ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI LAMPUNG (Periode 2007-2011)

(1)

(2)

ABSTRACT

Analysis of Effect of Fiscal Decentralization Against Poverty Level District / Municipality in Lampung Province (Period 2007-2011)

By

AFFUAD RIDHO FAHMI

This study aimed to determine the effect of fiscal decentralization on poverty counties and cities in Lampung province in 2007-2011. With the independent

variables measuring fiscal capacity as fiscal decentralization, GDP at constant prices, while the poverty rate variable is bound. This study uses panel data (time series data for the years 2007 to 2011 5 years and a cross-section of 50 of 10 District / City of Lampung Province) and the method of analysis used tool is the panel data regression analysis The approach Random Effect Model (REM ).

Results of the study indicate that the fiscal capacity variable Regency / City last year has amounted regression coefficient (-0.040840) and a significant negative effect on poverty next year. Variable Gross Regional Domestic Product (GRDP) regency / city last year had a regression coefficient of (-0.003042) and a significant negative effect on poverty next year.

Keywords: Poverty, Fiscal Capacity, GDRP districts in the province of Lampung.


(3)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI LAMPUNG

(Periode 2007-2011)

Oleh

AFFUAD RIDHO FAHMI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal

terhadap tingkat kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Lampung tahun 2007-2011. Dengan variabel bebas kapasitas fiskal sebagai pengukuran desentralisasi fiskal , PDRB atas harga konstan sedangkan variable terikat adalah tingkat kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data panel (data time series selama 5 tahun yaitu tahun 2007-2011 dan data cross-section sebanyak 50 yaitu 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung) dan metode alat analisis yang digunakan adalah analaisis regresi data panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM).

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa variable kapasitas fiskal

Kabupaten/Kota tahun lalu memiliki koefisien regresi sebesar (-0,040840) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan tahun berikutnya. Variable Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/kota tahun lalu memiliki koefisien regresi sebesar (-0.003042) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan tahun berikutnya.

Kata Kunci: Tingkat Kemiskinan, Kapasitas Fiskal, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Kerangka Pemikiran ... 17

F. Hipotesis ... 20

II. KAJIAN PUSTAKA ... 21

A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ... 21

B. Kapasitas Fiskal ... 28

C. Kemiskinan ... 34

D. Teori Modernisasi : Pembangunan sebagai masalah interval ... 41

E. Produk Domestik Regional Bruto ... 43

F. Teori Erick Lindahl ... 46

G. Kebijakan Fiskal ... 47

H. Tinjauan Empiris ... 49

III.METODE PENELITIAN ... 56

A. Jenis dan Sumber Data ... 56

B. Analisis Data ... 58


(8)

1. Kemiskinan ... 70

2. Kapasitas Fiskal ... 72

3. Produk Domestic Regional Bruto ... 75

B. Hasil Pemilihan teknik estimasi Regresi Data Panel ... 77

1. Hasil Uji Hausman ... 77

C. Estimasi metode Panel Data dengan Random Effect ... 78

1. Hasil Estimasi dengan Panel data Random Effect ... 78

D. Pengujian Hipotesis ... 80

1. Hasil Uji Parsial (Uji t- statistik) ... 80

2. Hasil Uji F- statistik ... 81

E. Koefisien Determinasi (Uji R2) dengan Panel Data ... 82

F. Intersep Hasil Analisis ... 83

G. Pembahasan Hasil Penelitian ... 84

1. Pengaruh Kapasitas fiskal terhadap tingkat kemiskinan ... 84

2. Pengaruh PDRB terhadap tingkat kemiskinan ... 86

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai transfer wewenang atau kekuasaan dalam perencanaan publik, manajemen, dan pembuatan keputusan dari level nasional ke level subnasional atau secara umum dari level yang tinggi ke level yang lebih rendah dalam pemerintahan. Desentralisasi fiskal merupakan alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan layanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis dengan melimpahkan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Sidik, 2002).

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya


(10)

Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut disempurnakan menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 33 tahun 2004. Pelaksanaan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Menurut Dillinger, dalam Sidik (2001), pada dasarnya terdapat empat jenis desentralisasi, yaitu:

1. Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada warga Negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik.

2. Desentralisasi administratif (administrative decentralization), yaitu

pelimpahan wewenang guna mendistribusikan wewenang, tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik,

terutama yang menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparat di daerah, badan otoritas tertentu atau perusahaan tertentu.

Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga):

1) Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hierarki dengan pemerintah pusat.


(11)

2) Pendelegasian (delegation) yaitu : pelimpahan wewenang untuk tugas

tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian

wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang (discretion) mempunyai keleluasaan dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).

3) Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas

pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah daerah memiliki wilayah

administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal sebagai “distributed

institutional monopoly of administrative decentralization.”

Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization), yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup : Self-financing atau cost


(12)

recovery dalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah dan Co-financing atau co-production, dimana pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) ,Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat serta pinjaman daerah (sumber daya alam).

Desentralisasi ekonomi, yaitu kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi pasar.

Menurut Prawirosetoto, (2002), Desentralisasi Fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assign-ment). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik (public goods/public service). Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-undang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 efektif dimulai pada tahun anggaran 2001 (Januari 2001). Dari sisi keuangan negara pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi pada perubahan pengelolaan fiskal yang mendasar.

Kebijakan desentralisasi memiliki landasan hukum yang kuat dan dimuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, yang


(13)

memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa Negara Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administratif. Implementasi dari amanat UUD tersebut direalisasikan dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Jika dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 diatur bahwa yang disebut pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD sehingga kedudukan DPRD sebagai lembaga eksekutif, maka di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, secara tegas menetapkan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif daerah yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah selaku badan eksekutif daerah yang terdiri dari kepala daerah beserta perangkat daerah. Sedangkan pada Undang-Undang pemerintahan daerah yang terbaru yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah (bukan lembaga legislatif daerah). Seiring dengan perkembangan sosial ekonomi dan dari berbagai pengalaman pelaksanaan pembangunan selama hampir 30 tahun, dirasakan implementasi UU Nomor 5 Tahun 1974 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan wilayah, dengan puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi yang diiringi dengan adanya tuntutan reformasi di segala bidang


(14)

termasuk di dalamnya tuntutan desentralisasi/otonomi. Dalam rangka merespon aspirasi tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Dalam Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang meliputi: kebijakan tentang

perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga

perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pemberdayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Selanjutnya pada pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Sedangkan pada pasal 11 ayat 2, disebutkan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,

perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.


(15)

Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dalam rangka desentralisasi fiskal berarti bahwa kepada daerah diberikan wewenang untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dengan demikian proporsi antara pemberian wewenang terhadap tugas, tanggungjawab dan pemberian wewenang dalam pengelolaan keuangan untuk mendukung wewenang, tugas dan tanggungjawab tersebut hendaknya berimbang.

Setelah dikeluarkannya undang-undang yang menjadi landasan pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka disusun perundangan di bawahnya yang

berimplementasi di lapangan, yaitu dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Banyak lagi aturan hukum dan perundangan yang mendukung pelaksanaan desentralisasi yang bersifat sektoral, seperti perpajakan, pendidikan, bagi hasil SDA dan lain sebagainya.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 direvisi menjadi Undang-Undang No.32 dan 33 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang tersebut penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu pada Undang-Undang tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan


(16)

Pemerintah Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah (penjelasan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Daerah diberikan hak untuk

mendapatkan sumber-sumber keuangan antara lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan (penjelasan atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).

