Latar Belakang Penelitian S PPB 1006850 Chapter1

Evi Astuti, 2015 TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Masa remaja dipandang sebagai masa yang berpotensi untuk meraih kegemilangan karena seluruh aspek perkembangan berkembang secara pesat. Scherf 2011, hlm. 1 memaparkan remaja merupakan waktu terjadinya perkembangan fisik, kognitif, emosi, moral, sosial secara dramatis. Aspek perkembangan yang dapat berjalan secara seimbang memfasilitasi peningkatan potensi individu. Remaja dapat mengintegrasikan informasi yang diperoleh dengan tantangan di masa mendatang dan merencanakan masa depan. Kemampuan mengintegrasikan berkaitan dengan perkembangan kognitif remaja yang berada pada tahap operasi formal yang memungkinkan remaja berpikir tidak hanya sebatas pada peristiwa yang terjadi tetapi dapat membayangkan berbagai kemungkinan dalam situasi yang beragam Papalia, et all, 2008, hlm. 555. Remaja dinilai sudah mampu berfikir logis tentang gagasan yang abstrak, dapat berfikir hipotesis, ilmiah dan sistematis dalam berupaya menyelesaikan masalah Yusuf, 2007, hlm. 194. Pencapaian tugas perkembangan akan membentuk pribadi yang efektif. Blocher dalam Budiman, 2012, hlm. 36 mengatakan yang dimaksud dengan pribadi yang efektif adalah pribadi yang mampu mempertimbangkan kemampuan diri, ketersediaan waktu dan tenaganya dan bersedia menanggung berbagai resiko secara ekonomis, psikologis dan fisik. Pribadi yang efektif juga mampu mengenal, mendefinisikan dan menyelesaikan masalah dengan memberdayakan kemampuan berpikirnya secara genuine dan kreatif sehingga mampu mengontrol dorongan- dorongan untuk merespon situasi frustasi, permusuhan dan ketidakjelasan secara wajar. Remaja tidak semua dibesarkan dalam kondisi yang ideal. Beberapa remaja berada pada kondisi perceraian orang tua, kekerasan dalam keluarga, interaksi sosial Evi Astuti, 2015 TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu negatif atau status ekonomi. Situasi kurang ideal dapat menghambat perkembangan sosial, emosi, dan kognitif sehingga potensi remaja yang mengalaminya di masa dewasa akan terganggu. Zolkozki Lyndal 2012, hlm. 2296 menyatakan individu yang mengalami permasalahan yang kompleks beresiko mengalami kegagalan dalam mengatasi kesulitan. Rak dan Patterson dalam Zolkozki Lyndal, 2012, hlm. 2296 menyatakan kemiskinan, kekerasan, disonasi keluarga memiliki kerentanan yang cukup tinggi sehingga mengkhawatirkan adanya ketidakmampuan individu untuk mengoptimalkan potensinya dimasa dewasa dalam keadaan yang kurang beruntung. Waxman 2003, hlm. 1 melaporkan pelajar yang beresiko mengalami kegagalan dalam akademik cenderung memiliki latarbelakang masalah kemiskinan, kesehatan, dan kondisi sosial lainnya sehingga menghambat kesuksesannya disekolah. Pada saat remaja tidak mampu menghadapi permasalahan yang kompleks dalam hidupnya, remaja cenderung menunjukkan perilaku-perilaku yang mengarah pada tindakan destruktif bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Ha-Na Hyung 2005, hlm. 1 memaparkan temuan yang menunjukkan peserta didik dengan perceraian orang tua yang dalam hal ini dianggap sebagai pemicu ketidakidealan menunjukkan kenakalan yang lebih tinggi dan prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan peserta didik dari keluarga utuh. Rutter Garmezy dalam Santrock, 2007, hlm. 296 menemukan fakta apabila sejumlah stressor dialami secara kumulatif, akan menimbulkan efek yang bersifat gabungan, sehingga individu yang dikepung oleh dua stressor hidup yang kronis, memiliki kecenderungan empat kali lebih besar membutuhkan layanan psikologis, dibandingkan yang harus mengatasi sebuah stressor. Liu Tein dalam Santrock, 2007, hlm. 296 memaparkan studi terkait remaja yang memiliki ide bunuh diri cenderung pernah mengalami peristiwa hidup yang negatif ditahun sebelumnya dibandingkan remaja yang tidak memiliki ide bunuh diri. Tindakan destruktif lain yang sering dijumpai di kalangan remaja ketika mengalami kesulitan adalah merokok. Informasi bahaya rokok sudah menyebar luas, jumlah perokok semakin meningkat. Departemen Pendidikan Nasional dalam Khairun, 2011, hlm. 5 mencatat jumlah perokok dikalangan remaja pada usia 15-24 Evi Astuti, 2015 TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu tahun sekitar 25, 56. Merokok disebut sebagai proses kompensatoris setiap tekanan yang terjadi pada individu. Komalasari 2000, hlm. 39 mengulas pernyataan Klinke Meeker, motif perokok adalah relaksasi karena merokok dapat mengurangi ketegangan dan memudahkan berkonsentrasi, sehingga merokok disebut sebagai proses kompensatoris dari rasa tertekan yang dialami oleh individu. Kondisi yang menghimpit, tidak selalu membuat remaja mampu membentuk pribadi tangguh untuk tetap berjuang menjalani