BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Induksi persalinan - SISKA CHOTIMAH BAB II

  dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin (Cunningham, 2013).

  Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara- cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his (Sinclair, 2009).

  Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan

  Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi/ persyaratan sebagai berikut: a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD).

  b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang yakni serviks sudah mendatar dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop.

  Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.

  c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.

  d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul (Oxorn, 2010).

  Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. Berdasarkan kriteria Bishop, yakni:

  a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya maka pada multi gravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar.

B. Sectio Caesarea

  1. Pengertian

  Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan

  membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut, sectio

  caesarea juga dapat didefinisikan sebagai suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 2011).

  Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan

  pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau sectio

  caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Kristianasari, 2010).

  Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan

  anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk

  2. Etiologi Menurut Nurarif dan Hardhi (2013), etiologi section caesarea ada 2 yaitu:

   Etiologi yang berasal dari janin, yaitu fetal distress/ gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi.

   Etiologi yang berasal dari ibu, yaitu primigravida dengan kelainan letak, primipara tua disertai kelainan letak ada, disporposi sefalo pelvic (disporposi janin/ panggu), ada sejarah kelahiran dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, solution plasenta tingkat 1-11, terdapat kesempitan panggul, lacenta previa terutama pada primigravida, komplikasi kehamilan yaitu preeklamsi-eklamsia, atas permintaan, kehamilan yang disertai penyakit, dan gangguan perjalanan persalinan.

  3. Tanda dan Gejala Menurut Prawirohardjo (2007) manifestasi klinis pada klien dengan post sectio caesarea, antara lain : Kehilangan darah selama

  4. Anatomi Fisiologi

  a. Genetalia Eksterna (bagian luar) Gambar 2.1 Organ eksternal wanita (Winkjosastro, 1999).

  Menurut Serri Hustahaean (2013) organ bagian luar sistem teproduksi antar lain:  Vulva Vulva merupakan nama yang diberikan untuk struktur genetalia eksternal, yang artinya peneutup atau pembungkus. Vulva membentuk dari mons pubis disebelah anterior hingga perineum jaringan ikat, setelah dewasa tertutup oleh rambut yang bentuknya segitiga. Mons veneris berfungsi sebagai pantalan pada waktu melakukan hubungan seksual. Kulit mons veneris mengandung kelenjar keringat yang khusus dan sekresi kelenjar tersebut akan memberikan aroma yang khas. Sekresi ini dianggap mempunyai makna seksual tertentu pada laki-laki.

   Labia Mayora Labia mayora merupakan kelanjutan dari mons vrneris, berbentik lonjong. Labiya mayora ada dua bagian kiri dan kanan dengan panjang 7,5 cm. Kedua labia ini bertemu membentuk perineum. Labia mayora berfungsi sebagai pelindung karena kedua bibir ini menutupi lubang masuk vagina, sementara bantalan lemaknya bekerja sebagai bantalan saat melakukan hubungan seksual.

   Labia Minora Labia minora merupakan lipatan dibagian dalam labia mayora dan tanpa rambut serta tidak memiliki lemak subkutan. Labia minora

   Vestibulum Vestibulum adalah nama yang diberikan pada rongga yang dikelilingi oleh labia minora. Vestibulum berada dibagian tengah labia mayora yang memiliki dua muara dari kelenjar bartolini dan kelenjar skene. Bagian lain yang juga bermuara pada vestibulum adalah orifisium vagina. Muara tersebut ditutupi oleh lipatan selaput tipis yang disebut hymen.

   Klitoris Klitoris merupakan bagian penting dari alat reproduksi wanita bagian luar yang bersifat erektil. Salah satu bagian dari organ reproduksi wanita ini mengandung banyak pembuluh darah dan saraf sensorik sehingga sangat sensitif. Klitoris pada wanita merupakan analog dengan penis pasa laki-laki.

   Hymen Hymen merupakan jaringan atau selaput tipis yang menutupi lubang vagina, bersifat rapuh dan mudah robek. Selaput tipis ini tidak uterus dan darah saat menstruasi bisa melewati organ hymen tersebut. Hymen yang tertutup merupakan kelainan organ reproduksi wanita yang disebut hymen occluvisium.

