BAB. I RUANG LINGKUP STUDI GEOMRFOLOGI

(1)

BAB. I

RUANG LINGKUP STUDI GEOMRFOLOGI A. Tujuan Khusus Perkuliahan

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan dapat: 1. Mengemukakan pengertian Geomorfologi

2. Mengemukakan konsep-konsep dasar dan aspek-aspek kajian gemorfologi 3. Mengemukakan sejarah perkembangan geomorfologi

4. Mengemukan terapan ilmu geomorfologi dalam berbagai pembangunan

B. Materi Perkuliahan 1. Pengertian

Geomorfologi berasal dari kata Yunani “Ge” berarti bumi, “morphe” berarti bentuk dan “logos” yang berarti uraian . Jadi arti filosofinya adalah uraian tentang bentuk muka bumi (Kardono: 1972). Bentuk bumi yang dimaksud bukannya bentuk bumi secara keseluruhan melainkan terbatas pada bentuk muka bumi atau bentuklahan (landform). Untuk selanjutnya digunakan istilah bentuklahan guna menyebutkan objek kajian geomorfologi (Sutikno: 1995).

Perkembangan awal definisi geomorfologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari atau mendeskripsikan bentuklahan dikemukan (Lobeck: 1934, Phlip G. Worcester: 1949, Thornbury: 1960 dan Spark: 1960). Menurut Phlip (1949) geomorphology is the science of landform……… Geomorphology is the interpretative description of the relief feature of the earth. Definisi-definisi di atas memberikan citra bahwa geomorfologi pada awalnya adalah ilmu murni, kurang jelas pokok kajiannya dan bersifat deskriptif.

Perkembangan geomorfologi sebagai ilmu terapan setelah tahun 1970an, dimana geomorfologi memperoleh formulasi yang lebih jelas, seperti dikemukakan oleh Cook et al.,


(2)

geomorfologi adalah studi tentang bentuklahan, terutama mengenai sifat alaminya, asal mula, proses perkembangan dan komposisi materialnya. Van Zuidam et al., mendefinisikan geomorfologi studi yang mendeskripsikan bentuklahan, dan proses yang mempengaruhinya dan menyelidiki interrelasi antara bentuk dan proses tersebut dalam tatanan keruangannya. Verstappen, mendefinisikan geomorfologi sebagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan bentuklahan penyusun muka bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan air laut dan menekan pada genesis dan perkembangan pada masa yang akan datang dan konteksnya dengan linkungan.

Ketiga batasan tersebut di atas memberi gambaran pokok kajian geomorfologi secara jelas, yaitu bentuklahan, proses, genetik, perkembangan (kronologis), material penyusun dan konteksnya dengan lingkungan, tidak terbatas di daratan tetapi juga di dasar laut. Atas pokok kajian geomorfologi tersebut maka geomorfologi selain segai ilmu murni juga mempunyai nilai terapan.

2. Konsep Dasar Geomorfologi.

a. Proses-proses dan hukum-hukum fisik yang sama berkeja sekarang, berkerja pula pada waktu geologi, walaupun tidak harus selalu dengan intensitas yang sama seperti sekarang

b. Struktur geologi merupakan faktor pengontrol yang dominan di dalam evolusi bentuklahan dan struktur geologi dicerminkan oleh bentuklahannya.

c. Proses-proses geomorfologi meninggalkan bekas-bekasnya yang nyata pada bentuklahan, dan setiap proses geomorfologi akan membangun suatu karakteristik tertentu pada bentuklahannya.

d. Akibat perbedaan tenaga erosi yang berkerja pada permukaan bumi, maka dihasilkan suatu bentuklahan yang mempunyai karakteristik tertentu pada masing-masing tahap perkembangannya.


(3)

e. Evolusi geomorfik yang kompleks lebih umum dibanding dengan evolusi geomorfik yang sederhana. Dari konsep ini dikenal adanya berbagai bentuklahan atas dasar kekomplekan tenaga pembentuknya.