kehidupan yang lebih konstruktif. Hasil penyelidikan yang dilakukan MacArthur Foundation Research Network dalam Lioyd Berlin, 2004, hlm. 13 terhadap 1.000 orang berusia 10 hingga 30 tahun menunjukkan apabila dibandingkan dengan orang dewasa, remaja memiliki fokus yang lebih pendek dalam mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku yang memiliki potensi beresiko, keadaan yang menghimpit remaja membuatnya lebih mudah untuk melakukan tindakan yang bersifat merusak. Individu yang berhasil terlepas dari kesulitan, mengindikasikan memiliki ketangguhan, kekuatan dan faktor yang membantu mengatasi kondisi buruk yang dirasakan. Menurut Hersberger 2012, hlm. 3 sebesar apapun tingkat kesulitan yang dialami individu yang tangguh tidak akan berpengaruh besar pada kehidupan yang dijalani. Kemampuan individu untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan menghadapi tantangan baru disebut sebagai resiliensi Winder, 2006, hlm. 8. Pooley Cohen dalam Grant Kinman, 2012, hlm. 606 mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi masalah dengan menggunakan sumber daya internal dan eksternal dalam konteks dan perkembangan tantangan yang berbeda. Davoudi 2013, hlm. 5 menyatakan “ resilience is not a fixed asset, property or character that people or places have or do not have. It is acontinually evolving and fluctuating process. It is not a being, but a becoming”, artinya resiliensi adalah sebuah kompetensi yang harus dilatihkan dan dikembangkan bukan sebuah kelebihan yang mutlak dimiliki oleh setiap individu tanpa melalui sebuah proses. Pada setting sekolah, penelitian terkait resiliensi diantaranya penelitian Munawaroh 2011 yang menggambarkan resiliensi akademik peserta didik SMK Daarut-Tauhid Boarding School Bandung yang memiliki tantangan akademik lebih Evi Astuti, 2015 TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu banyak karena jumlah mata pelajaran dan waktu belajar lebih padat dari pada sekolah regular lainnya. Hasil penelitian menunjukkan 19,5 peserta didik memiliki resiliensi akademik kategori tinggi, 63,4 pada kategori sedang dan 17 pada kategori rendah. Artinya, lebih dari setengah peserta didik memiliki ketangguhan dalam menghadapi tantangan akademik. Fenomena tentang resiliensi secara umum di sekolah terbuka juga dipaparkan oleh Hudzaifa 2012 dalam penelitiannya terkait dengan resiliensi di SMP terbuka menggambarkan 1 peserta didik memiliki kategori sangat sesuai dalam artian peserta didik memiliki resiliensi yang sangat tinggi, 73 pada kategori sesuai yang artinya memiliki resiliensi yang tinggi, 26 kategori ragu-ragu, 0 pada kategori tidak sesuai dan 0 pada kategori sangat tidak sesuai. Secara keseluruhan, profil penelitian di SMP terbuka menunjukkan peserta didik memiliki tingkat resiliensi yang tinggi meskipun mayoritas peserta didik SMP terbuka berasal dari keluarga berekonomi rendah. Artinya kesulitan yang dihadapi peserta didik di SMP Terbuka tidak berpengaruh negatif terhadap kehidupannya secara umum. Penelitian terhadap profil resiliensi siswa penerima Bantuan Khusus Murid BKM di SMA Negeri 1 Cimalaka Tahun Ajaran 20132014 dilakukan oleh Widianti 2014. Hasil menunjukkan 8,82 siswa yang termasuk ke dalam kriteria diatas rata- rata yang berarti siswa tersebut sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang adversif dan sudah mampu belajar memperkuat diri mengubah kondisi adversif menjadi kondisi yang kondusif. Siswa yang termasuk kriteria rata-rata mencapai 77,94 dan siswa yang termasuk kriteria di bawah rata-rata mencapai 13,24 ditandai dengan ketidakmampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang adversif . Kondisi tidak ideal yang terjadi pada setiap individu seharusnya tidak berpengaruh negatif pada kehidupan yang dijalani. Individu diharapkan memiliki daya lentur atau fleksibilitas dalam menjalani kehidupan walaupun bagi remaja bukan sesuatu yang mudah untuk dihadapi. Menurut Hall Santrock, 2007, hlm. 6 usia remaja yang berkisar antara 12 hingga 23 tahun diwarnai dengan berbagai pergolakan yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati yang lebih dikenal sebagai storm Evi Astuti, 2015 TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu and stress view . Sebagian besar remaja mengalami masa storm and strees sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru Nurihsan Agustin, 2011, hlm. 66. Offer dan koleganya dalam Santrock, 2007, hlm.10 menemukan pandangan berbeda terhadap remaja, 73 dari remaja memiliki citra diri yang positif, optimis, percaya diri, mampu menilai dirinya sebagai sosok yang mampu melatih kontrol diri, menghargai pekerjaan dan sekolah, merasa memiliki kapasitas untuk mengatasi tekanan hidup dan tidak persis menyamai gambaran stress and storm yang dikemukakan oleh Hall. Penanganan yang serius terhadap kondisi remaja yang rentan perlu dirumuskan untuk menghindari atau mengatasi vulnerability kerentanan. Bimbingan dan konseling memiliki peranan yang penting dalam mengantisipasi kerentanan peserta didik yang mengalami kesulitan, karena layanan bimbingan dan konseling berfokus pada pengembangan segi-segi pribadi dan sosial serta pemecahan masalah secara individual Sukmadinata, 2007, hlm.4. Beberapa upaya bimbingan dan konseling telah teruji efektif dalam meningkatkan resiliensi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Suwarjo 2008 yang menggunakan konseling teman sebaya untuk meningkatkan resiliensi anak asuh di panti asuhan sosial anak. Mashudi 2012 menggunakan konseling rasional emotive behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja di SMK Negeri 9 Bandung. Hasil penelitian Mashudi 2012 tentang konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja menunjukkan konseling rasional emotif behavioral teruji efektif dalam mengembangkan seluruh aspek resiliensi, terutama terhadap aspek keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan menggunakan humor secara efektif. Penelitian Hernandez dan Mendoza 2011, hlm. 375 menunjukan Shame Resilience Theory SRT mampu memicu adanya perubahan secara signifikan pada aspek kesehatan general, gejala depresi, rasa malu yang berlebihan, pengaruh kesadaran diri, dan resiliensi. Shame Resilience Theory SRT mengupayakan responden untuk bisa membuka diri, merasakan empati terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain, membangun kemampuan untuk dapat menyampaikan Evi Astuti, 2015 TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu perasaan dan kebutuhan responden secara efektif, sehingga akan muncul karakteristik resilien Hernandez Mendoza, 2011, hlm. 375. Penelitian terkait resiliensi telah dilakukan pula oleh Barret, et all dalam Tanpa nama, 2007, hlm.14 yang membuktikan efektivitas Cognitif Behavioral Therapy CBT kepada satu kelompok berusia 10 sampai 12 tahun atau 15-16 tahun. Barlow Hall dalam Grant Kinman, 2012, hlm. 615 menyatakan pendekatan Cognitive Behavioural Therapy dapat mengatur distress dan meningkatkan resiliensi pada individu dengan mengembangkan strategi alternatif untuk mengatur emosi dan perilaku. Peneliti menggunakan pendekatan CBT sebagai upaya untuk meningkatkan resiliensi peserta didik dengan asumsi kunci resiliensi adalah kemampuan mengenali pikiran sendiri dan struktur keyakinan, memanfaatkan kekuatan untuk meningkatkan keakuratan dan fleksibilitas berpikir sehingga mampu mengatur konsekuensi emosi dan perilaku secara lebih baik Reivich Shatte, 2002, hlm. 52. Salah satu teknik CBT yang efektif meningkatkan resiliensi adalah teknik restrukturisasi kognitif Hing, 2013, hlm. 175. Gottlieb menyatakan restrukturisasi kognitif mampu membuat individu bersikap adaptif terhadap kesulitan yang dihadapinya dalam Hing, 2013, hlm. 175. Sesuai dengan definisi resiliensi yang diungkapkan Coatsworth 2003, hlm. 3, yaitu kemampuan individu untuk beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan. Pada dimensi lain, Engle 1996, hlm. 4 mengungkapkan resiliensi merupakan kebalikan dari vulnerability kerentanan, kerangka vulnerability menekankan kelemahan psikososial dan hidup penuh resiko, sehingga memungkinkan individu untuk berkeyakinan irasional. Teknik restrukturisasi kognitif membantu mengidentifikasi ide-ide atau keyakinan yang irasional dan menggantinya dengan pernyataan-pernyataan yang lebih realistis dan rasional Suryaningrum, 2007, hlm. 66. Berdasarkan pengamatan peneliti di SMP Negeri 43 Bandung pada bulan Januari hingga bulan Mei 2014, menunjukkan adanya indikasi resiliensi yang rendah. Indikasi perilaku tidak resilien yang ditampilkan peserta didik kelas VII tahun ajaran Evi Astuti, 2015 TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu 20132014 yaitu tidak mengikuti pelajaran salah satu guru yang dianggap galak, tidak sekolah karena sering di bully oleh teman sekelasnya, pura-pura sakit saat mata pelajaran yang dianggap sulit, memilih untuk tidak berangkat sekolah karena tidak memiliki ongkos, memilih untuk tidak bersosialisasi karena sering merasa tersinggung dengan gaya bercanda salah satu teman sekelasnya, bahkan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah saat merasa tidak mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi disekolah. Berdasarkan fenomena yang diutarakan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian secara empiris mengenai efektivitas teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan resiliensi peserta didik agar kesulitan yang dialami tidak menimbulkan efek buruk bagi kehidupan di masa depan.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah