PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa UNTUK PRODUKSI EMBRIO DOMBA IN VITRO

3. PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa UNTUK PRODUKSI EMBRIO DOMBA IN VITRO

ABSTRACT The aim of this study was to investigate the capacity of CR1aa as a simple medium for maturation, fertilization and culture of ovine embryo in vitro. Oocytes were collected by slicing method in Phosphate Buffer Saline PBS supplemented with 5 Fetal Bovine Serum FBS and 100 IUml penicillin streptomycin. Oocytes were matured in Tissue Culture Medium TCM-199 as control or CR1aa as treatment medium. Both maturation medium were supplemented with 10 Fetal Bovine Serum FBS, 10 IUml Follicle Stimulating Hormone FSH, 10 IUml Luteinizing Hormone LH, 1 ìgml Estradiol and 100 IUml penicillin-streptomycin. Oocytes were incubated in 5 CO 2 incubator, 38 C for 24 h. Matured oocytes were fertilized in BO or CR1aa medium. Both fertilization medium were supplemented with caffeine benzoate and heparin to improve motility and capacitation of spermatozoa. After 18 h in vitro fertilization, oocytes were cultured in TCM -199 or CR1aa medium, both supplemented with 5 FBS, 5 µ gml insulin and 100 IUml penicillin streptomycin. Results showed that the highest maturation rate was found in TCM -199 medium 73.27 and significantly different P0.05 from CR1aa 52.88. Fertilization rate in CR1aa medium 67.59 was higher P0.05 than in BO medium 52.94. Furthermore, there was no significant difference P0.05 between cleavage rate of ovine embryos in TCM -199 or CR1aa medium 39.45; 43109 vs 50.94; 54106. In conclusion, optimum result on ovine in vitro embryo production can be achieved from a combination of TCM -199 as maturation medium and CR1aa as fertilization and culture medium. ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk mengetahui kemampuan CR1aa sebagai semi- defined media dalam proses pematangan, fertilisasi dan kultur embrio domba secara in vitro. Oosit dikoleksi dengan teknik pencacahan dalam medium Phosphate Buffer Saline PBS yang disuplementasi dengan Fetal Bovine Serum FBS 5 dan penicilin streptomycin 100 IUml. Selanjutnya oosit dimaturasi dalam dua medium pematangan yaitu Tissue Culture Medium TCM-199 sebagai kontrol atau CR1aa sebagai perlakuan dan disuplementasi dengan FBS 10, Follicle Stimulating Hormone FSH 10 IUml, Luteinizing Hormone LH 10 IUml, Estradiol 1 µ gml dan penicillin streptomycin 100 IUml. Pematangan oosit dilakukan selama 24 jam dalam inkubator CO 2 5, 38 ° C. Selanjutnya oosit difertilisasi dalam medium BO atau CR1aa. Ke da lam masing-masing medium ditambahkan kafein 2.5 mM dan heparin 20 µ gml untuk meningkatkan motilitas dan kapasitasi spermatozoa. Setelah 18 jam fertilisasi dalam inkubator CO 2 5, 38 ° C, oosit dikultur dalam medium TCM-199 atau CR1aa yang disuplementasi dengan FBS 10, insulin 5 µ gml dan penicillin streptomycin 100 IUml. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat maturasi dari oosit yang dimatangkan dalam medium TCM-199 73.27 lebih tinggi P0.05 daripada CR1aa 52.88. Tingkat fertilisasi dalam medium CR1aa 67.59 lebih tinggi P0.05 daripada medium BO 52.94. Tingkat pembelahan embrio dalam medium TCM -199 tidak berbeda P0.05 dengan CR1aa 39.45; 43109 vs 50.94; 54106. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam proses produksi embrio domba in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi medium TCM-199 sebagai medium pematangan dan CR1aa sebagai medium fertilisasi dan kultur. PENDAHULUAN Keberhasilan proses produksi embrio in vitro dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti jenis medium yang digunakan pada tiap tahapan maturasi, fertilisasi dan kultur, pH dan osmolaritas medium, serta lingkungan kultur yang meliputi suhu, kelembaban dan keseimbangan gas O 2 dan CO 2 . Ada banyak jenis medium yang telah umum digunakan untuk produksi embrio. Medium komersial seperti Tissue Culture Medium-199 TCM -199 merupakan salah satu contoh jenis medium yang sering dipakai pada proses produksi embrio sapi Gandhi et al. 2000; Kochhar et al. 2003, babi Wang et al. 1997, domba