BAB 5 MODEL INDEKS TUNGGAL : PENYEDERHANAAN ANALISIS PORTOFOLIO

BAB 5
MODEL INDEKS TUNGGAL : PENYEDERHANAAN
ANALISIS PORTOFOLIO
Teori yang pertama kali dikemukakan oleh Harry Markowitz pada tahun 1956 kemudian
mengalami

perkembangan dan penyederhanaan yang membawa dampak

besar pada

implementasi teori tersebut dalam dunia keuangan. Dalam bab ini kita akan membicarakan
penyederhanaan tersebut. Penyederhanaan bukan

hanya

dalam

artian

input yang


dipergunakan, tetapi juga bagaimana menaksir input yang diperlukan untuk analisis.
5.1. Masukan Untuk Analisis Portofolio
Sewaktu kita melakukan analisis portofolio, perhatian kita akan terpusat pada dua
parameter, yaitu tingkat keuntungan yang diharapkan dan deviasi standar tingkat
keuntungan portofolio yang efisien. Tingkat keuntungan yang diharapkan dari portofolio
dinyatakan sebagai
E(Rp) =

∑ X iE (R p)

Sedangkan deviasi standar portofolio dinyatakan sebagai
σp = [ ∑ X12 σi + ∑∑ Xi Xj σij ] 1/2
Dengan demikian kalau kita ingin melakukan analisis portofolio yang terdiri
dari 5 saham (atau sekuritas)
menaksir
membentuk
yang

tingkat keuntungan


misalnya,

maka untuk menaksir

yang diharapkan

E(R)

dari masing-masing

kita perlu
saham yang

portofolio tersebut. Berarti kita perlu menaksir lima tingkat keuntungan

diharapkan. Untuk menaksir tingkat keuntungan yang diharapkan dari suatu

portofolio, kita perlu menaksir jumlah tingkat keuntungan yang diharapkan sebanyak
jumlah saham yang membentuk portofolio tersebut.
Sebaliknya kalau kita ingin menaksir


σp kita harus menaksir variance (atau

deviasi standar) dari saham-saham yang membentuk portofolio tersebut dan koefisien

korelasi antar tingkat keuntungan (atau covariance). Kalau portofolio tersebut terdiri dari
5 saham,

maka kita akan menaksir 5 variance dan 10 koefisien

korelasi.

Jumlah

koefisien korelasi yang perlu ditaksir ini akan meningkat dengan cepat apabila kita
memperbesar

saham-saham yang ada dalam portofolio kita. Formula yang dipergunakan

untuk menghitung jumlah koefisien korelasi antar tingkat keuntungan adalah N(N - 1)/2.

Dalam hal ini N adalah jumlah sekuritas yang dipergunakan untuk membentuk portofolio
tersebut. Jadi kalau kita melakukan pengamatan terhadap 20 sekuritas, maka kita harus
menaksir 20(20 - 1)/2 = 190 koefisien korelasi. Suatu jumlah variabel yang tidak sedikit,
lebih-lebih kalau pada umumnya para analis sekuritas melakukan pengamatan terhadap
sekitar 50 sampai dengan 100 sekuritas.
Tentu saja kita bisa menghitung koefisien korelasi, variance dan tingkat keuntungan
yang diharapkan berdasarkan atas data tahun-tahun yang lalu. Tetapi untuk keperluan
analisis dan pengambilan keputusan kita berkepentingan dengan nilai variabel-variabel
tersebut di masa yang akan datang, bukan dengan nilai historisnya. Untuk itu kita hanya
bisa melakukan estimasi terhadap variabel-variabel tersebut. Seandainya nilai variabelvariabel tersebut relatif stabil, maka kita bisa melakukan estimasi dengan baik dengan
menggunakan data historis.
Untuk keperluan analisis portofolio memang disyaratkan bahwa data yang kita
pergunakan harus mempunyai sifat stationary. Stationarity ini ditunjukkan dari stabilnya
nilai mean dan variance. Kalau suatu series bersifat stationary berarti untuk variabel tingkat
keuntungan yang diharapkan dan deviasi standar, data historis memang sedikit banyak bisa
dipergunakan untuk menaksir nilai di masa yang akan datang, tetapi tidak untuk koefisien
korelasi. Tidak ada jaminan bahwa kalau tahun yang lalu koefisien korelasi antara saham A
dan B lebih rendah dibandingkan antara saham B dan C, maka untuk tahun-tahun yang
akan datang pola tersebut akan tetap berlaku. Untuk itulah kemudian dipergunakan model
yang diharapkan bisa membantu memecahkan masalah-masalah tersebut.

