ANALISIS DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
EKONOMI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH By
ARMY AFTRASTYA ABSTRACT
This research is held based on the problem relating to the amount of grant, that was allocated for Central Lampung district, within period of 2001-2012. he purpose of this study was to analyze the effect of fiscal decentralization of grant components include sharing grant (DBH), general alocation grant (DAU), and special allocation grant (DAK) for Central Lampung growth economic. The data used in this study is a secondary data from the period 2001-2012.
Estimation teqnique to analyze the effect of fiscal decentralization on economic growth in central Lampung district , using the method of ordinary least squares ( OLS ). The analytical tool used eviews 6. The analysis showed that the variables DBH , and DAU give positive effect on Central Lampung economic growth in the period 2001-2012.
(2)
ANALISIS DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
OLEH : ARMY AFTRASTYA
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari permasalahan besarnya dana perimbangan yang diperoleh kabupaten lampung tengah dalam rentang waktu 2001-2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal yang berupa dana transfer ke daerah yang terdiri dari DBH, DAU dan DAK terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten lampung tengah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari periode 2001-2012. Teknis estimasi untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten lampung tengah, menggunakan metode ordinary least square (ols). Alat analisis yang digunakan eviews 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel DBH, dan DAU berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi lampung tengah pada periode 2001-2012.
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Penulis bernama Army Aftrastya dilahirkan di Kota Pringsewu pada tanggal 4
Mei 1992 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Sutrasno dan Ibu Sri Kiswati
Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis adalah Taman Kanak-Kanak Pertiwi
Gadingrejo (1997-1998), Sekolah Dasar Negeri 7 Gadingrejo (1998-2004),
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Gadingrejo (2004-2007), Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Gadingrejo (2007-2010). Kemudian pada tahun 2010
penulis terdaftar sebagai Mahasiswa di Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN.
Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan seminar di fakultas
sebagai peserta yaitu seminar nasional dengan tema “Perekonomian Indonesia
Menghadapi Ancaman Inflasi Dunia” yang diadakan oleh Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis pada tahun 2011. Pada tahun
2013 penulis mengikuti Kuliah Kunjung Lapangan (KKL) yang diadakan oleh
Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan (HIMEPA) di Bank Indonesia dan
(8)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk Allah SWTsebagai rasa syukur atas ridho serta
karunia-Nya sehingga skripsi ini telah terselesaikan dengan baik. Serta
RasulullahNabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman
kebodohan menuju zaman ilmu pengetahuan. Alhamdulillaahirabbil’ alamiin.
Ayahku Sutrasno(alm), Ibuku Sri Kiswati, S.Pd, dan Adikku Irvan Oki Caesario
yang paling kusayangi, terimakasih untuk segala do’a, semangat, dan dukungan kalian kepada ku,
Dosen dan sahabat yang selalu memberikan arahan dan dukungan agar saya
menjadi lebih baik lagi.
Almamater tercinta. Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung,
(9)
MOTO
“Kegagalan hanya terjadi jika kita menyerah” (Lessing)
“Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil, kita baru yakin jika kita berhasil melakukannya dengan baik”
(10)
SANWACANA Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Analisis Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten lampung Tengah” ini sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Ekonomi.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak terbantu dan didukung oleh
beberapa pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan ketulusan hati
penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung;
2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.Si., selaku Ketua dan Ibu Asih Murwiati,
S.E., M.E., selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampungyang membantu mengarahkan dan
memberikan saran;
3. Bapak Moneyzar Usman, S.E., M.Si., selaku Pembimbing I yang atas
kesediaannya untuk membantu meluangkan waktu memberikan bimbingan,
(11)
saran dalam proses penyelesaian skripsi;
5. Ibu Asih Murwiati, S.E., M.Si., selaku penguji utama yang telah membantu
mengarahkan penulis;
6. Bapak Nairobi, S.E., M.Si., selaku Pembimbing Akademik;
7. Kedua orangtuaku, Ayahanda Sutarsno(alm), dan Ibunda Sri Kiaswati,S.Pd
yang dengan sabarnya telah mendidik penulis, yang dengan keikhlasannya
selalu mendoakan, yang dengan segala kemampuannya selalu mengupayakan
membantu penulis hingga menjadi seperti sekarang;
8. Adikku, Irvan Oki Caesario yang selalu memberikan tawa dan canda, serta
memotivasi penulis sampai sekarang;
9. Untuk mas Rendra Wirawan dan seluruh keluarga besar ku terima kasih atas
doa dan dukungannya.
10. Sahabat dan teman terdekatku Danny Chandra, Devy Septi Heryani, A. Citra
Varika, Beni Purnama, Agus Wantoro, Ardan Rifa’i, Fischa Annisa terimakasih untuk semangat dan segala bantuan yang telah diberikan.
11. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2010 Tetik, Ridwan Amin, Dania,
Ajeng, Monica, Hana, Susanti,Erika, Yuli, Via, Lathifa, Nurmala, Desta,
Wuri,Dicky, Sonia, Nova, Diah, Devi M, Damas, Dina, Enny, Desi, Reni,
Febri, Ardan, Adi,Darus, Zulmi, dan seluruh teman-teman yang tidak dapat
disebutkan satu- persatu;
12. Sahabat terbaikku sejak kecil, Dika Arsdes dan Annisa Nadifa.
(12)
15. Staf FEB dan EP, Ibu Mardiana, Ibu Yati, Pakde Koperasi GedungC, Mas
Kus, Pakde Samiran, dan Mas Edi;
16. Berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih.
Akhir kata, penulis berharap skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat untuk
semua. Aamiin.
Bandar Lampung, 2014
Penulis,
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... ...i
DAFTAR TABEL ... ... iii
DAFTAR GAMBAR . ...iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Kerangka Pemikiran ... 16
E. Hipotesis ... 19
II. TINJAUAN PUSTAKA A. DesentralisasiFiskal... 21
B. PertumbuhanEkonomi ... 34
C. Desentralisasi Fiskal Dan PertumbuhanEkonomi ... 43
D. Hubungan DAU,DBH dan DAK Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 44
E. PenelitianTerdahulu ... 48
III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data ... 51
B. Batasan Variabel ... 52
C. DevinisiOperasional Variable ... 52
D. Alat Dan Model Analisis ... 53
E. UjiAsumsiKlasik ... 55
F. UjiStatistik ... 57
G. GambaranUmumKabupaten Lampung Tengah ... 59
H. StrukturPerekonomian... 60
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HasilPenelitian ... 61
(14)
C. UjiHipotesis ... 65 D. PembahasanHasilPenelitian ... 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(15)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Total Dana PerimbangaanPemerintahDaerah
Kabupaten/Kota Provinsi Lampung ... 10
2.Perkembangan PAD danPendapatan Total Daerah
Kabupaten Lampung Tengah 2001-2012 ... 12
(16)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.Kerangka Pemikiran ... 19
2. Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lampung Tengah
Menurut Lapangan Usaha ... 56
3 Pertumbuhan Penerimaan Dana Perimbangan Kabupaten Lampung Tengah .. 64
4. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung Tengah ... 65
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A. Data Mentah ... L-1
B. Model Regresi ... L-2
C. Uji Normalitas ... L-3
D. Uji Multikolinearitas ... L-4
E. Uji Autokorelasi ... L-5
(18)
ANALISIS DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
(Skripsi)
Oleh
ARMY AFTRASTYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2014
(19)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukanlah konsep baru di Indonesia.
Penerapan desentralisasi fiskal pada dasarnya memiliki tujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan pendapatan
daerah.Kerangka pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal dimulai dari
Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi yang lebih lanjut dibagi atas kabupaten
dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur
dan melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sesuai
dengan kemampuan keuangan yang dimilikinya. Penyerahan urusan pemerintahan
tersebut sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat telah diserahkan
kepada daerah yang diikuti dengan pemberian kewenangan kepada daerah untuk
mengelola sumber daya keuangan melalui kebijakan desentralisasi fiskal.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sudah diatur dalam UU No. 5 Tahun
1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Namun dalam prakteknya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama pemerintahan orde baru
(20)
dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal dan besarnya ketimpangan antar
daerah dan wilayah (Suparmoko, 1986 dalam Saranggih).
Setelah pemerintahan orde baru berakhir, maka isu dan tuntutan tentang
perimbangan wewenang pemerintah pusat dan daerah sangat deras mengalir, dan
akhirnya UU No. 5 Tahun 1974 dirubah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 yang
mengatur tentang pemerintah daerah. Setelah dilaksanakannya undang-undang ini
banyak perubahan yang terjadi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU
No. 22 Tahun 1999 juga memberikan perubahan pada hubungan pemerintah pusat
dan daerah, yaitu perubahan sistem pemerintahan dari bentuk sentralistis menjadi
desentralistis, dalam arti adanya pengalihan sebagian besar wewenang
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adapun
wewenang yang tetap menjadi otoritas pemerintah pusat adalah di bidang politik
luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, serta agama.
Ada berbagai pengertian desentralisasi sebagaimana dikutip oleh Saranggih
(2003), Leemasn, misalnya, membedakan dua macam desentralisasi:
representative local goverment dan field administration (Lemmans,1970).
Maddick mendefinisikan desentralisasi sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi
(Maddick,1983). Devolusi adalah penyerahan kekuasaan fungsi-fungsi tertentu
kepada pemerintah daerah; sedang dekonsentrasi merupakan pendelegasian
wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang tinggal
di luar kantor pusat.
