Islam Dan Pendidikan Budi Pekerti

(1)

ISLAM DAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

AKALIA

Mahasiswa Magister Sains Psikologi

Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika dan sopan santun. Masyarakat masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan sebagaimana anak bersikap kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman. Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dunia terutama remaja. Sebagaimana telah diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran besar dalam pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral remaja. Namun sebagian besar media ini membawa dampak negatif khususnya bagi remaja yang notabenenya lebih banyak menggunakan media tersebut. Berbagai masalah yang muncul tak terkendali, generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara sesama bagaikan lawan yang abadi. Oleh karena itu generasi muda memerlukan perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan karakter.

Inti ajaran kerasulan Nabi Muhammad SAW yaitu perbaikan akhlak. Ajaran ini berkaitan erat dengan salah satu krisis yang dirasakan oleh bangsa Indonesia, yakni Krisis Moral (moral crisis). Fenomena yang sekarang ini yang sangat memilukan mulai dari tawuran antar pelajar, etnis dan agama, penggunaan obat terlarang (narkoba), miras, perjudian, pelecehan seksual, perusakan fasilitas umum secara brutal dan tindak kekerasan antar elemen bangsa. Semua gengguan perilaku (behavior disorder) atau gangguan karakter (character disorder) tersebut menyebabkan


(2)

ketidakmampuan penyesuaian dan mengembangkan diri bagi individu, yang tentunya akan berdampak negative bagi ketenangan dan keharmonisan hidupnya.

Krisis moral remaja pada era globalisasi adalah keadaan moral yang suram yang terjadi pada masa pertumbuhan anak menuju dewasa dalam jangka waktu antara beberapa peristiwa. Hilangnya moral para remaja adalah suatu hal yang telah banyak disaksikan di seluruh pelosok bumi nusantara Indonesia. Moral remaja yang telah hilang termasuk dalam kenakalan remaja. Yaitu masalah yang telah mengancam bangsa ini. Remaja yang seharusnya menjadi tumpuan masa depan bangsa tidak lagi dapat diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah banyak menulis tinta emas dalam sejarah bangsa di dunia Internasional. Namun tidak sedikit juga para remaja ini yang salah jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya sendiri.

Sudah banyak sekali kasus bahwa generasi muda sebagai motor dan tulang punggung negara ini sudah rusak moral (akhlak) dan perilakunya. Budaya Islam sebagai budaya yang seharusnya dikembangkan dan dijadikan sebagai ukuran atau filter penyaring dilupakan bahkan dilecehkan. Generasi muda sudah kehilangan takaran iman yang bisa menepis pengaruh budaya luar yang merusak kepribadian kita sebagai bangsa. Generasi muda kita banyak kehilangan arah dan tersesat dalam area yang sangat berbahaya dan cenderung hanya menggunakan nafsu sebagai takarannya.

Dengan rusaknya moral dan akhlak generasi muda, maka secara perlahan akan merusak tatanan suatu bangsa dan tinggal menunggu kehancurannya. Allah jelas telah mengingatkan kita bahwa hancurnya bangsa diakibatkan rusaknya moral dan akhlak pemudanya. Al- Qur’an dan Hadits yang diabaikan akan memberikan dampak ketersesatan dan kehancuran manusia yang ada dalam negara tersebut.

Sementara itu Wila Huky, sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Daroesono (1986) merumuskan pengertian moral secara kompeherensip sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu, ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu, sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan


(3)

melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. (Kompas, di unduh pada tanggal 20 Desember 2015).

Menurut Soejono Soekanto norma-norma yang ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat ikatannya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian, yaitu : cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom).

Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.

Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan. Namun, moral remaja pada era globalisasi ini telah menyimpang dari ajaran tentang tingkah laku hidup atau ajaran agama tertentu yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat. Mereka cenderung mengagung-agungkan budaya Barat dibandingkan budaya asli Indonesia yang sebenarnya sangat unik dan beragam. Bukan hanya mengagung-agungkan budaya Barat saja tapi teknologi global pun juga ikut mempengaruhi krisis moral pada remaja. Kebudayaan sama halnya dengan spesies-spesies, mengalami seleksi berdasarkan adaptasinya terhadap lingkungan, yakni : sejauh mana kebudayaan itu membantu anggota-anggotanya untuk survive dan memelihara kebudayaan itu sendiri.

Nilai merupakan sesuatu yang baik, diinginkan atau dicita-citakan dan dianggap penting oleh warga masyarakat, misalnya kebiasaan dan sopan santun. Menurut Green, sikap merupakan


(4)

kesediaan bereaksi individu terhadap suatu hal, sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Tingkah laku adalah implementasi dari sikap yang diwujudkan dalam perbuatan.

Dalam kaitan dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Dalam hal ini aliran Psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral, norma dan nilai. Semua konsep itu menurut Freud menyatu dalam konsepnya super ego. Super ego sendiri dalam teori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego, sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.

Tindakan yang diduga kuat mampu menyelesaikan patologi sosial tersebut adalah perbaikan budi pekerti yang luhur (akhlaq al-karimah). Karena itu, Penulis mencoba memberi konteks pada makalah ini dengan mengedepankan judul di atas. Judul yang dimaksudkan untuk menjelaskan variabel Islam yang dapat mempengaruhi atau berperan pada variabel Pendidikan Budi Pekerti.

B. Perumusan Masalah

a. Apa yang di maksud dengan Agama Islam?

b. Apa yang di maksud dengan Pendidikan?

c. Apa yang di maksud dengan Budi Pekerti?

d. Bagaimana pandangan Ahli Hadist dan pandangan Al-Quran mengenai Budi Pekerti?

e. Bagaimana Kaitannya Pendidikan Budi Pekerti dengan Islam?

f. Bagaimana Pengukuran Budi Pekerti (Karakter) dalam Islam ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan Umum

Untuk memberikan kontribusi dalam menambah wawasan, gambaran dan pemahaman yang jelas mengenai Islam dan Pendidikan Budi Pekerti serta kaitannya dengan Krisis Moral serta sebagai salah satu rujukan untuk memahami lebih lanjut dari sisi tema yang sama dalam konteks keislaman pada pendidikan budi pekerti.

Tujuan Khusus


(5)

b. Memahami apa yang di maksud pendidikan

c. Memahami apa yang di maksud budi pekerti

d. Mengetahui bagaimana pandangan Al-Qur’an dan hadist mengenai budi pekerti

e. Mengetahui peran keislaman pada budi pekerti

f. Memahami Pengukuran Budi Pekerti / Karakter dalam Islam

BAB II PEMBAHASAN A. Agama Islam

Definisi Agama Islam

Islam adalah doktrin agama, yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada hamba-Nya melalui para rasul. Dalam islam memuat sejarah ajaran yang tidak sebatas pada aspek ritual tapi juga mencakup aspek peradaban dengan misi utamanya sebagai rahmatan lil a’lamin, islam hadir dengan menyuguhkan tata nilai yang bersifat plural dan inklusif yang merambah kedalam semua rana kehidupan. Para ahli dari semua kalangan berusaha menterjemahkan dan menikmati ‘penjamuan’ islam menurut disiplin nya masing-masing.

Islam adalah agama kepatuhan, kebersihan dari cacat, dan perdamaian untuk memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Hal itu didasarkan atas arti harfiyah islam yang seakar dengan kata:

a. As-Salam

Menyerahkan diri, kepasrahan, ketundukan, dan kepatuhan

b. As-Silm dan As-Salm

Damai dan aman

c. As-Salm dan As-Salamah

Bersih dan selamat dari cacat, baik lahir maupun batin

Orang islam (muslim) adalah orang yang menyerah, tunduk, patuh dalam melakukan yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada gilirannya akan mendapatkan keselamatan dan perdamaian hidup di dunia dan akhirat.


(6)

Ruang Lingkup Ajaran Islam

Ruang lingkup ajaran islam mencakup tiga domain (Muhaimin, Mujib, Mudzakir, 2012) yaitu:

a. Kepercayan (I’tiqodiyah)

Berhubungan dengan rukun iman seperti iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan dan taqdir.

b. perbuatan (amaliyah)

perbuatan amaliyah disini terbagi dalam dua bagian, yaitu:

- masalah ibadah berkaitan dengan rukun islam, seperti syahadat, sholat, zakat, puasa, haji dan

ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.

- Masalah muamalah, berkaitan dengan interaksi manusia dengan sesamanya, baik

perseorangan maupun kelompok seperti akad, pembelanjaan, hukuman, hukum jinayah (pidana dan perdata).

c. etika (khuluqiyah)

berkaitan dengan kesusilaan, budi pekerti, adab(sopan santun) yang menjadi perhiasan bagi seseorang dalam rangka mencapai keutamaan. Nilai-nilai seperti jujur(shidiq), terpercaya(amanah), adil, sabar, syukur, pemaaf, tidak tergantung pada materi(zuhud), menerima apa adanya(qona’ah), berserah diri kepada Allah(tawakal), malu berbuat buruk (hayya), persaudaraan(ukhuwah), toleransi(tasamuh), tolong menolong(ta’awun) dan saling menanggung(takaful) adalah serangkaian bentuk dari budi pekerti yang luhur(akhlaq al-karimah).

B. Budi Pekerti

Pengertian Budi Pekerti

Istilah budi pekerti sering kali dipersamakan dengan istilah sopan santun, susila, moral, etika, adab atau akhlak. Kesemuanya istilah itu memiliki makna yang sama, yaitu sikap, perilaku, dan tindakan individu yang mengacu pada norma baik buruk dalam hubungannya dengan sesama individu, anggota keluarga, masyarakat, hidup berbangsa, bernegara bahkan sebagai umat beragama, yang bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan kualittas diri. Dalam budi pekeri memuat bangunan nilai-nilai yang baik dan benar, yang menjadi acuan perilaku (code of conduct) dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.


(7)

Pada hakikatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam perbuatan dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari’at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.

Menuru Saint Thomas Aquinas, yang di kutip oleh Mann dan Kreyche, teori tentang baik-buruk dalam ajaran budi pekerti sangat tergantung pada kehendak Tuhan. Apa yang dianggap dan ditentukan baik atau buruk oleh Tuhan, maka baik buruk pula untuk moral manusia. Sementara Immanuel Kant menekankan criteria baik-buruk dalam ajaran budi pekerti berdasarkan intuisi, karena hukum budi pekerti itu berada di dalam diri manusia yang terdalam. Sementara Plato dan Arsitoteles dengan aliran Rasionalismenya memandang bahwa criteria baik buruknya berdasarkan rasio manusia, karena rasio merupakan sumber etika.

Pandangan yang tepat bagi masyarakat Muslim Indonesia terhadap beberapa aliran budi pekerti diatas adalah konvergen. Artinya, semua aliran dapat diakomodir sedemikian rupa, tanpa mengabaikan salah satunya. Sebagai bangsa yang beragama, masyarakat muslim Indonesia telah tertanam nilai-nilai ajaran agama, yang dalam pelaksanaannya tidak akan berbenturan dengan nilai-nilai universal budi pekerti yang diturunkan dari hukum-hukum rasional, intuitif maupun tradisi atau falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Islam dihadirkan bukan untuk merusak atau mencabut tata nilai budi pekerti yang melembaga dalam suatu tradisi, melainkan untuk menyempurnakannya.

Sumber-sumber Budi Pekerti

Budi pekerti dapat diturunkan dari berbagai sumber :

a. Ajaran agama

Semua agama menghendaki umatnya berlaku dan bertindak baik, bahkan doktrin ini menjadi inti ajaran agama. Tidak satupun agama mengajak kepada umatnya untuk bertindak anarkis, destruktif dan menginjak-injak hak dan kehormatan orang lain.

b. Falsafah hidup

Setiap Negara memiliki falsafah hidup yang menjadi pedoman bagi bangsanya untuk berperilaku baik. Falsafah hidup tersebut diturunkan dari kesepakatan bersama yang disusun dengan berpijak


(8)

pada prinsip berketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan dan keadilan untuk kebaikan dan keharmonisan bersama.

c. Tradisi

Tradisi merupakan adat istiadat atau kebiasaan suatu masyarakat, yang mana kebiasaan itu dilakukan secara menetap dan konsisten oleh anggotanya. Tradisi terbentuk atas kesepakatan bersama karena di pandang memiliki nilai kebaikan bagi komunitas masyarakat tertentu.

C. Pendidikan Budi Pekerti dalam Islam

Hubungan Pendidikan Budi Pekerti dan Islam

Misi utama kerasulan Nabi Muhammad S.A.W.adalah untuk memperbaiki akhlak umatnya. Hal itu didasari atas Hadis Riwayat Imam Malik bin Anas dari Anas bin Malik:

قاخأا مرا م م تأ تثعب ا نإ

“aku diutus untuk menyempunakan Akhlak”.

Akhlak yang dimaksud dalam hadis tersebut ekuivalen dengan budi pekerti. Oleh karna misi nya sebagai pengemban perbaikan budi pekerti, maka beliau senantiasa menunjukan uswah hasanah (suri tauladan yang baik) sebagai bentuk internalisasi nilai dan prototype budi pekerti yang baik, agar umatnya dapat menirunya dengan mudah. Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT. Dalam QS. al-ahzab ayat 21:

اريثك ه رك و رخأا مويلاو ه اوجري اك ن ل ةنسح ةوسأ ه وسر ىف م ل اك قل

“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. ”

Dalam konteks pendidikan, hadits dan ayat tersebut mengandung dua isyarat. Pertama, bahwa tujuan utama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Adalah pendidikan budi pekerti yang mulia (karimah) dan terpuji (mahmudah). Tentu saja sumber budi pekerti disini adalah apa yang tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedua, dalam proses budi pekerti itu, beliau tidak saja membuang tradisi yang dianggap sebuah prilaku yang baik menurut masyarakat setempat. Karna itulah beliau menggunakan istilah “menyempurnakan” bukan mengganti. Dapat


(9)

disimpulkan bahwa ajaran budi pekerti beliau adalah “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Hal ini menunjukan akan keluwesan dan inklusifisme ajaran islam terhadap transinternalisasi pendidikan budi pekerti. Islam yang ajaran intinya berpijak pada prinsip keutuhan (tauhid) menolak segala fikiran dan tindakan yang berbau sekuler, yang memisahkan antara ajaran agama dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara, karena sekularisasi akan melahirkan kepribadian yang pecah (split personality). Sebagai implementasi dari pemahaman tersebut, umat islam Indonesia yang memiliki hubungan vertical baik dengan Allah (habl Min Allah) seharusnya di ikuti oleh hubungan horizontal yang baik pula terhadap sesama manusia (Habl Min Al nnas), sehingga terjadi hubungan yang simbiotik antara keshalehan individual (dalam bentuk ibadah) dan keshalehan sosial (dalam bentuk muamalah).

Dimensi Pendidikan Budi Pekerti menurut Thomas Lickona

1. Pengetahuan moral (moral knowing). meliputi kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai moral (knowing moral values), perspective-taking, pertimbangan moral (moral reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self-knowledge).

2. Perasaan moral (moral feeling). meliputi suara hati (conscience), harga diri (self-esteem), ikut merasakan atau terlibat penderitaan yang lain (empathy), cinta yang baik (loving the good), pengendalian diri (self-control), dan kemanusiaan (humanity).

3. Ttindakan moral (moral action). meliputi kemampuan (competency), kemauan (will), ebiasaan (habit). (Mujib, 2006)

Dimensi Pendidikan Budi Pekerti dalam Islam

Pendidikan budi pekerti yang dikembangkan dalam islam memiliki tiga dimensi, yaitu :

1. dimensi ketuhanan (ilahiyyah)

menjelaskan hubungan individu dengan tuhannya, yang di dalamnya ditanamkan nilai-nilai ketuhanan pada diri manusia, seperti sifat-sifat Al-Rahman (nilai kasih), Al-Rohiem (nilai sayang), Al-Malik (nilai kepemimpinan), Al-Quddus (nilai kesucian), Al-Salam (nilai kesajahteraan atau kedamaian), Al-Khaliq (nilai produktifitas dan kreatifitas), Al-Mushawir (nilai estetika), dan seterusnya yang berhubungan dengan Asmaul’Husna.


(10)

2. dimensi kemanusiaan (insaniyah)

menjelaskan hubungan individu dengan sesama manusia, yang di dalamnya ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti saling menolong atau membantu, hormat-menghormati, saling menanggung simpati, empati, memiliki tanggung jawab sosial, kepedulian sosial dan kepekaan sosial.

3. dimensi kealaman (‘alamiyah)

menjelaskan hubungan individu dengan alam semesta, karena manusia dicipakan oleh Allah sebagai khalifahnya di muka bumi. Nilai-nilai yang ditanamkan pada individu adalah bagaimana ia mampu memelihara, memakmurkan dan memanfaatkan alam ini dangan baik, sebagai sarana beribadah kepada-Nya baik terhadap alam abiotik (bebatuan, tambang, air, udara, tanah, api, dan sebagainya) maupun biotik (segala jenis tumbuhan dan hewan).

D. Pengukuran Budi Pekerti (karakter) dalam islam

Menurut Abdul Mujib (2012) Dalam pengukuran (measurement) karakter dalam Islam terdapat beberapa persoalan, baik secara substantif maupun metodologis. Ironisnya persoalan ini justru menjadi penghambat bagi pengembangan alat ukur dan proses pengukurannya, bahkan sampai taraf kesimpulan bahwa karakter Islam tidak dapat dan tidak perlu diukur. Kesimpulan seperti itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan secara total, melainkan perlu klasifikasi permasalahannya menurut konteksnya.

Persoalan pertama, apakah karakter Islam yang bercirikan baik-buruk dapat diukur. Bukankah pengukuran ilmiah bersifat objektif dan bebas nilai yang tidak melibatkan penilaian baik buruk? Dari perdebatan ini muncul pendapat bahwa karakter Islam tidak perlu diukur melainkan hanya perlu dinilai, karena konsep pengukuran berbeda dengan penilaian. Pengukuran merupakan proses menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Sedangkan penilaian dipahami sebagai proses mendapatkan informasi secara berkala dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan karakter yang lebih bersifat kualitatif, sekalipun kuantitatif pun memungkinkan. Sebagian yang lain mengambil sikap bahwa pengukuran karakter diperlukan untuk mengetahui perkembangan karakter individu dari satu periode ke periode berikutnya dengan menggunakan selfevaluation(muhasabah), bukan untuk mengetahui perbandingan tingkat karakter satu orang terhadap orang lain.


(11)

Persoalan kedua, apakah karakter Islam yang bersifat metaempiris (seperti pengukuran ikhlas dan takwa) dapat diukur secara kuantitatif. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa karakter Islam bersumber dari nash dan pemikiran para ulama’ yang orientasi perilakunya pada teosentris. Mungkinkan pengukuran mampu memasuki wilayah yang indikator dan normanya sulit dan tak dapat dijangkau manusia? Dalam menanggapi persoalan ini ada beberapa pendapat yang mengemuka:

1. Selama variabel karakter dapat didefinisi-operasional-kan maka variabel itu dapat diukur, apapun variabelnya termasuk variabel karakter seperti ikhlash dan takwa. Pendapat ini mengikuti paham positivistik yang menyatakan bahwa variabel itu menjadi bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris.

2. Variabel karakter itu tidak perlu diukur karena normanya tak terjangkau dengan indikator empiris. Nabi Muhammad ketika ditanya tentang ‘takwa’, beliau menjawab “takwa itu di sini” diucapkan tiga kali dengan menisyaratkan tangannya ke dada (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Hadis ini menandakan betapa sulitnya mengukur variabel takwa. Kalau pengukuran dipaksakan maka menjadi sia-sia, karena indikatornya tidak utuh.

3. Terhadap variabel karakter tertentu yang dapat diukur secara langsung, seperti sabar, syukur, jujur, dan sebagainya, karena indikatornya jelas dan terjangkau secara empiris. Namun terdapat variabel karakter tertentu yang tidak perlu diukur seperti ikhlas, takwa, ma’rifatullah dan sebagainya, Karakter terakhir ini lebih tepat dinilai, bukan diukur.

Persoalan ketiga, apakah hasil pengukuran karakter Islam berlaku sebagaimana hasil pengukuran variabel pada umumnya, yang memiliki ciri realtif dan tentatif. Misalnya, setelah dilakukan pengukuran karakter ikhlas ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja, maka rekomendasi penelitiannya adalah tidak perlu ikhlas dalam kerja karena tidak memberi pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Apakah hal itu tidak mereduksi kemutlakan Islam, bukankah Islam lebih ‘terhormat’ dijadikan sebaga doktrin yang tidak perlu diverifikasi keabsahannya dengan penelitian empiris. Bukankah Islam itu benar dengan sendirinya tanpa perlu verifikasi empiris?. Sekalipun demikian problemnya, sesungguhnya Islam yang diterima oleh umat Islam merupakan hasil ijtihad, sehingga jika terjadi hasil penelitian seperti di atas sematamata atas nama ijtihad peneliti, yang apabila benar dapat dua pahala dan apabila salah masih mendapat satu pahala.


(12)

Persoalan keempat, apakah yang diukur “karakter Islam” ataukah “karakter muslim,” sebab keduanya memiliki perbedaan: Karakter Islam (al-akhlaq al-Islamiyah), pengukuran yang didasarkan atas konsep karakter dalam Islam. Normanya bersifat deduktif-normatif yang diturunkan dari ajaran Islam. Karena normatif maka fokus pengukuran ini pada ‘bagaimana seharusnya’ karakter individu. Langkah-langkan operasional yang ditempuh adalah menggali pengertian, aspek atau dimensi, indikator karakter tertentu dalam Islam yang digali dari ayat-ayat al-Qur’an, hadis dan pendapat para ulama.

pengukuran ini untuk mengetahui apakah individu yang diukur memiliki karakter yang sesuai dengan ajaran Islam. Kemungkinan hasil yang didapat dalam pengukuran adalah (1) Individu muslim yang berkarakter Islam; (2) individu muslim yang tidak memiliki karakter Islam; (3) Individu non-muslim berkarakter Islami; dan (4) Individu nonmuslim tidak memiliki karakter Islami. Karenanya, individu yang dimaksud bukan saja berstatus muslim, namun mencakup juga individu non-muslim, sehingga banyak ungkapan “orang itu memiliki karakter Islami, sekalipun ia non-muslim.” Walaupun demikian, ungkapan itu masih dipertanyakan: “Masihkan disebut karakter Islami bagi nonmuslim yang tanpa melibatkan domain keimanan kepada Allah Swt.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi maka kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Pada hakikatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap

dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam perbuatan dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan pemikiran

2. Islam yang ajaran intinya berpijak pada prinsip keutuhan (tauhid) menolak segala fikiran

dan tindakan yang berbau sekuler, yang memisahkan antara ajaran agama dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara, karena sekularisasi akan melahirkan kepribadian yang pecah (split personality).


(13)

3. Demi keseimbangan pendidikan, manusia tidak ingin hanya mengedepankan aspek pendidikan

material, tetapi juga pendidikan moral-spiritual.

B. SARAN

Pada makalah ini masih banyak tema yang terkait secara teoritis dengan budi pekerti, yang belum ikut dikaitkan pada penjelasan di makalah ini, seperti misalnya kaitan antara budi pekerti dengan konteks filsafat islam dan secara menyeluruh dengan konteks psikologi islam dimana tentunya hal tersebut akan memperkaya pemahaman pembaca mengenai akhlaqul karimah dan pendidikan. Penulis berharap bahwa pada penulisan makalah yang mendatang, aspek tersebut bisa ikut dibahas.

Sebagai generasi muda seharusnya kita dapat lebih menghargai budaya kita sendiri dan menjadi remaja yang bermoral yang mampu melawan dampak negatif dari globalisasi dan mengambil dampak positifnya. Tentunya dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Hamid Hasan, Said, Dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional.

Mujib, A (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media

Muhaimin, Mujib A., Mudzakir. 2012. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Prenada Media

Mujib. A. 2012. Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Islam. Fak Psikologi UMS

Sujono, Administrasi dan SupervisinPendidikan, Jakarta: PPLPTK Depdikbud, 1989.


(1)

pada prinsip berketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan dan keadilan untuk kebaikan dan keharmonisan bersama.

c. Tradisi

Tradisi merupakan adat istiadat atau kebiasaan suatu masyarakat, yang mana kebiasaan itu dilakukan secara menetap dan konsisten oleh anggotanya. Tradisi terbentuk atas kesepakatan bersama karena di pandang memiliki nilai kebaikan bagi komunitas masyarakat tertentu.

C. Pendidikan Budi Pekerti dalam Islam

Hubungan Pendidikan Budi Pekerti dan Islam

Misi utama kerasulan Nabi Muhammad S.A.W.adalah untuk memperbaiki akhlak umatnya. Hal itu didasari atas Hadis Riwayat Imam Malik bin Anas dari Anas bin Malik:

قاخأا مرا م م تأ تثعب ا نإ “aku diutus untuk menyempunakan Akhlak”.

Akhlak yang dimaksud dalam hadis tersebut ekuivalen dengan budi pekerti. Oleh karna misi nya sebagai pengemban perbaikan budi pekerti, maka beliau senantiasa menunjukan uswah hasanah (suri tauladan yang baik) sebagai bentuk internalisasi nilai dan prototype budi pekerti yang baik, agar umatnya dapat menirunya dengan mudah. Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT. Dalam QS. al-ahzab ayat 21:

اريثك ه رك و رخأا مويلاو ه اوجري اك ن ل ةنسح ةوسأ ه وسر ىف م ل اك قل “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. ”

Dalam konteks pendidikan, hadits dan ayat tersebut mengandung dua isyarat. Pertama, bahwa tujuan utama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Adalah pendidikan budi pekerti yang mulia (karimah) dan terpuji (mahmudah). Tentu saja sumber budi pekerti disini adalah apa yang tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedua, dalam proses budi pekerti itu, beliau tidak saja membuang tradisi yang dianggap sebuah prilaku yang baik menurut masyarakat setempat. Karna itulah beliau menggunakan istilah “menyempurnakan” bukan mengganti. Dapat


(2)

disimpulkan bahwa ajaran budi pekerti beliau adalah “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Hal ini menunjukan akan keluwesan dan inklusifisme ajaran islam terhadap transinternalisasi pendidikan budi pekerti. Islam yang ajaran intinya berpijak pada prinsip keutuhan (tauhid) menolak segala fikiran dan tindakan yang berbau sekuler, yang memisahkan antara ajaran agama dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara, karena sekularisasi akan melahirkan kepribadian yang pecah (split personality). Sebagai implementasi dari pemahaman tersebut, umat islam Indonesia yang memiliki hubungan vertical baik dengan Allah (habl Min Allah) seharusnya di ikuti oleh hubungan horizontal yang baik pula terhadap sesama manusia (Habl Min Al nnas), sehingga terjadi hubungan yang simbiotik antara keshalehan individual (dalam bentuk ibadah) dan keshalehan sosial (dalam bentuk muamalah).

Dimensi Pendidikan Budi Pekerti menurut Thomas Lickona

1. Pengetahuan moral (moral knowing). meliputi kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai moral (knowing moral values), perspective-taking, pertimbangan moral (moral reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self-knowledge).

2. Perasaan moral (moral feeling). meliputi suara hati (conscience), harga diri (self-esteem), ikut merasakan atau terlibat penderitaan yang lain (empathy), cinta yang baik (loving the good), pengendalian diri (self-control), dan kemanusiaan (humanity).

3. Ttindakan moral (moral action). meliputi kemampuan (competency), kemauan (will), ebiasaan (habit). (Mujib, 2006)

Dimensi Pendidikan Budi Pekerti dalam Islam

Pendidikan budi pekerti yang dikembangkan dalam islam memiliki tiga dimensi, yaitu : 1. dimensi ketuhanan (ilahiyyah)

menjelaskan hubungan individu dengan tuhannya, yang di dalamnya ditanamkan nilai-nilai ketuhanan pada diri manusia, seperti sifat-sifat Al-Rahman (nilai kasih), Al-Rohiem (nilai sayang), Al-Malik (nilai kepemimpinan), Al-Quddus (nilai kesucian), Al-Salam (nilai kesajahteraan atau kedamaian), Al-Khaliq (nilai produktifitas dan kreatifitas), Al-Mushawir (nilai estetika), dan seterusnya yang berhubungan dengan Asmaul’Husna.


(3)

2. dimensi kemanusiaan (insaniyah)

menjelaskan hubungan individu dengan sesama manusia, yang di dalamnya ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti saling menolong atau membantu, hormat-menghormati, saling menanggung simpati, empati, memiliki tanggung jawab sosial, kepedulian sosial dan kepekaan sosial.

3. dimensi kealaman (‘alamiyah)

menjelaskan hubungan individu dengan alam semesta, karena manusia dicipakan oleh Allah sebagai khalifahnya di muka bumi. Nilai-nilai yang ditanamkan pada individu adalah bagaimana ia mampu memelihara, memakmurkan dan memanfaatkan alam ini dangan baik, sebagai sarana beribadah kepada-Nya baik terhadap alam abiotik (bebatuan, tambang, air, udara, tanah, api, dan sebagainya) maupun biotik (segala jenis tumbuhan dan hewan).

D. Pengukuran Budi Pekerti (karakter) dalam islam

Menurut Abdul Mujib (2012) Dalam pengukuran (measurement) karakter dalam Islam terdapat beberapa persoalan, baik secara substantif maupun metodologis. Ironisnya persoalan ini justru menjadi penghambat bagi pengembangan alat ukur dan proses pengukurannya, bahkan sampai taraf kesimpulan bahwa karakter Islam tidak dapat dan tidak perlu diukur. Kesimpulan seperti itu sesungguhnya tidak dapat dibenarkan secara total, melainkan perlu klasifikasi permasalahannya menurut konteksnya.

Persoalan pertama, apakah karakter Islam yang bercirikan baik-buruk dapat diukur. Bukankah pengukuran ilmiah bersifat objektif dan bebas nilai yang tidak melibatkan penilaian baik buruk? Dari perdebatan ini muncul pendapat bahwa karakter Islam tidak perlu diukur melainkan hanya perlu dinilai, karena konsep pengukuran berbeda dengan penilaian. Pengukuran merupakan proses menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Sedangkan penilaian dipahami sebagai proses mendapatkan informasi secara berkala dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan karakter yang lebih bersifat kualitatif, sekalipun kuantitatif pun memungkinkan. Sebagian yang lain mengambil sikap bahwa pengukuran karakter diperlukan untuk mengetahui perkembangan karakter individu dari satu periode ke periode berikutnya dengan menggunakan selfevaluation(muhasabah), bukan untuk mengetahui perbandingan tingkat karakter satu orang terhadap orang lain.


(4)

Persoalan kedua, apakah karakter Islam yang bersifat metaempiris (seperti pengukuran ikhlas dan takwa) dapat diukur secara kuantitatif. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa karakter Islam bersumber dari nash dan pemikiran para ulama’ yang orientasi perilakunya pada teosentris. Mungkinkan pengukuran mampu memasuki wilayah yang indikator dan normanya sulit dan tak dapat dijangkau manusia? Dalam menanggapi persoalan ini ada beberapa pendapat yang mengemuka:

1. Selama variabel karakter dapat didefinisi-operasional-kan maka variabel itu dapat diukur, apapun variabelnya termasuk variabel karakter seperti ikhlash dan takwa. Pendapat ini mengikuti paham positivistik yang menyatakan bahwa variabel itu menjadi bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris.

2. Variabel karakter itu tidak perlu diukur karena normanya tak terjangkau dengan indikator empiris. Nabi Muhammad ketika ditanya tentang ‘takwa’, beliau menjawab “takwa itu di sini” diucapkan tiga kali dengan menisyaratkan tangannya ke dada (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Hadis ini menandakan betapa sulitnya mengukur variabel takwa. Kalau pengukuran dipaksakan maka menjadi sia-sia, karena indikatornya tidak utuh.

3. Terhadap variabel karakter tertentu yang dapat diukur secara langsung, seperti sabar, syukur, jujur, dan sebagainya, karena indikatornya jelas dan terjangkau secara empiris. Namun terdapat variabel karakter tertentu yang tidak perlu diukur seperti ikhlas, takwa, ma’rifatullah dan sebagainya, Karakter terakhir ini lebih tepat dinilai, bukan diukur.

Persoalan ketiga, apakah hasil pengukuran karakter Islam berlaku sebagaimana hasil pengukuran variabel pada umumnya, yang memiliki ciri realtif dan tentatif. Misalnya, setelah dilakukan pengukuran karakter ikhlas ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja, maka rekomendasi penelitiannya adalah tidak perlu ikhlas dalam kerja karena tidak memberi pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Apakah hal itu tidak mereduksi kemutlakan Islam, bukankah Islam lebih ‘terhormat’ dijadikan sebaga doktrin yang tidak perlu diverifikasi keabsahannya dengan penelitian empiris. Bukankah Islam itu benar dengan sendirinya tanpa perlu verifikasi empiris?. Sekalipun demikian problemnya, sesungguhnya Islam yang diterima oleh umat Islam merupakan hasil ijtihad, sehingga jika terjadi hasil penelitian seperti di atas sematamata atas nama ijtihad peneliti, yang apabila benar dapat dua pahala dan apabila salah masih mendapat satu pahala.


(5)

Persoalan keempat, apakah yang diukur “karakter Islam” ataukah “karakter muslim,” sebab keduanya memiliki perbedaan: Karakter Islam (al-akhlaq al-Islamiyah), pengukuran yang didasarkan atas konsep karakter dalam Islam. Normanya bersifat deduktif-normatif yang diturunkan dari ajaran Islam. Karena normatif maka fokus pengukuran ini pada ‘bagaimana seharusnya’ karakter individu. Langkah-langkan operasional yang ditempuh adalah menggali pengertian, aspek atau dimensi, indikator karakter tertentu dalam Islam yang digali dari ayat-ayat al-Qur’an, hadis dan pendapat para ulama.

pengukuran ini untuk mengetahui apakah individu yang diukur memiliki karakter yang sesuai dengan ajaran Islam. Kemungkinan hasil yang didapat dalam pengukuran adalah (1) Individu muslim yang berkarakter Islam; (2) individu muslim yang tidak memiliki karakter Islam; (3) Individu non-muslim berkarakter Islami; dan (4) Individu nonmuslim tidak memiliki karakter Islami. Karenanya, individu yang dimaksud bukan saja berstatus muslim, namun mencakup juga individu non-muslim, sehingga banyak ungkapan “orang itu memiliki karakter Islami, sekalipun ia non-muslim.” Walaupun demikian, ungkapan itu masih dipertanyakan: “Masihkan disebut karakter Islami bagi nonmuslim yang tanpa melibatkan domain keimanan kepada Allah Swt.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi maka kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Pada hakikatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam perbuatan dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan pemikiran 2. Islam yang ajaran intinya berpijak pada prinsip keutuhan (tauhid) menolak segala fikiran

dan tindakan yang berbau sekuler, yang memisahkan antara ajaran agama dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara, karena sekularisasi akan melahirkan kepribadian yang pecah (split personality).


(6)

3. Demi keseimbangan pendidikan, manusia tidak ingin hanya mengedepankan aspek pendidikan material, tetapi juga pendidikan moral-spiritual.

B. SARAN

Pada makalah ini masih banyak tema yang terkait secara teoritis dengan budi pekerti, yang belum ikut dikaitkan pada penjelasan di makalah ini, seperti misalnya kaitan antara budi pekerti dengan konteks filsafat islam dan secara menyeluruh dengan konteks psikologi islam dimana tentunya hal tersebut akan memperkaya pemahaman pembaca mengenai akhlaqul karimah dan pendidikan. Penulis berharap bahwa pada penulisan makalah yang mendatang, aspek tersebut bisa ikut dibahas.

Sebagai generasi muda seharusnya kita dapat lebih menghargai budaya kita sendiri dan menjadi remaja yang bermoral yang mampu melawan dampak negatif dari globalisasi dan mengambil dampak positifnya. Tentunya dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Hamid Hasan, Said, Dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional.

Mujib, A (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media

Muhaimin, Mujib A., Mudzakir. 2012. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Prenada Media

Mujib. A. 2012. Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Islam. Fak Psikologi UMS

Sujono, Administrasi dan SupervisinPendidikan, Jakarta: PPLPTK Depdikbud, 1989.