5.2. Konsep Model Indeks Tunggal
Kalau kita melakukan pengamatan maka akan nampak bahwa pada saat "pasar"
membaik yang ditunjukkan oleh indeks pasar yang tersedia) harga saham-saham individual
juga meningkat. Demikian pula sebaliknya pada saat pasar memburuk maka harga sahamsaham akan turun harganya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keuntungan suatu saham
tampaknya berkorelasi dengan perubahan pasar. Kalau perubahan pasar bisa dinyatakan

sebagai tingkat keuntungan indeks pasar, maka tingkat keuntungan suatu saham bisa
dinyatakan sebagai,
Ri = ai + βi Rm
dalam hal ini, adalah bagian dari tingkat keuntungan saham i yang tidak dipengaruhi oleh
perubahan pasar. Variabel ini merupakan variabel yang acak.
Rm adalah tingkat keuntungan indeks pasar. Variabel ini merupakan variabel yang acak.
βi adalah beta, yaitu parameter yang mengukur perubahan yang diharapkan pada Rj kalau
terjadi perubahan pada Rm
Persamaan tersebut hanyalah memecah tingkat keuntungan suatu saham menjadi
dua bagian, yaitu yang independen dari perubahan pasar dan yang dipengaruhi oleh
pasar. Menunjukkan kepekaan tingkat keuntungan suatu saham terhadap tingkat keuntungan
indeks dasar. βi sebesar 2 berarti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) tingkat
keuntungan indeks pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) Rj sebesar
20%. Parameter a, menunjukkan komponen tingkat keuntungan yang tidak terpengaruh oleh

perubahan indeks pasar. Parameter ini bisa dipecah menjadi dua, yaitu, α i (alpha) yang
menunjukkan nilai pengharapan dari ai, dan ei, yang menunjukkan elemen acak dari ai. dengan
demikian maka
ai = αi + ei
Dengan ei mempunyai nilai pengharapan sebesar nol. Persamaan tingkat keuntungan suatu
saham sekarang bisa dinyatakan sebagai,
Ri = αi + βi Rm + ei
Persamaan tersebut merupakan persamaan regresi linier sederhana yang dihitung
dengan R sebagai variabel tergantung dan Rm sebagai variabel independen. Cara penghitungan
regresi secara manual diberikan pada Apendiks Bab ini, meskipun penggunaan paket program
statistik akan sangat mempercepat perhitungan kita. Perhatikan sekali lagi bahwa R m dan ei,
adalah variabel random. Karena itu cov(ei,Rm ) = 0. Kemudian diasumsikan bahwa ei
independen terhadap ej, untuk setiap nilai i dan j, formal bisa dinyatakan bahwa E(ei,ej,) = 0.
Model indeks tunggal bisa kita ringkas sebagai berikut:
Persamaan dasar
Ri = αi + βi Rm + ei

untuk setiap saham i = 1,.,N

Berdasarkan pembentukan saham

E (ei) = 0
Berdasarkan asumsi

untuk setiap saham i = 1,.,N

(1) lndeks tidak berkorelasi dengan unique return :
E[ ei (Rm – E (Rm)) ] = 0

untuk setiap saham i = 1,.,N

(2) Sekuritas hanya dipengaruhi oleh pasar :
E (ei ej) = 0

untuk setiap pasangan saham
i = 1,..,N dan j = 1,.,N, tetapi i ≠ j

Per definisi
(1) Variance ei = E(ei)2 = σei2 untuk semua saham i = 1,..,N
(2) Variance Rm = σm2
Untuk sekuritas, penggunaan model indeks tunggal menghasilkan tingkat keuntungan yang

diharapkan, deviasi standar tingkat keuntungan dan covariance antar saham sebagai berikut,
1 . Tingkat keuntungan yang diharapkan,
E(Ri) = αi + βi E (Rm)
2. Variance tingkat keuntungan
αi2 = βi σm2 + σei2
3. Covariance tingkat keuntungan sekuritas i dan j
σij = βi βj σm2
Perhatikan bahwa model tersebut menunjukkan bahwa tingkat keuntungan yang
diharapkan terdiri dari dua komponen; bagian yang unik, yaitu αi dan bagian yang
berhubungan dengan pasar, yaitu βi E (Rm). Demikian juga variance tingkat keuntungan terdiri
dari dua bagian, yaitu risiko yang unik (σ ei2) dan risiko yang berhubungan dengan pasar β i σm2
. Sebaliknya covariance semata-mata tergantung pada risiko pasar. lni berarti bahwa model
indeks tunggal menunjukkan bahwa satu-satunya alasan mengapa saham-saham "bergerak
bersama" adalah bereaksi terhadap gerakan pasar.
Pernyataan tersebut bisa diilustrasikan dengan data yang ada dalam tabel 5.1.
Misalkan kita mengamati tingkat keuntungan suatu saham dan indeks pasar seperti yang
ditunjukkan pada kolom (1) dan (2). Kolom (3) merupakan reproduksi kolom (1). Sementara
ini kita terima dulu bahwa βi = 0,975. Kolom (5) merupakan kolom (2) dikalikan 0,975. Nilai
ei diperoleh sebagai berikut. Perhatikan bahwa rata-rata e i = 0. Karena itu jumlah ei, juga = 0.
Karena jumlah kolom (5) = 39, maka jumlah kolom(4) harus sama= 13. Karena α i merupakan

