ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA BANDAR LAMPUNG PADA ERA DESENTRALISASI FISKAL PERIODE 2001.1-2008.4

(1)

ABSTRACT

ANALYSIS OF ECONOMIC GROWTH IN BANDAR LAMPUNG ON FISCAL DECENTRALIZATION PERIOD 2001.1-2008.4

By

IIN FERWANTY SEMBIRING

The implementation of fiscal decentralization in Indonesia since the year 2001 brought a change in the pattern of relations between central and local

governments. In this fiscal decentralization the regions were given the discretion to regulate and manage their own region with not much interference from the central government. The implications are expected from the implementation of fiscal decentralization is a local government can implement good governance and full responsibility so that local economic development be better. Development is expected to be implemented independently by local governments that resulted in the acceleration of economic growth. Therefore, local governments must be able to manage finances (both in terms of revenue and expenditure) in an efficient and effective so that it can increase economic growth their respective regions.

This study aims to determine the effect of growth in labor, the growth of

government investment , growth in own revenues (PAD) and growth Equalization Fund to the Economic Growth Bandar Lampung in fiscal decentralization. This study uses secondary data. The data used is the type of time series data for the period 2001.1 - 2008.4. Analysis tools used in this study is multiple linear regression analysis with the Ordinary Least Square approach (OLS).

From the analysis concluded that the growth in labor, the growth of government investment and growth Equalization Funds (Dana Perimbangan) positive effect on economic growth in Bandar Lampung. While the growth in own revenue has a significant negative impact on economic growth in Bandar Lampung.

Key words: Economic Growth, Fiscal Decentralization, Labor, Government Investment, Own Revenue (PAD), Equalization Funds (Dana Perimbangan)


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA BANDAR LAMPUNG PADA ERA DESENTRALISASI FISKAL PERIODE 2001.1-2008.4

Oleh

IIN FERWANTY SEMBIRING

Diberlakukannya desentralisasi fiskal di Indonesia sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pada era desentralisasi fiskal ini daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan tidak banyak dicampuri oleh pemerintah pusat. Implikasi yang diharapkan dari diberlakukannya desentralisasi fiskal ini adalah pemerintah daerah dapat melaksanakan pemerintahan dengan baik dan penuh tanggung jawab sehingga pembangunan ekonomi daerah semakin baik. Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah sehingga terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu mengelola keuangannya (baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran) secara efisien dan efektif sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya masing-masing.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan jumlah tenaga kerja, pertumbuhan investasi pemerintah, pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan pertumbuhan Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data yang digunakan adalah jenis data rangkai waktu (time series) periode 2001.1 – 2008.4. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Square).

Dari hasil analisis didapat kesimpulan bahwa pertumbuhan jumlah tenaga kerja, pertumbuhan investasi pemerintah dan pertumbuhan Dana Perimbangan

berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung. Sedangkan Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

Kata kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Desentralisasi Fiskal, Tenaga Kerja, Investasi Pemerintah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia diawali dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang kemudian diubah dengan UU No. 33 Tahun 2004. Praktek internasionalisasi desentralisasi fiskal di Indonesia efektif dijalankan sejak 1 Januari 2001 dengan didasarkan oleh kedua undang-undang tersebut di atas. Kedua undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah.

Dengan diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ini, daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan tidak banyak dicampuri oleh pemerintah pusat. Otonomi daerah dan desentralisasi akan memberi nilai positif bagi pemerintah daerah, karena pemerintah pusat sebenarnya tidak atau kurang mengetahui apa yang diinginkan oleh pemerintah daerah. Kekurangtahuan pemerintah pusat terhadap kebutuhan pemerintah daerah


(4)

inilah yang menjadi pangkal ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pelaksanaan kegiatan di daerahnya.

Menurut Mardiasmo (2002) ada dua alasan mendasar diberlakukannya otonomi yang luas dan desentralisasi fiskal. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Kedua, tuntutan pemberian otonomi juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang.

Menurut Anonim (1999) seperti yang dikutip oleh Dewi Pusporini (2006:2) Secara umum diyakini bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi pandangan yang menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat daerah terhadap barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Hal ini berkaitan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, yang mana pemerintah daerah paling persis tahu apa yang diinginkan masyarakatnya.

Desentralisasi fiskal merupakan peluang bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan dan membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing. Implikasi yang diharapkan adalah pemerintah daerah dapat melaksanakan pemerintahan dan pembangunan. Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan serta pembiayaan.


(5)

Melalui desentralisasi fiskal ini diharapkan pembangunan di segala aspek akan lebih baik, termasuk pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan ekonomi suatu daerah menjadi sangat penting karena ini merupakan suatu indikator bagi

kemajuan perekonomian daerah yang bersangkutan. Kemajuan perekonomian bisa juga dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, yang dalam pelaksanaannya

sepenuhnya terkait dengan kebijakan ekonomi yang akan dilakukan. Sekarang ini masalah pertumbuhan ekonomi merupakan isu penting dalam era desentralisai fiskal, terutama di negara berkembang dan negara-negara transisi (Dewi Pusporini, 2006: 5).

Persoalan pertumbuhan ekonomi (economic growth) telah mendapatkan perhatian yang besar sejak beberapa abad yang silam. Pertumbuhan ekonomi dibutuhkan dan merupakan sumber utama peningkatan standar hidup penduduk yang

jumlahnya terus meningkat. Dengan perkataan lain, kemampuan dari suatu negara untuk meningkatkan standar hidup penduduknya adalah sangat tergantung dan ditentukan oleh laju pertumbuhan ekonomi jangka panjang (long run rate of economic growth) (Muana Naga, 2005: 279).

Pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi menjadi penting sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal. Maju tidaknya suatu daerah bisa dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonominya. Semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi semakin maju pula suatu daerah. Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat dapat dilihat dari tingkat output yang dihasilkan dalam masyarakat tersebut.


(6)

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan bila tingkat kegiatan ekonominya adalah lebih tinggi dari yang dicapai sebelumnya. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi baru tercipta bila jumlah fisik barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dalam

perekonomian tersebut menjadi bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya.

Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bandar Lampung Atas Dasar Harga Konstan 2000 Periode 2001-2008.

Periode PDRB (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

2001 3.714.381,30 -

2002 3.872.963,20 4,269

2003 4.224.840,57 9,085

2004 4.549.462,97 7,683

2005 4.778.188,02 5,027

2006 5.079.046,83 6,296

2007 5.432.246,00 6,954

2008 5.821.682,91 7,168

Sumber :BPS Lampung Dalam Angka (beberapa edisi)

Tabel 1 menunjukkan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bandar Lampung. Pada tahun 2002 pertumbuhan PDRB Kota Bandar Lampung sebesar 4,269% dari tahun 2001. Peningkatan itu terus terjadi hingga tahun 2003 yakni sebesar 9,085% dari tahun 2002. Selanjutnya pada tahun 2005 laju pertumbuhan PDRB Kota Bandar Lampung mengalami penurunan, yaitu hanya 5,027% dari tahun 2004. Penurunan prtumbuhan PDRB ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia hingga diatas US $60 per barel. Hal ini disebabkan di satu sisi tingginya konsumsi BBM dan di sisi lain tingginya impor BBM. Tahun 2006-2008 laju pertumbuhan PDRB Kota Bandar Lampung mengalami


(7)

peningkatan. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan PDRB terendah terjadi tahun 2002 dan pertumbuhan yang terbesar terjadi di tahun 2003.

Sumber utama pembiayaan pembangunan daerah pada era desentralisasi ini adalah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berupa pajak daerah, retribusi daerah, BUMD dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Dalam realitasnya ternyata karakteristik daerah di Indonesia sangat beraneka ragam. Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah. Ada juga daerah yang sebenarnya kekayaan alamnya tidak melimpah namun karena struktur

perekonomiannya sudah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat

dioptimalkan sehingga daerah tersebut menjadi kaya. Namun banyak juga daerah yang secara alamiah maupun struktur ekonomi masih sangat tertinggal. Untuk alasan itulah pemerintah pusat memberikan dana bantuan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan.

Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 pasal 10 disebutkan bahwa yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah, yang berasal dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah dari pemerintah pusat. Dana perimbangan tersebut berupa: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alikasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain beberapa sumber pendapatan daerah tersebut masih ada alternatif pembiayaan lainnya bagi daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah berupa pinjaman baik dalam bentuk kredit maupun penerbitan surat berharga (obligasi).


(8)

Tabel 2. Perkembangan Pendapatan Total Daerah Kota Bandar Lampung Periode 2001-2008.

Periode Pendapatan Total Daerah

(Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

2001 231.198,87 -

2002 296.008,08 28,03

2003 369.344,39 24,77

2004 368.985,45 -0,09

2005 411.681,66 11,57

2006 595.004,85 44,53

2007 636.338,74 6,94

2008 689.245,16 8,31

Sumber: www.djpk.depkeu.go.id

Tabel 2 menunjukkan perkembangan Pendapatan Total Daerah Kota Bandar Lampung. Pada tahun 2004, pertumbuhan Pendapatan Total Daerah Kota Bandar Lampung mencapai angka yang negatif (-0,09%), ini mengindikasikan bahwa pada tahun tersebut pendapatan Kota Bandar Lampung lebih kecil dari tahun sebelumya. Pada tahun 2006, pendapatan daerah Kota Bandar Lampung

mengalami kenaikan yang cukup besar hingga mencapai 44,53% dari tahun 2005, angka ini merupakan pertumbuhan terbesar selama periode 2001-2008.

Tabel 3. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Kota Bandar Lampung Periode 2001-2008. Periode PAD (Juta

Rupiah) Pertumbuhan (%)

Dana Perimbangan (Juta Rupiah)

Pertumbuhan (%)

2001 23.696,67 - 191,148.12 -

2002 31.586,28 33,29 240,270.50 25.70 2003 35.511,80 12,42 285,464.33 18.81 2004 36.689,58 3,31 301,923.50 5.77 2005 46.073,50 25,57 328,369.04 8.76 2006 45.843,38 -0,49 549,161.46 67.24 2007 49.795,74 8,62 558,593.00 1.72 2008 55.739,00 11,93 624,656.00 11.83 Sumber: www.djpk.depkeu.go.id


(9)

Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa pada tahun 2002 PAD Kota Bandar Lampung mengalami pertumbuhan yang cukup besar, yakni sekitar 33,29%. Pertumbuhan tersebut merupakan pertumbuhan terbesar selama periode 2001-2008. Pada tahun 2006 pertumbuhan PAD Kota Bandar Lampung adalah negatif atau dengan kata lain PAD tahun 2006 lebih kecil dari tahun sebelumnya (2005). Akan tetapi penerimaan daerah yang bersumber dari Dana Perimbangan pada tahun 2006 mengalami pertumbuhan sebesar 67,24%.

Hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi menjadi subjek yang penting untuk dianalisis. Yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah desentralisasi fiskal menaikkan pertumbuhan ekonomi daerah?.

Dalam melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, Oates (1993) seperti yang dikutip oleh Dewi Pusporini (2006: 32) menyatakan tidak ada teori formal. Pendekatan dilakukan melalui fungsi produksi. Fungsi produksi sendiri akan dipengaruhi oleh sumbangan faktor produksi utamanya yaitu modal dan tenaga kerja.

Faktor produksi yang berasal dari modal yang dimaksud adalah investasi. Investasi dapat berasal dari pemerintah maupun swasta, baik secara langsung maupun tidak langsung. Investasi yang berasal dari pemerintah terutama bersumber dari penerimaan daerah dalam APBD (Dewi Pusporini, 2006: 32). Investasi pemerintah yang dimaksud adalah bagian dari pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan.


(10)

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah dengan pengeluaran pemerintah daerah atau lebih umumnya ukuran pertumbuhan dari sektor publik menjadi subjek yang penting untuk dianalisis pada era desentralisasi fiskal ini. Yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah sektor publik (dalam hal ini pengeluaran pemerintah) menaikkan pertumbuhan ekonomi daerah dalam jangka panjang (long run steady rate by state growth economy). Menurut Jamzani Sodik (2005), secara umum dampaknya tergantung dari trade-off antara pengeluaran publik yang produktif dan efek pajak yang bersifat distorsif.

Secara teori dinyatakan jika pengeluaran pemerintah meningkat, maka agregat demand (AD) akan meningkat. Peningkatan AD berarti terjadi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat diukur dari PDRB. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah dalam APBD diharapkan dapat menstimulus Produk Domestik Regional Bruto.

Tabel 4. Perkembangan Investasi Pemerintah (Belanja Modal / Pembangunan) Kota Bandar Lampung Periode 2001-2008 Periode Investasi Pemerintah (Juta

Rupiah) Pertumbuhan (%)

2001 40.604,55 -

2002 48.467,96 19,37

2003 99.367,76 105,02

2004 43.752,30 -55,97

2005 52.819,41 20,72

2006 107.211,47 102,98

2007 142.456,80 32,87

2008 162.342,78 13,96

Sumber: www.djpk.depkeu.go.id

Tabel 4 menunjukkan fluktuasi perkembangan Investasi pemerintah Kota Bandar Lampung. Tahun 2004 pertumbuhan investasi pemerintah adalah negatif


(11)

(-55,97%). Investasi pemerintah mencapai pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 2003 (105,02%) kemudian disusul tahun 2006 (102,98%).

Pertumbuhan tenaga kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga produktif. Menurut Sadono Sukirno (2000: 426), Dengan meningkatnya tenaga kerja, maka akan memungkinkan daerah tersebut untuk menambah output. Bila tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi meningkat, maka dengan sendirinya akan meningkatkan produksi. Tetapi sebaliknya jika tingkat produksi menurun, maka tenaga kerja yang diserap akan berkurang. Dalam hal ini tenaga kerja diturunkan dari pengeluaran pemerintah. Apabila pengeluaran pemerintah meningkat maka akan mendorong masuknya pihak swasta yang akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Tenaga kerja tersebut akan mampu menciptakan produksi barang/jasa yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Tabel 5: Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung Periode 2001-2008.

Periode Tenaga Kerja (jiwa) Pertumbuhan (%)

2001 281,562 -

2002 293,224 4.14

2003 302,378 3.12

2004 313,456 3.66

2005 321,982 2.72

2006 322,486 0.16

2007 342,334 6.15

2008 360,313 5.25

Sumber: Kota Bandar Lampung dalam angka (beberapa edisi)

Dari tabel 5 dapat kita lihat bahwa Laju pertumbuhan jumlah tenaga kerja terbesar terjadi pada tahun 2007 (6,1%) dan laju terendah terjadi pada tahun 2006 (0,16%).


(12)

Dari latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini akan menganalisis pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal.

B. Permasalahan

Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal?.

2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan investasi pemerintah terhadap

pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal?. 3. Bagaimana pengaruh pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah terhadap

pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal?. 4. Bagaimana pengaruh pertumbuhan Dana Perimbangan terhadap pertumbuhan

ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal?.

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. 2. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan investasi pemerintah terhadap

pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. 3. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. 4. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan Dana Perimbangan terhadap


(13)

D. Kerangka Pemikiran

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara efektif diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 2001. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang kemudian diubah dengan UU No. 33 Tahun 2004. Kedua Undang-undang tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah.

Diberlakukannya desentralisasi ini didasarkan atas fakta bahwa pemerintahan yang tersentralisasi dianggap kurang efektif untuk menjalankan tugasnya. Pada era sentralisasi, pembangunan di daerah sangat bersifat central otorited dimana peran pemerintah pusat terlalu dominan terhadap daerah. Pola yang sentralistik ini dianggap mematikan inisiatif dan kretivitas daerah. Pemerintah daerah kurang diberi keleluasaan untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Sementara itu, pemerintah pusat kurang mengetahui karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah di Indonesia. Hal ini berakibat pada ketidakpuasan pemerintah daerah atas kinerja dari pemerintah pusat dan pembangunan yang tercapai belum menciptakan kestabilan ekonomi.

Melalui desentralisasi fiskal diharapkan pembangunan di segala aspek akan lebih baik, termasuk pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi suatu daerah sangatlah penting karena merupakan indikator bagi kemajuan perekonomian daerah yang bersangkutan. Kemajuan perekonomian dapat dilihat dari sisi


(14)

pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan dalam kemampuan suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan menggunakan data PDB (Sach and Larrain, 1993: 25 dalam Muana Naga 2005: 274).

Dalam melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, Oates (1993) seperti yang dikutip oleh Dewi Pusporini (2006: 32) menyatakan tidak ada teori formal. Pendekatan dilakukan melalui fungsi produksi. Fungsi produksi sendiri akan dipengaruhi oleh sumbangan faktor produksi utamanya yaitu tenaga kerja dan modal.

Pertumbuhan tenaga kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga produktif. Menurut Sadono Sukirno (2000: 426), dengan meningkatnya tenaga kerja, maka akan memungkinkan daerah tersebut untuk menambah output. Bila tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi meningkat, maka dengan sendirinya meningkatkan produksi. Dalam hal ini tenaga kerja diturunkan dari pengeluaran pemerintah. Apabila pengeluaran pemerintah meningkat maka akan mendorong masuknya pihak swasta yang akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Tenaga kerja tersebut akan mampu


(15)

menciptakan produksi barang/jasa yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Faktor produksi yang berasal dari modal yang dimaksud dalam hal ini adalah investasi pemerintah. Investasi pemerintah yang dimaksud adalah sebagian dari pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan yang dimuat dalam APBD. Secara teori dinyatakan jika pengeluaran pemerintah meningkat, maka agregat demand (AD) akan meningkat. Peningkatan AD berarti terjadi

pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat diukur dari PDRB. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah dalam APBD diharapkan dapat menstimulus Produk Domestik Regional Bruto.

Barro dan Sala-i-Martin (1995) dalam Muana Naga (2005) menyatakan bahwa kegiatan pemerintah mempunyai efek terhadap pertumbuhan ekonomi. Aktivitas pemerintah tersebut terdiri atas pengadaan jasa-jasa infrastruktur (investasi bidang publik). Perubahan-perubahan pada aktivitas pemerintah akan menyebabkan pergerakan pada fungsi produksi. Dengan demikian, jenis-jenis perubahan ini akan mengakibatkan pertumbuhan selama masa transisi menuju keseimbangan.

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia memberikan peluang dan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi berbagai kegiatan pemerintah dan

pembangunan wilayah terutama dalam hal mengatur dan mengurus keuangannya sendiri baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah maupun dana

perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Penerimaan ini selanjutnya akan menjadi modal yang dialokasikan secara efisien dan efektif oleh pemerintah


(16)

daerah dalam menjalankan pembangunan di daerah menuju ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber dana pembiayaan

pembangunan ekonomi daerah otonom yang bersumber dari daerah itu sendiri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan lain-lain PAD yang sah. Dalam menjamin

terselenggaranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri, baik dengan

meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan potensi dan kondisi masyarakat tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan. Hal ini berarti peningkatan jumlah PAD semata-mata bukan hanya untuk peningkatan kuantitas PAD saja, akan tetapi harus memperhatikan kepentingan publik.

Dalam realitasnya, penerimaan daerah yang bersumber dari PAD belum

mencukupi dalam membiayai pembangunan daerah, sehingga pemerintah pusat memberi bantuan dana dalam bentuk Dana Perimbangan. Dana perimbangan yang dinerikan oleh pemerintah pusat akan digunakan (dialokasikan) oleh pemerintah daerah dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sehingga dengan meningkatnya Dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.


(17)

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga pertumbuhan jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

2. Diduga pertumbuhan investasi pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

3. Diduga pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

4. Diduga pertumbuhan Dana Perimbangan (DP) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.


(18)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja secara statistik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. Pengaruh positif ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah tenaga kerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung. Dari hasil analisis dapat kita lihat bahwa pengaruh variabel pertumbuhan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung lebih besar daripada pengaruh variabel-variabel lain yang digunakan dalam analisis ini. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan jumlah tenaga kerja dapat diserap dengan baik oleh dunia usaha dan tingkat produktivitas tenaga kerja di Kota Bandar Lampung dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif.

2. Petumbuhan investasi pemerintah secara statistik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. Pengaruh positif ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya pertumbuhan investasi pemerintah (pengeluaran pemerintah untuk belanja


(19)

Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa Pengeluaran pemerintah di dalam perekonomian memiliki sifat yang ekspansif, yang berarti apabila pengeluaran pemerintah semakin meningkat akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

3. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah secara statistik berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung dengan koefisien tandanya negatif. Pengaruh yang negatif ini dapat diartikan bahwa

pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah selama era desentralisasi fiskal tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar

Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan pajak kepada masyarakat bersifat kontraktif.

4. Pertumbuhan Dana Perimbangan secara statistik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung. Pengaruh yang positif ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya pertumbuhan Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung akan mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

B. Saran

1. Mengingat Pertumbuhan jumlah tenaga kerja Kota Bandar Lampung merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung dibandingkan dengan variabel-variabel lain yang digunakan dalam penelitian ini. Peranan pemerintah dan perusahaan sangat diperlukan guna meningkatkan sarana dan prasarana yang


(20)

efisien dan efektif untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik.

2. Pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan (investasi pemerintah) merupakan komponen yang sangat penting untuk diperhatikan pada era desentralisasi fiskal. Karena pengaruhnya positif terhadap

pertumbuhan ekonomi, investasi pemerintah di bidang publik ini perlu ditingkatkan. Investasi tersebut dapat berupa pembangunan dan perbaikan infrastruktur karena dengan terciptanya infrastruktur yang memadai akan mendorong masuknya sektor swasta yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan masuknya sektor swasta, maka akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas, sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap juga

semakin besar. Tenaga kerja tersebut akan menciptakan produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. 3. Untuk penelitian berikutnya diperlukan analisis yang lebih cermat untuk

mengamati pertumbuhan ekonomi pada era desentralisasi fiskal terutama dari indikator Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini karena dalam hasi penelitian ini pengaruh pertumbuhan PAD terhadap pertumbuhan ekonomi pada era desentralisasi fiskal menunjukkan signifikan negatif.


(1)

13

menciptakan produksi barang/jasa yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Faktor produksi yang berasal dari modal yang dimaksud dalam hal ini adalah investasi pemerintah. Investasi pemerintah yang dimaksud adalah sebagian dari pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan yang dimuat dalam APBD. Secara teori dinyatakan jika pengeluaran pemerintah meningkat, maka agregat demand (AD) akan meningkat. Peningkatan AD berarti terjadi

pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat diukur dari PDRB. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah dalam APBD diharapkan dapat menstimulus Produk Domestik Regional Bruto.

Barro dan Sala-i-Martin (1995) dalam Muana Naga (2005) menyatakan bahwa kegiatan pemerintah mempunyai efek terhadap pertumbuhan ekonomi. Aktivitas pemerintah tersebut terdiri atas pengadaan jasa-jasa infrastruktur (investasi bidang publik). Perubahan-perubahan pada aktivitas pemerintah akan menyebabkan pergerakan pada fungsi produksi. Dengan demikian, jenis-jenis perubahan ini akan mengakibatkan pertumbuhan selama masa transisi menuju keseimbangan.

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia memberikan peluang dan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi berbagai kegiatan pemerintah dan

pembangunan wilayah terutama dalam hal mengatur dan mengurus keuangannya sendiri baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah maupun dana

perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Penerimaan ini selanjutnya akan menjadi modal yang dialokasikan secara efisien dan efektif oleh pemerintah


(2)

daerah dalam menjalankan pembangunan di daerah menuju ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber dana pembiayaan

pembangunan ekonomi daerah otonom yang bersumber dari daerah itu sendiri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan lain-lain PAD yang sah. Dalam menjamin

terselenggaranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri, baik dengan

meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan potensi dan kondisi masyarakat tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan. Hal ini berarti peningkatan jumlah PAD semata-mata bukan hanya untuk peningkatan kuantitas PAD saja, akan tetapi harus memperhatikan kepentingan publik.

Dalam realitasnya, penerimaan daerah yang bersumber dari PAD belum

mencukupi dalam membiayai pembangunan daerah, sehingga pemerintah pusat memberi bantuan dana dalam bentuk Dana Perimbangan. Dana perimbangan yang dinerikan oleh pemerintah pusat akan digunakan (dialokasikan) oleh pemerintah daerah dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sehingga dengan meningkatnya Dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.


(3)

15

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga pertumbuhan jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

2. Diduga pertumbuhan investasi pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

3. Diduga pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

4. Diduga pertumbuhan Dana Perimbangan (DP) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.


(4)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja secara statistik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. Pengaruh positif ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah tenaga kerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung. Dari hasil analisis dapat kita lihat bahwa pengaruh variabel pertumbuhan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung lebih besar daripada pengaruh variabel-variabel lain yang digunakan dalam analisis ini. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan jumlah tenaga kerja dapat diserap dengan baik oleh dunia usaha dan tingkat produktivitas tenaga kerja di Kota Bandar Lampung dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif.

2. Petumbuhan investasi pemerintah secara statistik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada era desentralisasi fiskal. Pengaruh positif ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya pertumbuhan investasi pemerintah (pengeluaran pemerintah untuk belanja


(5)

102

Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa Pengeluaran pemerintah di dalam perekonomian memiliki sifat yang ekspansif, yang berarti apabila pengeluaran pemerintah semakin meningkat akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

3. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah secara statistik berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung dengan koefisien tandanya negatif. Pengaruh yang negatif ini dapat diartikan bahwa

pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah selama era desentralisasi fiskal tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar

Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan pajak kepada masyarakat bersifat kontraktif.

4. Pertumbuhan Dana Perimbangan secara statistik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung. Pengaruh yang positif ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya pertumbuhan Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung akan mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung.

B. Saran

1. Mengingat Pertumbuhan jumlah tenaga kerja Kota Bandar Lampung merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung dibandingkan dengan variabel-variabel lain yang digunakan dalam penelitian ini. Peranan pemerintah dan perusahaan sangat diperlukan guna meningkatkan sarana dan prasarana yang


(6)

efisien dan efektif untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik.

2. Pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan (investasi pemerintah) merupakan komponen yang sangat penting untuk diperhatikan pada era desentralisasi fiskal. Karena pengaruhnya positif terhadap

pertumbuhan ekonomi, investasi pemerintah di bidang publik ini perlu ditingkatkan. Investasi tersebut dapat berupa pembangunan dan perbaikan infrastruktur karena dengan terciptanya infrastruktur yang memadai akan mendorong masuknya sektor swasta yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan masuknya sektor swasta, maka akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas, sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap juga

semakin besar. Tenaga kerja tersebut akan menciptakan produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. 3. Untuk penelitian berikutnya diperlukan analisis yang lebih cermat untuk

mengamati pertumbuhan ekonomi pada era desentralisasi fiskal terutama dari indikator Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini karena dalam hasi penelitian ini pengaruh pertumbuhan PAD terhadap pertumbuhan ekonomi pada era desentralisasi fiskal menunjukkan signifikan negatif.