Desentralisasi fiskal bertujuan untuk membantu meningkatkan alokasi nasional dan efesiensi operasional pemerintah daerah, memenuhi aspirasi daerah,

memperbaiki struktur fiskal secara keseluruhan, dan mobilisasi pendapatan daerah dan nasional, meningkatkan akuntabilitas , transparasi, dan

mengembangkan partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah, mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah daerah, memastikan pelayanan dasar masyarakat diseluruh indonesia, dan mendukung

kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro (Abimanyu, 2008). Menurut Suparmoko, (2002), tujuan dari Desentralisasi Fiskal adalah

mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah, peningkatan


(17)

Dari beberapa pendapat tesebut, dapat disimpulkan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi daerah yang seluas luasnya, nyata, dan bertanggung jawab serta yang dapat diarahkan kepada pengelolaan kemampuan daerah tersebut untuk mewujudkan perekonomian yang baik dan stabil serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Rindayati, (2009), Desentralisasi fiskal memberi ekstensi kebebasan berinovasi dan

berkreasi kepada pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya sebagai pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengelola anggaran pendapatan belanja daerah baik dari sisi peneriman maupun

pengeluaran untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan tingkat kemiskinan di daerahnya. Kaitan desentralisasi fiskal dengan ketahanan pangan dan kemiskinan dapat dijelaskan dari beberapa teori sebagaimana yang dikatakan oleh Ebel and Yilmaz, (2002), bahwa desentralisasi fiskal membuat pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah yang terpusat agar tercipta sebuah kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya, banyak daerah di Indonesia mengeluhkan kurangnya

kemampuan fiskal dalam membiayai kebutuhan fiskal daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) dalam sistem perimbangan keuangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pada pasal 27 ayat 3 yang menegaskan bahwa DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal (fiscal gap), dimana celah fiskal (fiscal gap) merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal


(18)

daerah. Menurut Syahelmi, (2008), kebutuhan dana untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan daerah secara optimal dapat diperoleh dari sumber yang dimiliki. Kebutuhan dana untuk menjalankan tugas pemerintahan dikenal sebagai kebutuhan fiskal (fiscal need). Sedangkan dana yang dapat diperoleh dari

sumber-sumber yang dimiliki dan dilimpahkan kepada unit pemerintah tersebut dalam pengertian akademis disebut sebagai kapasitas fiskal (fiscal capacity). Menurut Badan Pusat Statistik, Tingkat kemiskinan Provinsi Lampung tertinggi ke dua (2) se-Sumatera dan peringkat ke 18 tertinggi se Indonesia. Pada tahun 2011, tingkat kemiskinan di provinsi Lampung sebesar 16,70% masih jauh diatas angka kemiskinan nasional yang hanya sebesar 11,66%. Untuk wilayah

Sumatera, tingkat kemiskinan di Lampung masih jauh di atas provinsi yang lain, seperti terlihat pada gambar berikut:


(19)

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2011

Gambar 1. Persentase Tingkat Kemiskinan di Pulau Sumatera (%) Pada Gambar 1, terdapat 5 propinsi di Sumatera yang tingkat kemiskinannya diatas angka kemiskinan nasional sebesar 11,66% yaitu Aceh (18,89%),

Bengkulu (15,47%), Lampung (16,70%), Sumatera Selatan (13,83%). Sementara itu 5 provinsi di Sumatera yang tingkat kemiskinannya di bawah 11,66% adalah Jambi (6,50%), Riau (7,60%), Sumatera Barat (8,84%), Kepulauan Riau

(7,41%), Sumatera Utara (10,02%) dan Bangka Belitung (5,40%). Sungguh disayangkan jika dilihat bahwa Provinsi Lampung yang terletak di pintu gerbang pulau Sumatera dan dekat dengan pusat kekuasaan seharusnya menjadi sebuah provinsi yang berkembang dan maju di segala bidang, termasuk kesejahteraan masyarakatnya.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Tingkat Kemiskinan di Pulau Sumatera (%)

Tingkat Kemiskinan di Pulau Sumatera (%)


(20)

Wilayah Provinsi Lampung berada di ujung selatan Pulau Sumatera, sehingga secara geografis letaknya cukup strategis jika dikaitkan dengan kegiatan ekonomi di Jawa dan Sumatera. Luas wilayahnya sekitar 7,3% dari luas wilayah Pulau Sumatera, termasuk di dalamnya sekitar 62 buah pulau besar dan kecil. Secara administratif Propinsi Lampung saat ini terbagi atas 12 kabupaten dan 2 kota. Pelaksaanaan Otonomi dengan pelimpahan kewenangan dan personil yang lebih besar ke daerah, pemerintah pusat menyediakan dana alokasi umum (DAU) yang pada umumnya lebih besar dibandingkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun-tahun sebelumnya. Pengalokasian DAU sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah. Dalam kenyataannya DAU yang diterima dinilai kurang dibandingkan kebutuhan untuk dapat mengelola dengan baik kewenangan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain kekurangan dana, aparat daerah yang selama lebih dari tiga dekade

terbiasa menerima “instruksi” dari pusat masih memerlukan waktu untuk

beradaptasi dengan sistem administrasi pemerintahan yang baru ini. Tujuan akhir dari desentralisasi dan otonomi daerah yaitu peningkatan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat.

Idealnya, desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat karena jalur birokrasi pelayanan lebih dekat, sehingga masyarakat dapat lebih mudah mengakses pelayanan pemerintah, terutama pelayanan pemerintah daerah (pemda). Pengukuran dampak


(21)

dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan tersebut melalui indikator-indikator terukur tertentu. Salah satu aspek yang dapat diukur adalah tingkat kemiskinan yang ada di wilayah tersebut, sebagai penilaian kinerja pemerintah daerah dalam mensejahterakan masyarakat. Selain itu pertumbuhan ekonomi regional juga perlu untuk diamati setelah terjadinya otonomi daerah di Provinsi Lampung. Upaya pertumbuhan ekonomi regional akan memunculkan sisi lain yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah. Sisi tersebut adalah permasalahan-permasalahan dimana dianggap sebagai akibat adanya ketimpangan pendapatan antara daerah-daerah yang dapat menimbulkan ketimpangan sosial antara daerah-daerah di Indonesia salah satunya yaitu kemiskinan (Sebayang, 2008).

