Pengaruh Intensitas Naungan Terhadap Pertumbuhan Propagul Rhizophora apiculata Blume Di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat

PENGARUH BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN PROPAGULRhizophora
apiculata Blume DI DESA JARING HALUS, KECAMATAN
SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Oleh :
FITRI RAHMI
BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Universitas Sumatera Utara

PENGARUH BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN PROPAGULRhizophora

apiculata Blume DI DESA JARING HALUS, KECAMATAN
SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Oleh :
FITRI RAHMI
BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian :Pengaruh Intensitas Naungan Terhadap Pertumbuhan Propagul
Rhizophora apiculata Blume Di
Desa Jaring Halus,
Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.
Nama

: Fitri Rahmi

Nim

: 101201054

Program Studi

: Kehutanan

Disetujui oleh,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si

Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D

Ketua

Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D
Ketua Program Studi Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
FITRI RAHMI : Pengaruh Berbagai Intensitas Naungan Terhadap Pertumbuhan
PropagulRhizophora apiculata di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh YUNASFI dan MOHAMMAD BASYUNI
Rhizophora apiculata merupakan tumbuhan mangrove yang memiliki
perakaran yang rapat dan kuat serta mampu menahan gelombang laut. Kini
keberadaan R. apiculatasemakin habis. Satu diantara beberapa usaha yang
dilakukan untuk merehabilitasi hutan mangrove adalah pembibitan R. apiculata.
Penelitian ini bertujuan mengetahui intensitas naungan yang baik untuk
pertumbuhan R. apiculata. Penelitian dilakukan di Desa Jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat dan di Laboratorium Biologi Tanah, Program
Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang
dilaksanakan pada bulan Januari − April 2014. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 5 perlakuan, yaitu
intensitas naungan (0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%) yang diulang sebanyak 5
sehingga diperoleh 25 unit percobaan.
Hasil penelitian menunjukkan respons R. apiculatadengan intensitas
naungan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap tinggi, jumlah helai daun,
luas daun total, persentase hidup dan persentase mortalitas. Tinggi bibit terbesar
pada R. apiculatadengan intensitas naungan 75% sebesar 22.32 cm. Diameter
terbesar pada R. apiculatatanpa naungan yaitu sebesar 0.496 cm. Jumlah helai
daun terbesar pada bibit R. apiculatadengan intensitas naungan 75% sebanyak 6
helai. Luas daun total bibit terbesar pada R. apiculatadengan intensitas naungan

75% sebesar 135.02 cm2. Biomassa total terbesar pada R. apiculatadengan
intensitas naungan 25% sebesar 1.59g.Persentase hidup terbesar pada R.
apiculatadengan intensitas naungan 50% dan 75% sebesar 100%.
Kata kunci : Mangrove, Pembibitan,Rhizophora apiculata, Intensitas naungan

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
FITRI RAHMI: Effect of VariousShade Intensity on growth of Rhizophora
apiculata propagule in the Village of Jaring Halus, District Secanggang, Langkat.
Supervised by YUNASFI and MOHAMMAD BASYUNI
Rhizophora apiculata mangrove is a plant that has a denser rooting
genius and strong and able to withstand the waves of the sea. Now the presence of
R. apiculata is depleted. One of the efforts to rehabilitate the forest mangrove is
doing seedbedR. apiculata. This study aims to determine the intensity of the shade
is good for the growth of R. apiculata. The study was conducted in the village of
Jaring Halus, District Secanggang, Langkat Regency and in Soil Biology
Laboratory, Agroekoteknologi Studies Program, Faculty of Agriculture,
University of North Sumatra held in January −April 2014. Research using
completely randomized design (CRD) with 5 non-factorial treatment, the intensity

of shade (0%, 25%, 50%, 75%, and 100%) were repeated by 5 to obtain 25
experimental units.
The results showed a response to the intensity R. apiculata given shade
significantly affect height, number of leaves, total leaf area, the percentage of live
and percentage mortality. Greatest height in R. apiculata seedlings with shade
intensity 75% by 22.32 cm. The largest diameter in R. apiculata without shade
that is equal to 0.496 cm. Greatest number of leaves of R. apiculata seedlings with
shade intensity 75% by 6 strands. Largest total leaf area on R. apiculata seedlings
with 75% shade intensity of 135.02 cm2. Largest total biomass in R. apiculata
with 25% shade intensity of 1.59 g. Percentage greatest living on R. apiculata
with shade intensity 50% and 75% at 100%.
Key words : Mangrove, Seedbed, Rhizophora apiculata, Intensity of shade

Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 07 April 1991 dari Ayah
Zulkarnain dan Ibu Malem Ariana. Penulis merupakan putri ketiga dari empat
bersaudara.
Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 6Medan, dan pada tahun 2010

penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis UMB-PTN.
Penulis memilih Program Kehutanan. Selain mengikuti perkuliahan, penulis aktif
sebagai anggota Badan Kenaziran Mushola Kehutanan, Rain Forest dan sebagai
asisten Praktikum Hidrologi Hutan. Penulis pernah mendapatkan Beasiswa PPA
dan Pelayanan Kasih A&A Rahmat.
Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H)
diKawasan Tahura Bukit Barisan, Kabupaten Karo pada tanggal 7 Juni S/D 16
Juli 2012. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT. Inhutani I
UM-HTI Batu Ampar, Kalimantan Timur dari tanggal 27 Januari - 27 Februari
2014.