1). Bentuk sederhana (simple forms) 2). Bentuk campuran (compund forms)

3). Bentuk akibat satu daur erosi (mono cyclic forms) 4). Bentuk akibat daur erosi ganda (multi cyclic forms)

5). Munculnya kembali permukaan lahan terkubur kepermukaan sekarang (exhumed) f. Hanya sedikit saja dari topografi permukaan bumi adalah lebih tua dari Tersier, dan

kebanyakan dari padanya tidak lebih dari jaman Pleistosen.

g. Interprestasi secara tepat bentanglahan sekarang tidak akan mungkin dapat tanpa memperhatikan perubahan-perubahan iklim dan geologi selama masa pleistosen.

h. Apresiasi iklim-iklim dunia amat perlu untuk mengetahui secara benar berbagai kepentingan di dalam proses-proses geomorfologi yang berbeda.

i. Walaupun geomorfologi menekankan terutama pada bentanglahan sekarang, namun untuk mempelajarinya secara maksimal perlu mempelajari sejarah perkembangannya.

3. Aspek-Aspek kajian Geomorfologi

Menurut Karmono (1981), objek utama yang dipelajari dalam studi geomorfologi adalah bentuklahan, proses geomorfologi genesa dan evaluasi pertumbuhan bentuklahan, serta geomorfologi yang mempelajari hubungannya dengan lingkungan. Berdasarkan hal di atas ada 4 aspek geomorfologi yang menjadi objek kajian geomorfologi sebagai berikut: a. Aspek morfologi,

Mempelajari relief secara umum yang meliputi aspek (a) aspek Morfografi, yakni aspek-aspek yang bersifat pemerian suatu daerah seperti; teras sungai, bentuk-benuk yang


(4)

dihasilkan oleh abrasi, beting pantai, tanggul alam, kipas aluvial, biukit rendah, plato, kerucut gunungapi dan sebagainya. (b), Morfometri yakni aspek-aspek kuantitatif dari suatu daerah seprti; kemiringan lereng, bentuk lereng, ketinggian, beda tinggi, kekasaran medan, bentuk lembah sungai, tingkat pengikisan dan pola aliran

b. Aspek Morfogenesis,

Menekan pada proses geomorfologi,yakin proses yang mengakibatkan perubahan-perubahan bentuklahan waktu pendek serta proses terjadinya bentuklahan. Morfogenesa mencakup beberapa aspek : (a). Morfo Stuktur Pasif, meliputi litologi (tipe dan stuktur bantuan) yang berhubungan dengan pelapukan mekanis,chemis,dan organis.(b) Morfologi Stuktur Aktif,berupa tenaga endogen atau tektonisme yang menghasilkan lipatan dan patahan. (c)Morfodinamik berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga angin,air,es,gerak massa batuan dan vulkanisme. Studi yang menekan proses geomorfologi disebut geomorfologi dinamik.

c. Aspek Morfokronologi

Morfokronologi merupakan urutan bentuklahan yang ada dipermukaan bumi sebagai hasil proses geomorfologis. Adanya perbedaan urutan secara alami menyebabkan terjadinya perbedaan urutan umur bentuklahan dari yang paling awal hingga yang paling akhir,masing-masing paling tua dan paling muda. Dalam kaitannya dengan umur suatu bentuklahan dapat dilihat pula terjadinya pelapukan,pembetukan tanah dan erosi,serta sedimentasi,sehingga menentukan pula terhadap potensi suatu lahan,yang selanjutnya menentukan terhadap pemanfaatannya.

d. Aspek Morfo-Asosiasi

Morfoasosiasi merupakan kaitan antar bentuklahan satu dengan bentuklahan yang lain dalam susunan keruangan atau sebarannya dipermukaan bumi. Morfo-asosiasi sangat penting dalam geomorfologi karena bentuklahan yang ada dipermukaan bumi


(5)

pembentukannya sangat ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain : topografi, batuan, proses, iklim (temperatur, curah hujan, kelembaban), vegetasi, organisme, dan waktu.

Adanya berbagai faktor penentu tersebut maka keberadaan bentuklahan penyusun permukaan bumi ini diketemukan adanya kaitan antara bentuklahan yang satu dengan yang lain. Verstappen (1983),mendasarkan pada konsep dasar yang berkembang sebelumnya dan cakupan bidang ilmu yang tercakup dalam geomorfologi, membedakan empat aspek geomorfologi, yaitu :

a. Geomorfologi statik, mempelajari bentuklahan aktual,yang mencakup morfografi dan morfometri; morfografi menekankan pada deskripsi watak bentuklahan, sedangkan morfometri menekankan pada aspek ukuran bentuklahan seperti: topografi,relief, panjang lereng,kemiringan lereng dan bentuk lereng;

b. Geomorfologi dinamik, mempelajari proses dan perubahan jangka pendek dari bentuklahan yang diakibatkan oleh proses pelapukan,erosi,gerakan masa batuan/tanah; pelarutan, dan abrasi;

c. Geomorfologi genetik, mempelajari perkembangan relief dalam jangka panjang, akibat tenaga tektonik dan vulkanik, termasuk bantuan dan stuktur bantuannya;

d. Geomorfologi lingkungan, mempelajari hubungan ekologis bentanglahan antara geomorfologi dengan ilmu pengetahuan yang terkait atau parameter lahan.