Kemiskinan seringkali dipahami sebagai gejala rendahnya tingkat kesejahteraan semata padahal kemiskinan merupakan gejala yang bersifat kompleks dan multidimensi. Rendahnya tingkat kehidupan yang sering sebagai alat ukur

kemiskinan hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari munculnya lingkaran kemiskinan. Kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu hal yang absolut dan juga relatif. Banyak tokoh, peneliti, badan resmi pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai pendapat tersendiri dalam memandang masalah kemiskinan ini.Menurut Lipsey et all, (1997), kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketiadaan makanan dalam jumlah minimum, rumah, dan pakaian yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. Berikut ini adalah grafik


(22)

persentase jumlah penduduk miskin 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 2007-2011 :

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2007 - 2011 Gambar 2. Grafik persentase jumlah penduduk miskin 10

Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 2007-2011 ( % )

Berdasarkan Gambar 2 tersebut, dapat dilihat bahwa persentase jumlah penduduk miskin 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung pada tahun 2007 masih cukup besar, dimana Kabupaten Lampung Utara merupakan yang tertinggi dengan persentase sebesar (32,16%), Lampung Timur (27,21%), Lampung Selatan (26,84%), sedangkan persentase jumlah penduduk miskin terendah yaitu di Kabupaten Tulang Bawang (13,03%), Kota Metro (11,53%) dan Kota Bandar Lampung (9,44%). Badan Pusat Stastitika Lampung tahun 2011 menyebutkan, Lampung kini menjadi provinsi termiskin kedua di Indonesia bagian barat

5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

2007 2008 2009 2010 2011

Lampung Barat Lampung Selatan lampung utara Lampung Tengah Lampung Timur Tanggamus Tulang Bawang Waykanan Bandar Lampung Metro


(23)

setelah Nanggroe Aceh Darussalam. Keadaan ini menjadi hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah dalam penanganannya, karena bila dilihat dari letak geografis dan kekayaan alam, lampung mampu untuk menjadi salah satu provinsi yang maju dan memiliki tingkat pendapatan perkapita yang baik. Tingkat kemiskinan di provinsi Lampung membuat pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan terlebih dahulu perlu diketahui faktor-faktor apa yang yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang efektif untuk menurunkan angka kemiskinan di Lampung. Sedangkan, dari segi penerimaan daerah Provinsi Lampung bisa dilihat dari Pendapatan Asli Daerah sebagai indikator untuk melihat kinerja pembangunan daerah. Berikut ini adalah tabel penerimaan 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung dari Kapasitas Fiskal daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 2007-2011 :


(24)

Tabel 1. Tabel Kapasitas Fiskal 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung 2007 – 2011

Sumber: Data diolah

Tabel 1 tersebut, menunjukkan tentang kapasitas fiskal yang diperoleh pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, dimana dari tahun 2007-2011 mengalami fluktuasi, dan terjadi ketimpangan kapasitas fiskal antar kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. kapasitas fiskal daerah yang beragam di 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Hanya ada 2 kota yang memiliki kapasitas fiscal yang cukup dikatakan lebih besar dari 10 persen yakni kota Bandar lampung dan Kota Metro selama periode 2007-2011 rata-rata pencapaian kapasitas fiscal kedua daerah ini masing-masing 15.67 persen dan 12.03 persen. Daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tergolong sangat rendah yakni kabupaten tanggamus misalnya, hanya memiliki kapasitas fiskal kurang dari 10 persen dengan rata-rata 3.50 persen. Sedangkan kabupaten lain seperti lampung utara ,lampung tengah, lampung barat dengan rata-rata 4.50 persen. Kabupaten lampung timur rata-rata 5.28 persen dan kabupaten waykanan

DAERAH 2007 2008 2009 2010 2011

Rata-Rata per kbupaten Lampung Barat 5,79 3,72 3,52 4,87 5,72 4,73 Lampung Selatan 5,23 4,44 6,00 7,85 12,02 7,10 Lampung Tengah 2,49 4,52 3,69 4,66 5,95 4,26 Lampung Utara 5,29 4,63 3,07 2,81 5,22 4,20 Lampung Timur 7,95 6,76 3,90 3,40 4,40 5,28 Tanggamus 3,32 3,22 2,40 3,09 5,51 3,50 Tulang Bawang 7,07 3,33 3,23 18,25 6,93 7,76 Way Kanan 6,77 7,60 5,39 3,13 3,02 5,18 Kota Bandar Lampung 13,09 16,27 14,10 13,35 21,55 15,67 Kota Metro 11,85 11,98 9,95 11,05 15,03 12,03


(25)

5.18 persen. Sedangkan kabupaten yang hampir mencapai kapasitas fiskal 10 persen hanya kabupaten lampung selatan dengan rata-rata 7.10 persen dan tulang bawang 7.76 persen. Sembayang (2008) menjelaskan bahwa kapasitas fiskal yang dimiliki daerah dengan rata-rata pencapaian 100 persen adalah daerah ini

yang memiliki “surplus” untuk mendanai belanja rutin dan sudah mampu

membiaya belanja rutin dari PAD.

Hal ini menunjukkan belum optimalnya pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam menggali potensi ekonomi yang dimiliki daerah. Kenaikan laju pertumbuhan PAD ini dapat meningkatkan aktifitas ekonomi serta dapat memberikan pengaruh terhadap pengurangan tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk

melaksanakan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 10 Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu:

1. Bagaimanakah pengaruh desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung?

2. Bagaimanakah pengaruh PDRB terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung?


(26)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

2. Untuk menganalisis pengaruh PDRB terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai bahan informasi maupun bahan pertimbangan berbagai pihak antara lain :

1. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota

Sebagaimana bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung dalam menyikapi fenomena yang berkembang sehubung dengan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

2. Bagi Peneliti

Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam mengembangkan dan memperluas penelitian.


(27)

3. Bagi Pembaca

Sebagai bahan masukan dalam menambah dan mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan.

E. Kerangka Pemikiran

Pelaksanaan desentralisasi fiskal (yang dimulai per 1 Januari 2001) dipandang banyak pengamat sebagai pendekatan bing-bang dikarenakan secara radikal mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah (Kuncoro 2004) dengan jangka waktu persiapan yang sangat pendek untuk negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro 2003). Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan pengalokasian anggaran belanja bagi daerah, baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana alokasi khusus diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional. Kebijakan dimaksud lebih diarahkan untuk memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan, serta meningkatkan akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas kinerja pemerintah daerah (Mardiasmo,2002 ; Sidik,2002).

Gambaran awal ini menunjukkan bahwa potensi fiskal pemda dalam menghadapi desentralisasi fiskal bisa jadi sangat beragam antar satu daerah dengan daerah yang lain (dengan kata lain terjadi kesenjangan fiskal secara horizontal). Perbedaan ini pada gilirannya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang beragam pula. Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah pusat menetapkan


(28)

kebijakan alokasi transfer (dhi Dana Alokasi Umum / DAU) yang berbeda

berdasarkan kapasitas fiskalnya. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah akan memperoleh alokasi dana yang lebih besar daripada daerah yang kapasitas fiskalnya lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan Brodjonegoro dan Vasques (2002), menunjukkan bahwa distribusi alokasi DAU secara signifikan

menurunkan disparitas penerimaan per kapita. Namun demikian, harus dipahami bahwa pemberian DAU ditujukan mengatasi persoalan kesenjangan fiskal (ketersediaan sumber daya), artinya pemberian DAU ini hanya untuk mengatasi kesenjangan dari sisi inputnya. Kesenjangan dari sisi output (yang ditunjukkan dengan naiknya pertumbuhan ekonomi) akan sangat bergantung pada kapabilitas daerah dalam mengelola sumber-sumber daya secara efisien dan efektif

khususnya pada sektor produktif. Dilihat dari pendekatan sistemik, ada kemungkinan terjadi perbedaan proses (pengelolaan) yang memungkinkan terjadinya perbedaan pertumbuhan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal, bisa jadi menimbulkan perbedaan orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemda lebih menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang justru menjadi perhatian pemerintah pusat (Rafinus, 2001).

