Nn

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial, selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut berupa: 1) Kebutuhan utama, menyangkut kebutuhan fisik seperti makan atau minum, seksual, kesehatan dan kebutuhan akan rasa aman; 2) Kebutuhan sosial, menyangkut kepentingan untuk memenuhi kebutuhan utama seperti berkomunikasi, melakukan kegiatan bersama, keteraturan sosial dan kontrol sosial; 3) Kebutuhan integratif, menyangkut hakikat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral seperti kebutuhan akan adanya perasaan benar atau salah dan adil atau tidak adil, mengungkap perasaan dan sentimen-sentimen kolektif atau kebersamaan serta keyakinan diri tentang pengakuan atas keberadaan dirinya (Hartinah, 2009:31).

Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia melakukan berbagai upaya. Hampir tidak ada upaya dari seorang individu yang tidak bersentuhan atau tidak memerlukan campur tangan orang lain. Oleh karena itu, manusia selalu memerlukan kehidupan berkelompok dan berinteraksi dengan individu lainnya.


(2)

Interaksi merupakan perhatian timbal balik antara dua orang atau lebih terhadap suatu objek. Perhatian timbal balik ini sering kali direspon dengan isyarat, ujaran atau tindakan.

Soekanto (1986:51) mengutip pendapat Young dan Raymond & Gillin dan Gillin menjelaskan bahwa: “interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang

perorangan dengan kelompok manusia”.

Kelompok adalah kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain dalam waktu yang cukup sehingga terjadi hubungan psikologis yang nyata antar anggota kelompok seperti rasa memiliki kelompok, rasa saling ketergantungan, solidaritas kelompok dan memiliki norma kelompok (Hartinah, 2009:32).

Kenyataannya, untuk menimbulkan hubungan psikologis yang nyata bukanlah suatu pekerjaan mudah mengingat individu-individu yang secara fisik tergabung dalam kelompok tersebut memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda. Akan tetapi, di balik perbedaan tersebut sesungguhnya manusia memiliki sifat konformitas, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Artinya, seseorang bersedia melakukan suatu bentuk perilaku tertentu yang diinginkan orang lain agar ia dapat diterima dan diakui keberadaannya. Sifat konformitas tersebut didasari rasa takut akan celaan dari lingkungannya (Sears et al, 1985 dalam Hartinah, 2009:33).


(3)

Semakin besar rasa percaya diri (trust) individu terhadap individu-individu lainnya dalam kelompok, makin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Di dalam kehidupan, tingkah laku individu sangat dipengaruhi oleh keluarga, kelompok belajar, teman sepermainan dan masyarakat. Inilah yang menyebabkan tiap-tiap individu dituntut untuk menyesuaikan dirinya dengan norma-norma sosial kelompok tersebut sehingga individu dapat berinteraksi dan hidup bersama dengan kelompoknya.

Menurut Ali (2004:99) pada masa remaja kelompok teman sebaya atau peer group memegang peranan penting dalam kehidupan. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku kelompok sebayanya.

Kebutuhan untuk dapat diterima oleh lingkungan bagi setiap remaja merupakan suatu hal yang sangat mutlak sebagai makhluk sosial. Setiap anak yang memasuki usia remaja akan dihadapkan pada permasalahan penyesuaian sosial, yang diantaranya adalah problematika penerimaan teman sebaya. Pembentukan sikap, tingkah laku dan prilaku sosial remaja banyak ditentukan oleh pengaruh lingkungan ataupun teman-teman sebaya. Apabila lingkungan sosial memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap remaja secara positif, maka remaja akan mencapai perkembangan sosial secara matang. Sebaliknya jika lingkungan sosial tersebut memberikan peluang terhadap remaja secara negatif, maka akan berdampak juga pada perkembangan sosialnya.


(4)

Remaja dianggap memiliki kematangan sosial jika perilaku remaja tersebut mencerminkan keberhasilan dalam proses sosialisasi, sehingga cocok dengan tempat mereka menggabungkan diri dan diterima sebagai anggota masyarakat, dengan kematangan sosial yang dimiliki akan mempermudah remaja untuk berorientasi dan bersosialisasi pada dunia luar yaitu lingkungan masyarakat. Selain itu juga akan mempermudah dalam melakukan hubungan sosial secara mandiri, maksudnya remaja tidak akan berkembang menjadi individu yang tergantung pada lingkungan sosialnya.

Masa remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi ia juga tidak termasuk golongan orang dewasa atau orang tua. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya (Monks, 2004:259).

Ausubel 1965 (dalam Nisriyana, 2006: 3) menyebut status orang dewasa sebagai status primer, artinya status berdasar kemampuan dan usaha sendiri. Status anak adalah status diperoleh (ascribed status), artinya tergantung dari apa yang diberikan orang tua, karena berada pada masa transisi antara anak-anak dan dewasa maka remaja ada dalam status interim sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan orang tua dan sebagian diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan prestize tertentu.

Teori Belajar Sosial, David G Myers (1983:42) menyatakan bahwa perilaku yang dimunculkan individu merupakan hasil dari pengolahan observasinya terhadap lingkungan. Dari lingkunganlah individu mendapatkan banyak informasi yang akan digunakan sebagai dasar perilakunya dimasa mendatang.


(5)

Idealnya, kelompok teman sebaya sebagai media dalam pengembangan diri remaja baik dari aspek sosial maupun psikologisnya dapat berkembang dengan baik. Hendaknya remaja tidak memusatkan identitas pada banyaknya teman atau berlindung di balik nama teman. Remaja harus memiliki identitas diri sendiri sehingga tidak terjerumus pada sikap mengkompromikan standar demi diakui dalam sebuah kelompok, namun kenyataannya banyak remaja yang tidak memiliki filter (penyaring) diri dan terpengaruh dari negatifnya pergaulan teman sebaya sehingga melakukan perilaku menyimpang, misalnya merokok, mencuri, mengikuti trendfashion (gaya busana) yang pada akhirnya menjauhkan remaja pada pola hidup yang baik dan sederhana. Alasan untuk bisa masuk dan diterima dalam kelompok yang diidamkan membuat remaja terpengaruh dan menyeragamkan dirinya agar tidak termarginal serta mendapat pengakuan dari kelompok teman sebayanya.

Pada masa remaja ada dorongan yang kuat untuk bergaul dan ingin diterima orang lain, dengan tuntutan kebutuhan yang kompleks di dalamnya. Jika kebutuhannya tidak dipenuhi mereka tidak akan bahagia, sebaliknya jika kebutuhan ini terpenuhi maka mereka akan puas dan bahagia. Hal inilah yang mengiringi gaya hidup dan perilaku konsumtif remaja.

Perilaku konsumtif pada remaja diduga terkait dengan karakteristik tertentu yang dimiliki oleh remaja yaitu interaksi sosial remaja terhadap kelompok sebaya. Seperti diketahui masa remaja merupakan tahapan peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan baik dalam aspek fisik, sosial dan psikologis. Perubahan tersebut


(6)

sebagai upaya menemukan jati diri yang berkaitan dengan bagaimana menampilkan dirinya. Remaja ingin kehadirannya diakui sebagai bagian dari komunitas remaja secara umum dan secara khusus bagian dari kelompok sebaya.

Demi pengakuan tersebut, remaja seringkali bersedia melakukan berbagai upaya meskipun mungkin hal itu bukan sesuatu yang diperlukan atau tidak berguna. Dalam memperoleh jati diri remaja berusaha membentuk citra atau image tentang dirinya dan upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang bagaimana setiap remaja mempersepsikan diri. Termasuk didalamnya bagaimana mencoba menampilkan diri secara fisik. Hal tersebut membuat remaja sensitif terhadap gambaran fisik sehingga terdorong melakukan berbagai upaya agar tampilan fisiknya sesuai dengan tuntutan komunitas sosial mereka.

Keinginan untuk memenuhi tuntutan tersebut mendorong remaja untuk berperilaku konsumtif. Keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan orang tua membuat remaja mencari dukungan sosial melalui teman sebaya yang dianggap sebagai tempat merealisasikan keinginan sehingga terjalin kebersamaan yang lebih erat dengan kelompok teman sebayanya. Kelompok teman sebaya atau peer group menjadi suatu sarana sekaligus tujuan dalam pencarian jati diri. Dalam pencarian jati diri remaja sering berpikir tidak rasional dalam memenuhi kebutuhannya. Terkadang kebutuhan yang menjadi prioritas mereka sebagai pelajar sering terabaikan dan lebih mementingkan keinginan yang bersifat hedonis (kesenangan sesaat).


(7)

Remaja membeli barang (seperti aksesosris, pakaian, tas dan lain-lainnya) hanya untuk memperoleh pengakuan dari orang lain tanpa pertimbangan yang rasional, maka akan menyebabkan remaja semakin terjerat dalam perilaku konsumtif. Akibatnya terjadi pemborosan karena remaja membelanjakan sebagian besar uangnya untuk mengejar gengsi semata. Orang tua pun tentunya akan keberatan jika uang yang diberikan kepada anaknya digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.

Ajaran untuk terus mengkonsumsi barang-barang baru atau menikmati hidup menggiringi kaum remaja untuk tidak hemat dan menjauhi pola hidup sederhana. Hal ini sangat kabur dari pendidikan yang diajarkan guru kepada siswa-siswanya di sekolah dan jauh dari harapan orang tua yang menginginkan anaknya hidup hemat dan mampu memanfaatkan uang yang diberikan orang tua dengan baik.

Ketika kecenderungan prilaku konsumtif pada remaja ini dilakukan secara berlebihan maka akan ada dampak negatif yang ditimbulkannya. Pepatah

“lebih besar pasak daripada tiang” berlaku di sini. Terkadang apa yang

dituntut oleh remaja di luar kemampuan orang tuanya sebagai sumber dana.