3. SEJARAH GEOMORFOLOGI

Jauh sebelum orang mengenal geomorfologi seperti yang kita kenal sekarang ini, pokok-pokok pikiran tentang beberapa aspek geomorfologi telah diformulasikan sebelum abad 17, Herodotus (485 – 425 SM), Aristotle (384-322 SM), dan Strabo (54-25 SM) telah memberikan konsep dasar yang berkaitan dengan proses dan


(6)

genetik bentuklahan (Thornbury,1954) Herodotus memberikan sebutan terhadap Mesir sebagai daerah pemberian S.Nil, karena sedimentasi debu dan lempung yang terbawa oleh banjir S.Nil yang menyuburkan daerah Mesir. Perbukitan di Mesir yang banyak mengandung cakang kerang, pada masa lampau berada di bawah muka air laut. Aristotle, memberikan konsep tentang genetik dari mata air, yang menyebutkan bahwa air yang keluar dari mata air berasal dari air hujan yang mengalami perkolasi, dan air yang berada di permukaan bumi dan akan mengalami penguapan melalui berbagai jalan. Strabo, pada masanya telah mencatat adanya proses pengangkatan dan penenggelaman, dan telah dapat menyebutkan bahwa gunung vesuvius itu termasuk gunung-api, meskipun semasa hidupnya gunung tersebut belum pernah meletus. Setelah pandangan kuno tersebut muncul peletak dasar geomorfologi dan geologi, seperti Avicenna (980-1037) dan Leonardo da Vinci (1452-1519). Avicenna, berpandangan bahwa asal mula pegunungan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu oleh pengangkatan, seperti yang terjadi akibat gempa bumi, dan oleh aliran dan gerakan angin yang dapat membentuk lembah pada batuan yang lunak. Leonardo Davinci, mempunyai pandangan bahwa lembah terkikis oleh aliran sungai itu sendiri dan sungai mengangkut material dari suatu tempat kemudian mengendapkannya di tempat tertentu ( Thornbury, 1959). Dalam perkembangan selanjutnya, kedua pandangan tersebut menghasilkan konsep bentuklahan struktural dan fluvial .

Pada abad 17 dan 18, konsep yang menonjol dalam geomorfologi adalah adalah katasrofisme yang dikemukakan oleh Abraham Gottlob Wegner (1779-1817) dan uniformitarianisme yang dikemukakan oleh James Hutton, 1726-1819, (King,1976). Wegner, berdasarkan pengamatannya pada strata batuan yang setiap stratumnya mengandung fosil yang khas, merumuskan suatu konsep bahwa lapisan batuan di bumi itu berasal dari basin lautan yang luas Hutton dapat dianggap sebagai pelopor


(7)

berkembangnya geomorfologi fluvial pertama. Sumbangan pikiran Hutton yang terkenal dan kemudian di ikuti oleh Playpaier adalah : bentuklahan itu bersifat sementara dan selalu mengalami perubahan dan sungai itu membentuk lembahnya sendiri, serta sistem sungai merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Konsep geomorfologi fluvial tersebut hingga kini masih dianut (Leopold, 1964- Marie Morisawa, 1968).

Awal abad 19 minimal ada dua pengarang yang meletakkan dasar geomorfologi, yaitu Sir Charles Lyell, dan Dean William Buckland (Thornbury,1959, dalam Sutikno 1988). Lyell berpandangan bahwa bentuklahan berkembang secara lambat, dan proses yang meyebabkan perubahan permukaan bumi pada masa lampau mirip dengan proses yang bekerja pada saat sekarang. Buckland memperkuat konsep mengenai siklus hidrologi, tetapi masih mempertanyakan mengapa aliran sungai dapat membentuk lembahnya sendiri. Buah fikiran lain dari Buckland, antara lain: relief merupakan hasil dari hulu akan ditemuka di dasar laut dan pasang surut merupakan tenaga dalam transportasi sedimen da dasar laut.