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Berbagai Intensitas Naungan Terhadap Pertumbuhan Propagul
Rhizophora apiculata Blume di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang,
Kabupaten Langkat”.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, Ayahanda Zulkarnain dan Ibunda
Malem Ariana serta abang, kakak, dan adik penulis atas doa dan dukungannya.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan
Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan berharga kepada penulis
dari mulai menetapkan judul, pelaksanaan penelitian, sampai pada ujian akhir.
Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk Bapak Anan dan Pak Jay di Desa
Jaring Halus yang telah memberikan tempat untuk penelitian saya dan banyak
membantu dalam penelitian.
Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf
pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian serta
teman-teman Kehutanan 2010 yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat.
Medan, Juli 2014
Penulis

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Hal.
ABSTRAK……………………………………………………………………….........i
ABSTRACT……………………………………………………………………............ii
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………. ........iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………..................iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………….....................v
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….......... vi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….........vii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..........viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………......………… 1
Tujuan Penelitian…………………………………………………….....……………..3
Hipotesis Penelitian………………………………………………….....……………. 3
Manfaat Penelitian………………………………………………….....…...………….3
Kerangka Pemikiran ………………………………………………….....…………… 3
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Hutan Mangrove………………………………………............…………...5
Bakau Minyak (Rhizophora apiculata)……………………………......……………...7
Kebutuhan Cahaya Untuk Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan Tanaman..................9
Naungan.....................................…………………………………….....………….....12

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat………………………………………………………......……… 15
Kondisi Geografis Desa…………………………………………………......……… 15
Bahan dan Alat………………………………………………………………......….. 16
Metode Penelitian…………………………………………………………….....….. 16
Prosedur Penelitian
Persiapan lahan ………………………………..............................………………17
Penyediaan tanah aluvial…………………………...……………………………..17
Pemilihan propagul……………………………………………………….............17
Penanaman di polibag………………………………………………………........ 18
Parameter yang Diukur
Tinggi bibit…………………………………………………………………......... 18
Diameter bibit………………………………………………………………........ 18
Jumlah daun………………………………………………………………......…. 18
Luas daun total………………………………………………………………....... 19
Biomassa total………………………………………………………………........ 19
Persentase hidup………………………………………………............................. 19
Persentase mortalitas …………………………………………...................…….. 20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi rata-rata bibit R. apiculata ..........................................................................21

Diameter rata-rata bibit R. apiculata ......................................................................21

Universitas Sumatera Utara

Jumlah daun rata-rata bibit R. apiculata ................................................................22
Luas daun total bibit R. apiculata ..........................................................................23
Biomassa total rata-rata bibit R. apiculata ............................................................24
Persentase hidup bibit R. apiculata…………………………............................. 25
Persentase mortalitas bibit R. apiculata …………………….................................25
Pembahasan
Tinggi rata-rata bibit R. apiculata ..........................................................................27
Diameter rata-rata bibit R. apiculata ......................................................................28
Jumlah daun rata-rata bibit R. apiculata ................................................................29
Luas daun total bibit R. apiculata ..........................................................................30
Biomassa total rata-rata bibit R. apiculata ............................................................31
Persentase hidup bibit R. apiculata…………………………................................32
Persentase mortalitas bibit R. apiculata …………………….................................32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .................................................................................................................33
Saran ...........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL
No.

Hal.

1. Pertumbuhan tinggi rata-rata bibit R. apiculata................................................21
2. Pertumbuhan diameterrata-rata bibit R. apiculata............................................22
3. Jumlah daunrata-rata bibit R.apiculata............................................................23
4. Luas permukaan daun total rata-rata bibit R. apiculata (cm2............................23
5. Biomassa total rata-rata bibit R. apiculata........................................................24
6. Parameter yang diamati pada perlakuan berbagai intensitas naungan
bibit R. apiculata...............................................................................................26

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR
No.

Hal.

1. Kerangka pemikiran penelitian.........................................................................4
2. Peta lokasi penelitian.........................................................................................15
3. Persentase hidup bibit R. mucronata terhadap intensitas naungan...................25
4. \Persentase mortalitas bibit R. mucronata terhadap intensitas naungan...........26

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
FITRI RAHMI : Pengaruh Berbagai Intensitas Naungan Terhadap Pertumbuhan
PropagulRhizophora apiculata di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang,
Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh YUNASFI dan MOHAMMAD BASYUNI
Rhizophora apiculata merupakan tumbuhan mangrove yang memiliki
perakaran yang rapat dan kuat serta mampu menahan gelombang laut. Kini
keberadaan R. apiculatasemakin habis. Satu diantara beberapa usaha yang
dilakukan untuk merehabilitasi hutan mangrove adalah pembibitan R. apiculata.
Penelitian ini bertujuan mengetahui intensitas naungan yang baik untuk
pertumbuhan R. apiculata. Penelitian dilakukan di Desa Jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat dan di Laboratorium Biologi Tanah, Program
Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang
dilaksanakan pada bulan Januari − April 2014. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 5 perlakuan, yaitu
intensitas naungan (0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%) yang diulang sebanyak 5
sehingga diperoleh 25 unit percobaan.
Hasil penelitian menunjukkan respons R. apiculatadengan intensitas
naungan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap tinggi, jumlah helai daun,
luas daun total, persentase hidup dan persentase mortalitas. Tinggi bibit terbesar
pada R. apiculatadengan intensitas naungan 75% sebesar 22.32 cm. Diameter
terbesar pada R. apiculatatanpa naungan yaitu sebesar 0.496 cm. Jumlah helai
daun terbesar pada bibit R. apiculatadengan intensitas naungan 75% sebanyak 6
helai. Luas daun total bibit terbesar pada R. apiculatadengan intensitas naungan
75% sebesar 135.02 cm2. Biomassa total terbesar pada R. apiculatadengan
intensitas naungan 25% sebesar 1.59g.Persentase hidup terbesar pada R.
apiculatadengan intensitas naungan 50% dan 75% sebesar 100%.
Kata kunci : Mangrove, Pembibitan,Rhizophora apiculata, Intensitas naungan