Perilaku konsumtif inilah yang banyak melanda kehidupan remaja terutama yang tinggal di perkotaan. Ini terjadi hampir di semua perkotaan di Indonesia, tidak terkecuali di kota Bandar Lampung yang menyediakan berbagai fasilitas seperti keberadaan mall, gedung bioskop dan tempat-tempat lain yang ikut mendukung terbentuknya perilaku konsumtif.


(8)

Hasil observasi awal yang dilakukan pada beberapa tempat antara lain, distro, butik, bioskop dan beberapa pusat perbelanjaan lainnya, menyatakan bahwa lebih dari sebagian pengunjungnya adalah remaja terutama pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). Terlihat dari banyaknya remaja yang masih berseragam sekolah berada di tempat-tempat tersebut. Kegiatan yang mereka lakukan pun beragam, mulai dari sekedar nongkrong-nongkrong di cafe,

berkeliling di mall atau “window shopping”, berbelanja pakaian dan aksesoris, berfoto di photo box, dan sebagainya. Bagi kebanyakan remaja, menganut gaya hidup seperti ini merupakan cara yang paling tepat untuk dapat ikut masuk ke dalam kehidupan kelompok sosial yang diidamkan.

Peneliti tertarik melakukan penelitian ini di SMA Al Kautsar Bandar Lampung karena mayoritas siswa-siswa SMA Al Kautsar berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah keatas, sehingga sebagian besar prilaku konsumtif remaja yang memiliki orang tua dengan kemampuan financial yang tinggi, berdampak pula terhadap remaja yang sebelumnya tidak memiliki gaya hidup perilaku konsumtif.

Berdasarkan pengamatan peneliti, di dalam pergaulan siswa SMA Al Kautsar terdapat suatu sistem bergaul yang berkelompok-kelompok. Mereka mengikuti gaya bergaul ini sesuai dengan tingkat ekonomi mereka. Di dalam kelompok itu pun mereka saling menunjukkan penampilan yang dipandang sebagai ukuran status ekonomi mereka masing-masing di depan teman-temannya dan dengan sendirinya teman-teman yang lain akan berusaha mengikuti agar mereka merasa tidak berbeda dan diterima di dalam kelompok tersebut.


(9)

Tidak kalah menariknya, dari hasil pra survey yang dilakukan pada tanggal 28 April 2010 diperoleh gambaran secara umum yakni penampilan anak-anak SMA Al-Kautsar yang berbeda dengan anak-anak SMA lain, mulai dari gaya dan model tas, sepatu, hand phone dengan fasilitasnya yang canggih, bahkan kendaraan.

Ketika anak-anak SMA lainnya berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan umum, sebaliknya di Al-Kautsar parkiran kendaraan bermotor dipadati kendaraan milik siswa dari pada gurunya. Inilah gambaran kehidupan sebagian besar anak-anak SMA Al-Kautsar yang tidak mustahil memberikan pengaruh atau imbas pada anak-anak lainnya yang semula tidak memiliki gaya hidup konsumtif, dan kurang berguna dalam hubungannya dengan tugas remaja sebagai siswa di sekolah yaitu belajar.

Remaja dan interaksi di lingkungan sosialnya berpotensi membentuk sikap dan perilaku yang baru yaitu perilaku konsumtif, dimana remaja tidak pernah puas dengan satu mode saja. Sehingga pada perkembangannya akan menjadi orang-orang dewasa yang kurang cermat dan hemat dalam penggunaan waktu dan uangnya secara tepat, yang pada akhirnya akan berdampak pada perilaku, etika sosial dan budaya pada remaja. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk

meneliti penelitian dengan judul “Hubungan Interkasi Sosial Kelompok


(10)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian

ini adalah “Seberapa Besar Hubungan Interaksi Sosial Kelompok Teman

Sebaya Terhadap Perilaku Konsumtif Remaja di SMA Al-Kautsar Bandar

Lampung”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar hubungan interaksi sosial kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif remaja di SMA Al-Kautsar Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan sosial yang khususnya dalam bidang sosiologi dengan berbagai pengaruh yang ditimbulkan di dalam interaksi kelompok teman sebaya terhadap pembentukan perilaku remaja.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi remaja dan pembaca dalam membina diri menjadi pribadi yang tidak boros dan lebih mengutamakan kebutuhan yang menjadi prioritas utama bukan berdasarkan keinginan atau gengsi semata.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Interaksi Sosial

1. Pengertian Interaksi Sosial

Gillin dalam (Sunarto, 2004:21) mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang perorangan, antara kelompok kelompok manusia, maupun orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu interaksi sosial dimulai; pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi.

Soekanto (1986:51), suatu interaksi sosial tidak akan terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat. Syarat tersebut adalah adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Kontak sosial antara lain antara perorangan, antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia dan antar suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.

Bonner (dalam Ali, 2004:87) menyatakan interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.


(12)

Dari uraian di atas, dinyatakan bahwa interaksi sosial mengandung pengertian hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi dan dipengaruhi.

2. Faktor-Faktor Terjadinya Interaksi Sosial

Interaksi sosial tidak akan terjadi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai akibat dari hubungan tersebut. Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati (Soekanto, 1986:57).

a) Imitasi

Faktor ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi nilai yang berlaku. Dampak buruknya, ketika yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang atau tidak baik (negatif).

b) Sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, tetapi titik-tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi apabila pihak yang


(13)

menerima dilanda emosinya, yang kemudian dapat menghambat daya berpikirnya.

c) Identifikasi

Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar sikap ini. Dengan kata lain identifikasi merupakan suatu dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun disengaja karena sering kali seseorang memiliki tipe ideal tertentu.

d) Simpati

Merupakan proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.

Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun pada kenyataannya proses tadi sangat kompleks. Terkait dengan penelitian ini, peneliti ingin melihat interaksi sosial pada kelompok teman sebaya.


(14)

B. Tinjauan Kelompok Teman Sebaya

1. Pengertian Kelompok Teman Sebaya

Pengertian kelompok menurut Billig (Sarwono, 2005:22) yaitu sebagai kumpulan orang- orang yang anggota-anggotanya sadar atau tahu akan adanya satu identitas sosial bersama. Identitas sosial adalah sebuah proses yang mengikat individu pada kelompoknya dan menyebabkan individu diri sosialnya.

Menurut Johnson (Sarwono, 2005:23) kelompok adalah kumpulan dua orang individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka, yang masing-masing menyadari keanggotaanya dalam kelompok, masing- masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Kelompok teman sebaya atau peer group merupakan kumpulan beberapa individu yang berumur setara atau seusia, satu lingkungan (misalnya, lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan bekerja) dan memiliki tujuan pribadi yang sama, dalam peer group tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun diantara anggota kelompok merasakan adanya tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya.

Dari beberapa pengertian di atas dinyatakan bahwa kelompok adalah kumpulan dua orang atau lebih yang saling berkaitan, berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam perilaku untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok teman sebaya merupakan kelompok sosial di mana masing-masing anggota


(15)

terjalin hubungan yang erat dan bersifat pribadi. Sebagai hasil hubungan yang bersifat pribadi adalah peleburan dan individu dalam kelompok, sehingga tujuan individu menjadi tujuan kelompoknya. Kelompok-kelompok sebaya di lingkungan sosial mereka bersatu dalam satu permainan, berdiskusi tentang sesuatu masalah.

Dalam kelompok teman sebaya, individu menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan di rumah. Saling hubungan yang bersifat pribadi itu menyebabkan seseorang dapat mencurahkan isi hatin kepada teman-teman baik sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang menyedihkan. Oleh karena itu anak-anak terutama remaja sering meninggalkan rumah dalam waktu berjam-jam lamanya. Dalam kelompok ini terjadi kerja sama, tolong-menolong, akan tetapi sering juga terjadi persaingan, dan pertentangan.

2. Macam-Macam Kelompok Teman Sebaya

Menurut Hurlock (1999 :215) ada beberapa lima macam kelompok teman sebaya dalam remaja, antara lain :

a) Teman Dekat: Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat.

b) Teman Kecil: Kelompok ini biasanya terdiri dari kelompok teman-teman dekat yang jumlahnya tidak begitu banyak.

c) Kelompok Besar: Kelompok besar terdiri dari beberapa kelompok kecil dan kelompok teman dekat, berkembang dengan meningkatnya minat akan pesta dan berkencan. Karena kelompok ini besar maka penyesuaian


(16)

minat berkurang sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar di antara mereka.

d) Kelompok Terorganisasi: Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa, dibentuk oleh sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para remaja yang tidak mempunyai kelompok besar.

e) Kelompok Geng: Remaja yang tidak termasuk kelompok besar dan tidak merasa puas dengan kelompok yang terorganisasi, mungkin akan mengikuti kelompok geng. Anggota biasanya ter diri dari anak-anak sejenis dan minat mereka melalui adalah untuk menghadapi penolakan teman- teman melalaui perilaku antisosial.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada berbagai macam jenis kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya yang pasti ada di sekolah adalah kelompok terorganisasi, yaitu kelas yang merupakan kelompok di sekolah yang sudah pasti keberadaan anggotanya dan bersifat tetap.

3. Hakikat Kelompok Sebaya

Menurut Having Hurst (Dwi, 2009:28) dalam kehidupan sehari-hari individu hidup dalam dua lingkungan sosial, antara lain:

1. Dunia orang dewasa

Misalnya: orang tuanya, gurunya, tetangganya. 2. Dunia peer group (sebaya)


(17)

Di dalam dunia sosial tersebut terdapat dasar dan perbedaan pengaruh, antara lain:

1. Perbedaan dasar

Dalam dunia orang dewasa, anak selalu dalam posisi subordinat status, dengan kata lain status anak-anak di bawah para orang dewasa. Sedangkan dalam dunia sebayanya, anak mempunyai status yang sama dengan yang lain. Sehingga remaja membentuk kelompok teman sebaya tersendiri karena ada kesamaan dalam pembicaraan di segala bidang.

2. Perbedaan pengaruh

Pengaruh teman sebaya makin lama makin penting fungsinya. Akhirnya pengaruh keluarga dalam membentuk pribadi remaja pun semakin kecil.

Dari uraian di atas, latar belakang kelompok teman sebaya antara lain: a) Adanya perkembangan proses sosialisasi.

Pada usia remaja, individu mengalami proses sosialisasi. Ketika sedang belajar mereka memperoleh kemantapan sosial untuk mempersiapkan diri menjadi orang dewasa. Dengan demikian, individu mencari kelompok yang sesuai dengan keinginannya dan bisa saling berinteraksi satu sama lain dengan merasa diterima di kelompoknya.

b) Kebutuhan untuk menerima penghargaan.

Secara psikologis, individu butuh penghargaan dari orang lain agar mendapat kepuasan dari apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu individu bergabung dengan teman sebaya yang mempunyai kebutuhan psikologis yang sama yaitu ingin dihargai. Dengan demikian individu


(18)

merasakan kebersamaan atau kekompakan dalam kelompok teman sebayanya.

c) Perlu perhatian dari orang lain.

Individu perlu perhatian dari orang lain terutama yang merasa senasip dengan dirinya. Hal ini dapat ditemui dalam kelompok sebaya, ketika individu sama dengan yang lainnya. Mereka akan merasakan adanya perbedaan status jika mereka bergabung dengan orang dewasa. Oleh karena itu mereka lebih memilih berkumpul dengan kelompoknya yang sebaya.

d) Ingin menemukan dunianya.

Pada kelompok sebaya individu dapat menemukan kehidupan nyaman sesuai persamaan mereka. Misalnya, pembicaraan tentang hobby dan hal-hal yang menarik lainnya (Santoso, 2004:78).

Bagi anak, kelompok sebaya ialah kelompok anak- anak tertentu yang saling berinteraksi. Setiap kelompok memiliki peraturan- peraturanya sendiri, tersurat maupun tersirat, memiliki tata sosialnya sendiri, mempunyai harapan- harapannya sendiri bagi para anggotanya. Setiap kelompok sebaya juga mempunyai kebiasaan- kebiasaan, tradisi-tradisi, perilaku bahkan bahasa sendiri. Kelompok sebaya merupakan lembaga sosialisasi yang penting disamping keluarga, sebab kelompok sebaya juga turut serta mengajarkan cara- cara hidup bermasyarakat.

Biasanya pada masa remaja dunia sosial anak mengalami perubahan secara radikal, dari dunia kecil yang berpusat di dalam keluarga ke dunia yang lebih


(19)

luas yang berpusat pada kelompok sebaya. Anak cenderung merasa nyaman berada bersama teman-teman sebayanya daripada berada bersama orang-orang dewasa, meskipun orang dewasa tersebut bersikap menerima dan penuh pengertian.

C. Perilaku Konsumtif Remaja

1. Pengertian Perilaku Konsumtif

Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:671). Perilaku konsumtif merupakan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan maksimal (Tambunan, 2001:1) http//:www.e-psikologi.com/remaja/191101.htm.

James F. Engel (dalam Mangkunegara, 2005:3) mengemukakan bahwa perilaku konsumtif dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut.

Fromm (1995:23) menyatakan bahwa keinginan masyarakat dalam era kehidupan yang modern untuk mengkonsumsi sesuatu tampaknya telah kehilangan hubungan dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Perilaku konsumtif seringkali dilakukan secara berlebihan sebagai usaha seseorang


(20)

untuk memperoleh kesenangan, meskipun sebenarnya kebahagiaan yang diperoleh hanya bersifat semu.

Pendapat di atas berarti bahwa perilaku membeli yang berlebihan tidak lagi mencerminkan usaha manusia untuk memanfaatkan uang secara ekonomis namun perilaku konsumtif dijadikan sebagai suatu sarana untuk menghadirkan diri dengan cara yang kurang tepat. Perilaku tersebut menggambarkan sesuatu yang tidak rasional dan bersifat kompulsif sehingga secara ekonomis menimbulkan pemborosan dan inefisiensi biaya. Konsumen dalam membeli suatu produk bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan semata-mata, tetapi juga keinginan untuk memuaskan kesenangan. Keinginan tersebut seringkali mendorong seseorang untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Berdasarkan dari beberapa pengertian yang dikemukakan, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku individu yang ditunjukan untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan tidak terencana terhadap jasa dan barang yang kurang atau bahkan tidak diperlukan. Perilaku ini lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu untuk memuaskan kesenangan. Sehingga tanpa pertimbangan yang matang seseorang begitu mudah melakukan pengeluaran untuk macam-macam keinginan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pokok.


(21)

2. Aspek-Aspek Perilaku Konsumtif

Konsumtif menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.

Berdasarkan definisi di atas, Tambunan (2001:1) berpendapat ada dua aspek yang mendasari perilaku konsumtif, yaitu :

1. Adanya suatu keinginan mengkonsumsi secara berlebihan.

Hal ini akan menimbulkan pemborosan dan bahkan inefisiensi biaya. Perilaku konsumtif dengan memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produk yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Perilaku ini hanya berdasarkan pada keinginan untuk mengkonsumsi sesuatu yang kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Pada usia remaja yang biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya sehingga menimbulkan inefisiensi biaya.

2. Perilaku tersebut dilakukan bertujuan untuk mencapai kepuasan semata. Kebutuhan yang dipenuhi bukan merupakan kebutuhan yang utama melainkan kebutuhan yang dipenuhi hanya sekedar mengikuti arus mode, ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial tanpa memperdulikan apakah memang dibutuhkan atau tidak. Padahal hal ini justru akan menimbulkan kecemasan. Rasa cemas di sini timbul karena merasa harus tetap mengikuti perkembangan dan tidak ingin dibilang ketinggalan.


(22)

3. Pengukuran Perilaku Konsumtif

Pengukuran perilaku konsumtif menggunakan indikator perilaku konsumtif menurut Sumartono (2002:38), yaitu:

a. Membeli produk demi menjaga penampilan dan meningkatkan rasa percaya diri. Konsumen remaja mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya remaja mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya dengan tujuan agar remaja selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain. Remaja membelanjakan uangnya lebih banyak untuk menunjang penampilan diri dengan kecenderungan tuntutan komunitas kelompok sosialnya sehingga terkadang tidak sedikit remaja meniru apa yang ada pada kelompok acuan mereka. Remaja sangat terdorong untuk mencoba suatu produk karena mereka percaya apa yang dikatakan oleh iklan dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Cross dan Cross (dalam Hurlock, 1999) juga menambahkan bahwa dengan membeli produk yang mereka anggap dapat mempercantik penampilan fisik, mereka akan menjadi lebih percaya diri.

b. Membeli produk atas pertimbangan harga, bukan atas dasar manfaat. Konsumen remaja cenderung berperilaku yang ditandakan oleh adanya kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap paling mewah, dengan kata lain remaja memiliki pemikiran bahwa jika mereka membeli atau memakai sesuatu yang mewah maka akan berdampak pula pada penerimaan sosial lingkungannya. Hal ini mengarah ke proses kognitif seperti motivasi dan kebutuhan pengakuan.


(23)

c. Memakai produk karena unsur konformitas (ingin sama) dengan orang lain atau model yang mengiklankan.

Remaja cenderung meniru perilaku tokoh yang diidolakannya dalam bentuk menggunakan segala sesuatu yang dapat dipakai tokoh idolanya. Remaja juga cenderung memakai dan mencoba produk yang ditawarkan bila ia mengidolakan publik figur produk tersebut. Tokoh idola dalam hal ini bukan hanya artis yang remaja lihat di televisi atau majalah, namun juga idola mereka seperti ibu/ayah, teman dekat yang dianggap keren, dan lain-lainnya.

d. Mencoba lebih dari dua produk sejenis dengan merk yang berbeda.

Remaja akan cenderung menggunakan produk jenis sama dengan merek yang lain dengan produk sebelumnya digunakan, meskipun produk tersebut belum habis dipakainya. Biasanya remaja mempunyai keinginan untuk memiliki suatu barang yang tidak terencana sebelumnya berawal dari hanya sekedar iseng melihat-liht atau ikut menemani teman yang berbelaja.

D. Tinjauan Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin “adolesncare” yang

berarti tumbuh atau “tumbuh menjadi dewasa”. Masa remaja, berlangsung

antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun untuk wanita, dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun untuk laki-laki. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Masa remaja adalah usia


(24)

dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa (Piaget, dalam Hurlock 1999).

Pandangan ini di dukung oleh Papalia (dalam Nurjannah, 2009:22), remaja sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke dewasa, diawali dengan masa puber yaitu proses perubahan fisik yang ditandai dengan kematangan seksual, kognisi dan psikososial yang berkaitan satu sama lain. Masa remaja adalah waktu meningkatnya perbedaan di antara anak muda mayoritas, yang diarahkan untuk mengisi masa dewasa dan menjadikannya produktif, dan minoritas yang akan berhadapan dengan masalah besar.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, dalam majalah Mahkota (Edisi Oktober, 1994:120) Fahri Amin menyatakan remaja adalah sosok individu dalam usia serba tanggung, dewasa bukan anak-anak juga suda tidak lagi. Mereka sibuk mencari jati diri yang kesemuanya ditandai oleh sikap labil serta punya rasa keingintahuan yang demikian besarnya. Perasaan-perasaan seperti ini mendorong remaja untuk mencari pengalaman baru yang menyenangkan meski terkadang semu. Pribadinya masih labil mudah menggiring mereka keperbuatan di luar jalur kebenaran, karena mereka masih muda dipengaruhi.

Berdasarkan uraian beberapa pengertian di atas disimpulkan pengertian bahwa remaja adalah kelompok individu yang sedang mengalami masa pertumbuhan, masa peralihan dari usia anak-anak yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang lebih kuat dan penuh tanggung jawab baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.


(25)

E. Hubungan Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya dalam Membentuk Perilaku Konsumtif Remaja

Perilaku adalah hasil dari interaksi sosial dengan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan teman sebaya akan memberikan penafsiran-penafsiran sosial. Sedangkan penafsiran sosial sangat ditentukan oleh orang dan situasi yang melingkupinya.

Dalam bukunya The Social Construction Reality, Peter Berger dan Thomas Luckman (dalam Dwi, 2009:6) menyatakan bahwa realitas kehidupan sehari-hari adalah realitas yang dibangun oleh pribadi dengan orang-orang di sekeliling dalam suatu interaksi simbolik. Remaja dalam kondisi psiko-sosialnya sangat bergantung pada suatu interaksinya dengan lingkungan khususnya dengan teman sebaya. Apa yang menjadi makna atau konstruksi sosial dengan teman sebayanya, juga akan menjadi konstruksi dalam dirinya atau menjadi pengetahuan sosialnya (Social Cognition).

Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1999:213).

Lebih lanjut Hurlock menambahkan untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru, yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokkan sosial


(26)

yang baru, dan nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan. Akhirnya menghasilkan konformitas yang tidak disadari terjadi di dalam interkasi kelompok teman sebaya remaja.

Meyrs (1962:203) mengemukakan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok. Ini terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan sehingga dapat terhindar dari celaan maupun keterasingan.

Faktor-faktor interaksi seperti imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati pada individu (dalam hal ini remaja) menghasilkan perilaku, salah satunya perilaku konsumtif. Sebenarnya, bukan hanya berpengaruh pada perilaku konsumtif saja tetapi juga membentuk sikap-sikap lainnya, seperti perilaku menyimpang, pelanggaran norma, dan lainnya. Namun fokus peneliti hanya pada pengaruh interaksi pada kelompok teman sebaya tehadap perilaku konsumtif remaja.

F. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah suatu konsep yang berisikan hubungan kausal hipotesis antara variabel bebas dengan variabel terkait dalam rangka memberikan jawaban sementara terhadap masalah penelitian. Kerangka pikir merupakan suatu konsep yang berisikan satu keterkaitan dari dua gejala atau lebih.

Bagi tipe sosial kultural masyarakat Indonesia yang beragam, penyesuaian pribadi dan sosial remaja banyak yang ditekankan dalam lingkup kelompok teman sebaya. Alasan pokoknya adalah bahwa kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama, dimana remaja belajar untuk hidup


(27)

bersama orang lain yang bukan anggota keluarganya. Lingkungan teman sebaya merupakan suatu kelompok yang memiliki ciri, norma dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan apa yang ada dalam lingkungan keluarga.

Teori Belajar Sosial, David G. Myers (1962:42) menyatakan bahwa perilaku yang dimunculkan individu merupakan hasil dari pengolahan observasinya terhadap lingkungan. Dari lingkunganlah individu mendapatkan banyak informasi yang akan digunakan sebagai dasar perilakunya dimasa mendatang. Remaja dituntut memiliki kemampuan setelah itu baru menyesuaikan diri dan akhirnya dapat dijadikan dasar dalam hubungan sosial yang lebih luas di masyarakat.

Menurut Hurlock (1999:213), karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku terkadang lebih besar dari pada pengaruh keluarga.

Seringnya intensitas bertemu, bermain, dan beraktifitas dengan teman sebaya baik di sekolah maupun di luar sekolah berpengaruh yang positif dan negatif terhadap perkembangan pribadi remaja. Hal ini tergantung pada lingkungan teman sebaya dari interaksi, aktivitas serta kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan saat berkumpul dengan teman sebayanya. Intensitas berkumpul dan beraktivitas dengan kelompok teman sebaya juga tidak menutup kemungkinan seseorang akan masuk ke dalam lingkungan itu dengan melihat, mengamati kemudian meniru tingkah laku atau peristiwa yang menarik perhatian dan akan selalu diingat kemudian hasil ingatan tadi akan menjadi bentuk perilaku.


(28)

Tingkat intensitas berkumpul dan iteraksi yang ada di dalam kelompok sebaya menjadi suatu pertimbangan dan diduga memberikan pengaruh pada sikap awal remaja terhadap perilaku konsumtif. Faktor-faktor terbentuknya interaksi seperti imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati pada akhirnya menyebabkan penafsiran-penafsiran remaja terhadap apa yang ia lihat dan ia anggap benar. Padahal belum tentu yang mereka anggap benar adalah yang baik bagi perkembangan dirinya.

Remaja akan merasa lebih percaya diri, nampak keren, merasa diterima di kalangan teman sebaya jika mereka menunjukkan identitas diri mereka agar bisa masuk ke dalam kelompoknya dan mendapatkan pengakuan. Oleh karena itu berbagai cara remaja tempuh untuk memenuhi hasrat konsumtifnya supaya terlihat sama dan sejajar dengan teman sebaya lainnya. Hasrat konsumtif itulah yang menyebabkan masalah pada perilaku-perilaku remaja yang dianggap tidak wajar mengingat mereka belum memiliki kemampuan financial atau penghasilan dan masih bergantung pada pemberian orang tua.

Berdasarkan uraian di atas, maka bagan kerangka pikir dapat diformulasikan sebagai berikut:

Interkasi Sosial Kelompok Teman Sebaya

1. Imitasi 2. Sugesti 3. Identifikasi 4. Simpati

Perilaku Konsumtif Remaja 1. Membeli produk demi menjaga

penampilan dan meningkatkan rasa percaya diri

2. Membeli produk atas pertimbangan harga, bukan atas dasar manfaat 3. Memakai produk karena unsur

konformitas (ingin sama) dengan orang lain atau model yang mengiklankan

4. Mencoba lebih dari dua produk sejenis dengan merk yang berbeda


(29)

Keterangan :

Interaksi Kelompok Teman Sebaya sebagai variabel bebas (X) Perilaku Konsumtif Remaja sebagai variabel terikat (Y)

: Menunjukkan adanya hubungan variable X terhadap Y

G. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan:

1. Hipotesis alternatif (Ha): “Ada Hubungan Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya terhadap Perilaku Konsumtif Remaja”.

2. Hipotesis nihil (Ho): “Tidak Ada Hubungan Interaksi Sosial Kelompok


(30)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menjembatani dunia konseptual dengan dunia empirik. Suatu penelitian sosial diharapkan mengungkap fenomena atau peristiwa sosial tertentu dan pemahaman atau realitas sosial harus logis, dan dapat diterima akal sehat serta harus sesuai dengan apa yang akan diamati. Penelitian merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan tekhnik serta alat tertentu. Cara ini dipergunakan setelah penelitian memperhitungkan kewajaran dari tujuan penelitian. Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Pemilihan pendekatan kuantitatif dikarenakan pada analisa data penetapan pengukurannya menggunakan metode statistik sebagai alat ukur.

B. Definisi Konseptual

Defenisi Konseptual dalam penelitian ini adalah: 1. Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya

Interaksi sosial dalam kelompok teman sebaya merupakan hubungan timbal balik yang terjadi pada kelompok seusia, di mana masing-masing


(31)

anggota terjalin hubungan yang erat dan bersifat pribadi. Sebagai hasil hubungan yang bersifat pribadi adalah peleburan individu dalam kelompok, sehingga tujuan individu menjadi tujuan kelompoknya.

2. Perilaku Konsumtif

Perilaku konsumtif merupakan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan maksimal.

C. Definisi Operasional

Untuk mengoperasionalkan variabel penelitian, maka perlu dirumuskan definisi operasional. Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik- karkteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Azwar, 1999:74). Variabel dalam penelitian ini mempunyai definisi operasional sebagai berikut:

1. Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya (variabel x)

Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dilaksanakan melalui proses sosial yang disebut interaksi sosial, yaitu hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat.

Adapun indikator-indikator interaksi sosial yang akan dijadikan dalam pengembangan instrumen dalam penelitian ini, yaitu:


(32)

a. Imitasi

Suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan karena ingin meniru orang lain.

b. Sugesti

Suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan karena termotivasi dari sikap orang lain yang dianggap benar atau baik.

c. Identifikasi

Keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain, lebih dari sekedar meniru namun lebih dalam seperti pola tingkah laku, sikap ataupun kebiasaan yang ada pada diri orang lain.

d. Simpati

Seseorang tertarik dengan pihak lain sehingga timbul keinginan untuk memahami dan bekerja sama dengannya.

2. Perilaku Konsumtif Remaja (variabel y)

Perilaku konsumtif merupakan pola perilaku individu dalam mengkonsumsi barang yang lebih mementingkan faktor keinginan untuk mendapatkan kesenangan daripada untuk memenuhi kebutuhan. Perilaku ini juga mencakup suatu tindakan penggunakan produk yang tidak tuntas namun sudah menggunakan produk lain. Barang-barang yang dibeli berupa barang-barang yang dapat merawat diri dan menunjang penampilan diri seperti sepatu, pakaian, kosmetik dan aksesoris.

Perilaku konsumtif akan diukur dengan menggunakan skala perilaku konsumtif berdasarkan indikator perilaku konsumtif, yaitu:


(33)

a. Membeli produk demi menjaga penampilan dan meningkatkan rasa percaya diri.

b. Membeli produk atas pertimbangan harga, bukan atas dasar manfaat. c. Memakai produk karena unsur konformitas (ingin sama) dengan orang

lain atau model yang mengiklankan.

d. Mencoba lebih dari dua produk sejenis dengan merk yang berbeda.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di SMA Al-Kautsar yang beralamat di Jalan Soekarno Hatta Rajabasa Bandar Lampung. Adapun pertimbangan dalam memilih lokasi tersebut adalah:

1. Terdapat sistem pertemanan yang mengelompok di dalam SMA Al-Kautsar.

2. Adanya keterwakilan terhadap populasi yaitu keterwakilan terhadap pelajar yang cenderung memiliki kemungkinan perilaku konsumtif, sehingga memungkinkan untuk diteliti.

3. Pelajar yang bersekolah di SMA Al-Kautsar sebagian besar berasal dari sosial ekonomi orang tua yang berada pada kalangan menengah keatas. 4. Sekolah ini berada di daerah yang berdekatan dengan daerah tempat

tinggal peneliti sehingga dapat mempermudah transportasi dan komunikasi dalam rangka penelitian.

5. Peneliti pernah menempuh pendidikan selama 6 tahun di Perguruan Al-Kautsar sehingga peneliti sudah mengetahui keadaan lokasi penelitian.


(34)

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya mudah diduga (Singarimbun dan Efendi, 1987:108). Selain itu populasi juga wilayah generalisasi yang terdiri atas objek dan subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik suatu kesimpulan (Sugiono, 2007:80).

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas XI SMA AL-Kautsar Bandar Lampung tahun ajaran 2009-2010 yang berjumlah 312 orang.

Hal tersebut bisa kita lihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Daftar Populasi Siswa Kelas XI SMA Al-Kautsar Bandar Lampung Tahun Ajaran 2009-2010


(35)

2. Sampel

Menurut Arikunto (1998:121), sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Pengambilan sampel mengikuti ukuran. Bila subjeknya kurang dari 100 maka lebih baik di ambil semua dan jika jumlah subjeknya lebih dari 100, dapat diambil antara 10-15%, 20-25% atau lebih.

Berdasarkan ukuran diatas maka penulis menetapkan besarnya sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 25%, karena jumlah subjeknya lebih dari 100 yaitu 316 siswa. Dengan demikian maka besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 78 siswa, dengan rincian sampel sebagai berikut:

Tabel 2. Daftar Sampel Siswa Kelas XI SMA Al-Kautsar Bandar Lampung Tahun Ajaran 2009-1010

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat serta dapat dipertanggung jawabkan kebenaran ilmiahnya, penulis mempergunakan teknik pengumpulan data yang meliputi:


(36)

1. Kuesioner

Suatu penelitian mengenai suatu masalah yang dilakukan dengan cara mengedarkan atau memberikan pertanyaan-pertanyaan berupa formulir, diajukan secara tertulis kepada responden untuk mendapatkan jawaban tertulis. Kuesioner ini akan disebar atau diberikan kepada responden yang dijadikan sampel yaitu siswa-siswi kelas XI SMA Al-Kautsar Bandar Lampung.

2. Studi Pustaka

Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk mencari literatur yang dapat mendukung dan memberikan informasi bagi pelaksanaan penelitian ini seperti buku, laporan dan arsip-arsip yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.

3. Wawancara

Wawancara digunakan untuk melengkapi data primer (kuesioner) dengan percakapan secara langsung, bertatap muka dengan informan yang diwawancarai. Dengan menggunakan metode wawancara ini diharapkan akan memperoleh yang lebih jelas mengenai jawaban responden pada kuisioner berkaitan dengan penelitian guna mempermudah dalam menganalisis data selanjutnya. Metode wawancara pada penelitian ini hanya dilakukan kepada beberapa responden saja mengingat jumlah responden yang berjumlah banyak dengan keterbatasan waktu, dana dan tenaga.


(37)

G. Teknik Pengolahan Data

1. Tahap Editing

Dalam tahap ini data yang dapat diperiksa kembali apakah ada kesalahan dalam melakukan pengisian yang tidak lengkap atau tidak jelas.

2. Tahap Koding

Tahap pengklasifikasikan jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden menurut jenis pertanyaan kuesioner dengan memberikan kode tertentu pada setiap jawaban.

3. Tahap Tabulating

Dalam tahap ini hasil kuesioner dimasukkan ke dalam tabel dan kemudian diinterprestasikan.

4. Tahap Interprestasi

Tahap ini dari penelitian yang berupa data yang diinterprestasikan agar lebih mudah dipahami yang kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

H. Penentuan Skor dan Kategori

Pengumpulan data penelitian variabel Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya (X) dan Perilaku Konsumtif (Y) dengan menggunakan kuesioner (angket) model Skala Likert. Aspek-aspek yang dievaluasi dalam kuisioner akan dibuat pertanyaan atau pernyataan untuk masing-masing variabel. Penelitian ini menggunakan tiga alternatif jawaban, untuk setiap pertanyaan akan diberikan penilaian atau skor yaitu sebagai berikut:


(38)

1. Ya

2. Kadang-kadang 3. Tidak

Untuk mengkuantifikasi data dilakukan perumusan nilai (score) bagi masing-masing kontinum secara berurut, untuk pertanyaan/pernyataan positif diberi bobot: 1 – 2 – 3, sedangkan untuk pertanyaan/pernyataan bersifat negatif diberi bobot: 3 – 2 – 1.

Tabel 3. Kisi-Kisi dan Jumlah Soal Kuesioner

NO VARIABEL INDIKATOR No Butir

1. Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya 1. Imitasi 2. Sugesti 3. Identifikasi 4. Simpati

1(+), 2(+), 3(+)

4(+), 5(+) ,6(+), 7(+)

8(+), 9(-), 10(+)

11(+),12(+), 13(+), 14(-)

2. Perilaku Konsumtif 1. Membeli produk demi menjaga penampilan dan meningkatkan rasa percaya diri 2. Membeli produk

atas pertimbangan harga bukan atas dasar manfaat 3. Memakai produk

karena unsur konformitas terhadap model yg memakai/mengiklan kan

4. Mencoba lebih dari dua produk sejenis dengan merk yang berbeda

15(+), 16(+), 17(+)

18(+), 19(+), 20(+)

21(+), 22(+), 23(+)


(39)

I. Teknik Analisis Data

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa statistik yang diarahkan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel penelitian. Rumus yang digunakan untuk mengetahui hubungan tersebut menggunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut:

  

  

 

2 2 2 2

. . .            N N XY N xy r Keterangan: xy r

= Koefisien korelasi antara variable X dan Y XY = Hasil perkalian variabel X dan Y

X = Hasil skor variabel X Y = Hasil skor variabel Y

X2 = Hasil perkalian kuadrat skor variabel X Y2 = Hasil perkalian kuadrat skor variabel Y N = Jumlah sampel

Untuk mengetahui keeratan hubungan variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y) maka hasil perhitungan rumus diatas dibandingkan dengan nilai r yang telah dibagi, Arikunto (2000) dalam kriteria koefisien korelasi sebagai berikut:

Besar nilai r Interprestasi korelasi 0,801 sampai dengan 1,000 Korelasi sangat kuat 0,601-0800 Korelasi kuat 0,401-0,600 Korelasi sedang 0,201-0,400 Korelasi lemah 0,001-0,200 Hampir sangat lemah


(40)

J. Pengujian Hipotesis

Untuk menguji hipotesis terlebih dahulu diketahui niali thitung (student test). Adapun rumus statistik t:

2

1 2 r n r t

  

Keterangan: t = Nilai uji t r = Nilai korelasi n = Besarnya sampel

Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan membandinglkan nilai thitung dan ttabel pada taraf signifikan 95%, ketentuan yang dipakai dalam

perbandingan ini adalah sebagai berikut:

a. Jika thitung > ttabel, pada taraf signifikan 95% maka Ho ditolak, Ha

diterima berarti ada hubungan atau pengaruh variabel interaksi sosial kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif remaja.

b. Jika thitung > ttabel, pada taraf signifikan 95% maka Ho diterima, Ha

ditolak berarti tidak ada hubungan atau pengaruh variabel interaksi sosial kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif remaja.


(41)

K. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Uji validitas instrumen penelitian digunakan untuk mengetahui tingkat kesahihan atau kevalidan kuisioner penelitian. Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Setelah hasil perhitungan per item pertanyaan dengan menggunakan rumus korelasi product moment diperoleh (r hitung) maka angka korelasi yang diperoleh harus dibandingakan dengan angka kritik tabel korelasi nilai r (r tabel).

Jika nilai hitung korelasi product moment lebih kecil aau dibawah angka kritik tabel korelasi nilai r maka pertanyaan tersebut tidak valid. Sebaliknya jika nilai hitung product moment lebih besar atau di atas angka kritik tabel korelasi nilai r maka pertanyaan tersebut valid (Singarimbun dan Effendi, 1989:137).

2. Reliabilitas

Realibilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen sudah baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Instrumen yang sudah dapat dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Apabila data yang terkumpul memang benar atau sesuai dengan kenyataannya, maka berapa kalipun tetap akan sama. Reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu (instrumen). Reliabel artinya dapat dipercaya, jadi dapat diandalkan (Arikunto, 1998:154).


(42)

Untuk mencari reabilitas keseluruhan item adalah dengan mengkoreksi angka korelasi yang diperoleh dengan memasukkannya dalam rumus Koefisien Alfa (Croncbach). Instrumen penelitian dikatakan memenuhi syarat jika koefisien alfa > r tabel, lalu diinterprestasikan pada tabel interprestasi nilai r.

Rumus Koefisien Alfa (Croncbach) yang digunakan adalah:

α = 

              2 2 1 1 t i k k   Keterangan:

α = Nilai rebilitas

k = Jumlah item pertanyaan

2

i

 = Nilai varians masing-masing item

2

t

= Varians total


(43)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Hubungan Interaksi Kelompok Teman

Sebaya Terhadap Perilaku Konsumtif Remaja pada siswa kelas XI SMA Al-Kautsar Bandar Lampung yang menjadi lokasi penelitian, terlebih dahulu akan

dideskripsikan identitas responden, latar belakang responden berinteraksi dalam kelompok teman sebaya dan perilaku konsumtifnya serta terlebih dahulu menganalisis data variabel penelitian.

A. Identitas Responden

Responden dalam penelitian ini yaitu siswa-siswi kelas XI SMA Al-Kautsar Bandar Lampung yang berjumlah 78 orang. Kelompok responden ini disesuaikan dengan konteks variabel penelitian, yaitu data mengenai hubungan interaksi sosial kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif remaja.

Peneliti menyebar kuesioner ke delapan kelas, selanjutnya akan dideskripsikan identitas responden kelompok remaja menurut jenis kelamin, kelompok umur, pekerjaan orang tua dan pendidikan orang tua.


(44)

1. Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Untuk mengetahui identitas responden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-Laki 25 32.05

Perempuan 53 67.95

Jumlah total 78 100.00

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 25 (32.05%) responden berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 53 (67.95%) berjenis kelamin perempuan, hal ini disebabkan jumlah siswa kelas XI SMA Al-Kautsar pada umumnya lebih banyak siswa perempuan dari pada laki-laki, selain itu perilaku konsumtif remaja perempuan lebih cenderung menunjukkan agresivitasnya dibandingkan remaja laki-laki.

2. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur

Untuk mengetahui identitas responden menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur

Umur Jumlah Persentase

16 tahun 42 53.85

17 tahun 36 46.15


(45)

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 42 (53.85%) responden berumur 16 tahun dan sebanyak 36 (46.15%) responden berumur 17 tahun. Responden berdasarkan kelompok umur ini termasuk ke dalam kelompok remaja. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun untuk wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun untuk laki-laki (Piaget, dalam Hurlock 1999). Dimana pada masa ini gejolak jiwa dan kepribadian seorang remaja berkembang.

3. Identitas Responden Menurut Pekerjaan Orang Tua

Untuk mengetahui identitas responden menurut pekerjaan orang tua dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7. Identitas Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan Jumlah Persentase

Pegawai Negeri 38 48.72

Pegawai Swasta 16 20.51

TNI – Polri 4 5.13

Wiraswasta 20 25.64

Jumlah total 78 100.00

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 38 (48.72%) responden menyatakan bahwa pekerjaan orang tua responden adalah pegawai negeri, sebanyak 16 (20.51%) responden menyatakan bahwa pekerjaan orang tua adalah pegawai swasta, sebanyak 4 (5.13%) responden menyatakan bahwa pekerjaan orang tua adalah TNI – Polri dan sebanyak 20 (25.64%) responden menyatakan bahwa pekerjaan orang tua adalah


(46)

wiraswasta. Dengan demikian pekerjaan orang tua sebagian besar responden adalah pegawai negeri. Dari deskripsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar pekerjaan orang tua reponden tergolong mapan atau berpenghasilan tetap.

4. Identitas Responden Menurut Pendidikan Orang Tua

Untuk mengetahui identitas responden menurut pendidikan orang tua dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Identitas Responden Menurut Pendidikan Orang Tua

Pendidikan Jumlah Persentase

Perguruan Tinggi – S2 21 26.92

Perguruan Tinggi – S1 41 52.57

SMA 16 20.51

Jumlah total 78 100.00

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 21 (26.92%) responden menyatakan bahwa pendidikan terakhir orang tua responden adalah perguruan tinggi - strata dua (S2), sebanyak 41 (52.57%) responden menyatakan bahwa pendidikan terakhir orang tua responden adalah perguruan tinggi - strata satu (S1) dan sebanyak 16 orang atau 20.51% responden menyatakan pendidikan terakhir orang tua adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Pendidikan orang tua responden tergolong tinggi karena dari hasil perhitungan kuesioner tidak ditemukan pendidikan orang tua responden yang SD atau SMP, mayoritas pendidikan terakhir orang tua responden adalah perguruan tinggi.


(47)

B. Latar Belakang Responden Berinteraksi dalam Kelompok Teman Sebaya dan Perilaku Konsumtifnya

Responden dalam penelitian ini adalah remaja. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak, namun belum bisa dikatakan dewasa karena pada masa ini remaja memiliki kematangan fisik namun tingkat emosional yang masih labil. Remaja yang notabane nya sebagai pelajar, lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang yang seusianya baik di sekolah maupun di luar sekolah sehingga remaja cenderung dekat dengan teman sebayanya.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 78 orang, selanjutnya akan dideskripsikan distribusi responden menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pertemanan responden dalam kelompok teman sebaya dan perilaku konsumtifnya.

a. Responden yang Memiliki Kelompok Teman Dekat di Sekolah maupun di Luar Sekolah

Untuk mengetahui jumlah responden yang memiliki kelompok pertemanan di sekolah maupun di luar sekolah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9. Responden Memiliki Kelompok Teman Dekat di Sekolah maupun di Luar Sekolah

Responden memiliki kelompok teman dekat di sekolah mupun

di luar sekolah

Jumlah Persentase

Ya 78 100

Tidak 0 0


(48)

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa seluruh responden memiliki kelompok teman dekat di sekolah maupun di luar sekolah mereka. Dari pertanyaan yang dijawab, alasan mereka berkelompok dengan teman sebayanya adalah karena mereka merasa lebih nyaman ketika mereka melakukan kegiatan bersama-sama dengan teman-teman, selain itu mereka merasa bahwa temanlah yang mengerti kondisi mereka saat mereka mengalami masalah dengan teman-teman lainnya dan kebosanan mereka berada dirumah.

b. Intensitas Pertemuan Responden dengan Teman di Luar Jam Sekolah

Untuk mengetahui intensitas pertemuan responden dengan teman-temannya di luar jam sekolah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10. Intensitas Pertemuan Responden dengan Teman di Luar Jam Sekolah

Intensitas pertemuan responden

dengan teman di luar jam sekolah Jumlah Persentase

Sangat Sering 24 30.77

Sering 38 48.72

Kadang-kadang 9 11.54

Jarang 7 8.97

Tidak Pernah 0 0

Jumlah total 78 100.00

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 24 (30.77%) responden menyatakan sangat sering bertemu temannya di luar jam sekolah, sebanyak 38 (48.72%) responden menyatakan sering bertemu teman di luar jam sekolah, sebanyak 9 (11.54%) responden yang menyatakan


(49)

kadang-kadang bertemu dengan teman di luar jam sekolah, sebanyak 7 (8.79%) responden menyatakan jarang bertemu teman di luar jam sekolah dan tidak ada responden yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu teman di luar jam sekolah.

c. Kualitas Pertemuan Responden dengan Teman di Waktu Luang

Untuk mengetahui kualitas pertemuan responden dengan teman-teman di waktu luang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 11. Kualitas Pertemuan Responden dengan Teman di Waktu Luang

Kegiatan yang responden lakukan dengan teman di waktu luang

Jumlah Persentase

Berbelanja 9 11.54

Bermain dan jalan-jalan 52 66.67

Belajar 5 6.41

Lainnya 12 15.38

Jumlah total 78 100.00

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui dari 78 responden sebanyak 9 (11.54%) responden menyatakan bahwa mereka memanfaatkan waktu luang bersama teman-teman dengan berbelanja, sebanyak 52 (66.67%) responden memanfaatkan waktu luang bersama teman-teman dengan bermain dan jalan-jalan, hanya sebanyak 5 (6.41%) responden yang memanfaatkan waktu luang bersama teman-teman dengan belajar dan 12 orang lainnya atau 15.38% responden memanfaatkan waktu luang bersama teman-teman dengan mengobrol dan nongkrong di kafe.


(50)

d. Intensitas Belanja Responden dalam Sebulan

Untuk mengetahui intensitas berbelanja responden dalam sebulan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 12. Intensitas Belanja Responden dalam Sebulan

Intensitas berbelanja

responden dalam sebulan Jumlah Persentase

1 kali 22 28.20

2 kali 27 34.62

3 kali 15 19.23

> 3 kali 8 10.25

Tidak pernah 6 7.70

Jumlah total 78 100.00

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui dari 78 responden sebanyak 22 (28.20%) responden menyatakan bahwa bebelanja 1 kali dalam sebulan, sebanyak 27 (34.62%) responden menyatakan bahwa berbelanja 2 kali dalam sebulan, sebanyak 15 (19.23%) responden menyatakan bahwa berbelanja 3 kali dalam sebulan, sebanyak 8 (10.25%) responden menyatakan bahwa berbelanja lebih dari 3 kali sebulan dan sebanyak 6 (7.70%) responden menyatakan tidak pernah berbelanja dalam jangka waktu sebulan. Dengan demikian sebagian besar responden berbelanja 2 kali dalam sebulan. Maka dapat dinyatakan bahwa intensitas responden remaja dalam berbelanja adalah sering karena dalam jangka waktu dua minggu mereka berbelanja berbagai barang yang mereka inginkan.


(51)

e. Jenis Barang yang Sering Dibeli Responden

Untuk mengetahui jenis barang yang serin dibelanjakan responden dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13. Jenis Barang yang Sering Dibeli Responden

Jenis barang yang sering

dibeli responden Jumlah Persentase

Pakaian 34 43.59

Tas 11 14.10

Aksesoris 29 37.18

Lainnya 4 5.13

Jumlah total 78 100.00

Berdasarkan tabel di atas diketahui maka diketahui dari 78 responden sebanyak 34 (43.59%) responden sering membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian, sebanyak 11 (14.10%) responden sering membelanjakan uangnya untuk membeli tas, sebanyak 29 (37.18%) responden sering membelanjakan uangnya untuk membeli aksesoris dan 4 orang lainnya menjawab sering membelanjakan uangnya untuk membeli makanan.