O’Brien et al. 1996, kambing Boediono et al. 2000, manusia Roberts et al. 2002, kuda Shabpareh et al. 1993. Komposisi bahan penyusun TCM-199 terdiri dari garam anorganik untuk mengatur osmolaritas medium, asam amino yang mendukung proses pematangan dan perkembangan sel oosit, vitamin, glukosa dan beberapa bahan lain yang mendukung proses pematangan inti oosit dan perkembangan embrio selanjutnya serta natrium bicarbonat yang akan mempertahankan derajat keasaman pH medium. Selain TCM-199 sebagai medium yang sudah umum dipergunakan, juga dikenal beberapa medium lain yang relatif lebih sederhana dari segi komposisi yang dapat digunakan sebagai medium alternatif untuk proses produksi embrio in vitro. Medium tersebut seperti Synthetic Oviduct Fluid SOF yang digunakan untuk mendukung perkembangan embrio sapi Gandhi et al. 2000 dan domba Gomez et al. 1998, KSOM yang dapat digunakan untuk produksi embrio sapi Yang et al. 1995, Gardner’s G1G2 medium untuk embrio sa pi Krisher et al. 1999, Human Tubal Fluid HTF untuk embrio manusia Dumoulin et al. 1999, Whittens dan BMOC-3 untuk oosit babi Setiadi 2002, NCSU-23 untuk embrio babi Wang et al. 1997, Charles Rosenkrans CR 1aa untuk embrio pada sapi Rosenkrans et al. 1993; Rosenkrans dan First 1994, oosit onta Abdoon 2000, oosit dan embrio kerbau Abdoon et al. 2001, embrio kucing Fahrudin 2001, oosit dan embrio kambing Rusiyantono dan Boediono 2003. Medium sederhana tersebut juga dikenal dengan defined medium karena komposisinya diketahui dengan jelas dan dapat dibuat sendiri. Hal tersebut akan memudahkan dan menurunkan biaya proses produksi embrio secara in vitro. Komposisi medium CR1aa terdiri dari garam anorganik NaCl, KCl, buffer NaHCO 3 dan sumber energi yakni asam laktat, sodium piruvat dan glutamin serta asam amino esensial dan nonesensial yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio Rosenkrans et al. 1993; Rosenkrans dan First 1994. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan kemampuan medium alternatif CR1aa dengan TCM -199 dan BO sebagai medium standar yang telah umum digunakan sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu rekomendasi mengenai medium yang paling sesuai dan efisien untuk proses produksi embrio domba in vitro. BAHAN DAN METODE Pematangan Oosit In Vitro Oosit dikoleksi dari ovarium yang diperoleh dari rumah potong hewan RPH dan ditempatkan dalam medium transportasi NaCl fisiologis pada suhu 30 C. Ovarium tersebut dibawa ke laboratorium dalam waktu kurang dari tiga jam setelah pemotongan. Oosit dikoleksi menurut metode Jaswandi et al. 2001 dengan mencacah bagian korteks ovariu m menggunakan pisau bedah steril ukuran 20. Koleksi oosit dilakukan menggunakan larutan dulbecco’s Phosphate Buffer Solution dPBS; Gibco,Grand Island, NY, USA yang disuplementasi dengan Fetal Bovine Serum FBS; Gibco,Grand Island, NY, USA 5 dan penicillin- streptomycin Gibco,Grand Island, NY, USA 100 IUml. Oosit yang digunakan adalah oosit yang memiliki sitoplasma yang homogen, kompak dan memiliki lebih dari dua lapis sel kumulus. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium koleksi dan medium maturasi masing-masing sebanyak dua kali. Selanjutnya oosit dimatangkan dalam medium TCM-199 Sigma, USA atau CR1aa yang disuplementasi dengan FBS 10, Follicle Stimulating Hormone FSH; Antrin ® , Denka Pharmaceutical Co., Kawasaki, Japan 10 IUml, Luteinizing Hormone LH; Chorulon ® , Intervet International B.V., Boxmer, Holland 10 IUml, Estradiol Oestradiol Benzoate ® , Intervet International B.V., Boxmer, Holland 1 ìgml dan penicillin-streptomycin Gibco, Grand Island, NY, USA 100 IUml. Pematangan oosit dilakukan dalam medium maturasi dalam bentuk drop masing- masing 50 µl untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan mineral oil Sigma Chemical Co. St. Louis MO, USA dalam inkubator CO 2 5, 38 C selama 24 jam. Kapasitasi Spermatozoa dan Fertilisasi In Vitro Sebanyak dua straw semen beku dari pejantan domba garut yang sama digunakan setiap kali in vitro fertilization IVF. Proses thawing dilakukan dengan mencairkan semen beku dalam air bersuhu 37 C