   Kelenjar bartolini dan skene Kelenjar bartolini dan skene merupakan kelenjar yang penting didaerah vulva dan vagina. Kelenjar ini mengeluarkan sekret berupa mukus yang bermanfaat pada saat koitus sebagai pelumas.

  b. Genetalia Internal (bagian dalam) Gambar 2.2 Organ internal wanita (Winkjosastro, 1999). kandung kemih dan rektum, dengan panjang bagian depannya (anterior) ± 9 cm dan dinding belakangnya (posterior) ±11 cm. Pada puncak vagina (bagian posterior vagina) menonjol serviks (leher rahim). Bagian serviks yang menonjol ke dalam vagina disebut partio (tonjolan). Vagina mengandunga glikogen yang menghasilkan asama pada vagina. Tingkatan keasaman vagina dipertahankan dalam kondisi asam (pH 3,5-4,5). Berikut merupakan fungsi vagina:

   Sebagai saluran yang mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi.

   Sebagai saluran saat melakukan hubunga seksual.  Sebagai temoat pengeluaran janin atau jalan lahir pada waktu persalinan.

   Dengan sekretnya yang asam, vagina merupakan barier untuk menghalangi perjalanan infeksi.

   Uterus Uterus merupakan jaringan otot yang kuat, terletak di pelvis

  Struktur rahim dibagi atas fundus uteri (puncak rahim), korpus uteri (badan rahim) dan isthmus uteri (titik temu serviks dengan korpus uteri). Dinding uteri terbagi atas 3 lapisan, yaitu sebagai beriku: peritoneum (lapisan uteri bagian luar), miometrium (lapisan tengah/ otot endometrium), dan endometrium (laipsan uterus bagian dalam).Berikut adalah beberapa fungsi uterus:

   Mempertahankan ovum yang telah dibuahi pada masa perkembangannya.

   Memberikan perlindunga dan nutrisi pada emrio/ janin sampai mencapai maturitas.

   Mendorong keluar janin dan plasenta pada saat persalinan.  Setelah persalinan, mengendalikan perdarahan dari tempat perlekatan plasenta melalui kontraksi otot-otot rahim yang saling berjalan yang disebut jahitan hidup.

   Tuba fallopi Tuba fallopi disebut juga oviduct (saluran telur) dan kandung sperma dan pars infundibulum/ umbai/ fimbriae yang berfungsi membawa ovum dari ovarium ke uterus. Berikut ini merupakan fungsi tuba fallopi yaitu sebagai berikut:  Menangkap ovum yang dilepaskan pada saat ovulasi.

   Sebagai saluran spermatozoa bertemu dengan ovum.  Sebagai saluran dari hasil konsepsi menuju uterus.  Tempat terjadinya konsepsi.  Tempat pertemuan dan perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai bentuk blastula, yang siap mengadakan implantasi dalam endometrium.

   Ovarium Ovarium merupakan kelenjar kelamin (gonad), atau kelenjar seks wanita. Ovarium ada dua buah, yaitu ovarium bagian kiri dan kanan yang berada di dalam kavum abdomen di belakang ligamentum latum dekat ujung fimbriae tuba fallopi. Kedua ovarium melekat pada uterus lewat ligamentum ovari yang berjalan dari permukaan posterior dan darah yang disangga oleh jaringan ikat. Bagian lainnya adalah korteks yang ada pada ovarium eksternal. Korteks mengandung folikel-filikel ovarium atau sel-sel telur yang terbenam dalam stroma.

  Ovarium tidak dibungkus oleh perimetrium sejati, namun ovarium mengandung bentuk peritoneum yang sudah mengalami modifikasi, yaitu epitelium germinalis. Berikut ini merupakan fungsi ovarium:

   Memproduksi ovum.  Melepaskan ovum saat ovulasi.  Menyimpan seta mematangkan folikel-folikel ovarium.  Memproduksi hormon ovarium, yaitu estrogen dan progesteron.

  c. Bagian Abdomen

   Kulit Gambar 2.4 Kulit (Widjanarko, 2010).

  1) Lapisan Epidermis:Epidermis, lapisan luar, terutama terdiri dari epitel skuamosa bertingkat. Sel dibentuk oleh lapisan germinal dalam ketika didorong oleh sel terkikis oleh gesekan. Lapisan luar terdiri dari keratin, protein bertanduk, Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah dan sel selnya sangat rapat. 2) Lapisan Dermis, Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen jaringan fibrosa epidermis berupa sejumlah papilla kecil. Lapisan yang lebih dalamterletak pada jaringan subkutan dan fasia, lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan disebut peritonium. Dalam tindakan SC, sayatan dilakukan dari kulit lapisan terluar (epidermis) sampai dinding uterus.

   Fasia Gambar 2.5 Fasia (Widjanarko, 2010).

  Di bawah kulit fasia superfisialis dibagi menjadi lapisan lemak yang dangkal, Camper's fasia, dan yang lebih dalam lapisan fibrosa. Fasia profunda terletak pada otot-otot perut. menyatu dengan fasiaprofunda paha. Susunan ini membentuk pesawat antara Scarpa's fasiadan perut dalam fasia membentang dari bagian atas paha bagian atas perut. Di bawah lapisan terdalam otot, maka otot

   Otot perut Gambar 2.6 Otot perut (Widjanarko, 2010). 1) Otot dinding perut anterior dan lateral Rectus abdominis meluas dari bagian depan margo costalis diatas dan pubis di bagian bawah. Otot itu disilang oleh beberapa pitafibrosa dan berada didalam selubung. Linea alba adalah pita jaringan yang membentang pada garis tengah dari procecussxiphodius sternum ke simpisis pubis, memisahkan kedua musculusrectus abdominis. Obliquus externus, obliquus internus dan transverses

  2) Otot dinding perut posterior Quadrates lumbolus adalah otot pendek persegi pada bagian belakang abdomen, dari costa kedua belas diatas ke crista iliaca (Widjanarko, 2010).

  5. Patofisiologi Etiologi dilakukannya Sectio caesareaada 2 antara lain etiologi yang berasal dari janin meliputi fetal distress/ gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi dan etiologi yang Ibu: primigravida dengan kelainan letak, primipara tua disertai kelainan letak ada, disporposi sefalo pelvic (disporposi janin/ panggu), ada sejarah kelahiran dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, solution plasenta tingkat 1-11, terdapat kesempitan panggul, placenta

  

previa terutama pada primi gravida, komplikasi yang perjalanan

persalinan.

  Adanya kelainan dalam proses persalinan, sehingga harus dilakukan tindakan induksi, yang hasilnya tidak selalu berhasil. Induksi menyebabkan terputusnya kontinuitas, sehingga biasa merasakan nyeri yang akan mengganggu aktifitas dan dengan adanya luka insisi dapat meninbulkan terjadinya resiko infeksi, sedangkan efek anastesi dapat menyebabkan pasien mual/muntah, sehingga bisa terjadi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada psikologis ditemukan letting go (kemandirian), taking hold (ketergantungan kemandirian), dan taking in (ketergantungan). Taking hold didapat 2 kemungkinan yaitu belajar mengenai perawatan diri dan bayi dan kondisi tubuh mengalami perubahan, keduanya membutuhkan informasi sehingga dapat diambil masalah keperawatan defisiensi pengetahuan. Pada fisiologi ditemukan perubahan pada payudarah dan lochea. Pada payudarah yang terjadi penurunan prolaktin dan juga hisapan menurun sehingga dapat mengakibatkan masalh keperawatan ketidakefektifan pemberian ASI, sedangkan pada lochea yang ditemukan adanya pendarahan bisa mengakibatkan resiko kekurangan cairan (Nurarif dan Hardhi, 2015).

  6. Pathway

   Ibu: primigravida dengan kelainan letak, primipara tua disertai kelainan letak ada, disporposi sefalo pelvic (disporposi janin/ panggu), ada sejarah kelahiran dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, solution plasenta tingkat 1-11, terdapat kesempitan panggul, lacenta previa terutama pada primigravida, komplikasi yang perjalanan persalinan.  Janin: fetal distress/ gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi.