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
FITRI RAHMI: Effect of VariousShade Intensity on growth of Rhizophora
apiculata propagule in the Village of Jaring Halus, District Secanggang, Langkat.
Supervised by YUNASFI and MOHAMMAD BASYUNI
Rhizophora apiculata mangrove is a plant that has a denser rooting
genius and strong and able to withstand the waves of the sea. Now the presence of
R. apiculata is depleted. One of the efforts to rehabilitate the forest mangrove is
doing seedbedR. apiculata. This study aims to determine the intensity of the shade
is good for the growth of R. apiculata. The study was conducted in the village of
Jaring Halus, District Secanggang, Langkat Regency and in Soil Biology
Laboratory, Agroekoteknologi Studies Program, Faculty of Agriculture,
University of North Sumatra held in January −April 2014. Research using
completely randomized design (CRD) with 5 non-factorial treatment, the intensity
of shade (0%, 25%, 50%, 75%, and 100%) were repeated by 5 to obtain 25
experimental units.
The results showed a response to the intensity R. apiculata given shade
significantly affect height, number of leaves, total leaf area, the percentage of live
and percentage mortality. Greatest height in R. apiculata seedlings with shade
intensity 75% by 22.32 cm. The largest diameter in R. apiculata without shade
that is equal to 0.496 cm. Greatest number of leaves of R. apiculata seedlings with
shade intensity 75% by 6 strands. Largest total leaf area on R. apiculata seedlings
with 75% shade intensity of 135.02 cm2. Largest total biomass in R. apiculata
with 25% shade intensity of 1.59 g. Percentage greatest living on R. apiculata
with shade intensity 50% and 75% at 100%.
Key words : Mangrove, Seedbed, Rhizophora apiculata, Intensity of shade

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat
dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta
mengalam suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan
labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala
(Kusmana dkk., 2005).
Ekosistem

mangrove

menggambarkan

sebuah

kekayaan

dan

keanekaragaman sumberdaya alam. Hutan mangrove kini telah diakui sebagai
pelindung utama bagi lingkungan pesisir/pantai dan merupakan sumberdaya
ekonomi nasional yang bernilai tinggi. Sekarang ini kesadaran tentang komunitas
pesisir sangat penting untuk kegiatan konservasi hutan mangrove yang terus
menerus berkurang. Luasan hutan mangrove Indonesia telah berkurang
karenaaktivitas manusia. Dengan demikian diperlukan pengembangan tekhnologi
yang tepat untuk melakukan rehabilitasi mangrove (Kitamura et al., 1997).
Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk kesejahteraan
masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pelestarian, salah satu upaya yang
telah dilakukan adalah dilaksanakannya rehabilitasi mangrove. Akan tetapi,
kegiatan rehabilitasi mangrove masih sering berakhir dengan kegagalan. Beberapa
faktor penyebab yang umum dijumpai antara lain adalah rendahnya kualitas
bibit, tidak sesuainya lokasi penanaman, kesalahan teknologi benih, serta
pelaksanaan yang kurang berpengalaman. Ditambah lagi karena kurangnya

Universitas Sumatera Utara

pengalaman dan pengetahuan mengenai rehabilitasi hutan mangrove. Disamping
itu, minimnya pengalaman, terutama bagi para perencana dan pelaksana kegiatan
di lapangan, juga diyakini berdampak terhadap rendahnya keberhasilan
rehabilitasi mangrove. Pada persemaian mangrove tingkat kematian atau
kelayakan tanaman mangrove khususnya pada tanaman bakau umumnya
memilikiperan penting, hal ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat tentang
benih yang bagus dan siap disemaikan (Supriharyono, 2000).
Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu
menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan
berkualitas tinggi dan siap tanam, maka peluang keberhasilan tumbuh di lapangan
juga

akan

tinggi.