selama 30 detik. Selanjutnya semen disentrifugasi dua kali masing-masing 500G selama 5 menit dalam medium kapasitasi spermatozoa yakni BO Brackett dan Oliphant 1975 atau CR1aa yang mengandung caffeine benzoate Sigma , USA 2.5 mM. Kemudian dilakukan swim-up untuk menyeleksi spermatozoa berdasarkan motilitasnya dalam inkubator CO 2 selama 60 menit. Spermatozoa yang terseleksi diencerkan dalam medium fertilisasi yang mengandung caffeine benzoate 2.5 mM dan heparin Shimizu, Japan 20 µ gml. Konsentrasi spermatozoa yang digunakan untuk keperluan IVF adalah sebesar 2.10 6 spermatozoaml. Spermatozoa disiapkan dalam bentuk drop masing-masing sebanyak 100 ì l dalam cawan petri untuk 20-25 oosit dan ditutup dengan mineral oil Boediono et al. 2003. Oosit yang telah dicuci dalam medium fertilisasi sebanyak dua kali untuk keperluan fertilisasi kemudian diequilibrasi selama 30 menit sebelum IVF. Oosit kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa dan diinkubasi selama 18 jam dalam inkubator CO 2 5, 38 C. Perkembangan Embrio In Vitro Setelah 18 jam, oosit dicuci dalam medium kultur sebanyak dua kali dan dipindahkan ke dalam 100 ìl medium kultur TCM-199 atau CR1aa yang disuplementasi dengan FBS 10, insulin Sigma, USA 5 µ gml dan penisillin- streptomisin 100 IUml. Perkembangan embrio diamati sampai hari kelima. Penggantian medium IVC dilakukan setiap 48 jam. Evaluasi Setelah 24 jam pematangan dan 18 jam fertilisasi in vitro, status inti oosit dievaluasi dengan cara melepaskan sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit dengan bantuan enzim hyaluronidase Sigma, USA 0.25 dan dilanjutkan dengan cara dipipet berulang-ulang menggunakan pipet berdiameter 110-120 µ m sesuai dengan ukuran oosit. Oosit yang telah bebas dari sel kumulus diletakkan pada drop KCl 0.9 di atas kaca obyek, lalu difiksir dengan kaca penutup yang memiliki bantalan paraffin dan vaselin 1:9 di keempat sudutnya. Kaca obyek tersebut dimasukkan dalam larutan fiksasi yang mengandung asam asetat dan etanol dengan perbandingan 1:3 selama 3 hari. Satu jam sebelum diwarnai, kaca objek direndam terlebih dahulu dalam larutan etanol absolut. Setelah itu preparat oosit diwarnai dengan aceto-orcein 2 selama 5 menit. Kemudian larutan pewarna dibersihkan dengan asam asetat 25 dan keempat sisi kaca penutup diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi inti dengan mikroskop fase kontras. Evaluasi tingkat kematangan inti dinilai dengan cara menghitung jumlah oosit pada setiap tahap pembelahan meiosis. Pada penelitian ini status inti oosit dikelompokkan menjadi Germinal Vesicle Break Down GVBD, Metaphase I M I dan Metaphase II M II. GVBD ditandai dengan robeknya membran inti dan inti sudah tidak terlihat jelas, M I ditandai dengan adanya kromosom homolog yang berderet di bidang ekuator serta M II ditandai dengan adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama dengan tahap M I. Oosit yang telah matang akan berada pada tahap Metaphase II. Proses fertilisasi yang diamati meliputi dekondensasi kepala spermatozoa dan pembentukan pronukleus PN jantan. Sel telur yang telah mengalami fertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus jantan dan betina, 2 PN atau lebih 2PN dalam sitoplasma sel telur. Tingkat fertilisasi merupakan perbandingan antara jumlah sel telur yang dibuahi membentuk dua atau lebih pronukleus dengan jumlah keseluruhan sel telur yang difertilisasi. Tingkat pembelahan dan perkembangan embrio diketahui dengan pengamatan menggunakan mikroskop inverted pada hari kedua hingga kelima. Tingkat pembelahan diperoleh dengan menghitung persentase jumlah zigot yang berhasil membelah dibandingkan dengan keseluruhan jumlah zigot yang dikultur. Sedangkan tingkat perkembangan embrio diperoleh dengan menghitung jumlah embrio yang mencapai tahap 4 dan 8 sel serta morula dibandingkan dengan keseluruhan jumlah zigot yang membelah. Analisis Data Data dianalisis dengan analisis sidik ragam ANOVA dalam bentuk rancangan acak lengkap masing-masing dua perlakuan dan tujuh kali ulangan. Uji terhadap perbedaan perlakuan dilakukan dengan Duncan’s Multiple Range Test DMRT Steel dan Torrie 1993. Data diolah menggunakan program SAS system. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1 Tingkat pematangan inti oosit dalam medium TCM -199 dan CR1aa, 2 Tingkat fertilisasi oosit dalam medium BO dan CR1aa, 3 Tingkat perkembangan embrio in vitro. Tingkat Pematangan Inti Oosit Pematangan oosit bertujuan untuk menghasilkan oosit sekunder haploid yang memiliki komponen sel yang diperlukan dalam proses fertilisasi dan perkembangan embrio. Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga ta hap yakni GVBD Germinal Vesicle Break Down , M-I Metafase I dan M-II Metafase II Gambar 3.1. Gambar 3.1. Status inti oosit setelah pematangan in vitro. Tanda panah menunjukkan status inti pada tahap: A. GVBD Germinal Vesicle Break Down , B. M-I Metafase I, C. M-II Metafase II. Bar = 50 µ m. Hasil pematangan inti oosit domba in vitro dalam medium TCM-199 dan CR1aa terlihat pada Tabel 3.1. Oosit yang dimatangkan dalam medium TCM-199 mencapai tingkat pematangan yang lebih tinggi P0.05 dibandingkan dengan medium CR1aa. Oosit yang mencapai tahap metafase II setelah dimatangkan selama 24 jam dalam TCM -199 mencapai 73.27, sedangkan dalam medium CR1aa hanya 52.88. Hal ini diduga karena perbedaan komponen penyusun kedua jenis medium yang berpengaruh terhadap tekanan osmotik medium serta metabolisme sel secara keseluruhan. GVBD M-I M-II B A C Tabel 3.1 Tingkat pematangan inti oosit domba dalam medium TCM-199 dan CR1aa Status inti Medium Jumlah oosit GVBD M-I M-II TI TCM-199 101 9 8.91 b 17 16.83 a 74 73.27 a 1 0.99 a CR1aa 104 22 21.15 a 25 24.04 a 55 52.88 b 2 1.92 a Ket. GVBD: Germinal Vesicle Break Down; M -I: Metafase I; M -II: Metafase II. Huruf berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05. Hasil yang diperoleh berbeda dengan laporan Rusiyantono dan Boediono 2003 yang juga menggunakan medium CR1aa sebagai medium maturasi bagi oosit kambing. Setelah dimatangkan selama 26 jam in vitro dalam medium CR1aa, oosit kambing yang mencapai tahap M-II adala h sebanyak 88 dan tidak berbeda nyata dengan oosit yang dimatangkan dalam medium TCM-199 82.3. Jaswandi et al. 2001 yang menggunakan TCM -199 sebagai medium pematangan oosit domba selama 24 jam memperoleh persentase M-II sebesar 71. Abdoon 2001 melaporkan bahwa oosit onta yang dimatangkan selama 36 jam dalam medium CR1aa dapat mencapai tahap M-II sebanyak 85.4. Perbedaan hasil yang diperoleh ini diduga karena perbedaan jenis hewan yang digunakan dan perbedaan lamanya proses pematangan oosit in vitro yang dilakukan. Jumlah oosit yang tertahan pada fase GVBD dalam medium CR1aa lebih tinggi dan berbeda nyata dengan TCM-199 P0.05. Komposisi bahan penyusun TCM-199 sebagai medium komersial lebih kompleks karena terdiri dari sumber energi, garam anorganik, buffer, asam amino dan vitamin yang akan mendukung pematangan inti oosit secara in vitro. Sehingga kemungkinan proses metabolisme sel menjadi lebih optimal dan oosit dapat mencapai tahapan metafase II sebagai oosit matang. Tidak diketahui secara pasti apakah keseluruhan komponen yang terdapat dalam TCM -199 tersebut dibutuhkan atau bahkan memberikan efek inhibitor pada konsentrasi tertentu Yang et al. 1995. Sodium piruvat sebagai sumber energi utama selama proses maturasi oosit diketahui berguna untuk meningkatkan kemampuan pematangan oosit sapi Geshi et al. 2000 yang dikultur tanpa sel kumulus. Medium kultur dan tahapan pematangan inti dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan piruvat dan jumlah laktat yang diproduksi, sehingga komposisi dari mediu m maturasi akan sangat mempengaruhi tingkat pematangan inti oosit. Penggunaan piruvat dan produksi laktat pada tiap oosit berbeda tergantung pada tahapan pematangan inti, dimana penggunaan piruvat dan produksi laktat akan lebih tinggi pada saat GVBD daripada tahap pengeluaran polar body Roberts et al. 2002. Medium CR1aa merupakan semi -defined media yang terdiri dari NaCl dan KCl sebagai garam anorganik, sodium piruvat, asam laktat dan glutamin sebagai sumber energi dan NaHCO 3 sebagai buffer serta asam amino esensial dan nonesensial yang diperlukan bagi metabolisme embrio pre dan pasca implantasi. Glutamin dapat dimetabolisme oleh sel oosit yang dimatangkan dengan ataupun tanpa sel kumulus Rieger 1996. Glutamin merupakan substrat sumber energi sebagai pengganti glukosa yang berguna bagi perkembangan embrio sapi tahap awal Moore dan Bandioli 1993 dan berguna untuk mengatasi hambatan perkembangan tahap dua sel pada embrio hamster Barnett dan Bavister 1996. Pada pematangan oosit sapi in vitro , metabolisme piruvat, glutamin dan glycin meningkat secara nyata setelah 12-18 jam kultur. Disamping itu metabolisme glutamin semakin meningkat bersama dengan adanya suplementasi LH ke dalam medium Rieger 1996. Kombinasi piruvat dan laktat dapat meningkatkan perkembangan embrio sapi in vitro Rosenkrans et al. 1993. Walaupun tingkat kematangan inti dalam medium CR1aa dapat mencapai angka 52.88, namun tidak cukup mampu mengimbangi kemampuan TCM-199 dalam mematangkan inti oosit domba. Penambahan hormon FSH dan LH ke dalam medium maturasi dapat meningkatkan ekspansi sel-sel kumulus dan mengatasi hambatan meiosis pada oosit babi Niwa 1993. LH diketahui dapat meningkatkan pematangan meiosis, daya fertilitas dan pembelahan embrio pada kultur tanpa suplementasi makromolekul. Penggunaan estradiol dosis tinggi dalam medium maturasi dapat menurunkan tingkat pembelahan dan kemampuan perkembangan embrio menuju tahap selanjutnya. Secara keseluruhan penambahan hormon FSH, LH dan estradiol dalam medium kultur dapat meningkatkan daya fertilitas dan pembelahan embrio yang berasal dari pematangan oosit sapi in vitro Keefer et al. 1993. Tingkat pematangan oosit secara in vitro juga dipengaruhi oleh kualitas oosit yang digunakan. Bilodeau-Goeseels dan Panich 2002 menyatakan persentase tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit yang memiliki lebih dari lima lapis sel kumulus mencapai angka yang lebih tinggi dan berbeda nyata daripada tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit dengan lapisan sel kumulus kurang dari lima lapis, walaupun sitoplasmanya homogen. Keberadaan sel kumulus dapat mendukung pematangan oosit melalui zat metabolit yang dihasilkan dan disekresikan melalui mekanisme gap junction ke sel oosit. Ekspansi kumulus dapat didukung oleh penambahan sel granulosa dari folikel, walaupun menurut penelitian Setiadi 2002 tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat pematangan inti antara oosit yang dimatangkan dengan co-culture sel granulosa folikel dengan yang tidak. Pada penelitian ini sel-sel kumulus dalam medium TCM -199 dan CR1aa sama-sama mengalami ekspansi setelah 24 jam proses maturasi oosit Gambar 3.2. Gambar 3.2 Perkembangan oosit domba in vitro. A. oosit sebelum mengalami pematangan yang ditandai dengan adanya sel-sel kumulus yang kompak, B. oosit setelah proses maturasi in vitro ditandai dengan terjadinya ekspansi sel-sel kumulus. O: oosit, SK: sel kumulus, SE: sel kumulus ekspansi. Bar = 100 µ m. Oosit yang tidak matang dapat disebabkan karena degenerasi dan juga karena berasal dari folikel berdiameter kurang dari 2 mm. Hal tersebut dimungkinkan karena metoda koleksi oosit yang digunakan dengan cara pencacahan mengakibatkan semua folikel dengan berbagai ukuran menjadi ikut O SK O SE A B tersayat. Sebagian besar oosit yang berasal dari folikel berdiameter kurang dari 2 mm akan terhenti pada tahap M-I de Smedt et al. 1992. Tingkat Fertilisasi Oosit Oosit hasil pematangan dalam medium TCM-199, selanjutnya difertilisasi secara in vitro dalam dua jenis medium yaitu BO Brackett dan Oliphant 1975 atau CR1aa yang disuplementasi dengan caffeine dan heparin. Pengamatan terhadap perkembangan inti oosit dan spermatozoa setelah fertilisasi dilakukan dengan membedakan menjadi tiga tahap yaitu dekondensasi kepala spermatozoa DK, satu pronukleus 1PN, dua pronukleus 2PN dan lebih dari 2 pronukleus 2PN Gambar 3.3. Tingkat fertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua atau lebih pronukleus dalam oosit. Sel-sel kumulus yang mengalami ekspansi pada saat pematangan terlepas akibat adanya enzim hyaluronidase yang dilepaskan oleh spermatozoa pada saat fertilisasi Gambar 3.4. Gambar 3.3. Status inti oosit setelah fertilisasi in vitro. Tanda panah menunjukkan status inti pada tahap: A. Dekondensasi Kepala DK spermatozoa, B. 1 Pronukleus PN, C. 2 PN, D. 4 PN. Bar = 50 µ m. B C D A Gambar 3.4 Oosit setelah 18 jam IVF. Terlihat sel kumulus SK tidak lagi kompak dan tampak adanya 2 polar body PB yang keluar akibat adanya aktivasi spermatozoa ke dalam oosit. Bar = 50 µ m. Oosit yang mencapai tingkat fertilisasi tertinggi diperoleh dari medium CR1aa dan berbeda nyata dengan medium BO P0.05 Tabel 3.2. Oosit yang dapat membentuk 2 PN dalam medium CR1aa mencapai 65.74 sedangkan dalam medium BO adalah sebesar 50.98. Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan komposisi bahan penyusun yang terkandung sehingga berpengaruh pada osmolaritas dari kedua jenis medium tersebut. Rata-rata osmolaritas medium yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebesar 320 mOsM untuk medium BO dan 282 mOsM untuk medium CR1aa. Osmolaritas medium CR1aa yang digunakan masih berada dalam kisaran normal 275-295 mOsM untuk mendukung perkembangan embrio Gardner dan Lane 2000 dan lebih rendah daripada medium BO. Hal tersebut diduga menjadi penyebab perbedaan tingkat fertilisasi dalam kedua jenis medium. Osmolaritas medium ternyata memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ion intra dan ekstraseluler dan berpengaruh pada metabolisme sel secara umum. PB S K Tabel 3.2 Tingkat fertilisasi oosit domba dalam medium BO dan CR1aa Status inti Medium Jumlah oosit DK 1 PN 2 PN 2 PN TF BO 102 13 12.75 a 15 14.71 a 52 50.98 b 2 1.96 a 54 52.94 b CR1aa 108 7 6.48 a 13 12.04 a 71 65.74 a 2 1.85 a 73 67.59 a Ket. DK: Dekondensasi; PN: Pronukleus; TF: Tingkat Fertilisasi. Huruf berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05. Tingkat fertilisasi oosit kambing dalam medium CR1aa adalah sebesar 54.5 Rusiyantono dan Boediono 2003. Sedangkan tingkat fertilisasi oosit domba dalam medium CR1aa yang dilaporkan oleh Djuwita et al. 2005 adalah sebesar 84. Perbedaan hasil yang diperoleh diduga akibat perbedaan jenis hewan dan spermatozoa yang digunakan. Dalam penelitian ini spermatozoa yang digunakan adalah spermatozoa domba garut, sementara sel telur berasal dari bukan domba garut sehingga terbentuk embrio yang hibrid. Perubahan pH intraseluler juga terjadi selama kapasitasi berlangsung. Medium kapasitasi yang mengandung natrium bicarbonat, disamping untuk menjaga kestabilan pH juga berguna untuk menstimulasi aktivitas adenylate cyclase. Inkubasi spermatozoa dalam medium yang mengandung zinc dapat menyebabkan hambatan terhadap proses kapasitasi karena zinc me mpengaruhi ketidakstabilan membran plasma spermatozoa Baldi et al. 1996. Kegagalan fertilisasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1 proses pematangan inti maupun sitoplasma yang kurang sempurna, 2 kegagalan spermatozoa melakukan kapasitasi dan reaksi akrosom sehingga akan menyebabkan spermatozoa tidak mampu membuahi oosit, 3 kegagalan spermatozoa mengalami kondensasi dalam sitoplasma oosit sehingga terjadi kegagalan pembentukan pronukleus jantan Crozet et al. 1995. Perkembangan Embrio Tingkat perkembangan embrio setelah mengalami pematangan dan fertilisasi in vitro terlihat pada Tabel 3.3. Kemampuan embrio berkembang dalam medium kultur ditunjukkan dengan kemampuan embrio membelah dan berkembang hingga tahap morula. Tabel 3.3 Tahapan perkembangan embrio in vitro dalam medium TCM -199 dan CR1aa Perkembangan embrio mencapai tahap Medium Tingkat pembelahan sel 4 sel 8 sel Morula TCM-199 43109 39.45 1643 37.21 1243 27.91 443 9.30 CR1aa 54106 50.94 2854 51.85 1754 31.48 1054 18.52 Oosit yang telah dimatangkan dalam medium TCM -199 dan difertilisasi dalam medium CR1aa selanjutnya dikultur dalam medium TCM-199 atau CR1aa. Kemampuan embrio membelah dalam kedua medium tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata P0.05. Namun terdapat kecenderungan tingkat pembelahan embrio 2-8 sel dan perkembangan embrio yang mencapai morula Gambar 3.5 lebih tinggi dalam medium CR1aa daripada dalam medium TCM- 199. Hal ini diduga karena adanya kandungan glukosa sebanyak 1 grl dalam TCM-199 yang dapat menghambat pertumbuhan embrio tahap awal. Glukosa lebih dibutuhkan selama perkembangan blastosis sedangkan piruvat digunakan oleh embrio selama tahap preimplantasi sebelum mencapai blastosis. Penelitian Rusiyantono dan Boediono 2003 pada embrio kambing yang dikultur dalam medium TCM-199 dan CR1aa juga menunjukkan kecenderungan yang sama dimana tidak terdapat perbedaan nyata antara kedua medium dalam mendukung pembelahan dan perkembangan embrio, namun CR1aa memperlihatkan kecenderungan hasil yang lebih baik. Abdoon et al. 2001 melaporkan bahwa tingkat pembelahan embrio kerbau dalam medium TCM-199 dan CR1aa adalah 32 dan 56. Rosenkrans dan First 1994 menyatakan bahwa tingkat pembelahan embrio sapi dalam medium CR1aa adalah sebesar 74. Sedangkan Djuwita et al. 2005 menyatakan tingkat pembelahan embrio domba in vitro dalam medium CR1aa sebesar 70. Perbedaan hasil yang diperoleh karena perbedaan jenis hewan yang digunakan. Boediono da n Suzuki 1996 melaporkan bahwa kemampuan perkembangan embrio yang dikultur secara in vitro mencapai blastosis berbeda untuk setiap jenis hewan, dimana dalam penelitian tersebut terlihat bahwa jumlah blastosis yang terbentuk dari sapi jenis Japanese Black lebih tinggi daripada sapi jenis Holstein. Gambar 3.5. Perkembangan embrio domba in vitro. Embrio berkembang mencapai tahap: A. 2 sel, B. 4 sel, C. 8 sel, D. 16 sel dan E. morula. Perkembangan embrio sapi dan domba tahap awal sering terhenti pada tahap 8-16 sel. Hambatan perkembangan embrio in vitro merupakan suatu fenomena yang umum terjadi pada embrio dari berbagai species Peters 1992; Barnett dan Bavister 1993. Kejadian tersebut berhubungan dengan konsentrasi glukosa dalam medium. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan co- culture menggunakan sel kumulus, sel oviduct dan sebagainya . Faktor biologis yang terdapat pada cairan sel epithelial oviduct diduga juga dapat mengatasi persoalan tersebut. Sistim semi defined sequential media dapat bekerja efektif seperti halnya menggunakan co-culture maupun media yang disuplementasi 50 µ µ m 50 µ µ m 50 µ µ m 50 µ µ m 20 µ µ m E D C B A dengan serum Gandhi et al. 2000. Medium CR1aa tidak mengandung glukosa dan mengalami penambahan asam amino esensial dan nonesensial. Selama perkembangan dari tahap 8 sel menuju blastosis, asam amino nonesensial dan glutamin berfungsi untuk menstimulasi pembentukan blastosis dan hatching serta asam amino esensial berguna untuk meningkatkan jumlah sel pada blastosis dan membantu proses diferensiasi sel membentuk Inner Cell Mass ICM Steeves dan Gardner 1999. Oleh karena itu, maka diduga hal tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa CR1aa dapat mendukung perkembangan embrio domba in vitro lebih baik daripada TCM-199. Metabolisme piruvat meningkat setelah terbentuknya morula. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme oksidatif memainkan peranan penting dalam pembentukan blastosis, terutama sebagai sumber energi. Sedangkan metabolisme glukosa tidak memegang peranan penting baik melalu i siklus Krebs maupun proses metabolisme lain pada tiap tahap pembelahan embrio. Peningkatan aktivitas glikolisis mengakibatkan keterlambatan sel mencapai tahap blastosis, menurunkan jumlah sel yang terbentuk dan menurunkan daya hidup embrio Krisher et al. 1999. Pada sapi, glukosa dalam konsentrasi tinggi 3 mmoll pada tahap awal pembelahan bersifat menghambat inhibisi, namun kebutuhan glukosa baru mengalami peningkatan hingga 5 mmoll untuk menstimulasi pembentukan blastosis setelah hari keempat kultur Gandhi et al. 2000. Insulin dapat meningkatkan penggunaan glukosa sebagai sumber energi. Karena reseptor insulin baru muncul pada tahap 8 sel embrio rodensia maka penggunaan glukosa sebagai sumber enegi utama juga baru akan efektif setelah 8 sel. Sebelumnya embrio akan menggunakan piruvat dan laktat sebagai sumber energi utama Schultz et al. 1992. Pada embrio sapi, diketahui bahwa laktat lebih berperan sebagai sumber energi, sedangkan piruvat diketahui