Akibatnya pemda akan lebih banyak terkonsentrasi pada permasalahan alokasi daripada permasalahan stabilisasi (perekonomian). Dengan kata lain upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil menjadi terabaikan dikarenakan adanya persoalan keterbatasan (keuangan). Pengalaman dan


(29)

kapabilitas pemda dalam pengelolaan keuangan menjadi faktor penting dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut secara simultan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia memberi wacana baru bagi upaya daerah untuk mengembangkan wilayahnya. Salah satu variabel yang diharapkan untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah adalah dana alokasi umum. Dana alokasi khusus merupakan dana yang berasal dari APBN, yang

dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus, yang meliputi: kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU seperti kebutuhan di kawasan transmigrasi, investasi baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil dan lain sebagainya serta kebutuhan yang merupakan

komitmen atau prioritas nasional, termasuk di dalamnya adalah kegiatan penghijauan dan reboisasi.

Pertimbangan atau alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah antara lain adalah untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal dan untuk mengatasi ketimpangan horisontal antar-daerah. Adanya perbedaan potensi (fiscal capacity) yang dimiliki antar-daerah di Indonesia, sudah bisa menjadi alasan untuk terjadinya kecemburuan dan ketimpangan pertumbuhan antar-daerah. Apalagi jika kebutuhan (fiscal needs) lebih besar daripada potensi yang dimiliki masing-masing daerah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan fiskal (fiscal gap). Kesenjangan fiskal inilah yang akan menyebabkan perbedaan pendapatan yang cenderung meningkatkan jumlah kemiskinan (Sebayang, 2008).


(30)

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diduga Kapasitas fiskal berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. 2. Diduga PDRB berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.

3. Diduga Kapasitas fiskal dan PDRB berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.

Desentralisasi Fiskal (kapasitas fiskal)

PDRB

Celah Fiskal Ketimpangan Pendapatan

(Kemiskinan)

Gambar 3. Kerangka pemikiran

Transfer Daerah (DAU)


(31)

II. KAJIAN PUSTAKA

A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

1. Pengertian Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ditandai dengan

diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang ”Pemerintah Daerah” dan UU

No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah yang kemudian keduanya disempurnakan menjadi UU No32 tahun 2004 dan UU No33 tahun 2004. Menurut UU No 32/2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(32)

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam konteks kegiatan ini, pengertian kewenangan daerah propinsi dan kabupaten/kota mengacu pada UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: (a) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; (b) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (c) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (d) Penyediaan sarana dan prasarana umum; (e) Penanganan bidang kesehatan; (f) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (g) Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (h) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (i) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (j) Pengendalian lingkungan hidup; (k) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (l) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (m) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; (n) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (o) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat


(33)

dilaksanakan oleh kabupaten/kota; (p) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Faktor yang harus diperhatikan dalam desentralisasi fiskal adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas Fiskal (PAD, PDRB)

2. Kebutuhan Fiskal (Pengeluaran Rutin/Pembangunan dan Penyediaan barang publik)

Asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.33 tahun 2004 dibagi menjadi tiga, yaitu : desentralisasi,

dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah

penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.

Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat (Kusaini 2006: 29)


(34)

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa

konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui pelimpahan sebagian wewenang

pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah (Bahl,2000:19).

Bahwa desentralisasi harus memacu adanya persaingan di antara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must bea champion for fiscal decentralization). Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang semakin besar meningkatkan

kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat dalam pemerintahan dan lain-lain (Bahl 2000:25-26).

Pemberian otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal terkandung tiga misi utama,yaitu:


(35)

b) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta

(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas urgensi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1) Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern, yang lebih menekankan upaya memajukan kesejahteraan umum (welfarestate).

2) Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara sebagai organisasi, kekuasaan yang didalamnya terdapat lingkungan

kekuasaan baik pada tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari hal itu, perlu pemencaran kekuasaan (dispersed of power).

3) Dari perspektif manajemen pemerintahan negara modern, adanya

kewenangan yang diberikan kepada daerah, yaitu berupa keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum. Otonomi daerah yang sudah berjalan lebih dari lima tahun di negara kita

diharapkan bukan hanya pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk menggeser kekuasaan. bahwa otonomi daerah harus didefinisikan sebagai


(36)

wilayah/teritorial tertentu di tingkat lokal. Otonomi daerah bukan hanya

merupakan pelimpahan wewenang tetapi juga peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Berbagai manfaat dan argumen yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah tidak langsung dapat dianggap bahwa otonomi adalah sistem yang terbaik. Berbagai kelemahan masih menyertai pelaksanaan otonomi yang harus diwaspadai dalam pelaksanaanya (Kaloh 2002: 7).

Prud’homme (1995), mencatat beberapa kelemahan dan dilema dalam otonomi

daerah, antara lain:

a. Menciptakan kesenjangan antara daerah kaya dengan daerah miskin. b. Mengancam stabilisasi ekonomi akibat tidak efisiennya kebijakan ekonomi

makro, seperti kebijakan fiskal.

c. Mengurangi efisiensi akibat kurang representatifnya lembaga perwakilan rakyat dengan indikator masih lemahnya public hearing.

d. Perluasan jaringan korupsi dari pusat menuju daerah.

Secara umum konsep desentralisasi pada dasarnya terdapat empat jenis desentralisasi (Sidik, 2002), yaitu:

1) Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada warga Negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik.

2) Desentralisasi administratif (administrative decentralization), yaitu


(37)

dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik,

terutama yang menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparat di daerah, badan otoritas tertentu atau perusahaan tertentu.

3) Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup:

a. Self-financing atau cost recorvery dalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah.

b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.

c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat, serta pinjaman daerah (sumber daya alam)

4) Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar.

Keempat jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat


(38)

dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi

merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan

desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian kewenangan dibidang keuangan.

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Desentralisasi fiskal tidak bisa diadopsi begitu saja, namun di sesuaikan dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan, kondisi-kondisi lembaga, politik, dan ekonomi yang melekat pada negara itu Desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan

peningkatan mobilisasi dana. Desentralisasi fiskal tidak bisa diadopsi begitu saja, namun di sesuaikan dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan, kondisi-kondisi lembaga, politik, dan ekonomi yang melekat pada negara itu (Bahl, 2000:19).


(39)

B. Kapasitas Fiskal

1. Pengertian Kapasitas Fiskal

Definisi kapasitas fiskal menurut peraturan menteri keuangan nomor 224/PMK.07/2008 adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, pinjaman lama dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.

Pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masyarakat secara cepat, baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Adanya desentralisasi dan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengalokasikan sejumlah besar anggaran pembangunan untuk membiayai program-program yang terkait dengan pengurangan

kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Diterbitkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang tersebut otonomi diberikan kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kondisi ini mendorong upaya


(40)

partisipasi masyarakat yang akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintah lainnya dan akhirnya menyebabkan orientasi pemerintah pada tuntutan dan pelayanan publik.

Desentralisasi fiskal diyakini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena adanya kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila diatur langsung oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, kecenderungan tersebut masih belum nampak. Hal ini disebabkan sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespons desentralisasi fiskal dengan menggenjot PAD melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi dengen peningkatan efektivitas pengeluaran APBD serta dampaknya terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam implementasi

Otonomi Daerah. Peraturan Pemerintah ini telah mendorong daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan pengelolaan

keuangan daerah. Dengan manajemen keuangan daerah yang sehat diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan akan lebih terukur. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena

merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya penyelenggaraan pemerintah yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance).


(41)

Undang-undang No.32 Tahun 2004 menerangkan bahwa pemerintahan kabupaten/kota memiliki urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota yang terdiri dari perencanaan dan pengendalian

pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan lainnya yang bersifat meliputi urusan pemerintahan secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Pemerintah daerah membuat perencanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk mendukung urusan-urusan pemerintah di atas. APBD merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi struktur yang mendukungnya.

Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam sebuah rentang waktu tertentu dimasa yang akan datang serta realisasinya di masa lalu (Franciari 2012).


(42)

Kapasitas fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Dalam penelitian ini kapasitas fiskal diukur dengan :

Dimana :

PAD = Pendapatan Asli Daerah

Belanja Rutin = Belanja yang ditunjukkan untuk membiayai kegiatan rutin pelaksanaan pemerintahan, meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga dan cicilan utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainya.

2. Komponen Kapasitas Fiskal a. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah merupakan salah satu bagian dari pendapatan daerah. Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendapatan derah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan dalam periode tahun bersangkutan. Sementara defenisi pendapatan asli daerah menurut ketentuan Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah, Pendapatan asli daerah adalah pendapatan


(43)

yang diperoleh yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengertian tersebut dalam pengertian pendapatan asli daerah antara lain :

1. Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber wilayah sendiri.

2. Dipungut berdasarkan peraturan daerah.

3. Peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan dari PAD ialah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi/kapasitas daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Sedangkan, tujuan otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian daerah disegala segi kehidupan, yang diukur melalui elemen PAD. Dengan adanya otonomi ini diharapkan semua daerah di Indonesia, mampu melaksanakan segala urusan pemerintahan dan pembangunan dengan bertumpu pada PAD yang dimilikinya.

Pasal Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan sumber-sumber pendapatan asli daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.


(44)

b. Belanja Daerah

Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka

mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Sedangkan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya. Menurut Indra Bastian dan Gatot

Soepriyanto (2002), mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva / ekuitas neto, selain dari


(45)

yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah seluruh pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode dalam penganggaran, untuk melaksanakan sebuah kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab dari pemerintah daerah kepada masyarakat dan pemerintah pusat.

Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 31 ayat (1), Belanja daerah dikelompokkan ke dalam:

a. Belanja Langsung

b. Belanja Tidak Langsung (Belanja Rutin)

Belanja Tidak Langsung (Rutin) adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi penmerintah. Disebut "rutin" karena sifat pengeluaran tersebut berulang-ulang ada setiap tahun (Wikipedia). Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa Belanja Tidak Langsung yaitu belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jenis Belanja Tidak Langsung dapat berupa Belanja Pegawai/Personalia, Belanja Barang/Jasa. Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan Dinas. Keberadaan Anggaran Belanja Tidak Langsung bukan merupakan konsekuensi dan atau tiada suatu program atau kegiatan. Belanja Tidak Langsung digunakan secara periodik (umumnya bulanan) dalam rangka koordinasi penyelenggaraan kewenangan pemerintah Daerah yang bersifat umum.


(46)

Sedangkan Menurut Seotrisno, (1982:339), Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tak terduga. C. Kemiskinan

1. Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global, sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merunjuk kepada negara-negara yang “miskin” (Criswardani Suryawati,2005:18) Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup : 1) Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan

sehari –hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.


(47)

2) Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilkan sosial,

ketergantungan, dan ketidakmapuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilkan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral , dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

3) Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai

makna”memadai” disini sangat berbeda-beda melintas bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

BAPPENAS (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan ini ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan yang seakan-akan tidk dapat diubah yang tercermin di dalam lemahnya kemauan tetap untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktifitas, terbatasnya modal yang dimiliki berpartisipasi dalam pembangunan.

Mengamati secara mendalam tentang kemiskinan dan penyebabnya akan muncul berbagai tipologi dan dimensi kemiskinan karena kemiskinan itu sendiri

multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan dilihat dari berbagai sudut pandang. Kemiskinan dibagi dalam dua kriteria yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan realtif . Kemiskinan absolut


(48)

adalah kemiskinan yang diukur dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan kemiskinan realtif adalah penduduk yang telah memiliki pendapatan sudah mencapai kebutuhan dasar namun jauh lebih rendah dibanding keadaan masyrakat sekitarnya. Kemiskinan menurut tingkatan kemiskinan adalah kemiskinan sementara dan kemiskinan kronis.

Kemiskinan sementara yaitu kemiskinan yang terjadi sebabnya adanya bencana alam dan kemiskinan kronis yaitu kemiskinan yang terjadi pada mereka yang kekurangan keterampilan, aset, dan stamina (Aisyah, 2001:151). Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2000: 107) sebagai berikut:

1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah.

2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktifitas juga rendah, upahnya pun rendah.

3. Kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal.

Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) akibat adanya keterbelakangan , ketidaksempurnaan pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya


(49)

produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir yang dikemukakan Nurkse yang dikutip Kuncoro (2000:7).

Teori “Lingkaran Setan Kemiskinan”,terjemahan dari “Vicius Sircle Of Poverty”

yaitu konsep yang mengadaikan suatu konstellasi yang melingkar dari daya-daya yang cenderung beraksi dan beraksi satu sama lain secara demikian rupa

sehingga menempatkan suatu negara miskin terus menerus dalam suasana kemiskinan. Teori itu menjelaskan sebab-sebab kemiskinan dinegara-negara sedang berkembang yang umunya baru merdeka dari penjajahan asing. Bertolak dari teori inilah, kemudian dikembangkan teori-teori ekonomi pembangunan, yaitu teori yang telah dikembangkan lebih dahulu di Eropa Barat yang menjadi cara pandang atau paradigma untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah ekonomi di negara-negara sedang berkembang, misalnya India atau Indonesia.

Pada hasilnya teori itu mengatakan bahwa negara-negara sedang berkembang itu miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah. Karena rendah

produktivitasnya, maka penghasilan seseorang juga rendah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya yang minim. Karena itulah mereka tidak bisa menabung, padahal tabungan adalah sumber utama pembentukan modal masyarakat sehingga capitalnya tidak efesien (boros). Untuk bisa


(50)

membangun, maka lingkaran setan itu harus diputus, yaitu pada titik lingkaran rendahnya produktivitasnya, sebagai sebab awal dan pokok. Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan dari sisi demand yaitu dengan meningkatkan pendapatnya. Hal ini akan berdampak kepada perimintaan meningkat dan investasi juga meningkat maka modal menjadi efisien. Dengan demikian produktifitas dapat meningkat.

2. Macam-macam Kemiskinan

Sumodiningrat (1989:65) mengemukakan bahwa kemiskinan memiliki beberapa macam yaitu adalah sebagai berikut:

1. Kemiskinan absolut: apabila tingkat pendapatanya di bawah “garis

kemiskinan” atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. 2. Kemiskinan relatif: kondisi dimana pendapatanya berada pada posisi di atas

garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyrakat sekitarnya.

3. Kemiskinan kultural: karena mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau masyrakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.


(51)

4. Kemsikinan struktural: kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga

menyebabkan ketimpangan. 3. Garis Kemiskinan

Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan yang dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatau negara. Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum masyarakat mengenai garis kemiskinan (dan juga defenisi kemiskinan) lebih tinggi di negara maju dari pada di negara berkembang (Debraj Ray, 1998:37). Hampir setiap masyarakat memiliki rakyat hidup dalam kemiskinan. Garis kemiskinan berguna sebagai perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur rakyat miskin dan mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi, misalnya seperti program peningkatan kesejahteraan dan asuransi pengangguran untuk menanggulangi kemiskinan.

4. Konsep Kemiskinan

Kemiskinan merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra

multidimensional. Ellis (1984:242-245), misalnya, menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan


(52)

tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasrkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut.

Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari yang disertarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh kemiskinan absolut. Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan

menggunakan sumberdaya.

Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan sturtur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan

kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal.


(53)

Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya

pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural

poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat dimuncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dsb. Sedangkan, faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan

“ketidakmauan” simiskin untuk bekerja (malas), melainkan karena

ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefiniskan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia.

D. Teori Modernisasi: Pembangunan sebagai masalah internal dalam Kemiskinan

Menurut Michael Todaro dalam bukunya Pembangunan Ekonomi Dunia ke Tiga (2011), teori ini menjelaskan bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negara yang bersangkutan. Ada banyak variasi dan teori yang tergabung dalam kelompok teori ini antara lain adalah:


(54)

1) Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi. Teori ini biasanya dikembangkan oleh para ekonom. Pelopor teori antara lain Roy Harrod dan Evsay Domar yang secara terpisah berkarya namun menghasilkan kesimpulan sama yakni: pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi.

2) Teori yang menekankan aspek psikologi individu. Tokohnya adalah

McClelaw dengan konsepnya The Need For Achievment dengan symbol n. ach, yakni kebutuhan atau dorongan berprestasi, dimana mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan n.ach yang tinggi. Cara pembentukanya melalui pendidikan individu ketika seseorang masih kanak-kanak di lingkungan keluarga.

3) Teori yang menekankan nilai-nilai budaya mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Satu masalah pembangunan bagi Max Weber (tokoh teori ini) adalah tentang peranan agaman sebagai faktor penyebab munculnya kapitalisme di Eropa barat dan Amerika Serikat. Bagi Weber penyebab utama dari semua itu adalah etika protestan yang dikembangkan oleh Calvin.

4) Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas dimulai. Bagi W.W Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus dari masyarakat terbelakang ke masyarakat niaga. Tahap-tahapanya adalah sbb:


(55)

a) Masyarakat tradisional = belum banyak menguasai ilmu pengetahuan. b) Pra-kondisi untuk lepas landas= masyarakat tradisional terus bergerak walaupun sangat lambat dan pada suatu titik akan mencapai posisi pra-kondisi untuk lepas landas.

c) Lepas landas : ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi.

d) Jaman konsumsi massal yang tinggi. Pada titik ini pembangunan merupakan proses berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus-menerus.

5) Teori yang menekankan lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan. Tokohnya Bert E Hoselitz yang membahas faktor-faktor non-ekonomi yang ditinggalkan oleh W.W Rostow. Hoselitz menekankan lembaga-lembaga kongkrit. Baginya, lembaga-lembaga politik dan sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis, tenaga swasta dan tenaga teknologi.

6) Teori ini menekankan lingkungan material. Dalam hal ini lingkungan

pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun. Tokohnya adalah Alex Inkeler dan David H. Smith.


(56)

E. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan total keselurahan dari nilai tambah yang ditimbul akibat adanya aktivitas ekonomi di suatu daerah. Data PDRB menggambarkan potensi sekaligus kemampuan suatu daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki dalam suatu proses produksi, sehingga PDRB yang dihasilkan oleh suatu daerah sangat tergantung pada potensi sumber daya alam dan faktor yang tersedia (sumber BadanPusatStatistik, 2012).

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dihitung melalui dua metode langsung dan metode tidak langsung :

Metode Langsung adalah metode penghitung dengan menggunakan data yang bersumber dari daerah. Metode langsung akan dapat memperlihatkan

karakteristik sosial ekonomi setiap daerah. Disamping itu manfaat pemakaian data daerah adalah dapat digunakan untuk menyempurnakan data statistik daerah yang lemah. Metode ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan yang berbeda, namun akan memberikan hasil penghitungan yang sama. Penghitungan PDRB secara langsung dapat dilakukan melalui tiga pendekatan sebagai berikut:

1. PDRB menurut pendekatan dari segi produksi,adalah mengitung nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan cara mengurangi output dari masing-masing sektor atau sub sektor dengan


(57)

biaya antaranya. Pendekatan ini bisa juga disebut pendekatan nilai tambah. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi (output) dan nilai biaya antara (intermediatecost), yaitu bahan baku atau penolong dari luar yang dipakai dalam proses produksi ( Tarigan 2004). Nilai yang ditambahkan ini sama dengan balas jasa faktor produksi atas ikut seratnya dalam proses produksi. Dalam prakteknya, produk ini di hitung berdasarkan sektor-sektor yang menghasilkannya, yaitu (Suherman Rosyidi,2006:107) :

a) Sektor Pertanian

b) Sektor Pertambangan dan Penggalian c) Sektor Industri Pengolahan

d) Sektor Listrik, Gas, dan Air bersih e) Sektor Bangunan

f) Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran g) Sektor Pengakutan dan Komunikasi

h) Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan i) Sektor Jasa-jasa

2. PDRB Menurut Pedekatan Pendepatan. Dalam pendekatan pendapatan ini, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi dihitung dengan jalan

menjumlahkan semua balas jasa faktor produksi yaitu upah dan gaji, surplus usaha,penyusutan dan pajak tidak lansung neto (BPS 2012). Untuk sektor pemerintahan dan usaha-usaha yang bersifatnya tidak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Yang termasuk dalam surplus usaha


(58)

adalah bunga,sewa tanah dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan ini banyak dipakai pada sektor yang produksinya berupa jasa seperti sektor pemerintahan.

3. PDRB menurut pendekatan pengeluaran. PDRB (Y) pendekatan pengeluaran adalah jumlah seluruh pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan

lembaga sawasta yang tidak mencari untung (C), konsumsi pemerintah (G), pembentukan modal tetap domestik bruto (I), perubahan stok dan ekspor netto di suatu wilayah (X-M). Jika dibuat persamaan sebagai berikut:

Y=C+I+G+(X-M)

Penghitungan PDRB melalui pendekatan ini dilakukan dengan bertitik tolak dari penggunaan akhir barang dan jasa yang dihasilkan di wilayah domestik (Badan Pusat Statistik 2012).

Metode Tidak Langsung adalah metode perhitungan dengan car alokasi yaitu mengalokir PDB Nasional menjadi PDRB provinsi dengan menggunakan beberapa indikator produksi dan atau indikator lainnya yang cocok sebagai alokator. Metode tidak langsung adalah menghitung PDRB provinsi dengan cara mengakolir angka Produk Domestik Bruto Indonesia untuk tiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu, alokator yang digunakan dapat berupa:

a. Nilai produk bruto atau neto setiap sektor b. Jumlah produksi fisik


(59)

d. Penduduk

e. Alokator lainnya yang sesuai.

Dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari beberapa alokator tersebut dapat diperhitungkan persentase atau bagian masing-masing provinsi untuk nilai tambah suatu sektor atau sub sektor. Produk Domestik Regional Bruto dapat disusun dalam dua versi, yaitu :

1) PDRB yang disusun bedasarkan harga konstan, semua agregat pendakatan dinilai atas dasar harga tetap, maka perkembangan agregat pendapatan dri tahun ke tahun semata-mata karena perkembangan produksi riil bukan karena kenaikan harga atau inflasi. Yang digunakan untuk penghitungan laju

pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun (tidak dipengaruhi inflasi).

2) PDRB disusun berdasarkan harga berlaku, hal ini digunakan untuk

mengitung pendapatan per kapita, yang merupakan indikator kesejahteraan ekonomi masyarakat, dimana semakin tinggi PDRB per kapita, maka

semakin makmur negara atau daerah yang bersangkutan (Faturrohmin 2011). F. Teori Erick Lindahl

Erik Lindahl, dalam (Mangkoesoebroto,1993) mengemukakan analisis yang mirip dengan teori yang dikemukakan oleh Bowen, hanya saja pembayaran masing-masing konsumen tidak dalam bentuk harga absolut akan tetapi berupa persentase dari total biaya penyediaan barang publik. Lindahl mengatakan


(60)

analisis yang didasarkan dengan kurva indiferens dengan anggran tetap yang terbatas (fixed budget constraints). Teori pengeluaran pemerintah yang dikemukakan oleh Lindahl adalah teori yang sangat berguna untuk membahas penyediaan barang publik yang optimum dan secara bersamaan juga membahas mengenai alokasi pembiayaan barang publik antar anggota masyarakat.

Kelemahan teori Lindahl adalah karena teori hanya membahas mengenai barang publik tanpa membahas mengenai penyediaan barang swasta yang dihasilkan oleh sektor swasta. Selain itu, kelemahan utama dari analisa Lindhal ini adalah penggunaan kurva indiferens. Sifat barang publik (tidak dapat dikecualikan) menyebabkan tidak ada seorang individu juga yang bersedia menunjukkan preferensinya terhadap barang publik. Kelemahan lainya terhadap teori Lindahl adalah bahwa teori tersebut hanya melihat penyediaan barang publik saja tanpa memperhitungkan jumlah barang swasta yang seharusnya di produksi agar masyarakat mencapai kesejahteraan optimal.

G. Kebijakan Fiskal

Kebijakan disuatu daerah bisa mempunyai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Suatu kebijakan publik mestinya lebih banyak diarahkan pada upaya pencapaian utilitas tertinggi dari masyarakat. Pada pelaksanaanya banyak sekali yang menjadi hambatan antara lain anggaran yang terbatas. Penerimaan suatu daerah malah seringkali tidak dapat menutup pos pengeluaran sekalipun belanja rutin.


(61)

Kebijakan fiskal diarahkan untuk mempertahankan kebelanjutan fiskal dan memberikan stimulus terbatas sesuai kemampuan keuangan negara maupun daerah. Kebijakan fiskal dilakukan melalui peningkatan pengelolaan penerimaan daerah antara lain dengan reformasi perpajakan, peningkatan efesiensi dan optimilisasi alokasi pengeluaran daerah, serta perbaikan pengelolaan anggaran. Dari sisi penerimaan, upaya peningkatan negara maupun daerah terutama dilakukan melalui peningkatan pajak. Dari sisi pengeluaran negara ataupun daerah, kemampuan pemerintah meningkatkan alokasi belanja negara untuk investasi masih terbatas mengingat masih besarnya kewajiban pemerintah dalam membayar bunga utang maupun penyediaan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kondisi ini menyebabkan rendahnya kemampuan negara dan daerah untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat.

Oleh sebab itu, realokasi anggaran pemerintah untuk meningkatkan belanja investasi seperti pendidikan, kesehatan, infrastuktur, dan bantuan sosial

mendesak dilakukan agar kebijakan pengeluaran negara dan daerah mendukung pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Langkah strategis dalam pengelolaan ekonomi makro dimasa depan adalah mempertahankan stabilitas ekonomi melalui pengendalian inflasi dan nilai tukar, dan kesinambungan fiskal, meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan investasi, peningkatan produktivitas, perluasan perdagangan, dan meningkatkan

pembangunan infrastuktur, memperluas kesempatan kerja melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan mengurangi


(62)

kesenjangan antar wilayah melalui percepatan pembangunan wilayah tertinggal dan terisolasi, wilayah perbatasan, wilayah pasca konflik dan wilayah pasca bencana alam.( BAPPENAS,2003)

H. Tinjauan Empiris

1. Lesta Karolina Sebayang (2008). Dalam penelitiannya yang berjudul keterkaitan desentralisasi fiskal sebagai politikal proses dengan tingkat

kemiskinan di Indonesia, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kapasitas fiskal daerah dengan adanya desentralisasi fiskal sebagai political process, dan

mengukur hubungan antara kapasitas fiskal yang dimilik daerah dengan tingkat kemiskinan.

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel data (pooling data) atau data longitudinal. Analisis dengan metode Generalized Least Square (GLS) dan model fixed effect dengan kapasitas fiskal diukur dengan rasio PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing propinsi.

Analisis Model Regresi Mengukur hubungan kapasitas fiskal sebagai variabel dependen dengan variabel-variabel independennya.Dengan menggunakan data panel.

Hasil dan Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Kapasitas fiskal masing-masing daerah berpengaruh pada tingkat kemiskinan. Berarti ketika kapasitas fiskal meningkat maka akan


(63)

menurunkan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masing-masing daerah juga kan mempengaruhi pengalokasian atau skal prioritas juga akan bervariasi.

2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh terhadap kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap kemiskinan.

3. Pemerintah daerah harus mampu meningkatkan kapasitas fiskal dan PDRB sebagai solusi untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

4. Adanya pelimpahan kewenangkan ke daerah berarti pemerintah harus mampu meningkatkan tanggung jawab terhadap tingkat kesejahteraan didaerah.

2. Hadi Sasana (2009). Dalam penelitiannya yang berjudul Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui bagaimana peran desentraliasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, PDRB, jumlah penduduk miskin, dan

kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah.

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah : penelitian menggunakan analisis jalur (path analysis), yang dikembangkan sebagai model untuk mempelajari pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari variabel eksogen terhadap variabel endogen.Penelitian menggunakan data populasi, di mana populasi, yaitu seluruh daerah kabupaten/ kota (29 kabupaten dan 6 kota) diProvinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan secara sensus dengan data sekunder berbentuk time series dari tahun 2001 sampai dengan 2005, dan data


(64)

cross section yang terdiri atas 35 kabupaten/kota, sehingga merupakan pooled the data yaitu gabungan antara data time series (tahun 2001-2005: 5 tahun) dengan data cross section 35 kabupaten/kota. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, dan instansi terkait lainnya.

Hasil dan Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah.

2. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap tenaga kerja terserap di kabupaten/kota di Jawa Tengah. 3. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan

yang negatif terhadap jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

4. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

5. Tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

6. Jumlah penduduk miskin berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Jawa Tengah.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Anggito. 2008. Kebijakan Fiskal Dalam Pembangunan Pro Rakyat. Jakarta: Departemen Keuangan.

Alisjabana, Armida S, 2000. The Implication of Fiscal Decentralization on Local Government Own Revenue Mobilization, Econmic Journal. Volume XV. Nomor 2, September 2000.

Bahl, Roy W. 2000. China: Evaluating the Impact of Intergovernmental Fiscal Reform dalam Fiscal Decentralization in Developing Countries. Edited by Richard M. Bird and Francois Vaillancourt, United Kingdom: Cambridge University Press.

Bahl, Roy W. and Sally Wallace. 2001. Fiscal Decentralization: The Provincial-Local Dimension. Fiscal Policy training Program 2001. Fiscal Decentralization Course. July 23-Agust, 2001. Atlanta- Georgia. World Bank Institute and Georgia State University, Andrew Young School of Policy Studies.

Brodjonegoro, Bambang dan Jorge Martinez-Vazquez. 2002. An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. Working Paper Volume 2, Nomor 13, May 2002. Georgia State University.


(2)

Brodjonegoro, Bambang PS. 2003. “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Daerah : Analisa Model Makro Ekonometrik Simultan”, Indonesian Joumal of Economics and Development, Volume 4, Nomor 1, Juli 2003. Hal. 17-37. Jakarta : FE UI

Ebel, R.D. dan S. Yilmaz. 2002. On The Measurement and Impact of Fiscal Decentralization. www.worldbank.org/decentralization

Faturrohmin, Rahmawati.2011. Pengaruh PDRB, Harapan Hidup dan Melek Huruf Terhadap Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah). Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Franciari, Purwiyanti Septina. 2012. Analisis Hubungan IPM, Kapasitas Fiskal dan Korupsi Terhadap Kemiskinan Di Indonesia (studi kasus 38 kabupaten/kota di Indonesia tahun 2008 dan 2010). Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Glasson, John. 1990. Pengantar Perencanaan Regional (Edisi Terjemahan). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Gujarati, Damodar N. (2003), Basic Econometrics, 4th Edition, Penerbit McGraw-Hill, Singapore.

Gunawan Sumodiningrat. 1989. Poverty in Indonesia: Concept, Fact and Policy Alleviation. Paper Presented at Indonesia’s New Order: Past, Present, Future, 4-8 Desember 1989, Canberra: The Australian national University.

Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.


(3)

Khusaini, Muhamad. 2006. Ekonomi Publik : Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, Malang : BPFEUnbraw.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.

Lipsey, Richard G. 1997. Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh. Agus Maulana [penerjemah]. Jakarta: Binarupa Aksara.

Mangkoesoebroto, Guritno. 1993. Ekonomi Publik. Edisi Ketiga. BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta.

Mudrajad Kuncoro. 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah, dan Kebijakan. Edisi Ketiga. Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Mudrajad, Kuncoro. 2000. Metode Kuantitatif, Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Murniasih, Erny. 2006. New Intergovernmental Equalisation Grant in Indonesia: A Panacea or A Plague for Achieving Horizontal Balance Across Regions. University of Birmingham, International Development Department.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Pemerintah PBB Antara Pusat dan Daerah.

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Prawirosetoto, Yuwonono. 2002. “Desentralisasi Fiskal di Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 Agustus, Jakarta : Unika Atmajaya.


(4)

Prud'homme, Remy. 1995. On the Danger of Decentralization. Washington D.C. The World Bank, Policy Research Working Paper, 1252.

Rafinus, Hamzar Bobby. 2001. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Ekonomi Makro. Majalah Perencanaan Pembangunan, Edisi 23.

Rindayati, Wiwiek. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Robert S.Pindyck and Daniel L.Rubinfeld. 1998. Econometric Model and Economic Forecasts, Irwin/McGraw-Hill

Sasana, Hadi. 2009. Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10, No.1, Juni, 2009, hal. 103 - 124

Sasana, Hadi. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2011, Hal. 46 – 58 Vol. 18, No. 1 ISSN: 1412-3126

Sebayang, Lesta Karolina. 2008. Keterkaitan Desentralisasi Fiskal Sebagai Political Prosess Dengan Tingkat Kemiskinan Di Indonesia . JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008.

Sidik, Machfud. 2001. Studi Empiris Desentralisasi Fiskal : Prinsip, Pelaksanaan di Berbagai Negara, serta Evaluasi Pelaksanaan Penyerahan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumentasi Sebagai Konsekuensi Kebijakan Pemerintah. Batam : Sidang Pleno X ISEI.


(5)

Sidik, Machfud. 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Makalah Seminar Setahun Implementasi Kebijakasanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

Simanjuntak, Robert. 2001. Decentralization and Local Autonomy. www.worldbank.org/wbi/publicfinance/document/ASEM/brodjonegoro. pdf.

Subiyantoro, Heru. 2004. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Badan Analisa Fiskal. Jakarta: Departemen Keuangan.

Suharyadi dan Purwanto. 2004. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan. Salemba Empat, Jakarta.

Suparmoko. 2002. “Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara dalam rangka Pelaksanaan Azas Desentralisasi Fiskal.”

Sumodiningrat, 1989, Poverty in Indonesia: Concept, Fact and Policy Alleviation,

Paper Presented at Indonesia’s New Order: Past, Present, Future, 4-8

Desember 1989, Canberra: The Australian national University

Syahelmi. 2008. Analisis Elastisitas, Efisiensi, dan Efektivitas PAD Sumatera Utara Dalam Era Otonomi Daerah. Tesis. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tim Badan Pusat Statistik, Data dan Informasi Kemiskinan berbagai tahun 2007-2011. Bandar Lampung: Badan Pusat Statistik.

Tim Badan Pusat Statistik, Lampung Dalam Angka 2007-2011. Bandar Lampung: Badan Pusat Statistik.


(6)

Tim Badan Pusat Statistik, PDRB Provinsi Lampung 2007-2011. Bandar Lampung : Badan Pusat Statistik.

Todaro, Michael. 2001. Pembangunan Ekonomi Dunia Ke tiga. Erlangga.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Yustika, Ahmad Erani, ed. 2008. Desentralisasi Ekonomi di Indonesia Kajian Teoritis dan Realitas Empiris. Malang: Bayumedia.

Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika : Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: Ekonisia