Banyak

spesies

memerlukan

naungan

pada

awal

pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi
secara bertahap. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semaisemai yang berkualitas. Sebaliknya, penggunaan bibit berkualitas rendah hanya
akan menyebabkan kegagalan kegiatan rehabilitasi. Benih yang bagus sebaiknya
dipanen dari pohon yang cukup umur, pertumbuhannya bagus, batang lurus,
memiliki bentuk tajuk simetris, dan tidak terserang hama/penyakit. Jenis tanaman
pantai dan mangrove mempunyai musim berbuah yang berlainan. Jenis mangrove
mempunyai musim berbuah yang serentak yaitu pada pertengahan sampai akhir
tahun. Sedangkan untuk jenis tanaman pantai, musim berbuahnya tidak serentak
(Wibisono, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pertumbuhan
propagul Rhizophora apiculata yang baik pada berbagai intensitas naungan.
Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh pemberian intensitas naungan terhadap pertumbuhan propagul
R. apiculata pada berbagai intensitas naungan.
2. Pemberian intensitas naungan 50% menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik
terhadap pertumbuhan propagul R. apiculata.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan intensitas
naungan yang lebih baik untuk pertumbuhan propagul R. apiculata sehingga dapat
menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengadakan kegiatan
rehabilitasi agar kegiatan rehabilitasi dapat berhasil dengan baik.
Kerangka Pemikiran
Salah satu usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi hutan mangrove
yang telah terdegradasi adalah dengan cara melakukan pembibitan propagul
R. apiculatayang nantinya diperoleh bibit yang pertumbuhannya baik. Dengan
adanya bibit yang pertumbuhannya baik, maka diperoleh hasil yang maksimal dari
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang telah terdegradasi. Namun kegiatan
pembibitan tersebut terkadang tidak bisa langsung ditanam ke media setelah
pengunduhan dari pohon bisa disebabkan masalah waktu, tenaga terbatas atau
jumlah propagul yang banyak, sementara propagul memerlukan waktu yang cepat
untuk ditanam sehingga perlu penanganan propagul sebelum ditanam dilapangan.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu usahanya adalah dilakukan pembibitan R. apiculatadengan perlakuan
pengaruh intensitas naungan untuk mendapatkan bibit dengan pertumbuhan
terbaik sebelum dilakukan penanaman ke lapangan dengan harapan bibit yang
ditanam kelak cepat tumbuh dan berkualitas. Sehingga nantinya ketersediaan bibit
dapat diperoleh pada waktu yang ditetapkan, dengan ini diharapkan hutan
mangrove dapat berfungsi kembali dengan baik sebagai penahan gelombang arus
laut dan juga sebagai habitat satwa agar tidak punah.
Hutan Mangrove

Konversi Lahan

Industri

Pertanian dan Pemukiman

Tambak

Degradasi Lahan

Rehabilitasi

Pembibitan Mangrove

Naungan

Bibit yang Berkualitas

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem hutan mangrove
Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropis dan subtropis yang khas,
tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Mangrove banyak di jumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari
gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah
pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai,
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah
pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena
kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan
sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis
pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove
tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan
tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah
bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada
bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat
pada

jenis

Bruguiera

sexangula,

Bruguiera

gymnorrhiza,

dan

Sonneratiacaseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya
Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke
pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda
dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh
menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping Rhizophora spp., jenis

Universitas Sumatera Utara

penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara "coppice”. Asosiasi hutan
mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan
lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di
bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah (Priyono,
2010).
Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang,
kadar garam yang tinggi dan kondisi tanah yang kurang stabil. Karena kondisi
lingkungan tersebut, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang
memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, dan yang lainnya
mengembangkan sistem akar napas untuk membantu penyerapan oksigen bagi
sistem perakarannya. Bentuk-bentuk perakaran yang khas ini seringkali juga dapat
membedakan jenis-jenis vegetasi mangrove. Bentuk perakarannya dapat
dibedakan menjadi akar udara, akar banir/papan, akar lutut, akar napas, dan akar
tunjang. Bentuk perakaran ini selain sangat efektif dalam mempertahankan
stabilitas lumpur dan pantai, juga mampu menahan penyusupan air laut ke daratan
(Arif, 2003).
Jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang
kerap digempur ombak. Bakau R. apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas
tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan prepat (S. alba) tumbuh di atas
pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (A. alba)
di zona terluar atau zona pionir ini. Di bagian lebih ke dalam, yang masih
tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan
jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah
(Nypa fruticans), peudada (S. caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.). Pada bagian
yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nyirih (Xylocarpus spp.),
teruntum (L. racemosa), dungun (H. littoralis) dan kayu buta-buta (E. agallocha)
(Haryani, 2008).
Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat
tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove disekitar lokasi
penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan
pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan
sebaiknya dilakukan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila
penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat
dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu penanaman melalui buah yang dibibitkan
akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Propagul/benih yang akan
ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum penanaman (Khazali, 2000).
Persemaian bibit mangrove (khususnya Rhizophora spp., Ceriops spp., dan
Bruguiera spp.) biasanya terletak di lokasi yang terkena pasang surut. Dalam kondisi
demikian maka penyiraman tidak perlu dilakukan. Walaupun tidak disiram, namun
pemberian naungan tetap harus dilakukan, terutama dalam waktu 2 bulan pertama.
Setelah itu, intensitas naungan sebaiknya dikurangi. Pengurangan intensitas naungan
ini harus dilakukan secara perlahan-lahan hingga bibit memiliki ketahanan untuk
hidup di lokasi terbuka, sebagaimana kondisi sebenarnya di lapangan.

