara
tanggung renteng.
Dengan demikian, pengurus yayasan, by default, bertanggungjawab renteng sampai dengan
harta pribadinya untuk menutup kerugian yang telah ditimbulkan, termasuk hutang-hutang
kepada

para

kreditur

dalam


hal

yayasan

pailit.

Perlu

diketahui

bahwa

pola

pertanggungjawaban dan sistem pembuktian ini berlaku juga untuk pengawas (Pasal 47).
Bila melihat pada PT, ternyata pola dan sistem yang sama berlaku juga bagi direksi (Pasal 90
UU No. 1 Tahun 1995 Tentang PT), tetapi tidak bagi komisaris. Menurut Pasal 90 ayat (3)
UUPT, beban pembuktian dalam hal PT pailit ada pada anggota direksi. Dengan demikian,
terhadap setiap PT yang pailit, para kreditur dapat menuntut agar harta kekayaan setiap

anggota direksi dipakai untuk menambah kekurangan pembayaran utang kepada para kreditur
(Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, SH., Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Jurnal
Hukum Bisnis, vol.14, Juli 2001).

3

Penerapan sistem pembuktian terbalik kepada direksi PT adalah masuk akal (reasonable).
Setidak-tidaknya karena, berbeda dengan pengurus yayasan, anggota direksi PT memiliki
kebebasan, manfaat dan hak yang setimpal dalam kapasitasnya sebagai anggota direksi.
Apakah pembuat UU memang bermaksud menerapkan sistem pembuktian terbalik pada
pengurus dalam hal yayasan pailit? Pertanyaan ini timbul setidaknya karena 2 hal. Pertama,
sistem pembuktian terbalik untuk pengurus yayasan sangat berat dan terkesan tidak
sebanding dengan manfaat, kebebasan, dan hak yang diberikan pada pengurus.
Kedua, kalau penerapan sistem pembuktian terbalik dimaksudkan untuk menjerat penguruspengurus dari yayasan-yayasan pada masa lalu yang diduga telah menyimpang, maka
sebenarnya efektivitas maksud ini diragukan. Karena di dalam UUY, tidak ada ketentuan
yang mengatur bahwa UUY berlaku surut. Fakta bahwa pengurus dapat mengangkat
pelaksana kegiatan yayasan/pengurus harian (Pasal 35 ayat 3,), juga tidak menghapus
pertanyaan di atas. Sebab, pelaksana kegiatan yayasan tidaklah menggantikan apalagi
mentamengi pengurus dalam hal pertanggungjawaban kepada publik.
Apapun maksud pembuat UUY, keberadaan ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUY

dimaksud di atas dapat menyebabkan kemungkinan-kemungkinan ini: (1) Pengurus yayasan
yang telah ada saat ini enggan terus berfungsi sebagai pengurus di era UUY, (2) para
profesional enggan menjadi pengurus yayasan, sehingga yayasan akan kesulitan mencari
pengurus, (3) Karena ketiadaan pengurus, yayasan-yayasan akan kesulitan melaksanakan
aktivitasnya. Apalagi mencapai maksud dan tujuannya, mengingat peranan kritis pengurus
sebagai eksekutif yayasan.
Meninjau kembali UUY
Kemungkinan-kemungkinan tadi lalu dapat mengakibatkan jumlah yayasan berkurang
dengan 2 cara. Pertama, yayasan yang telah ada kini, segera membubarkan diri sebelum UUY
benar-benar menjadi efektif (6 Agustus 2007). Bahkan sebelum UUY mulai efektif pada 06
Agustus 2002 ini. Kedua, tidak akan banyak pihak yang tertarik untuk mendirikan yayasan
maupun untuk menyalurkan sumberdayanya (waktu dan ilmu pengetahuan) ke dalam yayasan
dengan menjadi pengurus atau pengawas yayasan.
Penciutan jumlah yayasan tentunya akan merugikan hak-hak fakir miskin, anak-anak
terlantar, serta masyarakat umum yang selama ini menjadi stakeholder dan penerima manfaat
(beneficiary) dari aktivitas yayasan. Melihat jumlah yayasan yang menurut satu catatan ada
4

sekitar 3.000 yang berdiri dan beroperasi penuh dan sekadar eksis sekitar 20.000 yayasan,
dapat dibayangkan efek sosial-ketenagakerjaan yang timbul bila yayasan-yayasan tersebut

bubar/dilikuidasi.
Tinggal sekarang kembali kepada pemerintah (termasuk DPR) apakah bersedia meninjau
kembali UUY ini sebelum berlaku efektif atau maju terus. Sebaiknya, pemberlakuan UUY
mempertimbangkan untung-rugi dari tercapainya maksud mengoreksi penyimpangan yayasan
lama di satu pihak. Serta efek sosial yang mungkin timbul apabila yayasan-yang selama ini
telah menjadi mitra pemerintah dalam melayani aktivitas sosial, keagamaan dan
kemanusiaan-digerogoti semangatnya.
Pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif tindakan pengoreksian (yang nota bene
sifatnya sementara/insidential) terhadap yayasan-yayasan lama, tanpa harus menyatukannya
dengan upaya pengisian kekosongan hukum yang nota bene akan berlaku lebih permanen.

5