Akhir abad 19 telah banyak muncul konsep geomorfologi yang hingga kini masih tetap digunakan seperti yang ditemukan oleh Powel, Gilbert, dan Greenwood (Thornbury 1959, dalam Sutikno 1988). Konsep yang dikemukakan oleh Powel yang terkenal adalah: aras dasar (base level) dari erosi adalah permukaan air laut dan klasifikasi bentuklahan menurut genetiknya,termasuk genetik sungai; hingga kini kita masih mengenal dan menggunakan sebutan sungai konsekuen, sungai anteseden dan sungai superimposed. Konsep yang dikemukakan oloeh Gilbert, antara lain: lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap transportasi material sedimen; dan pengangkutan sedimen di sungai mencakup tiga proses yaitu: pengangkutan material hasil erosi, erosi dasar sungai dan keausan material dasar sungai. Greenwood mengemukakan konsep: air hujan yang jatuh di permukaan mengangkut material di sepanjang lereng, membentuk alur-alur dan akhirnya membentuk sungai kecil; dan lembah dan lereng merupakan bagian dari suatu sistem yang terintegrasi. Konsep-konsep yang


(8)

dikemukakan sebelum abad 20 tersebut memberikan andil yang cukup besar terhadap perkembangan geomorfolgi selanjutnya. Meskipun konsep dasar yang mendukung geomorfologi sudah sejak lama muncul, kristalisasinya menjadi ilmu pengetahuan yang mapan diawali pada awal abad 20.

Awal abad 20 William Moris Davis mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan siklus geografis. Dalam siklus geografis tersebut disebutkan bahwa semua bentuklahan akan mengalami perubahan dan perkembangan menurut tiga stadium, yaitu: muda,dewasa dan tua. Selain itu Davis juga mencetuskan konsep trilogi dalam geomorfologi; konsep tersebut menyebutkan bahwa aspek dari semua bentanglahan itu ditentukan oleh: struktur, proses dan stadium. Pendapat Davis tersebut ditentang oleh Alberecht Penck dan Walther Penck. Penck berpendapat bahwa perkembangan bentanglahan itu terpengaruh oleh aktifitas tektonik dan iklim. Perbedaan pendapat tersebut akhirnyan memunculkan dua aliran dalam geomorfologi , yaitu geomorfologi geografis dan geomorfologi geologis. Dua aliran tersebut dipertegas oleh Zakrezewska (Kardono Darmojuwono, 1972) bahwa geomorfologi geografis itu lebih menekankan pada geomorfografis, yang mempelajari hubungan fungsional bentuklahan dengan gejala fisikal dan kultural, sedangkan geomorfologi geologis lebih menekankan pada geomorfogeni yang menganalisis proses dan studi bentuklahan secara regional.

Aliran Davis dengan konsep triloginya diikuti oleh banyak geomorfologi hingga tahun 1960, seperti Lobeck (1939), Thornbury (1959) dan Spark (1960). Setelah tahun 1960 an berkembang geomorfologi topikal, yaitu geomorfologi secara mendalam yang secra garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima sub tema, yaitu:

a. kelompok tentang proses geomorfologi, seperti proses pelapukan (Ollier,1969), proses fluvial (Leopold, 1964; Marie Morisawa, 1968; Richard, 1982) gunungapi (Ollier,1969); dan pantai (Pethick, 1954);


(9)

b. kelompok metoda dan teknik (Dackombe, 1983; King, 1966; dan Goudie, 1981); c. kelompok pemetaan (Verstappen et al.,1968; Klimaszewski, 1978; dan Oya, 1983);

d. kelompok terapan (Verstappen, 1983; Van Zuidam et al., 1979; Cooke et al., 1974; Hooke et al., 1988).

e. Kelompok regional dan global (Summerfield, 1991).

Sebagai akibat perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, konsep trilogi yang dipelopori Davis atau dikenal dengan trilogi Davis. Mengalami suatu perubahan menjadi trilogi King. King (1979) berpandangan bahwa stadium yang menjadi salah satu unsur penciri bentanglahan itu tidak selalu gayut dan bermanfaat dalam analisis bentanglahan. Disamping itu stadium bentanglahan itu sangat relatif, sulit ditentukan secara kuantitatif, oleh sebab itu King memunculkan konsep trilogi dalam geomorfologi, yang unsurnya terdiri atas:morfologi,material dan proses. Atas dasar konsep trilogi King tersebut, maka geomorfologi menjadi lebih mempunyai arti penting dalam ilmu pengetahuan kebumian dan terapannya. Apalagi dengan perkembangan penginderaan jauh yang pesat, maka konsep tersebut sangat mudah digunakan untuk melaksanakan kajian geomorfologi. Cooke et al., (1974),Van Zuidam et al.,(1979) dan Sutikno(1982,1988,1989) telah menggunakan konsep trilogi tersebut untuk klasifikasi medan (terrain).

