ISSN 2407-9189 The 4
th
University Research Coloquium 2016
163
tempat untuk berkumpul sultan dengan pada istri serta untuk menyiapkan sirih dan pinang.
4.3 Latar Belakang Penerapan Sistem Penamaan Tempat di Tamansari
Sistem penamaan mengacu pada pola pemberian nama tempat-tempat di Tamansari.
Sistem penamaan ini mampu menunjukkan pola kognisi penutur bahasa terkait kala itu.
Seperti yang dijabarkan di atas, latar belakang penamaan
tempat-tempat di
tamansari menyangkut gaya arsitektur, estetika, sistem
pertahanan, sistem kepercayaan, akulturasi budaya, dan juga cara pandang sultan
terhadap wanita.
Dari latar belakang budaya tersebut, terlihat bahwa sistem penamaan tempat-
tempat di Tamansari selalu mengacu pada tampilan fisik, lokasi, pengguna, dan fungsi.
Acuan ini mencerminkan bahwa orang Jawa kala itu melihat dunia sebagai sistem
pengetahuan yang ada di sekitar tempat- tempat terkait. Sebagai contoh, penamaan
gedong madaran yang disesuaikan dengan penggunaanya, yaitu para ahli masak yang
juga disebut madaran. Contoh lain juga terlihat pada gedong pangunjukan yang
namanya disesuaikan dengan fungsinya, yaitu sebagai tempat minum karena dalam bahasa
jawa, minum berarti ngunjuk dan kemudian mendapatkan afiks pa- dan -an sebagai
pembentuk nomina pengunjukan.
Selain disesuaikan dengan pengetahuan mengenai tempatnya, pola penamaan ini juga
dihubungkan dengan filosofis orang Jawa. Dalam menjalani kehidupan, orang Jawa
memang tidak terlepas dari makna filosofis leluhurnya. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh De Jong 1976:47 yang menyatakan bahwa orang Jawa selalu
berpedoman pada satu ajaran leluhur yang diwariskan secara turun-temuru, contohnya
Serat
Wedatama yang
terkenal. Serat
Wedatama sudah lama dijadikan panutan bagi para priyayi untuk mengatur hidupnya sesuai
dengan ajaran kesempurnaan. Dalam sistem penamaan tempat di Tamansari, cerminan
sikap hidup orang Jawa ini juga tercermin dalam pemberian nama tempat-tempat yang
khusus digunakan oleh sultan. Hal ini sebagaimana orang Jawa pada masa lalu yang
menggunakan panutan
Undang-Undang Kutaramanawa Dharmasastra sebagai acuan
dalam melaksanakan kehidupan. Sistem
penamaan ini
merupakan cerminan dari cara pandang orang Jawa
terhadap lingkungan sekitarnya. Orang Jawa senang dengan sebuah pola penamaan yang
sederhana dengan memanfaatkan referen langsung kepada hal yang bersangkutan,
seperti bentuknya, fungsinya, lokasi, atau tampilan fisik. Namun, pola penamaan ini
berbeda ketika merujuk pada tempat-tempat yang khusus digunakan oleh sultan dan
keluarganya. Pola penamaan untuk tempat- tempat peristirahat sultan dinilai lebih berisi
makna-makna
filosofis dan
estetika. Sementara itu, pola penamaan untuk tempat-
tempat yang lain tetap memanfaatkan referen yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan
bahwa orang Jawa sangat menjunjung tinggi sultannya.
5. SIMPULAN