konstanta, maka nilai αi, pada setiap bulannya adalah 39/5 = 2,6.
Dengan menggunakan rumus (5.4) kita bisa menghitung bahwa,

σm2 = 32 dan σei2 = 4,732. Dengan demikian maka,
σei2

= βi2 σm2 + σei2

= 30,42 + 4,732
= 35,152

5.3. Model Indeks Tunggal Untuk portofolio
Di muka telah disebutkan bahwa salah satu alasan dipergunakannya model indeks
tunggal adalah untuk mengurangi jumlah variabel yang harus ditaksir. Kalau kita melakukan
analisis portofolio maka pada dasarnya kita harus memperkirakan E(Rp ) dan σp. Kalau kita
mempunyai 10 sekuritas yang membentuk portofolio, maka untui menaksir E(R p) kita perlu
menaksir sepuluh tingkat keuntungan sekuritas. Untuk menaksir σ p kita perlu menaksir
sepuluh variance tingkat keuntungan dan empat puluh lima covarince.
Model indeks tunggal akan mampu mengurangi jumlah variabel yang perlu ditaksir
karena untuk portofolio model indeks tunggal mempunyai karakteristik sebagai berikut. Beta

portofolio (βp) merupakan rata-rata tertimbang dari beta saham-saham yang membentuk
portofolio tersebut. Dinyatakan dalam rumus,
βp = xi βi
Demikian juga alpha portofolio αp, adalah
αp = xi αi
Dengan demikian persamaan (5.4) bisa dituliskan menjadi
E(Rp) = αp = βp + βp E (Rm)
Untuk variance portofolio, αp2, rumusnya bisa dinyatakan sebagai,
αp2 = βp2+ σm2 + ∑ xiσ ei2
Apabila pemodal menginvestasikan dananya dengan proporsi yang sama pada N saham, maka
variance portofolio bisa dinyatakan sebagai,

σp2 = βp2 σm2 + (1/N) [ ∑ (1/N) (σei2) ]

Apabila nilai N menjadi makin besar (artinya makin banyak saham yang dipergunakan
untuk membentuk portofolio), makin kecillah nilai term kedua dari persamaan tersebut.
Karena term tersebut menunjukkan risiko sisa (residual risk atau unsystematic risk) maka ini
berarti bahwa sumbangan risiko sisa terhadap risiko portofolio menjadi makin kecil apabila
kita memperbesar jumlah saham yang ada dalam portofolio. Apabila kita mempunyai N yang
besar sekali, maka term tersebut akan menjadi sangat kecil dan mendekati nol. Sedangkan

term yang pertama disebut sebagai systematic risk. Penjumlahan kedua terms tersebut disebut
sebagai risiko total dari portofolio (σp2).
Risiko yang tidak bisa dihilangkan kalau kita membentuk portofolio yang terdiri dari
sekuritas yang makin banyak, merupakan risiko yang berkaitan dengan β p. Kalau kita
rnenganggap risiko residual mendekati nol, maka risiko portofolio mendekati

σp2 = [ β p2 σm2 ]1/2 = β p σm = [ ∑ Xi β i ]
Karena nilainya sama σm, tidak peduli saham apapun yang kita analisis, ukuran kontribusi
risiko suatu saham terhadap risiko portofolio yang terdiri dari banyak saham akan tergantung
pada β1.
5.4. Menaksir Beta
Penggunaan model indeks tunggal memerlukan penaksiran beta dari saham-saham
yang akan dimasukkan ke dalam portofolio. Para analis bisa saja menggunakan judgement
mereka dalam menentukan beta. Kita juga bisa menggunakan data historis untuk menghitung
beta waktu lalu yang dipergunakan sebagai taksiran beta di masa yang akan datang.
Diketemukan berbagai bukti bahwa beta historis memberikan informasi yang berguna tentang
beta di masa yang akan datang (sebagai misal, Brealey and Myers, 1991, h. 183). Karena itu
sering para analis menggunakan beta historis sebelum mereka menggunakan judgement /
untuk memperkirakan beta di masa yang akan datang.
Persamaan (5.3) menunjukkan bahwa,
Ri = αi + βi Rm + ei
Persamaan ini tidak lain merupakan persamaan regresi linier sederhana, yang bisa
dipecahkan dengan rumus regresi. Berbagai program statistik untuk dipergunakan di
komputer juga tersedia untuk menghitung persamaan tersebut. Informasi yang diperlukan
adalah series tentang tingkat keuntungan suatu saham (R i,) dan tingkat keuntungan indeks

pasar (Rm). Hasil perhitungan tersebut kalau di-plot-kan dalam suatu gambar akan nampak
seperti dalam Gambar 5.1.
Beta menunjukkan kemiringan (slope) garis regresi tersebut, dan α menunjukkan
intercept dengan sumbu Rit. Semakin besar beta, semakin curam kemiringan garis tersebut,
dan sebaliknya. Penyebaran titik-titik pengamatan di sekitar garis regresi tersebut
menunjukkan risiko sisa (σei2)sekuritas yang diamati. Semakin menyebar titik-titik tersebut,
semakin besar risiko sisanya.
Beta juga bisa dihitung dengan menggunakan rumus,
βi = (σim / σm2) dan untuk alpha, bisa dihitung dengan
αi = E (Rit) – βp E (Rmt)

Nilai βi , dan αi , yang dihitung dengan persamaan regresi merupakan taksiran dari beta dan
alpha yang sebenamya. Taksiran tersebut tidak luput dari kesalahan (subject to error).
Berbagai properti statistik, seperti nilai-t, nilai F, dan koefisien determinasia perlu
diperhatikan untuk menggunakan nilai-nilai taksiran tersebut.
Beta sekuritas individual cenderung mempunyai koefisien determinasi (yaitu bentuk
kuadrat dari koefisien korelasi) yang lebih rendah dari beta portofolio. Koefisien determinasi
menunjukkan proporsi perubahan nilai R1 yang bisa dijelaskan oleh Rm. Dengan demikian
semakin besar nilai koefisien determinasi semakin akurat nllai estimated beta tersebut. Beta
portofolio umumnya lebih akurat dari beta sekuritas individual karena dua hal. Pertama, beta
mungkin berubah dari waktu ke waktu. Ada sekuritas yang betanya berubah menjadi lebih
besar, ada pula yang mengecil. Pembentukan portofolio memungkinkan perubahan tersebut
menjadi saling meniadakan, atau paling tidak mengecil. Kedua, penaksiran beta selalu
mengandung unsur kesalahan acak (random error). Pembentukan portofolio memungkinkan
kesalahan tersebut diperkecil. Karena itu, semakin banyak sekuritas yang dipergunakan untuk
membentuk portofolio, semakin besar nilai koefisien determinasinya. Dengan demikian maka

beta portofolio historis akan merupakan predictor beta masa depan yang lebih baik
dibandingkan dengan beta sekuritas individual.

5.4.2. Menyesuaikan Taksiran Beta Historis
Apakah kita bisa memperbaiki akurasi penaksiran beta historis untuk keperluan
estimasi beta di masa yang akan datang? Pengamatan yang dilakukan olehBlume (I97I)
menunjukkan fenomenayangmenarik, sebagaimana disajikan pada Tabel 5.2 berikut ini.
Blume mengamati beta dari berbagai portofolio pada dua periode yang berurutan, yaitu beta
pada periode Juli 1954-Juni 1961 dan periode Juli 1961-Juni 1968. Beta-beta periode pertama
tersebut disusun menurut peringkatnya, dimulai dari beta yang terkecil sampai dengan beta
yang terbesar.
Tabel 5.2. Beta berbagai portofolio yang disusun sesuai peringkatnya untuk
dua periode waktu yang berurutan.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa apabila pada periode
pertama beta suatu portofolio kecil, yaitu di bawah satu, maka pada periode berikutnya akan
terjadi kenaikan. Sebagai misal, beta portofolio pertama adalah 0,393 pada periode pertama,
kemudian beta portofolio ini meningkat menjadi 0,620 pada periode kedua. Sebaliknya untuk
portofolio yang mempunyai beta tinggi, lebih besar dari satu. Pada periode berikutnya beta
portofolio tersebut menurun. Ada kecenderungan bahwa nampaknya beta portofolioportofolio tersebut, dalam jangka panjang akan bergerak di sekitar satu.
Berdasarkan fenomena tersebut Blume kemudian merumuskan teknik untuk
menyesuaikan beta historis yaitu meregresikan ke arah satu. Kalau beta-beta pada periode
kedua diregresikan dengan beta-beta pada periode pertama, akan diperoleh persamaan
βi2 =0,343 + 0,677 β91

Dalam hal ini βi2, menunjukkan beta untuk sekuritas i pada periode 2, dan βi2,
menunjukkan beta untuk sekuritas i pada periode 1. Jadi apabila kita menghitung beta suatu
sekuritas pada periode pertama sebesar 2, maka pada periode yang akan datang kita akan
rnemperkirakan bahwa beta sekuritas tersebut adalah 0,343 + 0,677 (2) = 1,697 , dan bukan 2.
Persamaan tersebut bisa digambarkan sebagai berikut.
Beta periode 2

0,677

0,343

Beta periode 1

Gambar 5.2. Hubungan antara beta pada periode 1 dengan beta pada periode 2, hasil
pengamatan Blume
Teknik yang dikemukakan oleh Blume tersebut telah diuji secara empiris, dan hasilnya
ternyata memang lebih baik daripada seandainya kita menggunakan beta yang tidak
disesuaikan (Klemkosky and Martin, 1975). Pengujian dilakukan terhadap kemampuan
meramalkan teknik tersebut untuk tiga periode yang setiap periodenya terdiri dari lima tahun,
saham individual maupun portofolio yang terdiri dari sepuluh sekuritas.
Ilustrasi 5.1
Pengujian empiris juga dilakukan di pasar modal Indonesia (Pudjiastuti dan
Husnan, 1993). Untuk periode tahun 1990 – 1992, ditemukan bahwa beta pada t
berkorelasi relatif cukup kuat dengan beta t + 1. Korelasi beta 1990 dengan beta 1991
ditemukan sebesar 0,39, sedangkan antara beta tahun 1991 dengan 1992 adalah 0,52.
Sebaliknya beta pendekatan Blume diterapkan untuk Indonesia, ditemukan persamaan,
β92 =0,460 + 0,3791β92

Meskipun kecenderungan mendekati satu tidak terdeteksi, peramalan beta di masa
yang akan datang dengan menggunakan persamaan-persamaan tersebut ternyata
sedikit lebih baik daripada dengan menggunakan nilai beta di waktu yang lalu. Hal ini
terlihat dari nilai rata-rata error yang dikuadratkan (mean square error), yang lebih
rendah untuk estimasi beta dengan persamaan di atas, daripada beta historis apa
adanya.
Dengan demikian, penggunaan beta bukan hanya mengurangi jumlah variabel yang
harus ditaksir, beta yang disesuaikanjuga relatif lebih akurat sebagai penaksir beta di masa
yang akan datang dibandingkan dengan beta historis yang tidak disesuaikan, dan juga dengan
koefisien korelasi historis. Yang terakhir ini nampaknya merupakan forecaster yang terburuk
untuk nilai-nilai di masa yang akan datang.
Penggunaan beta bukan hanya bisa memperkecil jumlah variabel yang harus ditaksir
dan penggunaan data (beta) historis (setelah disesuaikan) lebih bisa diandalkan, tetapi
penggunaan beta juga memungkinkan kita mengidentifikasikan faktor-faktor fundamental
yang mungkin mempengaruhi beta tersebut. Faktor-faktor fundamental ini yang tidak bisa
diidentifikasikan kalau kita menggunakan matrik koefisien korelasi historis. Belum bisa
diidentifikasikan faktor (faktor-faktor) apa yang menyebabkan, misalnya, koefisien korelasi
saham i dengan j ternyata rendah (atau tinggi) pada periode waktu tertentu.
Beta merupakan ukuran risiko yang berasal dari hubungan antara tingkat keuntungan
suatu saham dengan pasar. Risiko ini berasal dari beberapa faktor fundamental perusahaan
dan faktor karakteristik pasar tentang saham perusahaan tersebut. Faktor-faktor yang diidentifi
kasikan mempengaruhi nilai beta adalah :
(l) Cyclicality. Faktor ini menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan dipengaruhi oleh
konjungtur perekonomian. Kita tahu bahwa pada saat kondisi perekonomian membaik,
semua petusahaan akan merasakan dampak positifnya. Demikian pula pada saat resesi
semua perusahaan akan terkena dampak negatifnya. Yang membedakan adalah
intensitasnya. Ada perusahaan yang segera membaik (memburuk) pada saat kondisi
perekonomian membaik (memburuk), tetapi ada pula yang hanya sedikit terpengaruh.
Perusahaan yang sangat peka terhadap perubahan kondisi perkonomian merupakan
perusahaan yang mempunyai beta yang tinggi dan sebaliknya.
(2) Operating leverage. Operating leverage menunjukkan proporsi biaya perusahaan yang
merupakan biaya. Semakin besar proporsi ini semakin besar operating leveragenya.
Perusahaan yang mempunyai operating leverage yang tinggi akan cenderung mempunyai
beta yang tinggi, dan sebaliknya.

(3) Financial leverage. Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang
mempunyai financial leverage. Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan,
semakin besar financial leverage-nya. Kalau kita menaksir beta saham, maka kita
menaksir beta equity. Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan oleh perusahaan,
pemilik modal sendiri akan menanggung risiko yang makin besar. Karena itu semakin
tinggi financial leverage, semakin tinggi beta equity.
Beberapa peneliti (Beaver, Kettler, and Scholes, 1970) mencoba merumuskan beberapa
variabel akuntansi untuk memperkirakan beta. Variabel-variabel yang dipergunakan
diantaranya adalah:
(l) Dividend Payout (yaitu perbandingan antara dividen per lembar saham dengan laba
per lembar saham).
(2) Pertumbuhan aktiva (yaitu perubahan aktiva per tahun).
(3) Leverage (yaitu rasio antara hutang dengan total aktiva).
(4) Likuiditas (yaitu aktiva lancar dibagi dengan hutang lancar).
(5) Asset size (yaitu nilai kekayaan total).
(6) Variabilitas keuntungan (yaitu deviasi standar dari earnings price ratio).
(7) Beta akunting (yaitu beta yang timbul dari regresi time series laba perusahaan
terhadap rata-rata keuntungan semua (atau sampel) perusahaan.
Variabel (1) diharapkan mempunyai hubungan yang negatif dengan beta. Variabel (2)
dan (3) diharapkan mempunyai hubungan yang positif. Variabel (4) diharapkan mempunyai
hubungan negatif, dan variabel (5) dan (6) mempunyai hubungan positif. Beta akunting
diharapkan mempunyai hubungan yang positif dengan beta pasar.
Korelasi masing-masing faktor tersebut dengan beta menunjukkan hasil yang sesuai
dengan pengharapan. Sedangkan untuk menguji apakah variabel-variabel tersebut memang
mempengaruhi beta, dilakukan uji regresi berganda, dimana variabel tergantungnya adalah
beta. Banyak peneliti lain yang juga melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi beta seperti yang telah diungkapkan oleh Elton and Gruber (1991).
5.5. Ringkasan
Mean-Variance model mempunyai kelemahan dalam dua hal. Pertama, kita perlu
menaksir variabel yang sangat banyak kalau kita membentuk portofolio dengan jumlah
sekuritas yang memadai. Sebagai misal kalau portofolio kita terdiri dari 20 sekuritas, maka
kita perlu menaksir 20(20- l)/2 = 790 covariances. Kedua, nilai koefisien korelasi (yang
sangat penting dalam penentuan risiko portofolio) sangat sulit ditaksir dengan menggunakan
data historis. Artinya, koefisien korelasi periode yang lalu mungkin sekali sangat berbeda
dengan koefisien korelasi saat ini.

Model indeks tunggal mencoba mengatasi hal tersebut. Model indeks tunggal
mendasarkan diri pada pemikiran bahwa tingkat keuntungan suatu sekuritas dipengaruhi oleh
tingkat keuntungan portofolio pasar. Dengan menggunakan model indeks tunggal bisa
diredusir jumlah variabel yang perlu ditaksir, karena tidak perlu lagi ditaksir koefisien
korelasi untuk menaksir deviasi standar portofolio. Disamping itu beta juga merupakan
variabel yang relatif stabil. Dengan menggunakan modifikasi tertentu, beta historis
nampaknya bisa dipergunakan untuk'memperkirakan beta di masa yang akan datang dengan
cukup baik. Akhimya, beberapa variabel fundamental nampaknya bisa diidentifikasikan
sehingga lebih memudahkan untuk memperkirakan beta di masa yang akan datang.
5.1. Regresi
Dalam analisis ekonomi, sering kita merasa tidak cukup dengan sekedar mengetahui
bagaimana hubungan (association) antara suatu variabel dengan variabel yang lain. Kita ingin
memperkirakan apa yang akan terjadi dengan suatu variabel apabila variabel (atau variabelvariabel) yang lain berubah. Hubungan fungsional ini dikenal sebagai regresi. Kadang-kadang
hubungan fungsional tersebut bersifat linier dan kadang-kadang tidak. Meskipun demikian,
dalam analisis portofolio kita menggunakan hubungan yang bersifat linier. Marilah kita
gunakan contoh berikut ini. Misalkan Y adalah tingkat keuntungan dari suatu saham dan X
adalah tingkat keuntungan portofolio pasar (atau indeks pasar).
Persamaan regresi yang dirumuskan adalah,
Y = a + bX
Sedangkan
n ¿

