Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia

(1)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS

DALAM PERSFEKTIF HUKUM PIDANA

DAN RUU KUHP INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

ZULFIKAR

NIM : 020 - 200 - 001

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS

DALAM PERSFEKTIF HUKUM PIDANA

DAN RUU KUHP INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

ZULFIKAR

NIM : 020 - 200 - 001

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Abul Khair, SH.M.Hum NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum M. Eka Putera, SH.M.Hum NIP.130 809 552 NIP. 132 208 327

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ABSTRAK

Halaman

Bab I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Keperpustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

Bab II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERS A. Sejarah Singkat Mengenai Tindak Pidana Pers ... 19

B. Pengertian Tindak Pidana Pers ... 25

C. Peraturan–peratuaran Mengenai Kebebasan Pers di Indonesia ... 27

D. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia ... 31

Bab III TINDAK PIDANA PERS MENURUT KUH PIDANA DAN RUUKUHP NASIONAL A. Tindak Pers Menurut KUHP ... 37

B. Tindak Pidana Pers Menurut RUU KUHP Nasional ... 38

C. Perbandingan Antara Tindak Pidana Pers dalam KUHP dengan Tindak Pidana Pers didalam RUU KUHP Nasonal ... 44

D. Wacana Dekriminalisasi Pers di Indonesia ... 48

Bab IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS MENURUT UU No.40 TAHUN 1999 TENTANG PERS A. Tindak Pidana Pers di dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers... 56

B. UU No.40 tahun 1999 sebagai Lex Specialis Peraturan Pers Indonesia... 62

C. Mekanisme Kontrol Kebebasan Pers Indonesia ... 66

D. Contoh Kasus Penerapan Tindak Pidana Pers ... 74

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 87


(4)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudu l : “

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK

PIDANA PERS

DALAM PERSFEKTIF HUKUM PIDANA

DAN RUU

KUHP INDONESIA

”, Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU. 3. Bapak Syafruddin, SH.MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

USU.

4. Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU. 5. Bapak Abul Khair, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas


(5)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 7. Bapak M. Eka Putera, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah

banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 8. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana

penulis menimba ilmu selama ini.

9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, Agustus 2007 Penulis,


(6)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

ABSTRAK

Kebebasan pers merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa orde baru berkuasa dengan istilah self-censorship.

Nilai-nilai kebebasan pers telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F, di dalam KUHP dan RUU serta dalam suatu undang-undang tersendiri yaitu diaturUU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebebasan dan tindak pidana pers dalam hukum pidana dan RUU KUHP. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya tentang tindak pidana pers. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

Walaupun peraturan mengenai pers telah ada di dalam KUHP, RUU KUHP, namun UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjadi tonggak dalam sejarah kemerdekaan pers di Indonesia. UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang diinginkan oleh masyarakat pers-pun akhirnya didapat dan UU Pers dalam catatan penulis menjadi satu-satunya UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan menjadikan Dewan Pers menjadi organ/lembaga negara independen. Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers.


(7)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demoktratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi menjasi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan halangan masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik.

Perubahan kondisi termasuk peraturan yang mengatur dunia pers pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya. Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya. Hal tersebut menjadi suatu kajian yang tentunya sangat menarik untuk ditelaah karena hal tersebut


(8)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum1

Kebebasan pers merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa orde baru berkuasa dengan istilah self-censorship

.

2

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD

.

1

Komisi Hukum Nasional RI, Kebebasan Pers dalam Hukum Pidana ditinjau dari RUU KUHP, diakses dari situs

2


(9)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia. Tindak pidana pers jika kita perhatikan di dalam KUHP diatur di dalam Pasal 61-62 serta Pasal 483-484. Pasal 61-62 KUHP mengatur bahwa tindak pidana pers merupakan tindak pidana khusus. Pasal 483-484 selanjutnya hanya mengatur kapan dan hal apa pencetak dan penerbit dapat atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap barang cetakan dan isi penerbitannya. Pasal 61-62 serta Pasal 483-484 KUHP hanya menyebutkan istilah “mengenai kejahatan yang dilakukan dengan barang cetakan”, tidak memberikan tafsiran autentik secara jelas dan rinci tentang apa yang dimaksud dengan “tindak pidana pers”. Maka dapat dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak bisa dipakai sebagai perumusan “tindak pidana pers” dan bukan merupakan merupakan tindak pidana khusus, melainkan merupakan kejahatan biasa yang harus memenuhi syarat “menggunakan barang cetakan”.3

Melihat berbagai instrumen hukum mengenai tindak pidana pers dia atas, bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengingat belum seluruhnya rakyat

3


(10)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab4

Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan nara sumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan. UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak

.

Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.

4


(11)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, karena tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers.

Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Apabila ditelaah lebih jauh, pada dasarnya UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan. Apakah itu pemimpin redaksi atau wartawan. UU pers tidak mengatur secara jelas. Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers. Jadi, jelaslah bahwa konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang tindak pidana pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan


(12)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai dengan perananan pers nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Pers, yaitu5

B. Rumusan Permasalahan

: 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan.

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (RUU KUHP) yang baru saat ini, maka Pasal 531 sampai dengan Pasal 541 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai tindak pidana pers dalam skripsi ini. Karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Di lihat dari sisi lain kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan sangat merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini publik, pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum.

5

Frans Hendra Winarta, UU Pers Lex Specialis atau Bukan, Harian Kompas, edisi 17 September 2004.


(13)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pers menurut KUHP dan perbandingannya di dalam RUU KUHP.

2. Bagaimana pengaturan dan efektifitas pemberlakuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menanggulangi tindak pidana pers ini.

3. Bagaimana mekanisme kontrol tindak pidana pers di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat, adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pers menurut KUHP dan perbandingannya di dalam RUU KUHP.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan efektifitas pemberlakuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menanggulangi tindak pidana pers ini.

3. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme kontrol tindak pidana pers di Indonesia. Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teoritis.

Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur


(14)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

dalam dunia akademis tentang hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana pers di Indonesia dan peraturan-peraturan yang mengaturnya.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang tindak pidana pers di dalam persfektif hukum pidana dan RUU Pidana di Indonesia. Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah prasyarat. Di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional. Untuk mendukung profesionalisme ini juga dibutuhkan peraturan yang akan menjadi umbrella provision (payung hukum) terhadap semua hal yang berhubungan dengan jurnalistik (pers).