4. Geomorfologi Terapan

Atas dasar konsep TRILOGI yang dikemukakan oleh King dan aspek utama dalam geomorfologi yang disebutkan oleh Verstappen, maka geomorfologi mempunyai peranan penting sebagai hapiran dalam ilmu pengetahuan lain dan mempunyai nilai terapan dalam beberapa aspek pembangunan yang handal. Ilmu pengetahuan lain dan terapan dalam beberapa pembangunan yang menggunanakan hampiran geomorfologi antara lain:


(10)

a. Terapan dalam bidang ilmu pengatahuan kebumian, seperti: geologi, hidrologi, ilmu tanah, vegetasi dan arkeolog, termasuk pemetaan tematikyang terkait dengan pengembangan sumberdaya alam;

b. Terapan dalam bidang lingkungan yang terkait dengan bencana alam seperti: longsoran, banjir, gempa bumi, lahar, bahaya gunung api, dan amblesan;

c. Terapan dalam bidang pengembangan dan perencanaan pedesaan, seperti: penggunaan lahan pedesaan, perbaikan lahan pertanian melalui kontrol erosi dan konservasi lahan; d. Terapan dalam bidang urbanisasi, lebih menekan pada pemiliha lokasi untuk permukiman

kota, pemekaran kota dan kawasan industri serta mengetahui dampak sebagai akibat pembangunan perkotaan;

e. Terapan dalam bidang rekayasa, terutama dalam perencanan jalan kereta api, jalan raya dan rekayasa pantai serta sungai.

Menurut sutikno (1995) menunjukkan beberapa contoh terapan geomorfologi dalam berbagai bidang, gunan memberikan gambaran seberapa besar peranan geomorfologi. 1. Dalam bidang geologi, Von Bandat (1962), Allum (1966) dan Mekel (1972), menggunakan

geomorfologi khususnya aspek bentuklahan untuk identifikasi dan interpretasi litologi dan struktur geologi dari foto udara atau citra penginderaan jauh lainnya. Miller dalam Verstappen (1983), mengatakan bahwa peranan geomorfologi dalam penyelidikan geologi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:

a. Geomorfologi elementer, identifikasi batuan dan struktur batuan berdasarkan karakteristik bentuklahannya saja;

b. Geomorfologi suplemen, membedakan batuan berdasarkan pada kenampakan bentukan erosi yang berbeda;


(11)

c. Geomorfologi komplemen, identifikasi aspek geologi dengan menggunakan gejala geomorfologinya, seperti pola aliran, pembelokan arah sungan dan kenampakkan erosi dan atau deposisi pada sungai;

d. Geomorfologi independen, identifikasi aspek geologi pada daerah yang gejala geologinya tidak jelas dengan menggunakan analisis situasi geomorfologi dan historis.

2. Dalam bidang hidrologi, Verstapppen et al,. (1969) untuk pertama kalinya menyusun suatu konsep pemetaan hidromorfologi; satuan pemetaannya adalah bentuklaha. Karakteristik hidrologi airtanah diisikan pada setiap satuan peta tersebut, dengan konsep dasar bahwa setiap satuan bentuklahan memiliki karakteristik airtanah bebas tersendiri (de Rider, 1970). Sutikno (1989, 1991) menggunakan hampiran satuan bentuklahan untuk pemintakatan sistem penyediaan air bersih di DAS Serang, Kulon Progo dan Perbukitan Sangiran, Sragen. Hasil penelitiannya diujudkan dalam suatu suatu peta sistem penyediaan air bersih, isi petanya selain potensi airtanah (jiumlah dan mutunya) adalah cara memperoleh air bersih saat penelitian. Dengan demikian peta tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk perencanaan penyediaan air bersih di daerah pedesaan. Dalam kaitan dengan air permukaan Meijerink (1974), menggunakan satuan benuklahan untuk memperkirakan aliran permukaan yang berasal darah aliran sungai.Hampiran satuan bentuklahan sangat bermanfat untuk inventarisasi data hidrologi bagi daerah yang dat pengamatan dan pengukuran hidrologinya masih kurang, dan tersedia foto udara atau citra penginderaan jauhnya.

3. Dalam bidang survai tanah, geomorfologi bermanfaat dalam menyusun satuan petanya, miskinpun tidak selalu bantuan satuan bentuklahan berimpitan dengan satuan peta tanah, kecuali pada peta skala tinjau. Hal tersebut dapat dipahami karena unsur pembentuk satuan geomorfologi dan pembentuk anah sebagian besar sama, yaitu; topografi, material/batuan induk iklim, vegetasi dan waktu (Buring dan Vink dalam Verstappen 1983). Gerrard (1981) mengintegrasikan geomorfologi dengan fedology menjadi pedogeomorfologi untuk


(12)

menegaskan keeratan antara aspek geomorfologi dengan tanah. Gastellu-Echegory et al,. (1986) menggunakan hampiran geomorfologi untuk menyusun peta tanah, kemudian dikaitkan dengan kemampuan tanah, sedangkan Sudarto (1989) menggunakan hampiran bentuklahan untuk identifikasi satuan tanah yang diakitkan dengan erosi.

4. Dalam bidang arkeologi, hampiran geomorfologi berperan untuk memperkirakan letak situs arkeologi dan sebagai dasar analisis lingkungan terhadap keberadaan situs pada suatu tempat. Penelitian terintegrasi kepurbakalaan yang dilakukan oleh pakar arkeologi dan geografi (khususnya geomorfologi) yang berulangkali dilaksanakan, seperti di Trowulan, Banten, Jepara, Demak, Kediri, Trawas, Yogyakarta, Palembang, Batu Jaya (Krawang), Muara Jambi, Muara Takus, menghasilkan sintesis ilmu yang disebut dengan geoarkeologi. Survai terpadu dengan menggunakan teknik penginderaan jauh, geolistrik, ekskavasi, pemboran dapat menghasilkan temuan baru dan analisis lingkungan suatu situs kepurbakalaan. Pemetaan geoarkeologi Daerah Yogyakarta antara S Opak hingga S Progo (Sutikno et al,. 1987) dapat menginventarisasi sejumlah 238 situs, yang sebahagian besar terdapat pada satuan bentuklahan dataran kaki gunungapi.

5. Masalah lingkungan yang menonjol dasa warsa terakhir ini adalah kecenderungan meningkatnya bencana alam, baik jenis, frekuensi kejadian maupun jumlah korban. Bencana awan panas (wedus gembel) akibat gunungapi Merapi tangggal 22 Nopember 1992lalu belum usai menghiasi media massa di Indonesia telah disusul berbagai berita bencana lam akibat gempa bumi di Kobe (Jepang), Pereire dan Bogota (Kolombia), banjir yang melanda Riau, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Jawa Barat, Jawa Timur, San Fransisco dan Belanda; serta tanah longsor di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang kesemuaannya banyak menimbulkan kehilangan jiwa manusia maupun kerugian harta benda.


(13)

(1)

dikemukakan sebelum abad 20 tersebut memberikan andil yang cukup besar terhadap perkembangan geomorfolgi selanjutnya. Meskipun konsep dasar yang mendukung geomorfologi sudah sejak lama muncul, kristalisasinya menjadi ilmu pengetahuan yang mapan diawali pada awal abad 20.

Awal abad 20 William Moris Davis mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan siklus geografis. Dalam siklus geografis tersebut disebutkan bahwa semua bentuklahan akan mengalami perubahan dan perkembangan menurut tiga stadium, yaitu: muda,dewasa dan tua. Selain itu Davis juga mencetuskan konsep trilogi dalam geomorfologi; konsep tersebut menyebutkan bahwa aspek dari semua bentanglahan itu ditentukan oleh: struktur, proses dan stadium. Pendapat Davis tersebut ditentang oleh Alberecht Penck dan Walther Penck. Penck berpendapat bahwa perkembangan bentanglahan itu terpengaruh oleh aktifitas tektonik dan iklim. Perbedaan pendapat tersebut akhirnyan memunculkan dua aliran dalam geomorfologi , yaitu geomorfologi geografis dan geomorfologi geologis. Dua aliran tersebut dipertegas oleh Zakrezewska (Kardono Darmojuwono, 1972) bahwa geomorfologi geografis itu lebih menekankan pada geomorfografis, yang mempelajari hubungan fungsional bentuklahan dengan gejala fisikal dan kultural, sedangkan geomorfologi geologis lebih menekankan pada geomorfogeni yang menganalisis proses dan studi bentuklahan secara regional.