tidak dibutuhkan selama perkembangan Rosenkrans et al. 1993. Penambahan asam amino ke dalam medium bersamaan dengan laktat dan piruvat terbukti dapat meningkatkan perkembangan hingga 8 sel dibandingkan bila hanya laktat atau piruvat saja dalam medium Barnett dan Bavister 1996. Penggunaan bicarbonat dalam medium dengan konsentrasi CO 2 yang konstan dalam lingkungan kultur akan memberikan pengaruh terhadap pH medium. Namun bicarbonat hanya mampu menjaga kestabilan pH dalam interval pH yang cukup jauh 6.8-7.8 sehingga tidak mampu menjaga embrio dari kerusakan akibat perubahan pH Barnett dan Bavister 1996. Medium TCM-199 sebagai medium kultur juga terbukti dapat mendukung perkembangan embrio. Jaswandi 2002 melaporkan tingkat pembelahan embrio domba dalam TCM-199 sebesar 57.54. Penggunaa n TCM -199 yang disuplementasi dengan serum sebagai medium IVM terbukti dapat meningkatkan jumlah blastosis yang mengalami hatching daripada dalam medium SOF, namun jumlah sel yang terbentuk dari kedua jenis medium ini tidak berbeda nyata Gandhi et al. 2000; Van Langendonckt et al. 1997. Hal tersebut menunjukkan bahwa komponen yang terkandung dalam TCM-199 memberikan efek positif terhadap peningkatan jumlah blastosis yang mengalami hatching. Fetal Calf Serum FCS dapat mengatasi masalah rendahnya jumlah pronukleus jantan yang terbentuk Wang et al.1997. Kultur oosit dengan FCS pada 24 jam pertama dan dilanjutkan dengan penambahan BSA untuk 24 jam kedua terbukti dapat menurunkan tingkat kejadian polyspermia in vitro Niwa 1993. Penambahan Superovulated Cow Serum SCS ke dalam medium IVM dan IVC dapat meningkatkan jumlah blastosis pada hari kesembilan kultur lebih tinggi daripada jumlah blastosis dari medium yang sama yang mengalami penambahan FCS. Penggunaan SCS dari hari ke -0 dan ke-7 akan meningkatkan persentase pembelahan dan perkembangan blastosis jika konsentrasi glukosa, asam lemak dan kolesterol dalam medium maturasi dan kultur rendah Boediono et al. 1994. Disamping itu serum yang berasal dari sapi estrus Estrus Cow Serum ECS terbukti juga dapat meningkatkan pembelahan dan perkembangan embrio mencapai tahap morula maupun blastosis Setiadi et al. 1995. Penambahan insulin ke dalam medium kultur embrio dapat mendukung perkembangan embrio. Reseptor insulin muncul pada tahap 8 sel pada embr io mencit. Insulin dan BSA memberikan efek positif untuk pertambahan jumlah sel embrio, namun juga dapat memberikan efek additive ketika keduanya dikombinasikan dalam satu medium. Insulin merupakan promotor pertumbuhan yang efektif dalam 48 jam kultur ya kni dari tahap 2 sel. Penambahan insulin dapat meningkatkan jumlah blastosis dan jumlah sel yang terbentuk dalam penelitian in vitro. Insulin lebih berpengaruh terhadap pertambahan jumlah sel ICM daripada sel trophoblast. Pada fetus yang dihasilkan dari embrio yang dikultur dalam medium yang mengandung insulin akan memiliki berat badan lahir yang lebih besar daripada yang tidak, sehingga dikenal adanya istilah giant calves untuk anak sapi baru lahir yang terbentuk dari proses produksi in vitro Kaye et al. 1992. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemilihan jenis medium sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh pada setiap tahapan produksi embrio domba in vitro. Medium maturasi oosit yang lebih baik untuk mendapatkan tingkat maturasi yang tinggi pada embrio domba adalah TCM-199 P0.05. Medium fertilisasi CR1aa yang disuplementasi dengan caffeine benzoate dan heparin terbukti menghasilkan tingkat fertilisasi yang lebih tinggi P0.05 daripada medium BO. Untuk medium kultur embrio, CR1aa dan TCM- 199 menunjukkan kemampuan yang sama dalam mencapai tingkat pembelahan dan perkembangan embrio P0.05. SARAN Dari hasil penelitian disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh penambahan glukosa ke dalam medium alternatif CR1aa terhadap perkembangan embrio tahap lanjut blastosis dan pengaruhnya terhadap kemampuan hidup embrio untuk implantasi pada tubuh induk setelah proses embrio transfer.

4. PRODUKSI EMBRIO DOMBA IN VITRO MENGGUNAKAN OOSIT DARI OVARIUM DENGAN STATUS REPRODUKSI