  Post operasi sectio caesarea SC

  Persalinan induksi

  Gagal Induksi Psikologis Fisiologi Lochea Payudara insisi Efek anastesi Spinal

  Mual/ muntah Terputusnya kontinuitas

Taking in Taking Hold

  Letting go Adaptasi post partum

  7. Rencana Keperawatan

Tabel 2.1 Rencana keperawatan

  No Diangosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)

  1. Ketidakefektifan Setelah dilakukanasuhan keperawatan Brestfeding Assistence pemberian ASI diharapkan klien dapat menunjukkan  Evaluasi pola menghisap. respon breast feeding ineffective dengan  Tentukan keinginan dan motivasi ibu untuk kriteria hasil: menyusui.

   Kemantapan pemberian ASI.

   Evaluasi pemahaman ibu tentang isyarat  Pemeliharaan pemberian ASI. menyusui dari bayi.  Diskontinuitas progesif pemberian AS.

   Kaji kemampuan bayi untuk latch on dan menghisap secara efektif.  Pantau ketrampilan ibu dalam menempelkan bayi keputing.  Pantau integritas kulit puting ibu.  Evaluasi pemahaman tentang sumbatan kelenjar susu dan mestitis.  Pantau kemampuan untuk mengurangi kongesti payudara dengan benar.  Pantau berat badan dan pola eliminasi bayi.

  Breast Examination Lactation Supreson

   Fasilitasi proses bantuan interaktif untuk membantu mempertahankan proses pemberian ASI.

   Sediakan informasi tentang laktasi dan teknik memompa ASI.  Ajarkan pengasuh bayi mengenai topik-topik seperti cara menyimpan ASI.  Ajarkan orang tua mempersiapkan, menyimpan dan menghangatkan dalam kemungkinan pemberian tambahan susu formula.

   Apabila penyapihan diperlukan, informasikan ibu mengenai kembalinya proses ovulasi dan seputar alat kontrasepsi.

  Lactation Counseling

   Sediakan informasi tentang keuntungan dan kerugian pemberian ASI.  Demonstrasikan latihan menghisap, jika perlu.  Diskusikan metode alternativ pemberian makan bayi.

  2. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan klien dapat mengontrol nyeri sehingga nyeri dapat berkurang dengan

  Pain Management

   Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kriteria hasil:

   Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).

   Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.

   Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).

   Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.  Tanda vital dalam rentang normal. kualitas dan faktor presipitasi.  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien.  Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.

   Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

   Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan.  Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama dan setelah aktifitas.  Monitor kualitas dari nadi.  Monitor adanya pulsus paradoksus.  Monitor adanya pulsus alterans.

   Monitor jumlah dan irama jantung.  Monitor bunyi jantung.  Monitor frekuensi dan irama pernafasan.  Monitor suara paru.  Monitor pola pernafasan abnormal.  Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit.  Monitor sianosis perifer.  Monitor adanya cushing triad.  Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign.

  3. Defisiensi pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Teaching : Disease Process  Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan diharapkan pengetahuan klien meningkat dengan kriteria hasil: pasien tentang proses penyakit yang spesifik.

   Pasien dan keluarga menyatakan  Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan pemahaman tentang penyakit, bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi kondisi, prognosis dan program dan fisiologi, dengan cara yang tepat. pengobatan.  Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul  Pasien dan keluarga mampu pada penyakit, dengan cara yang tepat.

   Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar. tepat.  Pasien dan keluarga mampu  Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna menjelaskan kembali apa yang cara yang tepat. dijelaskan perawat/ tim kesehatan  Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, lainnya. dengan cara yang tepat.

   Hindari jaminan yang kosong.  Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat.

   Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit.

   Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.  Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan.

   Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat.  Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.

  4. Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan Activity Therapy diharapkan aktivitas klien kembali  Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik normal dengan kriteria hasil: dalam merencanakan program terapi yang tepat.

   Berpartisipasi dalam aktifitas fisik  Bantu pasien untuk mengidentivikasikan tanpa disertai peningkatan tekanan aktifitas yang mampu dilakukan. darah, nadi, dan RR.

   Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan  Mampu melakukan aktivitas sehari- hari secara mandiri. sosial.

   Tanda-tanda vital normal.  Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang  Energy psikomotor. diinginkan.  Level kelemahan.

   Bantu untuk mendapatkan alat bantu aktivitas  Mampu berpindah. seperti kursi roda.  Status kardiopulmunali adekuat.

   Bantu untuk mengidentifikasi aktifitas yang  Sirkulasi status baik. disukai.  Status respirasi pertukaran gas dan

   Bantu untuk membuat jadwal latihan diwaktu ventilasi adekuat. luang.  Bantu pasien/ keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.

   Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktifitas.  Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi dan penguatan.  Monitor respon fisik, emosi, sosial, dan spiritual.

  5. Risiko infeksi Setelah dilakuakan asuhan keperawatan Infection Control (Kontrol infeksi)  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien diharapkan resiko infeksi terkontrol dengan kriteria hasil: lain.

   Klien bebas dari tanda dan gejala  Pertahankan teknik isolasi.

   Batasi pengunjung bila perlu. infeksi.  Mendeskripsikan proses penularan  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci penyakit, factor yang tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung mempengaruhi penularan serta meninggalkan pasien.

   Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan. penatalaksanaannya.  Menunjukkan kemampuan untuk  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah mencegah timbulnya infeksi. tindakan keperawatan.

   Jumlah leukosit dalam batas normal.  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat  Menunjukkan perilaku hidup sehat. pelindung.  Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat.

   Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum.  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing.  Tingkatkan intake nutrisi.  Berikan terapi antibiotik bila perlu.  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.  Monitor hitung granulosit, WBC.

   Monitor kerentanan terhadap infeksi.  Batasi pengunjung.  Saring pengunjung terhadap penyakit menular.  Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko.

   Pertahankan teknik isolasi k/p.  Berikan perawatan kuliat pada area epidema.  Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.

   Ispeksi kondisi luka / insisi bedah.  Dorong masukkan nutrisi yang cukup.  Dorong masukan cairan.  Dorong istirahat.  Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep.

   Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.  Ajarkan cara menghindari infeksi.  Laporkan kecurigaan infeksi.  Laporkan kultur positif.

  6 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Nutrition Management nutrisi kurang dari diharapkan pemasukan adekuat dengan  Kaji adanya alergi makanan. kebutuhan tubuh kriteria hasil:  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan

   Adanya peningkatan berat badan sesuai jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan dengan tujuan. pasien.  Berat badan ideal sesuai dengan tinggi  Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe. badan.

   Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein  Mampu mengidentifikasi kebutuhan dan vitamin C. nutrisi.

   Berikan substansi gula.  Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.

   Yakinkan diet yang dimakan mengandung  Menunjukan peningkatan fungsi tinggi serat untuk mencegah konstipasi. pengecapan dan menelan.

   Berikan makanan yang terpilih.  Tidak terjadi penurunan berat badan

   Ajarkan pasien bagaiman membuat catatan yang berarti. makanan harian.  Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.  Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.  Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

  Nutrition Monitoring  BB pasien dalam batas normal.

   Monitor adanya penurunan berat badan.

   Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan.  Monitor interaksi anak atau orang tua selama makan.  Monitor lingkungan selama makan.  Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama makan.  Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi.  Monitor turgor kulit.  Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah.  Monitor mual dan muntah.  Monitor kadar albumin, total protein,Hb, dan kadar Ht.  Monitor pertumbuhan dan perkembangan.  Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan jaringan konjungtiva.  Monitor kalori dan intake nutrisi.  Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.  Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet.

  7. Resiko kekurangan cairan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Fluid Management diharapkan cairan dalam tubuh seimbang  Timbang popok/ pembalut jika diperlukan. dengan kriteria hasil:  Pertahankan catatan intake dan output yang

   Mempertahankan urine output sesuai akurat. dengan usia dan BB, BJ urine normal,  Monitor status hidrasi. HT normal.

   Monitor vital sign.  Tekanan darah, nadi, suhu tubuh,

   Monitor masukan makan/ cairan dan hitung dalam batas normal. intake kalori harian.  Tidak ada tanda-tanda dehidrasi.

   Kolaborasikanpemberian cairan IV.  Elastisitas turgor kulit baik, membran  Monitor status nutrisi. mukosa lembab, tidak ada rasa haus  Berikan cairan IV pada suhu ruang. yang berlebihan.

   Dorong masukan oral.  Berikan penggantian nesogatrik sesuai output.  Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.

   Tawarkan snack.  Kolaborasikan dengan dokter.  Atur kemungkinan tranfusi.  Persiapkan untuk tranfusi.

  Hypovolemia Management

   Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan.  Pelihara IV line.

   Monitor tingkat Hb dan hematokrit.  Monitor tanda vital.  Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan.

   Monitor berat badan.  Dorong pasien untuk menambah intake oral.  Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan.

   Monitor adanya tanda gagal ginjal. Sumber: Nurarif dan Hardhi (2015). Masa nifas disebut juga masa post partum atau puerperium yaitu masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ

  • –organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan (Suherni, 2009).

  Periode masa nifas (puerperium) adalah periode waktu selama 6-8 minggu setelah persalinan. Proses ini dimulai setelah selesainya persalinan dan berakhir setelah alat-alat reproduksi kembali seperti keadaan sebelum hamil/ tidak hamil sebagai akibat dari adanya perubahan fisiologi dan psikologi karena proses persalinan (Saleha, 2009).

  1. Tahap Masa Nifas Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut :

  a. Periode immediate postpartum Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.

  c. Periode late post partum (1 minggu- 5 minggu) Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB (Saleha, 2009).

  2. Perubahan fisiologis pada masa nifas

  a. Perubahan sistem reproduksi Selama masa nifas alat-alat genetalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan alat genital ini dalam keseluruhan disebut involusi. Disamping involusi ini, terjadi juga perubahan- perubahan penting lain, yakni hemo konsentrasi dan timbulnya laktasi. Yang terakhir ini karena pengaruh lactogenic hormone dari kelenjer hipofisis terhadap kelenjar-kelenjar mamma.

  Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira-kira setinggi pusat, segera setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri kurang lebih 2 jari implantasi plasenta merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri, segera setelah persalinan. Penonjolan tersebut, dengan diameter kurang lebih 7,5 cm, sering disangka sebagai suatu bagian plasenta yang tertinggal. Sesudah 2 minggu diameternya menjadi 3,5 cm dan pada 6 minggu telah mencapai 2,4 cm.

   Uterus gravidus aterm beratnya kira-kira 1000 gram. Satu minggu post partum berat uterus akan menjadi kurang lebih 500 gram, 2 minggu post partum menjadi 300 gram, dan setelah 6 minggu post partum, berat uterus menjadi 40 sampai 60 gram (berat uterus normal kurang lebih 30 gram). otot-otot uterus berkontraksi segera postpartum. pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. proses ini akan menghentikan pendarahan setelah plasenta dilahirkan.

   Lochea adalah darah yang dibuang dari rahim yang kini telah sebagai kantung yang kuat membulat, mencapai tali pusar, pada hari ke 14 setelah kelahiran, ukurannya menyusut menjadi 350 gram dan tidak lagi dapat di rasakan keberadaannya di dalam perut, pada hari ke 60 (8 minggu) setelah kelahiran, rahim kembali ke ukuran normal. Involusi di sebabkan oleh pembengkakan serabut otot dan penyerapan substansinya.

  Sebagian ke dalam aliran darah dan sebagian lagi ke dalam

  

lochea. Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum

  uteri dan vagina selama masa nifas. Pada hari pertama dan kedua lochea rubra atau kruenta, terdiri atas darah segar bercampur sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks

  

kaseosa, lanugo, dan mekonium , pada hari ke 3 sampai ke 7

  keluar cairan berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, pada hari ke 7 sampai ke 14 cairan yang keluar berwarna kuning, cairan ini tidak berdarah lagi, setelah 2 minggu, lochea hanya merupakan cairan putih yang disebut dengan lochea alba.

   Endometrium Perubahan pada endometrium adalah trombosis, degenerasi, dan nekrosis ditempat implantasi plasenta. Pada hari pertama tebal endometrium 2,5 mm, mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua, dan selaput janin. Setelah tiga hari mulai rata, sehingga tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas implantasi plasenta (Saleha, 2009).

   Serviks Perubahan yang terjadi pada servik ialah bentuk servik agak mengangah seperti corong, segera setelah bayi lahir. Bentuk ini disebabkan oleh corpus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan servik tidak berkontraksi sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korvus dan servik berbentuk semacam cincin (Sulistyawati, 2009).

  b. Perubahan sistem pencernaan Sering terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan. Hal ini c. Perubahan perkemihan Saluran kencing kembali normal dalam waktu 2-8 minggu, tergantung pada keadaan sebelum persalinan, lamanya partus kala dua dilalui, besarnya tekanan kepala yang menekan pada saat persalinan.

  d. Perubahan sistem muskuloskeletal Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus. Pembuluh- pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan pendarahan setelah plasenta dilahirkan. Ligamen-ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pada waktu persalinan, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tak jarang uterus jatuh kebelakang dan menjadi retropleksi karena ligamentum rotundum menjadi kendor. Tidak jarang pula wanita mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan karena ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor. Stabilisasi secara sempurna terjadi akan kembali normal. Nila suhu lebih dari 38 derajat celsius, mungkin terjadi infeksi pada klien.

   Nadi berkisar antara 60-80 denyutan permenit setelah partus, dan dapat terjadi Bradikardia. Bila terdapat takikardia dan suhu tubuh tidak panas. Mungkin ada pendarahan belebihan atau ada vitium kordis pada penderita pada masa nifas umumnya denyut nadi labil dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan pernafasan akan sedikit meningkat setelah partus kemudian kembali seperti keadaan semula.

   Tekanan darah pada beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi postpartum akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam setengah bulan tanpa pengobatan (Saleha, 2009).

  1. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.

  a. Usia Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anakanak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang c. Budaya Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang.

  d. Ansietas

  Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.

  e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun.

  g. Pola koping Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus- menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk

  2. Klasifikasi Nyeri Klasifikasi nyeri dibagi menjadi dua yaitu nyeri secara umum dan nyeri dalam persalinan sebagai berikut : a. Klasifikasi nyeri secara umum, antara lain adalah nyeri akut yaitu nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan hilang setelah penyembuhan, dan nyeri kronik yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari 3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai.

  Implus nyeri selama kala I pada persalinan di trasmisi melalui T11-T12 segment saraf spinal dan bagian bawah thorak dan bagian atas lumbal saraf simpatis, dimana uterus dan serviks terjadi pada kala I akibat dari kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Lokasi nyeri ini meliputi bagian segmen abdomen dan menjalar kedaerah lumbal bagian belakang dan turun sampai dengan paha.

   After pain nyeri selama kala II dimana uterus mengecil, sobek dari hasil distensi dan laserasi dari serviks, vagina dan jaringan perinal nyeri yang dirasakan seperti awal kala I dan kala II (Regina, 2011).

  3. Klasifikasi nyeri dibagi menjadi dua yaitu nyeri secara umum dan nyeri dalam persalinan sebagai berikut : a. Klasifikasi nyeri secara umum, antara lain adalah

   Nyeri akut yaitu nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan hilang setelah penyembuhan.

   Nyeri kronik yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari 3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai.

  b. Klasifikasi nyeri persalinan dibagi beberapa nyeri yaitu :  Nyeri Viseral bersifat lambat dalam yang tidak terlokalisir. Implus nyeri selama kala I pada persalinan di trasmisi melalui T11-T12 segment saraf spinal dan bagian bawah thorak dan bagian atas lumbal saraf simpatis, dimana uterus dan serviks terjadi pada kala penurunan kepala janin yang menekan jaringan - jaringan maternal dan tarikan perinium dan Utercocervical selama kontraksi.  After pain nyeri selama kala II dimana uterus mengecil, sobek dari hasil distensi dan laserasi dari serviks, vagina dan jaringan perinal nyeri yang dirasakan seperti awal kala I dan kala II (Regina, 2011).

  4. Faktor - faktor yang mempengaruhi nyeri Faktor yang mempengaruh nyeri ada 2 macam yaitu faktor nyeri secara umum dan faktor nyeri dalam persalinan sebagai berikut : a. Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri sebagai berikut :

   Arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan, merusak dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial, kultural, lingkungan dan pengalaman.

   Persepsi nyeri merupakan panilaian yang sangat subjektif tepatnya

   Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respon seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit (Hidayat, 2006).

  b. Beberapa faktor mempengaruhi nyeri pesalinan adalah 1) Faktor fisiologi nyeri

   Pembukaan dan penipisan serviks  [Segmen bawah rahim tegang  Ligamen uterus meregang  Periotonium tertarik  Kandung kemih tertekan  Hipoksia  Vagina tertekan  Multi/primpara 2) Faktor Psikologis  Ketakutan

   Karakteristik panggul Kelelahan (Regina, 2011).