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan skripsi ini dengan judul : “Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia” adalah masalah merupakan wacana yang sebenarnya telah lama didengungkan. Karena banyak kasus-kasus yang timbul terkait dengan kebebasan pers di Indonesia yang kadang di luar


(15)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

kendali, sementara di sini lain peraturan yang mengatur keprofesionalan lembaga pers kurang akomodatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi.

Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III. Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undang-undang (wet-delichten)6

Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan

.

6

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996, hal. 17.


(16)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.

Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena 7

Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman.

:

a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan

b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal-Pasal 303 (main judi), 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.

Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran.

7


(17)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya, seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran.

Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundang-undangan hukum pidana. Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti 8

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah “Het Strafbare feit” antara lain

: a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum

b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana dan d. Tindak pidana

9

8Ibid, hal. 110 9

Ibid, hal. 117.

: a. Rumusan Simon


(18)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Simon merumuskan “Een Strafbaar feit” adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak.

b. Rumusan Van Hammel

Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”. c. Rumusan VOS

VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

d. Rumusan Pompe

Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana ini, yaitu 10

b. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana. :

a. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.


(19)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.

d. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.

Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jensi kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum 11

Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan,

.

11


(20)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang diharuskan. Pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan. Penjatuhan pidana kepada pelanggar, selain dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, juga untuk mengembalikan keseimbangan kejiwaan dalam masyarakat12

Bagi beberapa ahli hukum, istilah tindak pidana pers sering dianggap bukan suatu terminologi hukum. Karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan yang disebut tindak pidana pers bukanlah tindak pidana yang semata-mata dapat ditujukan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga negara Indonesia. Akan tetapi jurnalis dan pers merupakan kelompok pekerjaan yang difinisinya berdekatan dengan usaha menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar di kalangan khalayak ramai atau umum

.

2. Pengertian Tindak Pidana Pers

13

12

Ibid, Hal. 210.

13

Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan Pers dan

Penegakan Hukum, Dewan Pers, Jakarta, 2003, hal. 45.


(21)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah prasyarat. Di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional. Sangatlah tepat jika wartawan senior yang juga mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mokhtar Lubis, menyatakan, “Kemerdekaan pers merupakan satu unsur di dalam peradaban manusia yang maju dan bermanfaat tinggi dan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan jika kemerdekaan pers itu tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang.

Banyak berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat khususnya para ahli yang mengemukakan mengenai peraturan hukum khususnya hukum pidana yang terkait dengan tindak pidana pers. Pendapat ahli hukum yang lain mengatakan, bahwa dalam hukum pidana ketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana pers adalah bagian dari tindak pidana yang mempergunakan alat cetak. Menurut Van Hattum, yang dikutip ahli Hukum Pidana Indonesia Oemar Seno Adji, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers yaitu 14

14

Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional, diakses dari situs :

:

1. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan

2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan


(22)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

3. Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.

Dari tiga kriteria tersebut, nomor tigalah yang secara khusus mengangkat suatu delik mendapat sebutan tindak pidana pers dalam arti yuridis. Dari berbagai pendapat ahli - ahli hukum diatas tentang definisi tindak pidana pers, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pers secara teroritis harus memenuhi rumusan atau unsur-unsur sebagai berikut :

1. Perbuatan yang diancam pidana 2. Bersifat melawan hukum 3. Pembuatnya dapat dipidana

4. Dilakukannya dengan barang cetakan 5. Adanya pernyataan pikiran atau perasaan

6. Adanya publikasi sebagai syarat untuk menumbuhkan kejahatan

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD


(23)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)15

2. D a t a

.

F. Metode Penelitian

1. Sifat/Bentuk Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebebasan dan tindak pidana pers dalam hukum pidana dan RUU KUHP. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya tentang tindak pidana pers.

Bahan atau data yang diteliti berupa data skunder yang terdiri dari :

a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang

mendukung penulisan skripsi ini. 3. Tehnik Pengumpulan Data

15


(24)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan dan diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERS

Pada bab ini dibahas mengenai Sejarah Singkat Mengenai Tindak Pidana Pers, Pengertian tindak pidana Pers, Peraturan-Peraturan yang Mengatur Kebebasan Pers di Indonesia dan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia.


(25)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

BAB III TINDAK PIDANA PERS MENURUT KUHPIDANA DAN RUU KUHP NASIONAL

Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pers Menurut KUHP, Tindak Pidana Pers Menurut RUU KUHP Nasional, Perbandingan Antara Tindak Pidana Pers dalam KHUP dengan Tindak Pidana Pers dalam RUU KUHP Nasional dan Wacana Dekriminalisasi Pers di Indonesia

BAB IV TINDAK PIDANA PERS MENURUT UU No. 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Pada bagian ini dibahas mengenai Tindak Pidana Pers di dalam UU No. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, UU No. 40 tahun 1999 sebagai Lex Specialis Peraturan Pers Indonesia, Mekanisme Kontrol Kebebasan Pers Indonesia dan Contoh Kasus Penerapan Tindak Pidana Pers

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.


(26)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERS

A. Sejarah Singkat Mengenai Tindak Pidana Pers

Berbicara mengenai tindak pidana pers pertama di Indonesia, dapat kita lihat dari ”Babad Ranggawarsitan” yang diterbitkan di Solo menjelang Perang Dunia II disebutkan adanya sebuah kasus yang kini tergolong sebagai tindak pidana pers yang ditudingkan oleh Residen Yogyakarta berkebangsaan Inggris (pada era ketika Thomas Raffles memerintah sementara di Hindia Belanda) yang memprotes pemuatan tulisan yang menjadikan sang residen itu tidak senang.

Konsekuensi kasus ini harus diambil oleh Susuhunan Surakarta, Paku Buwono IV (PB IV), mengingat muskilnya status politik antara Solo dan Yogya pada masa itu. Yang terasa kurang patut adalah sikap cuci tangan Frederik Winter selaku Pimpinan Redaksi Bramartani yang melemparkan tanggung jawabnya kepada Raden Ngabehi Ranggawarsita yang kala itu hanyalah seorang konsultan Frederik Winter. ”Karena kekurangan kepahamannya dalam bahasa Jawa”, Winter menyerahkan kepada Ranggawarsita keputusan pemuatan tulisan yang semula diperkirakan sebagai tulisan


(27)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Ranggawarsita. Mengingat Bramartani sebagai penerbitan berbahasa Jawa berdomisili di Surakarta, menjadikan Paku Buwono IV tempat bertanya sang Residen, terkena getahnya berkaitan dengan pemuatan tulisan tanpa nama penulis itu. Kemuskilan kasus ini perlu kita perhatikan bahwa sekaligus kasus delik pers ini melibatkan seorang residen berkebangsaan Inggris yang meminta pertanggungjawabannya (antara lain melalui PB IV). Padahal yang sesungguhnya harus bertanggung jawab tentulah sang Pemimpin Redaksi, yakni Frederik Winter, namun melemparkan tanggung jawabnya kepada Ranggawarsita16

Kasus Bramartani mengandung beberapa hal kelabu. Pertama, pernyataan Frederik Winter yang melempar tanggung jawabnya kepada Ranggawarsita karena Winter menganggap Ranggawarsita lebih arif tentang bahasa Jawa. Begitu teganya

.