Desentralisasi fiskal menurut Undang-Undang No 5 th 1979 adalah penyerahan
(21)
menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan dalam UU No 22 th 1999
desentralisasi merupakan penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah
otonom dalam kerangka NKRI.
Pengertian ini dijelaskan lagi dengan UU No. 25 tahun 1999 yang berisi tentang
perimbangankeuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian,
desentralisasi (otonomi daerah) merupakan suatu masyarakat lokal yang
mempunyai peran signifikan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan
erat dengan arah dan tujuan pembangunan masyarakatlokal itu sendiri. Pada
hakekatnya pelaksanaan otonomi daerah merupakan penyerahan kewenangan
pemerintah pusat kepada daerah untuk mengelola potensi yang ada di daerah,
yang diikuti dengan penyerahan personil, prasarana, pembiayaan, dan dokumen.
Pada garis besarnya konsep desentralisasi dapat dibedakan menjaditiga bagian
besar, yaitu : desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi
fiskal. Ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain, dan semestinya
dilaksanakan bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti
peningkatan kualitas layanan publik tidakterbengkalai (Elmi, 2002 dalam
Altito,2010).
Pelaksanaan desentralisasi jelas harus didukung oleh kebijakan dana perimbangan
yang disebut dengan desentralisasi fiskal. Namun, tidak dapat diartikan secara
sempit bahwa desentralisasi fiskal adalah sama dengan dana perimbangan.
Namun, dana perimbangan merupakan instrumen penting dari proses pelaksanaan
(22)
mencerminkan unsur dalam mendukung pelasanaan desentralisasi fiskal.
(Saranggih,2009)
Desentralisasi fiskal memerlukan pergeseran beberapa tanggungjawab terhadap
pendapatan dan pembelanjaan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor
yangsangat penting menentukan desenteralisasi fiskal adalah sejauh mana
pemerintah daerah diberi wewenang untuk menentukan alokasi atas
pengeluarannya sendiri (Boediono,1992).
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah menyangkut masalah keadilan
diwujudkan dengan alokasi dana bagi hasil, sedangkan pemerataan
diimplementasikan dengan dana alokasi umum dan pembagian sumber daya yang
ada. Hubungan tersebut menyangkut pembagian kekuasaan danpemerintahan. Hak
untuk mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah merupakan unsur
yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan.
Ada empat alasan utama mengapa sebuah negara harus memasuki desentralisasi,
menurut James Alm dan Roy bahl (1999) dalam Netty Herawaty (2008), Pertama,
negara tersebut memiliki populasi penduduk yang banyak dan wilayah yang luas
yang menjadi tidak efektif, sulit dan mahal jika dikelola secara terpusat. Kedua,
negara yang mempunyai beraneka ragam populasi, seperti etnis, suku, budaya dan
agama akan lebih mudah dikelola dengan sistem desentralisasi. Ketiga, negara
yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi sebaiknya dikelola dengan sitem
desentralisasi. Keempat, negara yang memiliki potensi terhadap konflik
(23)
Praktek desentralisasi fiskal baru dijalankan di Indonesia pada 1 Januari 2001
berdasarkanUU No. 25/ 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Indonesia ialah “Money Follows Functions”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan
sumbersumber penerimaan kepada daerah.
Konsekuensi dari pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah otonom, tidak lain
adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Secara
singkat yang dimaksud dengan desesntralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi
anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang
lebih rendah.
Konsep desentralisasi fiskal dalam kebijakan fiskal nasional mempunyai pengaruh
terhadap struktur dan fungsi dari keuangan daerah atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). APBD dalam desesntralisasi fiskal banyak bergantung
pada sumber pendapatan yang diberikan pusat,pendanaan tersebut berupa alokasi
anggaran transfer ke daerah dalam APBN, yang terdiri atas: (1) Dana
Perimbangan, yakni DBH, DAU, dan DAK, dan (2) Dana Otsus danPenyesuaian.
Secara keseluruhan, alokasi anggaran transfer ke daerah yang terdiri atas Dana
Perimbangandan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian diarahkan untuk (1)
Meningkatkan kapasitas fiskal daerah serta mengurangi kesenjangan fiskal antara
pusat dan daerah, serta antar daerah; (2) Meningkatkan transparansi, akuntabilitas,
(24)
(3) Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerahdan mengurangi
kesenjangan pelayanan publik antar daerah; (4) Mendukung kesinambungan fiskal
nasional; (5) Meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional
denganpembangunan daerah; (6) Meningkatkan perhatian terhadap pembangunan
di daerah tertinggal,terluar, dan terdepan; serta (7) Meningkatkan pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi terhadapjenis dana transfer tertentu guna meningkatkan
kualitas belanja daerah.
Bahl (2000) dalam Juli Panglima Saranggih (2005) mengemukakan dalam aturan
yang keduabelas, bahwa desentralisasi harus memacu adanya persaingan di antara
berbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must be a champion
for fiscal decentralization).Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan
publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar dan
memberikan apa yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan
struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang semakin besar
meningkatkan kesejahteraan rakyat, partisipasirakyat setempat dalam
pemerintahandan lain-lain.
Desentralisasi fiskal memang tidak secara jelas dinyatakan dalamUU Nomor 33
Tahun 2004. Namun, komponen dana perimbangan merupakan sumber
penerimaan daerah yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi.Dalam
kebijakan fiskal, dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal
(25)
Instrumen fiskal ini berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
memperluas basis kegiatan ekonomi berbagai sektor dan secara khusus
memperluas lapangan usaha untuk menurunkan tingkat pengangguran. Dengan
kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya
ekonomi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang
dikehendakinya.
Dalam model perhitungan pertumbuhan ekonomi Y= C + I + G + (X-M) ,
pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi termasuk dalam
variabel G, karena desentralisasi fiskal merupakan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah
( Netty Herawati,2008;3).
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari PDRB. PDRB merupakan
penjumlahan dari tiap-tiap sektor yang diciptakan dari kegiatan ekonomi dalam
kurun satu tahun, sektor-sektor tersebut meliputi sektor primer, sektor skunder dan
sektor tersier.
Desentralisasi dianggap sebagai jalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
telah menarik perhatian dari banyak ahli, antara lain dikemukakan oleh Oates
(1993) dalam Mus Mualim (2010) desentralisasi fiskal akan mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,karena
pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan
penyediaan barang-barang publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah
lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih
(26)
apabila tidak berpegang pada standar teori desentralisasi,hasilnya mungkin akan
merugikan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi. Desentralisasi fiskal
memungkinkan untuk melakukan korupsi pada level lokal karena memberikan
pertimbangan politikus lokal dan birokrat yang dapat di akses dan peka terhadap
kelompok bunga lokal. Oates juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal
meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika
pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh
pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi dari pada kebijakan
pemerintah pusat. Menurutnya daerah memiliki kelebihan dalam membuat
anggaran belanja sehingga lebih efisien dengan memuaskan kebutuhan
masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya.
Selama beberapa dekade banyak negara berkembang dan negara maju mencoba
untuk menerapkan desentralisasi fiskal dengan tujuan untuk mengatasi
ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintah serta berusaha untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sebagian ahli menyatakan bahwa sasaran
utama desentralisasi fiskal adalah dapat membantu perkembangan pertumbuhan
ekonomi, serta merupakan sebuah solusi sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya dan sebagian ahli pula menyatakan bahwa tak satu pun manfaat yang
diperoleh oleh suatu negara yang preferensi penduduknya tidak dapat
diakomodasikan oleh anggaran pemerintah. Sebenarnya landasan teoritis yang
menyokong mengenai peranan antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi
sampai saat ini masih terus dikembangkan dan permasalahan ini tetap menjadi
topik yang hangat diperdebatkan diantara para ahli ekonomi. Bagaimanakan
(27)
secara langsung ataukah secara tidak langsung, hal inilah yang terus diuji secara
empirik oleh para pakar ekonomi (Vasques dan McNab, 2001).
Titik tolak desentralisasi di indonesia adalah Daerah Tingkat II (Dati II),dengan
tiga dasar pertimbangan, yaitu: Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme
kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya
aspirasi federalis minim; dari dimensi administratif, penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapatlebih efektif; dan
yang terakhir adalah karena Dati II adalah “ujung tombak”pelaksanaan
pembangunan sehingga Dati II-lah yang mengetahui kebutuhan danpotensi
rakyatnya (Kuncoro,2004).
Pelaksanaan otonomi daerah memiliki dampak dan implikasi yang cukup besar
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah pada umumnya. Hal ini terutama dalam
hal dana perimbangan yang merupakan transfer dari pusat ke daerah yang diatur
dalam UU No.32 dan 33 Tahun 2004 sebagai revisi atas UU No.22 dan 25 tahun
1999. Dana perimbangan tersebut menjadi penerimaan bagi daerah, meliputi:
pertama, Dana Bagi Hasil Pajak (Tax Revenue Sharing) yang mencakup pajak
bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah dan bangunan (PBB & BPHTB) dan
bagi hasil pajak penghasilan. Kedua, bagi hasil sumber daya alam (Natural
Resource Revenue Sharing). Ketiga, dana alokasi umum (DAU). Keempat, dana
alokasi khusus (DAK).
Lampung Tengah sebagai salah satu kabupaten yang telah menjalankan
desentralisasi fiskal selama lebih dari sepuluh tahun telah mengalami
(28)
menjalankan desentralisasi fiskal daerah. Selama kurun waktu tersebut, Lampung
Tengah juga menerima dana transfer yang menjadi sumber pendapatan utama
daerah.
Tabel 1. Jumlah Dana Perimbangan Yang Dterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung (dalam jutaan rupiah).
Kab/Kota Tahun
2009 2010 2011 2012
Lampung Barat 432.921 421.384 503.517 594.663 Lampung Selatan 596.677 642.321 690.616 841.214
Lampung Tengah 852.154 850.075 955.389 1.144.251
Lampung Utara 592.465 600.617 672.736 790.380 Lampung Timur 710.492 736.432 806.197 973.372 Tanggamus 662.936 445.261 561.462 670.459 Tulang Bawang 586.301 333.705 520.205 529.805 Way Kanan 430.700 467.900 482.849 576.940 Bandar Lampung 674.336 649.912 726.511 852.029 Metro 300.676 277.861 357.003 396.716 Pesawaran 299.467 411.421 468.083 560.576 Pringsewu - 314.821 501.956 562.745 Mesuji - 157.343 319.108 375.474 Tulang Bawang Barat - 136.255 379.219 432.278
Sumber:djpk.depkeu.go.id(data diolah).
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah dana perimbangan yang diterima oleh
setiap kabupaten di Provinsi Lampung mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Penerima dana perimbangan terbesar di Provinsi Lampung adalah Kabupaten
Lampung Tengah. Melihat dari data tersebut maka penulis memfokuskan sample
penelitian pada Kabupaten Lampung Tengah. Apakah dengan banyaknya dana
perimbangan yang diterima tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah?
Di era otonomi daerah, pengelolaan APBD menjadi sepenuhnya hak dan
(29)
diterima daerah, dana perimbangan yang diterima akan masuk dalam pos
penerimaan di APBD dan kemudian digunakan oleh daerah untuk membiayai
belanja dan kebutuhan lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah otonom
masing-masing. Dengan tujuan akhir adalah meningkatkan pelayan publik dan
meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah.
Yang dimaksud keuangan daerah dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 adalah semua
hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang
dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah dasar dari pengelolaan
keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu, umumnya satu tahun. APBD
dapat menjadi tolok ukur penting keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan
perekonomian daerah, berkembangnya perekonomian diberbagai sektor akan
memeberikan dampak positif bagi penciptaan lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat daerah, maka perekonomian lokal juga tururt berkembang. Seiring
dengan perkembangan ekonomi swasta lokal, sektor pemerintah (APBD) dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui berbagai kbijakan yang
tercermin dalam APBD (Saranggih;127,2003).
Menurut Kuncoro,2003 dalam rangka negara kesatuan, kemandirian keuangan
daerah seyogyanya tidak diartikan bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah
otonom harus dapat membiayai seluruh keperluannya dari penerimaan PAD.
Meskipun demikian rasio antara PAD dengan Total Penerimaan Daerah tetap
(30)
Tabel 2. Pertumbuhan PAD dan Pendapatan Total Daerah Kabupaten Lampung Tengah Tahun2001-2012.
Tahun
PAD
Pertumbuhan
Pendapatan
total daerah Pertumbuhan
(%)
(Juta Rupiah) (Juta Rupiah)
2001 7.064,16 - 285.750,7
2002 8.521,04 21% 34.1045 19% 2003 6.679,86 -22% 35.917,04 5% 2004 10.165,31 52% 410.358,5 14% 2005 11.101,71 9% 443.858,5 8% 2006 10.906,3 -2% 664.973,7 50% 2007 20.567,3 89% 754.230,4 13% 2008 21.516 5% 887.853,3 18% 2009 23.400 9% 944.767 6% 2010 32.501,23 39% 946.990,6 0% 2011 37.682,1 16% 1.026.784 8% 2012 43.802,14 16% 1.349.256 31%
Sumber: djpk.depkeu.go.id
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa PAD kabupaten Lampung Tengah mengalami
pertumbuhan yang negatif pada tahun 2003 dan 2006 yaitu -22% dan -2%.
Dengan kata lain PAD tahun 2003 lebih kecil dari PAD tahun 2002 dan PAD
tahun 2006 lebih kecil dari tahun 2005. Namun pada tahun selanjutnya PAD
Kabupaten Lampung Tengah terus mengalamai kenaikan yang cukup signifikan.
Sedangkan penerimaan total daerah Kabupaten Lampung Tengah mengalami
peningkatan dan penurunan yang cukup signifikan. pada tahun 2010 penerimaan
tidak mengalami pertumbuhan namun pada ahun 2012 penerimaan total tumbuh
sebesar 31%. Penerimaan total adalah keseluruhan penerimaan daerah dari PAD
dan dana perimbangan. Karena Kabupaten Lampung Tengah masih sangat
bergantung pada penerimaan dari dana perimbangan maka peningkataan
(31)
penerimaan total daerah. Pada tahun 2012 penyumbang terbesar pada peningkatan
penerimaan total adalah meningkatnya penerimaan dari dana perimbangan yang
diberikan kepada Kabupaten Lampung Tengah.
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi fiskal. Maju tidaknya perekonomian suatu daerah bisa dilihat dari
tingkat pertumbuhan ekonominya. Semakin tinggi angka pertumbuhan
ekonominya maka semakin maju perekonomian di daerah tersebut. Tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat dapat dilihat dari tingkat output yang
dihasilkan dalam masyarakat tersebut. Pertumbuhan ekonomi adalah proses
dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan bila tingkat kegiatan
ekonominya adalah lebih tinggi dari yang dicapai pada tahun sebelumnya. Untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun dapat dilihat
dari PDRB atas dasar harga konstan.
Ada dua kondisi yang mempengaruhi proses perencanaan pembangunan daerah,
yaitu : (1) tekanan yang berasa dari lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
yang mempengaruhi kebutuhan daerah dalam proses pembangunan
perekonomiaannya, (2) kenyataan bahwa perekonomian daerah dalam suatu
negara dipengaruhi sektor-sektor yang berbeda, misalkan beberapa daerah
mengalami pertumbuhan pada sektor industri sedangkan daerah lain mengalami
penurunan. Inilah yang menjelaskan perbedaan perpektif masyarakat daerah
(32)
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus-menerus
pada PDB suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional
difokuskan pada peningkatan PDRB suatu provinsi, kabupaten atau kota (
Kuncoro, 2004).
Tabel 3. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Lampung Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000.
Tahun Atas Dasar Harga
Konstan (Juta Rupiah)
Pertumbuhan (%)
2001 3.245.603 4.72 2002 3.966.855 5.61 2003 4.189.331 6.13 2004 4.446.178 6.13 2005 4.676.249 5.18 2006 4.948.566 5.82 2007 5.255.606 6.20 2008 5.553.010 5.66 2009 5.883.047 5.94 2010 6.228.793 5.88 2011 6.587.165 5.78
Sumber: djpk.depkeu.go.id
PDRB Kabupaten Lampung Tengah mengalami perubahan yang fluktuatif dalam
sepuluh tahun terakhir. Secara rata-rata pertumbuhan PDRB Kabupaten Lampung
Tengah atas dasar harga konstan adalah 4.998.218 juta atau tumbuh sebesar
5,09% . Tahun 2001 pertumbuhan PDRB Kabupaten Lampung Tengah sebesar
4,72% dan terus meningkat hingga Tahun 2004 pertumbuhan PDRB mencapai
6,13%. Kemudian terjadi penurunan pertumbuhan PDRB di tahun 2005 yang
hanya mencapai angka 5,18%. Penurunan pertumbuhan PDRB ini disebabkan
oleh kenaikan harga minyak dunia yang menembus angka U$ 60 per barel. Ini
menyebabkan terganggunya kegiatan perekonomian secara global. Pertumbuhan
(33)
berikutnya pertumbuhan PDRB Kabupaten Lampung Tengah cenderung stabil
pada angka 5,8 %.
Berangkat dari teori-teori dan data yang dikemukakan diatas serta penelitian
terdahulu yang telah dilakukan, menyatakan bahwa desentralisasi fiskal
dipandang sebagai salah satu mekanisme dalam suatu kompetisi pemerintahan,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi disintegrasi antar wilayah, dan
beberapa manfaat lainnya, maka penelitian ini mengangkat permasalahan
desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi dengan judul “ Analisis
Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung
Tengah”
B. Rumusan Masalah
Pelaksanaan desentralisasi fiskal merupakan suatu produk kebijakan pemerintah,
sebagai bentuk pengalihan ototritas pengelolaan sektor fiskal daerah, dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan, maka pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
melihat pengaruh desentralisasi fiskal yang diterjemahkan sebagai dana yang
diserahkan pemerintah pusat ke daerah yang terdiri dari DBH pajak, DBH bukan
pajak, DAU dan DAK terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lampung
Tengah yang dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal yang berupa dana trasfer ke daerah
yang terdiri dari DBH, DAU dan DAK terhadap pertumbuhan ekonomi
(34)
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh desentralisasi
fiskal yang berupa dana trasfer ke daerah yang terdiri dari DBH, DAU dan DAK
terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lampung Tengah tahun 2001-2012.
D. Kerangka Pemikiran
Pembanguan daerah merupakan integral dari pembangunan nasional yang pada
hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah
sehingga tercipta suatu pemerintahan daerah yang berdayaguna tinggi bagi
masyarakat daerahnya.
Pembangunan daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, pertama,
pendekatan sentralis dan kedua, pendekatan desentralisasi. Pendekatan
desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan daerah sebagian besar
merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah (pemda)
secara otonom.
Pada tanggal 1 Januari 2001, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan
pemberlakuan desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan
untuk meningkatkan keuangan daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada
masyarakatnya, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum.
Persoalan desentralisasi fiskal akan berpengaruh langsung terhadap kondisi
keuangan daerah khususnya APBD. Konkretnya adalah kebijakan alokasi atau
(35)
dalam kerangka pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintahan yang sudah
diserahkan kepada daerah melaui otonomi daerah atau desentralisasi.
Secara singkat yang dimaksud dengan desentraisasi fiskal adalah suatu proses
distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi dan tugas pemerintah
sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Desentralisasi fiskal memangtidak secara jelas dinyatakan dalam UU Nomor 33
Tahun 2004. Namun, komponen dana perimbangan merupakan sumber
penerimaan daerah yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi.Dalam
kebijakan fiskal, dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal
(Saranggih,2003).
Konsep desentralisasi fiskal dalam kebijakan fiskal nasional mempunyai pengaruh
terhadap struktur dan fungsi dari keuangan daerah atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). APBD dalam desentralisasi fiskal banyak bergantung
pada sumber pendapatan yang diberikan pusat, pendanaan tersebut berupa alokasi
anggaran transfer ke daerah dalam APBN. Pendapatan transfer merupakan
pendapatan daerah yang diperoleh dari otoritas pemerintah di atasnya. Transfer
pemerintah pusat-dana perimbangan, meliputi: (a). Dana bagi hasil pajak. (b)
Dana bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam). (c) Dana alokasi umum. (d)
Dana alokasi khusus (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006).
Dana perimbangan yang diterima akan menjadi sumber penerimaan dalam pos
(36)
kebutuhan lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah otonom masing-masing.
Dengan tujuan akhir adalah meningkatkan pelayan publik dan meningkatkan
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah.
Di era otonomi daerah, pengelolaah APBD menjadi sepenuhnya hak dan
wewenang pemda. APBD dapat menjadi tolok ukur penting keberhasilan suatu
daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah, berkembangnya perekonomian
diberbagai sektor akan memeberikan dampak positif bagi penciptaan lapangan
pekerjaan baru bagi masyarakat daerah, maka perekonomian lokal juga tururt
berkembang. Seiring dengan perkembangan ekonomi swasta lokal, sektor
pemerintah (APBD) dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui
berbagai kebijakan yang tercermin dalam APBD (Saranggih;127,2003).
Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang menunjukkan
perubahan kinerja perekonomian wilayah. Dengan pertumbuhan yang tinggi
diharapkan produktivitas dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Untuk
mengatahui tingkat pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun dapat
dilihat dari PDRB atas dasar hara konstan. Pertumbuhan yang positif
mencerminkan adanya peningkatan dalam perekonomian. Sebaliknya, jika
pertumbuhan yang negatif merefleksikan terjadinya penururnan aktivitas
(37)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Diduga desentralisasi fiskal yang berupa dana trasfer ke daerah yang terdiri
dari DBH, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
(38)
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Desentralisasi Fiskal 1. Defenisi Desentralisasi
Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan
UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan
Daerah Pasal 1 ayat 8, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Menurut Mardiasmo (2002) secara teoritis, ada dua manfaat yang dapat
diharapkan dari desentralisasi yaitu :
1. Mendorong partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat di dalam
pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di
seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang
tersedia di masing-masing daerah.
2. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran
pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah
(39)
Tujuan kebijakan desentralisasi adalah :
1. Mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah
2. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pengurangan subsidi dari
pemerintah pusat.
3. Mendorong pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing
daerah(Suparmoko, 2002).
Hal pokok tentang desentralisasi pada dasarnya adalah apakah desain, proses, dan
implementasi desesntralisasi tersebut berhasil atau gagal untuk meningkatkan
efesiensi dan kadar responsifikasi kebijakan publik pemerintah terhadap
kepentingan politis, ekonomi, dan sosial masyarakatnya. Kegagalan implementasi
desentralisasi ditunjukan dari kemunduran ekonomi, ketidakstabilan politik, dan
merosotnya kualitas pelayanan publik di Negara yang bersangkutan.
2. Definisi Desentralisasi Fiskal
Pengertian dan konsep desentralisasi fiskal menurut Macfud Sidik (2001),
desentralisasi fiskal adalah suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan negara,
yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Menurut Saragih (2003: 83) desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan
sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau
tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan
(40)
Menurut Robert Simanjuntak (2002) sasaran desentralisasi fiskal di Indonesia
secara umum adalah:
a. Untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber
keuangan daerah.
b. Mendorong akuntabilitas, dan transparansi pemerintah daerah.
c. Meningkatkan partisipasi masyarakat dala proses pembangunan daerah.
d. Mengurangi krtimpangan antar daerah.
e. Menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah.
f. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.
3. Indikator Desentralisasi Fiskal
Untuk mengukur desentralisasi fiskal di suatu wilayah, terdapat duavariabel
umum yang sering digunakan, yaitu pengeluaran dan penerimaan daerah. Ebel dan
Yilmaz (2002) menyatakan terdapat variasi dalam pemilihan indikator untuk
mengukur desentralisasi antara negara yang satu dengan negara yang lain.
Meskipun sama-sama menggunakan variabel yang pengeluaran dan
penerimaanpemerintah, yang menjadi pembeda adalah variabel ukuran (size
variabels) yang digunakan oleh peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ada
tiga size variabels yang umum digunakan, yaitu: jumlah penduduk, luas wilayah,
danGDP.
Menurut Shah dan Thompson (2002), untuk melihat apakah desentralisasi fiskal
berjalan efektif atau tidak, harus dikaitkan dengan 3 (tiga) komponen penting
dalam desentralisasi fiskal, yaitu: (1) adanya otonomi dan kecukupan dalam
(41)
pengeluaran (expenditure autonomy); dan (3) adanya privileges untuk melakukan
pinjaman (borrowing privileges). Sedangkan Bahl (2002), meski substansinya
sama dengan Shah dan Thompson, namun mengunakan istilah yang sedikit
berbeda, yaitu: (i) pemerintah daerah memiliki diskreasi yang signifikan dalam
menaikkan penerimaan (significant local government discretion to raise revenue);
(ii) pemerintah daerah memiliki kewenangan yang signifikan dalam pengeluaran
(significant local government expenditure responsibilities); dan (iii) kemampuan
daerah untuk meminjam (local borrowing ability).
Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia, maka dari ketiga komponen di atas,
tampaknya pelaksanaan desentralisasi fiskal hanya signifikan pada expenditure
autonomy.Hal ini sedikitnya dapat dilihat pada 2 (dua) aspek. Pertama, transfer
fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui Dana Perimbangan ,
khususnya DAU dan Bagi Hasil (Sumberdaya Alam dan Pajak), meningkat cukup
signifikan. Bahkan peningkatan tersebut diperkirakan akan terus berlanjut seiring
dengan penerapan UU 33/2004, akibat adanya beberapa item baru dalam Bagi
Hasil SDA, misalnya pertambangan panas bumi, adanya pengaturan kembali
proporsi Bagi Hasil SDA, dan adanya peningkatan batas minimal proporsi DAU
terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) APBN dari 25% menjadi 26%.
Implikasi lebih lanjut dari situasi ini adalah porsi dana yang dikelola pemerintah
pusat menjadi berkurang (proporsi Dana Perimbangan terhadap PDN APBN
mencapai angka di atas 26%), dan sebaliknya, porsi dana yang dikelola dan
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah meningkat secara signifikan (proporsi
Dana Perimbangan terhadap total APBD rata-rata sekitar 70% - 80% dan total
(42)
Meskipun demikian, dalam kenyataannya, sebagian besar pemerintah daerah
masih tetap mengeluhkan relatif besarnya proporsi Dana Perimbangan tersebut
yang harus dialokasikan untuk belanja pegawai.
Kedua, transfer fiskal tersebut memiliki tingkat fleksibilitas dan diskreasi
(flexibility and discretionary) yang sangat tinggi dalam penggunaannya, dimana
pemerintah daerah memiliki kewenangan sepenuhnya untuk menggunakan
dana-dana tersebut sesuai dengan kebijakan umum dan prioritas daerah, tanpa
intervensi dari pemerintah pusat. Bahkan pertanggungjawaban atas penggunaan
dana tersebut pun dilakukan secara horizontal (horizontal responsibility), dalam
hal ini kepada DPRD sebagai representasi masyarakat lokal.
Sedangkan revenue autonomy, meskipun merupakan bagian penting dalam
pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, namun bagi daerah, dirasakan
belum cukup signifikan.Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang amat
terbatas berkaitan dengan peningkatan penerimaannya.Pengaturan kewenangan
untuk memungut pajak (tax assignment) yang ditawarkan pemerintah pusat
melalui UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian
direvisi menjadi UU 34/2000 tentang Perubahan Atas UU 18/1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, belum sepenuhnya menunjukkan kesungguhan
pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah
menyangkut penerimaan daerah (local revenue).Akibatnya, kemampuan
penerimaan pajak daerah (local taxing power) yang dipunyai pemerintah daerah
relatif menjadi amat terbatas.Jenis pajak yang potensial, sepenuhnya masih
(43)
tergolong “kurus” diserahkan kepada daerah.PPh Perorangan (salah satu jenis
pajak yang potensial) yang dibagi-hasilkan kepada daerah, tampaknya juga hanya
menguntungkan beberapa daerah saja.
4. Penerimaan Daerah
Dalam mengalokasikan pembelajaan atas sumber-sumber penerimaannyaterkait
dengan fungsi desentralisasi, daerah memiliki kebijakan penuh untuk menentukan
besaran dan sektor apa yang akan dibelanjakan (kecuali transfer DAKyang
digunakan untuk kebutuhan khusus). Menurut UU No. 25 Tahun 1999 jo UUNo
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, maka
sumber penerimaan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan lain-lain pendapatan (Hanif Nurcholis, 2005).
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Halim dalam Erlangga A. Landiyanto (2005), cirri utama suatu daerah
mampu melaksanakan suatu otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah,
yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk
menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya
sendiri untuk mengelolah pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat
harus seminimal mungkin, oleh karena itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus
menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. PAD mencerminkan local taxing power sebagai
necessarycondition bagi terwujudnya otonomi daerah yang luas. Jadi keinginan
daerahuntuk meningakatkan penerimaan dari pajak dan retribusi adalah legal
(44)
retribusidaerah tidak distortif dan menyebabkan inefisiensi ekonomi (Robert
A.Simanjuntak, 2005).
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, PAD terdiri dari pajak daerah,retribusi
daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
Lain-lain PAD yang sah dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerahyang tidak
dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntunga selisih nilai tukarrupiah
terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lainsebagai
akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah.Pajak
daerah dan retribusi daerah merupakan aspek pendapatan yang paling utamadalam
PAD karena nilai dan proporsinya yang cukup dominan.
b. Dana Perimbangan
Dana perimbangan merupakan hasil kebijakan pemerintah pusat di
bidangdesentralisasi fiskal demi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah,
yangterdiri dari Dana Bagi Hasil (pajak dan sumber daya alam), Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun
2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
daerah). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri
(45)
bagi hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan presentase tertentu yang
didasarkan atas daerah penghasil.
Penerimaan DBH pajak bersumber dari: Kehutanan, Pertambangan Umum,
Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan
Pertambangan Panas Bumi1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 2.Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 3.Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal
29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak
Penghasilan Pasal 21.
Sedangkan penerimaan DBH SDA bersumber dari: Pada umumnya setiap daerah
memiliki sektor unggulan sendiri-sendiri dalam hal keuangan dan hal ini sangat
bergantung pada pemerintah daerah itu sendiri dalam menggali dan
mengembangkan potensi-potensi yang ada. Demikian halnya dalam sistem DBH
yang bersumber dari pajak dan SDA. Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance)
pusat-daerah. Namun, pola bagi hasil tersebut dapat berpotensi mempertajam
ketimpangan horisontal (horizontalimbalance) yang dialami antara daerah
penghasil dan non penghasil. Horisontal tersebut disebabkan karena dalam
kenyataannya karakteristik daerah di potensi indonesia sangat beraneka ragam.
Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah seperti di
Riau, Aceh, Kalimantan Timur dan Papua yang berupa minyak bumi dan gas alam
(migas), pertambangan, dan kehutanan. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak
(46)
telah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan sehingga daerah
tersebut menjadi kaya.(Astuti dan Joko, 2005).
Hal tersebut sejalan dengan Cristyanto (2005) yang menyatakan bahwa potensi
penerimaan daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, dan Pajak Penghasilan dimana potensi yang cukup
signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja. Berdasarkan Undang-Undang
PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun anggaran 2001 Daerah
memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal
income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi.
Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai
kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi
memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Volume
perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan
sebagai basis pajak. Dengan demikian, daerah dengan tingkat pendapatan yang
lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula. DBH
merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah
satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan
memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari Pendapatan Asli Daerah selain
Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dengan terbitnya Peraturan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang
dana perimbangan antara perimerintah Pusat dan Daerah menyebutkan Dana
(47)
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah untuk membiayai pelaksanaan
desentralisasi Dana Alokasi Umum ini bersifat Block Grant yang berarti
penggunaan dana ini diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan
kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.
Dimana dasar hukum pengalokasian dana ini sesuai dengan Undang-undang
nomor 33 tahun 2003 tentang perimbangan dana antara pusat dan daerah besaran
Dana Alokasi Umum (DAU) ini sekurang-kurangnya 26 % dari pendapatan dalam
negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Sedangkan proporsi DAU
untuk daerah propinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan dan
kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota formula DAU menggunakan
pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan. Penyaluran
DAU, DAK dan DBH disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening
Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah. Hal ini berkaitan dengan perimbangan
antara pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan antara pusat dan daerah (Darwanto dan Yustikasari, 2007) lebih
lanjut menurut Darwanto dan Yustikasari (2007) hal tersebut menunjukkan
terjadinya transper yang cukup signifikan di dalam APBN dari Pemerintah Pusat
dan Daerah, dimana dana tersebut secara leluasa dapat dipergunakan untuk
(48)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) ádalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional yang dilaksanakan di tingkat
daerah. Kegiatan khusus ini sulit untuk diperkirakan dengan rumus alokasi
khusus. DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus.
Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya
merupakan wewenang pemerintah pusat untuk tujuan nasional Kebutuhan khusus
alokasi DAK meliputi :
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak
rnempunyai akses yang memadai ke daerah lain. 2. Kebutuhan prasarana dan
sarana fisik di daerah yang menampung tiansrnigrasi. 3. Kebutuhan prasarana dan
sarana fisik yang terletak di daerah pesisir kepulauan dan tidak mempunyai
prasarana dan sarana yang memadai. 4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di
daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan. 5. Pembangunan Jalan,
rumah sakit, irigási dan air bersih daerah itu maka masyarakat akan dapat
melaksanakan aktifitas pekerjaan sehinga akan berdampak positip terhadap roda
perekonomian sehingga akan berpengaruh pada produktifitas yang semakin
meningkat.
DAK disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening Kas Umum Negara
ke rekening Kas Umum Daerah, oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD.
(49)
pelatihan dan perjalanan dinas. Pembiayaan yang bersumber dari Dana Alokasi
Khusus (DAK) ini bisa disamakan dengan belanja pembangunan karena
digunakan untuk mendanai peningkatan kwalitas pelayanan publik berupa
pembangunan sarana dan prasana publik ( Ndadari dan Adi, 2008). Menurut
Abdullah dan Halim (2006) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja
modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh
pemerintahan daerah. Menurut Abimayu (2005) yang dikutip oleh Arianto dan
Adi (2007) infrastruktur dan sarana prasana yang ada di daerah akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
Lain-lain Pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah danpendapatan danadarurat
(Hanif Nurcholis, 2005). Hibah kepada daerah, yang bersumber dari luar negeri,
dilakukan melalui pemerintah (pusat). Pemerintah mengalokasikan dan adarurat
yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak (bencana nasional danatau
peristiwa luar biasa) yang tidak dapat diatasi oleh daerah dengan menggunakan
sumber APBD.
5. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun
1999 yang secara serentak diberlakukan di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut
Widjaja (2004: 65) “dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan undang-Undang No. 25 tahun 1999, mulai tanggal 1 Januari 2001 Menteri
(50)
dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD”. Menurut Sekretaris Ditjen
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keungan Negara djoko
Hidayanto (2004 : 53) “pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia efektif dimulai pada tanggal 1 Januari 2001”. Menurut Direktur dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia Kadjatmiko (2004 :
92) “1 Januari 2001 merupakan momentum awal yang mempunyai arti penting
bagi bangsa Indonesia khususnya bagi penyelenggara pemerintah di daerah,
karena pada tahun tersebut kebijakan tentang otonomi daerah mulai dilaksanakan
secara efektif ”. Menurut Widjaja (2004 : 100) “Inti dari konsep pelaksanaan
otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan pelaksanaan daerah dimulai dari
tahun 2001”.
B. Pertumbuhan Ekonomi
1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Setiap negara di dunia ini sudah lama menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai
target ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi faktor yang paling penting
dalam keberhasilan perekonomian suatu negara untuk jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi sangat dibutuhkan dan dianggap sebagai sumber
peningkatan standar hidup (standar of living) penduduk yang jumlahnya terus
meningkat.“Economic Development is Growth Plus Change” yang berarti
pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti
olehperubahan-perubahan dalam struktur dan corak (Sukirno, 1994). Simon Kuznets dalam
Sukirno, mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu peningkatan bagi
(51)
pertumbuhan kemampuan ini disebabkan oleh kemajuan teknologi, kelembagaan,
serta penyesuaian ideologi yang dibutuhkan (Sukirno, 1995).
Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi
dalam jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan
jasa akan meningkat dari satu periode ke periode lainnya. Kemampuan yang
meningkat ini disebabkan oleh factor-faktor produksi yang selalu meningkat baik
jumlah maupun kualitasnya. Investasi akan menambah jumlah barang modal.
Teknologi yang digunakan berkembang. Disamping itu tenaga kerja bertambah
sebagai akibat perkembangan penduduk, dan pengalaman kerja dan pendidikan
menambah keterampilan mereka.
Robinson Tarigan (2004) secara khusus menjelaskan pengertian pertumbuhan
ekonomi wilayah (daerah) sebagai pertambahan pendapatan masyarakat yang
terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added)
yang terjadi di wilayah (daerah) tersebut. Pertambahan pendapatan ini diukur
dalam nilai riil (dinyatakan dalam harga konstan).Ukuran yang sering digunakan
untuk menghitung pertumbuhan ekonomiadalah Produk Domestik Bruto
(PDB).PDB adalah nilai barang dan jasa yangdihasilkan dalam suatu negara
dalam satu tahun tertentu dengan menggunakan faktor-faktor produksi milik
warga negaranya dan penduduk di negara-negara lain(Sadono Sukirno, 2004).
Ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari
(52)
1. Akumulasi modal, meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanh , peralatan fisik, dan modal atau sumber daya
manusia;
2. Pertumbuhan penduduk, yang akan meningkatkan jumlah angkatan kerja;
3. Kemajuan teknologi
2.Teori Pertumbuhan Ekonomi
Boediono (1992) menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output dalam jangka panjang. Pemakaian indikator pertumbuhan
ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama, misalnya sepuluh, dua
puluh, lima puluh tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi akan terjadi
apabila ada kencenderungan yang terjadi dari proses internal perekonomian itu,
artinya artinya harus berasal dari kekuatan yang ada di dalam perekonomian itu
sendiri. Untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami pertumbuhan,
harus dipertimbangkan PDRB riil satu tahun (PDRBt) dengan PDRB riil tahun
sebelumnya (PDRBt-1), atau dapat di formulasikan sebagai berikut:
Untuk mengukur laju pertumbuhan rata‐rata per tahun digunakanrumus sebagai berikut:
(53)
dimana :
r = Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata
n = Jumlah Tahun (dihitung mulai dengan sampai dengan)
Tn = Data PDRB tahun sebelumnya
T0 = Data PDRB tahun tertentu
Todaro dan Smith (2003) menjelaskan beberapa pendekatan teori klasik
pembangunan ekonomi, yaitu: teori tahapan linier dan pembangunan sebagai
pertumbuhan; model perubahan struktural; revolusi ketergantungan internasional.
3.Teori Tahapan Linier dan Pembangunan Sebagai Pertumbuhan
Ada dua teori yang dapat dikelompokkan dalam teori tahapan linier dan
pembangunan sebagai pertumbuhan, yaitu teori pertumbuhan Rostow, dan teori
pertumbuhan Harrod-Domar.
a. Teori Pertumbuhan Rostow
Teori ini bertolak dari lingkungan intelektual yang masih steril dandipacu oleh
politik perang Dingin yang berkobar pada masa tersebut. Model pembangunan
tahap pertumbuhan (stages-of-growth model development) merupakan hasil
pemikiran dari seorang ahli sejarah ekonomi dai Amerika Serikatyaitu Walt W.
Rostow. Menurut ajaran Rostow, perubahan dari keterbelakanganmenuju
kemajuan ekonomi dapat dijelaskan dalam satu seri tahapan yang harusdilaului
oleh setiap negara. Adapun tahapan tersebut adalah: (1) Tahapan perekonomian
tradisional; (2) Tahapan pra kondisi tinggal landas; (3) Tahapan tinggal landas; (4)
(54)
b. Teori Pertumbuhan Harrod Domar
Setiap perekonomian pada dasarnya harus mencadangkan atau menabung
sebagian tertentu dari pendapatan nasionalanya untuk menambah atau
menggantikan barang-barang modal (gedung,alat-alat, dan bahan baku) yang telah
(s), serta rasio modal output nasional (k). secara lebih spesifik , persamaan
tersebut mentakan bahwa tanpa adaya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan
pendapatan nasional berbanding lurus dengan rasio tabungan (semakin besar
bagian GNP yang ditabung atau diinvestasikan, maka pertumbuhan GNP yang
akan dihasilkan menjadi lebih besar), dan berbanding terbalik dengan rasio modal
output di suatu perekonomian (semakin besar rasio modal-output nasional
(k),maka tingkat pertumbuhan ekonomi semakin rendah). Jadi berdasarkan teori
Harrod-Domar agar dapat tumbuh dengan pesat, maka setiap perekonomian harus
menabung dan menginvestasikan sebanyak mungkin GNP-nya. Akan tetapi
tingkat pertumbuhan aktiva yang dapat dijangkau pada tiap tingkat tanbungan dan
investasi juga bergantung pad produktivitas investasi tersebut.
c.Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Model pertumbuhan Solow memberi kontribusi positip terhadap teori
pertumbuhan neoklasik sehingga Solow dianugerahi Hadiah Nobel bidang
ekonomi. Model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala
hasil yang semakin berkurang (diminishing returns) dari input tenaga kerja dan
modal jika keduanya dianalisis secara terpisah. Jika keduanya dianalisis secara
bersama atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns
to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan
(55)
itu sendiri diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain. Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari formulasi
Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam
persamaan pertumbuhan. (M. P. Todaro, 2003).
Model Pertumbuhan Solow berangkat dari fungsi produksi agregat sebagai
berikut: Y = Af(K,L); Dimana Y adalah output, K adalah modal (capital) L adalah
tenaga kerja dan A merupakan teknologi. Asumsi yang digunakan antara lain: (1)
constant return to scale untuk kedua unsurnya bahwa jika kuantitas kapital dan
efektif labor digandakan (melalui K dan L dengan porsi tetap) maka output akan
berlipat ganda pada porsi yang sama. Asumsi ini memberikan dua asumsi
tambahan yaitu perekonomian harus cukup besar dan input-input selain K, A, dan
L misalnya sumberdaya alam dan lahan relatif kurang penting.
Input-input dalam model dapat berubah setiap saat sehingga asumsi-asumsi yang
digunakan memperhatikan perubahan-perubahan pada stok labor, pengetahuan
dan kapital. Diasumsikan labor dan pengetahuan bertumbuh dengan tingkat yang
konstan L(t) = nL(t) dan A(t) = gA(t). Output dibagi untuk konsumsi dan
investasi. Bagian yang tidak dikonsumsi akan ditabung sebesar proporsi tertentu
dari pendapatan misalkan sebesar s (akan digunakan untuk investasi). Bagian yang
dicurahkan untuk investasi ditentukan berdasarkan penyusutan yang dilakukan
yaitu δ. Berkaitan dengan kapital, satu unit kapital terdepresiasi dengan laju δ. Jadi diperoleh evolusi kapital : ΔK(t) = sf(k(t) –(n+g+δ)k(t). Persamaan ini menunjukkan tingkat perubahan stok kapital per unit efektif labor sama dengan
(56)
perbedaan antara investasi aktual per efektif labor dan investasi break event
(Mankiw, 2000, 174)
4. Produk Domestik regional Bruto (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh
kegiatan pekonomian diseluruh daerah dalam tahun tertentu atau perode tertentu
dan biasanya satu tahun.Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga
yaitu harga berlaku dan harga konstan. PDRB harga atas harga berlaku merupakan
nilai tmabah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku
pada tahun yang bersangkutan sementara atas harga konstan dihitung dengan
menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar.
a. Metode penghitungan
Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan empat cara pendekatan yaitu
Pendekatan Produksi
Pendekatan Produksi dapat disebut juga pendekatan nilai tambah dimana nilai
tambah bruto ( NTB) dengan cara mengurangkan nilai out put yang dihasilkan
oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan biaya antara dari masing nilai produksi
bruto tiap sektor ekonomi. Nilai tambah merupakan nilai yang ditambahkan pada
barang dan jasa yang dipakai oleh unit produksi sebagai input antara. Nilai yang
ditambahkan sama dengan balas jasa faktor produksi atas ikut sertanya dalam
proses produksi.
Pendekatan Pendapatan
Pada pendekatan ini, nilai tambah dari kegiatan – kegiatan ekonomi dihitung dengan cara menjumlahkan semua balas jasa faktor produksi yaitu upah dan gajih,
(57)
surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto. Untuk sektor
Pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari keuntungan, surplus usaha
(bunga neto, sewa tanah dan keuntungan ) tidak diperhitungkan.
Pendekatan Pengeluaran
Pendekatan ini digunakan untuk menghitung nilai barang dan jasa yang digunakan
oleh berbagai golongan dalam masyarakat untuk keperluan konsumsi rumah
tangga, pemerintah dan yayasan sosial ; Pembentukan modal; dan ekspor.
Mengingant nilai barang dan jasa hanya berasasl dari produksi domestik, total
pengeluaran dari komponen – komponen di tas harus dikurangi nilsi impor sehingga nilai ekspor yang dimaksud adalah ekspor neto. Penjumlahan seluruh
komponen pengeluaran akhir ini disebut PDRB atas dassar harga pasar.
Metode Alokasi
Metode ini digunakn jika data suatu unit produksi di suatu daerah tidak tersedia.
Nilai tambah suatu unit produksi di daerah tersebut dihitung dengsn menggunakan
data yang telah dialokasikan dari sumber yang tingkatnya lebih tinggi, misalnya
data suatu kabupaten diperoleh dari alokasi data propinsi. Beberapa alokator yang
digunakan adalah nilai produksi bruto atau neto, jumlah produksi fisik, tenaga
kerja, penduduk, dan alokator lainnya yang dianggap cocok untuk menghitung
niali suatu unit produksi.
C. Desentralisasi Fiskal Dan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam konteks negara kesatuan desentralisasi fiskal merupakan penyerahan
kewenangan fiskal dari otoritas Negara kepada daerah otonom. Kewenangan
(58)
keleluasaan untuk menentukan anggaran dan mengalokasikan sumber daya yang
dimiliki daerah untuk mebiayai pelayanan publik yang menjadi tugas daerah.
Disisi belanja, diberikannya kewenangan fiskal kepada sebuah daerah otonom
didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih efisien dan efektif.
Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat diasumsikan lebih tahu
kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah Pusat yang jauh.
Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pemda akan lebih responsif
dan menjawab kebutuhan masyarakat.
Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan perpajakan kepada
daerah dimaksudkan agar masyarakat mendapat kepuasan pelayanan publik lebih
tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran
pajak/retribusi tersebut.
Menurut Pose et all (2007), terdapat banyak litetatur yang menyatakan bahwa
desentralisasi fiskal memberikan perubahan yang signifikan terhadap
kesejaterahan dan keuntungan ekonomi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa
pemerintah daerah (dengan asumsi lebih dekat dengan rakyat) lebih cakap dalam
membuat kebijakan yang menentukan barang publik yang dibutuhkan di
daerahnya. Dengan demikian pemerintah daerah menghasilkan fungsi alokasi
yang lebih efisien.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ebel dan Yilmaz (2002), Slinko
(2002), dan Vasquez dan Mc Nab (2001). World Bank (1997) menyatakan
(59)
Ada tiga cara desentralisai fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara
tidak langsung. Argumen pertama adalah desentralisasi akan meningkatkan
efisiensi pengeluaran publik, sehingga efek dinamisnya akan mempengaruhi
pertubuhan ekonomi. Oleh karena itu teradapat hubungan positif antara
pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi.
Selanjutnya bahwa desentralisasi dapat mempengaruhi stabilitas makroekonomi,
yang mana akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sehingga didapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi. Argumen
yang berikutnya adalah bahwa negara sedang berkembang (NSB) memiliki sitem
kelembagaan dan perekonomian yang berbeda dengan negara berkembang (NB),
sehingga negara sedang berkembang tidak akan mendapat keuntungan dari
desentralisasi. Hal ini terjadi karena susunan kelembagaan di negara-negara
sedang berkembang tidak perlu memberikan sub insentif kepada pemerintah untuk
menggunakan keuntungan informasi dalam merespon tindakan yang dilakukan.
Alasan lain adalah karena pemerintah daerah di negara-negara sedang
berkembang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang cukup, seperti misalnya
pegawai pemerintah yang terlatih dalam mengelola anggaran yang lebih besar.
Vasquez dan Mc Nab (2001) memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang
bagaimana hubungan antara desentralisasi fiskal terhadap efisiensi dan stabilitas
makroekonomi mampu mempengaruhi pertumbuhan. Yang pertama tentang
pengaruh efisiensi terhadap pertumbuhan. National account (PDB/PDRB)
mengukur output pemerintah berdasarkan tingkat pengeluaran, tanpa melihat
(60)
pengeluaran yang sama, pemerintah daerah (yang dalam sistem desentralisasi
diberikan kewenangan dalam mengatur penegeluaran) mampu menghasilkan
output yang lebih besar (atau lebih berkualitas) dibandingkan pemerintah pusat,
maka terciptalah efisiensi produksi yang lebih besar di tingkat pemerintah daerah.
Akhirnya, kuantitas dan kualitas yang lebih baik dari pelayanan pulik yang
disediakan pemerintah daerah aka menghasilkan peningkatan pendapatan.
Selanjutnya mengenai dampak stabilitas terhadap terhadap stabilitas
makroekonomi. Meskipun jelas bahwa tidak ada hubungan antara desentralisasi
dan stabilitas makroekonomi, namun sudah menjadi kesepakatan umum bahwa
sistem desentralisasi yang tidak dirancang dengan baik dapat mengakibatkan
ketidakstabilan makroekonomi (mis: mengijinkan pemerintah daerah untuk
melakukan pinjaman, tanpa adanya kontrol dari pemerintah pusat) (Vasquez dan
Mac Nab, 2001).
D. Hubungan DBH, DAU Dan DAK Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pelaksanaa desentralisasi harus didukung oleh kebijakan dana perimbangan yang
sering disebut dengan desentralisasi fiskal. Dana perimbangan berkaitan langsun
dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks otonomi daerah.
Dalam arti sederhana, dana perimbangan adalah pembagian penerimaan antar
tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi pemerintahan dalam kerangka
desentralisasi. Dengan ketentuan dalam pasal 6 UU No.25 Tahun 2009 dana
perimbangan terdiri dari ; Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus dan Dana
(61)
Perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menunjukkan
ketergantungan daerah masih tinggi terhadap dana perimbangan. Ha ini
meyebabkan dana perimbangan (DBH, DAU dan DAK) menjadi sumber
penerimaan yang utama bagi daerah.
DAU adalah dana dana yang diberikan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan
fiskal. Alokasi DAU ditujukan untuk membiayai pengeluaran rutin daerah.
Umumnya belanja yang dilakukan daerah adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah. Mengingat kontribusi DAU dalam penerimaan
sangat besar maka DAU berpengaruh positif terhadap pertubuhan ekonomi.
Begitu pula dengan Dana Bagi hasil, DBH tidak dapat dipisahkan dari peranan
dalam pertumbuhan ekonomi. Karena DBH juga merupakan sumber penerimaan
dalam APBD dan peningkatan DBH akan mendorong peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Penerimaan DBH suatu daerah perkotaan akan sangat ditentukan oleh
struktur dan kemajuan ekonomi kota bersangkutan. Kota yang memiliki kegiatan
industri, perdagangan dan jasa yang sudah maju dan tumbuh akan memiliki DBH
yang lebih tinggi. Sedangkan kota-kota di luar Pulau Jawa mempunyai DBH yang
sangat kecil karen perkembangan industrinya masih relatif kecil. Karena itu
kontribusi peneriman dari DBH belum dapat optimal dan merata di setiap daerah
terutama daerah luar Pulau Jawa.
DAK adalah dana yang diberikan pemerintah pusat yang dialokasikan untuk
pembiayaan kegiatan pembangunan yang bersifat khusus sesuai dengan kebutuhan
daerah dan sesuai prioritas kepentingan nasional. Pembangunan ini diharapkan
(62)
44
E. Penelitian Terdahulu
No Penulis Judul Model Analisis Hasil dan Kesimpulan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Mus Mualim (2010) Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Peran Kelembagaan Dana Otonomi Khusus Papua di Provinsi Papua Barat
Y=β0+ β1X1+ β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5
Y= Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) X1 = DBH Bukan Pajak
X2 = DBH Pajak X3 = DAU X4 = DAK X5 = Dana Otsus
Menunjukan bahwa Variabel DBHP, DBHBP, DAU, DAK, Dana Otsus secara simultan menunjukan hubungan yang erat terhadap pertumbuhan ekonomi Pepua Barat.
2 I Wayan Suparta Imam Awaludin
Aplikasi Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandar Lampung
Log (PDRB/TK) = βo +β1
log(IG/TK) + β2 log(PAD/TK) + et βo = Tetapan (Konstanta)
β1- β2 = Nilai koefisien regresi parsial PDRB/TK = Perkembangan atau laju pertumbuhan ekonomi perpekerja yang diproksi dengan perkembangan PDRB/TK Kota Bandar Lampung periode 2001-2010 (dalam jutaan rupiah) sebagai variabel terikat. IG/TK = Perkembangan Investasi pemerintah perpekerja (pengeluaran untuk belanja modal/pembangunan) Kota Bandar Lampungpeiode 2001-2010
Perkembangan penerimaan PAD secara statistik berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung. Perkembangan investasi pemerintah secara statistik berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandar Lampung pada pelaksanaan desentralisasi fiskal.
(63)
45
No Penulis Judul Model Analisis Hasil dan Kesimpulan
(1) (2) (3) (4) (5)
dalam juta rupiah) sebagai variabel bebas.
PAD/TK = Perkembangan
Pendapatan Asli Kota Bandar Lampung perpekerja periode 2001-2010 (dalam jutaan rupiah) sebagai variabel bebas.
et = Kesalahan pengganggu.
3 Hadi Sasana (2009) Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadapp Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten / Kota Provinsi Jawa Tengah
Y1 = β1 X1 + e
Di mana : β1XI adalah desentralisasi
fiskal
Yl adalah pertumbuhan ekonomi E adalah disturbance term.
Desentralisasi fiskal berpengaruh secara langsung pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,268, yang berarti bahwa setiap ada kenaikan desentralisasi fiskal satu satuan maka akan menaikkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,286 persen. Hasil estimasi ini memberikan dukungan atas hipotesis satu pada
penelitian ini, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi
4 Altito R Siagian Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
PE = β 0 + β1Df + β2Pd + β3Tk + βAg+ μ
KW = β 0 + β1Df + β2Pd + β3Tk + βAg+ μ
PE = Pertumbuhan Ekonomi KW = Ketimpangan Wilayah Df = derajat fiskal
Pertumbuhan ekonomi signifikan dan positif dipengaruhi oleh derajat desentralisasi fiskal, dan tingkat aglomerasi suatu daerah.
Ketimpangan wilayah yang terjadi di Propinsi Jawa Barat, dipengaruhi oleh dua faktor.
(64)
III. METODE PENELITIAN
A.Jenis Penelitian dan Sumber Data
Pendekatan kuantitatif adalah suatu penelitian yang menekankan analisisnya pada
data-data angka yang diolah dengan metode statistika tertentu (Azwar, 1998: 5
dalam Yanuar F, 2010). Dengan kata lain, penelitian menggunakan pendekatan
kuantitatif jika data yang digunakan bersifat angka.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu
yaitu sejak 2001 sampai dengan 2012. Data yang dihimpun berasal dari publikasi
dinas atau instansi pemerintah, diantaranya adalah publikasi dari Badan Pusat
Statistik (BPS) mengenai PDRB Kabupaten Lampung Tengah, publikasi dari
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen
Keuangan Republik Indonesia (djpk.depkeu.go.id) mengenai realisasi APBD
Kabupaten lampung Tengah serta berbagai sumber lainnya yang relevan seperti
jurnal, publikasi ilmiah di internet, buku, dan hasil-hasil penelitian yang
(65)
B. Batasan Variabel
Dalam penelitian ini, digunakan dua jenis variabel yaitu, variabel bebas
(inependent variable) dan variabel terikat (dependent varible). Variabel bebas
adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat dan variabel terikat adalah
variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Yang menjadi variabel terikat
adalah Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung Tengah. Sementara itu yang
menjadi variabel independent (bebas) dalam penelitian ini adalah desentraliasi
fiskal yang diterjemahkan sebagai Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan
Dana Alokasi Khusus.
C. Definisi Operasional Variabel
Berbagai variabel yang termasuk dalam analisis penelitian ini perlu didefinisikan,
sehingga terdapat kesamaan persepsi terhadap arti variabel-variabel tersebut.
1. Dana Desentralisasi Fiskal adalah dana yang bersumber dari Anggaran
Pen-dapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi, yang terdiri dari:
a. Dana Bagi Hasil (DBH).Variabel ini diukur dalam satuan rupiah per tahun.
b. Dana Alokasi Umum (DAU).Variabel ini diukur dalam satuan rupiah pertahun.
c. Dana Alokasi Khusus (DAK). Variabel ini diukur dalam satuan rupiah per
(66)
2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah laju perkembangan ekonomi daerah per
tahun.Variabel ini diukur berdasarkan rasio PDRB atas dasar harga konstan tahun
berjalan terhadap PDRB atas dasar harga konstan tahun sebelumnya.
D. Alat dan Model Analisis
Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel bebas
terhadap variabel terikat adalah analisis regresi linear berganda dengan
pendekatan Ordinary Least Square (OLS). Merujuk dari penelitian empirik
terdahulu, yang dilakukan oleh Mus Mualim (2010) ,maka model ekonomi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi, variabel yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi: variable
independen yang merupakan variable bebas, yakni Desentralisasi Fiskal yang
terdiri dari: Dana Bagi Hasil (Pajak/Bukan Pajak) (X1) , Dana Alokasi
Umum(X2) , Dana Alokasi Khusus (X3) Variabel dependen atau variabel terikat
dalam penelitian ini adalah yakni: Pertumbuhan Ekonomi (Y).
Untuk mengestimasi pengaruh Dana Bagi Hasil (pajak/bukan pajak), Dana
Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap pertumbuhan ekonomi
digunakan alat analisis regresi dengan model data time series.
Variabel dana desentralisasi fiskal berupa transfer dari pemerintah pusat yang
(67)
(X2), Dana Alokasi Khusus (X3) selanjutnya menjadi variabel independen bagi
pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dalam persen (Y) . Dengan demikian,
persamaan dapat diformulasikan menjadi:
Y= f (Df) ...(1)
Y = f (DBH, DAU, DAK) ... (2)
Dari persamaan (1) maka diperoleh:
Y= L DBHβ1,DAUβ2,DAKβ3....(3)
Untuk menggunakan model empiris linear dari persamaan (3) diturunkan dengan
menggunakan log, sehingga diperoleh persamaan sebagaiberikut:
LogY= β0 + β1LogDBH+β2LogDAU+ β3LogDAK+ e...(4) di mana:
Y = PertumbuhanEkonomi e = error term
DBH= Dana Bagi Hasil β0= konstanta
DAU= Dana Alokasi Umum β1–β5 = koefesien paramater DAK= Dana Alokasi Khusus
(1)
Lampiran 2. Model Regresi
Hasil Uji Regresi Linier
Dependent Variable: LOG(PE) Method: Least Squares Date: 10/24/14 Time: 14:39 Sample(adjusted): 2004 2012
Included observations: 9 after adjusting endpoints
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.952321 0.449090 6.574007 0.0012
LOG(DBH) 0.227030 0.065921 -3.443997 0.0184 LOG(DAU) 0.422315 0.039810 10.60821 0.0001 LOG(DAK) 0.027399 0.010802 2.536620 0.0521 R-squared 0.966493 Mean dependent var 1.715524 Adjusted R-squared 0.946389 S.D. dependent var 0.156161 S.E. of regression 0.036158 Akaike info criterion -3.500747 Sum squared resid 0.006537 Schwarz criterion -3.413091 Log likelihood 19.75336 F-statistic 48.07416 Durbin-Watson stat 1.702968 Prob(F-statistic) 0.000414
(2)
Lampiran 3. Uji Normalitas
(3)
Lampiran 4. Uji Multikolinearitas
Hasil Uji Multikolinearitas
Uji ini untuk mengetahui apakah terjadi multikolinearitas, atau variabel bebasnya
mempengaruhi variabel bebas yang lainnya.
a. Variabel DBH
b. Variabel DAU
(4)
Lampiran 5. Uji Autokorelasi
Hasil Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.789373 Probability 0.307941 Obs*R-squared 4.895875 Probability 0.086472 Test Equation:
Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 10/12/14 Time: 14:28
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.297067 0.796681 -1.628089 0.2020 LOG(DBH) 0.191098 0.116864 1.635221 0.2005 LOG(DAU(-1)) -0.077569 0.057837 -1.341168 0.2724 LOG(DAK(-1)) -0.022796 0.020111 -1.133473 0.3394 RESID(-1) -0.760021 0.629669 -1.207017 0.3139 RESID(-2) -2.136632 1.130819 -1.889456 0.1552 R-squared 0.543986 Mean dependent var 1.77E-16 Adjusted R-squared -0.216037 S.D. dependent var 0.028585 S.E. of regression 0.031522 Akaike info criterion -3.841534 Sum squared resid 0.002981 Schwarz criterion -3.710051 Log likelihood 23.28690 F-statistic 0.715749 Durbin-Watson stat 2.426125 Prob(F-statistic) 0.653815
(5)
Lampiran 6. Uji Heteroskedastisitas
Hasil Uji Heteroskedastisitas
1. Terdapat Masalah Heteroskedasitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic 6.118583 Probability 0.147123 Obs*R-squared 8.535022 Probability 0.201466 Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 06/24/14 Time: 14:38 Sample: 2004 2012
Included observations: 9
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.879635 0.512427 1.716607 0.2282 LOG(DBH) -0.232614 0.133181 -1.746606 0.2228 (LOG(DBH))^2 0.014071 0.008300 1.695320 0.2321 LOG(DAU(-1)) 0.005417 0.006265 0.864680 0.4784 (LOG(DAU(-1)))^2 -0.001818 0.004121 -0.441184 0.7022 LOG(DAK(-1)) 0.020397 0.006940 2.939052 0.0989 (LOG(DAK(-1)))^2 -0.001327 0.000454 -2.922825 0.0998 R-squared 0.948336 Mean dependent var 0.000726 Adjusted R-squared 0.793343 S.D. dependent var 0.000892 S.E. of regression 0.000406 Akaike info criterion -12.73113 Sum squared resid 3.29E-07 Schwarz criterion -12.57773 Log likelihood 64.29007 F-statistic 6.118583 Durbin-Watson stat 2.651378 Prob(F-statistic) 0.147123
(6)
2. Bebas Masalah Heteroskedasitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic 6.118583 Probability 0.147123 Obs*R-squared 8.535022 Probability 0.201466 Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 10/12/14 Time: 14:39 Sample: 2004 2012
Included observations: 9
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.879635 0.502408 1.750838 0.2221 LOG(DBH) -0.232614 0.129880 -1.790991 0.2152 (LOG(DBH))^2 0.014071 0.008096 1.737884 0.2244 LOG(DAU(-1)) 0.005417 0.006284 0.862130 0.4795 (LOG(DAU(-1)))^2 -0.001818 0.004212 -0.431567 0.7081 LOG(DAK(-1)) 0.020397 0.005216 3.910490 0.0596 (LOG(DAK(-1)))^2 -0.001327 0.000330 -4.014907 0.0568 R-squared 0.948336 Mean dependent var 0.000726 Adjusted R-squared 0.793343 S.D. dependent var 0.000892 S.E. of regression 0.000406 Akaike info criterion -12.73113 Sum squared resid 3.29E-07 Schwarz criterion -12.57773 Log likelihood 64.29007 F-statistic 6.118583 Durbin-Watson stat 2.651378 Prob(F-statistic) 0.147123