Resensi Buku Cerpen

Resensi Buku Cerpen “Flamboyan Senja”
oleh Winda Arfah
May 31, 2013aliyanurlaela
“Kelopak Flamboyan itu Bertasbih, Menyatukan Butiran-butiran Cinta Bersama Harapan dan
Doa Memberikan Pesan Untuk Selalu Mengagungkan NamaNya, Bersyukur dan Berdzikir
PadaNya”
Judul : Flamboyan Senja
Kategori Buku : Kumpulan Cerpen
Penulis Buku : Aliya Nurlela
Penerbit Buku : FAM Publishing
ISBN : 978-602-17143-5-5
Tahun Terbit : Cetakan I, Desember 2012
Jumlah Halaman : 139 Halaman
Harga : 38.000,Apapun yang terjadi dalam hidup ini tak ada yang kebetulan. Semua sudah ada Yang
Mendesain. Detik ini harus begini, detik berikutnya harus begitu. Semua telah tercatat dalam
desainNya. Tak ada kelebihan yang sempurna, selalu bersanding manis dalam diri seseorang.
Kekurangan itu akan mendorongnya terus belajar dan kelebihan itu akan mendorongnya
untuk terus berbagi. Sehebat apapun teori yang dimiliki, jika tak pernah membiasakan
menulis maka teori itu akan menguap satu persatu hingga lupa sama sekali.
Dirangkum semua cerita dalam buku cerpen Flamboyan Senja. Menyatukan butiran-butiran
cinta yang berserak, menyematkan dalam hati terdalam, melebur bersama harapan dan doa,

agar harum mewangi sepanjang masa. Buku ini ditulis oleh Aliya Nurlela seorang penulis dan
pengurus wadah kepenulisan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia di kantor pusat FAM
Pare, Kediri. Buku cerpen Flamboyan Senja adalah buku fiksi tunggalnya. Dalam Buku
Cerpen yang berjudul Flamboyan Senja, yang didalam buku itu memuat 10 cerpen. Ada
banyak serangkaian realita kehidupan dengan tema dan nuansa yang berbeda yang
disuguhkan dalam buku cerpen ini dan banyak nasihat yang terkandung didalamnya.
Cerpen pertama, “Flamboyan Senja”. Alam seakan bertasbih menyebut nama-Nya ketika
kebimbangan yang melaut kulemparkan ke dasar jurang. Tarik menarik antara tawaran
kebaikan dan keburukan yang sedari tadi datang silih berganti, perlahan memudar dan
mengendor. Tawaran kebaikan lebih dominan menarikku dalam singgasana-Nya. Meresapi
kehadiran-Nya. Aku menyeka peluh dingin dari kening. Memandang lembut penuh kasih
pada sebatang pohon Flamboyan yang berdiri kokoh disampingku. Ia kokoh, kuat dan tegak
berdiri. Bunganya yang elok menebarkan pesona jelita. Siapapun yang memandangnya akan
berdecak kagum. Bergelimangan sanjungan dan popularitas, mengejar mimpi-mimpi tentu
harapan semua orang. Tapi bagi sosok seorang wanita yang di perankan dalam cerita ini
dengan semua kemudahan yang dia miliki saat ini, baginya banyak melenakan dan dengan
lantang berteriak untuk menyudahi kepopuleran yang ia peroleh selama ini, Nasehat agama
yang selalu diajarkan kedua orang tuanya yang masih membekas, sehingga ia tak rela jika
harus merentas sebuah jalan yang mengabaikan nasehat agama. Sebentuk ujian untuk


mengukur kekuatan iman. Bersama senja ia telah bertekad untuk membulatkan tekad
berhijrah dan tak ada seorangpun berhak mengubah keputusan jalan hidupnya.
Cerpen kedua, “Geu Saram”. Geu saram nal utge han saram, Geu saram nal ulge han saram.
Geu sarang jieul sueom neunde, Geu sarang ijeul sueom neunde. Geu sarami tteo naganeyo.”
(dia adalah orang yang membuatku tersenyum, dia adalah orang yang membuatku menangis.
Cinta itu tak bisa kuhapus, cinta itu tak bisa kulupakan. Namun dia sekarang telah pergi).
Seorang penulis santun yang di gambarkan penulis yang bernama Zahda Amir, penulis santun
penyebar kebaikan sekaligus sang pahlawan hebat yang telah menolong dia, mengatakan dia
orang yang baik dan selayaknya ada pada tempat terbaik. Yang membuatnya sadar untuk
menuju CahayaNya dan tuntunan-Nya (Geu Saram = orang itu).
Cerpen ketiga, “Impian yang terhapus”. Tuhan, suatu saat aku akan berdiri di hadapan-Mu,
memperlihatkan jahitan demi jahitan yang ada dalam tubuhku. Sebagai bukti bahwa aku telah
berjuang sendiri untuk keselamatanku. Aku akan meminta belas kasih-Mu dan belaian
lembut-Mu yang selama ini tak pernah kudapatkan dari seorang makhluk ciptaan-Mu.
Dibagian ini penulis meggambarkan sosok Amanda yang begitu tegar dalam mengarungi
rumah tangga dengan seorang lelaki yang menyanjungnya di awal pertemuan, tak
menyisakan manisnya membangun mahligai rumah tangga, jiwanya sering tersakiti bahkan
mendapat perlakuan yang tak pernah peduli apapun yang terjadi dengan ia sebagai seorang
istri, tak peduli raganya yang lemah, tekad Amanda hanya satu menyelamatkan keluarga
kecilnya agar layak dimata manusia terlebih dimata Tuhan. Tak pernah berfikir untuk

mengakhiri rumah tangga bersama suami yang dicintainya, meskipun cinta itu memudar
akibat sikap aneh suaminya.
Cerpen keempat, “Tak ada keranjang di matanya”. Lelaki dan wanita diciptakan untuk
berpasangan, saling bekerjasama, bukan saling membenci. Jika ia pernah trauma pada lelaki,
mungkin banyak pula lelaki yang trauma pada ulah wanita. Berulangkali sang ayah
mengingatkan,bahwa pendapat nya salah. Tidak semua laki-laki seperti yang di cap Raini.
Sang ayah bilang, “seperti ayah yang setia pada ibu.” Pada bagian ini digambarkan, Sosok
seorang Raini yang cukup kuat bertahan untuk tidak membiarkan seorang lelaki pun hadir
dihatinya. Bahkan selalu menunda untuk segera menikah, bukan dikarenakan dia terkena
penyakit anti lelaki, tapi dimatanya semua lelaki sama hanya menorehkan kekecewaan.
Seiring waktu berjalan, seorang lelaki yang tak pernah dia lihat wajahnya bisa melenyapkan
seluruh emosinya, melembutkan hatinya menjadikan ia lebih ramah dari biasanya. Lelaki
itulah yang diharapkan Raini menjadi pendamping hidupnya kelak. Bukan cinta yang sesaat,
saat ini mencintai Raini dan pada saat yang lain mencintai wanita lain. Keagungan seorang
gadis pada sosok ayahnya yang perhatian, penuh kasih sayang dan setia pada keluarga itulah
yang ia harapkan kelak dan menemukan laki-laki hebat seperti ayahnya.
Cerpen kelima, “Air Mata Lelaki.” Tuhan maafkan semua perbuatanku yang telah menyakiti
ibu dan adikku. Aku telah bertindak semena-mena pada mereka. Aku telah angkuh di
hadapan-Mu menonjolkan emosiku agar semua aturanku diterima. Tuhan, andai ibu hari ini
tak berkata pada Nindi, sampai kapanpun aku tak akan perrnah tahu jika semua yang

kulakukan itu salah. Tuhan, semua kulakukan karena rasa sayang pada mereka yang
berlebihan. Aku takut kehilangan mereka, hanya merekalah keluargaku. Berilah kesempatan
ya Tuhan, agar aku bisa membahagiakan mereka dengan cara yang lebih baik. Disini
digambarkan sosok seorang kakak yang begitu bertempramen keras dan sulit menerima
nasehat, sehingga sampai akhirnya ia menyadari bahwa sikapnya itu salah dan mengakui

kesalahannya di hadapan Tuhan-Nya, dan punya tekad untuk memperbaiki diri. Hanya Allah
yang membolak-balikan hati manusia
Cerpen keenam, “Pekat”. Tak ada yang sia-sia di dunia ini. Hal yang kelihatannya tak
berharga, jika dirawat dan diberi sentuhan lembut berasal dari hati maka akan menjadi
berharga dan berguna. Disini digambarkan bahwa ditengah orang-orang yang tidak peduli
akan nasib orang yang tidak berkelas ini ada sekelompok orang yang peduli akan nasib
mereka, merangkul dan merawat mereka.
Cerpen ketujuh, “Benalu”. Wahai para benalu, mengapa anda tega mempermainkan nasib
kami? Kemiskinan ini bukannya meraih kepedulian dari pihak-pihak yang memiliki
kelebihan rezeki. Justru di korbankan sebagai ajang permainan busuk para benalu. Uang
seratus ribu dalam kondisi sepertiku sangatlah besar. Aku harus menghemat uang makan
hingga berminggu-minggu. Bahkan jika perlu puasa setiap hari kulakoni. Pada bagian ini
digambarkan jatuh bangunnya seseorang dalam mencari pekerjaan ditengah kehidupan yang
kejam dan tidak berpihak kepada orang yang terhimpit perekonomian.

Cerpen kedelapan, “Bulan Merindu”. Biarlah kerinduan ini menjadi milikku dan bulan. Aku
tak bisa menghindar dari harapan kehadiranmu secara nyata di depan mataku. Kerinduan ini
memang telah menyeretku untuk mengubah takdir baik antara kau dan aku. Meski hanya
sejenak. Namun, kerinduan ini bukan bersumber dari nafsu yang membabi-buta yang dapat
menghanguskan semua. Termasuk meredupkan sinar bulan purnama selamanya. Kerinduan
ini sebentuk kasih suci yang akan selalu terpelihara dalam hati. Kasih suci adalah kerelaan
memberikan kebahagiaan abadi bagi orang yang dikasihi. Kebahagiaan bukan berarti harus
bertemu dan bersatu. Kebahagiaan juga adalah kenikmatan melihat tawanya berderai di
manapun dan bersama siapapun. Aku memohon penjagaan dari Sang Penguasa Malam untuk
kebahagiaanmu selamanya. Biarlah aku di sini tetap menghitung datangnya purnama hingga
waktu yang tak terhitung lagi. Biarlah aku menjadi “Bulan Merindu” dalam pesona malam.
Mendendangkan tembang-tembang pujian untuk kebahagiaan abadi kau dan aku dalam hidup
sekarang dan berikutnya.” Pada bagian ini digambarkan kisah sedih seorang gadis yang
menantikan pujaan hatinya, semangat menghadapi ketidakberdayaan dengan kondisi yang ia
alami. Bahkan penduduk sekitar pun yang mengetahui kisahnya ikut merasa pilu dan iba atas
kandasnya harapan gadis itu.
Cerpen kesembilan, “Tak mencintai Bukan Berarti Membenci”. Bahasa yang digunakan
disini sangat menarik dan akan tergambar apa yang dimaksud penulis, “Tuhan, maafkan aku
atas kelancangan ini. Bukan aku tak mengikuti seruan-Mu untuk mencintai sesama makhluk.
Bukan aku membenci ciptaan-Mu. Bukan tak menghargai kehadirannya di dunia ini dan

takdir kehadirannya di hadapanku. Tapi, satu alasanku. Semoga Kau mengampuniku. Hingga
hari ini, diri ini tak kuasa menatap apalagi membelai maakhluk ciptaanMu yang satu ini. Ya,
si hitam yang mengkilat licin dan selalu berjalan santun itu. Dialah CACING! Makhluk
ciptaan-Mu yang dicari banyak orang. Entahlah, bagiku tidak. “Tuhan maafkan aku.”
Cerpen kesepuluh, “Kelopak Flamboyan itu bertasbih”. Dengarlah ia berbisik, kelopak itu
berbisik tentang hakikat cinta, kelopak lain mengajak tersenyum penuh semangat, kelopak
lain mengajak tersenyum penuh semangat, ada duka terselip pada satu kelopak kecilnya,
kelopak itu membenci keputusasaan, ia mengajak menyelami keagungan hasil ciptaan-Nya, ia
menghibur raga yang sakit, mari mengukir impian. Pada bagian ini banyak nasehat yang
diberikan serta mengajak pembaca untuk lebih mengenal keindahan pencipta, mengagungkan
nama-Nya dan mengajakan mereka bertasbih.

Sisi kelebihan buku cerpen Flamboyan Senja, secara keseluruhan cerpen-cerpen dalam buku
ini bagus, tidak pernah bosan untuk membacanya terutama “kelopak Flamboyan itu
bertasbih” dibagian inilah banyak pesan hikmah dan semangat hidup. Saya fikir para
pembaca selain saya juga punya pemikiran yang sama setelah membaca buku cerpen
Flamboyan Senja ini. Selain itu bentuk buku ini lumayan menarik, ada pembatas buku dan
gantungan kunci bertuliskan Flamboyan Senja, dari cover buku sangat kreatif “Flamboyan
dan senja”, dua simbol keindahan. Bila keduanya disatukan maka siapapun yang
memandangnya akan berdecak kagum. Cerita yang disampaikan benar-benar membuat kita

sadar bahwa kita harus selalu mengingat-Nya, bertasbih, bersyukur dan berdzikir kepadaNya. Bahkan kelopak Flamboyan itupun selalu betasbih bersama seluruh semesta alam yang
tak pernah lelah dan berhenti untuk terus bertasbih kepada-Nya, menyebut asma-Nya disetiap
harinya.
Sisi kekurangan isi buku, Alangkah lebih menarik lagi satu lembar halaman di sediakan,
setelah info tentang penulis, di setiap buku terbitan FAM baik Flamboyan Senja ataupun
karya yang lainnya, dimuat juga gambar buku karya terbitan FAM yang telah terbit. Agar
para pembaca lebih mengetahui lagi buku-buku karya FAM publishing yang lainnya, karna
buku FAM Publishing ini layak dibaca dan dimiliki.
Demikian resensi buku ini, semoga bermanfaat untuk saya dan kita semua.
Salam Santun, Salam Karya
Peresensi : Tri Windari hesti
FAMili-Sukamara, Kalimantan Tengah
E-mail : [email protected]
*) DIMUAT JUGA DI http://www.famindonesia.com
Winda Arfah adalah nama pena dari Tri Windari Hesti. Ia suka menulis dan tercatat sebagai
anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.