Bakau minyak (Rhizophora apiculata BIume.)
Bakau minyak (Rhizophora apiculata Blume.) mempunyai taksonomi
tumbuhan yaitu Kingdom : Plantae; Divisi : Magnoliophyta; Sub divisi :
Angiospermae; Kelas : Magniliopsida; Ordo : Malpighiales; Famili :

Universitas Sumatera Utara

Rhiaophoraceae; Genus : Rhizophora; Spesies : Rhizophora apiculata BI. Nama
dagang : Bakau minyak.
R. apiculata dikenal dengan berbagai nama seperti bakau minyak, bakau
tandok, bakau akik, bakau puteh, bakau kacang, bakau leutik, donggo akit, jankar,
abat, parai, mangi-mangi, slengkreng, tinjang, wako. Pohon dengan ketinggian
mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran
yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter dan kadang-kadang memiliki akar
udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubahubah, ranting daun berwarna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan
kemerahan di bagian bawah. Bentuk buah membulat teluratau berbentuk seperti
buah pir terbalik, warna coklat, panjang 2,0-3,5 cm.Hipokotil silindris, berbintil
berwarna hijau jingga, leher kotilodon berwarnamerah jika sudah matang dan
memiliki panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm (Dahlan dkk., 2008).
Bakau

jenis

R.

apiculata

banyak

dimanfaatkan

dalam

bidang

kesehatan,seperti di India dan Cina sebagai anti diare, obat mual, dan muntah
(Gao et al. 2008); antiviral (Premanathan et al. 1999), dan hypoglikemik (Sur et
al. 2004).Batangnya menghasilkan asam piroligneus yang memiliki sifat
antioksidan yangtinggi (Loo et al. 2008), dan kulit kayu menghasilkan tanin yang
digunakansebagai sumber antioksidan alami (Rahim et al. 2008). Satu lagi
kegunaan kayubakau dalam bidang industri adalah untuk bahan baku kertas, kayu
bakau biasadicincang dengan mesin potong menghasilkan serpihan kayu yang
dinamakanwood chips (Duke, 2006).
R. apiculataTumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang
pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang

Universitas Sumatera Utara

bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi
yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki
pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya
dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung
akar. Kepiting darat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu
kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi pembungaan terdapat sepanjang tahun.
Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang, kulit kayu
berisi hingga 30% tanin (persen berat kering). Cabang akar dapat digunakan
sebagai jangkar dengan diberati batu. Di jawa acapkali ditanam di pinggiran
tambak untuk melindungi pematang (Noor dkk., 2006).
Kebutuhan cahaya untuk pertumbuhan tanaman
Cahaya matahari memiliki fungsi yang sangatpenting dalam proses
fotosintesis

pada

tanamansehingga

mempengaruhi

pertumbuhan.

Tajuk

tanamanyang tumbuh dalam kondisi naungan akan menerimasedikit jumlah
radiasi matahari akibatnya naungan akanberpengaruh terhadap proses seperti:
fotosintesis,respirasi, transpirasi, sintesis protein, produksi hormon,translokasi
serta penuaan. Haris (1999) menyebutkanbahwa peningkatan luas daun
merupakan salah satumekanisme toleransi terhadap naungan gunamemperoleh
cahaya yang lebih banyak atauoptimalisasi penerimaan cahaya oleh tanaman. Taiz
dan Zeiger (1991) menjelaskan bahwa daunyang tumbuh pada intensitas cahaya
rendah biasanyamengalami kerusakan jika dihadapkan denganPhotosynthetic
Photon Flux Density (PPFD) yang tinggiyang dikenal dengan photoinhibition.
Setiap tanaman mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya
matahari. Ada tanaman yang tumbuh baik ditempat terbuka sebaliknya ada

Universitas Sumatera Utara

beberapa tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada tempat teduh/bernaungan.
Ada pula tanaman yang memerlukan intensitas cahaya yang berbeda sepanjang
periode hidupnya. Pada waktu masih muda memerlukan cahaya dengan intensitas
rendah dan menjelang sapihan mulai memerlukan cahaya dengan intensitas tinggi
(Tohari dkk., 2004).
Perilaku tertentu tumbuhan bisa dianggap sebagai respons terhadap
bermacam-macam rangsangan yang mempengaruhi tumbuhan. Rangsangan itu
bisa eksternal (lingkungan berupa daya tarik bumi, suhu, kelembaban, dan
cahaya) atau internal (genetik) sebagai akibat proses metabolik atau proses untuk
melanjutkan keturunan. Respons tumbuhan terhadap rangsangan ditunjukkan
dengan dua cara yaitu respons gerakan dan respons perkembangan (Heddy, 1996)
Unsur radiasi matahari yang penting bagi tanaman ialah intensitas cahaya,
kualitas cahaya, dan lamanya penyinaran. Bila intensitas cahaya yang diterima
rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun
dalam jangka waktu tertentu rendah. Kira-kira hanya 80% PAR (radiasi aktif
untuk fotosintesis) yang diserap oleh daun. Porsi yang diserap dipengaruhi oleh
struktur dan umur daun sementara 20% diteruskan dan dipantulkan sebagai
cahaya hijau, dari jumlah itu 95% hilang dalam bentuk panas dan hanya kurang
dari 5% saja yang dimanfaatkan tanaman untuk fotosintesis (Lakitan, 1993).
Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang sering sebagai faktor
pembatas. Cahaya sebagai faktor pembatas dapat ditentukan dari kisaran intensitas
cahaya optimum. Kisaran intensitas cahaya optimum berbeda-beda untuk tiap
tanaman. Tanaman dapat digolongkan menjadi: (1) Tanaman naungan, adalah
tanaman yang memerlukan intensitas cahaya rendah, (2) Tanaman setengah

Universitas Sumatera Utara

naungan, adalah tanaman yang memerlukan intensitas cahaya sedang, dan (3)
Tanaman cahaya penuh, adalah tanaman yang memerlukan intensitas cahaya
tinggi (Ekawati, 2009).
Intensitas cahaya berpengaruh secara nyata tehadap laju sintesis karbohidrat pada
pertumbuhan tanaman. Laju fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya
intensita cahaya sampai pada batas tertentu. Batas dimana peningkatan intensitas
tidak lagi meningkatkan laju fotosintesis disebut titik jenih cahaya. Intensitas
cahaya juga akan berpengaruh terhadapa suhu udara, tanah, dan tanaman dimana
perubahan suhu kemudian akan mempengaruhi tanamananya. Radiasi pada tengah
hari berkisar 1.50 gcal/cm3/menit (serata 10.000 foot candle atau 108.000 lux).
Titik kompensasi cahaya untuk kebanyakan tanaman adalah pada intensitas
cahaya sekitar 100 footcandle atau 1080 lux (Yusuf, 2009).
Simarangkir (2000) pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat
dengan laju fotosintesis akansebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari
yang diterima danrespirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak
mampu menambahhasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain
itu produkfotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat
melakukanfotosintesis. Pernyataan Daniel, et al. (1992) bahwa terhambatnya
pertumbuhandiameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum
cahayamatahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses
pembentukansel meristematik kearah diameter batang, terutama pada intensitas
cahaya yangrendah.
Peningkatan luas daun pada dasarnya merupakan kemampuan tanaman
dalam mengatasi cekaman naungan. Peningkatan luas daun merupakan upaya

Universitas Sumatera Utara

tanaman dalam mengefisiensikan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis
secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah. Taiz dan Zeiger (1991)
menyatakan daun tanaman toleran naungan memiliki struktur sel-sel palisade
kecil dan ukurannya tidak jauh berbeda dengan sel-sel bunga karang, sehingga
daun lebih tipis. Struktur tersebut lebih berongga dan akan menambah efisien
dalam menangkap energi radiasi cahaya untuk proses fotosintesis.
Naungan
Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya,
walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap.
Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain
mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan
sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan
berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan,
evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku
yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas
cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak (Suhardi, 1995).
Morfologi jenis memberikan respon terhadap intensitas cahaya juga
terhadap naungan. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun.
Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika
berada di tempat terbuka. Jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan
pertumbuhan. Daun-daun yang memiliki luas permukaan lebih besar memiliki
pertumbuhan yang lebih cepat pula (Irwanto, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Asadi dkk. (1997) menjelaskan bahwa adaptasi tanaman terhadap naungan
dicirikan oleh: a) peningkatan luas daun dan penurunan penggunaan metabolit, b)
penurunan jumlah tranmisi dan refleksi cahaya. Penurunan intensitas cahaya
akibat naungan juga akan menurunkan rasio klorofil a/b, tetapi akan
meningkatkan jumlah relative klorofil. Pemberian naungan pada tanaman akan
berdampak terhadap proses metabolism dalam tubuh tanaman dan akhirnya akan
berdampak terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, terutama karena
kurangnya intensitas cahaya yang diterima tanaman tersebut (Baharsyah,1980).
Cahaya matahari masih dapat menyinari tanaman meskipun adanya taraf
naungan yang berbeda karena cahaya matahari mempunyai panjang gelombang
yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk fotosintesis. Proses
fotosintetik, klorofil hanya menangkap sinar merah dan sinar biru-violet saja yang
dibagi menjadi dua sistem, fotosintesis I yang diaktifkan oleh cahaya merah jauh
(680-700 nm) dan fotosintesis II diaktifkan oleh cahaya merah (650 nm)
(Hanafi dkk., 2005).
Perbedaan

tingkat

naungan

pada

perlakuan

secara

keseluruhan

mempengaruhi intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara dan suhu tanah
lingkungan tanaman, sehingga intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman
berbeda dan mempengaruhi ketersediaan energi cahaya yang akan diubah menjadi
energi panas dan energi kimia. Tingkat naungan 0% – 25% menyebabkan
intensitas cahaya yang diterima tanaman berkisar antara 20.181,81 lux –
42.771,81 lux. Semakin besar tingkat naungan berbanding terbalik dengan
intensitas cahaya yang diterima tanaman, sehingga juga akan mempengaruhi suhu
udara rendah dan kelembaban udara yang semakin tinggi. Kelembaban udara yang

Universitas Sumatera Utara

rendah akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman. Kelembaban
udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena dapat mempengaruhi
proses

fotosintesis.

Laju

fotosintesis

meningkat

dengan

meningkatnya

kelembaban udara sekitar tanaman (Widiastuti, 2004).
Heddy (1996) dalam satu tanaman, daun yang terluar yang mendapat
cahaya matahari penuh tumbuh lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam
yang terlindung. Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan
mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan
serabut penyokong yang cukup, daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang
cukup. Namun apabila penyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan
yang kerdil dengan perkembangan yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan
kematian.
Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya
merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya
fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara
sekitar tanaman. Intensitas cahaya tinggi membawa perubahan-perubahan penting
pada morfologi pohon yaitu pembentukan sistem akar dan peningkatan rasio akar
dan batang, sedangkan daun akan menjadi lebih tebal karena intensitas cahaya
tinggi merangsang pertumbuhan palisade. Intensitas cahaya tinggi juga dapat
menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat
ternaung daripada tempat terbuka (Ulumiyah, et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – April 2014. Penelitian ini
dilaksanakan di areal Pembibitan Program RehabilitasiMangrove di Desa Jaring
Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kegiatan
pengovenan bibit (daun, batang, cabang, dan akar) dilaksanakan di Laboratorium
Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Kondisi Geografis Desa
Desa Jaring Halus terletak di antara 98’ 33.30” – 98’ 34.30” LU, dan 3’
57.00” – 3’ 56.00” BT dan berbatasan dengan :
-

Utara berbatasan dengan Selat Malaka

-

Selatan berbatasan dengan Desa Secangggang

-

Timur berbatasan dengan Desa Selotong/ Kuala Selotong

-

Barat berbatasan dengan Desak Tapak Kuda ( Kecamatan Tanjung Pura )

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

Universitas Sumatera Utara

Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan adalah propagul Bakau minyak Rhizophora
apiculata yang matang secara fisiologis, tanah berlumpur, polibag ukuran 10 x 15
cm, tali plastik, amplop coklat, plastik kaca, label. Adapun alat yang digunakan
adalah alat tulis, jangka sorong, bambu atau kayu, penggaris, camera digital,
paranet 0 %, 25%, 50%, 75% dan 100%, timbangan, oven, serta alat-alat lain yang
mendukung penelitian.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)non faktorial
terdiri atas 5 perlakuan dengan 5 ulangan sehingga didapat 25 unit percobaan.
Metode analisa yang digunakan adalah sidik ragam ANOVA dengan uji lanjutan
dengan metode DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Perlakuan yang
digunakan adalah :
N0 = Tanpa Paranet
N1 = Paranet dengan intensitas naungan 25 %
N2 = Paranet dengan intensitas naungan 50 %
N3 = Paranet dengan intensitas naungan 75 %
N4 = Paranet dengan intensitas naungan 100 %

Model linier rancangan acak lengkap yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
Yij = μ + τi + Єij
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan ke-i

Universitas Sumatera Utara

μ = Nilai tengah
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
Єij = Galad percobaan pada ulangan ke-j dalam perlakuan ke-i
i = 1,2..,5
j = 1,2,..5
Prosedur Penelitian
Persiapan Lahan
Lahan di lokasi Pembibitan Mangrove Desa Jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang akan digunakan untuk
tempat penelitian dibersihkan dari gulma dan sisa sisa tanaman atau kotoran yang
dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Penyediaan Tanah Aluvial
Tanah aluvial yang akan digunakan pada penelitian merupakan tanah asli
dari habitat tempat tumbuh tumbuhan mangrove itu sendiri yaitu tanah lumpur
disekita persemaian yang telah dikompositkan. Dipilih 10 titik dari sekitar
persemaian kemudian diambil tanah sedalam 0-20 cm. Tanah yang dikumpulkan
diaduk menjadi satu.
Pemilihan Propagul
Propagul yang digunakan adalah propagul Bakau Minyak (Rhizophora
apiculata) yang berasal dari propagul yang sudah jatuh ke lantai hutan mangrove
Desa Jaring Halus dan dikumpulkan lalu diseleksi. Dipilih yang matang secara
fisiologis, yaitu ukuran propagul ± 20 cm, kotiledon berwarna kekuningan, sehat,
belum berakar dan bebas dari hama dan penyakit (Kitamura et al., 1997).

Universitas Sumatera Utara

Penanaman di Polibag
Polibag disiapkan dan kemudian dimasukkan tanah berlumpur ke polibag.
Dibuat lubang sedalam 5 cm dan dimasukkan propagul. Polibag yang digunakan
berukuran 10 x 15 cm kemudian polibag diberi tanda sesuai dengan perlakuan
yang diberikan.
Parameter Penelitian
Pengamatan dilakukan selama 14 MST (Minggu Setelah Tanam) dengan
parameter yang diamati adalah :
1. Tinggi Bibit (cm)
Pengukuran tinggi bibit diukur dengan penggaris. Pengukuran tinggi
diukur mulai dari pangkal tunas yang telah diberi tanda sampai titik tumbuh.
Pengambilan data tiap 2 minggu sekali.
2. Diameter Bibit (cm)
Pengukuran diameter bibit dilakukan dengan menggunakan alat ukur
berupa jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada 6 MST dan dengan ketinggian
1 cm dari pangkal tunas yang telah diberi tanda. Pengambilan data dilakukan 2
minggu sekali bersamaan dengan pengambilan data tinggi bibit.
3. Jumlah Daun (helai)
Perhitungan jumlah daun dilaksanakan 2 minggu sekali bersamaan dengan
pengukuran diameter dan tinggi bibit.

4. Luas Permukaan Daun (cm2)

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran luas permukaan daun dilakukan pada akhir penelitian. Luas
permukaan daun diukur dengan menghitung luas total dari seluruh jumlah daun
yang ada disemua bibit. Pengukuran luas permukaan daun dengan menggunakan
program Image J.
5. Biomassa total (g)
Perhitungan berat kering total bibit (biomassa) dilakukan pada akhir
penelitian yaitu

dengan cara pemisahan bagian atas (cabang, batang, daun)

dengan bagian bawah (akar). Kemudian disatukan, ditimbang beratnya dan
dimasukkan ke dalam amplop coklat yang telah diberi lubang dan label sesuai
perlakuan. Kemudian bagian atas (batang, daun, dan cabang) dan bagian bawah
(akar) dioven pada suhu 70 0C selama 48 jam, kemudian ditimbang. Biomassa
yang diukur dalam penelitian adalah biomassa total (Kusmana, 2005).
Biomassa total dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Berat awal- Berat kering oven
Biomassa total (g) =
Berat kering oven

6. Persentase hidup (%)
Persentase hidup dihitung dengan membandingkan antar jumlah bibit yang
hidup dan jumlah bibit yang ditanam pada awal penelitian. Pengambilan data
dilakukan pada akhir penelitian (Yusmaini dan Suharsi, 2008).
Jumlah bibit yang hidup
Persentase Hidup (%) =

x 100 %
Jumlah propagul yang ditanam

7. Persentase Mortalitas (%)

Universitas Sumatera Utara

Persentase mortalitas dapat dihitung dengan membandingkan antar jumlah
bibit yang mati dan jumlah bibit yang ditanam pada awal penelitian. Pengambilan
data dilakukan pada akhir penelitian.
Jumlah Bibit yang mati
Persentase Mortalitas (%) =

x 100 %
Jumlah Propagul yang ditanam

HASIL DAN PEMBAHASAN

Universitas Sumatera Utara

Hasil
1. Tinggi rata-rata bibit R. apiculata (cm)
Hasil pengamatan tinggi dilakukan selama pengukuran 14 MST. Pengukuran
tinggi bibit pertama sekali dilakukan pada 2 MST. Dari sidik ragam tinggi
tanaman terlihat bahwa perlakuan pemberian berbagai intensitas naungan
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Rataan tinggi tanaman R. apiculata
pada berbagai intensitas naungan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhanrata-rata bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan
Perlakuan
Tanpa naungan
Intensitas naungan 25%
Intensitas naungan 50%
Intensitas naungan 75%
Intensitas naungan 100%

Tinggi rata-rata (cm)
15.54 a
17.82 ab
20.21 ab
22.32 b
20.31 ab

Keterangan :Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf 5 %

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pertumbuhan tinggi rata-rata bibit
R.apiculata tertinggi adalah dengan perlakuan intensitas naungan 75% (22.32 cm)
dan nilai terendah terdapat pada perlakuan tanpa naungan (15.54 cm). Hasil uji
lanjut DMRT pada taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tanpa
naungan berbeda nyata dengan perlakuan intensitas naungan 75%, tetapi tidak
berbeda nyata dengan perlakuan intensitas naungan 25%, 50% dan 100%.
2. Diameter rata-rata bibit R. apiculata (cm)
Parameter selanjutnya yang digunakan dalam mengamati pertumbuhan bibit
R. apiculata adalah

diameter batang. Pengukuran pertama diameter batang

bibit R. apiculata dilakukan pada 6 MST. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa
pemberian perlakuan berbagai intensitas naungan berpengaruh tidak nyata

Universitas Sumatera Utara

terhadap diameter batang tanaman. Rataan diameter batang tanaman R. apiculata
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pertumbuhan diameter rata-rata bibit R.apiculata pada berbagai intensitas
naungan
Perlakuan
Tanpa naungan
Intensitas naungan 25%
Intensitas naungan 50%
Intensitas naungan 75%
Intensitas naungan 100%

Diameter rata-rata (cm)
0.496 a
0.488 a
0.486 a
0.482 a
0.478 a

Keterangan :Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf 5 %

Dari Tabel 2 terlihat bahwa pemberian perlakuan berbagai intensitas
naungan tidak berpengaruh nyataterhadap pertumbuhan diameter batang bibit
R. apiculata. Pertambahan diameter batang bibit R. apiculata dengan nilai
terbesar terdapat pada perlakuan tanpa naungan (0.496 cm) dan terendah terdapat
pada perlakuan naungan 100% (0.478 cm). Diikuti dengan nilai rataan tertinggi
selanjutnya yaitu pemberian intensitas naungan naungan 25% (0.488 cm),
intensitas naungan 50 % (0.486 cm) dan intensitas naungan 75 % (0.486 cm).
Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian perlakuan
berbagai intensitas naungan berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan
diameter bibit.
3. Jumlah daun rata-rata bibit R. apiculata
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian
intensitas naungan yang berbeda memberikan pengaruh nyataterhadap jumlah
daun R. apiculata. Rata-rata jumlah daun bibit R. apiculata

disajikan

pada

Tabel 3.
Tabel 3. Rata-ratajumlah daun rata-rata bibit R.apiculata pada berbagai intensitas
naungan

Universitas Sumatera Utara

Perlakuan
Tanpa naungan
Intensitas naungan 25%
Intensitas naungan 50%
Intensitas naungan 75%
Intensitas naungan 100%

Jumlah daun rata-rata
2a
5bc
5bc
6c
4b

Keterangan :Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf 5 %

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian intensitas naungan sebesar
75% memiliki rata-rata jumlah daun tertinggi (6 helai) dan terendah pada
perlakuan tanpa naungan (2 helai) dan selanjutnya diikuti dengan pemberian
intensitas naungan 50% (5 helai), intensitas naungan 25% (5 helai), dan intensitas
naungan 100% (4 helai).Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5% menunjukkan bahwa

pemberian perlakuan intensitas naungan 100%berbeda nyata dengan perlakuan
intensitas naungan 75% dan tanpa naungan, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan intensitas naungan 25% dan 50 %.

4. Luas permukaan daun totalrata-rata (cm2)
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian
intensitas naungan yang berbedamemberikan pengaruh nyataterhadap jumlah
daun R. apiculata.Rata-rata jumlah daun bibit R. apiculata disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas permukaan daun total rata-rata bibit R. apiculata (cm2) pada
berbagai intensitas naungan
Perlakuan
Tanpa naungan
Intens