Aliran Davis dengan konsep triloginya diikuti oleh banyak geomorfologi hingga tahun 1960, seperti Lobeck (1939), Thornbury (1959) dan Spark (1960). Setelah tahun 1960 an berkembang geomorfologi topikal, yaitu geomorfologi secara mendalam yang secra garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima sub tema, yaitu:

a. kelompok tentang proses geomorfologi, seperti proses pelapukan (Ollier,1969), proses fluvial (Leopold, 1964; Marie Morisawa, 1968; Richard, 1982) gunungapi (Ollier,1969); dan pantai (Pethick, 1954);


(2)

b. kelompok metoda dan teknik (Dackombe, 1983; King, 1966; dan Goudie, 1981); c. kelompok pemetaan (Verstappen et al.,1968; Klimaszewski, 1978; dan Oya, 1983);

d. kelompok terapan (Verstappen, 1983; Van Zuidam et al., 1979; Cooke et al., 1974; Hooke et al., 1988).

e. Kelompok regional dan global (Summerfield, 1991).

Sebagai akibat perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, konsep trilogi yang dipelopori Davis atau dikenal dengan trilogi Davis. Mengalami suatu perubahan menjadi trilogi King. King (1979) berpandangan bahwa stadium yang menjadi salah satu unsur penciri bentanglahan itu tidak selalu gayut dan bermanfaat dalam analisis bentanglahan. Disamping itu stadium bentanglahan itu sangat relatif, sulit ditentukan secara kuantitatif, oleh sebab itu King memunculkan konsep trilogi dalam geomorfologi, yang unsurnya terdiri atas:morfologi,material dan proses. Atas dasar konsep trilogi King tersebut, maka geomorfologi menjadi lebih mempunyai arti penting dalam ilmu pengetahuan kebumian dan terapannya. Apalagi dengan perkembangan penginderaan jauh yang pesat, maka konsep tersebut sangat mudah digunakan untuk melaksanakan kajian geomorfologi. Cooke et al., (1974),Van Zuidam et al.,(1979) dan Sutikno(1982,1988,1989) telah menggunakan konsep trilogi tersebut untuk klasifikasi medan (terrain).

4. Geomorfologi Terapan

Atas dasar konsep TRILOGI yang dikemukakan oleh King dan aspek utama dalam geomorfologi yang disebutkan oleh Verstappen, maka geomorfologi mempunyai peranan penting sebagai hapiran dalam ilmu pengetahuan lain dan mempunyai nilai terapan dalam beberapa aspek pembangunan yang handal. Ilmu pengetahuan lain dan terapan dalam beberapa pembangunan yang menggunanakan hampiran geomorfologi antara lain:


(3)

a. Terapan dalam bidang ilmu pengatahuan kebumian, seperti: geologi, hidrologi, ilmu tanah, vegetasi dan arkeolog, termasuk pemetaan tematikyang terkait dengan pengembangan sumberdaya alam;

b. Terapan dalam bidang lingkungan yang terkait dengan bencana alam seperti: longsoran, banjir, gempa bumi, lahar, bahaya gunung api, dan amblesan;

c. Terapan dalam bidang pengembangan dan perencanaan pedesaan, seperti: penggunaan lahan pedesaan, perbaikan lahan pertanian melalui kontrol erosi dan konservasi lahan; d. Terapan dalam bidang urbanisasi, lebih menekan pada pemiliha lokasi untuk permukiman

kota, pemekaran kota dan kawasan industri serta mengetahui dampak sebagai akibat pembangunan perkotaan;

e. Terapan dalam bidang rekayasa, terutama dalam perencanan jalan kereta api, jalan raya dan rekayasa pantai serta sungai.

Menurut sutikno (1995) menunjukkan beberapa contoh terapan geomorfologi dalam berbagai bidang, gunan memberikan gambaran seberapa besar peranan geomorfologi. 1. Dalam bidang geologi, Von Bandat (1962), Allum (1966) dan Mekel (1972), menggunakan

geomorfologi khususnya aspek bentuklahan untuk identifikasi dan interpretasi litologi dan struktur geologi dari foto udara atau citra penginderaan jauh lainnya. Miller dalam Verstappen (1983), mengatakan bahwa peranan geomorfologi dalam penyelidikan geologi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:

a. Geomorfologi elementer, identifikasi batuan dan struktur batuan berdasarkan karakteristik bentuklahannya saja;

b. Geomorfologi suplemen, membedakan batuan berdasarkan pada kenampakan bentukan erosi yang berbeda;


(4)

c. Geomorfologi komplemen, identifikasi aspek geologi dengan menggunakan gejala geomorfologinya, seperti pola aliran, pembelokan arah sungan dan kenampakkan erosi dan atau deposisi pada sungai;

d. Geomorfologi independen, identifikasi aspek geologi pada daerah yang gejala geologinya tidak jelas dengan menggunakan analisis situasi geomorfologi dan historis.

2. Dalam bidang hidrologi, Verstapppen et al,. (1969) untuk pertama kalinya menyusun suatu konsep pemetaan hidromorfologi; satuan pemetaannya adalah bentuklaha. Karakteristik hidrologi airtanah diisikan pada setiap satuan peta tersebut, dengan konsep dasar bahwa setiap satuan bentuklahan memiliki karakteristik airtanah bebas tersendiri (de Rider, 1970). Sutikno (1989, 1991) menggunakan hampiran satuan bentuklahan untuk pemintakatan sistem penyediaan air bersih di DAS Serang, Kulon Progo dan Perbukitan Sangiran, Sragen. Hasil penelitiannya diujudkan dalam suatu suatu peta sistem penyediaan air bersih, isi petanya selain potensi airtanah (jiumlah dan mutunya) adalah cara memperoleh air bersih saat penelitian. Dengan demikian peta tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk perencanaan penyediaan air bersih di daerah pedesaan. Dalam kaitan dengan air permukaan Meijerink (1974), menggunakan satuan benuklahan untuk memperkirakan aliran permukaan yang berasal darah aliran sungai.Hampiran satuan bentuklahan sangat bermanfat untuk inventarisasi data hidrologi bagi daerah yang dat pengamatan dan pengukuran hidrologinya masih kurang, dan tersedia foto udara atau citra penginderaan jauhnya.

3. Dalam bidang survai tanah, geomorfologi bermanfaat dalam menyusun satuan petanya, miskinpun tidak selalu bantuan satuan bentuklahan berimpitan dengan satuan peta tanah, kecuali pada peta skala tinjau. Hal tersebut dapat dipahami karena unsur pembentuk satuan geomorfologi dan pembentuk anah sebagian besar sama, yaitu; topografi, material/batuan induk iklim, vegetasi dan waktu (Buring dan Vink dalam Verstappen 1983). Gerrard (1981)


(5)

menegaskan keeratan antara aspek geomorfologi dengan tanah. Gastellu-Echegory et al,. (1986) menggunakan hampiran geomorfologi untuk menyusun peta tanah, kemudian dikaitkan dengan kemampuan tanah, sedangkan Sudarto (1989) menggunakan hampiran bentuklahan untuk identifikasi satuan tanah yang diakitkan dengan erosi.

4. Dalam bidang arkeologi, hampiran geomorfologi berperan untuk memperkirakan letak situs arkeologi dan sebagai dasar analisis lingkungan terhadap keberadaan situs pada suatu tempat. Penelitian terintegrasi kepurbakalaan yang dilakukan oleh pakar arkeologi dan geografi (khususnya geomorfologi) yang berulangkali dilaksanakan, seperti di Trowulan, Banten, Jepara, Demak, Kediri, Trawas, Yogyakarta, Palembang, Batu Jaya (Krawang), Muara Jambi, Muara Takus, menghasilkan sintesis ilmu yang disebut dengan geoarkeologi. Survai terpadu dengan menggunakan teknik penginderaan jauh, geolistrik, ekskavasi, pemboran dapat menghasilkan temuan baru dan analisis lingkungan suatu situs kepurbakalaan. Pemetaan geoarkeologi Daerah Yogyakarta antara S Opak hingga S Progo (Sutikno et al,. 1987) dapat menginventarisasi sejumlah 238 situs, yang sebahagian besar terdapat pada satuan bentuklahan dataran kaki gunungapi.

5. Masalah lingkungan yang menonjol dasa warsa terakhir ini adalah kecenderungan meningkatnya bencana alam, baik jenis, frekuensi kejadian maupun jumlah korban. Bencana awan panas (wedus gembel) akibat gunungapi Merapi tangggal 22 Nopember 1992lalu belum usai menghiasi media massa di Indonesia telah disusul berbagai berita bencana lam akibat gempa bumi di Kobe (Jepang), Pereire dan Bogota (Kolombia), banjir yang melanda Riau, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Jawa Barat, Jawa Timur, San Fransisco dan Belanda; serta tanah longsor di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang kesemuaannya banyak menimbulkan kehilangan jiwa manusia maupun kerugian harta benda.


(6)