Antiklimaksnya, walaupun pada mulanya baik Winter maupun Ranggawarsita tidak mengungkapkan siapa penulisnya, namun kebetulan sang penulis muncul di ruangan di mana kasus sedang dibicarakan antara Winter dan Ranggawarsita, yang mungkin juga disaksikan orang ketiga dari Kraton Surakarta. Maka terungkaplah misteri penulis karangan yang tidak menyenangkan sang Residen Yogya itu.

Buku babad Ranggawarsitan tidak mengungkap nama penulis tulisan yang kita perkirakan sebuah kasus delik pertama dalam sejarah pers Indonesia itu. Memperingati hari lahir Ranggawarsita (yang menurut Kalender Masehi pada 15 Maret 1802 kasus tindak pidana pers yang kita duga sebagai yang pertama di Nusantara ini, sangat relevan dengan kembalinya kebebasan pers di Indonesia).

16

Winarta Adisubrata, Delik Pers Pertama di Indonesia, diakses dari situs : http//www.hukumonline.com, tanggal 6 Oktober 2006.


(28)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Frederik Winter mengorbankan sahabatnya itu, padahal Pemimpin Redaksi Bramartani itu adalah seorang doktor bahasa Kawi yang berhasil menyusun Kamus Bahasa Kawi-Belanda. Kasus tindak pidana pers yang melibatkan Bramartani sepintas lalu tidak ada masalah lanjutan. Tanpa ada tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan. Namun secara deduktif dan spekulatif, peristiwa tindak pidana pers itu kita perkirakan berkaitan dengan kalimat perpisahan Ranggawarsita di mana ia menyatakan dirinya melihat tinggal delapan hari hidupnya di dunia seperti disebutkan dalam Lukilmakful (Amung kirang wolung hari kang dinulu, kasebat ing Lukil Makful). Secara harfiah kalimat perpisahan itu dapat diartikan sesungguhnya Ranggawarsita bisa mengintip “Lukil Makful” yakni Kitab Rahasia Illahi termasuk tentang kapan maut akan kita. Suatu hal yang secara rasional tidak masuk di akal kita bahwa Ranggawarsita memiliki kemampuan ini. Namun Ranggawarsita dapat menyatakan diri sebelum delapan hari ia dipanggil oleh Tuhan ia sudah bisa menuliskan hari (Rebo Pon) lengkap dengan bulan dan tahunnya. Maka wajar timbul dua spekulasi lain yang menyebutkan, pertama Ranggawarsita meninggal karena minum racun (bunuh diri), yang tidak masuk di akal karena Ranggawarsita adalah seorang muslim yang taat beragama. Dan kalimat terakhir yang ditulisnya pun berbunyi: Borong Anggo Suwargo Mesi Matoyo yang bermakna berserah diri kepada Allah Yang Maha Agung apakah ia akan diterima di sisiNya. Ranggawarsita meninggal pada 24 Desember 1873. Kedua, teori lain memperkirakan PB IV menyuruh Ranggawarsita bunuh diri. (Suatu hal yang mengingatkan kita kepada Sokrates di jaman Yunani sekian ribu tahun lalu.) Mungkinkah Ranggaswarsita disuruh bunuh diri berkaitan dengan kasus


(29)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

tindak pidana pers yang mengaitkan Inggris, Belanda dan Kraton Surakarta. Suatu kasus menarik bagi para peneliti sejarah pers Indonesia maupun peneliti sastra Jawa17

Menurut Andreas Harsono, praktisi jurnalisme, sejarah pers Indonesia hampir tanpa garis sambung. Pers Indonesia hari ini bukanlah kelanjutan pers kolonial Belanda, apalagi keturunan langsung Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Pemberitaan dan Penalaran Politik Batavia), organisasi berita yang didirikan Jan Erdman Jordens pada 1744

.

18

Surat kabar-surat kabar di masa kolonial Belanda mulai Bataviasche Courant sampai Slompret Melaju, Bintang Timur sampai Bintang Barat, atau Java Bode sampai Medan Prijaji habis pengaruhnya oleh berbagai sebab. Mereka berhenti terbit karena modal cekak atau dibredel rezim kolonial. Puncaknya, penguasa perang Jepang menyapu bersih seluruh penerbitan, sehingga Indonesia prakemerdekaan praktis hanya punya satu penerbitan, Djawa Shimbun. Baru kemudian Jepang memberikan izin pada lima penerbitan lain: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Itu pun mereka hanya dibolehkan terbit dalam bahasa Indonesia, dan operasi mereka diawasi ketat oleh lembaga sensor Djawa Shinbunkai. Waktu Jepang terusir, Belanda mencoba menghidupkan lagi institusi-institusi pemberitaannya. Kantor Berita Aneta misalkan, kembali didirikan menggantikan fungsi Domei. Di bawah kuasa lembaga grafika, Grafische Raad, Belanda menerbitkan sedikitnya dua surat kabar, Het Dagblad dan Nieuwgier. Atas nama revolusi dan sebangsanya, belakangan seluruh insitusi pers peninggalan Belanda dan Jepang masuk ke dalam kerangka pikir nasionalisasi

.

17

Ibid.

18

Agus Sopyan, Meski Masih Beroperasi dalam Jargon Politik - Spirit Pelopor Pers Mahasiswa


(30)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

sebagaimana beralihnya perusahaan-perusahaan swasta eks mereka ke tangan pemerintah Republik Indonesia19

Di masa inilah pers mahasiswa bermunculan, untuk kemudian menyalak pada kekuasaan Orde Baru yang mulai memperlihatkan watak aslinya sebagai rezim gila uang, yang antara lain ditandai oleh derasnya aliran modal asing. Terbawa atau tidak oleh romantisme masa lalu, yang menempatkan pers sebagai pejuang politik, pers mahasiswa beroperasi dalam jargon-jargon politik. Penerbitan mereka bahkan hampir susah dibedakan antara organisasi pers dan pamflet politik. Pers mahasiswa di tiga kota perguruan tinggi terkuat -- Salemba dan Tridharma di Jakarta, Kampus, Berita ITB, Integritas dan Mahasiswa Indonesia di Bandung, atau Muhibah di Yogyakarta secara gegap gempita mengkritik kebijakan Orde Baru seraya mengajak publik untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan. Suara bising mereka tak berkenan di hati penguasa. Seluruh penerbitan yang disebut tadi, ditambah Aspirasi, organ pers mahasiswa dari Palembang, kena berangus. Tapi sejarah sudah kadung teranyam dan trend setter pers mahasiswa sudah kadung tercetak: bahwa pers mahasiswa adalah pejuang politik.

.

Sejarah pers Indonesia dengan segala karakter kebebasannya barangkali baru dimulai ketika Indonesia memasuki demokrasi liberal pada 1950-an. Hanya sebentar sebab beberapa tahun kemudian, hampir seluruh institusi pers "menikah" dengan organisasi-organisasi politik dan menjadi pembawa aspirasi suara politisi. Pernikahan singkat. Pada 1970-an, situasi politik berubah drastis ketika Jenderal Soeharto tuntas mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Pers masuk ke dalam suatu tatanan masyarakat yang lebih tertib.

19


(31)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Sebenarnya hal tersebut bukan suatu kekeliruan, sebab media juga berurusan dengan use and gratification, kerangka berpikir yang mendasari motif pemuasan kebutuhan pelaku media. Jurnalisme politik juga bagus untuk mengontrol kekuasaan agar tak sewenang-wenang dengan kebijakannya. Soalnya adalah sering karena mereka asyik-masyuk dengan spektrum isu politik, isu-isu lain di sekitarnya jadi terabaikan. Pers mahasiswa sering tak punya kemampuan menyelami kebutuhan audiensnya akan informasi-informasi aktual yang mestinya mereka dapatkan. Audiens umpamanya, tak tahu di mana letak beasiswa berada kalau mereka hendak meneruskan kuliah ke luar negeri. Audiens juga tak tahu bagaimana menjadi hackers yang baik, membeli barang-barang murah dengan harga mahasiswa dan sebagainya. Pengelola media kampus pada akhirnya berhutang banyak informasi kepada publiknya, dan secara otomatis memukul rata publiknya sebagai audiens politik. Yang lebih celaka, mereka mengumpat teman-teman sendiri sebagai kaum apolitis hanya karena emoh membeli penerbitan yang mereka kelola.

Lepas dari kegelian seperti itu, tentu tidak dapat dilupakan kepeloporan mereka. Kepeloporan itu adalah banyaknya pers mahasiswa yang mulai menggunakan byline dan pagar api (firewall). Byline adalah pencantuman nama terang di bawah kepala berita atau judul artikel. Sedangkan pagar api adalah garis tipis yang membatasi wilayah berita dan iklan. Mengacu pada penggunaan byline untuk kali pertamanya pada 1850-an oleh Charles S. Taylor, penerbit harian The Boston Globe di New England, pers Indonesia jelas ketinggalan lebih dari satu abad. The Boston Globe sendiri menggunakan byline agar para wartawannya lebih berhati-hati dengan laporan-laporan mereka. Inovasi Taylor ini perlahan-lahan ditiru oleh suratkabar lain, di seluruh Amerika dan sejumlah negara


(32)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Eropa. Bahkan di masa ini, surat kabar-surat kabar di Asia Tenggara, banyak yang menggunakan byline. Hanya pers kita saja yang kebanyakan tetap keukeuh hidup tanpa byline. Alasan klise, kuatir membahayakan wartawan20

B. Peraturan-Peraturan yang Mengatur Tindak Pidana Pers di Indonesia

.

Bukan sekadar klise, tapi juga sulit diterima nalar sehat. Dalam satu penerbitan surat kabar, dengan ratusan kepala berita, berita "rawan" sering tak mencapai 10 persen. Persoalannya, apakah yang 90 persen sisanya rela dihancurkan hanya karena pemahaman keliru tentang byline? Orang meletakkan byline pertama-tama adalah agar para wartawan terdorong untuk lebih bertanggung jawab terhadap karyanya sendiri. "Ini masalah accountability. Wartawan yang baik bekerja setransparan dan sejujur mungkin.

Bagaimana dengan firewall? Ini juga pekerjaan rumah pers Indonesia. Dalam dunia persuratkabaran, garis tipis yang memagari wilayah berita dan iklan adalah suatu keharusan. Semangat yang hendak dijunjung tinggi adalah wartawan tak boleh mencampuri urusan bisnis, dan bisnis tak boleh sekali-sekali mendikte redaksi. Semua perlu dibuat transparan, semua ada koridornya.

Dalam suatu negara yang berpaham demokrasi, maka perlindungan hak asasi manusia harus mendapat tempat dalam konstitusi. Tanpa perlindungan konstitusional, maka perlindungan hak asasi manusia menjadi tidak berguna. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, sejak gerakan reformasi yang kemudian menjatuhkan Presiden Soeharto pada 1998, telah muncul kehendak kuat dari seluruh rakyat untuk melakukan perubahan terhadap perubahan UUD 1945. Berbagai perlindungan ini, antara lain :

20


(33)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

1. Pasal 28F UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan II

2. Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM 3. Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM

4. Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers

5. Undang Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

Pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik jurnalistik. fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa: (1) Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, (2) Pers wajib melayani Hak Jawab, (3) Pers wajib melayani Hak Pers.

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD


(34)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia21

21

Juniver Girsang, SH.MH, Perlu Kepastian Hukum Pers, diakses dari situs :

.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional dalam menyiarkan informasi dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses peradilan. Penyiaran informasi itu harus berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan. Konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut akan berdampak, selain merugikan hak asasi orang lain juga merusak nama baik perusahaan pers tersebut. Jika hak orang lain dilanggar, orang yang dirugikan itu bisa dendam atau berdampak negatif terhadap pers. Nah, inilah salah satu penyebab mengapa sering terjadi kekerasan terhadap pers. Terkecuali, ketika pers meliput berita aktual pihak terkait mencoba menghalang-halangi pemberitaan pers bahkan sampai mengancam pers, karena takut terbongkar skandal yang diperbuat, sesuai pasal 18 ayat (1) UU Pers, seseorang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) dan (3) yaitu melakukan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran serta membatasi kemerdekaan pers, mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi, dipi- dana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.


(35)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Dewasa ini, saat gencarnya pemerintah memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, kehadiran pers sangat dibutuhkan untuk menginformasikan berita yang benar, jujur dan adil. Namun, dalam prak- tiknya, pers sering memojokkan kesalahan seseorang, yang sebenarnya belum tentu bersalah. Terkadang ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, akhirnya yang bersangkutan dianggap publik bersalah. Ini merupakan pelanggaran hukum "asas praduga tak bersalah" seperti diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers. Padahal, seseorang itu baru dianggap terbukti bersalah, jika telah divonis bersalah oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incrach van gewijde). Terjadinya sengketa pers, biasanya karena pemberitaan pers melukai perasaan orang lain. Sekalipun redaksi bertanggung jawab dan berhak memuat suatu berita, ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, hingga memeti-eskan suatu tanggapan berita. Ketika diadakan hak jawab atau hak koreksi, pihak pers tak berkenan melayaninya22

Mestinya, jika ada pihak terkait menanggapi suatu pemberitaan, penulis meminta pers terbuka, menerima dan memuat beritanya, sekaligus meminta maaf seperti yang pernah dilakukan oleh Pemimpin Redaksi surat kabar Sinar Indonesia Baru (SIB) Dr GM Panggabean mengenai "karikatur nasib suar-sair" dan permintaan maaf Pemred surat kabar Denmark Jyllands-Posten: Carsten Juste atas penerbitan kartun Nabi Muhammad yang memancing kemarahan muslim di seluruh dunia, sehingga persoalan demikian tak perlu diselesaikan secara pro-yustisia hingga ke pengadilan. Cukuplah diselesaikan lewat klarifikasi pemberitaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers.

.

22


(36)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Akan tetapi, jika perusahaan pers tak mau melayani hak jawab maupun koreksi tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugatnya secara perdata menggunakan UU Pers, dengan hukuman denda paling banyak Rp 500 juta. Jadi kalau ada kasus seperti ini masuk ke pengadilan menggunakan aturan KUHP bahkan diputus hakim berdasarkan pasal 310 atau 311 KUHP, aparat penegak hukum yang menangani kasus ini sangat keliru menggunakan payung hukum KUHP.

Karena fungsi pengadilan adalah untuk memeriksa, menerima dan mengadili perkara, maka solusinya: pertama, setiap perkara yang menyangkut sengketa pers yang diajukan oleh penyidik kepolisian dan penuntutan kejaksaan ke pengadilan harus memperhatikan secara hati-hati fakta yang terjadi. Jika perbuatan itu dilakukan secara langsung menghina seseorang tanpa pemberitaan pers, gunakanlah KUHP. Tetapi jika perbuatan penghinaan itu dilakukan secara tidak langsung, artinya lewat pemberitaan pers, gunakanlah UU Pers.

Kedua, jika sengketa pers tersebut tetap diajukan kejaksaan ke pengadilan menggunakan Pasal 310 (2) KUHP, hakim sesuai wewenangnya pada pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebelum perkara tersebut disidangkan dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar mengganti atau merubah dakwaan dari pasal KUHP menjadi pasal yang terdapat didalam UU Pers. Ketiga, jika jaksa tak mau mengubah dakwaannya, maka hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa (vrijpraak). Persoalannya, apakah para hakim mempunyai kepekaan perasaan naluri yang sama dalam penegakan hukum pers? Seyogyanya, Ketua Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan semacam surat edaran atau instruksi Ketua MA kepada seluruh hakim agar satu persepsi menangani sengketa pers lewat UU Pers. Keempat, jika pemerintah tetap


(37)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

mempertahankan tindak pidana pers di dalam KUHP, kalangan pers dapat mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi, sehingga polemik ganda ketentuan sengketa pers segera tuntas selesai.

Oleh karena itu, setelah terbit UU Pers No 40 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 23 September 1999, segala tindak pidana pers yang berkaitan dengan pemidanaannya seperti yang tercantum di dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP harus diadopsi dan disempurnakan ke dalam UU Pers, sehingga UU Pers menjadi berdaya guna. Jika KUHP selalu digunakan mengadili tindak pidana pers, percuma dibentuk UU Pers. Menurut asas hukum dan kepastian hukum hal ini sangat berbahaya bagi terciptanya penegakan hukum, karena ketika hakim menerapkan aturan KUHP, terpaksa mengesampingkan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP

C. Dualisme Hukum Pers di Indonesia.

Kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia mulai mendapatkan ruang setelah reformasi pada tahun 1998. Hal ini bahkan semakin dipertegas dengan pengakuan dan landasan hukum melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 yang dinilai represif dan membelenggu kemerdekaan dan kebebasan pers. 23

Seperti yang telah disebutkan di atas, landasan hukum bagi kemerdekaan dan kebebasan pers tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999. Lebih dari itu, undang-undang yang sama juga menegaskan adanya ancaman hukuman bagi siapapun yang menghalangi kemerdekaan pers, sebagaimana tertuang dalam Pasal 18

23


(38)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

ayat (1) UU No. 40 tahun 1999, yang berbunyi : “setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta”.

Landasan hukum yang diberikan oleh UU No. 40 tahun 1999 itu semakin kuat setalah muncul amandemen UUD 1945 yang antara lain menyatakan di dalam Pasal 28 F, bahwa : “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengna menggunakan segala jenis saluran yang ada”.24

Meskipun demikian, setiap kebebasan tentu memiliki batas yang disepakati berdasarkan kaidah kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula kemerdekaan dan kebebasan pers tidak berari tanpa batas, tanpa rambu-rambu hukum. Ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengna menghormati norma-norma agama dan kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pada bagian Penjelasakan mengenai pasal ini dikemukakan : “pers nasional dalam menyiarkan Berpijak pada dua landasan hukum tersebut, yaitu Pasal 28 F UUD 1945 dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, maka pers mendapatkan jaminan hukum yang kokoh dalam menjalankan kemerdekaan dan kebebasannya di Indonesia. Jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan pers adalah hal yang wajar, dan bahkan sudah seharusnya, karena kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia.

24


(39)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

informasi, tidak menghakimi atua membuat kesimpulan seseorang, terlebih lagi umum kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut”.

Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya inilah yang dinilai, terutama oleh kalangan pers, sebagai rambu hukum untuk kebebasan dan kemerdekaan pers yang dimilikinya. Namun, dalam perkembangannya konsep kemerdekaan dan kebebasan pers, terutama soal batas-batasnya, kerap dimaknai secara berbeda antara pers dan masyarakat. Rumusal Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 seringkali diangap terlalu luas untuk ditafsirkan secara hukum, dalam arti tidak memberikan klausul-klausul rinci atau kriteria apa saja yang tergolong menghormati norma-norma agama dan kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bresalah itu. Masyarakat umum tidak mendapatkan gambaran dan kepastian hukum tentang, misalnya apakah tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, menyatakan permusuhan dan sebagainya, termasuk pelanggaran oleh pers atau tidak. Bahkan, tidak berlebihan pula jika akhrinya masyarakat menganggap pasal tersebut tidak jelas dan terlalu melindungi konsep kebebasan dan kemerdekaan pers. 25

Sebaliknya, pihak pers menilai Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 beserta Penjelasannya tersebut sudah cukup jelas, dan sebagai implementasinya, di dunia pers dikenal prinisp dan etika jurnalistik, yaitu fair (jujur), cover both sides (berimbang dari kedua belah pihak), check and recheck, objektif, tidak mencampurkan fakta dan opini, serta tidak bias. Sekalipun demikian, sebagian masyarakat tetap menilai bahwa makna kebebasan dan kemerdekaan pers yang dituangkan dalam karya jurnalistik atau pemberitaan sering kelewat batas. Bahkan sampai muncul istilah pers “kebablasan”.

25


(40)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Berita yang disajikan oleh pers dianggap kerap menimbulkan efek negatif yang harus ditanggung oleh warga masyarakat akibat arogansi pers yang menafsirkan kemerdekaan dan kebebasan pers dengan terlampau longgar.

Memang harus diakui, di satu sisi pers merupakan representasi dari hak untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk memperoleh informasi. Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat menilai interaksi antara masyarakat dan pers semestinya sejajar, tetapi dalam praktiknya telah terjadi ketimpangan. Masyarakat, baik sebagai penerima maupun sebagai subjek informasi, sering merasakan adanya ketidakbenaran dalam pemberitaan yang disajikan oleh pers. Ketimpangan antara pers dan sebagian masyarakat pada akhirnya memunculkan berbagai kecaman terhadap pers. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, masyarakat juga memperkarakan pers ke pengadilan dengan tujuan memenjarakan (pidana penjara) insan pers. Padahal, pihak pers berharap setiap kasus pers harus diselesaikan bukan dengan KUHP sepanjang menyangkut karya jurnalistik, melainkan dengan UU Pers. Di luar karya jurnalistik, misalnya seorang wartawan melakukan pencurian, pemerasan, pembunuhan dan sebagainya barulah digunakan KUHP.

Pada kenyataannya, perbedaan pandangan hukum (dualisme hukum) ini telah muncul dalam sejumlah perkara hukum pers di Indonesia. Hal ini memunculkan dua kubu yang saling berseberangan. Kubu pertama adalha pihak yang merasa telah terjadi pembelengguan kebebasan pers melalui jalur hukum pidana (KUHP) di luar UU Pers. Kubu ini umumnya diwakili oleh pihak pers. Sedangkan kubu lainnya adalah pihak yang merasa bahwa pers sudah “kebablasan” sehingga perlu diterapkan KUHP. Kubu ini


(41)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

umumnya diwakili oleh negara, melalui polisi, jaksa, hakim dan pihak masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers, akhirnya terjadilan perang hukum.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia

Ihwal perlindungan hukum dalam profesi jurnalistik (khususnya media cetak) sebenarnya berhubungan erat dengan dua kebutuhan dasar, yaitu 26

Yang dimaksud dengan perlindungan hukum, berkait dengan upaya penegakan hukum pers, diawali dengan terjadinya interaksi sosiologis antara pers dan masyarakat. Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers merupakan refleksi dari

:

1. terkait dengan perlindungan hukum terhadap pekerja pers dengan segala kompleksitas permasalahannya;

2. menyangkut perlindungan hukum terhadap masyarakat akibat arogansi pers.

Dua masalah ini idealnya diletakkan dalam perspektif bersamaan dan diimplementasikan dalam makna yang sama pula, sehingga sajian pers akan mencerminkan nilai keadilan dan perlindu-ngan terhadap HAM. Jadi, tak semata menitikberatkan pada perlindungan terhadap para pekerja pers dengan menyampingkan perlindungan terhadap masyarakat. Sebenarnya banyak efek negatif langsung maupun tidak, yang harus ditanggung warga masyarakat akibat arogansi pers. Namun keadaan itu tak cukup menyadarkan kita, dan lebih banyak tertutup oleh aspek positif yang disampaikan pers.

26

Syamsul Wahidin, Perlindungan terhadap Pekerja Pers, diakses dari situs : http//www.banjarmasin-pos.com, tanggal 8 November 2006.


(42)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi. Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat antara pers dan masyarakat. Akibat ketaksejajaran hubungan ini muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi merasa adanya ketidakbenaran dalam sajian pers. Mekanisme yang ditempuh dalam perspektif yuridis berdasar hukum pers melalui tiga cara 27

Kedua, hak jawab dari perspektif pers mencerminkan kurang profesionalnya pers, sehingga pencantumannya seringkali direkayasa dengan berbagai dalih untuk menutupi kesalahan. Jika hal tsb menyebabkan turunnya kredibilitas penerbitan, biasanya pencantuman hak jawab disertai catatan yang mengandung keinginan untuk menggambarkan pers bukanlah pihak yang harus dipersalahkan.

: 1. hak jawab

2. jalur hukum (perdata maupun pidana) 3. hak jawab dan jalur hukum.

Mekanisme melalui hak jawab, seringkali dipandang tak efektif, karena beberapa hal, yaitu :

Pertama, orang belum tentu membaca jawaban tadi. Kendati pun menurut kode etik penyampaian hak jawab itu harus dilakukan sesuai dengan batasan tertentu, tetapi jawaban yang disampaikan tak menjamin berubahnya pendapat masyarakat me-ngenai masalah tertentu. Apalagi hak jawab tak berhubungan dengan benar-tidaknya satu sajian.

27 Ibid.


(43)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Ketiga, hak jawab justru mendatangkan pertanyaan baru. Masyarakat cenderung berpegang pada sajian pertama. Berbagai pertanyaan seringkali muncul sehubungan adanya hak jawab tersebut. Melalui jalur hukum, seringkali dipandang tak efektif. Dalam kasus yang bermuatan delik pers, jalur hukum cenderung bertele-tele dan berakhir dengan ketidakpuasan pihak yang merasa dirugikan. Dari berbagai kasus menunjukkan, proses yang menunjukkan kekurangseriusan aparat dalam menangani delik pers. Ini dapat "dimaklumi" sehubungan posisi aparat penegak hukum yang kinerjanya memerlukan peran pers. Muncullah kerja sama yang dilembagakan dalam pola kemitraan, saling bantu, dan sebagainya. Akibatnya masyarakat yang secara tulus mengadukan pers kurang memperoleh tanggapan secara baik. Fenomena demikian mulai bergeser sejak pers menemukan kebebasaannya di era reformasi. Namun apakah hal itu akan berlanjut, masih harus ditunggu. Di sisi lain, belum ada yurisprudensi tentang tindak pidana pers.

Dari berbagaikasus, seringkali diselesaikan di luar pengadilan, baik dengan prinsip win-win solution, maupun meniadakan pengaduan terhadap pers. Ukuran untuk ini tak jelas, kecuali berlindung di balik argumentasi penyelesaian berdasar hukum merupakan ultimum remidium, sehingga dipandang sah-sah saja, bahkan diutamakan penyelesaian dengan cara lain. Termasuk batasan waktu yang harus dijadikan patokan limitatif untuk menyelesaikan perkara sehubungan dengan pengaduan terhadap pers. Melalui dua jalur, juga dipandang tak efektif. Sebab, akhirnya juga menghasilkan sesuatu yang sifatnya sama.

Atas dasar hal di atas, sebagian masyarakat lebih memilih penyelesaian secara "Hukum Adat" dengan melakukan penganiayaan, perusakan, bahkan pembunuhan terhadap orang yang dipandang harus bertanggung jawab atas munculnya sajian pers


(44)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

bermasalah. Cara menyelesaikan masalah dengan cara peradilan jalanan dinilai lebih efektif. Secara kuantitas hal demikian sering terjadi. Tentunya ini mengkhawatirkan bagi pekembangan kebebasan pers ke depan.

Di satu sisi, hal di atas menghadirkan urgensinya perlin-dungan hukum terhadap pekerja pers dari tindakan "Hukum Adat" warga masyarakat yang tak puas atas sajian pers. Dari perspektif ini, terasa ketidakadilan yang diterima pekerja pers yang menyebabkan terganggunya kinerja pers. Hukum (UU Pers) memberikan tiga macam proteksi yang secara yuridis tak memberikan tempat sama sekali terhadap penyelesaian secara hukum adat.

Pertama, proteksi kepada pekerja pers dengan adanya jaminan siapa saja yang menghalang-halangi profesi wartawan akan disanksi. Juga, orang yang menghambat penerbitan pers akan disanksi.

Kedua, proteksi kepada masyarakat atas jaminan sebuah penerbitan tak boleh menyiarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang hidup di masyarakat. Nilai itu berbasis kesusilaan, kesopanan dan nilai lain yang secara universal dan peka dipegang masyarakat (setempat).

Ketiga, mencegah munculnya pers tanpa identitas. Untuk itu pers dituntut mencantumkan penanggung jawab secara jelas, sehingga ketika sajian bermasalah, dapat diajukan tuntutan pada alamat yang jelas. Pertanggungjawaban normatif di atas memang tak memuaskan. Bahkan sanksinya bersifat administratif, seperti keharusan membayar denda, misalnya. Sedangkan kedudukan delik pers itu juga tak pasti. Delik aduan (klacht delict) kah atau delik formal yang tak harus menunggu pengaduan masyarakat. Jika memang bukan klacht delict, bagaimana mekanismenya? Apalagi ketentuan yang


(45)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

berhubungan dengan aplikasi kinerja (misalnya pencemaran nama baik, fitnah dan sebagainya) tetap mengacu pada KUHP, sehingga batasan tentang delik pers itu menjadi kabur, baik konsep maupun aplikasinya.

Sesuai dengan asas profesionalisme, idealnya pertanggungjawaban itu dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan pers yang merupakan kumpulan para profesional. Tanggung jawab harusnya dipikul oleh subjek yang memang berbuat, sesuai dengan deskripsi “politik keredaksian” yang dijadikan dasar oleh lembaga pers. Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum pidana, “siapa yang berbuat ia harus bertanggung jawab”. Juga, sesuai dengan prinsip keadilan paparan tentang 'tindak pidana secara materiil yang meletakkan kewajiban secara aktif kepada aparat penegak hukum.

Perlindungan hukum terhadap pekerja pers dapat diambil dari konsep perlindungan hukum terhadap orang yang melaksanakan tugas dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri. Yakni, orang yang mengganggu dan menyebabkan terhambatnya pekerjaan apalagi sampai melakukan intervensi secara fisik hukumannya ditambah dengan sepertiganya (Pasal 212 KUHP dan seterusnya). Konsep demikian, sekurangnya menjadi upaya perlindungan hukum yang memadai.

Di atas itu semua, alur berpikir hubungan antara pers dan masyarakat tak perlu dari sisi represif dengan membuat tesis tentang tidak harmonisnya hubungan pers dan masyarakat. Idealnya, karena pers sebagai institusi sosial, semestinya menyuarakan kebenaran di masyarakat. Tak semata-mata demi kebenaran, tetapi terkandung misi untuk menenteramkan dan mendamaikan masyarakat. Karena itu, fakta yang dalam takaran jurnalistik dipandang sebagai sakral dimaknai sedemikian rupa, sehingga terpulang pada seleksi apakah sebuah sajian dipandang menenteramkan dan mendamaikan mayarakat


(46)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

atau tidak. Kalau tidak, ada kewajiban moral untuk tak menyajikan kepada masyarakat kendati pun secara ekonomis menguntungkan.

Manakala kinerja para pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola interaksi harmonis antara pers dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan konsistensi atas penegakan hukum terhadap terjadinya delik pers oleh aparat penegak hukum, sehingga warga masyarakat pun terayomi dari tindak arogansi pers. Sementara itu, pekerja pers juga dapat melaksanakana profesinya secara benar. Keseimbangan ini yang belum terwujud di dalam UU Pers sekarang.

BAB III

TINDAK PIDANA PERS MENURUT KUH PIDANA DAN RUU KUHP NASIONAL

A. Tindak Pidana Yang Terkait dengan Pers Yang diatur di dalam KUHP

Hal-hal yang diatur di dalam KUHP mengenai tindak pidana pers adalah : a) Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134) dengan hukuman 6

tahun penjara. Pasal ini mengancam hukuman untuk “penghinaan dengan sengaja” terhadap Presiden. Yang diartikan dengan “penghinaan dengan sengaja” yaitu perbuatan-perbuatan macam apapun juga yang menyerang nama baik, martabat atau keagunngan Presiden dan wakil Presiden, termasuk segala macam penghinaan yang tersebut dalam Bab XVI Buku II KUHP yaitu Pasal 310 s/d 321, seperti menista,

menista dengan surat, memfitnah, penghinaan ringan dan tuduhan memfitnah. b) Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat (Pasal 142) dengan hukuman 5 tahun


(47)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

menyerang kehormatan atau nama baik seperti yang diatur dalam Pasal 310 s/d 321 mengenai penghinaan.

c) Penghinaan terhadap Wakil Negara Asing (Pasal 143) dengan hukuman 5 tahun penjara. Dalam hal ini adalah perbuatan dengan sengaja menghina dengan maksud menyerang kehormatan atau nama baik seperti yang diatur dalam Pasal 310 s/d 321 mengenai penghinaan. Wakil negara asing adalah wakil pada pemerintahan Indonesia seperti duta negara asing di Indonesia. Di sini orang yang menghina harus benar-benar mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang duta, apabila dia tidak mengetahui, maka pasal ini tidak dapat diterapkan.

d) Permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154) dengan hukuman 7 tahun penjara. Pasal ini mengancam orang yang mengeluarkan perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia.

e) Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan (Pasal 156) dengan hukuman 4 tahun penjara. Pasal ini isinya sama dengan Pasal 154, bedanya ialah bahwa Pasal 154 pernyataan itu terhadap Pemerintah Indonesia, sedangkan Pasal 156 terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia.

f) Pelanggaran kesusilaan (Pasal 282) dengan hukuman penjara 1 tahun enam bulan. Pasal ini mengatur ancaman hukuman bagi orang yang menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan secara terang-terangan tulisan yang melanggar atau bertentangan dengan kesopanan.

g) Penyerangan / pencemaran kehormatan atas nama baik seseorang (…kecuali jika dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri) (Pasal 310) – hukuman 9 bulan penjara.


(48)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

a) Perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama dan dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 156 a) dengan hukuman 5 tahun penjara.

b) Penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan Undang-Undang dengan hukuman 6 tahun penjara.

B. Tindak Pidana Pers Menurut RUU KUHP Nasional

Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (RUU KUHP) yang baru saat ini, maka Pasal 531 sampai dengan Pasal 541 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan Pers.

Untuk masalah penghinaan Pasal 531 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsurnya sebagai berikut :

1. setiap orang; 2. dengan lisan;

3. menghina menyerang;

4. kehormatan atau nama baik orang lain; 5. menuduhkan suatu hal;

6. dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.

Untuk Pasal Ayat (1) RUU KUHP tersebut ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-). Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam


(1)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Mekanisme ini digunakan ketika tidak ada satupun organisasi profesi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini merupakan pilihan yang baik jika tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk bergabung di salah satu organisasi profesi. Namun, lembaga ini haruslah diberikan kewenangan yang cukup untuk dapat melakukan penindakan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran etika.

d. Pentingnya Pembentukan RUU P4 (Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers). Pembentukan RUU P4 ini sangat penting untuk mengatasi berbagai kelemahan dari UU Pers. UU Pers sedari awal memiliki kelemahan yang juga diakui oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa diperlukan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP.

B. Saran – Saran

Saran-saran yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah :

1. Mahkamah Agung hendaknya menyadari akan perlunya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dapat dipenuhi, dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak ada ketentuan pidana dalam UU Pers.


(2)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

2. Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi sangat perlu dilakukan untuk mengawasi dunia pers di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan suatu organisasi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating society yang bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi profesi.


(3)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU / MAKALAH

Amirudin dalam makalah yang berjudul “Kriminalisasi atas Kebebasan Pers dalam Perspektif pers, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU

KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan

Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006.

Ampuan Situmeang SH, MH, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam

RUU KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

dan Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006. Banjar Nakon Brudar, Delik Pers, Jakarta, Chalia Indonesia,1994.

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Pernada Media Group,

Jakarta, 2006.

Komariah E. Sapardjaja, Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan Pers


(4)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Jakop Oetama, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Jakarta, Penerbit buku Kompas, Oktober 2001.

---, Berpikir Luang tentang Keindonesiaan. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001.

Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa Pers, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007. Lukas Luwarso, Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, Dewan Pers & UNESCO,

2003.

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996.

B. INTERNET

Agus Sopyan, Meski Masih Beroperasi dalam Jargon Politik - Spirit Pelopor

Pers Mahasiswa Masih Ada, diakses dari situs :

17 September 2005.

Dadang Sukandar, KUHP dan Perundang-undangan Lex Specialis, diakses dari situs :

Juniver Girsang, SH.MH, Perlu Kepastian Hukum Pers, diakses dari situs :

S.Sinancari Ecep, UU Pers Nasional, diakses dari situs :

http//www.hukumonline.com, tanggal 20 Januari 2006.

Syamsul Wahidin, Perlindungan terhadap Pekerja Pers, diakses dari situs : http//www.banjarmasin-pos.com, tanggal 8 November 2006.


(5)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional, diakses dari situs :

Winarta Adisubrata, Delik Pers Pertama di Indonesia, diakses dari situs : http//www.hukumonline.com, tanggal 6 Oktober 2006.

Komisi Hukum Nasional RI, Kebebasan Pers dalam Hukum Pidana ditinjau dari RUU

KUHP, diakses dari situs :

C. PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN

Undang – Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

D. SURAT KABAR / MAJALAH

Atmakusumah, Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman, Harian Kompas, edisi 12 Maret 2005.

Binsar Gultom, Berdayakan UU Pers untuk Mengadili Delik Pers, Harian Kompas, edisi 2 Juli 2006.

Frans Hendra Winarta, UU Pers Lex Specialis atau Bukan,, harian Kompas, edisi 3 April 2006.


(6)

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Sapto Pradityo, Politisi Dukung Anti Kriminalisasi Pers, Majalah Tempo, edisi Kamis, 2 September 2004.

Syahriani, Kriminalisasi Pers Vs Pilar Demokrasi, harian Waspada, edisi, Senin, 25 April 2006.