n∑ XY −∑ X ∑ Y
n∑ X 2−( ∑ X ) 2

dan
a = Y – bX
Misalkan data yang kita miliki selama 12 bulan pengamatan adalah sebagai berikut (data ini
sama dengan data pada Apendiks Bab 3)
Dengan rumus tersebut kita bisa menghitung,

Nilai ini merupakan nilai slope (kemiringan) garis regresi tersebut. Sedangkan untuk nilai a
kita bisa menghitung,
X = 1,99/12

= 0, 1658
Y = 2,39/12
= 0,1991
a = 0,1991 – (0,580)(0,1658)
= 0, 1028
Dengan demikian persamaan garis regresinya adalah
^
Y = 0,1028 – 0,580X

Kalau kita gambarkan persamaan regresi tersebut akan nampak sebagai berikut,

Tentu saja tidak semua persamaan regresi yang dihitung memenuhi persyaratan regresi yang
baik secara statistik. Ada beberapa indikator yang dinilai. Pembicaraan hal tersebut di luar
lingkup buku ini. Meskipun demikian beberapa indikator, yang akan ditampilkan dalam
perhitungan dengan menggunakan komputer, bisa kita pergunakan. Indikator-indikator
tersebut pada dasamyamengukurberapaprobabilitas parameter-parameter regresi (yaitu nilai a
dan b) berbeda secara nyatadari 0. Semakin besar kemungkinan berbedanya dari nol, semakin
baik persamaan regresi tersebut. Indikator tersebut sering dinyatakan dalam bentuk t-value
parameter regresi. Semakin besar nilai-t tersebut semakin tidak bias penggunaan persamaan
regresi tersebut. Sebagai rule of thumb biasa dipergunakan nilai sekitar 2
LAMPIRAN
Pertanyaan dan Latihan
1. Berikut ini terdapat 12 pengamatan untuk tingkat keuntungan saham Bakri, ABDA, Hero,
dan lndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mewakili indeks pasar.

Berdasarkan data tersebut hitunglah:
(a) Alpha untuk setiap saham
(b) Beta untuk setiap saham
(c) Deviasi standar residual untuk setiap regresi
(d) Koefisien korelasi antar saham dan dengan indeks pasar
(e) Tingkat keuntungan rata-rata portofolio pasar
(f) Variance tingkat keuntungan portofolio pasar
Jawab :
(a) - Alpha untuk saham BAKRI yaitu 0,977
- Alpha untuk saham ABDA yaitu 0,062
- Alpha untuk saham HERO yaitu -0,647
Beta untuk setiap saham
(b) - Beta untuk saham BAKRI yaitu -0,018
- Beta untuk saham ABDA yaitu 0,062
- Beta untuk saham HERO yaiyu 0,076
(c) - Deviasi standar residual untuk setiap regresi saham BAKRI yaitu 0,1789
- Deviasi standar residual untuk setiap regresi saham ABDA yaitu 0,1918
- Deviasi standar residual untuk setiap regresi saham HERO yaitu 0,1684
(d) - Koefisien korelasi antar saham BAKRI dengan IHSG yaitu 1,000
Coefficient Correlationsa
Model
Saham BAKRI
Correlations
Saham BAKRI
1,000
1
Covariances
Saham BAKRI
,634
a. Dependent Variable: IHSG

- Koefisien korelasi antar saham ABDA dengan IHSG yaitu 1,000

Coefficient Correlationsa
Model
Saham ABDA
Correlations
Saham ABDA
1,000
1
Covariances
Saham ABDA
,373
a. Dependent Variable: IHSG

- Koefisien korelasi antar saham HERO dengan IHSG yaitu 1,000
Coefficient Correlationsa
Model
Saham HERO
Correlations
Saham HERO
1,000
1
Covariances
Saham HERO
,140
a. Dependent Variable: IHSG

e) - Tingkat keuntungan rata-rata portofolio pasar (untuk saham BAKRI ) atau covariance
yaitu 0,634
- Tingkat keuntungan rata-rata portofolio pasar (untuk saham ABDA ) atau covariance
yaitu 0,373
- Tingkat keuntungan rata-rata portofolio pasar (untuk saham HERO ) atau covariance
yaitu 0,140
(f) Variance tingkat keuntungan portofolio pasar
- Variance tingkat keuntungan portofolio saham BAKRI yaitu 0,77
- Variance tingkat keuntungan portofolio saham ABDA yaitu 0,60
- Variance tingkat keuntungan portofolio saham HERO yaitu 0,75
2. Berikut ini terdapat data dari tiga saham
α
β
σei

Saham A
3
1,2
2

Saham B
3
1,4
1

Saham C
4
0,9
2

Misalkan E (RM) = 23 dan σM = 10,
(a) rata-rata tingkat keuntungan masing- masing saham.
(b) variance masing-masing saham.
(c) covariance masing-masing pasang saham
(a) - Tingkat keuntungan yang diharapkan untuk saham A
E(Ri) = αi + βi E (Rm)
E(RA) = 3 + 1,2 (23)
= 30,6
Jadi tingkat keuntungan yang diharapkan untuk saham A sebesar 30,6
- Tingkat keuntungan yang diharapkan untuk saham B

E(Ri) = αi + βi E (Rm)
E(RB) = 3 + 1,4 (23)
= 35,2
Jadi tingkat keuntungan yang diharapkan untuk saham B sebesar 35,2
- Tingkat keuntungan yang diharapkan untuk saham C
E(Ri) = αi + βi E (Rm)
E(RC) = 4 + 0,9 (23)
= 24,7
Jadi tingkat keuntungan yang diharapkan untuk saham C sebesar 24,7
(b) - variance untuk saham A
αi2 = βi σm2 + σei2
= 1,2 (10)2 + (2)2
= 120 + 4
= 124
-

variance untuk saham B
αi2 = βi σm2 + σei2
= 1,4 (10)2 + (1)2
= 140 + 1
= 141

-

variance untuk saham C
αi2 = βi σm2 + σei2
= 0,9 (10)2 + (2)2
= 90 + 4
= 94

(c) Covariance masing-masing pasang saham
- Covariance masing-masing pasang saham A dan B
σAB = βA βB σm2
= 1,2.1,4 (10)2
= 1,68 (100)
= 168
- Covariance masing-masing pasang saham A dan C
σAC = βA βC σm2
= 1,2.0,9 (10)2
= 1,08 (100)

= 108
- Covariance masing-masing pasang saham B dan C
σAC = βB βC σm2
= 1,4.0,9 (10)2
= 1,26 (100)
= 126
3. Dengan menggunakan data pada soal nomor (5), bentuklah portofolio yang terdiri dari
sepertiga saham A, sepertiga saham B, dan sepertiga saham C.
Hitunglah:
(a) βp
(b) αp
(c) σp2
(d) E(Rp)
Jawab :
(a) Portofolio untuk sepertiga saham A
βp = X i βi
= 30,6 . 1,2
= 36,72
Portofolio untuk sepertiga saham B
βp = X i βi
= 35,2 . 1,4
= 49,28
Portofolio untuk sepertiga saham C
βp = X i βi
= 24,7 . 0,9
= 22,23
(b) αp
- alpha portofolio untuk saham A
αp = Xi αi
= 30,6. 3
= 91,8
- alpha portofolio untuk saham B
αp = Xi αi
= 35,2. 3
= 105,6
- alpha portofolio untuk saham C
αp = Xi αi
= 24,7. 4
= 98,8
(c) σp2
σp (variance portofolio untuk saham A)
σp2 = βp2 σm2 + (1/N) [ ∑ (1/N) (σei2) ]

= 36,72. (10)2 + (1/3) [ ∑ (1/3) ((2)2) ]
= 3672,44
σp (variance portofolio untuk saham B)
σp2 = βp2 σm2 + (1/N) [ ∑ (1/N) (σei2) ]
= 49,28. (10)2 + (1/3) [ ∑ (1/3) ((1)2) ]
= 4928,11
σp (variance portofolio untuk saham C)
σp2 = βp2 σm2 + (1/N) [ ∑ (1/N) (σei2) ]
= 22,23. (10)2 + (1/3) [ ∑ (1/3) ((2)2) ]
= 2223,44
(d) E(Rp)
E(Rp) untuk saham A
E(Rp) = βp + βp E (Rm)
= 36,72 + 36,72 (23)
= 881,28
E(Rp) untuk saham B
E(Rp) = βp + βp E (Rm)
= 49,28 + 49,28 (23)
= 1182,72
E(Rp) untuk saham B
E(Rp) = βp + βp E (Rm)
= 22,23 + 22,23 (23)
= 533.52