Dengan demikian, sebagian besar responden membelankajakan uangnya untuk membeli pakaian dalam menunjang penampilan diri mereka selain itu peneliti tidak menemukan jawaban responden yang membelanjakan buku atau keperluan sekolah lainnya. Ketika peneliti wawancarai 2 orang responden alasan mereka tidak membelanjakan uang pemberian orang tua untuk membeli buku karena buku dan keperluan sekolah lainnya adalah tanggung jawab orang tua di luar uang saku mereka.


(52)

C. Analisis Data Variabel Penelitian

Penelitian ini mengkaji hubungan interaksi sosial kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif remaja pada siswa kelas XI SMA Al-Kautsar Bandar Lampung. Berikut ini akan dibahas analisis data hasil pengukuran dari masing-masing variabel tersebut.

1. Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya

Data variabel interaksi sosial kelompok teman sebaya dalam penelitian ini diperoleh melalui kuesioner yang dijawab siswa yang berjumlah 14 butir pertanyaan/pernyataan. Bobot skor setiap butir pertanyaan/pernyataan 1 sampai dengan 3. Secara teoritis skor interaksi sosial siswa akan bervariasi antara skor minimal 14 sampai skor maksimal 42. Berdasarkan analisis data dengan menggunakan SPSS 1.3, diperoleh deskripsi statistik hasil pengukuran variabel interaksi sosial siswa yang ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 14. Deskripsi Data Variabel Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya

No Statistik Deskriptif Hasil Perhitungan

1 Jumlah Butir 14

2 Skor Ideal 42

3 Minimal 17

4 Maksimal 40

6 Mean 30.42

7 Median 31


(53)

Dari tabel di atas dapat diketahui skor variabel interaksi sosial kelompok teman sebaya siswa bervariasi dari skor terendah 17, sampai skor maksimal 40. Berdasarkan perhitungan statistika diperoleh angka mean = 30.42, median = 31. Perhitungan ini menunjukkan mean dan median yang tidak jauh berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa skor variabel interaksi sosial siswa cenderung berdistribusi normal (lihat histogram).

Untuk memperoleh gambaran tentang distribusi skor perilaku konsumtif, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 15. Distribusi Frekuensi Skor Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya

Kelas Interval Frekuensi (f) Persentase (%)

17 – 25 26 – 34 35 – 43

13 49 16

16.7 62.8 20.5

Jumlah 78 100

Berdasarkan hasil perhitungan, maka pengelompokan skor untuk variabel interaksi sosial kelompok teman sebaya diperoleh 20.5 % (16 responden) kelompok tinggi. Sebanyak 62.8% (49 responden) kelompok sedang dan sebanyak 16.7% (13 responden) kelompok rendah. Dari sini dapat dipahami bahwa tingkat interaksi sosial siswa pada umumnya berada pada kelompok sedang.


(54)

Berikut ini adalah gambar histogram interaksi sosial kelompok teman sebaya:

Gambar 1. Histogram Distribusi Frekuensi Skor Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya (X)

Interaksi Sosial Kelompok Teman Sebaya 40.00 35.00

30.00 25.00

20.00 15.00

20

15

10

5

0

Histogram

Mean =30.42 Std. Dev. =5.062


(55)

Untuk mengetahui tingkat interaksi sosial kelompok teman sebaya pada tiap indikator, dapat dilihat pada tabel berikut:

a. Imitasi

Tabel 16. Tingkat Imitasi Responden dalam Kelompok Teman Sebaya

Imitasi dalam kelompok teman sebaya berupa kecenderungan meniru atau mengikuti apa yang ada dan terjadi pada kelompok teman-teman sebayanya, seperti meniru penampilan, gaya bicara, suatu barang yang dimiliki teman dan lain-lainya.

Berdasarkan hasil penelitian serta tabel di atas, diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 19 (24.4%) responden tergolong tingkat imitasi yang tinggi, artinya responden sering meniru penampilan, gaya bicara ataupun suatu barang yang dimiliki temannya. Sebanyak 28 (35.9%) responden tergolong tingkat imitasi yang sedang, artinya responden terkadang meniru apa yang ada pada temannya namun intensitasnya tidak sering. Sebanyak 31 (39.7%) responden tergolong tingkat imitasi yang rendah, artinya responden tidak suka meniru penampilan, gaya bicara atau barang yang dimiliki teman sebayanya.

Kecenderungan responden meniru penampilan, gaya bicara dan sesuatu

yg dimiliki teman sebayanya Frekuensi Persentase

Tinggi 19 24.4

Sedang 28 35.9

Rendah 31 39.7


(56)

Dengan demikian mayoritas responden memiliki tingkat imitasi yang rendah. Keinginan mengimitasi yang dilakukan responden tidak begitu mempengaruhi seseorang di dalam kelompok refrensi atau teman sebaya, namun jumlah responden pada tingkat imitasi yang rendah (31 responden) dan sedang (28 responden) hanya berselisih sedikit, hal ini menunjukkan bahwa perbadaan tingkat imitasi antara satu responden remaja dan responden lainnya tidak terlihat signifikan, responden memiliki keinginan mengimitasi orang lain atau teman sebayanya dengan intensitas atau cara yang berbeda-beda sesuai dengan suasana hati atau kondisi lingkungan responden berada.

b. Sugesti

Tabel 17. Tingkat Sugesti Responden terhadap Kelompok Teman Sebaya

Kecenderungan responden terpengaruh

oleh teman-temannya

Frekuensi Persentase

Tinggi 33 42.3

Sedang 35 44.9

Rendah 10 12.8

Jumlah total 78 100.0

Sugesti dalam kelompok teman sebaya berupa pandangan seseorang yang menganggap bahwa sesuatu yang ia yakini itu benar dan akan sangat berpengaruh pada penerimaan sosialnya, seperti misalnya seseorang beranggapan bahwa anak yang glamour dan gaul akan mudah menarik perhatian orang lain dan memiliki banyak teman dibandingkan dengan anak yang terlihat biasa dalam segi berpenampilan, sugesti juga berupa sikap


(57)

mempercayai teman dekatnya dalam membantu memecahkan suatu masalah yang masih meragukan pikirannya.

Berdasarkan hasil penelitian serta tabel di atas diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 33 (42.3%) responden tergolong tingkat sugesti terhadap kelompok teman sebaya yang tinggi, artinya reponden meyakini bahwa komunitas kelompok teman dekat sangat berpengaruh terhadap penerimaan sosialnya, selain itu responden sering mempercayai pendapat teman-teman dalam memutuskan sesuatu. Sebanyak 35 (44.9%) responden tergolong di tingkat yang sedang, artinya responden masih mempertimbangkan apa yang baik dan buruk untuk dirinya dan responden tidak selalu menganggap bahwa anak yang glamour akan memiliki banyak teman dari pada yang tidak gaul. Sebanyak 10 (12.8%) responden tergolong rendah, artinya responden tidak beranggapan bahwa anak yang gaul akan banyak disukai teman-teman dibandingkan anak yang tidak gaul dan responden jarang meminta pendapat temannya dalam memutuskan sesuatu.

Dengan demikian mayoritas responden memiliki tingkat sugesti yang tinggi (33 responden) dan sedang (35 responden) terhadap kelompok teman sebaya, artinya responden menilai bahwa glamour dan gaul penting dalam pergaulan dan teman memberikan pengaruh yang bersar terhadap keputusan yang akan diambil. Hal ini tergantung pada sejauh mana individu tersebut terpengaruh oleh kelompok serta kekuatan atau keterlibatannya di dalam kelompok.


(58)

c. Identifikasi

Tabel 18. Tingkat Identifikasi Responden terhadap Kelompok Teman Sebaya

Kecenderungan responden untuk menjadi sama dengan

kelompok teman sebaya

Frekuensi Persentase

Tinggi 10 12.8

Sedang 32 41.0

Rendah 36 46.2

Jumlah total 78 100.0

Identifikasi dalam kelompok teman sebaya meliputi sikap atau keinginan untuk menjadi sama dengan pihak lain (teman). Biasanya remaja memiliki kelompok teman dekat yang memiliki ciri khas kelompoknya sebagai simbol kekompakan hubungan persahabatan mereka.

Berdasarkan hasil penelitian serta tabel di atas diketahui dari 78 responden sebanyak 10 (12.8%) responden memiliki tingkat identifikasi yang tinggi,artinya responden sering memiliki keinginan untuk menjadi sama dengan teman-temannya baik perilaku, hobi, barang-barang yang digunakan teman dan merasa tidak percaya diri jika berbeda dengan komunitas kelompok teman sebaya. Sebanyak 32 (41%) responden memiliki tingkat identifikasi yang sedang artinya responden terkadang memiliki keinginan untuk menjadi sama dengan komunitas kelompok teman sebaya dimana responden berada namun tidak terlalu sering. Sebanyak 36 (46.2%) responden memiliki tingkat identifikasi yang rendah, artinya responden tidak suka menyamakan dirinya dengan apa yang ada pada kelompok teman sebayanya.


(59)

Dengan demikian mayoritas responden memiliki tingkat identifikasi yang sedang dan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak suka atau tidak memiliki keinginan untuk mengidentifikasi orang lain atau teman sebayanya. Responden mengakui (hasil wawancara dengan salah satu responden yang mengisi kuesioner) bahwa kekompakan dalam persahabatan tidak harus mengubah diri menjadi orang lain, namun juga tidak melakukan hal yang bertentangan dan tidak disukai teman-teman lainnya.

d. Simpati

Tabel 19. Tingkat Simpati Responden terhadap Kelompok Teman Sebaya

Ketertarikan responden untuk bekerjasama dengan

teman-teman lainnya

Frekuensi Persentase

Tinggi 30 38.5

Sedang 27 34.6

Rendah 21 26.9

Jumlah total 78 100.0

Simpati dalam kelompok teman sebaya meliputi rasa ketertarikan seseorang untuk berteman dekat dengan orang lain yang dianggapnya baik dan sikap memahami pihak lainnya agar terjalin kerjasama dan keserasian. Simpati juga berarti bentuk kepedulian seseorang terhadap apa yang terjadi atau menimpa pada teman-teman dalam kelompok sebayanya.

Berdasarkan hasil penelitian dan tabel di atas diketahui bahwa dari 78 responden sebanyak 30 (38.5%) responden memiliki tingkat simpati yang tinggi, artinya tingkat kepedulian responden dan keinginan untuk bekerja


(60)

sama dengan kelompok teman sebayanya cenderung tinggi. Sebanyak 27 (34.5%) responden memiliki tingkat simpati yang sedang, artinya kepedulian responden terhadap teman-teman dalam kelompok sebaya tidak begitu tinggi. Sebanyak 21 (26.9%) responden tergolong tingkat simpati yang rendah, artinya responden kurang peduli terhadap teman dalam kelompok teman sebayanya.

Dengan demikian sebagian besar responden memiliki tingkat simpati yang tinggi, artinya responden sangat menginginkan hubungan pertemanan yang harmonis, responden memiliki kepedulian yang tinggi dan keinginan yang besar untuk memahami teman-temannya. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa dalam kelompok teman sebaya indikator simpati sangat penting untuk terbangunnya hubungan yang baik antara individu satu dan yang lainnya dalam kelompok.

2. Perilaku Konsumtif Remaja

Data variabel perilaku konsumtif dalam penelitian ini diperoleh melalui kuesioner yang dijawab siswa yang berjumlah 12 butir pertanyaan/pernyataan. Bobot skor setiap butir pertanyaan atau pernyataan 1 sampai dengan 3. Secara teoritis skor perilaku konsumtif bervariasi antara skor minimal 12 sampai skor maksimal 36.

Berdasarkan analisis data, diperoleh deskripsi statistik hasil pengukuran variabel perilaku konsumtif yang ditunjukkan pada tabel berikut:


(1)

84

Berdasarkan tabel di atas terdapat tiga nomor butir pertanyaan yang tidak valid, maka peneliti memperbaiki pertanyaan yang dinilai membingungkan responden dalam menjawab kuesioner. Setelah dilakukan perbaikan pada instrumen-instrumen yang dinyatakan tidak valid kemudian peneliti kembali menyebar kuesioner yang pada akhirnya dinyatakan valid untuk semua nomor butir pertanyaan (lihat lampiran).

2. Uji Reabilitas

Realibilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen sudah baik. Apabila data yang terkumpul memang benar atau sesuai dengan kenyataannya, maka berapa kalipun tetap akan sama. Untuk mencari reabilitas keseluruhan item adalah dengan mengkoreksi angka korelasi yang diperoleh dengan memasukkannya dalam rumus Koefisien Alfa (Croncbach). Instrumen penelitian dikatakan memenuhi syarat jika koefisien alfa > r tabel. Hasil uji reabilitas diperoleh koefisien alfa 0.641 > r tabel 0.622, maka instrument dinyatakan reliabel atau dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data.

H. Pembahasan

Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini didapatkan bahwa setelah dilakukan uji hipotesis, diperoleh hasil koefisiensi korelasi sebesar 0.622, yang berarti bahwa hipotesis diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara interaksi sosial kelompok teman sebaya dan


(2)

perilaku konsumtif remaja di SMA Al-Kautsar Bandar Lampung, hal ini tampak bahwa remaja yang menginginkan harmonisasi dan dukungan emosi dalam menjalin persahabatan memiliki tingkat interaksi sosial (imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati) yang cukup tinggi. Remaja akan menyesuaikan tingkah laku, hobi, penampilan agar tidak beda dengan teman-temannya dan dapat diterima sebagai bagian dari kelompok teman sebayanya, maka perilaku konsumtif pun terjadi.

Hasil penelitian ini mendukung Teori Belajar Sosial, Meyrs David G, et-al (1983:42) menyatakan bahwa perilaku yang dimunculkan individu merupakan hasil dari pengolahan observasinya terhadap lingkungan. Pada masa remaja kelompok teman sebaya atau peer group memegang peranan penting dalam kehidupan. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku kelompok sebayanya. Priede dan Ferrel (1995:189-210) mengatakan bahwa kelompok refrensi atau kelompok teman sebaya mempengaruhi keputusan pembelian bergantung pada sejauh mana individu tersebut terpengaruh oleh kelompok serta kekuatan keterlibatannya di dalam kelompok.

Banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja baik perubahan fisik, sosial maupun psikologis. Perubahan-perubahan tersebut bermuara pada upaya menemukan identitas diri. Dalam rangka mencari identitas diri, kebutuhan berteman muncul sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi sehingga remaja berusaha melepaskan diri dari keterkaitan dengan orang tua. Kebutuhan ini


(3)

86

mendorong remaja untuk bergabung dengan kelompok sebaya yang dianggap memiliki kesamaan pandangan.

Faktor interaksi sosial pada masyarakat seperti imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati juga terjadi di dalam kelompok pertemanan remaja yang pada akhirnya pula membentuk sikap dan perilaku remaja. Dalam usahanya untuk dapat diterima kelompok, remaja bertingkah laku maupun penampilan sama dengan pola-pola dan harapan-harapan sesama anggota kelompok teman sebayanya.

Lingkungan dalam kelompok acuan sangat berpengaruh dalam berperilaku konsumtif. Karena pada masa remaja penampilan secara fisik seperti bentuk tubuh, cara berbusana dan kesenangan erat kaitannya dengan kesan penilaian orang lain. Dalam membelanjakan uangnya remaja dinilai kurang efisien karena pembelian suatu produk atau barang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi karena untuk menjaga penampilan diri, keinginan meniru orang lain, mencoba produk baru dengan merek yang berbeda-beda atau sekedar memperoleh pengakuan sosial.

Hubungan interaksi sosial kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif remaja sebesar 38.7% yang berarti masih terdapat 61.3% kontribusi-kontribusi lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif yang masih perlu diteliti lebih lanjut.


(4)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial kelompok teman sebaya pada sebagian besar siswa-siswi SMA Al-Kautsar Bandar Lampung berada di tingkat yang sedang, responden memiliki keinginan meniru, kepercayaan yang tinggi terhadap teman dekat, kesamaan (hobi, barang-barang dan sifat) dengan teman di kelompok teman sebaya serta memiliki sikap kepedulian dan keinginan untuk bekerja sama dengan teman-teman sebaya lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh kelompok teman sebaya memegang peranan yang cukup berpengaruh di dalam diri remaja.

Perilaku konsumtif remaja pada sebagian besar siswa-siswi kelas XI SMA Al-Kautsar Bandar Lampung adalah sedang. Namun setelah dilakukan perhitungan lebih lanjut dengan memisahkan identitas (jenis kelamin) antara responden laki dan perempuan diketahui bahwa dari 25 responden laki-laki sebanyak 72% (18 responden) tergolong tingkat perilaku konsumtif yang sedang, artinya responden tetap memiliki kecenderungan berperilaku konsumtif dalam membelanjakan uangnya namun tidak dengan intensitas yang sering. Dari 53 responden perempuan sebanyak 58.5% (31 responden)


(5)

88

tergolong tingkat perilkaku konsumtif yang tinggi dan 37.7% (20 responden) tergolong tingkat perilaku konsumtif yang sedang. Maka dapat disimpulkan bahwa remaja perempuan memiliki agresifitas yang tinggi dalam berperilaku konsumtif dibandingkan dengan remaja laki-laki.

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa besarnya nilai koefisiensi korelasi antara interaksi sosial kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif remaja pada siswa-siswi SMA Al-Kautsar Bandar Lampung sebesar 0.622 yang artinya terdapat hubungan yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat interaksi sosial dalam kelompok teman sebaya maka perilaku konsumtif cenderung akan semakin tinggi.

Kontribusi yang diberikan interaksi sosial (imitasi, sugesti, identifikasi dan sugesti) dalam kelompok teman sebaya terhadap perilaku konsumtif sebesar 38.7%, berarti masih terdapat 61.3% kontribusi-kontribusi lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif.

Hasil penelitian ini mendukung Teori Belajar Sosial, David G Myers yang menyatakan bahwa perilaku yang dimunculkan individu merupakan hasil dari pengolahan observasinya terhadap lingkungan dan Priede dan Ferrel (1995:189) yang mengatakan bahwa kelompok refrensi atau kelompok teman sebaya mempengaruhi keputusan pembelian bergantung pada sejauh mana individu tersebut terpengaruh oleh kelompok serta kekuatan keterlibatannya di dalam kelompok. Maka hasil penelitian ini mendukung teori tersebut.


(6)

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan kesimpulan, ada beberapa saran yang penulis sampaikan, yaitu:

1. Bagi orang tua siswa dan guru yang juga bertindak sebagai orang tua di sekolah, diharapkan dapat lebih mengarahkan anak-anaknya untuk berfikir dan bertindak rasional dengan memberikan pengertian kepada anak bahwa perilaku konsumtif tidak baik untuk dijadikan sebagai kebiasaan hidup. 2. Kepada remaja diharapkan dapat memanfaatkan interaksi sosial dalam

kelompok teman sebaya guna memotivasi siswa dalam belajar dan berprestasi serta memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan pribadi remaja kaitannya dengan pendidikan, wawasan pengetahuan, pergaulan yang sehat serta sebagai sarana atau tempat remaja mengeksplorasi bakat dan hobi yang bernilai positif.

3. Remaja hendaknya tidak membeli suatu barang secara berlebihan dan mengupayakan menyisakan uang pemberian orang tua untuk ditabung serta tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan yang pada akhirnya menjerumuskan diri ke hal-hal yang kurang bermanfaat.

4. Bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian serupa hendaknya menambah atau meninjau dari faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif.